Teori Posivisme Hukum TEORI HUKUM TENTANG KEDUDUKAN KHI DI INDONESIA

2. Ketetapan MPR 3. Undang-Undang UUPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu 4. Peraturan Pemerintah PP 5. Peraturan Presiden Perpres 6. Peraturan Daerah Perda, termasuk pula Qanun yang berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam, serta Perdasus dan Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat.

B. Teori Posivisme Hukum

Kajian terhadap positivisme hukum di Indonesia menjadi sangat penting selain dari pada melihat perdebatan-perdebatan yang berakar pada soal pilihan aliran teori hukum mana yang baik atau yang kurang tepat diterapkan di Indonesia. Hal ini setidaknya dikarenakan adanya pandangan yang menyatakan, bahwa di dalam pengaruh paradigma positivisme,para pelaku hukum menempatkan diri dengan cara berpikir dan pemahaman hukum secara legalistik positivis dan berbasis peraturan rule bound sehingga tidak mampu menangkap kebenaran, karena memang tidak mau melihat atau mengakui hal itu. Dalam ilmu hukum yang legalitis positivistis, hukum hanya dianggap sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, dan deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Dalam konteks hukum Indonesia, doktrin dan ajaran hukum demikian yang masih dominan, termasuk kategori “legisme”nya Schuyt. Hal ini dikarenakan “legisme” melihat dunia hukum dari teleskop perundang-undangan belaka untuk kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi. 7 Munculnya gerakan positivisme mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang kehidupan manusia. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan. Menurut para pakar, positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam masyarakat. Pemikir positivisme hukum yang terkemuka adalah John Austin 1790-1859 yang berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum sendiri menurut Austin terletak pada unsur “perintah” command. 8 Menurut Austin hukum adalah peraturan-peraturan yang berisi perintah, yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal dan dibuat oleh makhluk yang 7 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Cet. Ke-4, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005, hal. 60 8 John Austin, The Province Of Jurisprudence, dalam Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 2004, hal 114 berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka itu. Jadi, landasan dari hukum ada lah “kekuasaan dari penguasa”. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup closed logical system, dimana keputusan-keputusan hukum yang benartepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan nilai-nilai yang baik atau buruk. Karakteristik hukum yang terpenting menurut Austin terletak pada karakter imperatifnya. Hukum dipahami sebagai suatu perintah dari penguasa. Akan tetapi tidak semua perintah oleh Austin dianggap sebagai sebagai hukum, menurut pandangannya hanya oleh perintah-perintah umum yang mengharuskan seseorang atau orang-orang untuk bertindak untuk menaati hukum tersebut. Kata kunci dalam hukum menurut Austin adalah perintah yang diartikan perintah umum dari entitas politik yang memiliki kedaulatan, yakni otoritas politik yang paling tinggi the supreme political authority, yang berfungsi mengatur perilaku anggota masyarakat. Yang memiliki kedaulatan ini mungkin individu atau juga sekelompok individu. Syaratnya : 1 individu atau kelompok individu merupakan orang atau sekelompok orang yang dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat; dan 2 individu atau kelompok individu yang berdaulat ini tidak patuh pada siapa pun juga di atasnya. Jadi sumber hukum menurut Austin, adalah penguasa teringgi yang de facto dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat sementara ia sendiri tidak tunduk pada siapa pun. Jika mengacu pada apa yang dikatakan oleh Austin maka menurut Huijbers ada dua hal yang patut dicatat, yaitu sebagai berikut: a Bidang yuridis mendapat tempat yang terbatas, yaitu menjadi unsur negara. Wilayah hukum bertepatan dengan wilayah suatu negara. b Hukum mengandung arti kemajemukan sebab terdapat beberapa bidang hukum di samping negara, walaupun bidang-bidang itu tidak mempunyai arti hukum dalam arti yang penuh. Hukum dalam arti yang sesungguhnya adalah hukum yang berasal dari negara dan yang dikukuhkan oleh negara. Hukum-hukum lain dapat disebut hukum, tetapi tidak memiliki arti yuridis yang sesungguhnya. Dapat disimpulkan bahwa positivisme hukum hadir memberikan jawaban atas aspek kepastian hukum. Ini tentumenghindari adanya disparitas atas memandang sebuah kejahatan sertastandar nilai yang sama untuk menjawab sebuah persoalan. Hans Kelsen dalampandangan hukumnya berhasil “mematematiskan” rumusan sebuah aturan hukumdalam bentuk, subjek hukum ditambah bentuk kesalahan yang menghasilkan adanyahukuman. Meskipun, sampai saat ini, ini merupakan sebuah cara yang jelas sangatberguna yang dapat digunakan oleh para praktisi atau analis hukum untukmengidentifikasi pokok persoalan dari penyelidikannya tetapi ia mengarahkanmenjauh dari gagasan bahwahukum itu terdiri dari proses-proses yang terkaitdengan manusia. 9 9 Roger Cotterrell, Sosiologi Hukum, ed. Terjemahan, Bandung: Nusa Media, 2012, hal. 13 Dalam paradigma postivistik sistem hukum tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan sekedar melindungi kemerdekaan individu person. Kemerdekaan individu tersebut senjata utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma positivistik berpandangan demi kepastian, maka keadilan dan kemanfaatan boleh diabaikan. Pandangan positivistik juga telah mereduksi hukum dalam kenyataannya sebagai pranata pengaturan yang kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik dan deterministik. Hukum tidak lagi dilihat sebagai pranata manusia, melainkan hanya sekedar media profesi. Akan tetapi karena sifatnya yang deterministik, aliran ini memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi. Artinya masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas dan ketaatan hukum demi tertib masyarakat merupakan suatu keharusan dalam positivisme hukum.

C. Teori Penemuan Hukum