BAB III PENGATURAN TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA DI BIDANG MEDIS DALAM PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN INDONESIA
A. Pengaturan Tindak Pidana Di Bidang Medis Dalam Peraturan Perundang-
undangan Indonesia Kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang medis meliputi
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit serta Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1239MenkesSKXI2001
tentang Registrasi Dan Praktik Perawat.
92
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Beberapa kalangan praktisi hukum berpendapat bahwa masalah hukum kedokteran bukanlah delik aduan, melainkan delik biasa dan dengan demikian
pihak penyidik dapat segera melakukan penyidikan tanpa menunggu adanya pihak keluarga yang melapor atau mengadukan. Secara yuridis formil hal itu memang
benar, karena KUHP Pasal 102 antara lain menyebutkan bahwa “Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang suatu peristiwa yang patut
diduga merupakan tindakan pidana, maka penyidik wajib segera melakukan penyidikan yang diperlukan”
93
92
Sri Sumiarti, Op.Cit., hal 65
93
Chrisdiono M. Achadiat, Log.Cit.,hal 23
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi, beberapa ahli hukum lain berpendapat bahwa ada perbedaan yang sangat mendasar antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana medis
karena pada tindak pidana biasa menjadi titik perhatian utamanya adalah akibat dari tindakan tersebut, sedangkan dalam tindak pidana medis yang menjadi titik
perhatian utama adalah justru kausa atau sebab serta proses dan bukan akibat tadi. sebagai contoh ekstrem disebutkan bahwa meskipun akibatnya fatal, tetapi sejauh
tidak terdapat unsur kelalaian atau kesalahan, maka dokter itu tidak dapat dipersalahkan.
94
Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana bentuk-bentuk kesalahan terdiri dari berikut ini:
95
1. Kesengajaan Dolus
Dalam Crimineel Wetboek Kitab Undang-undang Hukum Pidana dicantumkan: “Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukn atau tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang- undang”.
96
94
Ibid
95
Bahder Johan Nasution, Op.Cit.,hal 54
96
Bambang Poernomo, 1994, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, hal.156
Rumusan “sengaja” pada umumnya dicantumkan dalam suatu norma pidana. Akan tetapi adakalanya rumusan “sengaja” telah dengan sendirinya
tercakup dalam suatu “perkataan”, misalnya perkataan “memaksa”.
Universitas Sumatera Utara
Rumusan “sengaja” pada norma hukum pidana dimuat dengan kata-kata, antara lain:
97
a. Dengan maksud
Misalnya pasal 362 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa mengambil suatu barang yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memilikinya dengan melawan hukum…”
b. Dengan sengaja
Misalnya pasal 338 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain..”
c. Mengetahui atau diketahuinya
Misalnya pasal 480 KUHP yang berbunyi: “Dengan hukuman penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak
Rp.60,00 dapat dihukum karena penadahan, barang siapa.. yang diketahuinya atau patut disangkanya bahwa barang itu diperoleh dari kejahatan”
d. Dengan rencana terlebih dahulu
Misalnya pasal 340 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu merampas
nyawa orang lain…” Secara umum, pakar hukum pidana telah menerima adanya tiga bentuk
kesengajaan, yakni:
98
97
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, hal.22
98
Ibid.,hal. 15
Universitas Sumatera Utara
a. Kesengajaan sebagai maksud, yakni dimana akibat dari perbuatan itu
diharapkan timbul atau agar peristiwa pidana itu sendiri terjadi; b.
Kesengajaan dengan keinsyafan pasti, yakni sipelaku doer or dader mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi
suatu akibat lain. c.
Kesengajaan sebagai kemungkinan, yakni seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi sipelaku
menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-undang.
2. Kealpaan, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 359 KUHP
99
Simons menerangkan “kealpaan” bahwa pada umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan,
disamping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati masih mungkin juga terjadi kealpaan
jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang.
Pada umumnya kealpaan Culpa dibedakan atas: a.
Kealpaan dengan kesadaran Bewuste schuld. Dalam hal ini sipelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat tetapi walaupun ia
berusaha untuk mencegah akan timbul juga akibat tersebut. b.
Kealpaan tanpa kesadaran Onbewuste schuld. Dalam hal ini, sipelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan
99
Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal 55
Universitas Sumatera Utara
diancam hukuman oleh undang-undang, sedang ia seharusnya meperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.
Dalam kepustakaan, disebutkan bahwa untuk menentukan adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang harus dipenuhi empat
unsur: a.
Terang melakukan perbuatan pidana, perbuatan itu bersifat melawan hukum b.
Mampu bertanggung jawab c.
Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaan d.
Tidak adanya alasan pemaaf Jika dihubungkan dengan profesi dokter dalam pelayanan kesehatan
timbul pertanyaan, apakah unsur kesalahan tersebut dapat diterapkan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh dokter? Untuk menjawab pertanyaan tersebut
harus dilihat apakah kesalahan yang dilakukan oleh dokter, terjadi karena kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman dan atau kurangnya kehati-
hatian, padahal diketahui bahwa jika dilihat dari segi profesionalisme, seorang dokter dituntut untuk terus mengembangkan ilmunya.
Dalam pelayanan kesehatan, kelalaian yang timbul dari tindakan seorang dokter adalah “kelalaian akibat”. Oleh karena itu yang dipidana adalah penyebab
dari timbulnya akibat, misalnya tindakan seorang dokter yang menyebabkan cacat atau matinya orang yang berada dalam perawatannya, sehingga perbuatan tersebut
dapat dicelakan kepadanya. Untuk menentukan apakah seorang dokter telah melakukan peristiwa pidana sebagai akibat, harus terlebih dahulu dicari keadaan-
keadaan yang merupakan sebab terjadinya peristiwa pidana itu. Umpamanya
Universitas Sumatera Utara
karena kelalaian seorang dokter yang memberikan obat yang salah kepada pasiennya menyebabkan cacat atau matinya pasien tersebut. Disamping itu harus
pula dilihat apakah perawatan yang diberikan kepada pasien merupakan suatu kesengajaan untuk tidak memberikan pelayanan yang baik, padahal ia sadar
sepenuhnya bahwa pasien tersebut sangat membutuhkannya.
100
Jika hal ini terjadi, maka kesalahan tersebut disebabkan karena tindakan dokter berupa kesengajaan, karena ia telah bersikap kurang hati-hati dan ceroboh.
Dengan demikian dari pembahasan diatas, dapat disimpilkan bahwa kealpaan itu paling tidak memuat tiga unsur:
101
1 Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum
tertulis maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan termasuk tidak berbuat yang melawan hukum.
2 Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir panjang
3 Perbuatan pelaku tidak dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung
jawab atas akibat perbuatannya tersebut. Dalam bidang hukum, hukum pidana termasuk dalam hukum yang berlaku
umum, dimana setiap orang harus tunduk kepada peraturan ini dan pelaksanaan peraturan ini dapat dipaksakan. Setiap anggota masyarakat termasuk dokter
tanpa kecuali harus taat, juga termasuk orang asing yang berada dalam yurisdiksi Negara Republik Indonesia. Tuntutan malpraktik berdasarkan hukum pidana
100
Ibid., hal 57
101
Ibid., hal 59
Universitas Sumatera Utara
dengan kata lain sebagai kriminalitas dalam bidang medic yang tercatat dalam literature-literatur sebenarnya tidaklah banyak. Meskipun demikian, perlu
diketahui beberapa perbuatan yang dikategorikan dalam malpraktik pidana, antara lain:
102
1 Penganiayaan Mishandeling
Malpraktik kedokteran dapat menjadi penganiayaan jika ada kesengajaan, baik terhadap perbuatan maupun akibat perbuatan. Pada umumnya, pembedahan
tanpa informed consent termasuk penganiayaan. Selain itu, alasan pembenar pembedahan sebagai penganiayaan juga terletak pada maksud atau tujuannya,
yakni untuk mencapai tujuan yang patut. Dengan demikian, sebaliknya walaupun mendapatkan informed consent, jika untuk mencapai tujuan yang tidak patut maka
pembedahan tetap merupakan penganiayaan. Menurut doktrin pun, perbuatan fisik yang ditujukan pada fisik orang lain yang mengakibatkan rasa sakit, kehilangan
sifat melawan hukum apabila ditujukan untuk mencapai tujuan yang patut.
103
Sama halnya dengan pembedahan tanpa infoemed consent dalam keadaan mendesak, sesungguhnya tetap merupakan penganiayaan. Tidak dipidana karena
kehilangan sifat melawan hukum perbuatan. Syarat dalam keadaan mendesak diserahkan pada pertimbangan ilmu kedokteran dan ilmu hukum. Dari sudut ilmu
kedokteran, pertimbangannya ialah: tanpa segera mendapat pertolongan medis, pasien akan mati atau akibat fatal lainnya. Disamping itu keadaan mendesak juga
berdasarkan pertimbangan hukum. Hukum telah menentukan bahwa seseorang
102
Chrisdiono M. Achadiat, Log.Cit.,hal 29
103
Adami chazawi, 2007, malpraktik kedokteran, Malang: Bayumedia Publishing, hal.103
Universitas Sumatera Utara
yang mampu menolong orang lain yang dalam bahaya kematiannya tanpa membahayakan dirinya tidak melakukan pertolongan karena tanpa diberi
pertolongan orang itu mati. Dengan demikian, orang yang tidak menolong bertanggung jawab hukum atas kematian orang lain itu Pasal 531 KUHP.
Tindakan medis darurat yang mengabaikan informed consent dapat dibenarkan berdasarkan asas subsidiariteit dalam hukum. Hukum telah
memberikan jalan untuk mempertahankan kepentingan hukum yang saling berhadapan, artinya tidak dapat mepertahankan kedua-duanya. Dengan demikian
yang harus dipilih ialah mempertahankan kepentingan hukum yang lebih besar misalnya dari bahaya kematian daripada mempertahankan kepentingan hukum
yang lebih kecil karena tanpa informed consent.
104
Cara merumuskan tindak pidana penganiayaan memang tidak lazim karena tidak lengkap hanya menyebut kualifikasinya, sedangkan mengenai unsur-
unsurnya atau isinya penganiayaan diserahkan pada doktrin dan praktik. Unsur- unsur yang harus dibuktikan meliputi:
105
a. Adanya kesengajaan
b. Adanya wujud perbuatan
c. Adanya akibat perbuatan
d. Adanya causal verband antara wujud perbuatan dan timbulnya akibat yang
terlarang
104
Ibid.,hal.104
105
Andi Hamzah, 2009, delik-delik tertentu didalam KUHP, Jakarta: Sinar Grafika, hal.68
Universitas Sumatera Utara
Perbuatan pada penganiayaan harus berwujud, misalnya pemukulan atau pembedahan tubuh yang dilakukan oleh dokter. Akan tetapi, bisa juga dengan
perbuatan pasif, seperti sengaja tidak segera melakukan pembedahan yang menurut ilmu kedoteran harus dilakukan segera dengan maksud agar pasien mati.
Dalam perlakuan tersebut berarti terjadi penganiayaan yang menyebabkan matinya orang. Penganiayaan hanya berlaku kesengajaan sebagai maksud opzet
als oogmerk saja, tidak termasuk kesengajaan sebagai kemungkinan. 2
Kealpaan yang menyebabkan kematian Hampir pasti pasal 359 KUHP selalu didakwakan terhadap kematian yang
diduga disebabkan karena kesalahan dokter. Pasal 359 KUHP dapat menampung semua perbuatan yang dilakukan yang mengakibatkan kematian, dimana kematian
bukanlah dituju atau dikehendaki. Pasal 359 merumuskan bahwa “Barang siapa karena kesalahannya kealpaannya menyebabkan orang lain mati…” jadi
disamping adanya sikap batin culpa harus ada 3 unsur lagi. 3 unsur yang dimaksud merupakan rincian dari kalimat: “menyebabkan orang lain mati”,
yakni:
106
a. Harus ada wujud perbuatan
b. Adanya akibat berupa kematian
c. Adanya causal verband antara wujud perbuatan dengan akibat kematian.
Sikap batin culpa bukan ditujukan pada perbuatan, akan tetapi pada akibat kematian. Pada perbuatan selalu dituju oleh sengaja. Akibat kematian tidak perlu
timbul tidak lama setelah tindakan medis. Boleh lebih lama, asalkan kematian itu
106
Adami chazawi, Op.Cit., hal.106
Universitas Sumatera Utara
benar-benar disebabkan oleh tindakan medis yang dilakukan akan tetapi, jika terlalu lama akan sulit menentukan adanya hubungan causal antara tindakan
medis, dengan akibat kematian. 3
Kealapan yang menyebabkan luka-luka selain pasal 359 KUHP, pasal 360 KUHP juga sudah sangat lazim
digunakan jaksa untuk menuntut dokter atas dugaan malpraktik kedokteran, selanjutnya pasal 359 jika ada kematian dan pasal 360 jika ada luka. Ada 2
macam tindak pidana menurut pasal 360. Masing-masing dirumuskan pada ayat 1 dan 2. Bunyi kalimat ayat 1: “ … karena kesalahannya kealpaanya menyebabkan
orang lain mendapatkan luka berat …” kalimat ayat 2 “ … Karen kesalahannya kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga
timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, ….”
107
a Adanya kelalaian
Dari rumusan kalimat pada ayat 1 dapat dirinci unsur-unsur yang harus dibuktikan jaksa, yakni:
b Adanya wujud perbuatan
c Adanya akibat luka berat
d Adanya hubungan kausal antara luka berat dengan wujud perbuatan.
Rumusan ayat 2 mengandung unsur, yakni a
Adanya kelalaian b
Adanya wujud perbuatan
107
Andi Hamzah, Op.Cit., hal. 52
Universitas Sumatera Utara
c Adanya akibat: 1 luka yang menimbulkan penyakit; 2 luka yang
menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu.
d Adanya hubungan kausal antar perbuatan dengan akuibat
Sama halnya dengan pasal 359, tindak pidana ini juga merupakan tindak pidana materriil berupa tindak pidana dimana timbulnya akibat ole perbuatan
sebagai syarat selesainya tindak pidana. Ada orang menyebutnya sebagai tindak pidana yang melarang menimbulkan akibat tertentu.
Apa yang disebut luka tidak diterangkan dalam KUHP. Luka letsel adalah perubahan sedemikian rupa pada permukaan tubuh sehingga berbeda
dengan bentuk semula.
108
a. Luka berat ayat 1
Pasal 360 KUHP menyebut tiga macam luka yakni:
b. Luka yang menimbulkan penyakit ayat 2
c. Luka yang menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian selama waktu tertentu ayat 2 4
Aborsi Istilah lainnya adalah menggugurkan kandungan. Walaupun dari sudut
hukum menggugurkan kandungan tidak sama persis artinya dengan praktik aborsi karena dari sudut hukum pidana pada praktik aborsi terdapat dua bentuk
perbuatan. Pertama, perbuatan menggugurkan afdrijven kandungan. Kedua, perbuatan mematikan dood’doen kandungan.
109
108
Satochid kartanegara, Hukum Pidana Bagian II. Balai lektur Mahasiswa
109
Lihat rumusan pasal 346,347 atau 348 KUHP mengenai tindak pidana aborsi.
Universitas Sumatera Utara
Hukum pidana dalam memandang praktik aborsi dapat disimak dari tiga pasal, yakni pasal 346, 347, dan 348 KUHP. Jika praktik aborsi dilakukan dokter
atau tenaga kesehatan yang lain, seperti bidan maka pertanggung jawaban pidananya diperberat dan dapat ditambah sepertiga dari ancaman pidana yang
terdapat pada masing-masing pasal yang terbukti. Serta dapat dicabut hak menjalankan pencarian, in casu SIP atau STR dokter sebagai jantungnya praktik
kedokteran. a.
Pasal 346 KUHP Tindak pidana dalam pasal ini merumuskan:
110
Jika rumusan itu dirinci terdapat unsur berikut: Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
111
1. Pembuatnya: seorang perempuan
Unsur-unsur objektif:
2. Perbuatan: a. menggugurkan; atau
b. Mematikanmembunuh
c. Menyuruh orang lain untuk itu
3. Objeknya: kandungannya
Unsur subjektif 4.
Dengan sengaja
110
Adami chazawi, Op.Cit., hal.118
111
Andi Hamzah, Op.Cit., hal. 62
Universitas Sumatera Utara
Dalam ketentuan diatas dokter dapat tersangkut apabila perempuan meminta menyuruh orang lain untuk itu dokter untuk melaksanakan aborsi
tersebut. Jelas disini dokter bukan subjek hukum sebagai pembuat tunggal dader karena disebutkan dalam rumusan subjek hukumnya adalah seorang wanita de
vrouw. Akan tetapi dokter dapat melakukan malpraktik menurut pasal ini jika dokter tersebut diminta untuk melaksanakan pengguguran atau pembunuhan
kandungannya. Lalu dokter sebagai apa atau melanggar pasal mana, kiranya ada dua pendapat mengenai hal ini:
112
1. Sebagai pembuat pelaksana pleger menurut pasal 55 ayat 1 KUHP. Jika
dokter sendiri yang melaksanakan aborsi tersebut sedangkan perempuan pemilik kandungan terlibat sebagai pembuat penganjur atau pembuat peserta,
bergantung pada apa yang meliputi perbuatan tersebut. Pelaku peserta jika perempuan pemilik kandungan juga ikut terlibat perbuatan fisik besar atau
kecil. Boleh sebagai pembuat penganjur jika dokter mendapatkan pembayaran untuk itu.
2. Dokter dapat dipertanggungjawabkan melalui pasal 348 KUHP. Alasan
pendapat ini yakni subjek hukum pasal 346 ialah harus seorang perempuan, in casu perempuan pemilik kandungan. Subjek hukum yang disebut dalam
rumusan tindak pidana adalah pembuat tunggal dader dan tidak termasuk bentuk-bentuk penyertaan dalam pasal 55 dan 56 KUHP. Sementara itu, unsur
tiga perbuatan menggugurkan, mematikan, dan menyuruh orang lain untuk itu dikhususkan pada perbuatan dader in casu perempuan tersebut. Dalam hal
112
Adami chazawi, Op.Cit., hal.119
Universitas Sumatera Utara
ini, dokter juga bukan dader. Dader harus si perempuan pemilik kandungan. Dengan demikian tidak mungkin dokter dapat melakukan tiga perbuatan
tersebut. Jika demikian, dokter tidak mungkin dipidana menurut pasal ini, tetapi dokter dapat dipidana sebagai dader berdasarkan pasal 348. Sementara
itu, perempuan yang menyuruh dokter dipidana sebagai dader menurut pasal 346. Perbuatan perempuan bukan
mengugurkan atau mematikan kandungannya tetapi perbuatan menyuruh orang lain dokter untuk itu.
b. Pasal 347 KUH pasal ini merumuskan:
113
1. Barang siapa dengan sengaja menggugurakn atau mematikan kandungan
seorang perempuan tanpa persetujuannya diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun
2. Jika perbuatan itu menyebabkan matinya perempuan tersebut diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belsa tahun. Rumusan tersebut terdiri atas unsur-unsur berikut.
Ayat 1 Unsur-unsur obkektif
1. Perbuatan : menggurkan atau mematikan
2. Objeknya : kandungan perempuan
3. Tanpa persetujuan perempuan itu
Unsur subjektif 4.
Dengan sengaja Ayat 2: Mengakibatkan kematian perempuan tersebut
113
Ibid., hal 121
Universitas Sumatera Utara
Inilah aborsi tanpa persetujuan perempuan pemilik kandungan. Tanggungjawab pidananya lebih berat penjara paling lama 12 tahun daripada
aborsi atas persetujuan penjara paling lama lima tahun enam bulan, pasal 348. Jika menimbulkan kematian perempuan itu sama dengan pembunuhan pasal
338. Walaupun kesengajaan tidak ditujukan pada kematian perempuan yang mengandung seperti pada pembunuhan.Tanpa persetujuan harus diartikan pada
akibat, bukan pada perbuatan tertentu. Bisa jadi perempuan setuju pada wujud perbuatan tertentu yang dikatakan
pembuat berupa pengobatan atau perawatan. Namun sesungguhnya perbuatan tersebut oleh pembuatnya ditujukan pada gugr atau matinya kandungan. Kejadian
ini juga masuk pasal 347. Kesengajaan pembuat harus ditujukan baik pada perbuatannya maupun akibat gugur atau matinya kandungan. Kesengajaan ini
harus diartikan tiga bentuk kesengajaan, yakni sebagai maksud, kemungkinan, atau kesengjaan sebagai kepastian.
c. Pasal 348
Pasal ini merumuskkan:
114
1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang perempuan dengan persetujuannya diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Mengenai tindak pidana dirumuskan dalam ayat 1. Ayat 2 memuat alasan
pemberatan pidana yang dilekatkan pada timbulnya akibat kematian perempuan yang mengandung. Rumusan ayat 1 terdapat unsur-unsur berikut:
114
Ibid., hal.125
Universitas Sumatera Utara
Unsur-unsur objektif: 1.
Perbuatan: a. menggugurkan atau b. mematikan
2. Objeknya: kandungan seorang perempuan
3. Dengan persetujuannya
Unsur subjektif 4.
Dengan sengaja Perbedaan pokok dengan aborsi pasal 348 terletak pada aborsi terhadap
perempuan yang mengandung disetujui oleh pemilik kandungan sendiri. Dari unsur persetujuannya, berarti inisiatif tindakan aborsi itu bukan berasala dari
perempuan. Alasannya didasarkan dari unsur perbuatan ketiga, yakni menyuruh orang lain untuk itu. Disinilah letak perbedaan antara aborsi perbuatan menyuruh
mematikan atau menggugurkan kandungan menurut pasal 346 dengan aborsi yang dilakukan orang lain atas persetujuan perempuan yang mengandung pasal 348.
5. Euthanasia
Euthanasia berasal dari kata eu dan thanatos Yunani. Eu artinya baik dan thanatos artinya mati. Dengan demikian, euthanasia dari sudut harfiah artinya
kematian yang baik atau kematian yang menyenangkan. Seutonius dalam bukunya vitaceasarum merumuskan bahwa euthanasia adalah mati cepat tanpa derita.
Menurut Richard Lamerton pengertian euthanasia pada abad ke-20 ditafsirkan pembunuhan atas dasar belas kasihan mercy killing. Bahkan kemudian diartikan
Universitas Sumatera Utara
juga sebagai perbuatan membiarkan seseorang mati dengan sendirinya mercy dead, atau tanpa berbuat apa-apa membiarkan orang lain mati.
115
Leenen berpendapat bahwa euthanasia itu haarus memuat unsur-unsur, bahwa dilakukan dengan suatu perbuatan yang berakibat pada suatu kematian;
dapat berarti memperpendek suatu kehidupan; mengakhiri hidup seseorang yang terjadi dengan sendirinya atau dengan memakai alat obat.memang ada
perbedaan yang bersifat hakiki antara pembunuhan dan euthanasia, terutama mengenai siapa yang punya maksud, yang melaksanakan dan pelakunya sendiri.
Disamping itu masih terdapat perbedaan yang lain yaitu kalau pada euthanasia selalu atas permintaan dari yang bersangkutan, sedangkan pada pembunuhan
prsetujuan dari korban tidak ada.
116
Pasal 344 KUHP yang melarang segala bentuk pengakhiran hidup manusia walaupun atas permintaannya sendiri merumuskan sebagai berikut:
117
115
Soerjono Soekanto, 1990, Segi-segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien, Jakarta: Mandar Madju, hal.44
116
B.I.T Tamba, 1990, Pertanggungjawaban Pidana Dokter Dalam Melakukan Perawatan, hal.93
117
Adami chazawi, Op.Cit., hal.129
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuktikan adanya
permintaan korban untuk dihilangkan nyawanya dengan kesungguhan hati tersebut.
Universitas Sumatera Utara
1. Inisiatif bunuh diri harus terbukti berasal dari korban itu sendiri. Korban
dalam menentukan kehendaknya harus secara bebas tidak boleh ada pengaruh dari orang lain, apalagi bersifat menekan.
2. Permintaan harus ditujukan kepada si pembuat, bukan pada orang lain.
Pembuat harus orang yang diminta. Jika yang membunuh bukan orang yang diminta maka terjadi pembunuhan biasa Pasal 338 KUHP
3. Isi pernyataan harus jelas. Jelas dimengerti bagi yang menerima pernyataan
yang sama seperti apa yang dinyatakan oleh pemilik nyawa.
2. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan