Hukum Pidana Internasional

A. Hukum Pidana Internasional

Paling kurang sejak sidang-sidang Pengadilan Nuremberg, hukum pidana internasional telah mengakui dan mendefinisikan tanggung jawab individu dan korporasi atas tindakan penyertaan dan pembantuan ter- hadap pelanggaran hak asasi manusia. Setelah itu, Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia (ICTY) dan Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda (ICTR), dan juga badan-badan lain, telah memperkuat standard-standard tindakan penyertaan dan pembantuan dalam kejahatan.

Umum PBB”). 44 Jennings dan Watts, op. cit., hlm. 28; Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice, Dordrecht/ Boston/ London: �artinus Nijhoff, 1991, hlm. 338.

Eddie Sius Riyadi Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia

Standard sebagaimana Didefinisikan dalam Furundzija

Rumusan yang paling sering dirujuk dalam hal proses hukum terhadap tindakan penyertaan dan pembantuan diambil dari putusan ICTY 1998 dalam Penuntut vs. Furundzija. �eskipun statuta ICTY memasukkan sebuah larangan tentang kejahatan “penyertaan dan pembantuan”, namun ia tidak mendefinisikan apa itu “penyertaan dan pembantuan”. Karena itu, ICTY dalam sidang Penuntut vs. Furundzija “memeriksa hukum ke- biasaan internasional” untuk menentukan standard yang tepat. 45 Setelah menyelidiki praktik hukum internasional selama 50 tahun tentang per- soalan tersebut, ICTY kemudian menyimpulkan bahwa standard ke- biasaan tentang penyertaan dan pembantuan mengandung unsur-unsur berikut: (1) actus reus (perbuatan yang diprasyaratkan) dalam tindakan- tindakan perbantuan, dorongan, atau dukungan moral, yang memiliki efek

substansial pada pelaksanaan kejahatan hak asasi manusia; 46 (2) mens rea (unsur niat yang diprasyaratkan, mental state) yang diketahui bahwa per- buatan seseorang akan mendorong perbuatan pelanggaran yang di-

maksud. 47 ICTY kemudian mengulangi standard tersebut, yang menetap- kan para terdakwa bertanggung jawab atas tindakan penyertaan dan pem- bantuan di mana dengan sepengetahuan mereka sendiri mereka melaku- kan tindakan-tindakan berupa bantuan praktis, dorongan, atau dukungan moral kepada pelaku utama. 48

Actus Reus

Persyaratan actus reus bagi pertanggungjawaban atas tindakan penyertaan dan pembantuan dalam hukum pidana internasional dipenuhi oleh pelbagai tindakan atau perbuatan yang secara sengaja dan “langsung

mengakibatkan pelaksanaan kejahatan itu sendiri”. 49 Bantuan tersebut

45 Prosecutor v. Furundzija, ICTY Case No. IT-95-17/1-T (Trial Chamber Dec. 10, 1998), hlm. 191, tersedia di http://www.un.org/icty/furund�ija/trialc2/judgement/index.htm.

48 Prosecutor v. Blagojevic and Jokic , ICTY Case No. IT-02-60 (Trial Chamber Jan. 17, 2005), 726, tersedia di http://www.un.org/icty/blagojevic/trialc/judgement/index.htm. 49 Prosecutor v. Tadic, ICTY Case No. IT-94-1-T (Trial Chamber �ay 7, 1997), hlm. 678, tersedia di http:// 48 Prosecutor v. Blagojevic and Jokic , ICTY Case No. IT-02-60 (Trial Chamber Jan. 17, 2005), 726, tersedia di http://www.un.org/icty/blagojevic/trialc/judgement/index.htm. 49 Prosecutor v. Tadic, ICTY Case No. IT-94-1-T (Trial Chamber �ay 7, 1997), hlm. 678, tersedia di http://

tidak perlu menyebabkan tindakan pelaku utama, tetapi ia harus memiliki “efek substansial” pada perbuatan kejahatan yang dimaksud. Bantuan itu bisa saja diberikan berupa sebuah tindakan atau perbuatan, dan bisa saja

terjadi sebelum, selama atau setelah tindakan pelaku utama. 50 Untuk memahami persoalan ini secara lebih dalam lagi, konsep ke-

penyertaan harus dibagi ke dalam tiga kategori: kepenyertaan langsung, tidak langsung, dan diam-diri. Kepenyertaan langsung (direct complicity) adalah bentuk bantuan yang paling aktif dan paling jelas. �isalnya, sebuah perusahaan yang mendorong, atau membantu, relokasi paksa ter- hadap orang-orang di lingkungan-lingkungan tertentu yang menyebab- kan pelanggaran terhadap hukum hak asasi manusia internasional bisa dianggap telah terlibat secara langsung dalam pelanggaran yang dimaksud. 51

Setelah Perang Dunia II, Pengadilan Nuremberg menemukan bahwa tindakan langsung mencakupi tindakan-tindakan seperti me- rampas properti dan mesin-mesin dari kaum Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan, dengan cara yang sedemikian rupa sehingga membantu dan mendukung agresi Jerman yang ilegal itu. 52 Pengadilan Nuremberg menemukan bahwa direktur perusahaan pabrik Krupp bertanggung jawab karena membantu rejim Na�i di mana para terdakwa telah me- rampok dan merusak properti penduduk di wilayah-wilayah pendudukan,

www.un.org/icty/tadic/trialc2/judgement/index.htm; lihat juga A. Clapham dan S. Jerbi, “Categories of Corporate Complicity in Human Rights Abuses”, 24 Hastings Int’l & Comp. L. Rev. 339, 341 (2001).

50 Blagojevic and Jokic, op. cit ., hlm. 726; lihat juga Tadic, ibid., hlm. 23, 689, 691-92 (yang menyatakan bahwa tindakan salah mencakupi “partisipasi [yang] secara langsung dan substansial mempengaruhi pelaksanaan kejahatan tersebut dengan mendukung pelaksanaannya yang aktual sebelum, selama, atau setelah kejadian tersebut”).

52 The Farben Case , �ilitary Tribunal VI, Case 6: U.S. v. Krauch, dalam 8 Trials of War Criminals under Control Council Law No. 10, hlm. 1169 (1948) (Para terdakwa adalah direktur-direktur dari IG Farben, sebuah perusahaan kimia konglomerat besar Jerman. Dalam Perang Dunia II, sebuah bantuan Farben, memproduksi Zyklon B, gas beracun yang digunakan di kamp-kamp pembantaian. IG Farben juga mengembangkan proses mensintesiskan bensin dengan karet dari batu bara, dan dengan itu meningkatkan kemampuan Jerman dalam perang. Dakwaan yang ditimpakan kepada para direktur perusahaan tersebut adalah berupa tindakan persiapan perang yang agresif, selain juga praktik perbudakan buruh dan perampokan selama perang.)

Eddie Sius Riyadi Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia

dan mendeportasi dan menggunakan para tahanan perang dan kawanan kamp konsentrasi sebagai pekerja paksa.

Kepenyertaan tidak langsung (indirect complicity) bisa dikenakan pada pelbagai tindakan yang memiliki efek substansial pada pelanggaran, meskipun si penyerta (aider) dan pembantu (abettor) tidak memiliki peran langsung. �isalnya, Pengadilan Nuremberg mendakwa para pegawai perusahaan karena membantu dan mendukung penjualan gas beracun ke kamp-kamp konsentrasi dengan sepengetahuan mereka sendiri bahwa gas-gas beracun itu akan digunakan untuk menjalankan pembunuhan massal, terlepas dari fakta bahwa mereka tidak mempunyai kekuatan untuk mengawasi cara-cara penggunaan gas tersebut. 54 Kasus Flick juga menemukan pertanggung jawaban hukum soal penyertaan dan pem- bantuan dalam ketiadaan kontrol terhadap pelaku sebenarnya; dalam kasus itu, seorang terdakwa (Steinbrinck) didakwa “di bawah prinsip- prinsip hukum yang mapan” karena dengan pengetahuannya sendiri ia menyumbangkan uang kepada sebuah organisasi Na�i, terlepas dari fakta bahwa ia tidak memiliki kekuatan untuk mengawasi organisasi tersebut dan walaupun “tidak terpikirkan” bahwa ia akan “dengan rela menjadi pihak” dalam kejahatan tersebut. 55 Demikian juga, pengadilan ICTY me- netapkan seorang terdakwa lain (Flick) bertanggung jawab atas sebuah program perbudakan buruh yang diinisiasi dan dijalankan oleh kaum Na�i, setelah ia meminta produksi yang meningkat dengan pengetahuan bahwa buruh-budak akan dipekerjakan untuk memenuhi kuota mereka yang lebih tinggi itu. Pengadilan Nuremberg menemukan bahwa ia ber- tanggung jawab secara hukum meskipun pengadilan mengakui bahwa ia (Flick) tidak “menimbulkan pengaruh atau mengambil bagian dalam formasi, pelaksanaan atau keberlanjutan dari program buruh-budak itu.” 56

, �ilitary Tribunal IV, Case 10: U.S. v. Alfried Krupp et al., Juli 31, 1948, dalam 9 Trials of War Criminals under Control Council Law No. 10, hlm. 4 (1948) (Dua belas mantan direktur Krupp Group didakwa karena membantu pasokan senjata untuk tentara Jerman dan dengan demikian membantu Na�i dalam mempersiapkan perang yang agresif, selain juga karena menggunakan buruh-budak di perusahaan-perusahaan mereka.)

54 Trial of Bruno Tesch and Two Others , 1 Law Reports of Trials of War Criminals 93 (Brit. �il. Ct. 1947). 55 U.S. v. Friederich Flick, dalam

6 Trials of War Criminals Before the Nuremberg Military Tribunals under Control Council Law No.10, hlm. 1217, 1222 (1947) (Para terdakwanya adalah Friedrich Flick dan lima direktur rangking atas lainnya dari kelompok perusahaan Flick.)

56 Ibid., hlm. 1196, 1198.

dignitas Volume V No. II Tahun 2008 fokus kajian

Kepenyertaan diam-diri (silent complicity) dapat ditemukan, dalam keadaan-keadaan yang tepat, dari sikap diam (omission) semata. Seperti kepenyertaan langsung dan tidak langsung, jika kediam-dirian di hadap- an pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan setara dengan “sumbangan langsung dan substansial terhadap pelaksanaan sebuah kejahatan”, sikap seperti itu bisa dijadikan dasar bagi pertanggung- jawaban hukum atas tindakan penyertaan dan pembantuan terhadap

kejahatan. 57 Hal ini bisa disebabkan oleh, misalnya, kehadiran terdakwa yang memiliki otoritas, di mana terdakwa menolak menggunakan otoritas tersebut. 58 Dalam kasus Furundzija, seorang komandan militer meng- interogasi seorang perempuan sementara bawahannya memperkosa dan menyiksa perempuan tersebut. ICTY menyatakan bahwa “dalam keadaan tertentu, penyertaan dan pembantuan tidak perlu kentara (tangible), tetapi bisa berupa dukungan moral atau dorongan kepada pelaku utama dalam

pelaksanaan kejahatan mereka.” 59 �eskipun ICTY tidak menemu- kan bahwa terdakwa memberikan dorongan secara verbal terhadap pemerkosaan dan penyiksaan itu, namun toleransinya terhadap praktik interogasinya yang berlanjut memperlihatkan sebuah dukungan moral dan dorongan yang tidak kentara. Putusan ini mengikuti kasus-kasus serupa dari Perang Dunia II yang menyatakan komandan Na�i bersalah karena hadir di mana kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi atau ber-

langsung. 60 Jurisprudensi dari ICTR juga mendukung pemahaman bahwa jika seorang individu berada dalam posisi sebagai seorang pemegang kekuasaan atau memiliki otoritas, sikap diam-dirinya yang terus-menerus bisa bermakna sebagai tindakan memberikan dorongan. 61

57 Prosecutor v. Akayesu, ICTR Case No. ICTR-96-4-T (Trial Chamber Sep. 2, 1998), 477, 548, tersedia di http://69.94.11.53/ENGLISH/cases/Akayesu/judgement/akay001.htm. 58 Lihat, misalnya, Prosecutor v. Aleksovski , ICTY Case No. IT-95-14/1 (Trial Chamber �ay 30, 2001), hlm.

65, tersedia di http://www.un.org/icty/aleksovski/appeal/judgement/nob-aj010530e.htm. 59 Furundzija, op. cit., hlm. 199. 60 Lihat Furundzija, ibid., hlm. 205; lihat juga Tadic, op. cit.; Akayesu, op. cit. 61 Prosecutor v. Kayishema and Ruzindana, ICTR Case No. ICTR-95-1-T (Trial Chamber �ay 21, 1999), hlm.

202, tersedia di http://69.94.11.53/ENGLISH/cases/KayRu�/judgement/index.htm; Prosecutor v. Galic, ICTY Case No. IT-98-29-T (Trial Chamber Dec. 5, 2003), hlm. 169, 170-172, tersedia di http://www. un.org/icty/galic/trialc/judgement/index.htm.

Eddie Sius Riyadi Tanggung Jawab Bisnis terhadap Hak Asasi Manusia

Mens Rea

�eskipun tindakan langsung, tindakan tidak langsung, dan sikap diam- diri semuanya bisa mengarah kepada pertanggungjawaban hukum atas tindakan penyertaan dan pembantuan di bawah standard pidana inter- nasional, pertanggungjawaban hukum seperti itu hanya mungkin ter- laksana kalau unsur niat yang diprasyaratkan terpenuhi. Pengadilan Nuremberg menetapkan bahwa barang siapa yang “dengan se- pengetahuannya oleh pengaruh dan uangnya berkontribusi pada dukungannya harus … dinyatakan secara tegas sebagai, jika bukan pelaku

utama, pelaku pembantu dalam kejahatan tersebut.” 62 Berdasarkan preseden dan praktik hukum internasional selama puluhan tahun, ICTY dalam Furundzija menemukan bahwa unsur pengetahuan adalah unsur mens rea (unsur niat) yang tepat, yang secara tegas menolak pemikiran bahwa seorang penyerta dan pembantu harus memaksudkan bahwa

pelanggaran-pelanggaran tersebut terjadi. 63 Sidang Banding dalam Vasiljevic kemudian mempertegas, “Pengetahuan di pihak penyerta dan pembantu bahwa tindakannya itu akan membantu pelaksanaan kejahatan pelaku utama sudah cukup untuk memenuhi persyaratan mens rea dalam bentuk partisipasi ini.” 64

Kepenyertaan tidak perlu “memiliki mens rea yang sama dengan pelaku, dalam pengertian niat tertentu untuk melakukan sebuah ke- jahatan”. 65 Jadi, kepenyertaan tidak memerlukan adanya keinginan bahwa kejahatan pelaku utama akan dilakukan; cukup saja penyerta mengetahui adanya efek sejenis dari bantuannya. 66 Dalam Prosecutor vs. Delalic , ICTY menegaskan kembali standard ini, dan lebih lanjut mencatat, “Tindakan

62 Flick, op. cit. 63 Furundzija, op. cit., hlm. 252; lihat juga Tadic, op. cit., hlm. 689, 691-92 (yang menyatakan bahwa “terdakwa akan ditemukan bersalah atas tindakan apa pun jika ditentukan bahwa ia dengan mengetahuinya berpartisipasi dalam pelaksanaan sebuah kejahatan yang melanggar hukum humaniter internasional.”)

64 Prosecutor v. Vasiljevic, ICTY Case No. IT-98-32 (Appeal Chamber Feb. 25, 2004), hlm. 102, tersedia di http://www.un.org/icty/vasiljevic/appeal/judgement/index.htm. 65 Furundzija, op. cit., hlm. 245. 66 Lihat Clapham dan Jerbi, op. cit., hlm. 342 (yang membahas kasus Akeyasu dan menyatakan bahwa

“siapa pun yang mengetahui tujuan kriminal orang lain, dengan suka rela membantunya dalam hal itu, dapat didakwa atas tindakan penyertaan meskipun ia menyesalkan hasil atau akibat dari tindakan kejahatan tersebut.”) “siapa pun yang mengetahui tujuan kriminal orang lain, dengan suka rela membantunya dalam hal itu, dapat didakwa atas tindakan penyertaan meskipun ia menyesalkan hasil atau akibat dari tindakan kejahatan tersebut.”)

bantuan yang relevan dapat ditiadakan pada waktu dan tempat tertentu dari tindakan kejahatan yang aktual.” 67 Lebih lanjut, ICTY secara khusus menyimpulkan bahwa standard-standard tentang tindakan penyertaan dan pembantuan merupakan prinsip-prinsip hukum kebiasaan inter-

nasional. 68 Selanjutnya, pengetahuan tentang kejahatan tertentu yang sedang difasilitasi bukanlah unsur yang diharuskan; alih-alih, per- tanggungjawaban secara hukum menjadi penting ketika aktor mengetahui bahwa tindakannya itu akan memfasilitasi (memungkinkan) salah satu dari pelbagai kejahatan yang mungkin itu dilakukan. 69