Analisis Penulis PANDANGAN FRONT PEMBELA ISLAM TENTANG KEDUDUKAN

25 persen masih dalam proses perjuangan. Menurutnya, untuk yang 75 persen kita jaga dan amalkan dengan baik, nisacaya keberkahannya akan membuka sisa peluang 25 persen lainnya dengan izin Allah SWT. 36 Begitu juga dengan perjuangan peningkatan status KHI, dari pengamatan penulis, pola perjuangan yang akan dilakukan oleh FPI melalui jalur litigasi ataupun non-litigasi, seperti mengajukan legal drafting kepada stake holders, membuat opini, dakwah, ta’lim, aksi dan lainya. Prinsip utamanya adalah mana- mana bagian Syariat Islam yang sudah bisa ditegakkan, dengan atau tanpa perundang-undangan negara, maka wajib untuk segera kita laksanakan. Sedang mana-mana bagian Syariat Islam yang belum bisa dilaksanakan kecuali dengan melibatkan aturan negara, maka kita harus terus memperjuangkan formalisasinya dalam bentuk perundang-undangan.

D. Analisis Penulis

Mengamati pola dan perkembangan gerakan FPI yang sudah berjalan sekitar 16 tahun lebih ini 1998-2015 adalah cukup menarik bagi penulis untuk melihat karakteristik perjuangan FPI. Dalam konteks Indonesia, tidak berlebihan jika penulis sampai mengatakan, baru kali ini ada gerakan Islam yang mempumyai watak seperti yang ditunjukkan FPI dalam medan dan bentuk perjuangannya yang spesifik. Hampir seratus tahun gerakan Islam modern di Indonesia – mulai dari Syarekat Dagang Islam SDI 1905, Syarekat Islam SI 36 Habib Rizieq Syihab, Hancurkan Liberalisme Tegakan Syariat Islam, Jakarta Selatan: Suara Islam Press, 2013, hal. 190 1926, Muhammadiyah 1912, Nahdlatul Ulama NU 1926, dll —tidak ada yang mengkhususkan diri dalam perjuangannya terhadap isu pemberantas kemaksiatan dan isu-isu lainnya. Namun bagaimanakah dengan pandangan serta perjuangan FPI untuk meningkatkan status kedudukan KHI yang secara implisit hanya bersifat anjuran dan arahan bagi seluruh hakim pengadilan agama. Di tambah KHI hanya sebatas Instruksi Presiden Inpres, berbeda dengan Undang-undang yang bisa memaksa. Dalam perjalannya, upaya peningkatan status KHI menjadi sebuah undang-undang merupakan sebuah keharusan. Faktanya bisa dilihat dalam pernjalanan Counter Legal Draft CLD hingga RUU HTPA dari tahun ke tahun. Berdasrkan database Prolegnas program legislasi nasional dari tahun 2004- 2014, bahwa hukum materil peradilan agama atau substansi pembahasan KHI telah menjadi prioritas pembahasan untuk dijadikan undang-undang, baik yang diajukan oleh Pemerintah, DPR, ataupun keduanya. 37 Namun hingga kini hukum materil khusus peradilan agama masalah perkawinan dalam KHI masih belum juga menjadi undang-undang. Alhasil upaya baik pemerintah atau DPR untuk meningkatkan menjadi undang-undang dirasa nihil. Untuk itu perlu penguatan di wilayah suprastruktur politik baca: masyarakat, LSM, Ormas untuk menekan upaya legislasi dari pemerintah ataupun DPR. Seperti halnya proses legislasi 37 Lihat lampiran daftar prolegnas Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-undang Jakarta: Tp, 2010, hal. 176, 177, 178 dan 184 undang-undang pornografi, terorisme, perda miras dan lain-lain yang didukung penuh agar menjadi sebuah peraturan yang mengikat undang-undang. Dilain pihak, urgensitas sebuah peraturan perundang-undang ketika dipositivisasi diundangkan maka kedudukannya pun akan menjadi kuat dan bersifat memaksa, karena beberapa pasal dalam KHI sendiri mengatur terkait masalah aturan perkawinan, kewarisan, pengangkatan anak, pidana perwakafan dan lain-lain. tetapi disisi lain bahwa menurut beberapa bahwa Inpres tidak saja mengatur terkait sebuah aturan, tetapi hanya bersifat arahan serta rujukan instruksi saja dari presiden. 38 Di samping itu, ketika KHI menjadi sebuah undang-undang, secara tidak langsung telah memberikan jawaban atas aspek kepastian hukum. Ini tentu menghindari adanya disparitas putusan hakim khusunya di pengadilan agama, dalam memandang sebuah aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Disadari atau tidak, karena Indonesia menganut prinsip positvistik sekaligus rechviding penemuan hukum. Upaya positivistik terhadap aturan KHI-HTPA dirasa perlu, hal itu tidak saja datangnya dari pihak stakeholder pihak berkepentingan seperti DPR maupun Pemerintah, tetapi juga dari masyarakat, karena mau tidak mau kelompok penekan presure gruop seperti LSM, Ormas —akan memberikan 38 Lihat pendapat Jimly Asshiddiqie, dalam Hukum Online, Perbedaan Keputusan Presiden dengan Instruksi Presiden, lebih lengkap: http:www.hukumonline.comklinikdetaillt50cf39774d2ecperbedaan-keputusan-presiden- dengan-instruksi-presiden. diakses pada tanggal 08 Maret 2015 Pukul 06:00 bergain kekuatan kepada pemerintah untuk memaksa mereka pengupayakan KHI-HTPA menjadi sebuah undang-undang. Partisipasi ormas Islam seperti FPI sudah seharusnya berkontribusi dalam memberikan opini publik atau saran dan rekomendasi atas RUU HTPA karena hal ini juga akan memberikan bargain kekuatan citra tersendiri, agar FPI tidak dinilai sebelah mata dalam perjuangannya. Seharusnya FPI tidak saja hanya konsen terhadap kampanye isu-isu yang melulu condong terhadap isu-isu lama. Namun lebih dari itu, hal itu juga seharusnya menjadi prinsip utama dalam pergerakan FPI, karena sesuai dengan ADART Pasal 6 tentang Visi dan Misi FPI sebagai pejuang atau formalisasi Syariat Islam. Disamping itu upaya untuk melancarkan penegakan syariat Islam di Indonesia sangatlah jelas dipengaruhi oleh konsistensi dan kedudukan sebuah perundang-undangan yang mengikat, jika tidak, maka perjuangan FPI hanya sebatas pada problem kasuistik semata. Hal itu akan memunculkan tambal sulamnya upaya perjuangan FPI dalam penegakan syariat Islam. Seperti yang kita ketahui bahwa kedudukan Kompilasi Hukum Islam belum menjadi undang-undang, dan secara otomatis yang kurang memaksa. Meskipun aturan yang terkandung dalam isi KHI itu sempurna tetapi kedudukannya tidak mengikat ataupun memaksa, maka akan menimbulkan berbagai persoalan atau perdebatan dalam peradilan agama untuk memutuskan perkara di masyarakat. 62

BAB V PENUTUP