Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

13

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan suatu negara yang luas, terbagi diantara beberapa pulau yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke. Disetiap wilayahnya terdapat daerah-daerah yang kemudian disatukan dan membentuk negara Indonesia. Hal ini juga diperjelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat 1, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah–daerah provinsi, dari daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Dari pengertian Undang-undang tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa desa merupakan bagian dari pemerintahan daerah. Pada dasarnya kehidupan berdemokrasi yang dapat disesuaikan secara langsung dengan nilai-nilai yang ada pada bangsa ini dapat dimulai dari demokrasi di desa. Secara historis, akar pemerintahan Indonesia adalah pemerintahan desa atau sistem pemerintahan desa. Artinya, sebelum pemerintahan Indonesia menjalankan perannya yang ada adalah pemerintahan desa. Di Indonesia saat ini terdapat kurang lebih tujuh puluh ribu desa dan mayoritas masyarakat Indonesia masih tinggal di desa. Secara umum masyarakat desa bertempat tinggal di suatu wilayah administrasi, dimana setiap penduduk saling mengenal dan masih didominasi Universitas Sumatera Utara 2 dengan nilai-nilai leluhur dari penduduk desa tersebut. Desa sebagai tempat hidup masyarakat didominasi oleh mata pencaharian dari pertanian dan juga biasanya penduduk desa bersifat homogen. Masyarakat desa sebagai sistem sosial berbeda dengan contoh sistem sosial lain, seperti kelompok sosial atau organisasi sosial. Mayarakat desa merupakan sistem sosial yang komprehensif. Artinya di dalam masyarakat desa terdapat semua bentuk pengorganisasian atau lembaga-lembaga yang diperlukan untuk kelangsungan hidup dan untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan dasar manusia. Namun ini tidak berarti keseluruhan masyarakat itu secara ekonomi benar-benar dapat memenuhi kebutuhan kebutuhannya sendiri 1 . Desa tidak diatur dalam undang-undang tersendiri, karena sesuai amanat UUD 1945 secara eksplisit tidak disebutkan kedudukan pemerintahan desa dalam susunan sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang- Undang No. 322004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan peraturan perundang-undangan terakhir yang mengatur tentang desa. Dimana dengan diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 tersebut membawa konsekuensi desa menjadi terdesentralisasi dan memiliki hak otonom berdasarkan asal-usul dan adat istiadat untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan bertanggungjawab terhadap Bupati atau Walikota 2 . Dan dalam Undang-Undang terbaru, yaitu UU No 6 tahun 2014 tentang desa, pada pasal 1 1 dijelaskan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk 1 Jabal Tarik Ibrahim. 2003. Sosiologi Pedesaan. Malang: UMM Pres. Hal. 30. 2 Moch Solekhan. 2012. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Malang: Setara Press. Hal. 38. Universitas Sumatera Utara 3 mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, danatau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa, pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa BPD dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan desa terdapat dua institusi yang mengendalikannya, yaitu Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa BPD. Berdasarkan sudut pandang politik, desa akan diidentifikasi sebagai sebuah organisasi kekuasaan. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa pemerintahan desa adalah pelaksana kegiatan penyelenggara pemerintahan yang terendah langsung di bawah Pemerintahan Kecamatan. Pemerintahan desa terdiri atas kepala desa, BPD dan perangkat desa yaitu sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 64 Tahun 1999 telah memberikan peluang dan kesempatan bagi desa dalam memberdayakan masyarakat desa, untuk menghidupkan kembali parlemen desa dengan tujuan membangun relasi yang demokratis desentralisasi dan demokrasi lokal melalui perluasan ruang partisipasi politik pada masyarakat desa, untuk menghapus dan Universitas Sumatera Utara 4 mengakhiri sentralisasi dalam mewujudkan suatu masyarakat yang otonom desa otonom 3 . Pemerintah Orde Baru mengatur Pemerintahan DesaMarga melalui UU No. 51979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini bertujuan untuk menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan Desa. Pada masa ini hak ulayat desa tidak dijadikan salah satu hal yang dapat menjadi nilai- nilai dalam mengambil keputusan terkait kepentingan desa, sebagai institusi dengan kedudukannya sebagai pemerintahan terendah di level bernegara, tepat dibawah kekuasaan pemerintahan kecamatan. Sehingga menimbulkan penyelenggaraan pemerintahan dan tata kelola desa akan didominasi persetujuan berdasarkan dari pihak Kecamatan. Secara otomatis kemandirian desa akan terpasung dan masyarakat desa yang diwakili oleh pemerintahan desa tidak memiliki kewenangan dalam mengelola serta mengatur wilayahnya sendiri. Demokrasi yang diharapakan sebagai jembatan peningkatan kesejahteraan masih jauh dari harapan pada masa ini. Desa sebagai pemerintahan level terendah tidak bisa bertindak sesuai dengan kehendaknya sendiri. Dalam kenyataan dengan berbagai peraturan dan ketentuan, masyarakat desa bukan diberdayakan akan tetapi lebih dibudidayakandiperlemah karena diambil berbagai sumber penghasilannya dan hak ulayatnya sebagai masyarakat tradisonal, hal yang sangat bertolak belakang dengan maksud penyeragaman desa untuk memperkuat 3 Ibid. Universitas Sumatera Utara 5 pemerintahan desa agar mampu menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pasca berakhirnya Orde Baru dengan lengsernya Presiden Soeharto, Pemerintahan Desa diatur dalam UU No. 221999 yang diperbarui menjadi UU No. 322004 tentang Pemerintahan Daerah, setelah hadirnya Undang-Undang ini Indonesia memasuki era desentralisasi dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengatur rumahtangganya secara mandiri. Provinsi, kabupaten, kota, dan bahkan desa saat ini tidak lagi menjadi kepanjangan tangan pusat melainkan sebagai mitra strategis dalam menjalankan dan mengelola pemerintahan diberbagai sektor. Menurut Undang-Undang dalam Bab XI pasal 200 sd 216, desa atau disebut dengan nama lain yang disesuikan dengan daerah dan bahasa daerahnya, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat- istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Desa dapat dibentuk, dihapus, danatau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD. Setelah lahirnya UU ini maka desa tidak lagi berada dibawah kontrol langsung kecamatan, namun dikontrol langsung oleh kabupaten. Selain itu terdapat pemisahan antara Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa. Melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No.22 Tahun 1999 Universitas Sumatera Utara 6 tentang Pemerintahan Daerah, undang–undang ini memberikan wacana dan paradigma baru dalam upaya mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan pemberdayaan, dan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan, serta daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, dan keadilan. Dalam UU 32 Tahun 2004 pasal 209 terjadi perubahan mendasar terhadap peran dan fungsi BPD, dimana LKMD diganti dengan istilah Badan Permusyawaratan Desa dan mengalami penurunan derajat dan wewenang, sehingga tidak ada lagi fungsi kontrol terhadap kepala desa, BPD juga tidak memiliki kewenangan dalam pengolahan keuangan desa, termasuk penetapan APBDes dan penetapan tata cara pungutan objek pendapatan dan belanja desa. Undang–undang ini menempatkan lembaga BPD bukan dibawah kepala desa implisit, melainkan BPD sebagai partner kepala desa dalam memfasilitasi warganya. Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Selain itu desa diartikan sebagai arena pertarungan ekonomi politik, antara kuasa politik dan modal berhadapan dengan masyarakat yang berlangsung dalam sejarah yang panjang. Pada tiap karakter kekuasaan suatu rezim, cenderung berdampak pada perlakuan pada desa, dimana hal ini tercermin dalam bentuk regulasi, kebijakan maupun program-program pembangunan yang Universitas Sumatera Utara 7 diterapkan mulai dari orde lama, orde baru sampai era reformasi. Desa juga memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI 4 . Penyelenggaraan pemerintahan desa harus sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pasal 202 tentang pemerintahan daerah. Pemerintahan desa memiliki peranan signifikan dalam pengelolaan proses sosial di dalam masyarakat. Tugas utama yang harus diemban pemerintah desa adalah bagaimana menciptakan kehidupan demokratik, memberikan pelayanan sosial yang baik sehingga dapat membawa warganya pada kehidupan yang sejahtera, rasa tentram dan berkeadilan 5 . Pemerintahan desa diharapkan harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat, agar masyarakat senantiasa memiliki rasa nyaman dan turut bertanggung jawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa. Dijelaskan juga dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005, bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Badan Permusyawaratan Desa BPD atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Pemerintahan desa dipimpin oleh seorang kepala desa. Kepala Desa adalah seorang tokoh di desa yang memenuhi berbagai persyaratan dan berhasil 4 Widjaja HAW. 2001. Pemerintahan DesaMarga. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Suatu Telaah Administrasi Negara . Jakarta: Rajawali Press. Hal. 65. 5 Ari Dwi Payana. 2003. Membangun Good Governance di Desa. Yogyakarta: IRE Press. Hal. 33. Universitas Sumatera Utara 8 memenangkan Pemilihan Kepala Desa Pilkades. Kepala Desa dipilih oleh rakyat desa yang telah memiliki hak memilih secara langsung. Syarat dan tata cara pemilihannya diatur dalam peraturan daerah yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 pasal 51 ayat 1 Kepala Desa Terpilih dilantik oleh BupatiWalikota paling lama 15 lima belas hari terhitung tanggal penerbitan keputusan BupatiWalikota. Pemilihan kepala desa merupakan pesta rakyat, dimana pemilihan kepala desa dapat diartikan sebagai suatu kesempatan untuk menampilkan orang-orang yang dapat melindungi kepentingan masyarakat desa 6 . Masyarakat desa memiliki kesempatan untuk memilih secara langsung siapa yang akan menjadi pemimpin di desanya. Pemilihan Kepala Desa tidak lepas dari partisipasi politik masyarakat desa. Partisipasi politik pada hakikatnya sebagai ukuran untuk mengetahui kualitas kemampuan warga negara dalam menginterpretasikan sejumlah simbol kekuasaan kebijaksanaan dalam mensejahterakan masyarakat sekaligus langkah- langkahnya ke dalam simbol-simbol pribadi. Atau dengan perkataan lain, partisipasi politik adalah proses memformulasikan ulang simbol-simbol komunikasi berdasarkan tingkat rujukan yang dimiliki baik secara pribadi maupun secara kelompok individual reference, social references yang berwujud dalam aktivitas sikap dan perilaku 7 . Pemilihan Kepala Desa pada umumnya mendapat campur tangan dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Dimana hal ini berdampak pada 6 Duta Sosialismanto. 2001. Hegemoni Negara. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Hal. 191. 7 Soemarsono. 2002. Komunikasi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. Hal. 4-5. Universitas Sumatera Utara 9 pelaksanaan demokrasi ditingkat desa tidak seperti yang diharapkan dan masih banyak yang dijadikan alat bagi para elit ekonomi untuk penguasaan dan memperkaya diri maupun kelompok tertentu, dan tidak lagi untuk menyejahterakan rakyat. Desa yang memiliki kewenangan dalam mengatur pemerintahannya, sehingga begitu rentan dan mudah dieksploitasi oleh kuasa politik dan modal. Desa yang memiliki kewenangan yang jelas dan diakui secara legal sebagaimana dalam Undang-Undang. Hal ini selaras dengan pengertian bahwa demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan desa sangat penting mengingat potensi kekuasaan elit desa yang tidak terkontrol. Desa dengan institusi-institusi supra desa dalam kerangka otonomi dan kewenangan desa, semestinya perlu meletakkan kedaulatan pada rakyatnya, bukan berkiblat pada penguatan kekuasaan elit lokal. Pada fakta di lapangan bahwa proses politik dalam pemilihan kepala desa bukan merupakan proses demokrasi, melainkan proses dominasi, dimana kekuatan-kekuatan para elit lokal mendominasi sistem pemerintahan desa. Disebut proses dominasi karena proses politik mengarah pada pembentukan dominasi kekusaan desa yang dilakukan oleh elit sosial, ekonomi dan politik desa terhadap keseluruhan warga desa. Proses ini juga memanfaatkan alat-alat kekuasaan desa untuk mengatur kebijakan melalui pemerintahan desa, dan mempengaruhi masyarakat desa agar tunduk dan taat terhadap aturan-aturan desa itu. Seringkali desa merupakan perpanjangan tangan dari birokrasi diatasnya dan Universitas Sumatera Utara 10 meneruskan pesan yang lebih sering berupa perintah yang diterapkan pada warga masyarakat desa 8 . Merekalah yang terlibat di dalam proses pengimbangan atau pengendalian terhadap masyarakat yang lain, sehingga berbagai kepentingan dari berbagai pengikut kelompok bisa terpelihara. Senantiasa adanya dorongan kemanusiaan yang tak dapat dihindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan yang memicu elit politik atau kelompok-kelompok elit untuk memainkan peranan aktif dalam politik 9 . Seperti halnya dengan kekuasaan desa yang dilakukan oleh elit politik, dimana setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil masyarakat yang mempunyai kualitas dalam mengarahkan masyarakat untuk menjatuhkan pilihan pada pemilihan kepala desa. Melalui pemilihan kepala desa, elit-elit yang ada di desa memperebutkan kekuasaan yang ada di desa tersebut untuk membuat dan menjalankan segala aturan-aturan yang akhirnya berpihak pada kepentingan elit-elit desa. Seperti contoh, pada penelitian yang dilakukan oleh Arfan Habibi yang berjudul Konstelasi Politik Dalam Pemilihan Kepala Desa yang terjadi di Desa Hutaibus Kecamatan Lubuk Barumun Kabupaten Padang Lawas. dimana pada Pemilihan Kepala Desa didesa tersebut terjadi aktivitas-aktivitas dalam Pemilihan Kepala Desa di Desa Hutaibus. Aktivitas tersebut adalah adanya pengaruh dari kelompok yang berkepentingan pada saat pemilihan berlangsung yang bertujuan dapat mempengaruhi masyarakat Desa Hutaibus pada saat pemberian suara berlangsung 8 T. Nick Wiratmoko dkk. 2004. Yang Pusat dan Yang Lokal Antara Dominasi, Resistensi, dan Akomodasi Politik di Tingkat Lokal. Salatiga: Pustaka Percik. Hal. 221-222. 9 S.P. Varma. loc.cit. Universitas Sumatera Utara 1 dengan cara memberikan imbalan atas partisipasinya memilih calon Kepala Desa Kades sesuai dengan keinginan kelompok tadi. Dalam pemilihan Kepala Desa Hutaibus minat masyarakat begitu tinggi untuk ikut berpartisipasi dalam proses Pilkades tersebut, karena bagi sebagian masyarakat tidak ada lagi tekanan dan intimidasi politik dari pihak manapun dan sebagian masyarakat adanya paksaan dari salah satu kandidat calon Kepala Desa Kades melalui tim suksesnya dengan membagikan kaos dan stiker serta adanya tekanan-tekanan para pemodal yang hadir dalam pelaksanaan pemilihan berlangsung. Dimana para pemodal tersebut memberikan uang secara cuma-cuma kepada sebagian masyarakat agar memilih calon yang sesuai keinginan pemodal tersebut, banyak sekali masyarakat yang mengikuti keinginan para pemodal tersebut untuk memilih salah satu calon karena telah diberikan imbalan sebelum masuk kedalam bilik suara. Selain itu ada juga sebagian masyarakat lainnya memilih calon Kepala Desa tersebut karena memiliki hubungan kekeluargaan trah dengan salah satu calon tersebut 10 . Demikian juga pada penelitian yang dilakukan oleh Wensdy Tindaon, yang berjudul Pemanfaatan Modal Sosial dan Kekuasaan Dalam Strategi Pemenangan Kepala Desa di Desa Bahapal Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun. Dimana pada Pemilihan Kepala Desa, calon Kepala Desa sudah membangun citra yang baik di dalam masyarakat dalam kurun waktu yang sudah lama dengan berpartisipasi secara aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Hal ini dibuktikan dengan strategi ini menjadikan calon Kepala Desa telah memenangi 10 Dikutip dari http:repository.usu.ac.idhandle12345678940654 diakses pada tanggal 14 Agustus 2015, pukul 16.30 WIB. . Universitas Sumatera Utara 12 dua periode pemilihan secara berturut-turut. Selain itu sang calon Kepala Desa telah menghimpun dukungan dari elit yang di desa, seperti Tokoh Adat, Tokoh Agama, Tokoh Pendidikan, kaum muda-mudi, dan calon Kepala Desa yang kalah. Hubungan baik yang sudah dibangun sejak lama menghasilkan timbal balik dari warga desa untuk memberikan kepercayaan kepada Kepala Desa yang terpilih. Disamping itu, calon Kepala Desa memanfaatkan modal sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai, dan moral sebagai kekuatan untuk menggerakkan atau memobilisasi dukungan agar bisa terpilih sebagai Kepala Desa 11 . Seperti pada contoh diatas, dapat dijelaskan bahwa setiap calon Kepala Desa juga menghimpun dukungan dari elit-elit yang ada di Desa. Elit-elit ini adalah seperti elit ekonomi, elit sosial, dan juga elit politik. Para elit-elit yang ada di desa yang pada akhirnya menghimpun suara untuk calon Kepala Desa. Dimana dalam penghimpunan masyarakat tentunya keberadaan para elit yang ada di desa dalam menghimpun masyarakat akan semakin meyakinkan masyarakat pada calon Kepala Desa tersebut. Disamping itu para elit-elit di desa juga mampu menjangkau pusat kekuasaan sosial dan politik yang penuh, dimana dalam hal ini adalah kepala desa di tingkatan terendah dalam sistem pemerintahan. Kepala desa memainkan peranan aktif dalam sistem politik yang disebabkan adanya kekuasaan yang diakui oleh masyarakat yang berdampak pada seluruh lapisan, termasuk pada lapisan ekonomi sehingga memunculkan para elit ekonomi yang sangat 11 Dikutip dari http:repository.usu.ac.idhandle12345678949275 diakses pada tanggal 14 Agustus 2015, pukul 17.00 WIB. . Universitas Sumatera Utara 1 berpengaruh pada sistem pemerintahan desa hingga pada penentuan pemerintahan desa itu sendiri. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa elit ekonomi membawa pengaruh yang sangat kuat dan juga mendominasi pada setiap aspek kehidupan masyarakat, termasuk pada struktur pemerintahan desa. Hal ini dikarenakan, para elit ekonomi yang mendominasi sumber-sumber kekuasaan, sehingga mampu memegang kendali atas pemerintahan desa. Seperti halnya pada pemilihan kepala desa di desa Simare, kecamatan Bor Bor, Kabupaten Toba Samosir pada tahun 2010. Dimana elit ekonomi berperan dalam mengarahkan pilihan masyarakat desa kepada satu calon tertentu. Setelah pemekaran Desa Simare di tahun 2009, pada tahun 2010 diadakan pemilihan kepala desa Pilkades untuk pertama kalinya di Desa Simare, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir. Pada saat pemilihan kepala desa terlihat peran para elit ekonomi dalam penentuan Kepala Desa, selain itu terdapat juga peran dari kalangan elit sosial yang mengarahkan masyarakat desa Simare untuk menjatuhkan pilihannya pada satu calon. Dimana pihak yang mencalonkan diri tetap merupakan bagian dari pelaku ekonomi. Hal ini seperti yang dikatakan oleh salah satu masyarakat yang tinggal di desa Simare, Bapak Parasian Tampubolon, yang juga sebagai karyawan di PT. Toba Pulp Lestari, Tbk PT. TPL. Parasian Tampubolon juga mengatakan bahwa dalam pemekeran desa Simare tidak terlepas dari kekuatan para wirausahaan yang merupakan penduduk asli desa tersebut dalam melaksanakan serangkaian Universitas Sumatera Utara 14 persyaratan dan juga melakukan pendekatan ke beberapa pejabat dan pemangku kekuasaan di Pemerintahan Kabupaten Toba Samosir. Hal inilah yang membuat calon kepala desa tetap merupakan pelaku ekonomi, karena disaat proses pemekaran tokoh yang mendominasi terjadinya pemekeran merupakan pihak dari pelaku ekonomi. Parasian Tampubolon juga menuturkan bahwa lobi politik terjadi bukan hanya pada proses pemekaran, juga berlanjut pada proses pemilihan kepala desa. Dimana dalam pemilihan kepala desa, para wirausahawan elit ekonomi desa ikut mengarahkan masyarakat untuk memilih salah satu calon kepala desa, yang memiliki tujuan untuk mempermudah kepentingan para pelaku ekonomi di desa tersebut melalui salah satu calon kepala desa yang dianggap mampu membantu dan mempermudah kepentingan usahanya. Desa Simare merupakan desa pemekaran dari Desa Lintong pada tahun 2009. Pada proses pemekarannya tahun 2008, elit ekonomi berperan penuh dalam mengusulkan agar terjadinya pemekaran desa Simare dari desa Lintong kepada pemerintah kabupaten. Disamping alasan untuk mempercepat urusan administrasi desa, dan keberadaan kantor sektor PT. TPL yang berada di desa Simare dapat membantu pertumbuhan ekonomi masyarakat desa Simare, dan juga membuka peluang yang sangat besar kepada para elit ekonomi yang menjadi penguasa dalam pemerintahan desa untuk mencapai tujuan suatu kelompok tertentu. Adanya dominasi kekuatan ekonomi pada penentuan eksekutif desa atau kepala desa di Desa Simare dikarenakan keberadaan kantor sektor PT. Toba Pulp Lestari, Tbk PT. TPL yang bergerak dalam bidang produksi bahan pembuatan Universitas Sumatera Utara 1 kertas yang tepat berada di Desa Simare. Dengan keberadaan kantor sektor PT. Toba Pulp Lestari memberi peluang yang sangat besar kepada masyarakat di Desa Simare untuk berwirausaha sesuai dengan apa yang dibutuhkan dalam proses pembuatan bahan produksi PT. Toba Pulp Lestari. Masyarakat yang berwirausaha tersebut menjadi kelompok-kelompok elit ekonomi yang berpengaruh di Desa Simare dalam penentuan eksekutif desa pada pemilihan kepala desa Pilkades tahun 2010 untuk masa jabatan 2010 – 2016. Dengan keberadaan kantor sektor PT. Toba Pulp Lestari di desa Simare yang memunculkan para elit ekonomi yang berasal dari kalangan wirausahaan, sehingga membawa pengaruh pada penentuan ekskutif desa Simare tahun 2010. Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul Dominasi Kekuatan Ekonomi Dalam Penentuan Kepala Desa di Desa Simare, Kecamatan Bor – Bor, Kabupaten Toba Samosir. 1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah 1.2.1 Perumusan Masalah