95
3. Syarat khusus berupa ganti rugi ini pun menurut
KUHP hanya bersifat fakultatif tidak bersifat imperatif.
47
Dengan demikian, KUHP belum secara tegas merumuskan ketentuan yang secara konkret atau
langsung memberikan
perlindungan hukum
terhadap korban dan juga tidak merumuskan jenis pidana restitusi ganti rugi yang sangat bermanfaat
bagi korban dan keluarga korban, tetapi KUHP hanya menjelaskan tentang rumusan tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana, dan ancaman pidana. Seharusnya KUHP secara eksplisit merumuskan
bentuk perlindungan hukum bagi korban dan keluarga korban secara lebih konkret dan langsung,
sehingga bersifat imperaktif.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
Sebenarnya, Undang-Undang perlindungan Saksi dan Korban, merupakan suatu langkah yang
positif dalam upaya perlindungan Saksi dan Korban, yang selama ini pengaturannya masih bersifat
47
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung:Citra Aditya Bakti, 1998.
Hal.55.
96
sektoral, maka dengan adanya upaya untuk mengaturnya secara khusus dalam satu undang-
undang boleh dikatakan sebagai langkah maju dalam rangka perlindungan terhadap korban, dan
itu sesuai dengan amanat yang telah diletakkan dalam Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dan, sesuai
dengan kesepakatan
masyarakat Internasional sebagamana tercermin dalam The United Declaration of Basic Principles of
Justice for Victims of Crime and Abuse of Power.
Upaya untuk memberikan perindungan hukum kepada korban dalam Undang-Undang No. 13 Tahun
2006 dapat dilihat dalam bagian konsideran huruf a dan b, sebagai berikut:
48
a. Bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam
proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi danatau Korban yang mendengar, melihat atau
mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam rangka menemukan dan mencari kejelasan
tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
b. Bahwa penegak hukum dalam menemukan dan
mencari kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering
mengalami kesulitan
karena tidak
dapat menghadirkan saksi dan atau korban disebabkan
adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.
48
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Konsoderan huruf a dan b.
97
Berdasarkan konsideran tersebut, yang merupakan semangat dibuatnya Undang-Undang No. 13 Tahun
2006 menunjukan bahwa pembuat Undang-Undang berkehendak menempatkan korban agar dapat
ambil bagian dalam sistem peradilan pidana yang selama ini termarginalkan, dan itu sejalan dengan
yang telah dikemukakan dalam Guide for Policy Makers dalam rangka Implementasi Deklrasi PBB
mengenai Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power.
Pada saat saksi danatau korban akan memberikan keterangan, tentunya harus disertai jaminan bahwa
yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum, pada saat dan setelah memberikan
kesaksian. Hal inilah yang menjadi tujuan dari Undang-Undang No.13 Tahun 2006. Dalam
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, juga diatur adanya
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau yang dapat disingkat dengan LPSK yaitu lembaga yang
bertugas dan
berwenang untuk
memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan
atau korban.
98
Peran saksi danatau korban dalam proses peradilan pidana menempat posisi kunci dalam
upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan pelaku. Dalam hal ini
penegak hukum sering mengalami kesukaran dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku karena tidak dapat
menghadirkan saksi
danatau korban
disebabakan karena ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Hal ini merupakan dasar
pertimbangan perlunya
undang-undang yang
mengatur perlindungan saksi danatau korban.
49
Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga ini merupakan perlindungan utama yang diperlukan
korban, karena dari keterangan atau kesaksian korban dapat memberatkan orang yang dituduh
melakukan tindak pidana. hal ini sejalan dengan pengertian dari saksi itu sendiri, sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban yaitu saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna
kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu
49
Didik. M. Arief Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Jakarta: Pt. RajaGrafindo Persada, 2007
Hal.176.
99
perkara pidana yang ia denger sendiri, ia lihat sendiri danatau ia alami sendiri. Sedangkan
pengertian korban yaitu seseorang yang mengalami penderitaan tidak hanya secara fisik atau mental
atau kerugian eknomi saja tetapi bisa juga kombinasi di antara ketiganya, yang diakibatkan
oleh suatu tindak pidana. Hak- hak korban dalam Undang-Undang ini
dinyatakan dalam Pasal 5 ayat 1 antara lain memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,
keluarga, dan harta bendanya, serta ; bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang atau telah diberikan; ikut serta dalam proses
memilih dan
menentukan bentuk
perlindungan dan
dukungan keamanan;
memberikan keterangan tanpa tekanan; mendapat penerjemah; bebas dari pertanyaan yang menjerat;
mendapat identitas baru dan kediaman baru; memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai
dengan kebutuhan; mendapat nasihat hukum; memperoleh bantuan biaya hidup sementara
sampai batas waktu perlindungan terakhir. Dalam Pasal 5 ayat 2 disebutkan bahwa hak
tersebut diberikan kepada korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan
100
keputusan LPSK.
Kasus-kasus tertentu
yang dimaksud antara lain, tindak pidana korupsi,
tindak pidana narkotika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi
korban diperhadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya, termasuk korban tindak
pidana perdagangan orang. Jadi menurut pasal ini tidak setiap korban yang memberikan keterangan
atau kesaksian
secara otomatis
memperoeh perlindungan
seperti yang
disebutkan dalam
undang-undang ini.
3. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang