Struktur Penguasaan Lahan

F. Struktur Penguasaan Lahan

1. Sistem Sewa Sewa merupakan cara pengalihan hak garap melalui transaksi untuk waktu

yang tertentu dengan pembayaran uang tunai. Setelah habis waktu transaksi, tanah tersebut kembali kepada pemiliknya. Transaksi ini memberi kepada si penyewa yang tertentu dengan pembayaran uang tunai. Setelah habis waktu transaksi, tanah tersebut kembali kepada pemiliknya. Transaksi ini memberi kepada si penyewa

Nilai sewa dicerminkan oleh mekanisme pasar lahan dan mencerminkan produkstivitas lahan. Ada bentuk hak sewa tanah menurut adat di beberapa daerah di Indonesia, sewa tanah pertanian dikenal dengan beberapa istilah yang berbeda seperti di Tapanuli Selatan disebut “mengasi”, di Sumatera Selatan disebut “sewa bumi”, di Kalimantan disebut “cukai”, di Ambon disebut “sewa ewang”, dan di Bali disebut “paje”. Umumnya praktek sewa-menyewa tanah pertanian ini masih terjadi di daerah pedesaan dan pelaksanaannya didasarkan pada hukum adat msing-masing (Rachmat, 2010:99).

2. Sistem Gadai Menurut Sudiyat (1984) dalam Rachmat (2010:100), gadai adalah penyerahan

tanah untuk menerima sejumlah pembayaran uang secara tunai dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali. Sedangkan dari aspek hukum, gadai tanah adalah hubungan hukum seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut penebusan tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilim tanah yang menggadaikan.

3. Sistem Sumbatan/Gotong Royong Pada sistem gotong royong/sambatan, pemilik tanah umumnya menggarap

lahannya sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan teaga kerja dilakukan dengan sistem sambat sinambat, gotong royong atau tukar tenaga yang tidak memerlukan uang tunai. Sambatan dilakukan oleh masyarakat dengan sukarela tanpa mengharapkan upah atas pekerjaannya itu karena didasari oleh asas principle of reciprocity , yaitu siapa yang membantu tetangganya yang membutuhkan maka suatu saat pasti ia akan dibantu ketika sedang membutuhkan (Rachmat, 2010:102).

Dalam perkembangannya, terjadi pergeseran sistem gotong royong/sambatan menjadi sistem upah. Pergeseran ini tidak terlepas dari perkembangan kondisi dimana lapangan kerja semakin sempit dan tuntutan hidup makin tinggi, sehingga masyarakat/buruh membutuhkan uang tunai. Warga masyarakat yang dulunya murni bergotong royong menggarap sawah, kini sawah dijadikan lapangan pekerjaan dengan bekerja sebagai buruh tunai (Rachmat, 2010:102).

4. Sistem sakap/Bagi Hasil Sistem sakap adalah sistem perjanjian penggarapan lahan antara pemilik

dengan buruh dimana pembayaran dilakukan dengan sistem bagi hasil. Sistem sakap merupakan penyerahan sementara hak garap atas tanah kepada orang lain dengan perjanjian. Perjanjian dimaksud meliputi pembagian dalam beban biaya produksi terutama sarana produksi, curahan tenaga kerja, dan bagi hasil antara pemilik dan penyakap/penggarap (Rachmat, 2010:104).

Seiring dengan semakin tingginya nilai ekonomi lahan ( land rent ), kedudukan pemilik lahan semakin kuat dalam relasi sistem bagi hasil. Pemilik lahan yang lebih berkuasa untuk memutuskan sistem bagi hasil yang akan digunakan. Sistem bagi hasil yang berkembang di masyarakat bervariasi antar wilayah dan antar waktu, tergantung dari nilai relatif sumber daya lahan terhadap sumber daya manusia (Rachmat, 2010:102).

Dalam perkembangan sistem bagi hasil kita kenal istilah maropapat (bagi empat 1:3), marotelu (bagi tiga 1:2), dan maro (bagi dua 1:1). Pola maro dan meretelu banyak dijumpai di lahan sawah, sedangkan pola maropapat banyak digunakan dalam sistem bagi hasil di wilayah kering. Pada sistem maro, pemilik sawah ikut menanggung beban saprodi 50% dan tenaga kerja lainnya tanggungan penggarap. Pada sistem marotelu , semua saprodi dan tenaga kerja merupakan beban dari penggarap, dan hasil produksi dibagi tiga, yaitu sepertiga untuk pemilik, dan dua pertiga bagian penggarap (Rachmat, 2010:104).

G. Sistem Bagi Hasil Pertanian

1. Pengertian Bagi Hasil Sebelum menjelaskan pengertian perjanjian Bagi Hasil, perlu kiranya diketahui

pemakaian istilah dari perjanjian bagi hasil, karena ditiap daerah berbeda-beda penyebutannya seperti:

a. Mempaduoi (Minang kabau)

b. Toyo (Minahasa)

c. Tesang (Sulawesi)

d. Maro (1:1), Mertelu (1:2), ( Jawa Tengah).

e. Nengah (1:1), Jejuron (1:2), (Priangan) Menurut Sudiyat (1981) dalam iko (2008:12) selain tersebut di atas masih ada

istilah lain dibeberapa daerah antara lain:

a. Untuk daerah Sumatera

i . Aceh memakai istilah “mawaih” atau “Madua laba”(1:1)”bagi peuet” atau “muwne peuet”, “bagi thee”, bagi limong “dimana berturut-turut pemilik memperoleh bagian 1/4,2/3,1/5.

ii . Tanah gayo memakai istilah “mawah”(1:1), tanah alas memiliki istilah “Blah duo” atau “Bulung Duo”(1:1).

iii. Untuk Di Sumatera Utara, seperti Tapanuli Selatan memakai istilah “marbolam”,”mayaduai”.

iv . Sumatera Selatan untuk jambi memakai istilah “bagi dua”, “bagi tiga“, Palembang memakai istilah “ separoan “.

b. Untuk daerah Kalimantan

i. Banjar memakai istilah “ bahakarun”.

ii. Lawang memakai istilah “ sabahandi”.

iii. Nganjuk memakai istilah “bahandi”.

c. Daerah Bali Istilah umum yang dipakai adalah “nyakap”, tetapi variasi lain dengan

menggunakan sebutan “nondo” atau “nanding “ yang berarti “maro”, “nilon “, berarti mertelu (1:2 ),”muncuin”atau “ngepat-empat” berarti mrapat” (1:3) dan seterusnya, dimana merupakan bagian terkecil untuk penggarap .

d. Daerah Jawa Memakai istilah “nengah” untuk “maro”,”mertelu” .

e. Madura Memakai istilah “paron” atau “paroa” untuk separo dari produksi

sebidang tanah sawah sebagai upah untuk penggarap. Saragih (1984) dalam Iko (2008:14) menyatakan bahwa bagi hasil adalah hubungan hukum antara seorang yang berhak atas tanah dengan pihak lain (kedua), dimana pihak kedua ini diperkenankan mengolah tanah yang bersangkutan dengan ketentuan, hasil dari pengolahan tanah dibagi dua antara orang yang berhak atas tanah dan yang mengolah tanah itu.

Fungsi perjanjian bagi hasil ini menurut Saragih adalah untuk memelihara produktifkan dari tanah yang mengerjakan sendiri, sedang bagi pemaruh fungsi dari perjanjian adalah untuk memproduktifkan tenaganya tanpa memiliki tanah.

Sedangkan menurut Muhammad (2000) dalam Iko (2008:15) perjanjian bagi hasil adalah apabila pemilik tanah memberi izin kepada orang lain untuk mengerjakan tanahnya dengan perjanjian bahwa yang mendapat izin itu harus memberikan sebagian (separo kalo memperduai atau maro serta sepertiga kalo mertelu atau jejuron) hasil tanahnya kepada pemilik tanah.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan mengenai pengertian perjanjian bagi hasil, yaitu:

a. Terdapat hubungan hukum antara pemilik lahan dengan pihak penggarap tanah, sehingga timbul hak dan kewajiban para pihak.

b. Pemilim tanah dalam perjanjian bagi hasil memberi izin kepada orang lain sebagai penggarap untuk mengusahakan lahan dan hasilnya dibagi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.

c. Penggarap juga berkewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan lahan tersebut sebaik-baiknya.

2. Ketentuan Perjanjian Bagi Hasil dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil

a. Pengertian Bagi Hasil Perjanjian bagi hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang

diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam undang-undang ini disebut "penggarap" berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.

b. Latar Belakang Pengaturan Perjanjian Bagi Hasil Latar belakang terjadinya bagi hasil di kalangan masyarakat adalah karena:

i. Bagi pemilik tanah, yaitu (1) Mempunyai tanah atau lahan tetapi tidak mampu atau tidak mempunya kesempatan untuk mengerjakan tanah sendiri, (2) Keinginan mendapat hasil namun tidak mau susah payah dengan memberi kesempatan orang lain untuk mengerjakan tanah miliknya.

ii. Bagi penggarap, yaitu (1) Tidak atau belum mempunyai tanah garapan dan atau belum mempunyai pekerjaan, (2) Kelebihan waktu bekerja karena memiliki tanah terbatas luasnya tanah sendiri tidak cukup dan , (3) Keinginan mendapatkan tambahan hasil garapan.

c. Hak dan Kewajiban Para Pihak

i. Pemilik tanah berhak (1) bagi hasil tanah ditetapkan menurut besarnya imbangan yang telah ditetapkan bagi tiap-tiap daerah oleh Bupati Kepala Daerah yang bersangkutan. (2) Menerima kembali tanahnya dari penggarap bila jangka waktu perjanjian bagi hasil tersebut telah berakhir. Kewajiban pemilik tanah adalah menyerahkan tanah yang i. Pemilik tanah berhak (1) bagi hasil tanah ditetapkan menurut besarnya imbangan yang telah ditetapkan bagi tiap-tiap daerah oleh Bupati Kepala Daerah yang bersangkutan. (2) Menerima kembali tanahnya dari penggarap bila jangka waktu perjanjian bagi hasil tersebut telah berakhir. Kewajiban pemilik tanah adalah menyerahkan tanah yang

ii. Hak penggarap adalah selama perjanjian berlangsung penggarap mengusahakan tanah yang bersangkutan dan menerima bagian dari hasil tanah sesuai dengan imbangan yang ditetapkan. Sedangkan kewajiban penggarap adalah menyerahkan bagian yang menjadi hak milik pemilik tanah kepadanya dan mengembalikan tanah pemilik apabila jangka waktu perjanjian bagi hasil berakhir.

d. Cara Pembagian Bagi Hasil

i. Sistem Maro (perjanjian bagi hasil dengan perbandingan 1:1) Ada beberapa macam sistem bagi hasil untuk penggarapan tanah: (Roll, 1983:103)

a. Para pemilik tanah menerima sejumlah uang sebelum tanah garapan diserahkan kepada para penggarap, dalam sistem ini biasanya disebut pemaro. Selain mendapat uang muka dari penggarap tanah yang merasakannya terlalu berat karena penghasilannya memang sedikit sekali, untuk setiap bidang tanah yang disewakan, pemilik tanah menerima 50% dari hasil panen dari tiap-tiap musim pemanenen. Ini berarti dalam jangka waktu setahun untuk tanah sawah menerima tiap kali 50% dari 2 kali hasil panen padi dan 50 % dari hasil panen palawija. Bagi si penggarap tanah, yang biasanya harus menyediakan alat-alat produksi lainnya, memperoleh sisa bagian 50% dari tiap hasil panen. Karena itu cara ini merupakan perpaduan dari sistem sewa tanah yang sebagiannya dibayar dengan setengah dari hasil panen dan sebagiannya lagi dengan uang.

b. Sebelum tanah mereka digarap, maka para pemilik tanah meminta dari penggarap tanah bukan sewa dalam bentuk uang, melainkan sewa dalam bentuk hasil tanah. Cara pembagian hasil dan pengadaan alat-alat produksi yang diperlukan sama dengan tipe

1a.

c. Pada permulaan sekali pemilik tanah meminta sebagian tertentu dari hasil kotor panen, biasanya 1/8 bagian dari para penggarap tanah supaya mereka memperoleh hak sepenuhnya atas tanah garapan. Sisa dari bagian yang sudah dikurangi 1/8 bagian dibagi antara ke-2 belah pihak. Si penggarapa tanah biasanya menanggung semua biaya dan pekerjaan yang berhubungan dengan pembagian hasil panen ini.

ii. Sistem Mertelu (perjanjian bagi hasil dengan perbandingan 1:2) Atas penyerahan tanah garapan mereka para pemilik tanah menerima 2/3 bagian dari hasil panen. Kadang-kadang mereka menyediakan bibit. Si penggarap tanah yang kebanyakan menanggung alat-alat produksi serta biaya-biaya lainnya memperoleh sisanya, yaitu 1/3 bagian dari hasil panen.

iii. Sistem Mrapat (Perjanjian bagi hasil dengan perbandingan 1:3) Tipe perjanjian bagi hasil ini mengikuti cara pembagian hasil panen antara pemilik tanah dengan penggarap tanah dengan perbandingan 3:1. Tunjangan para pemilik tanah bisa berupa berbagai macam alat produksi. Seringkali tunjangan mereka terbatas hanya pada tanah garapan dan bibit. Sebagian dari pemilik tanah juga menyediakan hewan penarik bajak dan menanggung biaya pekerjaan menanam dan panen. Dalam hal ini fungsi penggarap tanah terbatas pada pengaturan dan pelaksanaan penanaman dan panen serta pengawasan pada waktu tanaman sedang tumbuh. Oleh karena itu dalam keadaan demikian si penggarap tanah hanya merupakan buruh dengan kontrak kerja dengan pembagian hasil panen yang sedikit sekali.

Menurut Sudharyatmi, dkk (2000) dalam Iko (2008:16) besarnya imbangan bagi hasil yang menjadi hak pemilik atau penguasa tanah dan hak penggarap tidak ada ketentuan yang pasti dalam hukum adat. Hal ini tergantung pada persetujuan kedua belah pihak berdasarkan hukum adat yang berlaku didaerah itu, misalnya :

 Di daerah Minangkabau (Sumatera Barat) perjanjian bagi hasil dikenal dengan istilah “memperduai “ atau “babuek sawah urang “ dalam kenyataanya dilakukan secara lisan dihadapan kepala adat. Imbangan hasil tergantung pada kesuburan tanah, penyediaan bibit, jenis tanaman dan sebagainya. Apabila bibit disediakan oleh pemilik tanah maka hasilnya dibagi dua antara pemilik tanah dan penggarap tanpa memperhitungkan nilai, benih serta pupuk, lain halnya apabila tanah kering atau sawah ditanami palawija, dimana pemilik tanah menyediakan bibit dan pupuk, maka hasilnya di bagi dua, akan tetapi dengan memperhitungkan harga bibit dan pupuk. Perjanjian ini disebut dengan “ sadua bijo”.

 Di daerah jawa Tengah, perjanjian bagi hasil tergantung pada kualitas tanah, macam tanaman, yang akan dikerjakan, serta

penawaran buruh tani. Jika kualitas tanah baik, maka pemilik tanah akan memperoleh bagian hasil yang lebih besar dari pada penggarap ketentuan bagi hasilnya sebagai berikut :

- Pemilik tanah dan penggarap mendapat bagian yang sama besar ”maro”. - Pemilik tanah mendapat 2/3 bagian dari hasil panen, sedang penggarap memperoleh 1/3 bagian, yang disebut dengan “ mertelu”. - Pemilik tanah memperoleh 2/5 bagian, dari hasil panen, sedangkan penggarap memperoleh 1/3 bagian, dengan ketentuan bahwa yang menyediakan bibit pupuk dan obat-obatan serta mengolah tanahnya menjadi kewajiban penggarap. Perjanjian bagi hasil ini dikenal

d engan sebutan “merlima”(hasil penelitian didaerah tegal tahun 1988).

 Di Bali Selatan khususnya perjanjian bagi hasil ini disebut dengan istilah “ sakap menyakap”. Ketentuan–ketentuannya adalah sebagai berikut :

- Pemilik tanah dan penggarap memperoleh bagian yang sama, masing-masing setengah (nandu).

- Pemilik tanah mendapat 3/5 bagian dan penggarap mendapat 2/5 bagian disebut dengan”nelon”. - Pemilik tanah mendapat 2/3 bagian dan penggarap mendapat 1/3 bagian disebut dengan “ngapit”. - Pemilik tanah mendapat 3/4 bagian dan penggarap mendapat 1/4 bagian disebut “mrapat”.

 Di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, sistem bagi hasil dikenal dengan istilah “perbelahken atau melahi, yaitu perjanjian yang tidak tertulis dan dibuat hanya berdasarkan atas kepercayaan antara pemilik dengan penggarap. Di Tapanuli Selatan dikenal dengan sebutan “marbolah”, apabila bibit, pupuk dikeluarkan oleh penggarap, maka hasil dibagi 2 antara petani penggarap dengan pemilik tanah. Imbangan bagi hasil antara pemilik lahan dengan petani penggarap adalah dalam bentuk gabah.

Ketika panen, sebelum melakukan bagi hasil, biaya-biaya yang dibayarkan seperti benih, pupuk, obat-obatan, panen dikeluarkan terlebih dahulu. Setelah biaya yang dibayarkan dikeluarkan, pembagian hasil merupakan dari produksi yang didapatkan ketika panen. Perjanjian bagi hasil antara pemilik dengan penggarap adalah paroan atau bagi dua, maka jika produksi 100 kg, maka pembagian untuk pemilik adalah sebesar 50 kg dan penggarap 50 kg.

e. Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Jangka waktu atau lamanya perjanjian diatur dalam Pasal 4 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1960 yang menetapkan bahwa:

i. Perjanjian bagi hasil diadakan untuk jangka waktu yang dinyatakan didalam surat perjanjian bagi hasil. Dengan ketentuan bahwa untuk tanah sawah sekurang-kurangnya tiga tahun dan untuk tanah kering sekurang-kurangnya 5 tahun.

ii. Dalam hal-hal khusus yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda Agraria, Camat dapat mengizinkan diadakannya perjanjian ii. Dalam hal-hal khusus yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda Agraria, Camat dapat mengizinkan diadakannya perjanjian

iii. Jika pada waktu berakhirnya perjanjian bagi hasil, diatas tanah yang bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dapat dipanen, maka perjanjian tersebut berlaku terus sampai tanaman itu dapat dipanen. Tetapi perpanjangan itu tidak boleh lebih dari satu tahun. Perpanjangan ini cukup diberitahukan kepada kepala desa setempat, tidak perlu hasrus mengadakan perjanjian baru.

Yang dimaksud “tahun” disini adalah tahun tanaman, bukan tahun kalender. Dengan adanya ketentuan mengenai jangka waktu ini maka penggarap akan memperoleh tanah garapan dalam waktu yang layak, sehingga penggarap upayanya guna mendapatkan hsil yang semaksimal mungkin.

H. Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi Mutia Handayani (2006)

tentang Analisis Profitabilitas dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Menurut Luas dan Status Kepemilikan Lahan Di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor Jawa Barat, tujuan dari penelitian ini (1) Menganalisis biaya- biaya usahatani padi sawah berdasarkan status kepemilikan lahan dan luas garapan usahatani, (2) Menganalisis pendapatan usahatani padi sawah pada usahatani milik dan usahatani bukan milik serta pada usahatani milik luas dengan usahatani milik lahan sempit, (3) Menganalisis profitabilitas usahatani padi sawah menurut status kepemilikan lahan dan luas garapan usahatani. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis biaya, pendapatan dan profitabilitas (R/C rasio). Pada penelitian ini dibandingkan keadaan usahatani padi sawah menurut status kepemilikan lahan dan luas lahan garapan usahatani dengan data usahatani pada Musim Tanam II 2004/2005.

Dari hasil penelitian ini didapatkan kesimpulan (1) usahatani milik jauh lebih menguntungkan dibandingkan usahatani bukan milik (sakap). Hal ini dapat dilihat dari nilai R/C rasio pada usahatani milik yang lebih besar dari pada usahatani bukan milik (sakap). Kecilnya keuntungan yang diterima dari usahatani bukan milik (sakap) disebabkan karena petani penyakap harus membayar biaya bagi Dari hasil penelitian ini didapatkan kesimpulan (1) usahatani milik jauh lebih menguntungkan dibandingkan usahatani bukan milik (sakap). Hal ini dapat dilihat dari nilai R/C rasio pada usahatani milik yang lebih besar dari pada usahatani bukan milik (sakap). Kecilnya keuntungan yang diterima dari usahatani bukan milik (sakap) disebabkan karena petani penyakap harus membayar biaya bagi