Penggunaan biokompos dalam bioremendiasi lahan tercemar limbah lumpur minyak bumi
PENGGUNAAN BIOKOMPOS DALAM
BIOREMEDIASI LAHAN TERCEMAR LIMBAH
LUMPUR MINYAK BUMI
AHMAD SAEPUL MUJAB
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
PENGGUNAAN BIOKOMPOS DALAM BIOREMEDIASI
LAHAN TERCEMAR LIMBAH LUMPUR MINYAK BUMI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
AHMAD SAEPUL MUJAB 106096003221
PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
(3)
(4)
(5)
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN
Jakarta, Agustus 2011
AHMAD SAEPUL MUJAB 106096003221
(6)
ABSTRAK
AHMAD SAEPUL MUJAB, Penggunaan Biokompos dalam Bioremediasi Lahan Tercemar Lumpur Minyak Bumi. Di bimbing oleh BAROKAH ALIYANTA dan LA ODE SUMARLIN.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas biokompos, rumput gajah dan kelompok mikroba yang efektif dalam bioremediasi lahan tercemar minyak bumi yang dilakukan dalam skala laboratorium, dan bahan tambahan yang digunakan urea sebagai sumber nitrogen. Pada penelitian ini dilakukan berdasarkan rasio C/N yaitu 15, 10, dan 5. Parameter uji yang dilakukan untuk mengetahui kondisi optimal yang dicapai pada remediasi terdiri atas pH, kadar air, kadar abu, dan kemampuan ikat air/water holding capacity (WHC). Hasilnya menunjukan degradasi TPH (Total Petroleum Hidrokarbon) sebesar 91,15% dengan komposisi medium (100 g berat kering lumpur minyak bumi, 100 g berat kering biokompos, 9 g urea, rasio C/N = 5) menggunakan perlakuan dari kombinasi rumput gajah, mikroorganisme, urea dan biokompos selama 35 hari. Faktor lingkungan yang menghasilkan kondisi optimal ini dicapai pada remediasi diperoleh melalui kondisi awal pH 8,25; kadar air 49,97%; WHC 101,64%; dan kadar abu 63,76% dan kondisi akhir pH 6,25; kadar air 55,04%; kadar abu 73,39%; dan WHC 124,11%. Penambahan kompos dan urea dapat meningkatkan efisiensi degradasi TPH dan diperoleh hubungan positif antara jumlah penambahan kompos dan urea terhadap tingkat degradasi TPH.
(7)
ABSTRACT
AHMAD SAEPUL MUJAB, Utilization Compost For Bioremediating of Petroleum Sludge Polluted Soil. In Guiding by BAROKAH ALIYANTA and LA ODE SUMARLIN.
This research was conducted to determine the effectiveness of biocompost and elephant grass of rehabilitating oil polluted land using landfarming methods, in combination with the addition of urea as sources of nitrogen. This research was conducted based on the 15, 10, and 5 of C/N ratios, respectively. Test parameters needed to knowing the optimal condition in remediation were pH, water content, ash content, and water holding capacity (WHC). Results show the Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) was degraded until 91,15% for 35 days. Under treatment of elephant grass, urea, biocompost combination within composition medium of (100 g dry mass soil polluted hydrocarbon, 100 g dry mass biocompost, 9 g fertilizer, and C/N ratio : 5) using combined treatment of elephant grass, microorganisme, fertilizer, and biocompost after 35 days. The environmental factor yielding this optimal remediation reached was obtained through initial condition of pH 8,25; water content 49,97%; WHC 101,64%; ash content 63,76% and final condition of pH 6,25; water content 55,04%; ash content 73,39%; and WHC 124,11%, respectively. The addition of compost and urea has increased the efficiency of TPH degradation and obtained positive relationship between addition amounts of compost and urea to the level of TPH degradation.
(8)
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
”Penggunaan Biokompos dalam Bioremediasi Lahan Tercemar Limbah Lumpur Minyak Bumi”. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, kepada para keluarga,
sahabat-sahabatnya dan mudah-mudahan termasuk pula kita selaku umatnya. Amin.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk meraih
gelar Strata 1 (S1) di Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penyelesaian skripsi ini, berbagai pihak telah memberikan bantuan
dan dorongan semangat. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada berbagai pihak yaitu :
1. Drs. Barokah Aliyanta, M.Eng selaku Pembimbing I yang telah
membimbing dan memberikan arahan dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
2. La Ode Sumarlin, M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang telah
membimbing dan memberikan saran dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
3. Drs. Dede Sukandar, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis, selaku Dekan Fakultas Sains dan
(9)
5. Laboratorium Kebumian dan Lingkungan BATAN PATIR pasar jum‟at yang telah memberikan fasilitas selama terlaksananya penelitian.
6. Anna Muawanah, M.Si selaku dosen pembimbing akademik, Program
Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif HIdayatullah,
Jakarta.
7. Nana Mulyana, S.T, Dadang Sudrajat, S.Si, Dra. Tri Retno Diah Larasati,
M.Si, Mas Arif, dan Pak Wardi yang selalu membantu selama
terlaksananya penelitian.
8. Kedua orang tua dan adik-adik yakni Bapak Abdurrahim, Ibu Siti Fatimah,
Siti Nurlaela, dan Zaenal Mufid yang telah memberikan bantuan kepada
penulis baik materi maupun immateri.
9. Teman-teman Program studi kimia angkatan 2006 dan para sahabat
khususnya bayu, wulan, ulum, dan qosim yang selalu mendukung dan
memberi semangat kepada penulis.
10.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis juga menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih
terdapat kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan dari pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan
mahasiswa Kimia UIN pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Jakarta, Agustus 2011
(10)
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Hipotesis ... 4
1.5 Manfaat Penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Biokompos ... 6
2.1.1 Karakteristik Biokompos ... 6
2.1.2 Keuntungan dan Kerugian Biokompos ... 7
2.1.3 Kompos ... 11
2.2 Minyak Bumi ... 13
2.2.1 Komponen Hidrokarbon ... 14
2.2.2 Komponen Non-hidrokarbon ... 15
2.2.3 Karakteristik Fisika Minyak Bumi ... 16
2.3 Lumpur Minyak Bumi ... 18
2.4 Mikrooganisme Pendegradasi Hidrokarbon Minyak Bumi ... 18
2.5 Biodegradasi Lumpur Minyak Bumi ... 20
2.6 Bioremediasi ... 25
2.7 Bioremediasi „Landfarming’ ... 28
2.8 Remediasi Dengan Tanaman ... 29
2.8.1 Mekanisme Kerja Tanaman ... 30
2.8.2 Interaksi Tanaman dan Mikroorganisme Pada Proses Remediasi Tanah Yang Tercemar ... 31
(11)
2.8.3 Persyaratan Tanaman Untuk Fitoremediasi ... 33
2.9 Rumput Gajah ... 34
BAB III METODE PENELITIAN ... 36
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 36
3.2 Alat dan Bahan ... 36
3.2.1 Alat ... 36
3.2.1 Bahan ... 36
3.3 Cara Kerja ... 36
3.3.1 Pembuatan Media Dalam Pot ... 37
3.5.1 Perlakuan ... 38
3.5.2 pH ... 40
3.5.3 Kadar Air ... 41
3.5.4 Kadar Abu ... 41
3.5.5 Kemampuan Ikat Air ... 41
3.5.6 Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) ... 42
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44
4.1 pH ... 44
4.2 Kadar Air ... 46
4.3 Kemampuan Ikat Air ... 49
4.4 Kadar Abu... 53
4.5 Persen degradasi Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) dan Biomassa Rumput Gajah ... 54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 64
5.1 Kesimpulan ... 64
5.2 Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 66
(12)
DAFTAR TABEL
Hal Table 2.1 : Distribusi produk turunan minyak bumi berdasarkan jumlah atom
karbon penyusunnya dan titik didihnya (0C) ... 17
Table 3.1 : Perlakuan yang dilakukan dalam penelitian ... 40
Tabel 4.1 : Hasil analisa total petroleum hidrokarbon ... 55
(13)
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 2.1 : Biokompos ... 6
Gambar 2.2 : Lumpur Minyak Bumi ... 18
Gambar 2.3 : Mekanisme dari interaksi tanaman dan mikroba untuk remediasi polutan minyak………... 31
Gambar 2.4 : Rumput Gajah………... 33
Gambar 3.1 : Media Uji Pot... 37
Gambar 3.2 : Diagram Alir Penelitian………. 43
Gambar 4.1 : Hasil analisa pH ... 44
Gambar 4.2 : Oksidasi n-alkana Melalui Jalur Sub Terminal ... 45
Gambar 4.3 : Hasil analisa kadar air ... 47
Gambar 4.4 : Hasil analisa water holding capacity (WHC) ... 49
Gambar 4.5 : Oksidasi n-alkana melalui Jalur Terminal: a. Monooksigenase; b. Alkoholdehidrogenase; c. Aldehid dehidrogenase…………. 51
Gambar 4.6 : Hasil analisa kadar abu ... 53
Gambar 4.7 : Hasil ekstraksi TPH awal dan akhir perlakuan ... 57
Gambar 4.8 : Reaksi degradasi senyawa hidrokarbon polisiklik aromatik ... 60
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Lampiran 1 Data Hasil Pengukuran Awal dan Akhir Perlakuan ... 72
Lampiran 2 Uji Annova pH ... 73
Lampiran 3 Uji Annova kadar air ... 75
Lampiran 4 Uji Annova kadar abu ... 79
Lampiran 5 Uji Annova Water Holding Capacity (WHC) ... 81
Lampiran 6 Uji Annova TPH ... 85
Lampiran 7 Uji Fisik Rumput Gajah ... 87
Lampiran 8 Tempat Pembuangan Akhir Lumpur Minyak Bumi di Pertambangan tradisoonal Cepu Jawa Timur ... 88
Lampiran 9 Penamaan Rumput Gajah Pada Media Pot ... 89
Lampiran 10 Perlakuan Dimedia Pot Pada Hari Ke-35 ... 90
(15)
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Limbah minyak bumi dapat terjadi di semua lini aktivitas perminyakan
mulai dari eksplorasi sampai ke proses pengilangan dan berpotensi menghasilkan
limbah berupa lumpur minyak bumi (Oily Sludge). Salah satu kontaminan minyak
bumi yang sulit diurai adalah senyawaan hidrokarbon. Ketika senyawa tersebut
mencemari permukaan tanah, maka zat tersebut dapat menguap, tersapu air hujan,
atau masuk ke dalam tanah kemudian terendap sebagai zat beracun. Akibatnya,
ekosistem dan siklus air juga ikut terganggu (Karwati, 2009).
Secara alamiah lingkungan memiliki kemampuan untuk mendegradasi
senyawa-senyawa pencemar yang masuk ke dalamnya melalui proses biologis dan
kimiawi. Namun, sering kali beban pencemaran di lingkungan lebih besar
dibandingkan dengan kecepatan proses degradasi zat pencemar tersebut secara
alami. Akibatnya, zat pencemar akan terakumulasi sehingga dibutuhkan campur
tangan manusia dengan teknologi yang ada untuk mengatasi pencemaran tersebut
(Nugroho, 2006).
Selain itu, Atlas (1981) dalam Nugroho (2006) juga menjelaskan bahwa
banyak senyawa-senyawa organik yang terbentuk di alam dapat didegradasi oleh
mikroorganisme bila kondisi lingkungan menunjang proses degradasi, sehingga
pencemaran lingkungan oleh polutan-polutan organik tersebut dapat dengan
(16)
alami yang resisten terhadap biodegradasi sehingga senyawa tersebut akan
terakumulasi di dalam tanah.
Penanggulangan pencemaran minyak dapat dilakukan secara fisik, kimia
dan biologi. Penanggulangan secara fisik umumnya digunakan pada langkah awal
penanganan, terutama apabila minyak belum tersebar ke mana-mana. Namun cara
fisika memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk pengangkutan dan pengadaan
energi guna membakar materi yang tercemar. Penanggulangan secara kimia dapat
dilakukan dengan bahan kimia yang mempunyai kemampuan mendispersi
minyak, sehingga minyak tersebut dapat terdispersi. Terutama ketika zat
pencemar tersebut dalam konsentrasi tinggi. Namun cara ini memiliki kelemahan,
yaitu mahal pengoprasiannya karena memakan biaya yang cukup besar dan
metode kimia memerlukan teknologi dan peralatan canggih untuk menarik
kembali bahan kimia dari lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif
yang lain. Mengingat dampak pencemaran minyak bumi baik dalam konsentrasi
rendah maupun tinggi cukup serius, maka manusia terus berusaha mencari
teknologi yang paling mudah, murah dan tidak menimbulkan dampak lanjutan
(Nugroho, 2006).
Salah satu alternatif penanggulangan lingkungan tercemar minyak adalah
dengan teknik bioremediasi, yaitu suatu teknologi yang ramah lingkungan, efektif
dan ekonomis dengan memanfaatkan aktivitas mikroba seperti bakteri. Melalui
teknnologi ini diharapkan dapat mereduksi minyak buangan yang ada dan
mendapatkan produk samping dari aktivitas tersebut (Udiharto et al.,1995).
Bioremediasi merupakan salah satu teknologi inovatif untuk mengolah
(17)
enzim mikroba (Gunalan, 1996). Kelemahan dengan cara biologi atau
bioremediasi ini dalam faktor-faktor lingkungan yang harus mendukung, seperti
pH, kadar air, oksigen, temperature, komposisi kimia minyak bumi, konsentrasi
hidrokarbon, nutrisi, salinitas, tekanan, dan mikroorganisme.
Sebelumnya telah dilakukan penelitian oleh Tang., et al (2010) tentang
bioremediasi pada tanah yang tercemar minyak menggunakan kombinasi tanaman
ryegrass dan kelompok mikroba yang efektif dilakukan dengan “pot experiment”. Hasilnya menunjukkan degradasi sebesar 58% menggunakan perlakuan dari
kombinasi tanaman dan mikroorganisme setelah 162 hari dengan meningkatkan
nilai degradasi total hidrokarbon minyak (THM/TPH) sebesar 17% dibandingkan
kontrol.
Pada penelitian ini diharapkan hasil degradasi Total Petroleum
Hidrokarbon (TPH) lebih besar dari pada penelitian diatas. Penelitian ini akan
dikaji proses bioremediasi limbah lumpur minyak bumi dengan biokompos
menggunakan teknik landfarming pada skala laboratorium. Teknik landfarming
adalah teknik bioremediasi ex situ yang memanfaatkan tanah sebagai media dan
menanami tanaman. Salah satu tanaman yang digunakan adalah rumput gajah.
Rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumacher) adalah tanaman yang dapat
tumbuh di daerah dengan minimal nutrisi. Rumput gajah membutuhkan minimal
atau tanpa tambahan nutrisi. Tanaman ini mampu beradaptasi terhadap polutan
dengan konsentrasi tinggi dan dapat juga memperbaiki kondisi tanah yang rusak
akibat erosi. Tanaman ini juga dapat hidup pada tanah kritis dimana tanaman lain
relatif tidak dapat tumbuh dengan baik (Sanderson dan Paul, 2008 dalam
(18)
Selama penelitian dilakukan pengamatan pada pengaruh faktor-faktor
lingkungan seperti pH, kemampuan ikat air, kadar air, kadar abu, TPH (Total
PetroleumHidrokarbon), dan biomassa rumput gajah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah bioremediasi lumpur minyak bumi dengan biokompos dapat
efektif dengan teknik landfarming.
2. Bagaimana pengaruh kombinasi rasio C/N medium, urea, dan inokulum
terhadap parameter fisiko-kimia seperti pH, kemampuan ikat air, kadar air,
dan kadar abu.
1.3Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan sebelumnya, maka tujuan yang
ingin dicapai dalam peneltian ini yaitu:
1. Mempelajari kemampuan biokompos dalam menurunkan kadar TPH
(TotalPetroleumHidrokarbon) tanah yang tercemar minyak bumi.
2. Mendapatkan faktor-faktor lingkungan yang optimal, yaitu pH,
kemampuan ikat air, kadar air, kadar abu, serta TPH dengan teknik
landfarming.
1.4Hipotesis
Penelitian ini menggunakan hipotesis sebagai berikut:
1. Faktor lingkungan seperti pH, kemampuan ikat air, kadar air, kadar abu,
(19)
2. Kultur campuran hasil isolasi bertahap dari sludge minyak bumi dan kultur
indigen mampu mendegradasi sludge minyak bumi.
1.5 Manfaat Penelitian
Memberikan informasi tentang manfaat dari biokompos dengan teknik
(20)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biokompos
Pupuk organik (biokompos) adalah pupuk yang berasal dari kotoran
hewan, bahan tanaman dan limbah. Umumnya pupuk organik mengandung hara
makro N, P, dan K rendah, tapi mengandung hara mikro Ca, Mg, Zn, Cu, B, Mo
dan Si dalam jumlah cukup yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tanaman.
Pupuk organik juga berperan untuk mengurangi terjadinya erosi, pergerakan
permukaan tanah dan retakan tanah, mempertahankan kelengasan tanah serta
memperbaiki pengaturan dakhil (internal drainage) (Sutanto, 1997).
Gambar 2.1 Biokompos
2.1.1 Karakteristik Pupuk Organik (biokompos)
1. Kandungan hara rendah. Dengan kandungan hara yang rendah berarti
biaya untuk setiap unit unsur hara yang digunakan nisbi lebih mahal.
2. Ketersediaan unsur hara lambat. Hara yang berasal dari bahan organik
diperlukan untuk kegiatan mikroba tanah untuk dialihrupakan dari bentuk
ikatan kompleks organik yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman
(21)
diserap oleh tanaman. Kebanyakan unsur di dalam tanah biasanya terbawa
dalam bentuk unsur tersedia dari hasil perombakan bahan organik.
3. Menyediakan hara dalam jumlah terbatas. Penyediaan hara yang berasal
dari pupuk organik biasanya terbatas dan tidak cukup dalam menyediakan
hara yang diperlukan tanaman.
2.1.2 Keuntungan dan Kerugian Pupuk Organik (Biokompos) a. Keuntungan
Pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan
kapasitas tukar kation, menambah kemampuan tanah menahan air, dan
meningkatkan kegiatan biologi tanah. Pupuk organik juga dapat
meningkatkan ketersediaan unsur mikro misalnya melalui kelat unsur
mikro dengan bahan organik. Selain itu pupuk organik tidak menimbulkan
polusi lingkungan (Atmojo, 2003).
Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk
agregat tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel
tanah untuk bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik
penting dalam pembentukan struktur tanah. Pengaruh pemberian bahan
organik terhadap struktur tanah sangat berkaitan dengan tekstur tanah yang
diperlakukan. Pada tanah lempung yang berat, terjadi perubahan struktur
gumpal kasar dan kuat menjadi struktur yang lebih halus tidak kasar,
dengan derajat struktur sedang hingga kuat, sehingga lebih mudah untuk
diolah. Komponen organik seperti asam humat dan asam fulvat dalam hal
ini berperan sebagai sementasi pertikel lempung dengan membentuk
(22)
bahan organik dapat diharapkan merubah struktur tanah dari berbutir
tunggal menjadi bentuk gumpal, sehingga meningkatkan derajat struktur
dan ukuran agregat atau meningkatkan kelas struktur dari halus menjadi
sedang atau kasar (Scholes et al., 1994). Bahkan bahan organik dapat
mengubah tanah yang semula tidak berstruktur (pejal) dapat membentuk
struktur yang baik atau remah, dengan derajat struktur yang sedang hingga
kuat.
Pengaruh bahan organik terhadap sifat fisika tanah yang lain adalah
terhadap peningkatan porositas tanah. Porositas tanah adalah ukuran yang
menunjukkan bagian tanah yang tidak terisi bahan padat tanah yang terisi
oleh udara dan air. Pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi pori mikro,
pori meso dan pori makro. Pori-pori mikro sering dikenal sebagai pori
kapiler, pori meso dikenal sebagai pori drainase lambat, dan pori makro
merupakan pori drainase cepat. Tanah pasir yang banyak mengandung pori
makro sulit menahan air, sedang tanah lempung yang banyak mengandung
pori mikro drainasenya jelek. Pori dalam tanah menentukan kandungan air
dan udara dalam tanah serta menentukan perbandingan tata udara dan tata
air yang baik. Penambahan bahan organik pada tanah kasar (berpasir),
akan meningkatkan pori yang berukuran menengah dan menurunkan pori
makro. Dengan demikian akan meningkatkan kemampuan menahan air
(Stevenson, 1982). Hasil penelitian menunjukkan, penambahan bahan
humat 1 % pada latosol mampu meningkatkan 35,75 % pori air tersedia
(23)
Pengaruh bahan organik terhadap peningkatan porositas tanah di
samping berkaitan dengan aerasi tanah, juga berkaitan dengan status kadar
air dalam tanah. Penambahan bahan organik akan meningkatkan
kemampuan menahan air sehingga kemampuan menyediakan air tanah
untuk pertumbuhan tanaman meningkat. Kadar air yang optimal bagi
tanaman dan kehidupan mikroorganisme adalah sekitar kapasitas lapang.
Penambahan bahan organik di tanah pasiran akan meningkatkan kadar air
pada kapasitas lapang, akibat dari meningkatnya pori yang berukuran
menengah (meso) dan menurunnya pori makro, sehingga daya menahan
air meningkat, dan berdampak pada peningkatan ketersediaan air untuk
pertumbuhan tanaman (Scholes et al., 1994). Terbukti penambahan pupuk
kandang di Andisol mampu meningkatkan pori memegang air sebesar
4,73% (dari 69,8% menjadi 73,1%) (Tejasuwarno, 1999). Pada tanah
berlempung dengan penambahan bahan organik akan meningkatkan
infiltrasi tanah akibat dari meningkatnya pori meso tanah dan menurunnya
pori mikro.
Peran bahan organik yang lain, yang mempunyai arti penting
terutama pada lahan kering berlereng, adalah dampaknya terhadap
penurunan laju erosi tanah. Hal ini dapat terjadi karena akibat dari
perbaikan struktur tanah yaitu dengan semakin mantapnya agregat tanah,
sehingga menyebabkan ketahanan tanah terhadap pukulan air hujan
meningkat. Di samping itu, dengan meningkatnya kapasitas infiltrasi air
akan berdampak pada aliran permukaan dapat diperkecil. sehingga erosi
(24)
Pengaruh bahan organik terhadap kesuburan kimia tanah antara
lain terhadap kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH
tanah, daya sangga tanah dan terhadap keharaan tanah. Penambahan bahan
organik akan meningkatkan muatan negatif sehingga akan meningkatkan
kapasitas pertukaran kation (KPK). Bahan organik memberikan kontribusi
yang nyata terhadap KPK tanah, sekitar 20-70% kapasitas pertukaran
tanah pada umumnya bersumber dari koloid humus (contoh: Molisol),
sehingga terdapat korelasi antara bahan organik dengan KPK tanah
(Stevenson, 1982).
Kapasitas pertukaran kation (KPK) menunjukkan kemampuan
tanah untuk menahan kation-kation dan mempertukarkan kation-kation
tersebut termasuk kation hara tanaman. Kapasitas pertukaran kation
penting untuk kesuburan tanah. Humus dalam tanah sebagai hasil proses
dekomposisi bahan organik merupakan sumber muatan negatif tanah,
sehingga humus dianggap mempunyai susunan koloid seperti lempung,
namun humus tidak semantap koloid lempung, dia bersifat dinamik,
mudah dihancurkan dan dibentuk. Sumber utama muatan negatif humus
sebagian besar berasal dari gugus karboksil (-COOH) dan fenolik (-OH)
(Brady, 1990). Penambahan jerami sejumlah 10 t/ha pada Ultisol mampu
meningkatkan 15,18% KPK tanah dari 17,44 menjadi 20,0 cmol (+) /kg
(Cahyani, 1996).
Penambahan bahan organik dapat mempengaruhi nilai pH tanah.
Hal ini dapat meningkatkan atau menurunkan pH tanah tergantung tingkat
(25)
Penambahan bahan organik yang belum masak (misal pupuk hijau) atau
bahan organik yang masih mengalami proses dekomposisi, biasanya akan
menyebabkan penurunan pH tanah, karena selama proses dekomposisi
akan melepaskan asam-asam organik yang menyebabkan menurunnya pH
tanah. Namun apabila diberikan pada tanah yang masam dengan
kandungan Al tertukar tinggi, akan menyebabkan peningkatan pH tanah,
karena asam-asam organik hasil dekomposisi akan mengikat Al
membentuk senyawa komplek (khelat), sehingga Al-tidak terhidrolisis
lagi. Penambahan bahan organik pada tanah masam, antara lain inseptisol,
ultisol dan andisol mampu meningkatkan pH tanah dan mampu
menurunkan Al tertukar tanah (Suntoro, 2001; Cahyani., 1996; dan Dewi,
1996 dalam Atmojo, 2003). Peningkatan pH tanah juga akan terjadi
apabila bahan organik yang ditambahkan telah terdekomposisi lanjut
(matang), karena bahan organik yang telah termineralisasi akan
melepaskan mineralnya, berupa kation-kation basa.
b. Kerugian
Karena kandungan hara rendah, maka jumlah pupuk organik yang
dibutuhkan besar. Hal ini menyulitkan transportasi dan pemberian,
sehingga kurang ekonomis. Mudah terurai habis di daerah tropis. Pupuk
organik dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit akar tanaman.
2.1.3 Kompos
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran
(26)
macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau
anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003).
a. Sumber Bahan Dasar Kompos
Beberapa bahan yang dapat dikomposkan, antar lain:
1. Limbah ternak dan manusia,
2. Limbah pertanaman,
3. Pupuk hijau,
4. Sampah kota atau pemukiman,
5. Limbah agro-industri, dan
6. Limbah hasil laut.
b. Proses Pengomposan
Kompos dibuat dari bahan organik yang berasal dari bermacam-macam
sumber. Kemungkinan bahan dasar kompos mengandung selulose 15-60%,
hemiselulose 10-30%, lignin 5-30%, protein 5-40%, bahan mineral 3-5%, selain
itu juga tedapat bahan larut air panas dan dingin (gula, pati, asam amino, urea,
garam ammonium) sebanyak 2-30% dan 1-15% lemak larut eter dan alkohol,
minyak dan lilin. Komponen organik mengalami dekomposisi di bawah kondisi
mesofilik dan termofilik. Pengomposan dengan metode timbunan di permukaan
tanah, lubang galian menghasilkan bahan yang terhumifikasi berwarna gelap
setelah 3-4 bulan dan merupakan sumber bahan organik untuk pertanian
berkelanjutan.
c. Proses Mikrobiologis
Konversi biologi bahan organik dilaksanakan oleh bermacam-macam
(27)
protozoa. Organisme tersebut mewakili jenis flora dan fauna tanah (Biddle and
Gray, 1985).
d. Metode Pengomposan
Banyak metode pengomposan yang telah dikembangkan dan dipraktekkan
di Indonesia, di antaranya adalah metode Indore, metode Heap, metode
Bangalore, metode Berkeley, metode Vemikompos, metode Jepang, metode
Windrow, metode Sederhana, dan Praktis.
Dalam penelitian ini menggunakan biokompos jenis vermikompos.
Vermikompos adalah proses yang melibatkan oksidasi dan stabilisasi dari limbah
organik yang dirombak oleh cacing tanah dan mikroorganisme (Dominguez,
2004), dengan demikian mengubah limbah menjadi suatu perubahan tanah yang
berharga disebut kascing. Teknik ini telah banyak digunakan untuk banyak proses
yang berbeda jenis residu, termasuk limbah industri dan bahan organik (Edwards
and Arancon, 2004).
2.2 Minyak Bumi
Minyak bumi adalah suatu campuran yang sangat kompleks yang terutama
terdiri dari senyawa-senyawa hidrokarbon, yaitu senyawa-senyawa organik di
mana setiap molekulnya hanya mempunyai unsur karbon dan hidrogen saja.
Disamping itu dalam minyak bumi juga terdapat unsur-unsur belerang, nitrogen,
oksigen, dan logam-logam khususnya vanadium, nikel, besi dan tembaga, yang
terdapat dalam jumlah yang relatif sedikit yang terikat sebagai senyawa-senyawa
organik. Air dan garam hampir selalu ada dalam minyak bumi dalam keadaaan
(28)
Minyak bumi terbentuk sebagai hasil akhir dari penguraian bahan-bahan
organik (sel-sel dan jaringan hewan atau tumbuhan laut) yang tertimbun selama
berjuta tahun di dalam tanah, baik di daerah daratan atau pun di daerah lepas
pantai. Minyak bumi sebagian besar terdiri atas komponen hidrokarbon.
Komposisi senyawa hidrokarbon pada minyak bumi tidak sama, bergantung pada
sumber penghasil minyak bumi tersebut. Misalnya, minyak bumi Amerika
komponen utamanya ialah hidrokarbon jenuh, yang digali di Rusia banyak
mengandung minyak bumi yang hidrokarbon siklik, sedangkan yang terdapat di
Indonesia banyak mengandung senyawa aromatik dan kadar belerangnya sangat
rendah (Hadi, 2003).
2.2.1 Komponen Hidrokarbon
Minyak bumi sebagian besar terdiri dari senyawa hidrokarbon. Secara garis
besar, senyawa hidrokarbon minyak bumi yang didegradasi oleh mikroorgannisme
dapat digolongkan atas tiga kelompok, yaitu hidrokarbon parafin, naftena dan
aromatik (Udiharto, 1999).
1. Senyawa parafin atau alkana merupakan senyawa hidrokarbon jenuh terdiri
dari normal parafin berupa rantai karbon panjang dan lurus, serta isoparafin
berupa rantai karbon bercabang. Isoparafin banyak didominasi oleh yang
bercabang satu sedangkan normal parafin banyak terdapat dalam fraksi
ringan. Alkana mempunyai rumus CnH2n+2 dan tidak memiliki ikatan rangkap
antar karbon penyusunnya. Senyawa ini merupakan fraksi terbesar dalam
minyak bumi. Senyawa hidrokarbon monoolefin (alkena) mempunyai rumus
umum CnH2n dan merupakan senyawa hidrokarbon yang tidak jenuh dengan
(29)
tetapi sedikit banyak terbentuk dalam distilasi minyak mentah dan banyak
terbentuk dalam proses rengkahan, sehingga bensin rengkahan mengandung
banyak senyawa monoolefin (Hardjono, 2000). Selanjutnya senyawa
hidrokarbon diolefin (alkuna) mempunyai rumus umum CnH2n-2 dan
merupakan senyawa tidak jenuh dengan dua buah ikatan rangkap dua. Seperti
halnya monoolefin, senyawa ini tidak terdapat dalam minyak mentah tetapi
terbentuk dalam proses rengkahan (Hardjono, 2000).
2. Naftena dicirikan oleh adanya struktur cincin tertutup yang sederhana dari
atom karbon penyusunnya, dengan rumus umum CnH2n dan tidak mempunyai
ikatan rangkap antar atom karbon. Senyawa ini tidak larut dalam air dan
merupakan fraksi kedua terbesar dalam minyak bumi.
3. Aromatik, dicirikan oleh adanya cincin yang mengandung enam atom karbon.
Benzen adalah senyawa aromatik yang paling sederhana dan pada umumnya
senyawa aromatik dibentuk dari senyawa benzen.
2.2.2 Komponen Non-hidrokarbon
Selain senyawa hidrokarbon, di dalam minyak bumi juga terkandung
sejumlah kecil senyawa non-hidrokarbon. Senyawa ini terdiri atas senyawa
organik non-hidrokarbon yang mengandung sulfur, nitrogen, oksigen dan logam.
Komponen non-hidrokarbon dalam minyak bumi (Atlas, 1992) adalah :
1. Sulfur
Merupakan komponen non-hidrokarbon terbesar dalam minyak bumi. Sulfur
(30)
2. Oksigen
Dalam minyak bumi terdapat senyawa oksigen dalam konsentrasi rendah.
Senyawa ini dapat berbentuk asam naftenik, fenol dan asam lemak.
3. Nitrogen
Pada umumnya nitrogen sangat sedikit dalam minyak bumi. Senyawa yang
mengandung nitrogen antara lain piridin, kuinolin, iso-kuinolin, pirol, indol
dan karbazol.
4. Logam
Senyawa logam dalam minyak bumi antara lain berupa garam inorganik dan
senyawa kompleks logam organik. Garam inorganik dapat berupa natrium
klorida, kalium klorida, magnesium klorida, kalsium klorida, natrium sulfat,
kalium sulfat, magnesium sulfat dan kalsium sulfat. Senyawa komplek logam
organik dalam minyak bumi mengandung salah satu dari logam berikut, yaitu
vanadil (Vo), nikel (Ni), besi (Fe), dan kobal (Co). Konsentrasi senyawa ini
dalam minyak bumi sangat kecil.
2.2.3 Karakteristik Fisika Minyak Bumi
Minyak bumi terdiri dari fase padat, cair, dan gas. Fase-fase tersebut
berubah dari satu fase ke fase lainnya akibat perubahan suhu dan tekanan.
Beberapa jenis minyak bumi yang berwujud padat pada keadaan suhu tertentu
dapat berubah menjadi cair akibat dari sedikit perubahan suhu. Pemanasan lebih
lanjut hingga titik didih dapat menjadi uap dan gas. Distribusi bertahap produk
turunan minyak bumi berdasarkan jumlah atom karbon (C) penyusun dan titik
(31)
Tabel 2.1 Distribusi produk turunan minyak bumi berdasarkan jumlah atom karbon penyusunnya dan titik didihnya (0C) (Spleight, 1980).
Jenis fraksi Jumlah atom C Titik didih
Gas hidrokarbon Bensin Kerosin Solar Pelumas ringan Pelumas berat Residu
C1- C4 C5- C10 C11- C13 C14- C17 C18- C25 C26- C35 C36- C60
s.d 38 38-177 177- 232 232-304 304-399 399-510 >510
Bentuk fisik minyak bumi di alam sangat beragam, antara lain ada yang
kasar, padat, rapuh, semi padat agak kental, cairan yang kental, ringan hingga
yang menguap serta gas-gas yang terkondensasi. Demikian pula apabila minyak
bumi ini tumpah di permukaan, baik di perairan maupun tanah akan membentuk
fasa-fasa seperti itu, yang sulit dibersihkan, dan berakibat terjadi pencemaran di
lingkungan (Uren, 1956).
Sifat-sifat fisik minyak bumi juga ditentukan oleh komposisi kimianya.
Karakteristik lain yang perlu diketahui adalah viskositas, densitas, dan tegangan
permukaan serta kelarutan dalam air. Viskositas adalah suatu parameter yang
digunakan khusus untuk fluida. Jika nilai viskositas rendah maka fluida semakin
mudah mengalir. Nilai viskositas minyak bumi tergantung pada kandungan fraksi
ringan dan suhu sekelilingnya dan nilai ini berkaitan dengan nilai densitas.
Apabila viskositas tinggi maka densitas rendah. Densitas adalah kerapatan dengan
satuan berat zat tiap satu satuan volume dan dinyatakan dengan satuan 0API
(American Petroleum Institute). Sebagian besar minyak bumi memiliki densitas
lebih rendah dari air. Jika nilai 0API kurang dari 10, maka densitas minyak bumi
lebih tinggi dari air. Jenis minyak bumi tersebut tidak akan mengapung lama di
(32)
2.3 Lumpur Minyak Bumi
Lumpur minyak bumi merupakan sisa produksi yang ditampung di
penampungan akhir. Lumpur minyak bumi yang dipakai untuk sampel ini berasal
dari pertambangan tradisional di Cepu.
Gambar 2.2 Lumpur minyak bumi
Industri minyak mempuyai nilai strategis dan merupakan tulang punggung
pembangunan sehingga industri minyak perlu dikelola secara baik dan efisien
sehingga diperoleh manfaat semaksimal mungkin namun demikian di samping
manfaat positif tersebut ada dampak negatifnya. Lumpur minyak bumi dari Cepu ini
merupakan salah satu dampak negatifnya karena limbah yang dihasilkan dari
pertambangan tradisional di Cepu merupakan B3 (bahan berbahaya beracun) sisa
suatu usaha atau kegiatan sebagai hasil pencampuran bahan kimia pada saat
pengolahan tetapi sifatnya beracun, mudah terbakar, reaktif, dan korosif serta
konsentrasinya dapat mencemarkan lingkungan hidup yang mengakibatkan
membahayakan kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya baik secara langsung
maupun tidak langsung.
2.4 Mikrooganisme Pendegradasi Hidrokarbon Minyak Bumi
Mikroorganisme hidrokarbonoklastik mampu mendegradasi senyawa
(33)
energi yang diperlukan bagi pertumbuhannya. Mikroorganisme ini mampu
menguraikan komponen minyak bumi karena kemampuannya mengoksidasi
hidrokarbon dan menjadikan hidrokarbon sebagai donor elektronnya.
Mikroorganisme ini berpartisipasi dalam pembersihan tumpahan minyak dengan
mengoksidasi minyak bumi menjadi gas karbon dioksida (CO2), bakteri
pendegradasi minyak bumi akan menghasilkan bioproduk seperti asam lemak,
gas, surfaktan, dan biopolimer yang dapat meningkatkan porositas dan
permeabilitas batuan reservoir formasi klastik dan karbonat apabila bakteri ini
menguraikan minyak bumi.
Keberhasilan biodegradasi minyak bumi tergantung kepada keaktifan
mikroba dan kualitas serta kondisi lingkungannya. Mikroba yang sesuai adalah
bakteri atau kapang yang mempunyai kemampuan fisiologi dan metabolik untuk
mendegradasi pencemar. Dalam beberapa hal, pada lingkungan yang akan
dilakukan bioproses sudah terdapat mikroba. Namun untuk mendapatkan
bioproses yang lebih baik masih perlu ditambahkan mikroba dari luar yang lebih
sesuai sehingga yang aktif dalam bioproses adalah kultur campuran (Noegroho,
1999).
Mikroba pendegradasi hidrokarbon minyak bumi dapat digunakan untuk
penanganan limbah minyak bumi dan untuk bioremediasi tumpahan minyak
disuatu tempat. Beragam Kelompok bakteri dan jamur memiliki kemampuan
sebagai mikroorganisme hidrokarbonoklastik yang mampu mendegradasi
hidrokarbon minyak bumi. Bakteri dan jamur pendegradasi hidrokarbon
terdistribusi secara luas di laut, perairan tawar, dan tanah sebagai tempat hidupnya
(34)
Dilaporkan Pikoli et al. (2000) dari hasil penelitian mereka bahwa isolat
bakteri yang dapat mendegradasi minyak bumi diantaranya berasal dari genus
Bacillus dan Pseudomonas. Sama halnya dengan hasil penelitian Tribuwono
(2008), didapat beberapa jenis bakteri pendegradasi minyak bumi yaitu Bacillus
coagulans, Pseudomonas pseudoalcaligens, Bacillus laterosporus, dan Bacillus
firmus. Adapun dari hasil penelitian Purwasena (2006), diperoleh isolat bakteri
Flavimonas oryzihabitans, Amphibacillus xylanus, bacillus polymyxa, Bacillus macerans, dan Clostridium butyricum.
2.5 Biodegradasi Lumpur Minyak Bumi
Tingkat degradasi minyak bumi fraksi berat lebih kecil dibandingkan
dengan minyak bumi fraksi ringan dikarenakan adanya perbedaan suseptibilitas
dalam degradasi masing-masing komponen hidrokarbon minyak bumi pada kedua
jenis minyak bumi tersebut. Kemampuan populasi campuran mikroba dalam
menggunakan minyak bumi (campuran hidrokarbon) sebagai karbon tunggal juga
tidak hanya bergantung pada fraksi-fraksi tidak jenuh tapi juga pada fraksi
asfalitik (Atlas, 1992).
Laju bioremidiasi tumpahan hidrokabon minyak bumi sangat ditentukan
oleh kondisi lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
biodegradasi minyak bumi adalah :
1. Kadar Air
Kandungan air sangat penting untuk aktivitas metabolik dari mikoba pada
limbah minyak bumi karena mikroba akan hidup aktif di interfase antara
(35)
kapasitas penyangga air merupakan kelembaban ideal untuk berlangsungnya
aktivitas mikroba (Santosa, 1999). Sedangkan menurut Dibble dan Bartha
(1979) kelembapan optimum untuk biodegradasi minyak di lingkungan tanah
adalah 30-90% kapasitas penyangga air. Kelembaban yang lebih rendah
menyebabkan tanah menjadi kering sedangkan jika terlalu tinggi akan
mengganggu penyediaan oksigen.
2. Kadar Oksigen
Proses biodegradasi yang terjadi pada senyawa hidrokarbon membutuhkan
akseptor elektron seperti oksigen, nitrat, dan sulfat karena proses dasar dari
biodegradasi adalah oksigen, namun oksigen merupakan unsur yang sangat
penting (Cooney, 1984). Kekurangan oksigen menyebabkan degradasi
menurun tajam. Degradasi akan terjadi pada laju tertinggi jika aerasi
dimaksimalkan (Santosa, 1999). Secara ideal 1 g oksigen digunakan untuk
mendegradasi 3,5 gram minyak (Floodgate, 1997). Hasil penelitian Noegroho
(1999) menunjukkan bahwa pemberian aerasi 15 liter/menit dapat
menurunkan kandungan fenol dan amoniak (senyawa yang terdapat dalam
limbah minyak) masing-masing 82% dan 66,9%.
3. Temperatur
Kemampuan mikroba dalam biodegradasi minyak bumi ditentukan juga
oleh temperatur lingkungan (Atlas, 1975). Disebutkan oleh Skladany and
Metting (1993) bahwa suhu mempengaruhi reaksi biokimia. Degradasi
minyak bumi berlangsung dalam kisaran suhu yang luas, tetapi tidak selalu
menjadi faktor utama yang membatasi biodegradasi, asalkan faktor lingkungan
(36)
biodegradasi yang tinggi antara 30-40oC (Huddleston and Creswell, 1976).
Zobell (1969) mengemukakan bahwa laju biodegradasi lebih tinggi terjadi
pada suhu 25oC dari pada 5oC . Hasil penelitian Atlas (1981), senyawa
hidrokarbon alisiklik dapat didegradasi oleh mikroba pada suhu 10oC dan
20oC. Berdasarkan suhu lingkungan mikroba dapat dikelompokkan menjadi 3
(Udiharto, 1996), yaitu :
a. Psikrofilik memerlukan suhu optimum antara 5-15oC
b. Mesofilik memerlukan suhu optimum antara 25-40oC
c. Thermofilik memerlukan suhu optimum antara 45-60oC.
Sedangkan keperluan bioremediasi kebanyakkan digunakan mikroba mesofilik
sedangkan kelompok lain dapat digunakan pada kondisi khusus seperti
Corynebacterium yang diisolasi dari tanah antartika yang tercemar minyak
dapat aktif mendegradasi pada suhu 1oC. Bacillus strearotthermophillus dapat
tumbuh dan berkembang biak dalam medium thermofil (55 oC) dengan
minyak mentah sebagai sumber karbon (Udiharto, 1992).
4. Komposisi Kimia Minyak Bumi
Minyak bumi terdiri dari campuran senyawa-senyawa yang beragam dan
umumnya berupa hidrokarbon. Masing-masing senyawa penyusun minyak
bumi tersebut memiliki tingkat biodegradasi berbeda. Adapun urutan
degradasi yang terjadi adalah n-alkana, isoalkana dan alkil benzene, alkana
bercabang, sikloalkana, dan yang terakhir dari kelompok polisiklik (Sublette,
(37)
5. Konsentrasi Hidrokarbon
Konsentrasi minyak bumi mempengaruhi kelarutan minyak bumi yang
akan mempengaruhi tingkat biodegradasi. Konsentrasi minyak bumi yang
sangat rendah menyebabkan kelarutan dalam air lebih tinggi sehingga mudah
digunakan oleh mikroba. Sebaliknya apabila konsentrasi minyak bumi
terdapat dalam jumlah yang besar hingga melebihi batas kelarutannya, maka
proses degradasi akan dipengaruhi oleh kondisi fisik minyak bumi, antara lain
luas permukaan hidrokarbon yang tersedia untuk kolonisasi mikroba (Atlas
dan Bartha, 1992 dalam Sugoro, 2002). Konsentrasi minyak bumi yang terlalu
tinggi dapat mengakibatkan kematian mikroba yang berperan dalam proses
biodegradasi karena sifat toksiknya. Dengan demikian diperlukan suatu
konsentrasi optimum sehingga laju biodegradasi tinggi (Atlas, 1992).
6. Nutrisi
Minyak bumi merupakan sumber karbon dan energi yang sesuai untuk
pertumbuhan mikroba, tetapi memiliki defisiensi unsur nitrogen dan fosfor,
sehingga ketersediaan nitrogen dan fosfor ini akan menjadi faktor pembatas
degradasi hidrokarbon oleh mikroba. Penyesuaian terhadap perbandingan
karbon, nitrogen, dan fosfor dibuat dengan penambahan nitrogen dan fosfor
dalam bentuk pupuk. Nitrogen dan fosfor dalam bentuk garam-garam
anorganik efektif meningkatkan biodegradasi dalam sistem tertutup tetapi
cenderung untuk hilang dalam simulasi percobaan lapangan (Leahy dan
(38)
7. Salinitas
Kebanyakan bakteri hidrokarbonoklastik pendegradasi minyak bumi hanya
mampu tumbuh dalam kondisi salinitas yang rendah. Salinitas yang lebih
besar dari 5% seringkali memberikan efek yang menghambat pertumbuhan.
Terdapat korelasi yang positif antara konsentrasi salilnitas yang tinggi dengan
korelasi suhu yang tinggi (Sublette, 1993 dalam Sugoro, 2002).
8. Tekanan
Tekanan dapat menghambat beberapa reaksi kimia yang melibatkan
perubahan volume, misalnya produksi atau penggunaan gas. Selain itu tekanan
juga mempengaruhi morfologi sel. Efek dari tekanan ini baru akan menjadi
faktor pembatas pada kondisi suhu dan pH yang tidak optimal (Sublette, 1993
dalam Sugoro, 2002).
9. Mikroorganisme
Dalam proses degradasi minyak bumi, jenis dan jumlah mikroorganisme
mempengaruhi proses biodegradasi. Interaksi antar populasi bakteri akan
mempercepat terjadinya proses biodegradasi minyak bumi. Setiap bakteri
memiliki jalur metabolisme berbeda-beda.
Bentuk konsorsium dalam kultur campuran mempercepat proses
biodegradasi secara sempurna. Dalam penelitiannya Udiharto (1992)
menyatakan bahwa menggunakan kultur campuran isolat bakteri untuk
mendegradasi minyak bumi yang mencemari laut memiliki biodegradabilitas
tinggi lebih baik dibandingkan kultur murni. Pada umumnya, bakteri hanya
melakukan satu atau dua tahapan dari suatu jalur metabolisme dan bila bakteri
(39)
metabolisme akan lebih panjang dan lebih menguntungkan bila terjadi
konsorsium yang bersifat sinergisme (Sugoro, 2002).
2.6 Bioremediasi
Bioremediasi merupakan suatu proses yang penting bagi rehabilitasi
lingkungan yang tercemar minyak bumi ataupun produk-produknya, dengan
memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk menguraikan pencemar tersebut
menjadi bentuk yang lebih sederhana, tidak berbahaya dan memberikan nilai
tambah bagi lingkungan (Leahy and Rita, 1990).
Menurut Gritter, et al (1991) dari segi biaya dan kelestarian lingkungan,
bioremediasi lebih murah dan berwawasan lingkungan dibandingkan dengan
metode pemulihan lingkungan baik secara fisika maupun kimiawi. Bioremediasi
dilakukan dengan cara memotong rantai hidrokarbon tersebut menjadi lebih
pendek dengan melibatkan berbagai enzim. Sistem enzim-enzim tersebut dikode
oleh kromosom atau plasmid, tergantung pada jenis bakterinya (Harayama, 1995).
Pada proses bioremediasi ada beberapa persyaratan supaya bioremediasi
dapat berjalan dengan sukses, adapun kriteria menurut Steven and Marc, 1996
adalah:
a. Adanya populasi mikroba, yaitu mikroba yang dapat mendegradasi
polutan.
b. Terdapatnya sumber energi dan sumber karbon yang bisa digunakan
sebagai sumber energi dengan melepaskan elektron selama transformasi
dan juga digunakan oleh sel mikroba tersebut.
c. Adanya elektron akseptor, elektron lepas dikarenakan adanya transformasi
(40)
d. Adanya nutrisi, Pertumbuhan bakteri memerlukan nutrisi antara lain:
nitrogen, phospor, kalsium, potasium, magnesium, besi dan lain-lain.
e. Kondisi lingkungan yang mendukung seperti temperatur, pH, salinitas,
tekanan, konsentrasi polutan dan kehadiran inhibitor.
Berdasarkan agen dan proses biologis serta pelaksanaan rekayasa,
bioremediasi dapat dibagi menjadi lima kelompok (Gossalam, 1999) yaitu:
a. In situ Bioremediasi
In situ bioremediasi juga disebut interistik bioremediasi atau natural
attenuation, secara prinsip merupakan rancangan yang mengandalkan
kemampuan mikroorganisma indigen dalam merombak polutan untuk
melenyapkan polutan dari lingkungan.
b. Ex situ Bioremediasi
Ex situ bioremediasi merupakan pemindahan polutan dalam suatu tempat
untuk diberikan suatu perlakukan (above ground treatment).
c. Bioaugmentasi
Bioaugmentasi merupakan perlakuan biologis dengan menggunakan
mikroorganisme perombak pemulih lingkungan yang tercemar. Ada
beberapa situasi yang mensyaratkan penggunaan mikroorganisma selektif
tersebut seperti:
1) Mikroorganisme indigen hanya mampu merombak polutan dengan
kecepatan sangat rendah.
2) Mikroorganisme indigen perombak polutan pada lingkungan bersangkutan
(41)
3) Lingkungan telah tercemar berat sehingga perlu dilakukan pemulihan
populasi mikroorganisme.
4) Bila kecepatan perombakan polutan menjadi faktor tertentu.
5) Jika waktu dan biaya yang tersedia untuk melakukan bioremediasi hanya
sedikit.
d. Surfactan-aided Bioremediation
Surfactan-aided Bioremediation, umumnya digunakan untuk pendegradasi
polutan yang melekat pada partikel tanah ( tanah, pasir atau sendimen).
e. Fitoremediasi
Penggunaan tanaman atau pohon untuk pemulihan tanah atau badan
perairan yang telah tercemar. Tanaman bisa berperan aktif maupun pasif
dalam proses penyisihan polutan.
Metode dan prinsip proses bioremediasi adalah biodegradasi yang
dilakukan secara aerob, oksigen dalam konsentrasi rendah akan mempengaruhi
proses tersebut (Eweis et al.,1998). Pentingnya aerasi untuk memenuhi
kekurangan oksigen berkaitan dengan kurang efektifnya kerja enzim oksigenase
dalam penguraian fraksi aromatik. Selain oksigen, rendahnya kandungan nutrisi
dalam medium akan membatasi pertumbuhan mikroorganisme untuk
mendegradasi.
Dalam bioremediasi penggunaan mikroorganisme indigenous (indigen)
saja masih belum maksimum sehingga diperlukan inokulasi mikroorganisme
eksogenous (eksogen) yang merupakan kultur campuran (konsorsium) beberapa
jenis bakteri atau jamur yang potensial dalam mendegradasi pencemar tersebut
(42)
Mikroorganisme yang digunakan adalah bakteri yang memiliki
kemampuan untuk mendegradasi minyak bumi. Mikroorganisme yang memiliki
kemampuan tersebut, dikenal sebagai mikroorganisme hidrokarbonoklastik, yaitu
mikrooganisme yang mampu memanfaatkan minyak bumi sebagai sumber karbon
untuk pertumbuhannya. Bakteri sering digunakan dalam proses bioremediasi
karena memilki kemampuan adaptasi dan reproduksi yang tinggi. Bakteri ini
dapat diperoleh dengan cara mengisolasi bakteri secara langsung dari limbah
minyak bumi, karena kemungkinan besar memiliki kemampuan mendegradasi
minyak bumi (Atlas, 1992).
2.7 Bioremediasi ‘LandFarming’
Penerapan bioremediasi hidrokarbon umumnya dibatasi oleh faktor
lingkungan dan kemampuan adaptasi mikroba. Bioremediasi yang efektif adalah
proses yang menyebabkan perubahan hidrokarbon menjadi produk non toksik,
seperti air dan karbondioksida. Dua pendekatan umum yang biasa digunakan
untuk bioremediasi pencemar adalah modifikasi lingkungan seperti penambahan
pupuk dan penambahan pendegradasi hidrokarbon dengan bibit (Atlas, 1992).
Salah satu teknik penerapan bioremediasi adalah menggunakan teknik
landfarming. Cara ini merupakan salah satu teknik bioremediasi yang dilakukan
di permukaan tanah. Prosesnya memerlukan kondisi aerob, dapat dilakukan secara
in-situ maupun ex-situ. Landfarming merupakan teknik bioremediasi yang telah
lama digunakan, dan banyak digunakan karena tekniknya sederhana.
Faktor-faktor yang membatasi pelaksanaan dan keefektifan proses
landfarming adalah:
(43)
b. Kondisi yang menguntungkan proses biodegradasi limbah tidak dapat
dikontrol secara baik.
c. Kontaminan anorganik yang tidak bisa didegradasi.
d. Kemungkinan yang dihasilkannya sejumlah besar partikulat selama proses.
e. Kehadiran ion logam yang mungkin bersifat toksik untuk mikroorganisme
dan mungkin terlepas dari tanah terkontaminasi ke lapisan dasar atau air
tanah.
Keefektifan perlakuan landfarming dengan kontaminan minyak bumi telah
dibuktikan secara eksperimen yang terkontrol di laboratorium maupun dilapangan.
Dalam skala laboratorium, percobaan dilakukan oleh Takenaka (1999) dalam
Sugoro (2002) dengan kadar minyak diesel dalam tanah 1,5% (15 g/kg). Secara
periodik dilakukan penggemburan dan penambahan garam mineral. Kadar minyak
berkurang secara bertahap dan abu minyak menghilang setelah 3 atau 4 bulan.
Setelah 6 bulan, tidak ditemukan lapisan minyak terbentuk saat tanah
dicampurkan ke dalam air.
2.8 Remediasi Dengan Tanaman
Tumbuhan mempunyai kemampuan untuk menahan substansi toksik
dengan cara biokimia dan fisiologisnya serta menahan substansi non nutritif
organik yang dilakukan pada permukaan akar. Bahan pencemar tersebut akan
dimetabolisme atau diimobilisasi melalui sejumlah proses termasuk reaksi
oksidasi, reduksi dan hidrolisa enzimatis (Khan et al., 2000).
Beberapa bahan kimia dimineralisasi oleh tanaman dengan bantuan air dan
(44)
hasil fotosintesis melalui eksudat akar. Hal ini dapat membantu proses
pertumbuhan dan metabolisme mikroba maupun fungi yang hidup disekitar
rizosfer. Beberapa senyawa organik yang dikeluarkan melalui eksudat akar
(misalnya phenolik, asam organik, alkohol, protein ) dapat menjadi sumber karbon
dan nitrogen sebagai sumber pertumbuhan mikroba yang dapat membantu proses
degradasi senyawa organik. Sekret berupa senyawa organik dapat membantu
pertumbuhan dan meningkatkan aktivitas mikroba rhizosfer ( Salt et al., 1998 ).
2.8.1 Mekanisme Kerja Tanaman
Mekanisme kerja fitoremediasi terdiri dari beberapa konsep dasar yaitu:
fitoekstraksi, fitovolatilisasi, fitodegradasi, fitostabilisasi, rhizofiltrasi dan
interaksi dengan mikroorganisme pendegradasi polutan (Kelly, 1997).
Fitoekstraksi merupakan penyerapan polutan oleh tanaman dari air atau tanah dan
kemudian diakumulasi/disimpan didalam tanaman (daun atau batang), tanaman
seperti itu disebut dengan hiperakumulator. Setelah polutan terakumulasi,
tanaman bisa dipanen dan tanaman tersebut tidak boleh dikonsumsi tetapi harus
musnahkan dengan insinerator kemudian dilandfiling. Fitovolatilisasi merupakan
proses penyerapan polutan oleh tanaman dan polutan tersebut dirubah menjadi
bersifat volatil dan kemudian ditranspirasikan oleh tanaman. Polutan yang di
dilepaskan oleh tanaman ke udara bisa sama seperti bentuk senyawa awal polutan,
bisa juga menjadi senyawa yang berbeda dari senyawa awal.
Fitodegradasi adalah proses penyerapan polutan oleh tanaman dan
kemudian polutan tersebut mengalami metabolisme didalam tanaman.
Metabolisme polutan didalam tanaman melibatkan enzim antara lain nitrodictase,
(45)
dilakukan oleh tanaman untuk mentransformasi polutan didalam tanah menjadi
senyawa yang non toksik tanpa menyerap terlebih dahulu polutan tersebut
kedalam tubuh tanaman. Hasil transformasi dari polutan tersebut tetap berada
didalam tanah. Rhizofiltrasi adalah proses penyerapan polutan oleh tanaman tetapi
biasanya konsep dasar ini berlaku apabila medium yang tercemarnya adalah badan
perairan.
2.8.2 Interaksi Tanaman dan Mikroorganisme Pada Proses Remediasi Tanah Yang Tercemar.
Tanaman dapat berperan langsung atau tidak langsung dalam proses
remediasi lingkungan yang tercemar. Tanaman yang tumbuh dilokasi yang
tercemar belum tentu berperan secara aktif dalam penyisihan kontaminan,
biasanya tanaman tersebut berperan secara tidak langsung. Yang berperan aktif
dalam biodegradasi polutan adalah mikroorganisme tanah sedangkan tanaman
bersifat mendorong percepatan remediasi lokasi yang tercemar tersebut.
Gambar 2.3 Mekanisme interaksi tanaman dan mikroba untuk remediasi polutan minyak (Tang, 2010)
Ada beberapa penelitian mengenai peranan positif tanaman dalam proses
remediasi seperti yang dilakukan Anderson et al dalam Erickson et al., 1999 :
beberapa tanaman tidak secara aktif berperan dalam remediasi tanah tetapi Reaksi sinergis Tanaman
Mikroorganisme Menyediakan hara dan kondisi kehidupan Meningkatkan
kesuburan dan mengurangi racun Pencemaran Hidrokarbon
minyak bumi
Degradasi Polutan
(46)
tanaman berfungsi sebagai faktor pendorong dan fasilitator membantu
mikroorganisme tanah dalam meningkatkan efesiensi biodegradasi polutan.
Peranan tanaman dalam proses mempercepat remediasi pada lokasi yang tercemar
bisa dalam berbagai cara antara lain:
1) Solar driven-pump-and-treat-system
Tanaman mengalami transpirasi, proses ini adalah penyerapan air dan air
tersebut diuapkan ke udara melewati stomata pada daun. Proses transpirasi ini
mengunakan matahari sebagai sistem yang membantu transpirasi. Pada saat
transpirasi terjadi akar tanaman menghisap zat cair dan larutan yang berada
disekitar akar tertarik kedaerah rhizospher sehingga kontaminan lebih
terkonsentrasi didaerah rhizospher dan mempermudah bakteri untuk
mengambilnya sebagai sumber nutrisi. Proses penarikan polutan kedaerah
rhizosfer dengan bantuan sinar matahari disebut dengan Solar
driven-pump-and-treat-system.
2) Biofilter
Tanaman dapat mengadsorpsi dan mendegradasi kontaminan yang berada di
udara, air dan daerah buffer. Proses adsorpsi tersebut bersifat menyaring/filter
untuk kontaminan.
3) Transfer oksigen dan menurunkan watertable
Tanaman dengan sistem perakarannya dapat berfungsi sebagai oksigen
transfer bagi mikroorganisme dan dapat menurunkan water table sehingga difusi
gas dapat terjadi. Fungsi ini biasanya dilakukan oleh tanaman apabila
(47)
4) Penghasil sumber karbon dan energi
Senyawa polutan biasanya bersifat tidak terlarut pada air sehingga
mikroorganisme belum dapat mendegradasi polutan, mikroorganisme memerlukan
nutrisi alternatif sebelum dapat menggunakan polutan sebagai sumber karbon dan
energi. Dari beberapa hasil penelitian tanaman dapat berperan sebagai penghasil
sumber karbon dan energi alternatif yaitu dengan cara mengeluarkan eksudat atau
metabolisme oleh akar tanaman. Eksudat tersebut dapat digunakan oleh
mikroorganisme tanah sebagai sumber karbon dan energi alternatif sebelum
mikroorganisme tersebut menggunakan polutan sebagai sumber karbon dan
energi.
5) Rhizofiltrasi
Tanaman menyerap polutan yang terkandung didalam air melalui perakaran
tanaman.
2.8.3 Persyaratan Tanaman Untuk Fitoremediasi
Tidak semua tanaman dapat digunakan dalam remediasi, dikarenakan tidak
semua tanaman dapat melakukan metabolisme, volatilisasi dan akumulasi polutan
dengan mekanisme yang sama. Menurut Youngman (1999) untuk menentukan
tanaman yang dapat digunakan pada penelitian fitoremediasi dipilih tanaman yang
mempunyai sifat:
1) Cepat tumbuh.
2) Mampu mengkonsumsi air dalam jumlah yang banyak pada waktu yang
singkat.
3) Mampu meremediasi lebih dari satu polutan.
(48)
2.9 Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schumacher) Nama umum
Indonesia: Rumput gajah, rumput lembing
Inggris: Cane grass, elephant grass, napier grass Cina: Xiang cao
Jepang: Napaa agurasu Klasifikasinya:
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas: Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Sub Kelas: Commelinidae
Ordo: Poales
Famili: Poaceae (suku rumput-rumputan) Genus: Pennisetum
Spesies: Pennisetum purpureum Schumacher
Gambar 2.4 Rumput Gajah
Rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumacher), juga dikenal sebagai
rumput Napier, yaitu asli daerah tropis Afrika, tetapi telah berkembang di banyak
negara tropis lain di seluruh dunia (Frank Sauers and Sons, 1992 dalam Aroeira et
al, 1999). Menurut Boonman (1997) dalam Nyambati et al (2011) bahwa napier
(49)
digunakan oleh petani susu di sistem ini karena potensi hasil tinggi dan tahan
terhadap kekeringan, sehingga cocok sebagai pakan ternak potong dibandingkan
dengan rumput tropis lainnya. Hal ini terutama cocok untuk iklim pesisir dengan
curah hujan tahunan lebih dari 1000 mm, telah tumbuh dengan baik dalam kondisi
sub tropis. Rumput gajah adalah rumput seperti pohon tebu yang tebal, batang
yang kuat yang dapat mencapai ketinggian 4,5 m. Periode pertumbuhan utama di
musim panas, saat suhu dan kelembaban yang tinggi (Frank Sauers and Sons,
(50)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan yakni dari bulan Januari sampai
April 2011. Preparasi sampel dan analisis parameter fisik dan kimia serta uji
kuantitatif limbah lumpur minyak bumi dilakukan di Laboratorium Kebumian dan
Lingkungan, PATIR BATAN pasar jum‟at.
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat
Oven listrik, tanur, cawan petri, desikator, neraca analitik, pot plastik, pH
indikator, ketas saring, Erlenmeyer dan peralatan gelas lainnya.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya yaitu
vermikompos steril, n-heksan, rumput gajah, limbah lumpur minyak bumi yang
didapatkan dari pertambangan tradisional Cepu Jawa Timur.
3.3 Cara Kerja
Penelitian yang dilakukan adalah uji biodegradasi hidrokarbon minyak
bumi dengan media uji pot menggunakan Rancangan Acak Lengkap dan
perlakuan dilakukan berdasarkan perbedaan rasio C/N yaitu 15 dengan simbol A,
10 dengan simbol B, dan 5 dengan simbol C. Penambahan inokulum dan tanpa
(51)
3.3.1 Pembuatan Media Dalam Pot a. Tanpa Inokulan
Sebanyak 100 g berat kering lumpur minyak bumi dicampurkan dengan
urea sesuai rasio C/N yang digunakan, kemudian dicampur dengan 100 g berat
kering kompos serta diaduk sampai rata. Dan sisihkan kompos yang belum
dicampur untuk poting. Selanjutnya dimasukan dalam pot.
b. Dengan Inokulan
Sebanyak 100 g berat kering kompos tambah inokulan sebesar 5 g yang
dinamakan biokompos. Kemudian disisihkan sebagian untuk poting, lalu
dicampurkan dengan lumpur minyak bumi yang sebelumnya sudah ditambahkan
urea sesuai rasio C/N yang digunakan, diaduk hingga merata, selanjutnya
dimasukan dalam pot. Cara memasukan media dalam pot seperti gambar berikut:
Gambar 3.1 Media Uji Pot
Biokompos
Lumpur minyak bumi + Biokompos
(52)
3.3.2 Perlakuan
Pada penelitian ini, perlakuan berdasarkan perbedaan rasio C/N. Rasio
C/N dibuat 3 variasi yakni 5, 10, dan 15 berdasarkan identifikasi di Laboratorium
Tanah (Departemen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian).
Bahan yang digunakan dalam perlakuan terdiri dari sludge minyak bumi, urea,
dan kompos. Pemakaian urea sebagai sumber N dilakukan berdasarkan kebutuhan
unsur hara yang terdapat didalam tanah, variasi pemberian urea pada tahap
perlakuan didasarkan pada perbandingan rasio C/N. Tempat untuk menyimpan
media terbuat dari pot plastik berdiameter 15cm dengan jumlah medium yang
dimasukkan sebanyak 200 g berat kering. Pencuplikan dilakukan pada awal
pembuatan media dan akhir perlakuan, satu minggu sekali pengecekan
pertumbuhan rumput gajah, dan warna daun.
Perlakuan yang dilakukan ada yang diberi inokulan dan tanpa inokulan
selama 35 hari. Kemudian sampel dikode dengan huruf A, B, dan C. Setiap
sampel A, B, dan C dilakukan pengulangan empat kali, sampel A tanpa inokulan
dikode dengan A11, A12, A13, dan 14, dengan inokulan dikode dengan A21,
A22, A23, dan A24. Pada sampel B tanpa inokulan dikode dengan B11, B12,
B13, dan B14, untuk dengan inokulan dikode dengan B21, B22, B23, dan B24.
Sedangkan untuk sampel C tanpa inokulan dikode dengan C11, C12, C13, dan
C14, dan sampel dengan inokulan dikode dengan C21, C22, C23, dan C24.
Semua sampel dianalisis pada awal dan akhir perlakuan. Sebelum sampel
dimasukkan ke dalam media pot, dianalisis terlebih dahulu secara duplo yaitu pH,
WHC, kadar air, kadar abu, dan degradasi TPH. Kemudian pada akhir perlakuan
(53)
terbaik dengan parameter pH, WHC, kadar air, kadar abu, dan degradasi TPH.
Hasil pengukuran pH, WHC, kadar air, kadar abu, TPH, dan biomassa rumput
gajah dapat.
Pemberian inokulum dan tanpa inokulum dalam tahap perlakuan ini adalah
untuk melihat potensi penambahan mikroba hasil isolasi. Perlakuan tanpa
penambahan inokulum dimaksudkan untuk mengetahui potensi mikroba tanah dan
lumpur yang secara alami sudah ada dan teradaptasi.
Kompos yang digunakan sebagai penambah nutrisi yang tersedia serta
sebagai bulking agent. Tujuan pemberian kompos adalah untuk meningkatkan
nutrisi tersedia bagi bakteri untuk metabolisme dan untuk meningkatkan
kegemburan tanah sehingga dapat meningkatkan aerasi.
Selama perlakuan dilakukan pengukuran berbagai parameter yaitu : analisa
kimia – fisik yang dilakukan pada awal perlakuan dan akhir perlakuan sampel, diantaranya pengukuran pH, kadar abu/ash content, total petroleum hidrokarbon
(54)
Tabel 3.1 Perlakuan yang dilakukan dalam penelitian
Kode
Komposisi Lumpur minyak bumi
(g)
Biokompos
(g) Urea (g) Inokulum C/N
A11 200 - - - 15
A12 200 - - - 15
A13 200 - - - 15
A14 200 - - - 15
A21 200 - - + 15
A22 200 - - + 15
A23 200 - - + 15
A24 200 - - + 15
B11 100 100 2 - 10
B12 100 100 2 - 10
B13 100 100 2 - 10
B14 100 100 2 - 10
B21 100 100 2 + 10
B22 100 100 2 + 10
B23 100 100 2 + 10
B24 100 100 2 + 10
C11 100 100 9 - 5
C12 100 100 9 - 5
C13 100 100 9 - 5
C14 100 100 9 - 5
C21 100 100 9 + 5
C22 100 100 9 + 5
C23 100 100 9 + 5
C24 100 100 9 + 5
Keterangan : - (tanpa inokulan, tanpa urea, dan tanpa kompos) dan + (ditambah inokulan) Catatan : walaupun tanpa inokulan, perlakuan tersebut mengandung bakteri pendegradasi minyak bumi yang dapat terinduksi pertumbuhannya dengan mengoptimasikan kondisi lingkungannya, dalam hal ini medium bagi pertumbuhan.
3.3.3 pH
Timbang 5 g sampel A, B, dan C, kemudian ditambah aquades 25 ml
dengan perbandingan 1:5. Dikocok dengan mesin kocok selama 30 menit,
didiamkan selama 10 menit, lalu diukur dengan kertas lakmus (SEAMEO
(55)
3.3.4 Kadar Air / Kadar Kelembaban
Cawan dioven selama 1 jam, lalu dikeringanginkan dalam desikator
selama 30 menit. Diambil 5 gram masing-masing sampel A, B, dan C,
dimasukkan ke dalam cawan lalu ditimbang, kemudian dikeringkan di dalam oven
dengan suhu 65-105°C selama 24-72 jam. Setelah sampel kering dengan berat
yang tetap, kemudian ditimbang. Kadar air dihitung berdasarkan persamaan
(Natural Resources Conservation Service, 2000):
% Kadar air =berat sampel basah−berat sampel kering
berat sampe basah × 100% ...(1)
3.3.5 Kadar Abu / Ash Content
Sampel dan kompos A, B, dan C yang sudah diketahui kadar airnya, lalu
diabukan dalam tanur pada suhu 650°C selama 12 jam. Dihitung kadar abu dari
media kering berdasarkan persamaan (Zyomuya, 2005):
% Kadar abu = berat abu
berat kering × 100% ... (2)
3.3.6 Kemampuan Ikat Air/ Water Holding Capacity (WHC)
Sampel basah yang sudah diketahui terlebih dulu kadar airnya dianggap
sebagai berat awal (W0) dan kemudian ditempatkan dalam beker. Kemudian
sampel direndam dengan aquades selama 1-2 hari dan disaring menggunakan
kertas whatman, sampel jenuh dianggap sebagai berat jenuh (Ws), kadar air
sebagai MC, jumlah air yang tertahan oleh sampel dihitung sebagai WHC
menurut persamaan (Ahn etal., 2009):
�� = � −�0 +� ��0
1−� ��0
(56)
3.3.7 Total Petroleum Hidrokarbon (TPH)
10 g sampel ditambah 50 ml n-heksana dalam Erlenmeyer 250 ml.
Kemudian dishaker sampai terlihat minyaknya keluar dari sampel, lalu ditransfer
kedalam beaker glas yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian di uapkan dalam
oven pada suhu 70 0C, Minyak yang diperoleh lalu ditimbang untuk mengetahui
jumlah minyak yang terkandung dalam contoh sampel setelah ekstraktannya habis
menguap (Ijah & Upke 1992 dalam Ijah et al. 2008). Tingkat degradasi diukur
dengan rumus sebagai berikut:
% � � � �= ���0−���35
���0 �
100%………..… (4) TPH0 = TPH hari ke-0 (g)
(57)
Gambar 3.2 Diagram Alir Penelitian
Pengamatan pertumbuhan rumput gajah 7, 14, 21, 28, dan 35 HST:
tinggi dan foto
Pengamatan performa pertumbuhan rumput gajah :
Bobot basah/bobot kering
Data
Pengolahan data dan evaluasi akhir
Pembuatan laporan skripsi
SELESAI Pengamatan media H-35:
pH, AC, WHC, TPH, dan MC
Pengamatan media H-0: pH, AC, WHC, TPH, dan
MC inokulan mikroba
pendegradasi minyak (M1, M2. M3)
Mulai
Pembuatan media uji pot: VC/(VC+TTM)= 0 dan 25%; Inokulan = M0, M1, M2, dan M3
(8x4 pot)
Penanaman rumput gajah (35 hari)
Panen biomassa rumput gajah 35 HST
Biomassa tanaman rumput gajah 35 HST Media H-35
(58)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 pH
Hasil penelitian menunjukan bahwa pada keadaan awal pH masih
berkisaran 7,25-8,25 (Gambar 4.1). Hal ini sesuai dengan pH optimum karena
menurut Nghia (2007) pH optimum untuk biodegradasi berada kisaran antara 6
dan 8. Namun setelah diberi perlakuan, pH mengalami perubahan penurunan nilai
pH yang menunjukan bahwa mikroorganisme beraktivitas. Kebanyakan bakteri
tumbuh pada pH netral atau sedikit alkali. pH berpengaruh pada fungsi seluler
mikroorganisme, transport membran, dan keseimbangan reaksi (Cookson, 1990
dalam Sugoro, 2002).
Gambar 4.1 Hasil analisa pH
Berdasarkan hasil analisis, pada umumnya semua perlakuan mengalami
penurunan nilai pH. Penurunan nilai pH tersebut diduga disebabkan oleh aktivitas
konsorsium bakteri yang membentuk metabolit-metabolit asam. Biodegradasi
7.25 7.25 7.5 7.5
8.25 8.25
7.5
7
6.5 6.5 6.5
6.25
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
A1 A2 B1 B2 C1 C2
pH
Perlakuan
awal akhir
(59)
alkana yang terdapat dalam minyak bumi akan membentuk alkohol dan
selanjutnya menjadi asam lemak. Asam lemak hasil degradasi alkana akan
dioksidasi lebih lanjut membentuk asam asetat dan asam propionat (Gambar 4.2),
sehingga dapat menurunkan nilai pH medium (Rosenberg, E., Legmann,R.,
Kushmaro, A., Taube, R., dan Ron, E.Z. 1992 dalam Nugroho, 2006).
R CH2 CH2 CH3 O2 + 2H
+
-H2O
O O
R CH2 C
R CH2 CH2 CH3
O OHH
+
H
CH3
H+
R CH2 CH OH
CH3
alkohol sekunder -2H+
R CH2 C O
CH3
metilketon 2-keton
O2 + 2H+
-H2O
R CH2 O C O
CH3
asetilester
+H2O
R CH2 OH + R COOH
alkohol promer asam asetat
Siklus Krebs
-2H+
R CHO aldehid
-H2O
-2H+
R COOH
Siklus Krebs
Gambar 4.2 Oksidasi n-alkana melalui jalur sub terminal (Atlas and Bartha, 1992 dalam Nugroho, 2009).
Selain oksidasi terminal, mikroba juga dapat mengoksidasi hidrokarbon
alifatik melalui oksidasi subterminal (Gambar 4.2). Pada jalur ini molekul oksigen
dimasukan ke dalam rantai karbon membentuk alkohol sekunder yamg
(60)
dipecah membentuk alkohol primer dan asam lemak. Selanjutnya alkohol
dioksidasi melalui aldehid membentuk asam lemak dan kedua fragmen asam
lemak akan dimetabolisme lebih lanjut melalui β-oksidasi (Atlas and Bartha, 1992 dalam Nugroho, 2009).
Hasil tersebut dipertegas dengan uji anova yang menunjukan bahwa
rata-rata pH diantara keenam perlakuan awal tidak memberikan beda nyata (P ≥ 0,05), namun pada akhir perlakuan dari keenam perlakuan menunjukan berbeda nyata (P
≤ 0,05). Dengan demikian, maka pemberian biokompos pada proses degradasi memberikan pengaruh signifikan terhadap nilai pH keenam perlakuan (Lampiran
2).
Pada sampel A1, pH mengalami kenaikan yaitu pH awal sebesar 7,25 dan
pH akhir 7,5. Karena beberapa bakteri memiliki kemampuan untuk melakukan
upaya homeostatis terhadap keasaman lingkungan sebatas masih dalam toleransi
adaptasinya. Caranya dengan melakukan pertukaran kation K+ dari dalam sel dan
menukarnya dengan H+ yang banyak terdapat di lingkungannya. Akibatnya
keasaman lingkungan dapat dikurangi (Chator dan Somerville, 1978 dalam
Nugroho, 2006). Hasil penelitian ini sama dengan yang dilakukan oleh Tang et al
(2010) bahwa secara umum, perlakuan dengan mikroorganisme dan tanaman
dapat menurunkan pH tanah.
4.2 Kadar Air
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil analisa kadar air
(61)
Gambar 4.3 Hasil analisa kadar air
Kandungan air sangat penting untuk aktivitas metabolik dari mikoba pada
limbah minyak bumi karena mikroba akan hidup aktif di interfase antara minyak
dan air (Udiharto, 1996). Kelembaban berkisar antara 50-80% kapasitas
penyangga air merupakan kelembaban ideal untuk berlangsungnya aktivitas
mikroba (Santosa, 1999).
Melihat data hasil analisis kadar air, sampel A1, A2, B1, B2, C1, C2
mengalami kenaikan. Sampel yang mengalami kenaikanpun berbeda antara
sampel yang hanya ditambah inokulan saja, biokompos (kompos + inokulan) dan
sampel dengan kompos tanpa inokulan. Begitu juga perbedaan pada komposisi
urea yang ditambahkan (Lampiran 1). Hasil uji anova menunjukan bahwa
pemberian biokompos memberikan pengaruh terhadap % kadar air (Lampiran 3).
Pada sampel B1 dan C1 mengalami kenaikan kadar air karena sampel
tersebut ditambahkan kompos pada perlakuannya. Penambahan bahan organik
(kompos) dapat meningkatan porositas tanah. Kondisi ini juga akan berpengaruh
pada tingkat aerasi tanah dan status kadar air dalam tanah. Mikroba yang sudah
28.29 27.45 48.82 49.84 46.14 49.97 29.05 30.18
51.86 53.12 53.25
55.04 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00
A1 A2 B1 B2 C1 C2
Ka d a r A ir (% ) Perlakuan awal akhir
(62)
ada dalam kompos dapat memanfaatkan minyak sebagai sumber energi, sehingga
molekul-molekul minyak yang melekat pada pori-pori tanah terlepas dan terisi
dengan air. Sedangkan perbedaan kadar air antara sampel B1 dan C1 dengan B2
dan C2 (Lampiran 3) yaitu sampel B2 dan C2 menggunakan kompos + inokulan,
sehingga kadar air dari sampel B2 dan C2 lebih besar daripada sampel B1 dan C1.
Hal ini disebabkan adanya inokulan yang ditambahkan dari hasil isolasi terpilih.
Penambahan hasil isolate terpilih ini menyebabkan mikroba lebih cepat
mendegradasi minyak, karena adaptasi yang baik. Akibatnya pertumbuhan rumput
gajah pun mengalami kenaikan yang diperlihatkan dengan makin panjangnya
daun (Lampiran 7).
Sampel A1 dan A2 merupakan kontrol, namun A2 memiliki perbedaan
kadar air yang lebih besar dari A1 yaitu A2 sebesar 30,18% dan A1 sebesar
29,05%. Hal ini disebabkan sampel A2 ditambah inokulan sedangkan sampel A1
tidak. Inokulan tersebut dapat mendegradasi minyak lebih cepat, dan molekul
airpun dapat terjerap dalam pori-pori tanah.
Lampiran 7 menunjukan hasil pertumbuhan selama perlakuan. Pada
minggu pertama pertumbuhan rumput gajah secara baik untuk semua perlakuan.
Namun setelah minggu ke-5 pertumbuhan rumput gajah ada yang mengalami
penurunan, bahkan ada tanaman yang mati yaitu perlakuan A1, A2, C1, dan C2.
Pertumbuhan pada tanah yang tercemar minyak mentah dalam sampel A1, A2,
C1, dan C2 mengakibatkan pengurangan kadar air tanah. Kondisi ini
menyebabkan pertumbuhan rumput gajah mengalami penurunan pada akhir
perlakuan (Lampiran 7). Tanah yang tercemar minyak mentah menyebabkan
(63)
al., 2001;. Andrade et al., 2004 dalam Njoku et al., 2009). Akibatnya akumulasi
air terhadap permukaan tanah dan kekeringan buatan di lapisan bawah permukaan
tanah. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan bagi akar untuk menyerap air dan
nutrisi yang ada di lapisan bawah permukaan tanah.
Pertumbuhan akar tanaman ke dalam tanah membantu menciptakan
pori-pori di dalam tanah, sehingga meningkatkan penetrasi air dan infiltrasi di tanah
yang tercemar dengan minyak mentah. Hal ini dapat membantu menghilangkan
genangan air tanah yang tercemar minyak mentah dan dapat mengakibatkan
peningkatan aerasi tanah. Aerasi meningkat dapat mengakibatkan peningkatan
aktivitas mikroba aerobik di dalam tanah dan ini dapat menyebabkan
meningkatnya degradasi dari minyak (Njoku et al, 2009).
4.3 Kemampuan Ikat Air/Water Holding Capacity (WHC)
Kemampuan ikat air didefinisikan sebagai kemampuan suatu bahan untuk
menyerap dan menahan air. Hasil analisis WHC sampel dapat dilihat dari gambar
berikut. 40.32 38.85 97.05 100.90 88.44 101.64 41.47 43.90 109.04 115.00 118.35 124.11 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00
A1 A2 B1 B2 C1 C2
WH C (% ) Perlakuan awal akhir
(1)
Hasil Uji Duncan TPH Awal
Perlakuan N α 0.05
1 2
B1 2 0.02000 b
B2 2 0.02050 b
C1 2 0.02750 b
C2 2 0.02950 b
A2 2 0.06200 a
A1 2 0.06950 a
Sig. 0.290 0.375
Keterangan : huruf kecil yang sama (a dan b) menunjukan tidak beda nyata ( α 0,05)
Hasil Uji Duncan TPH Akhir
Perlakuan N α 0.05
1 2
C2 2 0.00250 b
B2 2 0.00350 b
B1 2 0.00700 b
C1 2 0.01450 b
A2 2 0.04500 a
A1 2 0.05500 a
Sig. 0.178 0.231
(2)
Lampiran 7.Uji Fisik Rumput Gajah
Hari/ Perlakuan Panjang daun (cm) Warna daun
H0
A11 15.5 Hijau
A12 15.8 Hijau
A21 14.2 Hijau
A22 2.1 Hijau
B11 5 Hijau
B12 15 Hijau
B21 12.6 Hijau
B22 14.5 Hijau
C11 3.5 Hijau
C12 10.5 Hijau
C21 9.6 Hijau
C22 14 Hijau
H7
A11 20 Hijau
A12 17.8 Hijau dan ujung daun kuning kecoklatan A21 20.3 Hijau dan ujung daun kuning kecoklatan
A22 8.3 Hijau dan ujung daun kuning kecoklatan
B11 10.5 Hijau
B12 24.3 Hijau dan ujung daun kecoklatan
B21 13.3 Hijau dan ujung daun kecoklatan
B22 19.1 Hijau dan ujung daun kuning
C11 10.5 Hijau
C12 11.1 Hijau dan ujung daun coklat
C21 24.1 Hijau dan ujung daun kecoklatan
C22 18.3 Hijau dan ujung daun kuning kecoklatan
H14
A11 23.4 Hijau
A12 - -
A21 - -
A22 18.3 Hijau
B11 19.2 Hijau
B12 36.2 Hijau
B21 41.4 Hijau
B22 28.6 Hijau
C11 - -
C12 - -
C21 - -
C22 - -
H21
A11 27.6 Hijau dan ujung daun coklat
A12 - -
A21 - -
A22 21.4 Hijau dan ujung dan coklat
B11 23.6 Hijau
B12 56.3 Hijau
B21 60.4 Hijau
B22 32.4 Hijau
C11 - -
C12 - -
C21 - -
C22 - -
H28
A11 -
A12 -
A21 -
A22 -
B11 26.3 Hijau dan ujung daun merah menguning
B12 61.4 Hijau dan ujung daun merah menguning
B21 72.2 Hijau dan ujung daun merah menguning
B22 41.1 Hijau dan ujung daun merah menguning
C11 - -
C12 - -
C21 - -
C22 - -
H35
A11 - -
A12 - -
A21 - -
A22 - -
B11 - -
B12 63.4 Hijau muda
B21 84.5 Hijau muda
B22 44.2 Hijau muda
C11 - -
C12 - -
C21 - -
(3)
Lampiran 8. Tempat pembuangan akhir lumpur minyak bumi di pertambangan tradisional Cepu Jawa Timur
(4)
Lampiran 9.Penamaan rumput gajah pada media pot
Perlakuan A1, A2, A3, dan A4 Perlakuan A5, A6, A7, dan A8
+ inokulan
Perlakuan B1, B2, B3, dan B4 Perlakuan B5, B6, B7, dan B8
+ inokulan
Perlakuan C1, C2, C3, dan C4 Perlakuan C5, C6, C7, dan C8
(5)
Lampiran 10.Perlakuan dimedia pot pada hari ke-35
Perlakuan A1, A2, A3, dan A4 Perlakuan A5, A6, A7, dan A8
+ inokulan
Perlakuan B1, B2, B3, dan B4 Perlakuan B5, B6, B7, dan B8
+ inokulan
Perlakuan C1, C2, C3, dan C4 Perlakuan C5, C6, C7, dan C8
(6)
Lampiran 11.Gambar hasil ekstraksi TPH
1. Sampel awal perlakuan
2. Sampel akhir perlakuan
Hasil ekstraksi TPH sebelum di uapkan Hasil ekstraksi TPH setelah di uapkan
Hasil ekstraksi TPH sebelum di uapkan (tanpa inokulan)
Hasil ekstraksi TPH sebelum di uapkan (dengan inokulan)
Hasil ekstraksi TPH setelah di uapkan Hasil ekstraksi TPH setelah di uapkan