2.4 Stabilitas Warna Antosianin
Struktur dan konsentrasi antosianin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas warna antosianin. Antosianin umumnya lebih stabil pada
larutan asam dibandingkan pada larutan netral atau alkali. Dalam keadaan asam, struktur dominan antosianin berada dalam bentuk inti kation flavium yang
terprotonisasi dan kekurangan elektron. Peningkatan nilai pH menyebabkan kation flavilum menjadi tidak stabil dan mudah mengalami transformasi struktural
menjadi senyawa tidak bewarna seperti kalkon Jackman dan Smith 1996.
Oksigen dapat menstimulasi terjadinya proses degradasi antosianin secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung oksigen mampu menyebabkan
oksidasi antosianin membentuk senyawa tidak berwarna yang menurunkan stabilitas warna antosianin. Secara tidak langsung senyawa hidroksiradikal
mampu menyebabkan oksidasi pada struktur antosianin membentuk senyawa tidak berwarna seperti kalkon yang merupakan indikator degradasi warna
antosianin Ningrum 2005.
Cahaya juga dapat menyebabkan terjadinya proses degradasi antosianin. Cahaya memiliki energi tertentu yang mampu menstimulasi terjadinya reaksi
fotokimia fotooksidasi dapat menyebabkan pembukaan cincin karbon nomor dua. Pada akhirnya reaksi fotokimia fotooksidasi tersebut mampu membentuk
senyawa yang tidak berwarna seperti kalkon yang merupakan indikator degradasi warna antosianin Ningrum 2005. Degradasi lanjutan antosianin dapat
membentuk senyawa turunan lain yang tidak berwarna seperti 2,4,6 trihidroksibenzaldehida dan asam benzoate tersubtitusi lainnya. Jackman dan
Smith 1996.
Suhu juga merupakan faktor yang mempengaruhi kestabilan antosianin. Peningkatan suhu pengolahan hingga penyimpanan dapat mengakibatkan
kerusakan dan perubahan warna antosianin secara cepat, yaitu melalui tahapan : i terjadinya hidrolisis pada ikatan glikosidik antosianin dan menghasilkan
aglikon-aglikon yang labil; dan ii terbukanya cincin aglikon sehingga terbentuk gugus karbinol dan kalkon yang tidak berwarna. Selanjutnya menurut Jackman
dan Smith 1996, senyawa kalkon dapat mengalami degradasi membentuk senyawa tidak berwarna yang lebih sederhana yaitu asam karboksilat seperti asam
benzoat tersubtitusi dan karboksi-aldehida seperti 2,4,6 trihidroksibenzaldehida.
2.5 Tanaman Erpa Aerva sanguinolenta
Salah satu tanaman yang merupakan sumber potensial pewarna antosianin adalah daun tanaman erpa Aerva sanguinolenta yang termasuk kedalam suku
Amaranthaceae dan genus Aerva. Tanaman ini memiliki nama dagang atau nama umum sambang colok. Tanaman erpa memiliki beberapa nama daerah yaitu Ki
Sambang Sunda, Sambang Colok Jawa dan Rebha et raedhan Madura. Menurut Mardisiswojo dan Harsono 1985, tanaman ini tumbuh liar di halaman
dan di ladang-ladang sampai di dataran setinggi kira-kira 1000 m dari permukaan laut. Ada juga yang ditanam orang di halaman-halaman sebagai tanaman hias.
Heyne 1987 menambahkan bahwa tanaman sambang colok merupakan tanaman berbatang lemas dan tingginya sekitar 0.3-2 m. Daun sambang colok berbentuk
bulat hingga meruncing, bertepi rata dan berbulu, warnanya merah-coklat atau ungu. Bunganya berwarna merah atau merah muda. Daun inilah yang digunakan
sebagai pewarna alami. Kandungan yang terdapat dalam daun sambang colok yaitu mengandung senyawa alkaloid, minyak atsiri, dan flavonoid Restanti 1992.
Tanaman erpa merupakan tanaman berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai pewarna antosianin terutama untuk produksi dalam skala besar, karena
tanaman ini i memiliki umur panen relatif singkat, ii tahan terhadap hama dan penyakit iii mudah dibudidayakan dan dapat diproduksi sepanjang tahun
Ningrum 2005.
Gambar 2 Tanaman erpa Aerva sanguinolenta
2.5 Pengukuran Warna
Warna adalah spektrum cahaya yang dipantulkan oleh benda yang kemudian ditangkap oleh indra penglihatan kita yakni mata lalu diterjemahkan
oleh otak sebagai sebuah warna tertentu. Warna yang diterima jika mata memandang objek yang disinari berkaitan dengan tiga faktor: sumber sinar, ciri
kimia dan fisika objek, dan sifat-sifat kepekaan spektrum mata Putri 2012. Pada produk pangan warna merupakan faktor yang menentukan mutu, indikator
kematangan, indikator kesegaran dan juga indikator kerusakan pangan.
Terdapat berbagai metode dan alat yang bisa digunakan untuk pengukuran warna, beberapa contoh alat yang bisa digunakan dalam pengukuran warna adalah
kromameter dan spektrofotometer. Kromameter biasanya digunakan untuk sampel padat sedangkan spektrofotometer digunakan untuk sampel dalam bentuk cair.
Kromameter memiliki prinsip kerja berdasarkan pemantulan warna yang dihasilkan oleh sampel. Lampu getar yang terdapat di dalam kromameter akan
memancarkan sinar xenon dan menghasilkan penyebaran serta penerangan cahaya yang merata pada permukaan sampel. Enam buah fotosel silikon yang
memiliki sensitifitas tinggi dan filter untuk mencocokkan dengan respon standar CIE Commission Internationale dEclairage digunakan sebagai sistem
pengukuran umpan balik berkas ganda untuk mengukur sinar yang dipantulkan. Kromameter dapat mendeteksi setiap deviasi sinar spectral yang berasal dari
pancaran lampu getar xenon yang bekerja secara otomatis. Pada umumnya sistem output data hasil pengukuran adalah tiga output yaitu sistem warna CIE; sistem
warna Hunter Lab; dan sistem warna CIELAB Joshi dan Brimellow 2002. Sistem CIELAB, terdapat beberapa atribut nilai warna yang terdiri dari nilai L, a,
b,
o
hue, C, dan ∆E MacDougall 2002. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan warna dengan interval nilai 0
hitam hingga 100 putih. Nilai a merupakan nilai yang menunjukkan cahaya