Pembuatan Kemasan Cerdas Indikator Warna dengan Pewarna Bit (B. vulgaris L. var cicla L.).

(1)

PEMBUATAN KEMASAN CERDAS INDIKATOR WARNA

DENGAN PEWARNA BIT (B. vulgaris L. var cicla L.)

SKRIPSI

ASIH SETIAUTAMI

F34080126

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

MAKING OF SMART PACKAGING WITH COLOR INDICATOR FROM DYES BEET (B. vulgaris L. var cicla L.)

ENDANG WARSIKI AND ASIH SETIAUTAMI

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor West Java, Indonesia

Phone 62 51 7533 431,

Email :

ABSTRACT

Smart packaging is indicator packaging which can be placed internally or externally in the food packaging. This packaging can provide information regarding the state of packaging and product quality in it. The development of smart sensor in food packaging was continuously performed. The development of which is being done, that is a smart packaging with the form of film which given additional color as an indicator. The purpose of this research is to study and develop smart packaging by addition of natural dyes as well as studying the response of coloring in the piece as an indicator of film colors due to changes in storage conditions. Preliminary research has been conducted in order to obtain the best way of coloring on the film of chitosan as an indicator through brushing it as much as 6 ml per 400 cm2. The main research was done by observing the change color, weight loss, and thickness of sheet films in the storage temperature of the refrigerator 35ºC, freezer -5-(-10)ºC, and sun exposure. At a temperature of 3-5ºC and temperatures of --5-(-10)ºC, the film undergone a color change after 30 hours of storage, for sun exposure after 3 hours of storage. The Chromameter L,a,b value, weight loss and thickness was compared with storage conditions using a linear equation model. The measurement of color film produced determination coefficient L,a,b value of sun exposure were 0.664, 0.960, 0.937 respectively. Moreover, temperatures of 3-5ºC were 0.494, 0.356, 0.283, and 0.072, 0.388, 0.247 for the temperature of -5-(-10)ºC. At sun exposure, temperatures of 3-5ºC, and temperature of -5-(-10)ºC resulted on the thickness of determination coefficient as much as 0.407, 0838 and 0.720, while the measurement of the weight loss produced determination coefficient were 0.543, 0.490, and 0.272.


(3)

ASIH SETIAUTAMI. F34080126. Pembuatan Kemasan Cerdas Indikator Warna dengan Pewarna Bit (B. vulgaris L. var cicla L.). Di bawah bimbingan Endang Warsiki. 2013.

RINGKASAN

Saat ini terobosan baru dalam dunia kemasan berkembang dengan pesat. Salah satu hasil yang muncul akibat adanya perkembangan dalam teknologi kemasan, yaitu kemasan cerdas (smart packaging). Kemasan cerdas dapat memberikan informasi kepada konsumen dengan menghasilkan sensor kimia dan biosensor. Melalui kedua sensor tersebut akan memudahkan konsumen untuk memantau kualitas dan keamanan produk selama penyimpanan dan kualitas tersebut akan diinformasikan kepada konsumen secara langsung. Pengembangan aplikasi sensor kemasan cerdas terus menerus dilakukan. Pengembangan yang tengah dilakukan adalah kemasan cerdas dalam bentuk film dengan tambahan warna sebagai indikator mutu. Sebelumnya penelitian mengenai film kemasan cerdas dengan indikator warna pun telah banyak dilakukan. Berdasarkan berbagai penelitian tersebut, penggunan kitosan sebagai bahan dasar pembuatan film dan pewarna sintetik sebagai pewarna indikator merupakan bentuk penelitian yang paling banyak dilakukan. Hanya saja, pewarna sintetik memiliki kekurangan, yaitu tidak dapat memantau perubahan kualitas produk akibat pengaruh suhu dan cahaya. Kekurangan tersebut dapat diperbaiki oleh pewarna alami. Oleh karena itu, pengembangan kemasan cerdas dengan penambahan pewarna alami sebagai indikator sensor menarik untuk dilakukan.

Tujuan dari penelitian ini, yaitu (i) menghasilkan kemasan cerdas indikator warna berbahan kitosan dan kitosan-PVA dengan pewarna alami, (ii) mendapatkan teknik pengeringan dan pewarnaan yang memberikan warna film paling stabil, dan (iii) mengetahui respon film indikator pada berbagai suhu penyimpanan yang diukur melalui perubahan warna, susut bobot, dan ketebalan. Penelitian dilakukan 2 tahap, yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan formulasi pembuatan film terbaik sebagai film indikator (kitosan dan kitosan-PVA), prosedur pengeringan dan pewarnaan film yang tepat (freeze drying, oven vacuum, oven blower, dan metode oles), dan selang waktu perubahan warna film selama penyimpanan (paparan matahari, suhu ruang, ruang gelap, suhu 3-5ºC, dan suhu -5-(-10)ºC). Kemudian pada penelitian utama dilakukan pengamatan respon film indikator selama penyimpanan (paparan matahari, suhu 3-5ºC, dan suhu -5-(-10)ºC) terhadap perubahan warna, susut bobot, dan ketebalan.

Teknik pengeringan memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan warna film indikator. Warna film yang semula merah keunguan berubah menjadi kuning kehijuan pada pengeringan vakum, berwarna coklat pada pengeringan blower, dan berwarna merah muda pada pengeringan beku. Berdasarkan hasil pengamatan pewarna bit tersebut sensitif terhadap panas sehingga tetap tidak cocok untuk mengeringkan larutan film dengan pewarna bit. Kemudian pewarna bit tersebut mudah larut dalam air, sehingga pada pengeringan beku air bebas maupun air yang terikat secara fisik dan kimia ikut menguap. Agar pewarna alami ini tetap dapat digunakan sebagai pewarna indikator dalam kemasan cerdas ditemukan metode baru, yaitu metode oles. Hasil terbaik dari pembuatan film indikator adalah film indikator kitosan karena memiliki rentan waktu perubahan warna paling lama, yaitu 3 jam di paparan matahari, 30 jam di lemari es (3-5ºC dan -5-(-10)ºC), dan 14 jam di suhu ruang dan ruang gelap. Hasil pengukuran warna film indikator menghasilkan koefisien determinasi L,a,b untuk paparan matahari sebesar 0.664, 0.960, 0.937, suhu kulkas (3-5ºC) sebesar 0.494, 0.356, 0.283, dan 0.072, 0.388, 0.247 untuk suhu freezer (-5-(-10)ºC). Sementara pada pengukuran ketebalan koefisien determinasi pada paparan matahari, suhu kulkas (3-5ºC), dan suhu freezer (-5-(-10)ºC) masing-masing 0.407, 0.838, dan 0.720, sedangkan pada pengukuran susut bobot menghasilkan


(4)

PEMBUATAN KEMASAN CERDAS INDIKATOR WARNA DENGAN PEWARNA BIT (B. vulgaris L. var cicla L.).

Menyetujui, Pembimbing,

(Dr. Endang Warsiki, S.TP., M.Si) NIP. 19710305 199702 2 001

Mengetahui. Ketua Departemen,

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP. 19621009 198903 2 001


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pembuatan Kemasan Cerdas Indikator Warna dengan Pewarna Bit (B. vulgaris L. var cicla L.) adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari2013 Yang membuat pernyataan

Asih Setiautami F34080126


(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(7)

BIODATA RINGKAS

Asih setiautami. Lahir pada tanggal 19 Desember 1989 di Bogor Jawa Barat. Penulis adalah putri dari Endang Setiawan dan Cicih Sutarsih sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menempuh pendidikan pertama di Taman Kanak-kanak As’saadah pada tahun 1995-1996. Kemudian menempuh sekolah dasar di SDN Tajur 2 dan lulus pada tahun 2002, SMP Negeri 3 Bogor pada tahun 2002-2005, SMA Negeri 3 Bogor pada tahun 2005-2008, dan diterima masuk di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SMPTN (Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri) pada tahun 2008. Penulis memilih jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif dalam berbagai kegiatan seperti menjadi asisten praktikum Penerapan Komputer pada tahun 2010 dan asisten praktikum Teknologi Pengemasan, Distribusi, dan Transportasi pada tahun 2012. Selain itu, penulis juga aktif sebagai staf Himpunan Mahasiswa Teknologi Pertanian (HIMALOGIN) divisi Public Relation pada masa jabatan 2011-2012. Selain itu, penulis juga berperan serta dalam berbagai kepanitiaan. Pada tahun 2009 penulis menjadi pantia acara Agroindustrial Days sebagai staf divisi konsumsi. Pada tahun 2010 penulis juga menjadi panitia dalam acara Hari Warga Industri (Hagatri) HIMALOGIN IPB, panitia Atsiri Fair HIMALOGIN IPB, dan panitia IASLS (Indonesian Agroindustrial Student Leader Summit) Forum Agroindustri Indonesia.

Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2011 di PT Sari Wangi AEA, Cicadas, Gunung Putri dengan judul Mempelajari Teknologi Pengemasan, Penyimpanan dan Penggudangan di PT Sari Wangi Agricultural Estate Agency, Bogor. Kemudian sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun skripsi setelah melakukan penelitian di Laboratorium Pengemasan dan Laboratorium DIT (Dasar Ilmu Terapan) Departemen Teknologi Pertanian, FATETA, IPB mulai bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012, dengan judul ”Pembuatan Kemasan Cerdas Indikator Warna dengan Pewarna Bit (B. vulgaris


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Pembuatan Kemasan Cerdas Indikator Warna dengan Pewarna Bit (B. vulgaris L. var cicla L.) yang dilaksanakan di Laboratorium Pengemasan dan Laboratorium DIT (Dasar Ilmu Terapan) sejak bulan Juli sampai Desember 2012. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Endang Warsik, S.TP., M.Si sebagai dosen pembimbing akademik atas arahan dan bimbingannya kepada penulis dalam menyelesaikan laporan ini.

2. Citra Dewi Wahyono Putri atas kerja sama, bantuan, dan dukungan yang diberikan selama penulis melakukan penelitian.

3. Dr. Ir. Ika Amalia Kartika, MT dan Drs. Chilwan Pandji, Apt. M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan masukan bagi penulis dalam penyempurnaan laporan ini.

4. I.K Marla L dan M. Hadhitia Prasetyo atas kerja sama dan dukungan moril yang diberikan kepada penulis.

5. Wa Hesti, Fitriana Ayu, Elfira F, Yuyun Pujiastuti atas bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini.

6. Ginanjar Ilyas, Riv’atul alya, Rinata Yudhatama, Sheila Fanny Erawati, Sabila Ramadhani, Ida Nur Rahmawati, Anastasya Kristina,Tori Sane atas kebersamaannya selama penulis bekerja di laboratorium.

7. Dody Alexander, Niza Erica, Bunga Cahya Putri, Eko Sawirvi, Faisal Fahmi atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis.

8. Orang tua yang telah memberikan doa, kasih sayang, motivasi dan menyediakan segala kebutuhan penulis selama melaksanakan penelitian.

9. Kepada sahabat tercinta (Ismi Fatmawati dan Dyah Pangestuti) yang selalu bersedia memberikan semangat, dukungan, dan doa.

10. Rekan-rekan mahasiswa TIN 45 yang telah memberikan motivasi untuk memulai dan menyelesaikan laporan ini.

11. Pihak-pihak lainnya yang tidak dapat penulis tuliskan satu per satu yang telah membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung sejak pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian laporan ini.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi kemasan.

Bogor, Februari 2013


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Kemasan Cerdas ... 3

2.2 Kitin dan Kitosan ... 6

2.3 Kitosan sebagai Bahan Film ... 10

2.4 Bit ... 11

2.5 Pewarna Alami Bit ... 14

III. METODOLOGI ... 16

3.1 Alat dan Bahan ... 16

3.2 Metode ... 16

3.3.1 Penelitian Pendahuluan ... 16

3.3.2 Penelitian Utama ... 20

3.3 Pengolahan Data ... 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1 Penelitian Pendahuluan ... 21

4.1.1 Pembuatan Film Kitosan dan Kitosan-PVA ... 21

4.1.2 Pewarna Indikator ... 21

4.1.3 Teknik Pengeringan Film Indikator ... 22

4.1.4 Pewarnaan Film dengan Metode Oles ... 24

4.1.5 Pengamatan Perubahan Film Indikator Selama Penyimpanan ... 25

4.2 Penelitian Utama ... 27

4.3 Potensi Aplikasi ... 38

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

5.1 Kesimpulan ... 40

5.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Model fungsi kemasan (Yam et al. 2005) ... 4

Gambar 2. Thermochromic ink dot saat (a) suhu penyimpanan tepat dan (b) suhu penyimpanan kurang tepat (Vaikousi 2009) ... 5

Gambar 3. Label (a) tanggal kadarluarsa dan (b) kemasan cerdas pada produk (Anonim, 2009a) ... 6

Gambar 4. Struktur kimia kitin (Suptijah 2006) ... 6

Gambar 5. Diagram alir pembuatan kitin dan kitosan (Suptijah et al. 1992) ... 8

Gambar 6. Struktur kimia kitosan (Suptijah 2006) ... 8

Gambar 7. Varietas bit (a) bit merah dan (b) putih atau bit potongan (Anonim 2009a) ... 12

Gambar 8. Diagram alir pembuatan film kitosan (Putri 2012) ... 17

Gambar 9. Diagram alir pembuatan film campuran Kitosan-PVA (modifikasi dari Hasnedi 2009) ... 18

Gambar 10. Film (a) kitosan dan (b) kitosan-PVA ... 21

Gambar 11. Larutan kitosan (i) tanpa pewarna bit dan (ii) dengan pewarna bit (a) 1 ml, (b) 2 ml, dan (c) 3 ml ... 22

Gambar 12. Film (i) sebelum pengeringan dan (ii) hasil pengeringan (a) blower, (b) beku, dan (c) vakum ... 23

Gambar 13. Film indikator dengan pewarna bit (a) 3 ml dan (b) 6 ml ... 25

Gambar 14. Lembaran film indikator (a) sebelum pewarnaan, (b) kitosan, dan (c) kitosan-PVA ... 25

Gambar 15. Perubahan warna film indikator kitosan-PVA selama penyimpanan pada jam (a) ke-0, (b) ke-13 suhu -5-(-10)ºC, (c) ke-13 suhu 3-5ºC, (d) ke-5 suhu ruang, (e) ke-5 ruang gelap, dan (f) ke-2 paparan cahaya matahari ... 26

Gambar 16. Perubahan warna film indikator kitosan selama penyimpanan jam (a) ke-0, (b) ke-3 paparan cahaya matahari, (c) ke-14 suhu ruang, (d) ke-14 ruang gelap, (e) ke-30 suhu 3-4ºC, dan (f) ke-30 suhu -5-(-10)ºC ... 27

Gambar 17. Perubahan warna film indikator (i) awal penyimpanan, (ii) akhir penyimpanan pada (a) paparan matahari, (b) suhu 3-5ºC, dan (c) suhu -5-(-10)ºC ... 28

Gambar 18. Grafik nilai L film indikator selama penyimpanan terpapar matahari (atas), suhu 3-5ºC (tengah), dan suhu -5-(-10)ºC (bawah) ... 29

Gambar 19. Grafik nilai a* film indikator selama penyimpanan terpapar matahari (atas), suhu 3-5ºC (tengah), dan suhu -5-(-10)ºC (bawah) ... 31

Gambar 20. Grafik nilai b*film indikator selama penyimpanan terpapar matahari (atas), suhu 3-5ºC (tengah), dan suhu -5-(-10)ºC (bawah) ... 33

Gambar 21. Grafik tingkat ketebalan film indikator selama penyimpanan terpapar matahari (atas), suhu 3-5ºC (tengah), dan suhu -5-(-10)ºC (bawah) ... 35

Gambar 22. Grafik susut bobot film indikator selama penyimpanan terpapar matahari (atas), suhu 3-5ºC (tengah), dan suhu -5-(-10)ºC (bawah) ... 37

Gambar 23. Standar wanna film indikator terhadap perubahan kualitas produk; (a) perubahan warna hasil dokumentasi; (b) perubahan warna sebagai pedoman bagi konsumen ... 38


(11)

Gambar 24. Indikator Fresh-Check® dalam kondisi (a) segar, (b) segera konsumsi, dan (c) tidak dikonsumsi/rusak (Kuswandi et al. 2011) ... 39 Gambar 25. Sistem pengukuran pada Chromameter (Nurmawati 2011) ... 48


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Contoh aplikasi active packaging dan smart packaging ... 4

Tabel 2. Contoh TTI komersial ... 5

Tabel 3. Karakteristik dan mutu kitosan ... 9

Tabel 4. Aplikasi kitin, kitosan, dan turunannya dalam industri ... 9

Tabel 5. Kandungan bit ... 12

Tabel 6. Ordo Caryophyllales yang menghasilkan betalain dan antosianin ... . 13

Tabel 7. Interpretasi dari nilai R2 (Usman dan Akbar 2008)... . 20

Tabel 8. Hasil pengamatan perubahan warna film kitosan dan kitosan-PVA... 26

Tabel 9. Persamaan regresi dan nilai R2 dari grafik nilai L paparan matahari, suhu 3-5ºC, dan suhu -5-(-10)ºC ... 29

Tabel 10. Persamaan regresi dan nilai R2 dari grafik nilai a* paparan matahari, suhu 3-5ºC, dan suhu -5-(-10)ºC ... 32

Tabel 11. Persamaan regresi dan nilai R2 dari grafik nilai b* paparan matahari, suhu 3-5ºC, dan suhu -5-(-10)ºC ... . 34

Tabel 12. Kisaran nilai oHue ... . 34

Tabel 13. Persamaan regresi dan nilai R2 dari grafik nilai ketebalan paparan matahari, suhu 3-5ºC, dan suhu -5-(-10)ºC ... . 35

Tabel 14. Persamaan regresi dan nilai R2 dari grafik nilai susut bobot paparan matahari, suhu 3-5ºC, dan suhu -5-(-10)ºC ... 37


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Spesifikasi Kitosan ... . 47 Lampiran 2. Prosedur analisis karakterisasi film indikator ... 48 Lampiran 3. Data nilai Chromameter dan ºHue film indikator selama penyimpanan paparan

matahari, suhu kulkas, dan suhu freezer ... 49 Lampiran 4. Data analisis perubahan ketebalan dan susut bobot film indikator selama

penyimpanan paparan matahari (atas), suhu kulkas (tengah), dan suhu freezer (bawah) ... . 50


(14)

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kemasan terus berkembangan dengan pesat seiring dengan perkembangan teknologi pengolahan pangan. Semakin banyaknya produk pangan baru yang bermunculan menyebabkan permintaan masyarakat akan terobosan baru dalam kemasan semakin bertambah. Saat ini pembungkus makanan memegang peran penting, bahkan terkadang lebih penting dari produk pangan itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan produk pangan baru membutuhkan kemasan baik untuk pemasaran maupun proses distribusinya. Oleh karena itu, berbagai kemasan baru baik dalam bentuk, teknologi pembuatan, maupun teknologi penggunaannya terus saja bermunculan.

Salah satu hasil yang muncul akibat adanya perkembangan dalam teknologi kemasan, yaitu kemasan cerdas (smart packaging). Kemasan cerdas merupakan suatu teknologi yang sedang marak dikembangkan. Hal tersebut dikarenakan teknologi ini dapat memberikan informasi kepada konsumen dengan menghasilkan sensor kimia dan biosensor. Melalui kedua sensor tersebut akan memudahkan untuk memantau kualitas dan keamanan produk selama pemasaran. Dengan demikian, teknologi ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai sistem baru dalam kemasan makanan yang berada di luar teknologi konvensional yang ada, seperti kontrol berat, warna, volume, dan penampilan.

Aplikasi kemasan cerdas di negara lain telah banyak digunakan. Sebuah perusahan di Amerika telah menggunakan kemasan cerdas sebagai sensor untuk mendeteksi kemunduran mutu pada produk. Tujuan perusahaan tersebut adalah untuk memberikan informasi lebih kepada konsumen mengenai produk mereka mulai dari pengemasan produk hingga waktu konsumsi. Kemasan ini diberi nama The Fresh-Check®, yaitu kemasan seukuran perangko dan ditempelkan di kemasan luar produk makanan segar dan obat-obatan (Fortin dan Goodwin 2008). Label tersebut menggunakan metode Time Temperature Indicator (TTI) untuk mendeteksi kemunduran yang terjadi. Contoh lain adalah Thermochomic Ink dot yang juga menggunakan metode TTI. Thermochomic Ink dot menunjukkan suhu penyajian yang tepat dari suatu produk pada mesin pendingin dan microwave.

Penggembangan aplikasi sensor kemasan cerdas terus menerus dilakukan. Pengembangan yang tengah dilakukan, yaitu kemasan cerdas dengan bentuk film. Biasanya untuk mempermudah penggunaan, film diberi tambahan warna sebagai indikator mutu. Penelitian mengenai kemasan cerdas dalam bentuk film dengan indikator pewarna pun sebelumnya telah banyak dilakukan. Berdasarkan berbagai penelitian tersebut, penggunaan kitosan sebagai bahan dasar film kemasan merupakan bentuk penelitian yang paling banyak dilakukan. Sebagai contoh penelitian yang dilakukan Pacquit et al. (2005), dalam penelitiannya, peneliti mendeteksi kebusukan ikan dengan cara membuat sensor yang sensitif terhadap kehadiran volatil amin, dimana sensor tersebut memanfaatkan pewarna indikator pH bromocresol green. Penelitian lainnya dilakukan oleh Hasnedi (2009) yang mendeteksi kebusukan fillet ikan nila. Peneliti menggunakan sensor berbahan dasar kitosan yang dicampur dengan polivinil alcohol (PVA) sebagai film dan pewarna indikator Bromthymol Blue sebagai pendeteksi kebusukan fillet ikan. Kemudian penelitian terbaru dilakukan oleh Putri (2012) yang mendeteksi kesegaran buah nanas potong selama penyimpanan. Sama seperti penelitian Hasnedi (2009), penelitian yang dilakukan Putri (2012) juga menggunakan film dengan penambahan indikator warna, hanya saja pewarna yang digunakan berbeda, yaitu red cherry.

Berdasarkan informasi-informasi tersebut, pengembangan dengan penambahan pewarna sintetik merupakan bentuk aplikasi yang paling banyak dilakukan. Penggunaan pewarna sintetik


(15)

memiliki kekurangan, yaitu tidak dapat mendeteksi kemunduran mutu produk yang sensitif terhadap suhu. Dalam rangka untuk memperbaiki kekurangan pewarna sintetik tersebut, maka digunakan pewarna alami sebagai indikatornya. Dengan demikian, penambahan kemasan cerdas dengan pewarna alami ini dapat memberikan informasi kepada konsumen mengenai kondisi produk yang terjadi selama penyimpanan di luar informasi dari tanggal kadarluarsa. Oleh karena itu, pembuatan kemasan cerdas dengan pewarna alami sebagai sensor kemunduran mutu suatu produk menarik untuk dilakukan.

1.2

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(i). Menghasilkan film indikator warna berbahan kitosan dan kitosan-PVA dengan pewarna alami. (ii). Mendapatkan teknik pengeringan dan pewarnaan yang memberikan warna film paling stabil. (iii). Mengetahui respon film indikator pada berbagai suhu penyimpanan yang diukur melalui


(16)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Kemasan Cerdas

Secara umum kemasan cerdas (smart packaging) adalah kemasan yang dapat merasakan dan menginformasikan kondisi produk (Kuswandi et al. 2011). Sementara itu, menurut Robertson (2006), kemasan cerdas adalah suatu kemasan berindikator yang dapat diletakkan secara internal maupun eksternal dan dapat memberikan informasi mengenai keadaan kemasan dan atau kualitas makanan di dalamnya. Adanya indikator tersebut dapat mempermudah pengawasan kondisi produk terkemas selama transportasi dan penyimpanan. Produk terkemas tersebut dapat berupa makanan, minuman, farmasi, berbagai jenis produk kecantikan, dan produk rumah tangga.

Dalam aplikasi kemasan cerdas, indikator yang disimpan secara internal biasanya ditempatkan pada head-space kemasan atau ditambahkan pada penutup kemasan. Contoh indikator internal adalah indikator oksigen, indikator karbondioksida, indikator patogen, dan indikator pertumbuhan mikroba, sementara indikator eksternal antara lain indikator waktu, indikator suhu, dan indikator pertumbuhan mikroba (Ahvenainen 2003). Teknologi ini benar-benar terintegrasi dan menggabungkan beberapa keahlian seperti bidang kimia, biokimia, fisika dan elektronik, serta ilmu dan teknologi pangan (Kuswandi et al. 2011). Kuswandi juga menambahkan bahwa kemasan cerdas memiliki potensi besar dalam pengembangan sistem baru penginderaan terintegrasi dalam kemasan makanan, yang berada di luar teknologi konvensional yang ada selama ini, seperti kontrol berat, warna, volume, dan penampilan.

Kemasan cerdas memanfaatkan sensor kimia atau biosensor untuk memantau kualitas dan keamanan makanan dari produsen ke konsumen. Teknologi ini dapat menghasilkan berbagai desain sensor yang cocok untuk pemantauan kualitas dan keamanan pangan (kesegaran, patogen, kebocoran, karbondioksida, oksigen, pH, waktu atau suhu). Ketika sensor terintegrasi dengan kemasan makanan, kemasan ini dapat mendeteksi bahan kimia, patogen, dan racun yang terdapat dalam makanan. Kemudian pada biosensor dalam penerapannya banyak menggabungkan antara bidang optik, kimia, dan mikrobiologi. Liu et al. (2007) telah mengembangkan biosensor yang dapat mendeteksi Listeria moncytogenes.

Dalam penggunaannya smart packaging sering berkaitan atau disamakan dengan intelligent packaging. Intelligent packaging memiliki pengertian sebagai sistem yang memantau kondisi makanan untuk memberikan informasi tentang kualitas selama transportasi dan distribusi (Yam et al. 2005). Definisi lainnya menyatakan bahwa kemasan cerdas adalah mengaktifkan dan mematikan fungsi kemasan dalam menanggapi perubahan kondisi internal atau eksternal, dan dapat termasuk dikomunikasikan kepada pelanggan atau pengguna akhir mengenai status produk (Kuswandi et al. 2011). Sementara antara active packaging dengan smart packaging memiliki definisi dan fungsi yang berbeda. Active packaging merupakan suatu teknologi kemasan yang sengaja ditambahkan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan kemasan dalam menjaga atau memelihara aspek kualitas, keamanan, dan sensori dari bahan pangan yang dikemasnya (Day 2008). Day (2008) juga menambahkan bahwa kemasan aktif memiliki kemampuan untuk memerangkap atau menahan masuk oksigen, menyerap karbondioksida, uap air, etilen, dan atau flavor, bau, noda, mengeluarkan karbondioksida, etanol, antioksidan, serta memelihara kontrol suhu dan bertanggung jawab terhadap perubahan suhu. Gambar 1 menunjukkan model fungsi kemasan antara kemasan aktif dan kemasan cerdas dan Tabel 1 menunjukkan daftar beberapa kemasan aktif dan kemasan cerdas yang sudah ada dalam pengembangan dan telah banyak digunakan.


(17)

Gambar 1. Model fungsi kemasan (Yam et al. 2005). Tabel 1. Contoh aplikasi active packaging dan smart packaging. Active packaging Smart packaging Anti mikrobial Time-temperature indicators (TTIs) Etilen scavenger Sensor/ indikator pembusukan mikroba Pemanasan / pendinginan (Heating/cooling) Physical shock indicators

Penyerap kelembaban Sensor kebocoran Penyerap/pelepas bau dan rasa Sensor alergen

oksigen scavenger Indikator pertumbuhan mikroba Penghambat pembusukan Sensor patogen dan kontaminasi Sumber : Kuswandi et al. 2011

Aplikasi smart packaging yang paling banyak digunakan adalah Time-temperature indicators (TTIs). TTIs ini merupakan metode untuk menentukan kemunduran mutu. Selain TTIs terdapat satu metode lagi, yaitu Food Quality Indicators (FQI). Menurut Day (2008) metode TTIs adalah indikator yang bekerja atau bereaksi terhadap waktu dan suhu penyimpanan dari lingkungan sekitar kemasan yang ada. Sementara itu, metode FQI adalah indikator yang bereaksi terhadap perubahan kimiawi atau biologi dari kemasan produk yang menandakan rusaknya produk (Pacquit et al. 2008). Dua indikator ini memiliki prinsip kerja sebagai colorimetric dengan melihat perubahan warna akibat menurunnya mutu produk di dalam kemasan. Perbedaannya hanya pada reaksi yang digunakan sebagai sensor, TTIs menggunakan reaksi kimia produk sebagai indikator sedangkan FQI menggunakan reaksi kimiawi atau biologi di dalam kemasan.

Menurut Kuswandi et al. (2011), di masa mendatang pertumbuhan mikroba dan visualisasi dari metode TTIs yang berdasarkan aktivitas fisik, kimia atau enzim dalam makanan akan memberikan indikasi yang jelas, akurat dan tidak ambigu dari kualitas produk, serta keamanan dan kondisi selama masa simpan. Hingga saat ini, telah banyak dihasilkan berbagai macam jenis TTI. Seperti yang dikembangkan oleh Vaikousi et al. (2009), yaitu sistem TTI baru yang berdasarkan pertumbuhan dan aktivitas metabolik dari strain Lactobacillus sakei untuk pemantauan kualitas makanan sepanjang rantai makanan dingin/beku. Kemudian Yan et al. (2008) mengembangkan jenis TTI baru berdasarkan reaksi antara amilase dan pati. Kemasan cerdas dengan metode TTIs diharapkan dapat meniru perubahan parameter kualitas tertentu dari suatu produk pangan yang mengalami paparan pada suhu tertentu. Laju perubahan parameter akan berkorelasi dengan variasi suhu selama penyimpanan


(18)

dan distribusi. Dengan demikian, sebuah TTIs akan menunjukkan atau menginformasikan makanan tersebut telah terkena suhu tinggi dan durasi paparan yang wajar atau tidak.

Pengaplikasian kemasan cerdas metode TTI di luar negeri jauh lebih berkembang daripada di Indonesia. Negara-negara terutama di Eropa dan Amerika sudah banyak yang mengaplikasikan berbagai jenis TTI untuk produk-produk yang di jual di supermarket. Jenis TTI yang paling umum digunakan adalah thermochromic ink dot (Gambar 2). Thermochromic ink dot akan menginformasikan kepada konsumen mengenai kondisi penyajian yang benar untuk produk tersebut. Kondisi yang dimaksud adalah suhu panas yang sesuai pada microwave dan suhu dingin pada lemari pendingin. Gambar pinguin pada label akan muncul apabila kondisi penyajian produk tersebut sudah tepat. Selain Thermochromic ink dot, terdapat beberapa jenis TTI komersial lainnya. Jenis-jenis TTI komersial yang beredar dipasaran saat ini dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini.

(a) (b)

Gambar 2. Thermochromic ink dot saat (a) suhu penyimpanan tepat dan (b) suhu penyimpanan kurang tepat (Vaikousi 2009).

Tabel 2. Contoh TTI komersial.

Produk Perusahaan

MonitorMark™ 3M™ Timestrip Timestrip Plc Fresh-Check LifeLines

CheckPoint Vitsab Sumber : Kuswandi et al. (2011).

Semakin berkembangnya berbagai bentuk kemasan cerdas juga didorong oleh konsumen yang semakin khwatiran mengenai keamanan pangan dan kesegaran dari produk yang mereka konsumsi. Keterangan dari stampel tanggal kadarluarsa (Gambar 3a) dirasa sudah tidak cukup untuk konsumen merasa aman. Hal ini dikarenakan tanggal kadarluarsa tidak dapat memberikan informasi mengenai penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi pada produk selama penyimpanan maupun transportasi. Penyimpangan-penyimpangan tersebut dapat berupa secara tidak sengaja telah terkena suhu tinggi selama penyimpanan atau transportasi, karyawan bekerja dengan tidak efisien, penyimpanan atau pendinginan yang tidak benar, serta kondisi lain yang menyebabkan produk tidak berada dalam kondisi seharusnya.

Meningkatnya kebutuhan informasi bagi konsumen mengenai produk yang mereka konsumsi, mendorong kebutuhan akan kemasan cerdas semakin meningkat terutama untuk produk pangan. Dengan adanya kemasan cerdas yang dibentuk menjadi label atau stiker pada kemasan (Gambar 3b), akan memberikan informasi visual secara langsung kepada produsen, pengecer, dan konsumen mengenai kondisi produk. Selain itu, keuntungan lain penggunaan kemasan cerdas pada produk makanan akan mempertahankan integritas dan aktif dalam mencegah pembusukan, meningkatkan


(19)

atribut produk (penampilan/warna, rasa, aroma, viskositas, dan tekstur), serta dapat merespon secara aktif terhadap perubahan produk atau lingkungan kemasan (Kuswandi et al. 2011).

(a) (b)

Gambar 3. Label (a) tanggal kadarluarsa dan (b) kemasan cerdas pada produk (Anonim, 2009a). Kemasan cerdas pada gambar di atas bekerja berdasarkan waktu kadarluarsanya. Saat produk mendekati kadarluarsa label tersebut akan berubah warna menjadi biru dan akan berubah menjadi biru tua saat produk telah melewati tanggal kadarluarsanya. Dengan demikian, konsumen dapat membedakan mana produk yang masih segar dan mana yang sudah tidak dapat dikonsumsi. Begitu pula dengan jenis kemasan cerdas lainnya. Dengan penambahan informasi dari kemasan cerdas, konsumen dapat mengetahui kualitas yang sebenarnya dari produk yang terkemas meskipun tanggal kadarluarsanya masih jauh.

2.2

Kitin dan Kitosan

Kitin dan kitosan merupakan bahan industri berekonomi tinggi. Hal tersebut dikarenakan, memiliki harga jual yang tinggi, mudah untuk didapatkan, dan memiliki banyak kegunaan. Selain itu, kedua produk ini merupakan sumber daya terbarukan yang sedang banyak dikaji baik pada penelitian akademik maupun penelitian industri. Hal tersebut dikarenakan kedua produk ini dapat digunakan untuk keperluan kosmetika, industi pangan, pertanian, dan pengelolaan lingkungan. Selain itu kitosan juga dapat digunakan pada makanan kesehatan. Kitosan akan mengikat lemak makanan yang masuk ke dalam tubuh sehingga kadar kolesterol akan menurun.

Kitin merupakan senyawa terbesar ke dua setelah selulosa. Selain itu, dikenal juga sebagai polimer organik konvensional dari laut. Kitin (Gambar 4) adalah polimer alami berupa selulosa beramin dan berasetil, yaitu N-asetil-D-glukosamin (2-acetamido-2-deoxy-D-glucopyranose) yang

dihubungkan oleh ikatan β-(14) secara linier (Suptijah 2006; Astuti 2008). Goosen (1997) menyatakan bahwa kitin berwarna putih, keras, tidak elastis, serta merupakan polisakarida yang banyak mengandung nitrogen. Selain itu, kitin hanya dapat larut dalam asam sulfat pekat panas dan asam format anhidrid (Muzarelli 1977 dalam Suptijah 2006).


(20)

diekstraksi dari cangkang udang dengan cara penghilangan protein dan mineral menggunakan asam dan basa kuat. Proses ekstraksi kitin terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pemisahan mineral (demineralisasi) dan tahap pemisahan protein (deproteinasi) yang dilanjutkan dengan tahap deasetilisasi untuk menghasilkan kitosan. Tahapan proses pembuatan kitin dan kitosan (Gambar 5) adalah sebagai berikut:

1. Pencucian dan Penggilingan

Proses awal pembuatan kitin adalah dengan melakukan pencucian cangkang udang menggunakan air mengalir lalu dikeringkan di bawah sinar matahari sampai kering. Setelah itu dicuci kembali di dalam air panas dua kali dan direbus selama 10 menit. Bahan yang sudah kering, digiling sampai menjadi serbuk menjadi ukuran 40-60 mesh. Setelah itu dilanjutkan dengan proses demineralisasi. 2. Demineralisasi

Pemisahan mineral (demineralisasi) bertujuan untuk menghilangkan senyawa anorganik yang ada pada limbah tersebut. Limbah udang secara umum mengandung 30 – 50 % mineral tergantung dari spesiesnya. Mineral utama pada kulit udang adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan sedikit kalsium fosfat (Ca(PO4)3) (Angka dan Suhartono 2000). Semakin banyak mineral yang hilang, semakin baik kualitas kitin yang dihasilkan. Pada proses ini terjadi reaksi kimia antara asam klorida (HCl) dengan kalsium (CaCO3 dan Ca(PO4)3). Reaksi tersebut menghasilkan kalsium klorida yang akan mengendap sehingga mudah dipisahkan.

Proses demineralisasi dilakukan dengan mencampur asam klorida (HCl) 1N dengan perbandingan antara bobot bahan (cangkang udang) dengan volume pengekstrak 1:7 (b/v) dan dipanaskan pada suhu 90ºC selama satu jam (Suptijah et al. 1992). Residu berupa padatan dicuci dengan air sampai pH netral dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC selama 24 jam atau dijemur sampai kering. Selama proses demineralisasi larutan diaduk secara konstan agar reaksi dapat berlangsung secara sempurna.

3. Deproteinasi

Deproteinasi bertujuan untuk menghasilkan protein dari limbah udang tersebut. Efektivitas proses tersebut tergantung pada kekuatan larutan basa dan tingginya suhu yang digunakan. Selama proses deproteinasi, larutan alkali akan masuk ke celah-celah limbah udang dan memutuskan ikatan antara kitin dan protein. Penghilangan protein tersebut menggunakan larutan NaOH 3.5 % dengan pemanasan 90ºC selama satu jam. Perbandingan antara bahan dengan pelarut 10:1 (Suptijah et al. 1992).

Larutan hasil demineralisasi dicampur dengan natrium hidroksida 3.5 % dan diaduk selama satu jam pada suhu 90ºC. Larutan lalu disaring dan didinginkan sehingga diperoleh residu padatan yang kemudian dicuci dengan air sampai pH netral. Setelah itu dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam atau dijemur sampai kering.

4. Deasetilasi

Proses deasetilisasi adalah proses pengilangan gugus asetil (-COCH3) yang terdapat pada kitin. Proses tersebut menggunakan larutan NaOH pekat (50%) dengan perbandingan bahan dan larutan 1: 20 (b/v) yang dipanaskan pada suhu 120-140ºC selama satu jam. Melalui proses deasetilasi, gugus asetil (-COCH3) dari kitin akan dilepaskan yang menghasilkan Na-asetat dan substitusi gugus amina (-NH2)

Kitin yang telah terbentuk ditambahkan natrium hidroksida (NaOH) 50% dengan perbandingan kitin dan larutan 1:20. Larutan diaduk dan dipanaskan selama 90 menit pada suhu 140oC. Larutan kemudian disaring untuk mendapatkan residu berupa padatan, lalu dicuci dengan air sampai pH netral. Setelah itu, dikeringkan dengan oven suhu 70oC selama 24 jam atau dijemur sampai kering. Bentuk akhir kitosan bisa berbentuk serbuk maupun serpihan.


(21)

Gambar 5. Diagram alir pembuatan kitin dan kitosan (Suptijah et al. 1992).

Kitosan adalah polimer karbohidrat (polisakarida linier) dari proses deasetilasi kitin yang merupakan komponen utama eksoskeleton dari kelas krustacea (Sembiring 2011; Hasnedi 2009). Kitosan (Gambar 6) tersusun oleh 2000-3000 monomer D-glukosamin (GlcN) dalam ikatanβ (14) yang terdiri dari 2-amino-2-deoksi-β-D-glukopiranosa dan 2-asetil-2-deoksi-D-glukopiranosa (Prashanth dan Tharanathan 2007). Kitosan ini merupakan produk alami yang tidak beracun, tidak larut dalam air, dan biopolimer kationik yang dapat didegradasi (Kofuji et al. 2005). Selain itu, bentuk kitosan ini sangat spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya. Menurut Angka dan Suhartono (2000), gugus amin menyebabkan kitosan bermuatan positif, sedangkan polisakarida lain umumnya bersifat netral atau bermuatan negatif. Oleh karena itu, kitosan akan berinteraksi dengan kuat bila berikatan dengan protein, anion polisakarida, dan asam nukleat yang bermuatan negatif membentuk ion netral.

Gambar 6. Struktur kimia kitosan (Suptijah 2006).

Proses deasetilasi pada pembentukan kitosan bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil dari Cangkang udang

Demineralisasi

Deproteinasi

Deasetilasi kitin

Kitosan HCl 1N

NaOH 3.5%

NaOH 50%

Pencucian


(22)

penambahan NaOH sedangkan deasetilasi secara enzimatis dilakukan dengan menggunakan enzim kitin deasetilase (Chang et al. 1997). Larutan NaOH ini dapat mengubah konformasi kitin yang sangat rapat menjadi renggang. Penggunaan konsentrasi NaOH yang tinggi akan menghasilkan rendemen kitosan dengan derajat deasetilasi tinggi (Rahardyani 2011). Derajat deasetilasi adalah suatu parameter mutu yang menunjukan seberapa banyak gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitosan. Semakin tinggi derajat deasetilasinya, maka gugus asetil yang terdapat dalam kitosan tersebut semakin sedikit (Knorr 1982). Derajat deasetilasi ini juga menentukan bobot molekul kitosan yang dihasilkan pada saat diekstrasi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari biopolimer kitosan, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan (Tang et al. 2007). Berat molekul, derajat deasetilasi, viskositas, dan kejernihan atau kemurnian merupakan sifat instrinsik yang menentukan karakterisasi kitosan. Karakteristik dan mutu kitosan dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Karakteristik dan mutu kitosan

Sifat Nilai

Ukuran partikel Serpihan atau bubuk Kadar air (% berat kering) ≤ 10%

Kadar abu (% berat kering) ≤ 2% Warna larutan Jernih Derajat deasetilasi (DD) ≥ 70% Viskositas (cps)

• Rendah • Medium • Tinggi • Ekstra tinggi

< 200 200 – 799 800 – 2000 > 2000

Sumber : Suptijah et al. (1992) dalam Rahardyani (2011)

Aplikasi kitosan sudah banyak digunakan dalam berbagai bidang, diantaranya pada bidang pangan, mikrobiologi, kesehatan, pertanian, kecantikan, bioteknologi, industri tekstil dan kertas, dan lain sebagainya. Pada bidang bioteknologi, kitosan digunakan dalam imobilisasi enzim dan media kultur tumbuhan. Sifat kitosan yang memiliki afinitas antibakteri dan biodegradable sehingga banyak dimanfaatkan pada industri tekstil dan kertas sebagai zat aditif. Dalam bidang kesehatan dapat berperan sebagai antibakteri, antikoagulan dalam darah, pengganti tulang rawan, pengganti saluran darah, antitumor sel leukimia. Pemanfaatan kitosan yang potensial adalah sebagai pengental, flokulan, penyerap, dan pembentuk lapisan yang baik dalam pengolahan limbah cair di bidang pertanian, induatri kimia, obat-obatan, kosmetik, pangan, dan industri tekstil (Chandkrachang 1991 dalam Sumarto 2008). Aplikasi kitosan, kitin, dan turunannya dalam industri dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Aplikasi kitin, kitosan, dan turunannya dalam industri

Aplikasi Contoh

Antimikroba Bakterisidal, fungisidal, mengukur kontaminasi jamur pada komoditi pertanian

Industri edible film − Membatasi perpindahan uap antara makanan dan lingkungan sekitar − Menahan kehilangan zat-zat antioksidan


(23)

Tabel 4. Aplikasi kitin, kitosan, dan turunannya dalam industri (Lanjutan)

Aplikasi Contoh

− Menahan pelepasan zat-zat nutrisi, flavour, dan obat − Mereduksi tekanan parsial oksigen

− Mengontrol kecepatan respirasi

− Menghambat browning enzimatis pada buah − Mengembalikan tekanan osmosis membran

Zat aditif Mempertahankan flavour alami, bahan pengontrol tekstur, pengemulsi, bahan pengental, stabilizer, dan penstabil warna

Zat nutrisi Serat diet, penurun kolestrol, persediaan dan tambahan makanan ikan, mereduksi penyerapan lemak, memproduksi protein sel tunggal, zat antigastiris (radang lambung), dan sebagai bahan makanan bayi

Pengolahan limbah Flokulan dan pemecah agar

Pemurnian air Memisahkan ion-ion logam, pestisida, dan penjernih

Aplikasi lain Inobilisasi enzim, enkapsulasi, kromatografi, dan bahan analisis Sumber : Shahidi et al. 1999 dalam Pangabean 2010.

2.3

Kitosan sebagai Bahan

Film

Edible film menurut Krochta (1994) dalam Sumarto (2008) adalah lapisan tipis dan kontinyu yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai penghambat terhadap massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipid, zat terlarut), dan atau sebagai carrier bahan makanan atau aditif, dan atau untuk meningkatkan penanganan makanan. Krochta (1994) menambahkan bahwa bahan dasar pembuatan film dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid (protein dan polisakarida), lemak (asam lemak dan wax), dan campuran (hidrokoloid dan lemak). Bahan dasar yang tergolong protein berasal dari protein kedelai, jagung, kasein, kolagen, gelatin, dan protein ikan. Sementara jenis polisakarida yang digunakan sebagai bahan dasar film, yaitu selulosa, pati, pektin, ekstrak ganggang laut, dan kitosan. Beeswax, paraffin wax, carnauba wax, dan asam lemak seperti asam laurat dan asam oleat adalah lemak yang umum digunakan sebagai bahan dasar film.

Bahan dasar pembentuk film akan mempengaruhi sifat-sifat film itu sendiri. Kelebihan film yang dibuat dari kelompok hidrokoloid adalah memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida dan lipid, memiliki sifat mekanis yang diinginkan, dan meningkatkan kesatuan struktural produk. Tetapi film dari kelompok ini memiliki kelemahannya, yaitu kurang bagus digunakan untuk mengatur migrasi uap air. Sementara film dari protein sangat dipengaruhi oleh perubahan pH. Kelebihan kelompok lemak adalah memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk dari penguapan air atau sebagai bahan pelapis untuk mengoles produk konfeksioneri atau meningkatkan kilap permukaan, serta mengurangi abrasi. Sama seperti kelompok yang lain, film berbahan lemak memiliki kelemahan, yaitu kegunaannya sebagai film murni terbatas karena integritas dan ketahanannya tidak terlalu baik. Terakhir, film dari komposit (gabungan hidrokolid dan lemak) dapat meningkatkan kelebihan dari film hidrokoloid dan lemak, serta mengurangi kelemahannya (Syamsir 2008).

Pada penelitian ini digunakan kitosan sebagai bahan dasar pembuatan film. Kitosan dipilih karena dapat membentuk membran dan film dengan baik. Selain itu ketersedian limbah udang sebagai bahan utama penghasil kitin dan kitosan cukup banyak dan mudah diperoleh. Potensi sumber daya


(24)

daya udang (7.5% total potensi stok ikan laut dunia) (Dahuri 2005). Dalam industri pemanfaatan udang, terdapat hasil samping berupa kulit dan kepala udang. Selama ini hasil samping ini banyak dimanfaatkan oleh industri kecil untuk campuran pakan ternak, kerupuk udang, petis, dan lain sebagainya. Pengolahan menjadi kitin dan kitosan menjadi potensi yang dapat meningkatkan nilai jual limbah tersebut. Harga jual kitosan di pasar internasional saat ini telah mencapai 10 US$/kg (Sanford 2003).

Kitosan memiliki sifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam larutan asam dengan pH kurang dari 6 dan asam organik misalnya asam asetat, asam format, dan asam laktat. Kitosan membentuk film apabila kitosan dilarutkan dalam larutan asam laktat atau asam asetat dan diberi tambahan plasticizer. Pelarut yang umum digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam asetat (asam cuka) dengan konsentrasi 1% - 2% dan akan membentuk garam ammonium asetat (Tang et al. 2007). Asam asetat dengan rumus empirik C2H4O2 dan rumus strukturnya CH3COOH adalah cairan tidak berwarna dengan karakteristik bau yang tajam, berasa asam, serta larut dalam air, alkohol, dan gliserol. Asam asetat cair adalah pelarut polar, mirip seperti air dan etanol. Selain itu, asam asetat ini merupakan asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan dan termasuk asam lemah (hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-) (Anonim 2011a). Sementara plasticizer menurut Krochta (1992) dalam Sumarto (2008) adalah substansi non volatil bertitik didih tinggi yang jika ditambahkan ke senyawa lain akan mengubah sifat fisik dan mekanik senyawa tersebut. Bobot molekul yang kecil memudahkan plasticizer untuk masuk dalam matriks senyawa lain. Plasticizer yang umum digunakan adalah gliserol. Gliserol adalah senyawa alkohol dengan tiga buah gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivilen). Gliserol ini berbentuk cair, kental, tidak berbau, transparan, higroskopis, serta dapat larut dalam air dan alkohol. Selain itu, molekul gliserol ini relatif kecil sehingga dapat dengan mudah disisipkan di antara rantai polimer (Gontrad et al. 1993). Penambahan gliserol akan menghasilkan film yang lebih fleksibel dan halus.

Penelitian mengenai penggunaan film kitosan sudah banyak dilakukan baik yang 100% menggunakan kitosan maupun yang mencampurnya dengan bahan tambahan lain. Seperti yang dilakukan Suyatma et al. (2004) yang mencampur kitosan dengan polimer komersial polylactic acid dan memperoleh hasil bahwa ketahanan laju udara pada film kitosan menjadi meningkat. Laham dan Lee (1995) menyatakan bahwa PE-Chitosan film memiliki tingkat degradasi lebih tinggi dibandingkan film komersial dengan bahan dasar tepung kanji ketika berada di dalam tanah. Kim dan Thomas (2007) juga menyatakan bahwa penambahan larutan kitosan 0.2%, 0.5%, dan 1.0% ke daging ikan salmon dapat mengurangi oksidasi. Kemudian kekuatan tarik dari film kitosan berkisar antara 38 sampai 66 MPa, kurang lebih dua kali lipat dari kekuatan tarik dari plastik polietilena.

2.4

Bit

Bit (Beta vulgaris) yang termasuk dalam famili Chenopodiaceae merupakan tanaman semusim yang berbentuk rumput dan tumbuh di dalam tanah. Bit berasal dari daerah barat dan pesisir selatan benua Eropa, dari Swedia selatan dan Kepulauan Britania ke selatan Laut Mediterania. Tanaman ini memiliki batang yang sangat pendek sehingga hampir tidak kelihatan. Bagian tanaman yang tumbuh di dalam tanah akan membentuk umbi sebagai hasil perubahan bentuk dari akar tunggang. Bentuk umbi yang dihasilkan berbeda-beda, ada yang menyerupai gangsing dan ada yang lonjong. Kemudian pada pangkal umbi tumbuh daun yang berwarna kemerahan.

Bit ini memiliki beberapa varietas dan jenis dalam pembudidayaannya. Jenis bit yang paling terkenal adalah beetroot atau garden beet, dimana di Indonesia lebih dikenal sebagai buah bit. Jenis lain dari bit adalah sayuran daun yang dikenal dengan nama chard dan spinach beet. Selain itu ada


(25)

pula bit gula, yaitu sayuran berakar yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan gula. Jenis terakhir adalah mangelwurzel, yang merupakan tanaman pakan ternak (Jaya 2012). Sementara untuk varietasnya, bit terdiri atas dua jenis, yaitu bit merah (Beta vulgaris L.var. rubra L.) yang umbinya berwarna merah tua (Gambar 7a) dan bit putih atau bit potong (B. vulgaris L. var cicla L.) yang umbinya berwarna merah keputih-putihan (Gambar 7b) (Anonim 2009a).

(a) (b)

Gambar 7. Varietas bit (a) bit merah dan (b) putih atau bit potongan (Anonim 2009a).

Manfaat dan kegunaan bit sangat beragam terutama untuk kesehatan. Hal ini dikarenakan nutrisi yang terkandung didalam buah ini sangat bervariatif. Nutrisi yang terdapat dalam bit disajikan pada Tabel 5. Bahkan dibeberapa negara bit dijadikan sebagai bahan makanan sehari-hari. Sebagai contoh, di Ukraina bit ini digunakan sebagai sup bernama borscht yang juga terkenal di negara-negara Eropa Timur dan Tengah. Kemudian kandungan serat yang tinggi pada akar dan daunnya sering dimanfaatkan untuk obat sembelit (Jaya 2012). Adapun manfaat lain dari bit menurut Widiastuti (2012) adalah sebagai berikut:

1. Menurunkan kolesterol

2. Menghancurkan sel tumor atau kanker 3. Mencegah anemia

4. Mengobatan hati dan kantong empedu 5. Mengobatan kecanduan obat atau alkohol 6. Memberi tenaga dan menyeimbangkan tubuh

7. Melawan infeksi dan radang serta mengatasi masalah batu ginjal 8. Memperkuat fungsi darah dan mengatasi anemia

9. Memperkuat sistem peredaran darah dan sistem kekebalan 10. Membersihkan dan menetralkan racun di dalam tubuh

Tabel 5. Kandungan bit

Kandungan nutrisi Kadar (%) Fungsi

Asam Folat 34 Menumbuhkan dan mengganti sel-sel yang rusak Kalium 14,8 Memperlancar keseimbangan cairan di dalam tubuh Vitamin C 10,2 Menumbuhkan jaringan dan menormalkan saluran darah Magnesium 9,8 Menjaga fungsi otot dan syaraf

Zat Besi 7,4 Metabolisme energi dan sistem kekebalan tubuh Tembaga 6,5 Membentuk sel darah merah

Fosfor 6,5 Memperkuat tulang


(26)

Tabel 5. Kandungan bit (Lanjutan)

Sumber : Hana, 2012.

Bit juga dimanfaatkan sebagai pewarna alami untuk berbagai jenis makanan. Warna ungu ataupun merah keunguan yang dihasilkan sangat bagus digunakan sebagai perwarna makanan ataupun minuman secara alami. Di Indonesia sendiri, pewarna bit ini telah banyak diaplikasikan pada kue tradisional seperti kue pepe atau lapis sagu yang menggunakan bit merah. Kemudian di Amerika yang menggunakan pewarna bit untuk membuat kue Red Velvet Cake (kue simbol Amerika bagian selatan). Warna pada bit disebabkan adanya pigmen betalain. Pigmen ini merupakan salah satu pigmen utama pada bunga dan buah selain antosianin dan karotenoid (Mastuti 2010). Menurut Widiastuti (2012), betalain adalah pigmen tumbuhan yang memberi warna kuning, jingga, merah, dan ungu pada bagian daun dan buah. Pigmen belain ini terdiri dari betasianin (ungu-merah) dan betasantin (kuning). Warna pada bit disebabkan oleh gabungan pigmen betasianin dan pigmen betasantin tersebut (Hana 2012). Menurut Christinet (2004), betasantin merupakan pigmen hasil kondensasi antara asam betalamat dengan asam amino atau amina sehingga menghasilkan warna kuning-oranye pada

absorbansi maksimum (λ max470-486 nm). Sementara betasianian adalah hasil kondensasi antara asam betalamat dengan cyclo-DOPA menjadi betanidin aglycon berwarna merah-ungu yang

merupakan bentuk mayoritas dari betasianin. Hasil absorbansi maksimum (λ max 534-554 nm) dari struktur aromatik setelah kondensasi inilah yang menghasilkan warna pada betasianin.

Kemudian betalain terutama betasianin dianggap berkaitan dengan antosianin. Meskipun begitu betasianin maupun betasantin rumus bangunnya tidak berkaitan dengan antosianin (Widiastuti 2012). Tidak seperti antosianin, betasianin ini mengandung gugus nitrogen dan larut dalam air. Keberadaan antosianin pada tanaman jauh lebih banyak daripada betalain yang hanya ada pada beberapa tanaman seperti sub-ordo Chenopodiinae dan ordo Caryophyllales (Tabel 6). Proses pergantian ini menyebabkan betalain dan antosianin bersifat mutual ekslusif, yaitu kedua pigmen tersebut tidak pernah berada pada satu tanaman yang sama.

Tabel 6. Ordo Caryophyllales yang menghasilkan betalain dan antosianin.

Sub-Ordo Famili Contoh Genus

Chenopodiineae Achatocarpaceae Achatocarpus Menghasilkan betalain,

tidak mengandung antosianin

Aizoaceae Dorotheanthus,Mesembryanthenum, Carpobrotus

Amaranthaceae Amaranthus, Celosia, Gompherena, Iresine Basellaceae Basella

Cactaceae Mammillaria, Opuntia, Parekia

Chenopodiaceae Beta, Chenopodium, Spinacia Didiereaceae Didierea

Halophytaceae Halophytum Hectorellaceae Hectorella

Nyctaginaceae Bougainvillea, Mirabillis Phytolacaceae Phytolacca, Geisekia Portulacaceae Portulaca, Claytonia Stegnopermataceae Stegnospermae

Kandungan nutrisi Kadar (%) Fungsi

Caumarin Mencegah tumor


(27)

Tabel 6. Ordo Caryophyllales yang menghasilkan betalain dan antosianin (Lanjutan).

Sub-Ordo Famili Contoh Genus

Caryophyllineaceae Caryophyllaceae Dianthus, Selene Menghasilkan antosianin,

tidak mengandung betalain Molluginaceae Mollugo, limeum Sumber : Zryd et.al 2004

2.5

Pewarna Alami Bit

Bahan pewarna saat ini banyak berasal dari pewarna sintetik. Bahan pewarna makanan tidak hanya berasal dari pewarna sintetik, pewarna alami pun dapat digunakan. Saat ini seiring dengan perkembangan industri pangan, mulai terjadi kecenderungan untuk mengganti pewarna sintetik dengan pewarna alami. Hal yang sama juga terjadi pada industri non-pangan. Dalam beberapa bidang industri non-pangan pewarna sintetik pun mulai digantikan oleh pewarna alami. Misalnya saja pada industri batik yang sudah dihimbau untuk mengurangi atau meninggalkan penggunaan warna sintetik.

Pewarna alami merupakan bahan pewarna yangdiperoleh dari sumber yang dapat dimakan atau bahan alami yang ada di alam. Pewarna alami dapat berasal dari tumbuhan, hewan, dan mineral. Setiap tumbuhan dapat digunakan sebagai pewarna alami karena terdapat pigmen didalamnya. Jenis pewarna alami yang berasal dari tumbuhan diantaranya, klorofil (hijau), antosianin (merah, oranye, ungu dan biru), biksin (kuning seperti mentega), kurkumin (kuning), dan karoten (jingga sampai merah). Pewarna yang berasal dari hewan adalah mioglobin dan hemoglobin, yaitu zat warna merah pada daging. Selain itu juga terdapat pewarna karamel (coklat gelap) yang berasal dari hasil dari hidrolisis (pemecahan) karbohidrat, gula pasir, laktosa, dan sirup malt.

Pada bit terdapat pigmen warna bernama betalain. Betalain termasuk salah satu pewarna alami penting yang banyak digunakan dalam industri pangan. Betalain terdiri dari dua jenis pigmen, yaitu betasianin dan betasantin. Betasianin merupakan pigmen yang berwarna merah atau merah keunguan, sedangkan betasantin adalah pigmen yang berwarna kuning. Rasio antara pigmen betasianin dan betasantin berbeda-beda tergantung pada cuaca atau musim penanaman, tahap pematangan, dan varietas (Widhiana 2000). Selain itu, pada betalain diketahui memiliki sifat antioksidan dan radical scavenging sebagai perlindungan terhadap gangguan yang disebabkan oleh stres oksidatif tertentu (Mastuti 2010). Adanya pigmen warna pada bit tersebut, menjadikan bit banyak digunakan sebagai pewarna alami.

Pewarna alami bit berwarna merah keunguan yang menandakan bahwa pigmen betasianin lebih dominan dalam pewarna tersebut. Sejak dahulu pigmen betasianin telah banyak digunakan untuk pewarna alami, hanya saja pengembangannya tidak secepat antosianin. Hal ini dikarenakan terbatasnya tanaman yang mengandung pigmen betalain (Moreno et al. 2008). Sampai saat ini, pigmen betasianin atau betalain yang sering digunakan hanya berasal dari Beta vulgaris. Tumbuhan jenis lain masih dalam tahap penelitian seperti Amaranthus dan Celosia.

Betasianin dapat digunakan sebagai pewarna alami dalam bentuk ekstrak. Pelarut yang dapat digunakan adalah air, 80% metanol, maupun air:etanol. Menurut Eder (1996) betasianin memiliki kelarutan tinggi dalam air. Telah banyak dilakukan penelitian cara mengekstraksi betasianin dengan berbagai pelarut agar ekstrak betasianin yang dihasilkan tinggi. Seperti yang dilakukan Khuluq et al. (2007) yang mengekstraksi pigmen betasianin dengan menggunakan perbandingan air:etanol dan suhu ekstraksi. Kemudian Widhiana (2000) yang melakukan ekstrasi bit dengan menggunakan pelarut air.

Stabilitas pigmen betasianin sebagai pewarna alami dipengaruhi oleh pH, paparan cahaya, oksigen, dan suhu. Warna betasianin paling stabil pada suhu < 40ºC (Pranutikagne 2009). Suhu dan


(28)

terjadi pemucatan (Sutrisno 1987). Hal ini didukung oleh pernyataan Havlikova et al. (1983) yang menyatakan bahwa stabilitas betasianin semakin menurun pada pemanasan suhu 70 dan 80ºC. Nilai kadar betasianin akan semakin menurun dengan meningkatnya suhu. Sementara itu, penyimpanan pada suhu rendah (lemari es) lebih dapat mempertahankan pigmennya dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu tinggi maupaun suhu kamar. Suhu penyimpanan yang rendah dan hampir tidak terkena cahaya akan menyebabkan pigmen betasianin ini relatif lebih stabil dan dapat tetap dipertahankan (Widhiana 2000).

Sementara pada pH, pigmen betasianin stabil pada pH 4-6 (Stintzing dan Carle 2007). Apabila pH yang terukur lebih tinggi atau lebih rendah dari range nilai tersebut, pigmen betasianin menjadi tidak stabil. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Castelar et al. (2003) yang menyebutkan bahwa kestabilan yang tinggi dimiliki betasianin pada pH 5. Ketidakstabilan betasianin juga dapat dipengaruhi oleh sinar lampu. Penyimpanan pigmen betasianin yang terkena cahaya lampu, lama-lama akan menyebabkan kerusakan pada struktur betasianin. Lampu merupakan sumber sinar yang dapat memancarkan energi dimana sebagian energi tersebut diubah menjadi sinar tampak (Smith 1975) . Cahaya tampak ini berupa proton yang akan diabsorbsi oleh pigmen betasianin sehingga mendorong reaksi fotokimia yang merusak struktur betasianin dan terjadi degradasi (kehilangan warna).


(29)

III.

METODOLOGI

3.1

Alat dan Bahan

Bahan utama yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu kitosan serpihan siap pakai dengan derajat deasetilasi 88,5% diperoleh dari Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (spesifikasi kitosan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1) dan Polivinil Alkohol (PVA) yang diperoleh dari toko Kemika Jaya. Bahan penunjang lainnya adalah asam asetat glasial 1%, plasticizer gliserin, akuades, bit, dan alkohol 70%. Sementara peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah oven atau inkubator dengan suhu 50ºC, hot plate dan magnetic stirrer, batang pengaduk, sudip, termometer, gelas piala, gelas ukur, plat kaca ukuran 20× 20 × 1 cm, neraca analitik, pipet tetes, kuas, kain saring, jar, cawan petri, styrofoam, alumminium foil, mikrometer sekrup, dan Chromameter.

3.2

Metode

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan tahap penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan formulasi penambahan indikator warna pada film, prosedur pengeringan dan pewarnaan film yang tepat, serta selang waktu perubahan warna film indikator. Pada tahap penelitian utama dilakukan analisis respon film indikator selama penyimpanan. Sementara untuk pembuatan film dilakukan berdasarkan hasil penelitian Putri (2012) dan Hasnedi (2009).

Selain itu, pemilihan pewarna bit sebagai indikator didasarkan pada hasil penelitian Putri (2012). Dalam penelitiannya, Putri menggunakan pewarna bit dan rosella. Pewarna dari rosella ketika dicampurkan dengan larutan film memberikan respon perubahan warna yang begitu cepat. Pada awalnya larutan campuran berwarna merah darah, namun dalam hitungan menit warna berubah menjadi merah kecoklatan, kemudian menjadi coklat secara konsisten. Oleh karena itu, pewarna rosella tidak dijadikan sebagai pewarna indikator dan pewarna bit yang digunakan sebagai indikator.

3.3.1 Penelitian Pendahuluan

3.3.1.1Ekstraksi Warna dari Bit (Putri 2012)

Bahan pewarna yang digunakan berasal dari bit. Bit yang sudah dikupas dihancurkan dengan menggunakan blender dengan diberi tambahan air. Perbandingan antara bit dan air agar larutan pewarna yang dihasilkan pekat adalah 2:1 (b/v). Setelah dihancurkan, bubur bit disaring dengan kain saring untuk mendapatkan larutan pewarna. Larutan pewarna yang didapat dicampurkan ke dalam larutan film untuk memperoleh warna yang paling baik untuk dijadikan indikator.

3.3.1.2Pembuatan Film Indikator dari Kitosan (Putri 2012)

Larutan film berbahan kitosan berdasarkan pada penelitian Putri (2012), yaitu 3.5 gram kitosan dilarutkan dalam 70 ml asam asetat glasial 1%. Pencampuran antara kitosan dengan pelarut dilakukan sedikit demi sedikit agar kitosan dapat larut dengan sempurna. Lalu larutan dihomogenkan dengan pengaduk stirer dan dipanaskan pada suhu konstan yaitu 40oC ± 60 menit hingga larutan film tersuspensi dengan sempurna. Setelah larutan tersuspensi sempurna, larutan film tersebut ditera


(30)

film yang dibuat. Larutan film kemudian dituangkan pada media plat kaca berukuran 20 × 20 cm untuk dibuat menjadi lembaran film. Agar dihasilkan ketebalan film yang merata, larutan diratakan dengan menggunakan sudip kaca. Setelah itu dilakukan pemanasan di dalam oven dengan suhu 50oC selama 24 jam. Urutan proses pembuatan larutan film berbahan dasar kitosan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Diagram alir pembuatan film kitosan (Putri 2012). 3.3.1.3Pembuatan Film Indikator dari Kitosan-PVA (Hasnedi 2009)

Pembuatan larutan film campuran kitosan dan PVA (Polivinil Alkohol) dilakukan berdasarkan penelitian Hasnedi (2009). Pada penelitian tersebut menggunakan bahan-bahan kitosan-asetat 1 % (b/v) sebanyak 48 ml, polivinil alkohol (PVA) 1 % (b/v) sebanyak 48 ml, dan pewarna indikator pH Bromthymol Blue (BTB) 0,2% (b/v) sebanyak 4 ml. Modifikasi yang dilakukan meliputi kitosan-asetat 3% (b/v), polivinil alkohol (PVA) 3 % (b/v), dan Bromthymol Blue disubstitusi oleh pewarna bit. Perbandingan antara larutan kitosan dengan larutan PVA dalam proses pencampuran kedua larutan adalah 4:6. Diagram alir pembuatan film campuran Kitosan-PVA dapat dilihat pada Gambar 9.

Kitosan (g)

Pelarutan

Homogenisasi Asam asetat

1% (mL)

Pemanasan 40ºC (60 menit)

Pendinginan Gliserol (mL)

Larutan film

Penuangan di plat kaca

Pengeringan 50oC selama 24 jam

Pelepasan film dari cetakan

Filmkitosan

akuades (mL)

Plat kaca dibersihkan dengan alkohol 70% Pewarna bit (mL)


(31)

Keterangan : *) proses yang dimodifikasi dari Hasnedi (2009)

PVA (g)* akuades (mL)

suhu 80ºC

Kitosan (g)*

Pelarutan

Homogenisasi (30 menit)

Asam asetat 1% (mL)

Pelarutan

Homogenisasi

Pemanasan 40ºC (60 menit)

akuades (mL)

Pencampuran

Larutan PVA Larutan kitosan

Homogenisasi Gliserol (mL)

Pendinginan Larutan film

Penuangan di plat kaca

Pengeringan 50oC selama 24 jam

Pelepasan film dari cetakan

Film

Plat kaca dibersihkan dengan alkohol 70% Pewarna bit (mL)*


(32)

Dalam pembuatan lembaran film ini dilakukan sebanyak tiga tahap yaitu, pembuatan larutan PVA, pembuatan larutan kitosan, dan pencampuran kedua larutan. Mula-mula 3 gram PVA sedikit demi sedikit dilarutkan dalam akuades 80ºC, lalu dihomogenkan dengan pengaduk stirer hingga terlarut sempurna. Kemudian untuk membuat larutan kitosan cara yang dilakukan sama seperti Gambar 5, yang berbeda hanya pada komposisi bahan. Jika pada penelitian Putri 2012 kitosan yang digunakan seberat 3.5 gram yang dilarutkan dalam 70 ml asam asetat glasial 1%, maka dalam prosedur ini digunakan kitosan seberat 3 gram yang dilarutkan dalam 50 ml asam asetat glasial 1%. Tahapan selanjutnya adalah menggabungkan kedua larutan tersebut. Perbandingan yang digunakan untuk mencampur kedua larutan tersebut adalah 6:4 (v/v) (larutan PVA:larutan kitosan).

3.3.1.4Teknik Pengeringan Film Indikator

Pada tahap uji coba pengeringan larutan film ini dilakukan beberapa teknik untuk mengetahui cara pengeringan terbaik agar warna film yang dihasilkan tidak berubah warna selama pengeringan. Berdasarkan hasil penelitian Putri (2012) pewarna alami sebagai indikator warna, sangat mudah berubah warna ketika dipanaskan. Beberapa cara pengeringan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan freeze drying, oven vaccum, dan oven blower. Tahapan yang dilakukan pada ketiga pengeringan tersebut adalah sebagai berikut:

(i). Oven blower

Larutan film yang telah dituangkan ke plat kaca, diratakan terlebih dahulu dengan menggunakan sudip kaca. Kemudian dimasukkan ke dalam oven blower yang sebelumnya telah dipanaskan hingga suhu 50ºC. Pengeringan dilakukan selama 24 jam.

(ii). Oven vacuum

Oven terlebih dahulu dinyalakan hingga mencapai suhu 50ºC. Larutan film yang telah dituangkan ke plat kaca dimasukkan ke dalam oven. Setelah itu, vacuum mulai dinyalakan. Pada pengeringan dengan oven vacuum ini dilakukan selama 3 jam.

(iii). Freeze drying

Larutan film yang telah dituangkan ke plat kaca, dibekukan terlebih dahulu pada suhu freezer(± -5ºC) selama 24 jam. Setelah 24 jam, film yang telah membeku, dimasukkan ke mesin freeze drying dan dikeringkan selama 6 jam.

3.3.1.5Pewarnaan Film dengan Metode Oles

Larutan film terlebih dahulu dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 50ºC. Setelah itu, pewarna indikator dengan volume 6 ml/400 cm2 dioleskan pada lembaran film. Film yang telah diolesi pewarna kemudian dimasukkan ke dalam lemari pendingin selama ± 1 jam. Hal tersebut dilakukan agar warna dapat menempel dengan sempurna pada lembaran film.

3.3.1.6PengamatanPerubahan Film Indikator Selama Penyimpanan

Analisis perubahan warna indikator ini dilakukan untuk mengetahui perubahan warna pada lembaran film. Film yang sudah dipotong-potong (3×3 cm) disimpan dalam lima tempat berbeda, yaitu suhu ruang (± 27ºC), suhu kulkas (3-5ºC), suhu freezer (-5-(-10)ºC), ruang gelap, dan terpapar sinar matahari. Perubahan warna diamati secara visual setiap satu jam sekali selama 24 jam. Data yang dihasilkan akan digunakan untuk menentukan titik pengamatan pada penelitian utama.


(33)

3.3.2 Penelitian Utama

3.3.2.1Pengukuran Respon Film Indikator Selama Penyimpanan

Pada tahap ini dilakukan pengamatan respon lembaran film terhadap perlakuan-perlakuan terbaik yang didapatkan pada penelitian pendahuluan. Perlakuan-perlakuan tersebut diantaranya penyimpanan lembaran film yang telah dipotong 3×3 cm pada suhu kulkas (3-5ºC), suhu freezer (-5-(-10)ºC), dan paparan matahari. Respon yang diamati adalah perubahan warna film indikator, susut bobot, dan ketebalan (prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 2). Sesuai dengan hasil pengamatan (3.3.1.6), setiap suhu penyimpanan dilakukan 7 titik pengamatan untuk memperoleh garis kecenderungan perubahan film indikator selama penyimpanan.

3.3

Pengolahan Data

Data penelitian yang telah didapatkan dari penelitian utama kemudian dianalisis secara statistik. Analisis statistik dilakukan untuk mengetahui hubungan hasil pengukuran warna menggunakan Chromameter dengan lama penyimpanan, pengukuran ketebalan dengan mikrometer sekrup, dan pengukuran susut bobot. Analisis yang digunakan adalah analisis korelasi regresi linier yang dinyatakan dengan persamaan regresi. Secara matematik persamaan linier dinyatakan sebagai berikut (Usman dan Akbar 2008):

Dimana : x = lama penyimpanan

y = hasil pengukuran komponen warna/ketebalan/susut bobot a = slope garis regresi

b = nilai komponen warna/ketebalan/susut bobot pada kondisi garis regresi berpotongan dengan sumbu y

Tingkat ketepatan dan ketelitian pengukuran ditunjukkan dengan melihat nilai korelasi garis regresi (kecenderungan data). Nilai pengukuran dinyatakan baik jika nilai korelasinya lebih dari 80% (R2≥ 0.80). Menurut Usman dan Akbar (2008), nilai R2 terbesar adalah +1 dan terkecil adalah -1 sehingga dapat ditulis -1 ≤ R2≤ +1. Apabila nilai r2 = +1, maka disebut hubungan positif sempurna dan hubungannya linier langsung sangat tinggi. Sebaliknya jika nilai R2 = -1, maka disebut hubungan negatif sempurna dan hubungannya tidak langsung sangat tinggi (invers). Nilai R2 tidak mempunyai satuan (dimensi). Makna dari nilai R2 yang dihitung dapat diinterpretasikan dengan Tabel 7.

Tabel 7. Interpretasi dari nilai R2 (Usman dan Akbar 2008).

R2 Interpretasi

0 Tidak berkorelasi 0.01 – 0.20 Sangat rendah 0.21 – 0.40 Rendah 0.41 – 0.60 Agak rendah 0.61 – 0.80 Cukup tinggi 0.81 – 0.99 Tinggi


(34)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan sebagai langkah awal untuk mencari teknik pengeringan terbaik dari film dengan tambahan pewarna alami, komposisi penambahan pewarna alami pada film, dan mengamati perubahan warna film terhadap suhu lingkungan sekitar. Pengamatan dilakukan secara visual, yaitu dengan melihat tampilan film, warna film indikator setelah pengeringan, dan kemudahan pengelupasan film.Variabel perlakuan pada penelitian pendahuluan adalah metode pengeringan, komposisi bahan atau jenis formulasi, komposisi pewarna, dan suhu penyimpanan. Perlakuan suhu yang digunakan pada penyimpanan adalah suhu ruang, suhu kulkas (3-5ºC), suhu freezer (-5-(-10)ºC), suhu matahari (paparan matahari), dan ruang gelap.

4.1.1 Pembuatan Film Kitosan dan Kitosan-PVA

Dalam melarutkan kitosan, pelarut yang umum digunakan adalah asam asetat. Hal ini dikarenakan asam asetat merupakan asam organik dan pelarut yang paling mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, serta memiliki pH sekitar 2.4 dalam larutan 1.0 M asam asetat (kira-kira sama dengan konsentrasi pada cuka rumah). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Pangabean (2010) bahwa kitosan memiliki sifat tidak larut dalam air tetapi dapat larut dalam larutan asam dengan pH kurang dari 6 dan asam organik seperti asam asetat, asam format, dan asam laktat. Sementara itu, PVA dapat larut dalam air, sedikit larut dalam etanol, tetapi tidak dapat larut dalam pelarut organik lainnya. Oleh karena itu, pelarut yang paling umum untuk PVA adalah air. Air yang digunakan untuk melarutkan PVA tersebut dipanaskan terlebih dahulu sampai 80ºC. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan Sheftel (2000) bahwa PVA dapat larut dalam air pada suhu 80ºC. Kemudian penambahan gliserol pada pembuatan larutan film ini dilakukan agar film menjadi lebih lentur dan halus.

Film yang dihasilkan dari kedua formulasi ini memiliki kenampakan visual yang berbeda. Lembaran film kitosan (Gambar 10a) berwarna kekuningan sedangkan lembaran film Kitosan-PVA (Gambar 10b) berwarna lebih bening, mengkilat, dan permukaannya terlihat lebih halus. Selain itu, film Kitosan-PVA lebih terlihat seperti lembaran plastik. Hal ini dikarenakan PVA sendiri termasuk ke dalam bahan plastik. Walaupun begitu, keduanya memiliki kelenturan yang sama. Baik film kitosan maupun kitosan-PVA, mudah untuk dilepaskan dari plat kaca dan tidak mudah sobek.

(a) (b)

Gambar 10. Film (a) kitosan dan (b) kitosan-PVA. 4.1.2 Pewarna Indikator

Setelah didapatkan lembaran film indikator, tahap selanjutnya adalah pemberian pewarna alami. Pewarna alami merupakan bahan pewarna yang diambil dari tumbuh-tumbuhan atau tanaman


(35)

tertentu. Bahan pewarna alami yang digunakan dapat berasal dari bit, rosella, bayam merah, daun suji, daun pandan, kunyit, bunga telang, wortel, dan masih banyak lagi. Tumbuhan atau tanaman tersebut memiliki warna yang berbeda-beda tergantung pada pigmen warna yang terdapat didalamnya.

Pada penelitian ini bahan pewarna alami yang digunakan berasal dari bit. Ekstraksi bit dilakukan secara sederhana, yaitu menggunakan blender untuk membuat bubur bit, kemudian menggunakan kain saring untuk memisahkan ampas dan pewarnanya. Ekstrak bit berwarna merah keunguan. Pewarna ini diujicobakan pada larutan film dengan konsentrasi berbeda-beda hingga didapatkan warna yang sesuai sebagai indikator warna. Hasil uji coba pencampuran warna dengan larutan film disajikan pada Gambar 11 dibawah ini.

(i)

(a) (b) (c)

(ii)

Gambar 11. Larutan kitosan (i) tanpa pewarna bit dan (ii) dengan pewarna bit (a) 1 ml, (b) 2 ml, dan (c) 3 ml.

Pada penambahan pewarna sebanyak 1 ml, warna yang dihasilkan pada larutan film indikator masih terlalu pucat. Penambahan pewarna sebanyak 2 ml warna yang dihasilkan lebih baik, hanya saja masih kurang menarik untuk dijadikan sebagai pewarna indikator. Sementara pada penambahan warna sebanyak 3 ml, warna yang dihasilkan cukup pekat dan lebih menarik untuk dijadikan pewarna indikator. Pemilihan 3 ml/100 ml sebagai pewarna indikator didasarkan pada kenampakan warna film yang dihasilkan. Warna merah yang dihasilkan tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda sehingga diharapkan dengan intensitas warna merah tersebut dapat menarik konsumen untuk melihat label indikator tersebut ketika ditempelkan pada produk. Oleh karena itu, pencampuran warna sebanyak 3 ml/100 ml larutan film dipilih untuk digunakan pada penelitian ini.

4.1.3 Teknik Pengeringan Film Indikator

Pada penelitian ini diujicobakan tiga cara pengeringan, yaitu pengeringan beku (Freeze Drying), pengeringan blower, dan pengeringan vakum. Tujuan dilakukan ketiga cara pengeringan tersebut adalah untuk mencari teknik pengeringan yang sesuai agar diperoleh warna film yang stabil. Hal ini dikarenakan pada penelitian yang dilakukan oleh Putri (2012), film yang diberi pewarna bit mengalami perubahan saat proses pengeringan selama 24 jam dalam oven, yaitu dari merah keunguan


(36)

warna. Diharapkan dengan menggunakan teknik pengeringan yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pula. Perubahan warna film hasil ketiga pengeringan tersebut dapat dilihat pada Gambar 12.

(i)

(a) (b) (c)

(ii)

Gambar 12. Film (i) sebelum pengeringan dan (ii) hasil pengeringan (a) blower, (b) beku, dan (c) vakum.

4.1.3.1Oven blower

Pengeringan blower adalah pengeringan dengan menggunakan oven yang dilengkapi dengan blower. Adanya blower ini mengakibatkan adanya sirkulasi udara di oven, sehingga uap air yang dihasilkan tidak terjebak di dalam oven. Keuntungan dari penggunaan oven blower ini, bahan menjadi cepat kering. Larutan yang telah diberi pewarna bit selanjutnya dituang ke plat kaca dan dikeringkan dengan pengeringan blower selama 24 jam dengan suhu 50ºC. Larutan film sebelum pengeringan berwarna merah keunguan, setelah pengeringan selama 24 jam menghasilkan lembaran film yang berwarna coklat (Gambar 12a).

4.1.3.2Freeze Drying

Pengeringan beku atau freeze drying merupakan salah satu metode pengeringan yang memiliki keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan, khususnya untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas (Anonim 2011b). Cara pengeringan ini melibatkan tiga tahap, yaitu pembekuan, pengeringan primer, dan pengeringan sekunder. Pada tahap pembekuan, bahan dibekukan terlebih dahulu. Biasanya, suhu beku antara -50°C dan -80°C (Anonim 2011b). Kemudian tahap pengeringan utama dimana air dan pelarut berada dalam keadaan beku dikeluarkan secara sublimasi (padat → gas), tekanan dibuat mendekati keseimbangan air dalam bahan beku. Tahap pengeringan sekunder, uap air hasil sublimasi atau air terikat yang ada dilapisan kering dikeluarkan (Anonim 2011b).

Larutan yang telah diberi pewarna bit selanjutnya dituang ke plat kaca dan dikeringkan dengan pengeringan beku selama 6 jam. Khusus untuk pengeringan beku, larutan film yang telah diberi pewarna dibekukan terlebih dahulu dalam freezer selama satu hari (24 jam). Hal ini dilakukan agar proses pembekuan bahan lebih cepat sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan


(37)

menjadi lebih cepat pula. Pada pengeringan beku, larutan film berwarna merah keunguan menjadi lembaran film berwarna merah muda (Gambar 12b) dan lembaran film yang dihasilkan setelah 6 jam pengeringan masih dalam kondisi basah. Hal ini berarti, untuk mengeringkan film indikator dengan pengeringan beku membutuhkan waktu lebih dari 6 jam agar film benar-benar kering.

4.1.3.3Oven Vacuum

Pengeringan vakum adalah suatu pengeringan bahan dalam ruang yang tekanannya lebih rendah dari tekanan udara atmosfer (< 1 atm). Tekanan uap air dalam udara yang lebih rendah, mengakibatkan air pada bahan menguap pada suhu yang lebih rendah (Anonim 2009b). Suhu pengeringan yang biasa dilakukan berkisar antara 37-93ºC. Larutan yang telah diberi pewarna bit selanjutnya dituang ke plat kaca dan dikeringkan dengan pengeringan vakum selama 3 jam. Hasil setelah pengeringan, lembaran film indikator telah berubah warna menjadi kuning kehijauan (Gambar 12c)

Berdasarkan hasil pengamatan diatas terlihat bahwa pewarna bit ini sensitif terhadap panas. Kedua pengeringan tersebut (oven blower dan vacuum) tetap menggunakan panas untuk mengeringkannya, sehingga tetap tidak cocok untuk mengeringkan larutan film dengan pewarna bit. Selain itu, dalam pewarna bit terdapat pigmen betalain yang memberikan warna pada bit. Sifat betalain pada bit dipengaruhi oleh pH, cahaya, udara, suhu, serta aktivitas air (Cai 1998 dalam Mastuti 2010). Sementara perubahan warna film indikator pada pengeringan beku tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan pengeringan blower dan pengeringan vakum. Pada pengeringan beku masih terdapat warna merah walaupun lebih pucat. Hal ini dikarenakan betalain merupakan pigmen yang dapat larut dalam air, sehingga ketika dilakukan pengeringan dengan pengeringan beku, pewarna yang terikat dalam matrik air juga ikut menghilang atau ikut teruapkan dan menyebabkan film indikator berubah warna. Menurut Ishak (2012), pengeringan beku memiliki prinsip kerja yang berbeda dengan pengeringan vakum. Pengeringan beku akan menarik komponen-komponen dari bahan yang akan dikeringkan, termasuk air yang terikat secara fisik juga akan ikut tertarik sedangkan pengeringan vakum menguapkan komponen bahan yang dikeringkan sehingga hanya air bebas yang memiliki peluang besar untuk menguap dibandingkan air yang terikat secara fisik dan kimia. Kemudian pengeringan beku menghasilkan tekstur pada lembaran film yang berserat-serat, tidak halus atau rata seperti pada pengeringan vakum dan pengeringan blower.

Selain itu, pigmen betalain terutama betasianin kestabilannya dipengaruhi oleh suhu. Menurut Pranutikagne (2009), warna betasianin paling stabil di bawah suhu 40ºC. Sementara suhu pengeringan yang digunakan adalah 50ºC. Apabila suhu yang digunakan kurang dari 50ºC, proses pengeringan film akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga ketiga teknik pengeringan tersebut tidak cocok digunakan dalam pengeringan film indikator dengan pewarna bit. Tidak cocoknya ketiga pengeringan tersebut menyebabkan dibutuhkannya alternatif lain agar pewarna bit tersebut tetap dapat digunakan sebagai pewarna indikator kemasan cerdas. Cara lain yang ditemukan adalah metode oles.

4.1.4 Pewarnaan Film dengan Metode Oles

Pewarnaan film indikator dengan metode oles ini dilakukan sebagai alternatif agar pewarna alami bit ini dapat digunakan sebagai pewarna indikator. Alternatif ini didapatkan setelah beberapa teknik pengeringan yang dilakukan tidak dapat digunakan (4.13). Pada prosedur sebelumnya pewarna bit dicampur terlebih dahulu dengan larutan film baru dikeringkan dengan oven. Sementara pada pewarnaan metode oles larutan film terlebih dahulu dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 50ºC. Setelah itu, pewarna indikator dengan volume tertentu dioleskan pada lembaran film. Atas


(1)

45 Vaikousi H, CG Biliaderis, KP Koutsoumanis. 2009. Applicability of a microbial time-temperature indicator (TTI) for monitoring spoilage of modified atmosphere packed minced meat. Int. J. Food Microbiol. 133(3), 272-278.

Widhiana E. 2000. Ekstraksi bit (Beta vulgaris l. var. Rubra. l.) sebagai alternatif pewarna alami pangan [skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Kekuarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Widiastuti P. 2012. Bit, manfaat, dan nutrisi. URL

2012].

Yam KL, PT Takhistov, dan J Miltz. 2005. Intelligent Packaging : concepts and appication. J. Food Sci. 70 (1), R1-R10.

Yan S, C Huawei, Z Limin, R Fazheng, Z Luda, Z Hengtao. 2008. Development and characterization of a new amylase type time-temperature indicator. Food Control 19(3), 315-319.

Zryd, Jean-Pierre, dan L Christinet. 2004. Betalains, in Plant Pigments and Their Manipulation, Editor: Davies K., Ann. Plant Rev. Vol. 14. CRC Press. Blackwell Publ. 185-213.


(2)

(3)

47 Lampiran 1. Spesifikasi Kitosan.

Certificate of Analysis CHITOSAN

• Product Name : CHITOSAN (Shrimp Shell) • Raw Material : Black tiger

• Use : Food Grade dan Medical Grade

• LOT No. :

• The date manufacture : 29 April 2012

• Expiry Date : 29 April 2014

• Analysis No. :

• Analysis Date : 30 April 2012

Items Specification Result Method

Appearance White or Yellow Pale Yellow

Odor Odorless Complies

Solution 99 % Min. 99 % UP 6 % Soln. in HCl 1.0 %

Moisture Content 12.0 % Max. 8.6 % Infrared Moisture meter

Ash Content 1.0 % Max. 0.3 % Ashing Method

Protein Content 1.0 % Max. 0.5 % Lowry Method

De-Acetylation 70 % Min. 88.5 % PVSK

Viscosity 50 cps Max. 20 cps 0.5 % Soln. in Acid

Transparency 30 Cm Min. 39 Cm Transparency meter (JIS K)

pH (5 % dispersion) 6.5 ~7.5 7.1 pH meter

As 0.2 ppm Max. Complies ICP

Pb 1.0 ppm Max. Complies ICP

E-coli Negative Negative Flat Disk Method

Salmonella Negative Negative Flat Disk Method


(4)

48 Lampiran 2. Prosedur analisis karakterisasi film indikator

1. Uji Ketebalan Film metode microcal messmer (ASTM 1983)

Film yang dihasilkan diukur ketebalannya dengan menggunakan pengukur ketebalan, yaitu mikrometer. Mikrometer sekrup yang digunakan memiliki ketelitian 0.01 mm. Ketebalan diukur pada lima titik yang berbeda, kemudian nilai ketebalan diperoleh dari rata-rata kelima pengukuran ketebalan tersebut.

2. Pengukuran Warna dengan Chromameter (Nurmawati 2011)

Pada pengukuran warna menggunakan Chromameter Minolta CR 400. Sampel film ditempatkan pada alas putih. Warna film dibaca dengan detektor digital, kemudian angka hasil pengukuran akan terbaca pada display (layar). Hasil pengukuran dinyatakan dalam CIE L*a*b* yang dicirikan dengan notasi L, a, b. Pengukuran dilakukan tiga kali pada tiga titik yang berbeda pada salah satu sisi objek. Skema pengukuran dari Chromameter ditunjukkan pada Gambar 25 berikut.

Gambar 25. Sistem pengukuran pada Chromameter (Nurmawati 2011).

L menyatakan parameter kecerahan dengan warna kromatis, 0 (hitam) sampai 100 (putih). Sementara a dan b adalah koordinat-koordinat chroma. Parameter a adalah cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah – hijau dengan nilai +a (positif) dari nol sampai 100 (merah) dan nilai –a (negatif a) darinol sampai 80 (hijau). Parameter b adalah warna kromatik campuran biru – kuning dengan nilai +b (positif b) dari nol sampai 70 (kuning) dan nilai –b (negatif b) dari nol sampai 70 (biru).

3. Pengukuran Intensitas Warna

Intensitas warna ditunjukan melalui nilai Chroma (a dan b) yang dihitung dengan rumus sebagai berikut :

H = tan-1 (b/a) Keterangan :

H = oHue, menunjukkan warna sampel a = merupakan warna campuran merah-hijau b = merupakan warna campuran kuning-biru

o


(5)

49 Lampiran 3. Data nilai Chromameter dan ºHue film indikator selama penyimpanan paparan

matahari, suhu kulkas, dan suhu freezer.

Lama paparan (menit)

Nilai Chromameter film indikator paparan matahari

ºHue

L a b

0 50.45 ± 1.63 46.33 ± 2.41 16.84 ± 0.49 19.98

30 46.65 ± 0.86 39.65 ± 1.02 25.34± 1.93 32.58

60 47.83 ± 2.17 36.16 ± 1.58 28.26 ± 2.48 38.00 90 48.66 ± 2.80 30.45 ± 1.94 29.60 ± 2.83 44.19 120 54.41 ± 3.27 25.76 ± 4.87 35.55 ± 2.44 54.07 150 53.79 ± 2.46 26.32 ± 3.14 35.31 ± 1.85 53.30 180 58.41 ± 4.61 20.96 ± 5.61 40.35 ± 2.85 62.55

Lama penyimpanan (hari)

Nilai Chromameter film indikator suhu 3-5ºC

ºHue

L a b

0 47.05 ± 1.31 38.54 ± 2.44 23.44 ± 1.51 31.31 1 46.87 ± 1.30 35.44 ± 1.68 29.45 ± 0.31 39.73 2 49.65 ± 2.37 30.16 ± 2.48 27.73 ± 2.00 45.60 3 50.06 ± 2.37 29.88 ± 0.34 27.11 ± 1.38 42.22

4 49.24 ± 1.71 31.08 ± 1.57 29.56± 1.09 43.56

7 49.08 ± 1.62 33.15 ± 1.43 28.57 ± 0.88 40.76 8 50.57 ± 0.30 29.24 ± 0.32 28.96 ± 0.34 44.72

Lama penyimpanan (hari)

Nilai Chromameter film indikator suhu -5-(-10)ºC

ºHue

L a b

0 47.71 ± 3.50 36.63 ± 2.91 23.65 ± 1.36 32.85 1 45.71 ± 1.99 38.30 ± 1.84 25.81 ± 0.57 33.98 2 47.33 ± 3.06 36.64 ± 3.38 26.12 ± 1.36 35.48 3 47.75 ± 0.25 34.97 ± 1.06 23.95 ± 0.95 34.41 4 48.25 ± 0.23 33.96 ± 0.89 24.64 ± 1.14 35.96

7 46.76 ± 1.69 35.94± 1.68 26.40 ± 1.29 36.30


(6)

50 Lampiran 4. Data analisis perubahan ketebalan dan susut bobot film indikator selama

penyimpanan paparan matahari (atas), suhu kulkas (tengah), dan suhu freezer (bawah).

Lama Paparan (menit) Ketebalan (mm) Susut Bobot (%)

0 0.13 ± 0.02 0.00 ± 0.00

30 0.20 ± 0.01 37.67 ± 4.51

60 0.18 ± 0.02 41.00 ± 10.54

90 0.19 ± 0.02 45.33± 10.60

120 0.20 ± 0.03 36.33 ± 12.01

150 0.20 ± 0.03 41.67 ± 20.03

180 0.19 ± 0.01 53.00 ± 7.00

Lama Penyimpanan (hari) Ketebalan (mm) Susut Bobot (%)

0 0.26 ± 0.02 0.00 ± 0.00

1 0.23 ± 0.01 30.29 ± 5.67

2 0.18 ± 0.01 36.42 ± 4.75

3 0.12 ± 0.03 36.09 ± 10.55

4 0.21 ± 0.01 29.72 ± 13.81

7 0.07 ± 0.01 36.25 ± 7.53

8 0.03 ± 0.03 45.11 ± 12.37

Lama Penyimpanan (hari) Ketebalan (mm) Susut Bobot (%)

0 0.22 ± 0.04 0.00 ± 0.00

1 0.23 ± 0.02 20.58 ± 7.65

2 0.21 ± 0.02 26.91 ± 19.31

3 0.09 ± 0.02 28.79 ± 15.04

4 0.23 ± 0.04 21.49 ± 15.00

7 0.03 ± 0.01 30.72 ± 15.09