Peranan Badan Arbitrase Internasional United Nations Commission On International Trade Law (UNCITRAL) Dalam Penyelesaian Sengketa Divestasi Saham Antara Pemerintah Indonesia Dengan PT. Newmont Nusa Tenggara 2008-2009

(1)

1 1.1Latar Belakang Penelitian

Perubahan zaman telah membawa banyak perkembangan ke dalam aspek kehidupan seperti teknologi informasi, telekomunikasi, dan perdagangan. Dalam perdagangan lintas negara, terdapat pelaku-pelaku perdagangan yang memiliki peran penting dalam menjalankan roda perekonomian dunia. Aktor-aktor tersebut misalnya negara, organisasi non pemerintah, dan perusahaan multinasional (Multi-National Corporation).

Di zaman yang sudah semakin berkembang ini masalah perdagangan menjadi semakin kompleks. Kebutuhan untuk saling berinteraksi dalam perdagangan dan bisnis ini menimbulkan adanya suatu hubungan yang membuka secara lebar terhadap kemungkinan adanya perselisihan dan persengketaan diantara pihak-pihak yang terlibat.

Studi Hubungan Internasional mengalami banyak perkembangan dan perubahan seiring dengan berjalannya waktu. Studi yang awalnya hanya membahas mengenai politik internasional dan berfokus pada negara sebagai objek utama terus mengalami pergeseran dan lebih membuka diri bagi aktor non-state untuk ikut berperan dalam dunia internasional. Seperti NGO (Non-Governmental Organization), IGO (Inter-Governmental Organization), MNC (Multi-National Corperation) bahkan individu juga memiliki power dan pengaruh yang kuat yang tidak dapat dikesampingkan. Aktor-aktor ini kemudian saling berinteraksi dan


(2)

bekerja sama hingga terbentuk komunitas dan pola-pola interaksi tertentu (Sitepu, 2011: 138).

Dalam dinamika studi hubungan internasional terdapat berbagai isu kontemporer yang pada awalnya lebih bersifat kepada hal yang teknis, yang kemudian berkembang menjadi agenda politik yang berimplikasi pada lahirnya pola-pola baru kerjasama internasional, dimana dalam perkembangan hubungan internasional terkini tidak lagi hanya memperhatikan aspek hubungan antara negara saja, yang hanya mencakup aspek politik, ekonomi, budaya serta aspek-aspek klasik lainnya, tetapi juga aspek-aspek lain seperti interdependensi ekonomi, hak asasi manusia, keamanan transnasional, organisasi internasional, rezim internasional dan juga masalah sengketa ekonomi internasional (http://www.theglobal-review.com/ Diakses pada tanggal 20 Maret 2015).

Hubungan internasional di bidang ekonomi yang bersifat global, dimana subjek hukum tidak hanya dalam lingkup nasional melainkan sudah melewati batas negara (internasional), Hubungan-hubungan internasional yang diadakaan tidak selamanya terjalin dengan baik. Seringkali hubungan itu menimbulkan sengketa di antara mereka. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa. Sumber potensi sengketa antar subjek hukum internasional dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, serta masalah tuduhan terhadap suatu negara yang diduga melakukan dumping, tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban suatu pihak dalam perjanjian, masalah nasionalisasi suatu perusahaan asing, adalah sedikit contoh kasus yang timbul dalam hubungan-hubungan internasional di bidang ekonomi antar negara. Oleh


(3)

karena itu hukum internasional memainkan peran dalam penyelesaiannya. Menurut O’neil Taylor hubungan-hubungan ekonomi internasional yang diadakan di antara negara-negara tidak selalu berlangsung mulus. Kadangkala timbul karena berbagai bentuk dan alasan yang menyebabkan timbulnya sengketa (Adolf, 2010 : 229).

Menurut Mahkamah Internasional / International Court of Justice (ICJ) ada beberapa kriteria tentang sengketa internasional. Yang pertama didasarkan pada kriteria-kriteria objektif. Maksudnya adalah dengan melihat fakta-fakta yang ada. Yang kedua, tidak didasarkan pada argumentasi salah satu pihak. Sebagai contoh: USA vs Iran 1979 (Iran case). Dalam kasus ini Mahkamah Internasional dalam mengambil keputusan tidak hanya berdasarkan argumentasi dari Amerika Serikat, tetapi juga Iran. Yang ketiga, penyangkalan mengenai suatu peristiwa atau fakta oleh salah satu pihak tentang adanya sengketa tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa tidak ada sengketa. Yang keempat, adanya sikap yang saling bertentangan / berlawanan dari kedua belah pihak yang bersengketa (Wiraatmadja, 2006 :53-54).

Pengaturan secara damai dalam menyelesaikan sengketa pertama kali lahir sejak diselenggarakannya The Hague Peace Conference (konferensi perdamaian Den Haag) tahun 1899 dan 1907. Konferensi ini menghasilkan “The Convention on the Pasific Settlement of International Disputes” tahun 1907. Secara khusus pengaturan penyelesaian sengketa secara damai di bidang ekonomi pertama kali dilakukan pada tahun 1930. Waktu itu komisi ekonomi Liga Bangsa-Bangsa (LBB) membentuk suatu kelompok ahli yang bertugas menerima permohonan


(4)

penyelesaian sengketa ekonomi di antara negara. Akan tetapi badan ini tidak mempunyai kesempatan untuk membuktikan kemampuannya sebagai suatu badan penyelesai sengketa (Adolf, 2010 : 230).

Dalam penyelesaian sengketa secara damai ketimbang penggunaan kekerasan merupakan gagasan yang sudah dimunculkan sejak lama sekali. Namun secara formal usaha pembentukan lembaga, instrumen hukum juga pengembangan teknis penyelesaiannya baru memperoleh pengakuan secara luas sejak dibentuknya PBB tahun 1945. Bagaimana suatu sengketa dalam bidang ekonomi internasional diselesaikan berada sepenuhnya pada kesepakatan para pihak. Metode yang terdapat dalam pasal 33 (1) piagam PBB yang memberikan pedoman yang cukup lengkap bagi para pihak yang bersengketa dalam lingkup hubungan internasional. Dalam suatu hubungan hukum terutama yang sudah melintasi batas-batas nasional suatu negara, baik yang terjadi antara individu-individu yang berbeda kewarganegaraannya, ataupun antara individu dengan subjek hukum lainnya, akan selalu terbuka peluang terjadinya sengketa yang membutuhkan penyelesaian masalah yang cepat dan pasti (Parthiana, 2003 : 90).

Hubungan-hubungan internasional yang diadakan oleh subjek hukum internasional selalu ada kemungkinan munculnya sengketa di kemudian hari. Sengketa bisa saja muncul terkait perbatasan, perdagangan, dan lain- lain. Di dalam menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih,yaitu melalui negosiasi, mediasi, pengadilan, dan arbitrase (Sefriani, 2009 : 325).

Sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase dipandang sebagai cara yang efektif dan adil. Badan arbitrase akan berfungsi apabila para


(5)

pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa kepadanya baik sebelum sengketa muncul maupun setelah sengketa muncul. Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase internasional telah banyak dipakai oleh para pelaku bisnis yang notabene sering terkait dengan kasus- kasus ekonomi, utamanya perdagangan dengan nominal angka yang dipersengketakan cukup mencengangkan bagi orang pada umumnya. Suatu arbitrase dianggap internasional apabila para pihak pada saat dibuatnya perjanjian yang bersangkutan mempunyai tempat usaha mereka (place of business) di negara-negara berbeda. Misalnya salah satu pihak memiliki tempat usaha di Amerika, dan pihak lain memiliki tempat usaha di Indonesia. Jika terjadi perselisihan di antara mereka, dan mereka memilih cara penyelesaian melalui arbitrase, maka arbitrase ini tergolong arbitrase internasional (Sefriani, 2009 : 339).

Menurut Rousseau sejarah penggunaan arbitrase sudah dikenal lama. Penggunaan arbitrase telah dimanfaatkan di zaman kejayaan Yunani untuk menyelesaikan sengketa di negara-negara kota. Charles Rousseau berpendapat, praktik arbitrase telah dikenal luas pada abad pertengahan. Negara-negara dahulu sudah mencantumkan klausul acta compromis (perjanjian menyerahkan sengketa kepada badan arbitrase). Hasil penelitian Rousseau menunjukan adanya 162 kasus arbitrase antara tahun 1147 dan 1475 (Rousseau dalam Adolf, 2004 : 41).

Arbitrase dalam arti modern menurut J.G Merrills, berkembang dalam 2 tahap penting. Tahap pertama, lahirnya Permanent Court of Arbitration (PCA).


(6)

Perkembangan penting penggunaan arbitrase ditandai dengan diselenggarakannya Konferensi perdamaian Den Haag I tahun 1899 dan Konferensi Den Haag II tahun 1907. Dari hasil Konferensi I, yaitu Konvensi Den Haag 1899 hingga akhir tahun 1906, terdapat 68 negara yang telah meratifikasinya. Sedangkan dari Konvensi Den Haag II tahun 1907, terdapat 64 negara yang telah meratifikasinya. Tahap kedua, yaitu ditandatanganinya berbagai perjanjian bilateral. Tahap ini diawali oleh kebijakan negara-negara yang menandatangani berbagai perjanjian bilateral yang berisi tentang kesepakatan para pihak untuk menyerahkan sengketa mereka kepada badan arbitrase. Perjanjian tersebut memasukan klausul arbitrase didalamnya, namun mengecualikan sengketa yang mempengaruhi kepentingan vital (vital interest) para pihak (Merrills dalam Adolf, 2004 : 42-43).

Perjanjian bilateral pertama secara formal sudah ada untuk pertama kalinya sebagaimana tertuang dalam perjanjian Jay (Jay Treaty) tahun 1794 antara Amerika Serikan dan Inggris. Kedua negara ini sepakat manakala timbul suatu sengketa tertentu maka sengketa tersebut akan diselesaikan melalui arbitrase. Prosedur melalui arbitrase tersebut kemudian banyak diikuti oleh masyarakat internasional sepanjang abad 19. Puncaknya terjadi pada tahun 1872 dengan munculnya sengketa The Alabama Claims Arbitration dalam sengketa ini, berdasarkan ketentuan the Treaty of Washington tahun 1871, para pihak sepakat menyerahkan sengketanya kepada badan arbitrasi. Yang membuat sengketa ini menjadi penting dalam studi hukum internasional adalah prosedur atau tata cara yang ditempuh oleh para pihak dalam mendirikan badan arbitrase guna


(7)

menyelesaikan sengketa. Prosedur tersebut merupakan prosedur yang dikenal dalam beracara melalui arbitrase (Adolf, 2004 : 45).

Meningkatnya kebutuhan dunia internasional akan lembaga-lembaga arbitrase internasional dalam menyelesaikan sengketa perdagangan mengakibatkan kebutuhan akan eksistensi lembaga-lembaga juga meningkat. Lembaga-lembaga arbitrase internasional tersebut merupakan lembaga-lembaga arbitrase yang bersifat resmi dan didirikan oleh lembaga internasional yang sudah mapan maupun lembaga-lembaga yang bersifat regional. Beberapa bentuk lembaga arbitrase internasional antara lain International Chamber of Commerce (ICC), London Court of International Arbitration (LCIA), United Nations Commission on International Trade law (UNCITRAL), Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and National of Other states (ISCID Convention). Selain itu ada beberapa Badan Arbitrase di Kawasan Asia-Pasifik adalah Singapore International Arbitration Centre (SIAC) dan the Singapore Institute of Arbitration, Hong Kong International Arbitration Centre (HKIAC), China International Economic and Trade Arbitration Commission (CIETAC), Korean Commercial Arbitration Board, Japan Commercial Arbitration Association, Thai Arbitration Centre, Kuala Lumpur Regional Centre for Arbitration, dan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) (Suwardi, 2006 : 12)

Sebagai salah satu badan arbitrase internasional, United Nations Commision on International Trade Law (UNCITRAL) yang di bentuk pada sidang ke 19 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dimuat dalam agenda sementara yaitu


(8)

pertimbangan untuk mengadakan tindakan-tindakan kearah perkembangan yang progresif di bidang hukum Perdata Internasional, khususnya untuk meningkatkan perdagangan internasional. Maka, United Nations Commision on International Trade Law (UNCITRAL) sebagai badan khusus dari Majelis Umum PBB, didirikan pada tanggal 17 Desember 1966 melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2205 (XXI). Tugas utamanya dari UNCITRAL adalah mengurangi perbedaan-perbedaan hukum di antara negara-negara anggota yang dapat menjadi rintangan bagi perdagangan internasional dan menangani masalah Perdagangan Internasional dengan tujuan untuk mengharmonisasikan dan melakukan unifikasi hukum yang fokus ke perdagangan internasional, komisi ini membentuk UNCITRALnArbitrationn/Rulesn(http://www.kemlu.go.id/Magazines/Buletin%2 0Diplomasi%20Multilateral%2013 / di akses pada tanggal 7 Maret 2015).

Sebagai cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil, para pihak yang bersengketa menggunakan metode arbitrase dengan menggunakan badan arbitrase yang telah terlembaga seperti UNCITRAL. Seperti halnya dalam perselisihan sengketa divestasi saham antara Pemerintah Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara yang diselesaikan melalui UNCITRAL yang akan diteliti oleh peneliti pada skripsi ini. Penanaman modal asing, dengan PT. Newmont Nusa Tenggara yang masuk ke Indonesia saat rezim Orde Baru masih berkuasa. Setelah cadangan minyak semakin menipis tahun 80-an, pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan yang intinya mendorong pemodal asing agar tertarik berinvestasi di Indonesia. Paket Kebijakan yang diluncurkan 2 Mei 1986 berhasil menarik animo perusahaan asing untuk masuk ke berbagai sektor usaha, termasuk


(9)

pertambangan, diantaranya Newmont Gold Company dari Amerika Serikat. Dewasa ini hampir di semua negara, khususnya negara berkembang membutuhkan modal asing. Modal asing itu merupakan suatu hal yang semakin penting bagi pembangunan suatu negara. Sehingga kehadiran investor asing nampaknya tidak mungkin dihindari.

PT. Newmont Nusa Tenggara merupakan perusahaan patungan antara Newmont Corp. Amerika (pemegang 45% saham) dengan Sumitomo Corp. Jepang (pemegang 35% saham) yang tergabung dalam perusahaan bersama PT Newmont Indonesia Limited dengan PT Pukuafu Indah (Pemagang 20% saham). Newmont Limited Indonesia adalah anak perusahaan dari Newmont Mining Corporation (perusahaan Multi-National Corporation atau MNC). Pendirian Newmont Limited Indonesia dalam bentuk badan hukum Indonesia adalah dalam rangka penanaman modal asing yang akan melakukan usaha pertambangan di Indonesial. Penanaman Modal Asing di Indonesia adalah dalam bentuk investasi langsung. Dalam rangka itulah Newmont melakukan kerjasama dengan PT.Pukuafu Indah (PTPI) sebagai perusahaan nasional dengan modal dalam negeri, untuk mengusahakan pertambangan, kerjasama tersebut dituangkan dalam bentuk joint venture kontrak karya (http://www.ptnnt.co.id/id/Default.aspx / Diakses pada tanggal 8 Maret 2015).

Dalam hubungan hukum kontrak karya, sengketa yang sering terjadi adalah terkait dengan nasionalisasi dimana keharusan pemegang saham asing untuk melakukan divestasi atas saham yang dimilikinya. Divestasi Saham adalah pelepasan, pembebasan, pengurangan modal. Disebut juga divestment yaitu


(10)

kebijakan terhadap perusahaan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh investor asing untuk secara bertahap tetapi pasti mengalihkan saham-sahamnya itu kepada mitra bisnis lokal atau proses yang mengakibatkan pengalihan saham dari peserta asing kepada peserta nasional. Istilah lain untuk kebijakan yang di Indonesia disebut Indonesiasi saham. Dapat berarti pula sebagai tindakan perusahaan memecah konsentrasi atau pemupukkan modal sahamnya sebagai akibat dari larangan terjadinya monopolisasi (Hero & Page, 2002:96).

Sengketa yang terjadi antara Pemerintah RI dengan PT. Newmont Nusa Tenggara (PT.NNT) terkait divestasi saham perusahaan. Pemerintah Indonesia mempermasalahkan kelalaian PT Newmont yang gagal melaksanakan kewajiban divestasi dan menyatakan bahwa dapat diakhirinya kontrak karya. Pada Pasal 24 ayat 3 Kontrak karya antara Pemerintah RI dan PT NNT menyatakan bahwa pemegang saham asing PT NNT diwajibkan menawarkan saham asing PT NNT sehingga pada tahun 2010 minimal 51% saham PT NNT akan beralih ke Pemerintah RI atau peserta Indonesia lainnya.

Kelalaian yang dilakukan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara dengan tidak dilaksanakannya kewajiban dalam Kontrak Karya PT. NNT secara ketentuan melanggar peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai pananaman modal asing yaitu Undang-Undang No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang didalamn mengakomodasi kebijakan-kebijakan investasi yang bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang baik di Indonesia.

Sesuai Kontrak Karya tahun 1986 yang ditandatangani Pemerintah RI dan PT. NNT, ada kesepakatan untuk mendivestasikan mayoritas saham Newmont


(11)

kepada bangsa Indonesia (dalam kontrak disebut sebagai Indonesian Participant) setelah 5 tahun masa operasi tambang. Divestasi direncanakan bertahap dan dilakukan selama 5 tahun, yang semestinya jatuh pada tahun 2006-2010. Akan tetapi divestasi Newmont gagal dilakukan pada masa awal periode tersebut karena PT. Newmont Nusa Tenggara tidak melakukan kewajibannya untuk mendivestasi sahamnya kepada pemerintah dan baru dilakukan setelah Pemerintah RI menang dalam kasus divestasi saham tersebut di pengadilan arbitrase tahun 2009. Saham sebesar 31% mesti didivestasikan oleh kepemilikan asing Newmont (yang 20% telah dimiliki PT. Pukuafu Indah, perusahaan swasta nasional) sehingga Indonesia bisa memiliki 51% saham perusahaan tambang ini. Perselisihan terjadi setelah Pemerintah RI menjatuhkan status default (lalai) kepada Newmont, 11 Februari 2008, karena tidak kunjung menjual 3% sahamnya untuk periode 2006 dan 7% saham periode 2007. Kedua belah pihak dalam menyelesaikan sengketanya memilih Arbitrase sebagai tempat dalam penyelesaian sengketa. Sesuai dalam perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan PT. NNT disepakati pengeturan penyelesaian perselisihan yang mungkin terjadi selama pengusahaan. Pada pasal 21 Perjanjian Kontrak Karya PT. NNT dengan Pemerintahan Indonesia para pihak sepakat setiap perselisihan yang timbul mengenai perjanjian ini termasuk juga ingkar janji (wanprestasi), akan diselesaikan dengan cara konsiliasi, atau melalui Arbitrase (http://www.mpr.go.id/surat-pembaca/read/1227 / di akses pada tanggal 3 Mei 2015).

Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro mewakili Pemerintah Indonesia menggugat Newmont ke badan arbitrase


(12)

internasional United Nation Commision on International Trade Law (UNCITRAL) pada 3 Maret 2008. Kementerian ESDM bertindak sebagai fasilitator dalam divestasi saham, Kementerian ESDM hanya sebagai principal Newmont atas nama pemerintah, untuk pengajuan gugatan ke arbitrase sebagai tindak lanjut peringatan yang telah berkali-kali disampaikan dan juga keputusan lalain(default)n(http://www.antaranews.com/00/27/40/newmont-ganti-gugat

pemerintah-ri-ke-arbitrase.htm / di akses 2 April 2015).

Sesuai pengaturan penting dalam UNCITRAL Arbitration Rules mengenai tempat arbitrase (Place of Arbitration) – Article 18, jika para pihak tidak menyepakati tempat dilaksanakannya arbitrase, maka Majelis memutuskan tempat dilaksanakannya arbitrase berdasarkan keadaan-keadaan yang terkait dengan kasus. Putusan Arbitrase dianggap dilakukan di tempat arbitrase dilaksanakan (http://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration/1985Model_arbitrati on.html / di akses pada tanggal 5 April 2015).

Proses arbitrase berjalan sejak 15 Juli 2008 melalui korespondensi sampai digelarnya sidang tertutup 3-8 Desember 2008 sesuai kesepakatan kedua belah pihak di Pengadilan Negeri Jakarta. Berdasarkan proses arbitrase penyelesaian sengketa divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) yang telah dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 8 sampai dengan 13 Desember 2008 di bawah prosedur badan arbitrase United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL), Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) pada tanggal 31 Maret 2009 telah mengeluarkan putusan akhir (final award). Panel terdiri atas tiga anggota. Dua orang adalah ahli hukum yang masing-masing ditunjuk oleh


(13)

Pemerintah Indonesia, yaitu M Sonnarajah, dan pihak Newmont (Stephen Schwebel) dan satu ahli independen yang sekaligus menjadi ketua panel (Robert Briner) (http://esdm.go.id/berita/55-siaran-pers/2402 / di akses pada tanggal 4 April 2015).

Berdasarkan proses arbitrase penyelesaian sengketa divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) yang telah dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 8 sampai dengan 13 Desember 2008 di bawah prosedur arbitrase United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL), Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) pada tanggal 31 Maret 2009 telah mengeluarkan putusan akhir (final award), yang pada pokoknya memenangkan Pemerintah Republik Indonesia. Majelis Arbiter UNCITRAL yang terdiri dari panel yang dikenal secara internasional, menyatakan sebagai berikut :

1. Memerintahkan PT NNT untuk melaksanakan ketentuan pasal 24.3 Kontrak Karya.

2. Menyatakan PT NNT telah melakukan default (pelanggaran perjanjian) 3. Memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi 17%

saham, yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3% dan tahun 2007 sebesar 7% kepada Pemerintah Daerah. Sedang untuk tahun 2008 sebesar 7%, kepada Pemerintah Republik Indonesia. Semua kewajiban tersebut diatas harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari sesudah tanggal putusan Arbitrase.


(14)

4. Saham yang didivestasikan harus bebas dari gadai (”Clean and Clear”) dan sumber dana untuk pembelian saham tersebut bukan menjadi urusan PT NNT.

5. Memerintahkan PT NNT untuk mengganti biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh Pemerintah untuk kepentingan Arbitrase dalam perkara ini, dan harus dibayar dalam tempo 30 hari sesudah tanggal putusan Arbitrase. (http://esdm.go.id/berita/55-siaran-pers/2402-

putusan-arbitrase-atas-sengketa-divestasi-saham-menangkan-indonesia.html / di akses pada tanggal 9 Mei 2015)

Adanya peranan dari Badan Arbitrase Internasional dalam menyelesaikan sengketa dapat dilihat dari penelitian-penelitian terdahulu. Salah satunya sebuah karya ilmiah berupa skripsi yang bersangkut paut dengan masalah yang diambil yang berjudul Penyelesaian Sengketa Internasional melalui Arbitrase Internasional (Studi Kasus Pertamina vs Karaha Bodas Company (KBC) dan kasus PT. Newmont Nusa Tenggara) oleh Prisca Oktaviani Samosir pada tahun 2014. Dalama tulisan ini membahas Bagaimana Kasus Posisi sengketa antara Pertamina vs Karaha Bodas Company serta sengketa PT Newmont Nusa Tenggara yang diselesaikan melalui Badan Arbitrase Internasional UNCITRAL, tetapi tidak membahas secara khusus tentang peranan dari UNCITRAL dalam menyelesaikan sengketa terutama dalam kasus antara Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara.

Penelitian lainnya yang membahas mengenai arbitrase internasional adalah skripsi yang berjudul Pelaksanaan Arbitrase Internasional di Indonesia oleh


(15)

Prasetyo Budi Sunarso dari Universitas Jember pada September 2013, dalam penelitian ini Prasetyo Budi Sunarso membahas mengenai prinsip arbitrase internasional di Indonesia dan kriteria dari putusan yang dihasilkan arbitrase internasional serta bagaimana putusan arbitrase internasional dapat atau tidak di eksekusi di Indonesia.

Perbedaan dengan penelitian ini adalah peneliti akan meneliti mengenai peranan dari badan arbitrase internasional dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengetahui dan mempelajari secara lebih mendalam tentang penyelesaian sengketa antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara melalui Badan Arbitrase Internasional United Nation Commision on International Trade Law (UNCITRAL) dengan judul skripsi:

Peranan Badan Arbitrase Internasional United Nations Commision on

International Trade Law (UNCITRAL) dalam Penyelesaian Sengketa Divestasi Saham antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara

2008-2009

Adapun ketertarikan peneliti untuk meneliti dan mengangkat isu tersebut didukung oleh beberapa mata kuliah disiplin Ilmu Hubungan Internasional, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Organisasi Internasional, didalam matakuliah ini peneliti mempelajari mengenai peran aktor yang terlibat dalam interaksi yang bersifat internasional dan menciptakan interaksi global didalamnya dalam penelitian ini adalah Badan Arbitrasi Internasional United Nation


(16)

Commision on International Trade Law (UNCITRAL) dalam menyelesaikan sengketa.

2. Hukum Internasional, sebagai sebuah kajian didalam penelitian ini yang menjelaskan mengenai interaksi antar negara, organisasi-organisasi internasional, dan subjek-subjek hukum lainnya dalam mengatur keaneka ragaman kerjasama dan kegiatan. Hukum internasional bertugas mengatur segala macam interaksi seperti yang dijalankan oleh hubungan kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara.

3. Ekonomi politik internasional sebagai sebuah ilmu yang menjelaskan, mengenai hubungan timbal balik yang saling berpengaruh antara bidang politik dan bidang ekonomi menyangkut keputusan-keputusan politik maupun perubahan ekonomi.

4. Bisnis Internasional sebagai kajian ilmu dalam menjelaskan hubungan kerjasama Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk memudahkan peneliti dalam menganalisa masalah, maka masalah yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut

Rumusan Masalah Mayor :

Bagaimana peranan Badan Arbitrase Internasional United Nation Commision on International Trade Law (UNCITRAL) dalam Penyelesaian Sengketa Divestasi Saham antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dari tahun 2008-2009?


(17)

Rumusan Masalah Minor :

1. Apa alasan sengketa divestasi saham antara Pemerintah Indonesia dan PT. NNT diselesaikan melalui Badan Arbitrase Internasional UNCITRAL ? 2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa divestasi antara Pemerintah

Indonesia dan PT. NNT melalui Badan Arbitrase Internasional UNCITRAL ?

3. Apa saja yang dilakukan oleh UNCITRAL dalam penyelesaian sengketa divestasi saham antara Pemerintah Indonesia dan PT. NNT?

4. Kendala apa yang dihadapi Badan Arbitrase Internasional UNCITRAL dalam menyelesaikan sengketa divestasi saham antara Pemerintah Indonesia dan PT. NNT?

Pemerintah RI menjatuhkan status default (lalai) kepada Newmont karena tidak kunjung menjual sahamnya sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak karya. Akhirnya Pemerintah Indonesia menggugat Newmont ke Badan Arbitrase Internasional United Nation Commision on International Trade Law (UNCITRAL) untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Penelitian ini dibatasi dari tahun 2008-2009 karena arbitrase berjalan sejak 15 Juli 2008 melalui proses panjang, lalu akhirnya Majelis Badan Arbitrase Internasional UNCITRAL mengeluarkan lima keputusan final pada 31 Maret 2009.


(18)

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana peranan Badan Arbitrase Internasional UNCITRAL sebagai sebuah badan penyelesaian sengketa internasional secara damai antara Pemerintah Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara mengenai sengketa divestasi saham.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Penulisan Skripsi ini memiliki beberapa tujuan antara lain:

1. Mengetahui apa alasan sengketa antara Pemerintah Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara menggunakan Badan Arbitrase Internasional UNCITRAL dalam menyelesaikan sengketa.

2. Mengetahui proses penyelesaian sengketa antara Pemerintah Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara mengenai sengketa divestasi saham melalui Badan Arbitrase Internasional UNCITRAL.

3. Mengetahui apa saja yang dilakukan oleh UNCITRAL dalam penyelesaian sengketa divestasi saham antara Pemerintah Indonesia dan PT. NNT. 4. Mengetahui kendala apa yang dihadapi Badan Arbitrase Internasional

UNCITRAL dalam penyelesaian sengketa antara Pemerintah Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara

1.4Kegunaan Penelitian

Berdasarkan pada tujuan penelitian, maka kegunaan penelitian ini dibagi menjadi dua :


(19)

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Diharapkan dapat memberikan atau menambah pembedaharaan pustaka, serta dapat memberikan sumbangan bagi Ilmu pengetahuan studi Ilmu Hubungan Internasional terutama mengenai tugas dan fungsi dari Arbitrase Internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional secara damai.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Diharapkan dapat menambah wawasan, ilmu pengetahuan, pengalaman dan kemampuan peneliti di bidang Ilmu Hubungan Internasional.

2. Bagi lembaga akedemik untuk bahan referensi bagi penstudi Hubungan Internasional dan umum.


(20)

Badan Arbitrase Internasional

UNCITRAL

Indonesia vs PT. Newmont

Nusa Tenggara suatu interaksi antar aktor

yang melewati batas-batas negara antara Indonesia vs PT. Newmont Nusa Tenggara

perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam bentuk kontrak karya.

Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara yaitu berupa kerjasama Investasi pertambangan

Sengketa Internasional Sengketa Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara mengenai divestasi saham Arbitrase Internasioal

Menyelesaikan sengketa melaui lembaga Arbitrase UNCITRAL

Ket:

: menunjukkan arah aliran dari

satu proses ke proses yang lain.

: menunjukkan sebuah langkah

proses.

: akhir dari aliran proses.

Gambar 2.1

Divestasi Saham

Kewajiban PT.NNT menjual sahamnya kepada Pemerintah Indonesia sesaui kewajiban dalam kontrak karya

Sengketa ekonomi

konflik yang terjadi dalam kaitannya dengan produksi dan operasi bisnis


(21)

20 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1Tinjauan Pustaka

2.1.1 Hubungan Internasional

Hubungan internasional berawal dari kontak dan interaksi di antara negara-negara di dunia, terutama dalam masalah politik. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, isu-isu internasional ini mengalami banyak perkembangan. negara ataupun aktor non-negara mulai menunjukkan ketertarikannya akan isu-isu internasional di luar isu politik, seperti isu ekonomi, lingkungan hidup, sosial dan kebudayaan.

Hubungan internasional bersifat sangat kompleks serta interdisipliner, karena di dalamnya terdapat bermacam-macam bangsa yang memiliki kedaulatan masing-masing. Sehingga memerlukan mekanisme yang lebih menyeluruh dan rumit daripada hubungan antar kelompok manusia di dalam suatu negara. Namun, pada dasarnya, tujuan utama studi hubungan internasional adalah mempelajari perilaku internasional, yaitu perilaku para aktor negara dan non-negara. Perilaku tersebut bisa berwujud perang, konflik, kerjasama, pembentukan aliansi, interaksi dalam organisasi internasional dan sebagainya.

Hubungan internasional yang pada dasarnya merupakan studi mengenai interaksi lintas batas negara oleh state actor maupun non-state actor memiliki berbagai macam pengertian. Dalam buku “Pengantar Ilmu Hubungan


(22)

Internasional” Agung Banyu Perwita & Yanyan Mochamad Yani. menyatakan bahwa:

"Studi tentang hubungan internasional banyak diartikan sebagai suatu studi tentang interaksi antar aktor yang melewati batas-batas negara. Terjadinya hubungan internasional merupakan suatu keharusan sebagai akibat adanya saling ketergantungan dan bertambah kompleksnya kehidupan manusia dalam masyarakat internasional sehingga interdependensi tidak memungkinkan adanya suatu negara yang menutup diri terhadap dunia luar“ (Perwita & Yani, 2005 : 3 -4).

2.1.2 Organisasi Internasional

Organisasi internasional merupakan salah satu aktor politik internasional. Organisasi internasional diperlukan dalam rangka kerjasama, menyesuaikan dan mencari kompromi untuk meningkatkan kesejahteraan serta memecahkan persoalan bersama, serta mengurangi pertikaian yang timbul. Organisasi juga diperlukan dalam menjajagi sikap bersama dan mengadakan hubungan dengan negara lain. Ciri organisasi internasional yang mencolok ialah merupakan suatu organisasi yang permanen untuk melanjutkan fungsinya yang telah ditetapkan. Organisasi itu mempunyai instrumen dasar (constituent instrument) yang akan memuat prinsip-prinsip dan tujuan, struktur maupun cara organisasi itu bekerja. Organisasi internasional dibentuk berdasarkan perjanjian, dan biasanya agar dapat melindungi kedaulatan negara, organisasi itu mengadakan kegiatannya sesuai dengan persetujuan atau rekomendasi serta kerjasama, dan bukan semata-mata


(23)

bahwa kegiatan itu haruslah dipaksakan atau dilaksanakan (Suryokusumo, 2010:10).

Organisasi Internasional merupakan pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara dengan didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta diharapkan atau diproyeksikan untuk berlangsung dan melaksanakan fungsi-fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun antara sesama kelompok non-pemerintah pada negara yang berbeda (Rudy, 2002 : 92).

Sepak terjang organisasi internasional dalam interaksi hubungan internasional telah mengantarnya menjadi salah satu aktor yang cukup berpengaruh dalam dialektika interaksi antar-aktor Hubungan Internasional. Lain halnya dengan aktor negara yang pasti memiliki politik luar negeri yang kemudian menjadi kepentingan nasional sebuah negara untuk selalu dipegang dalam setiap proses interaksi internasional, organisasi internasional tidak memiliki politik luar negeri. Namun, organisasi internasional bisa menjadi instrumen bagi pelaksanaan kebijakan luar negeri negara-negara anggotanya. Adapun peranan organisasi internasional dalam politik dunia menurut Pentland (Little and Smith, 2006 : 242-243), yaitu:

a. Sebagai instrumen dari kebijakan luar negeri negara-negara anggota, b. Untuk mengatur perilaku dan tindakan negara-negara anggota,

c. Bertindak berdasar keputusannya sebagai aktor/lembaga yang mandiri (otonom).


(24)

T. May Rudy Dalam bukunya ”Hukum Internasional 2”, beliau berpendapat bahwa secara sederhana Organisasi Internasional dapat didefinisikan sebagai setiap pengaturan bentuk kerjasama internasional yang melembaga antara negara-negara, umunya berlandaskan suatu persetujuan dasar, untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang memberi manfaat timbal balik yang diejawantahkan melalui pertemuan-pertemuan serta kegiatan-kegiatan staf secara berkala (Rudy, 2002: 93).

Organisasi Internasional akan lebih lengkap dan menyeluruh jika didefinisikan sebagai berikut:

”Pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara, dengan di dasari struktur organisasi jelas dan lengkap serta diharapkan atau diproyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinam- bungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun antara sesama kelompok non-pemerintah pada negara yang berbeda” (Rudy, 2002: 94-95).

Oleh karena itu, suatu Organisasi Internasional terdiri dari unsur-unsur: a) Kerjasama yang ruang lingkupnya melintasi batas negara b) Mencapai tujuan-tujuan yang disepakati bersama

c) Baik antar pemerintah atau non – pemerintah d) Struktur organisasi yang jelas dan lengkap

Menurut Clive Archer dalam buku ”International Organization“, klasifikasi organisasi internasional berdasarkan keanggotaannya terbagi manjadi 2 (dua) macam, yaitu:


(25)

a. International Governmental Organizations (IGO), yaitu organisasi internasional dengan wakil pemerintahan-pemerintahan sebagai anggota. b. International Non-Governmental Organizations (INGO), yaitu organisasi

internasional dimana anggotanya bukan mewakili pemerintahan. 2. Extent of membership (jangkauan keanggotaan)

a. Keanggotaan yang terbatas dalam wilayah tertentu.

b. Keanggotaan yang mencakup seluruh wilayah di dunia (Archer, 2001:66).

2.1.2.1 International Governmental Organizations (IGO)

International Governmental Organizations (IGO) adalah organisasi yang didirikan beberapa negara untuk mencapai tujuan bersama. Ciri-ciri IGO adalah dibentuk oleh dua negara atau lebih, bersidang secara teratur, mempunyai sifat yang tetap dan keanggotaannya sukarela. IGO dapat diklarifikasikan menjadi dua kategori berdasarkan keanggotaan dan tujuan, yaitu:

1. Organisasi yang keanggotaannya dan tujuannya umum (general membership and general purpose), misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Organisasi ini mempunyai ruang lingkup global dan melakukan berbagai fungsi seperti keamanan, kerjasama ekonomi, sosial dan Hak Asasi Manusia (HAM).

2. Organisasi yang keanggotaannya umum dengan tujuan t erbatas (general membership and limited purpose) yang juga dikenal sebagai organisasi fungsional karena bergerak dalam suatu bidang yang spesifik, misalnya


(26)

World Health Organization (WHO), United Nations Development Program (UNDP), dan lain-lain.

3. Organisasi yang keanggotaannya terbatas dengan tuju an umum (limited membership and general purpose). Organisasi ini merupakan organisasi regional yang memiliki fungsi dan tanggung jawab keamanan misalnya Association of South East Asian Nations (ASEAN), Liga Arab, dan lain-lain.

4. Organisasi yang keanggotaannya terbatas dan dengan tujuan yang terbatas juga ( limited membership and limited purpose ). Organisasi ini dibagi atas organisasi sosial, ekonomi, militer, pertahanan, dan lain-lain. Misalnya North Atlantic Treaty Organization (NATO), North American Free Trade Agreement (NAFTA), dan lain-lain (Pease, 2000 : 2).

Organisasi internasional dapat diklasifikasikan menjadi high politics dan low politics:

1. Organisasi Internasional yang melakukan aktivitas politik tingkat tinggi (High Politics). Dalam aktivitas politik tingkat tinggi termasuk didalamnya bidang diplomatik dan militer yang dihubungkan dengan keamanan dan kedaulatan.

2. Organisasi Internasional yang memiliki aktivitas politik tingkat rendah (Low Politics). Dalam aktivitas politik tingkat rendah adalah aktivitas dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya.


(27)

a. Peran utamanya dalam bidang manajemen dan pembangunan misalnya Bank Dunia, UNDP, IMF.

b. Peran utamanya dalam bidang konflik dan fungsional, seperti International Civil Aviation Organization (ICAO), International Telecommunication Union (ITU), dan lain-lain.

c. Peran utamanya dalam bidang sosial dan kultural, seperti International Labour Organization (ILO), WHO, dan lain-lain (Archer dalam Bennet, 2002:19) .

2.1.2.2 Konsep Peranan Organisasi Internasional

Peranan merupakan aspek dinamis. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannnya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Dari konsep peranan tersebut muncullah istilah peran. Peran adalah seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat. Berbeda dengan peranan yang sifatnya mengkristal, peran bersifat insidental (Perwita & Yani, 2005:29).

Peranan (role) dapat di artikan sebagai berikut:

" Peranan dapat dilihat sebagai tugas atau kewajiban atas suatu posisi sekaligus juga hak atas suatu posisi. Peranan memiliki sifat saling tergantung dan berhubungan dengan harapan. Harapan-harapan ini tidak terbatas hanya pada aksi (action), tetapi juga termasuk harapan mengenai motivasi (motivation), kepercayaan (beliefs), perasaan (feelings), sikap (attitudes) dan nilai-nilai (values)” (Perwita & Yani, 2005:30).

Peranan dapat dikatakan sebagai pelaksanaan dari fungsi oleh struktur-struktur tertentu. Peranan ini tergantung juga pada posisi atau kedudukan struktur-struktur


(28)

itu dan harapan lingkungan sekitar terhadap struktur tadi. Peranan juga di pengaruhi oleh situasi dan kondisi serta kemampuan dari si pemeran.

Pengertian lain dari peranan, yaitu:

"Orientasi atau konsepsi dari bagian yang dimainkan oleh suatu pihak dalam posisi sosialnya. Dengan peranan tersebut, para pelaku peranan individu atau organisasi akan berperilaku sesuai dengan harapan orang maupun lingkungannya. Dalam hal ini peranan menjalankan konsep melayani untuk menghubungkan harapan-harapan yang terpola dari orang lain atau lingkungan dengan hubungan dan pola yang menyusun struktur sosial” (Perwita & Yani, 2005:31).

Konsep peranan ini pada dasarnya berhubungan dan harus dibedakan dengan konsep posisi sosial. Posisi ini merupakan elemen dari organisasi, letak dalam ruang sosial dan kategori keanggotaan organisasi (Perwita & Yani, 2005:31).

Peranan Organisasi Internasional menurut Clive Archer dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:

1. Sebagai instrumen. Organisasi Internasional digunakan oleh negara-negara anggotanya untuk mencapai tujuan tertentu berdasarkan tujuan politik luar negerinya.

2. Sebagai arena. Organisasi Internasional merupakan tempat bertemu bagi anggota saja untuk membicarakan dan membahas masalah dalam negeri lain dengan tujuan untuk mendapat perhatian internasional.

3. Sebagai aktor independen. Organisasi Internasional dapat membuat keputusan-keputusan sendiri tanpa dipengaruhi oleh kekuasaan atau paksaan dari luar organisasi (Archer dalam Perwita & Yani, 2005 : 95).


(29)

Menurut Leroy Bennet dalam buku International Organization, Principle and Issue, sejajar dengan negara, organisasi internasional dapat melakukan dan memiliki sejumlah peranan penting, yaitu:

1. Menyediakan sarana kerjasama diantara negara-negara dalam berbagai bidang, dimana kerjasama tersebut memberikan keuntungan bagi sebagian besar ataupun keseluruhan anggotanya. Selain sebagai tempat dimana keputusan tentang kerjasama dibuat juga menyediakan perangkat administratif untuk menerjemahkan keputusan tersebut menjadi tindakan. 2. Menyediakan berbagai jalur komunikasi antar pemerintah negara-negara,

sehingga dapat dieksplorasi dan akan mempermudah aksesnya apabila timbul masalah (Bennet, 2002:3).

Peranan organisasi internasional dapat digambarkan sebagai individu yang berada dalam lingkungan masyarakat internasional. Sebagai anggota masyarakat internasional, organisasi internasional harus tunduk pada peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama. Selain itu, melalui tindakan anggotannya, setiap anggota tersebut melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka mencapai tujuannya.

Peranan organisasi internasional ditujukan pada kontribusi organisasi di dalam peraturan yang lebih luas selain daripada pemecah masalah. Peranan organisasi internasional dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:

1. Organisasi internasional sebagai legitimasi kolektif bagi aktivitas aktivitas organisasi dan atau anggota secara individual.


(30)

3. Organisasi internasional sebagai wadah atau instrument bagi koalisi antar anggota atau koordinasi kebijakan antar pemerintah sebagai mekanisme untuk menentukan karakter dan struktur kekuasaan global (Archer dalam Bennet, 2002:8).

2.1.3 Perjanjian Internasional

Dalam masyarakat internasional, negara-negara menampakkan kecenderungan untuk mengatur dan menuangkan hubungan-hubungan hukum internasionalnya kedalam bentuk perjanjian internasional. Hal ini disebabkan perjanjian internasional (dalam bentuk tertulis) lebih memberikan jaminan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang bersangkutan maupun bagi pihak ketiga. perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Melalui perjanjian internasional tiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan, tidak ada satu negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan internasional (Mauna,2005 : 82).

Dalam pasal 2 konvensi Wina 1969, perjanjian international (Trety) di definisikan sebagai:

"Suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya”


(31)

Definisi ini kemudian dikembangkan oleh pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1999 tentang hubungan luar negeri yaitu:

"Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang di atur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik (Mauna, 2005 : 84-85).”

Menurut T. May Rudy bahwa Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu jadi termasuk didalamnya perjanjian antar negara dan perjanjian antara suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya. Juga yang dapat dianggap sebagai perjanjian internasional, perjanjian yang diadakan antara tahta suci dengan negara-negara (Rudy, 2002: 44) Menurut T. May Rudy, menggolongkan perjanjian internasional menjadi dua bagian, Treaty Contract dan Law Making. Berikut penjelasannya :

“Penggolongan perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal adalah penggolongan perjanjian dalam Treaty Contract dan Law Making Treaties. Treaty Contract dimaksudkan perjanjian seperti kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata, hanya mengakibatkan hak dan kewajiban antara pihak yang mengadakan perjanjian itu. Contoh, perjanjian dwi kewarganegaraan, perbatasan, perdagangan, dan pemberantasan penyelundupan. Sedangkan Law Making Treaties dimaksudkan perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Contoh, Konvensi Jenewa tentang perlindungan perang tahun 1949” (Rudy, 2002: 44).


(32)

2.1.4 Kerjasama Internasional

Kerjasama internasional merupakan suatu perwujudan kondisi masyarakat yang saling tergantung satu dengan yang lain. Dalam melakukan kerjasama ini dibutuhkan suatu wadah yang dapat memperlancar kegiatan kerjasama tersebut. tujuan dari kerjasama ini ditentukan oleh persamaan kepentingan dari masing-masing pihak yang terlibat. Kerjasama internasional dapat terbentuk karena kehidupan internasional meliputi bidang, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, lingkungan hidup, kebudayaan, pertahanan dan keamanan (Perwita & Yani, 2005: 34).

Dalam usaha sebuah negara untuk menyelesaikan suatu masalah yang bersifat regional maupun internasional bisa diselesaikan bersama dengan kerjasama, dalam kerjasama ini terdapat kepentingan-kepentingan nasional yang bertemu dan tidak bisa dipenuhi di negaranya sendiri. Kerjasama menurut Holsti, yaitu:

“Kerjasama yaitu proses-proses dimana sejumlah pemerintah saling mendekati dengan penyelesaian yang diusulkan, merundingkan atau membahas masalah, mengemukakan bukti teknis untuk menyetujui satu penyelesaian atau lainnya, dan mengakhiri perundingan dengan perjanjian atau perundingan tertentu yang memuaskan kedua belah pihak” (Betsil, 2008: 21).

2.1.5 Sengketa Internasional

Hubungan-hubungan internasional yang diadakaan antar negara, negara dengan individu, negara dengan organisasi internasional atau pun negara dengan perusahaan transnasional dan multinasional tidak selamanya terjalin dengan baik. Seringkali hubungan itu menimbulkan sengketa di antara mereka. Sengketa dapat


(33)

bermula dari berbagai sumber potensi sengketa. Sumber potensi sengketa antar negara dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, serta masalah tuduhan terhadap suatu negara yang di duga melakukan dumping, tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban suatu pihak dalam perjanjian, masalah nasionalisasi suatu perusahaan asing, adalah sedikit contoh kasus yang timbul dalam hubungan-hubungan ekonomi antar negara. Oleh karena itu hukum internasional memainkan peran dalam penyelesaiannya (Sefriani, 2009 : 321).

2.1.5.1 Definisi Sengketa Internasional

Sengketa (dispute) menurut Merrils adalah ketidaksepahaman mengenai sesuatu. Adapun John Collier & Vaughan Lowe membedakan antara sengketa (dispute) dengan konflik (conflict) adalah:

" Sebuah perselisihan yang spesifik mengenai soal fakta, hukum atau kebijakan di mana klaim atau pernyataan dari salah satu pihak mendapat penolakan, gugatan balik dari pihak lain” (Sefriani, 2009 : 322).

Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility) antara pihak-pihak yang sering kali tidak fokus. Dengan demikian, setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan sebagai sengketa.

Huala Adolf, dalam bukunya yang berjudul Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional menjelaskan bahwa Mahkamah Internasional (International Court of Justice) berpendapat bahwa sengketa internasional adalah suatu situasi di mana antara subjek hukum internasional mempunyai pandangan yang bertentangan


(34)

mengenai dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian. Dalam Case Concerning East Timor (Portugal dan Australia), Mahkamah Internasional / International Court of Justice (ICJ) menetapkan 4 kriteria sengketa yaitu (Adolf, 2004 : 2) :

1. Didasarkan pada kriteria-kriteria objektif. Maksudnya adalah dengan melihat fakta-fakta yang ada. Contoh: Kasus penyerbuan Amerika Serikat dan Inggris ke Irak

2. Tidak didasarkan pada argumentasi salah satu pihak. Contoh: USA vs. Iran 1979 (Iran case). Dalam kasus ini Mahkamah Internasional dalam mengambil putusan tidak hanya berdasarkan argumentasi dari Amerika Serikat, tetapi juga Iran.

3. Penyangkalan mengenai suatu peristiwa atau fakta oleh salah satu pihak tentang adanya sengketa tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa tidak ada sengketa. Contoh: Case Concerning the Nothern Cameroons 1967 (Cameroons vs. United Kingdom). Dalam kasus ini Inggris menyatakan bahwa tidak ada sengketa antara Inggris dan Kamerun, bahkan Inggris mengatakan bahwa sengketa tersebut terjadi antara Kamerun dan PBB. Dari kasus antara Inggris dan Kamerun ini dapat disimpulkan bahwa bukan para pihak yang bersengketa yang memutuskan ada tidaknya sengketa, tetapi harus diselesaikan/diputuskan oleh pihak ketiga.

4. Adanya sikap yang saling bertentangan/berlawanan dari kedua belah pihak yang bersengketa.


(35)

Secara sederhana sengketa internasional adalah sengketa yang melibatkan subyek-subyek hukum internasional. Subyek-subyek hukum internasional berdasarkan berbagai konvensi internasional antara lain (Adolf, 2004 : 3):

1. Negara;

2. Tahta Suci Vatikan. 3. Organisasi Internasional; 4. Palang Merah Internasional; 5. Kelompok Pemberontak; 6. Perusahaan Multinasional; 7. Individu;

Istilah sengketa-sengketa internasional (International Disputes) mencakup bukan saja sengketa-sengketa antara negara-negara, melainkan juga kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan internasional, yakni beberapa kategori sengketa tertentu antara negara di satu pihak dan individu-individu, badan-badan korporasi serta badan-badan bukan negara di pihak lain (Starke, 2006 : 645) .

Secara garis besarnya sengketa internasional memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Sengketa internasional yang melibatkan subjek hukum internasional (a Direct International Disputes), Contoh: Toonen vs. Australia. Toonen menggugat Australia ke Komisi Tinggi HAM PBB karena telah mengeluarkan peraturan yang sangat diskriminasi terhadap kaum Gay dan Lesbian. Dan menurut Toonen pemerintah Australia telah melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 26 ICCPR. Dalam kasus ini Komisi Tinggi


(36)

HAM menetapkan bahwa pemerintah Australia telah melanggar Pasal 17 ICCPR dan untuk itu pemerintah Australia dalam waktu 90 hari diminta mengambil tindakan untuk segera mencabut peraturan tersebut.

2. Sengketa yang pada awalnya bukan sengketa internasional, tapi karena sifat dari kasus itu menjadikan sengketa itu sengketa internasional (an Indirect International Disputes). Suatu perisitiwa atau keadaan yang bisa menyebabkan suatu sengketa bisa menjadi sengketa internasional adalah adanya kerugian yang diderita secara langsung oleh WNA yang dilakukan pemerintah setempat. Contoh: kasus penembakan WN Amerika Serikat di Freeport.

Sedangkan yang menjadi penyebab terjadinya sengketa internasional adalah sebagai berikut :

1. Pelanggaran terhadap hukum internasional

2. Salah satu subjek hukum internasional dengan sengaja melanggar hak atau kepentingan subjek hukum yang lain

3. Perbedaan kepentingan juga sering memicu terjadinya sengketa internasional

4. Sengketa internasional dapat terjadi karena salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya dan/atau adanya perbedaan tafsir di dalam perjanjian-perjanjian yang telah di sepakati oleh para pihak

5. Terjadinya perebutan sumber-sumber dan pengaruh ekonomi 6. Adanya intervensi terhadap kedaulatan suatu negara tertentu 7. Menghina harga diri suatu bangsa


(37)

8. Ketidaksamaan cara pandang terhadap garis perbatasan wilayah antarnegara yang belum dituntaskan melalui mekanisme perundingan 9. Adanya peningkatan persenjataan serta eskalasi militer suatu negara 10.Kesalahpahaman antarnegara yang bertetangga karena adanya eskalasi

aksi terorisme lintas negara serta gerakan separatisme (Starke, 2006 : 647-649).

2.1.5.2 Instrumen Penyelesaian Sengketa

Dalam interaksi sesama manusia, sengketa adalah hal yang lumrah terjadi. Sama halnya dengan interaksi antar negara, namun ini bukan berarti segala sengketa yang terjadi dapat ditoleril dan dibiarkan terjadi begitu saja tanpa adanya upaya penyelesaian. Adanya subjek-subjek hukum internasional beserta perjanjian-perjanjian internasional, baik secara bilateral, regional, maupun multilateral merupakan reaksi dalam penyelesaian sengketa yang terjadi. Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik. Cara-cara kekerasan yang digunakan tersebut akhirnya direkomendasikan untuk tidak digunakan lagi semenjak lahirnya The Hague Peace Conference pada tahun 1899 dan 1907, yang kemudian menghasilkan Convention on the Pacific Settlement of International Disputes 1907. Namun karena sifatnya yang rekomendatif dan tidak mengikat, konvensi tersebut tidak mempunyai kekuatan memaksa untuk melarang negara-negara melakukan


(38)

kekerasannsebagainmetodenpenyelesaiannsengketan(http://unic.jakarta.org/2015/ Peyelesaian-sengketa-dalam-piagam-PBB%20/ / di akses pada tanggal 16 Maret 2015 ).

2.1.5.2.1 Penyelesaian Sengketa Secara Diplomatik

Penyelesaian sengketa dalam piagam PBB dijelaskan dalam pasal 33 Piagam PBB yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa.

2.1.5.2.1.1 Negosiasi

Negosiasi merupakan cara yang pertama kali dan paling banyak digunakan pihak-pihak bersengketa dalam penyelesaian sengketa internasional. Cara ini diakui sebagai cara yang simple dan mudah dibandingkan cara-cara yang lain. tidak ada tata cara khusus untuk melakukan negosiasi, dapat dilakukan bilateral, multilateral, formal maupun informal. Namun akan sulit melakukan negosiasi bila antar pihak yang bersengketa tidak memiliki hubungan diplomatik atau saling tidak mengakui eksistensi masing-masing sebagai subjek hukum internasional.

Negosiasi dipandang simple dan mudah untuk dilaksanakan sering mengalami kegagalan. Beberapa faktor penyebab kegagalan itu antara lain misalnya apabila salah satu pihak menolak untuk melakukan negosiasi. Faktor kegagalan yang lain adalah adanya upaya salah satu pihak untuk menghentikan negosiasi dengan cara mengajukan penundaan tanpa batas waktu, serta mengabaikan prosedur yang telah disepakati.


(39)

Beberapa kelemahan penggunaan cara negosiasi adalah:

1. Bila kedudukan pihak-pihak yang bernegosiasi tidak seimbang

2. Kadang-kadang sangat mebutuhkan waktu yang lama untuk mengajak pihak lain mau bernegosiasi

3. Jika salah satu pihak kontra produktif (Sefriani, 2009 : 328)

2.1.5.2.1.2 Penyelidikan (Inquiry)

Fungsi dari inquiry adalah untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan mencari kebenaran fakta, tidak memihak, melalui investigasi secara terus menerus sampai fakta yang disampaikan salah satu pihak dapat diterima oleh pihak yang lain. negara dan organisasi sering kali menggunakan inquiry.

Inquiry dapat dilaksanakan oleh suatu komisi yang permanen. Individu maupun organisasi terpilih untuk memberikan expert-opinion-nya. Tugas komisi pencari fakta terbatas hanya untuk memberikan pernyataan menyangkut kebenaran fakta, tidak berwenang memberikan suatu putusan. Seperti negosiasi. Good officer juga mediasi, inquiry juga mensyaratkan kesepakatan para pihak yang bersengketa untuk menggunakan cara inquiry. Dalam praktik komisi pencari fakta mengalami kesulitan ketika negara teritorial tempat akan dilakukannya penyelidikan atau investigasi tidak mau berkerja sama atau kurang kooperatif (Collier & Lowe, 2000 : 26).


(40)

2.1.5.2.1.3 Mediasi

Sama halnya dengan jasa baik, mediasi melibatkan keikutsertaan pihak ketiga (mediator) yang netral dan independen dalam suatu sengketa. Tujuannya adalah untuk menciptakan adanya suatu kontak atau hubungan langsung di antara para pihak. Mediator bisa negara, individu, organisasi internasional, dan lain-lain.

Para mediator ini dapat bertindak baik atas inisiatifnya sendiri, menawarkan jasanya sebagai mediator, atau menerima tawaran untuk menjalankan fungsinya atas permintaan dari salah satu atau kedua belah pihak yang bersengketa dalam hal ini, agar mediator berfungsi, diperlukan kesepakatan atau konsensus dari para pihak sebagai prasyarat utama.

Dalam menjalankan fungsinya mediator tidak tunduk pada suatu aturan hukum acara tertentu. Ia bebas menentukan bagaimana proses penyelesaian sengketa berlangsung. Peranannya tidak semata-mata mempertemukan para pihak agar bersedia berunding, tetapi ia juga terlibat dalam perundingan dengan para pihak dan bisa pula memberikan saran-saran atau usulan penyelesaian sengketa. Bahkan mediator dapat pula berupaya mendamaikan para pihak (Collier & Lowe, 2000 : 28).

2.1.5.2.1.4 Konsiliasi

Sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibanding mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi konsiliasi


(41)

yang dibentuk oleh para pihak. Komisi tersebut bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan-persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun putusannya tidaklah mengikat para pihak.

Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa (yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya (Bindschedler dalam Adolf, 2004 : 35).

2.1.5.2.1.5 Jasa-Jasa Baik (Good Offices)

Jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui keikutsertaan jasa pihak ke-3. Tujuan jasa baik ini adalah agar kontak langsung di antara para pihak tetap terjamin. Tugas yang diemban yaitu mempertemukan para pihak yang bersengketa agar mereka mau berunding. Cara ini biasanya bermanfaat manakala para pihak tidak mempunyai hubungan diplomatik atau hubungan diplomatik mereka telah berakhir. Pihak ketiga ini bisa negara, orang perorangan (seperti mantan kepala negara) atau suatu organisasi, lembaga atau badan internasional, misalnya Dewan Keamanan PBB.

Keikutsertaan pihak ke-3 memberikan jasa-jasa baik memudahkan pihak yang bersengketa untuk bersama-sama mempercepat perundingan diantara mereka. Setiap pihak yang bersengketa dapat meminta kehadiran jasa-jasa baik,


(42)

namun pihak lainnya tidak berkewajiban untuk menerima permintaan tersebut dengan kata lain, permintaan tersebut tidak mengikat dan tidak boleh dipandang sebagai tindakan yang tidak bersahabat.

Hak untuk menawarkan jasa baik oleh suatu organisasi, negara, atau perorangan berasal dari hukum kebiasaan internasional. Dalam hal jasa baik dilaksanakan oleh negara maka sumber hak tersebut ada pada kedaulatan negara untuk menawarkan jasa baik. Hak-hak untuk menawarkan tersebut berlaku juga terhadap pihak-pihak lainnya untuk menolak tawaran tersebut (Behrens dalam Adolf, 2010 : 240).

2.1.5.2.2 Penyelesaian Sengketa Secara Hukum 2.1.5.2.2.1 Arbitrase Internasional

Black’s Law Dictionary memberikan pengertian Arbitrase adalah suatu referensi terhadap penyelesaian sengketa yang dialihkan kepada orang ketiga yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa yang telah disetujui sebelumnya di awal perjanjian untuk mematuhi apa yang diputuskan arbiter setelah arbiter mendengar kesempatan kedua belah pihak menyampaikan pendapatnya. Pengaturan ini termasuk untuk menerima dan mematuhi keputusan orang ketiga yang dipilih tersebut dalam menyelesaikan sengketa, tidak membawa sengketa ke pengadilan yang dimaksudkan untuk menghindari formalitas, penundaan, biaya dan perpajakan litigasi biasa. Pada dasarnya arbitrase dapat terwujud dalam dua bentuk, yaitu:


(43)

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuatpara pihak sebelum timbul sengketa (Factum De Compromitendo): atau

2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis) (Merrills dalam Adolf, 2010 : 68). Di dalam Factum De Compromitendo, para pihak yang membuat kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul melalui forum arbitrase. Perjanjian arbitrase ini melekat pada suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, merupakan bagian dari suatu perjanjian tertentu, maka disebut Klausul arbitrase (Harahap, 2003 : 65).

Arbitrase internasional dapat pula diberikan pengertian, yaitu arbitrase yang ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya bersifat internasional. Suatu arbitrase dianggap internasional apabila para pihak pada saat dibuatnya perjanjian yang bersangkutan mempunyai tempat usaha mereka (place of business) di negara-negara berbeda. Misalnya salah satu pihak memiliki tempat usaha di Amerika, dan pihak lain memiliki tempat usaha di Indonesia. Jika terjadi perselisihan di antara mereka, dan mereka memilih cara penyelesaian melalui arbitrase, maka arbitrase ini tergolong arbitrase internasional.

Hukum internasional telah mengenal arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan badan arbitrase yang telah terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc. Meskipun dianggap sebagai


(44)

penyelesaian sengketa internaisonal melalu jalur hukum, keputusan yang dihasilkan oleh badan arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan mengikat masing-masing pihak, meskipun sifat putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat (Usman, 2003 : 120).

Sesuai ketentuan yang berlaku bahwa putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh arbiter diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Penyerahan dan pendaftaran tersebut dilaksanakan dengan cara melakukan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan selanjutnya catatan tersebut menjadi akta pendaftaran. Pencatatan ini menjadi satu-satunya dasar bagi pelaksanaan putusan arbitrase tersebut (Widjaja & Yani, 2002 : 102).

Z. Azikin Kusumah Atmadja dalam ceramahnya yang berjudul Enforcement Of Foreign Arbital Awards, pada seminar yang diadakan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia bersama dengan International Chamber of Commerce tanggal 13 September 1978 di Jakarta, mengartikan arbitrase sebagai “arbitrase adalah praktik regulasi diri yang dilakukan komunitas bisnis terhadap penyelesaian sengketa” (Usman, 2003 : 122).

Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan


(45)

perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanamannmodal,nindustrindannhaknmiliknintelektualn(http://jdih.bpk.go.id/wp

‐content/uploads/2011/03/Arbitrase.pdf / di akses pada tanggal 11 Mei 2015).

2.1.5.2.2.2 Pengadilan Internasional

Ada beberapa pengadilan internasional antara lain international court of justice (ICJ), Permanent Court of International of Justice (PCIJ), International Tribunal for the Law of the Sea, berbagai Ad Hoc tribunal, juga International Criminal Court (ICC). ICJ yang merupakan suksesor PCIJ adalah pengadilan yang mengadili sengketa antarnegara dibidang hukum internasional. Mahkamah hukum laut internasional atau International Tribunal for the Law of the Sea khusus mengadili sengketa di bidang hukum laut internasional. Adapun ICC dan beberapa Ad Hoc tribunal adalah pengadilan untuk mengadili individu, terdakwa yang diduga telah melakukan kejahatan internasional (international crime). ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma 1998. Pengadilan ini dapat melaksanakan fungsinya tahun 2002 setelah terkumpul 60 piagam ratifikasi. Adapun beberapa tribunal ad hoc yang sempat terbentuk antara lain adalah military tribunal untuk mengadili para pelaku kejahatan perang dari Jerman dan Jepang pasca Perang Dunia II yang dibentk atas kesepakatan negara-negara pemenang perang dalam Perang Dunia II.

International Court of Justice (ICJ) merupakan salah satu organ utama Perserikatan Bagsa-Bangsa (PBB) yang dibentuk oleh masyarakat bangsa-bangsa


(46)

pada tahun 1945. Organ ini di atur oleh statuta mahkamah internatonal yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perserikatan Bagsa-Bangsa (PBB). Setiap anggota Perserikatan Bagsa-Bangsa (PBB) secara otomatis menjadi anggota statuta. Meskipun demikian, tidak ada kewajiban bagi tiap anggota PBB membawa sengketa mereka ke depan International court of justice (ICJ). ICJ pun tidak memiliki yurisdiksi wajib pada setiap anggota PBB.

International Court of Justice (ICJ) sering dianggap sebagai cara utama penyelesaian sengketa hukum antarnegara. Yurisdiksi mahkamah sangat tergantung pada kesediaan para pihak membawa kasussnya ke mahkamah. Anggota masyarakat internasional jarang sekali menyelesaikan kasusnya di depan ICJ karena beberapa faktor:

1. Proses melalui ICJ hanya ditempuh sebagai jalan terakhir, apabila semua jalan lain mengalami kemacetan.

2. Proses melalui ICJ memakan waktu yang lama dan biaya yang cukup tinggi, karena biasanya hanya kasus-kasus besar yang dibawa ke ICJ. 3. ICJ tidak memiliki yurisdiksi wajib (Sefriani, 2009 : 325-347)

2.1.6 Sengketa Ekonomi

Hubungan-hubungan ekonomi internasional yang diadakan di antara negara-negara tidak selamanya berjalan mulus. Sengketa dalam bidang ekonomi internasional dapat timbul karena berbagai bentuk dan alasan yang menyebabkan timbulnya sengketa ekonomi (Taylor dalam Adolf, 2010 : 229).


(47)

Masalah tuduhan terhadap suatu negara atau subjek hukum internasional yang diduga melakukan dumping, tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban suatu pihak dalam perjanjian, masalah nasionalisasi suatu perusahaan asing, adalah sedikit contoh kasus yang timbul dalam hubungan-hubungan ekonomi internasional (Merrills dalam Adolf, 2010 : 229).

Sengketa ekonomi adalah konflik yang terjadi dalam kaitannya dengan produksi dan operasi bisnis antara pemerintah dan organisasi, organisasi dan organisasi lainnya, organisasi dan individu, dan individu dan individu lain, baik domestik maupun luar negeri (Merrills dalam Adolf, 2010 : 231)

2.1.7 Divestasi Saham

Menurut Pasal 1 angka 8 PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, divestasi saham adalah jumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia. Pengertian divestasi menurut Antoni K. Muda dalam kamus lengkap ekonomi menyatakan sebagai sebuah proses atau pelepasan investasi seperti pelepasan saham oleh pemilik saham lama, tindakan penarikan kembali penyertaan modal yang dilakukan perusahaan model ventura dari pasangan usahanya (Muda, 2003 : 117).

Divestasi saham merupakan salah satu instrumen hukum dalam melakukan pengalihan saham dari penanaman modal asing atau investor asing kepada Pemerintah Indonesia, atau warga negara Indonesia, atau badan hukum Indonesia. Divestasi tidak hanya dapat dilakukan oleh badan hukum privat seperti perseroan


(48)

terbatas, firma, CV, tetapi dapat juga dilakukan oleh badan hukum publik seperti negara, provinsi, kabupaten atau kota. Dalam melakukan transaksi yang bersifat privat, badan hukum publik diwakili oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Menurut Flickinger, terdapat dua alasan dilakukannya divestasi oleh perusahaan yaitu:

1. Meningkatkan efisiensi; dan

2. Peningkatan pengelolaan investasi (Salim, 2010: 34-35).

Pada dasarnya divestasi bukanlah terminologi hukum melainkan terminologi ekonomi yang menyebutkan bahwa divestasi (divestment) adalah penyertaan/pelepasan sebuah investasi, seperti saham oleh pemilik saham lama, tindakan penarikan kembali penyertaan modal yang dilakukan perusahaan model ventura dari perusahaan pasangan usahanya. Definisi lain tentang divestasi saham adalah pelepasan, pembebasan dan pengurangan modal. Disebut juga divestment yaitu kebijakan terhadap perusahaan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh investor asing untuk secara bertahap tapi pasti mengalihkan saham-sahamnya itu kepada mitra bisnis lokal atau proses yang mengakibatkan pengalihan saham dari peserta asing kepada peserta nasional. Istilah lain untuk kebijakan yang di Indonesia disebut Indonesiasi saham. Dapat pula berarti tindakan perusahaan memecah konsentrasi atau penumpukan modal sahamnya sebagai akibat dari larangan monopoli (Antoni, 2003:117).


(49)

2.2 Kerangka Pemikiran

Kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara, merupakan suatu interaksi antar aktor yang melewati batas-batas negara. Selain itu terjadinya hubungan internasional merupakan suatu keharusan sebagai akibat adanya saling ketergantungan, hal ini dapat dilihat dari latar belakang Pemerintah Indonesia yang menjalin hubungan kerjasama dengan PT.Newmont Nusa Tenggara. Penanaman modal asing dengan PT. Newmont Nusa Tenggara yang masuk ke Indonesia saat rezim Orde Baru. Setelah cadangan minyak semakin menipis tahun 80-an, pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan yang intinya mendorong pemodal asing agar tertarik berinvestasi di Indonesia. Paket Kebijakan yang diluncurkan 2 Mei 1986 telah menarik Newmont Gold Company dari Amerika Serikat, perusahaan asing yang masuk ke sektor usaha pertambangan. Melalui interaksi ini memiliki ketergantungan atau interdependensi terhadap kedua belah pihak seperti yang dikemukakan oleh Perwita dan Yani.

Dari interaksi inilah dibuatnya perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam bentuk kontrak karya. Perjanjian internasional ini digolongkan perjanjian Treaty Contract karena perjanjian antara Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara berupa kontrak karya yang mengakibatkan adanya aturan yang mengatur hak dan kewajiban antara pihak yang mengadakan perjanjian yang tertuang dalam bentuk kontrak karya.

Dalam kontrak karya antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara yaitu berupa kerjasama investasi pertambangan. Kerjasama


(50)

internasional ini telah mempertemukan kepentingan-kepentingan dari kedua belah pihak yang tidak dapat dipenuhi sendiri seperti yang dikemukakan oleh Perwita dan Yani mengenai kerjasama internasional.

Kerjasama ini tidak berjalan sesuai yang kesepakatan yang ada di dalam kontrak karya yaitu adanya kelalaian dari PT. Newmont Nusa Tenggara yang telah gagal melaksanakan kewajiban divestasi, sehingga Pemerintah Indonesia menyatakan akan mengakhiri kontrak karya. Masalah ini merupakan sebuah perselisihan yang spesifik mengenai kebijakan PT. Newmont Nusa Tenggara yang tidak mendivestasikan saham, yang telah mendapat penolakan dari Pemerintah Indonesia sehingga perselisihan ini disebut sengketa seperti yang telah dikemukakan oleh John Collier & Vaughan Lowe. Dalam sengketa ini PT.NNT tidak melaksanakan kewajibannya sesuai yang terdapat dalam perjanjian,

Sengketa dalam kasus ini mengenai masalah divestasi saham antara pemerintah indonesia dengan PT. Newmon Nusa Tenggara yang dimana pihak PT.NNT harus melaksanakan kebijakan mengalihkan saham-saham yang dimiliki PT.NNT sebagai peserta asing kepada peserta nasional yaitu Pemerintah Indonesia.

Menurut Rachmadi Usman Seperti kasus yang di ambil oleh peneliti yaitu sengketa divestasi saham antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT), yang dimana PT. NNT adalah perusahaan milik Newmont Mining Corporation dari Amerika Serikat yang memiliki tempat usahanya di Indonesia.


(51)

Sengketa yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan PT. NNT, dalam penyelesaian sengketanya melalui arbitrase internasional yang merupakan cara pengakhiran sengketa yang telah disepakati antara pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara. Kesepakatan ini telah dituangkan dalam dokumen kontrak karya PT. Newmont Nusa Tenggara. Cara yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa itu adalah melaui Badan Arbitrase Internasional UNCITRAL di New York.

UNCITRAL merupakan suatu Organisasi Internasional yang mempunyai tujuan dan fungsi khusus yakni mengurangi perbedaan-perbedaan hukum di antara negara-negara anggota yang dapat menjadi rintangan bagi perdagangan internasional dan menangani Masalah Perdagangan Internasional dengan tujuan untuk mengharmonisasikan dan melakukan unifikasi hukum yang fokus ke perdagangan internasional serta menyelesaikan sengketa antar aktor internasional melalui arbitrase dengan struktur organisasi yang jelas serta mampu melaksanakan tugas dan fungsinya dengan aktor-aktor lainnya. Seperti definisi yang dijelaskan oleh T. May Rudy.

Berdasarkan konsep klasifikasi dari Clive Archer bahwa UNCITRAL diartikan sebagai pelaku peranan, dalam hal ini organisasi internasional yang terklasifikasi dalam kategori International Governmental Organizations (IGO) yang kemudian didalamnya terdapat mekanisme kerja tersendiri yang dijalankan untuk memenuhi tugas dan fungsinya itu sendiri.

Melihat dari keanggotaan dan tujuan yang dimiliki, United Nations Commision on Internasional Trade Law (UNCITRAL) termasuk dalam IGO, dan


(52)

keanggotaannya umum dengan tujuan terbatas ( general membership and limited purpose) yang juga dikenal sebagai organisasi fungsional karena bergerak dalam bidang yang spesifik yaitu mengenai hukum perdagangan serta penyelesaian sengketa melalui konsiliasi dan arbitrase.

Berdasarkan konsep aktivitas dari Rossenau dan Kenneth UNCITRAL diklarifikasikan kedalam low politics dalam aktivitas bidang sengketa ekonomi, karena dari fungsi UNCITRAL sendiri yaitu penyelesaian sengketa melalui konsiliasi dan arbitrase.

Menurut Leroy Bennet tentang peranan dari organisasi, dapat dijelaskan bahwa UNCITRAL merupakan organisasi internasional yang berperan sebagai aktor hubungan internasional karena UNCITRAL sebagai wadah atau instrument bagi koalisi antar anggota atau koordinasi kebijakan antar pemerintah dan mengatur hubungan antar aktor dan menyediakan jalur penyelesaian apabila timbul masalah dalam penelitian ini UNCITRAL berperan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase antara Pemerintah Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara.

Dalam penelitian ini UNCITRAL selaku lembaga arbitrase internasional dapat menyelesaikan sengketa divestasi saham antara Pemerintah Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara. UNCITRAL yang juga menjadi aktor independen dapat membuat keputusan- keputusan sendiri tanpa dipengaruhi oleh kekuasaan atau paksaan dari luar organisasi, hal ini dapat dilihat dari awal sengketa ini dimulai Pemerintah indonesia menggugat PT. Newmont Nusa Tenggara ke UNCITRAL yang menjadi subyek hukum sebagai badan hukum yang dapat


(53)

mempunyai hak dan kewajiban menyelesaikan sengketa bagi pihak-pihak yang terlibat didalamnya dengan membentuk Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) berdasarkan aturan dari UNCITRAL untuk menjalankan hak dan kewajibannya dalam menyelesaikan sengketa.


(54)

(55)

(1)

PENDIDIKAN FORMAL

No. Tahun Uraian Keterangan

1. 2010-2015 Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia, Bandung

2. 2007-2010 SMA Negeri 1 Kupang Berijazah 3. 2004-2007 SMP Negeri 2, Kupang Berijazah 4. 1999-2004 SD Negeri Bonipoi 1 Kupang Berijazah

PENDIDIKAN NONFORMAL

No. Tahun Uraian Keterangan

1. 2014-2015 Kursus bahasa Inggris di

General Course - Balai Bahasa UPI

Bersertifikat

2. 2011 Table Manners Course di Hotel Savoy Homann Bidakara, Bandung

Bersertifikat

3. 2007 Kursus bahasa Inggris di Universitas Nusa Cendana

PENGALAMAN ORGANISASI

No. Tahun Uraian Keterangan

1. 2011-2012 Anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Basket Unikom

- 2. 2011-2012 Wakil Ketua HIMA HI Unikom -

3. 2011-2012 Ketua UKM Basket Unikom -

4. 2012-2013 Ketua UKM Basket Unikom -

PENGALAMAN KEGIATAN

No. Tahun Uraian Keterangan

1. 2010 Panitia Musyawarah besar Mahasiswa Hubungan Internasional

Berserifikat

2. 2010 Peserta Malam Keakraban Mahasiswa Hub Internasional di Bumi Perkemahan Jayagiri, Bandung


(2)

3. 2010 Peserta Temu Kenal Mahasiswa Baru 2010 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia

Bersertifikat

4. 2011 Panitia Open House Universitas Komputer Indonesia

- 5. 2011 Panitia Bakti Sosial HIMA IHI

Universitas Komputer Indonesia

- 6. 2012 Panitian Malam Keakraban

Mahasiswa Hub. Internasional di Lembang, Bandung

-

5. 2012 Panitian Open House

Universitas Komputer Indonesia

-

KEAHLIAN/BAKAT No. Uraian

1. Operasionalisasi Microsoft Office 2. Bahasa Inggris Aktif & Pasif

Bandung, 26 Agustus 2014 Hormat saya,


(3)

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT, beserta tidak lupa junjungan shalawat dan salam kepada Nabi Besar Muhamad SAW atas limpahan rahmat dan magfirahnya peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini, peneliti menyadari dalam penyusunan skripsi ini,ditemui berbagai macam keterbatasan yang disebabkan kemampuan peneliti, disertai doa dan usaha, serta pertolongan Allah swt melalui jalannya penelitian ini dapat diselesaikan sebagaimana yang diharapkan.

Untuk Mama dan Papa tercinta terima kasih telah menjadi motivasi terbesar dan terima kasih untuk segala doa dan dukungan baik moral dan materil serta terima kasih atas segala-segalanya yang tidak dapat terbalaskan. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari pihak-pihak yang telah mendoakan, mendukung, dan membantu dalam penyusunan skripsi, peneliti tidak dapat menyelesaikan skripsi ini, oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Yth. Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo., Drs., M.A, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia yang telah memberikan arahan serta restu untuk melakukan penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Yth. Bapak Andrias Darmayadi, S.IP., M.Si., Ph.D Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional UNIKOM, Dosen Wali Mahasiswa Angkatan 2010, sekaligus Dosen Pembina UKM Basket yang


(4)

iv

mengharapkan untuk tidak lulus di semester ini sehingga menjadikan motivasi dalam penyelesaian skripsi dan juga memberikan pengarahan penyusunan skripsi serta arahan penelitian hingga pengesahan pada skripsi ini untuk disidangkan.

3. Yth. Bapak Budi Mulyana, S.IP.,M.Si,. selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan waktu, arahan, dan dukungan yang sangat besar dalam penyusunan skripsi hingga skripsi ini dapat terselesaikan serta memberikan begitu banyak ilmu pengetahuan dan wawasan, selama menjalani perkuliahan.

4. Yth. Seluruh Ibu Dosen Ilmu Hubungan Internasional Ibu Dewi Triwahyuni, S,IP.,M.Si dan Ibu Sylvia Octa Putri S.IP yang telah memberikan bimbingan serta pengarahan selama menjadi perkuliahan selama sepuluh semester terakhir. Terimakasih atas kesabaran ibu-ibu dosen selama ini dalam membimbing peneliti untuk mendapatkan ilmu-ilmu terbaik di bidang keilmu-ilmuan Hubungan Internasional.

5. Yth. Teteh Dwi Endah Susanti,S.E , Sekjur terbaik dan tercantik yang telah membantu peneliti dalam administrasi selama berkuliah di UNIKOM dan selama proses penyusunan skripsi.

6. Yth. Subdirektorat Biro Hukum & Humas Kementerian Energi Sumber Daya & Mineral yang telah memberikan kesempatan wawancara dan memberikan data yang diperlukan peneliti.

7. Yth. Pihak PT. Newmont Nusa Tenggara yang telah memberikan kesempatan wawancara terkait penelitian.


(5)

v

8. Kepada kakak dan adik-adik tercinta, Bona, Maman & Ijal yang meberikan motivasi dan doanya untuk menyelesaikan penelitian secepat mungkin.

9. Sahabat-sahabat keren GGC, Gani, Toing, Rizal, Omes, Alfaron, Bang Adi, Ade, Faisal, Verdi, Ande, terimakasih atas kebodohan, keidiotan, dan keanehan kalian yang telah selama ini menjadi cerminan buruk beribu dosa dan penghilang penat yang selalu membantu menyelesaikan masalah tanpa solusi.

10.Teman-teman LO Asia-African Conference, Kang Catra, Alfie, Arley, Tyo, Mitha, Made, Sonny, Ukhfi, dan Ricky yang selalu menjadi penghilang jenuh saat mengerjakan skripsi ini.

11.Sahabat-sahabat HI 2010, Eca, Gasong, Elin, Kika, Rizky, Rey, Rio, Herdi, Risa, Agnes, Nisa, Yoga, Zulfi, terimakasih atas kebersamaan kita selama ini yang sangat luar biasa, thanx a lot guys.

12. Teman-teman seperjuangan skripsi, Ade, Toing, Risa, dan Rey sebagai tempat bertukar pikiran dalam menyelesaikan skripsi.

13.Khusus kepada Dara, Eca, dan Herdy yang telah sangat banyak membantu mengenai teknis dalam pengerjaan skripsi ini.

14.Terakhir dan yang terbaik, Anggita Nur Fajrin. Sebagai motivasi Terimakasih, untuk semua dukungan moril, materil, tenaga, perhatian dan juga kesabaran selama pengerjaan skripsi ini. Terimakasih untuk selama


(6)

vi

ini menjadikan saat-saat terbaik yang pernah kita lewati dan insyaAllah akan terus ada tahun-tahun berikutnya.

Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih diperlukan penyempurnaan dari berbagai sudut, baik dari segi isi maupun pemakaian kalimat dan kata-kata yang tepat. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan penyusunan skripsi ini. Peneliti mengucapkan terimakasih atas saran dan kritik yang diberikan pembaca dan akan menerima saran dan kritik tersebut dengan hati terbuka. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, Agustus 2015