dengan status ekonomi rendah atau miskin dan umumnya terjadi pada negara berkembang termasuk Indonesia Crofton, 2002 dan WHO, 2003.
Menurut Pertiwi 2004, orang yang memiliki penghasilan yang rendah memiliki risiko 2,4 kali untuk menderita penyakit TB dibandingkan dengan
orang yang memiliki penghasilan yang tinggi. Hasil penelitian Mahpudin 2006 juga menyatakan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian TB paru BTA positif salah satunya adalah pendapatan perkapita dengan OR 2,145.
Tingkat pendapatan yang rendah diduga mempengaruhi perubahan konversi sputum menjadi negatif pada akhir masa intensif. Hal ini karena
dengan kondisi keuangan yang kurang baik maka orang akan sulit membayar biaya berobat, transport, memperbaiki pola makan dan sebagainya sehingga
pengobatan dihentikan sendiri karena kehabisan dana Robert, 2002.
f. Kepatuhan berobat
Menurut Rowley 2001 kepatuhan atau yang dikenal dengan adherensi adalah tindakan nyata untuk mengikuti aturan atau prosedur dalam upaya
perubahan sikap dan perilaku individu yang dipengaruhi oleh pendidikan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan, sosio demografi, faktor
psikososial berbentuk kepercayaan terhadap perubahan perilaku. Kepatuhan berobat dalam hal ini adalah kegiatan meminum obat Isoniazid H, Rifampisin
R, Pirazinamid Z dan Etambutol E pada dua bulan pertama setiap hari, diminum sekaligus dan tidak pernah lupa. Kepatuhan berobat pada penelitian
ini menyangkut aspek jumlah serta jenis OAT yang diminum, keteraturan waktu minum obat yang harus diminum pada fase intensif. Gagal dan tidaknya
konversi BTA sangat ditentukan pengobatan. Sedangkan pengobatan dapat berhasil dipengaruhi oleh kepatuhan. Namun variabel kepatuhan tidak berdiri
sendiri melainkan dipengaruhi sakit dan penyakitnya, sistem pelayanan kesehatan dan pengobatannya.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
g. Merokok
Merokok tembakau merupakan faktor penting yang dapat menurunkan daya tahan tubuh Leung, 2010 sehingga dapat mempengaruhi kesembuhan
pengobatan penderita TB paru. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun dan bahan
‐ bahan yang dapat menimbulkan kanker karsinogen. Bahan berbahaya dan racun dalam rokok bahkan tidak hanya mengakibatkan
gangguan kesehatan pada orang yang merokok, namun juga kepada orang disekitarnya yang tidak merokok. Merokok dapat menyebabkan sistim imun di
paru menjadi lemah sehingga mudah untuk perkembangan kuman mycobacterium.
h. Faktor penyakit lain yang menyertai
Jurnal Tuberkulosis Indonesia yang diterbitkan oleh Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia PPTI pada Maret 2012 diantaranya
melaporkan bahwa adanya penyakit lain menyertai seperti Diabetes Mellitus DM dan infeksi HIV
– AIDS dapat menyebabkan kegagalan pengobatan TB
paru. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler cellular immunity sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah penderita tuberkulosis paru akan meningkat, dengan demikian penularan tuberkulosis paru di masyarakat akan meningkat pula.
2.2.2 Faktor eksternal penderita TB paru
2.2.2.1 Aspek pelayanan kesehatan
1
Faktor Pengawas Minum Obat PMO
Menurut Aditama 2008, salah satu yang menyebabkan sulitnya TB paru dibasmi adalah kenyataan bahwa obat yang diberikan harus beberapa macam
sekaligus serta pengobatannya memakan waktu yang lama, setidaknya 6 bulan. 22
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Hal ini menyebabkan penderita tidak menuntaskan pengobatannya dan bahkan putus obat.
Untuk itu diperlukan Pengawas Minum Obat PMO untuk menjaga agar penderita tidak putus berobat atau teratur berobat, WHO tahun 1995 telah
merekomendasikan strategi DOTS sebagai pendekatan terbaik penanggulangan TB. Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka
pendek yang diawasi oleh PMO untuk menjamin seseorang menyelesaikan pengobatannya Depkes, 2007.
a Persyaratan PMO
1 Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
penderita. 2 Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.
3 Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.
4 Bersedia membantu penderita dengan sukarela.
b
Tugas seorang PMO
1 Mengawasi penderita TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
2 Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur. 3 Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu
yang telah ditentukan. 4 Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang
mempunyai gejala-gejala
tersangka tuberkulosis
untuk segera
memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan PPTI, 2010.
2 Peran Petugas Kesehatan
Peran petugas kesehatan adalah suatu sistem pendukung bagi pasien dengan memberikan bantuan berupa informasi atau nasehat, bantuan nyata,
atau tindakan yang mempunyai manfaat emosional atau berpengaruh pada 23
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
perilaku penerimanya Depkes, 2002. Dukungan emosional sehingga merasa nyaman,merasa diperhatikan, empati, merasa diterima dan ada kepedulian.
Dukungan kognitif dimana pasien memperoleh informasi, petunjuk, saran atau nasehat.
Menurut Mukhsin 2006, hubungan yang saling mendukung antara pelayanan kesehatan dan penderita, serta keyakinan penderita terhadap
pelayanan kesehatan lanjutan merupakan faktor-faktor yang penting bagi penderita untuk menyelesaikan pengobatannya. Pelayanan kesehatan
mempunyai hubungan yang bermakna dengan keberhasilan pengobatan pada penderita TB. Pelayanan kesehatan mengandung dua dimensi, yakni 1
menekankan aspek pemenuhan spesifikasi produk kesehatan atau standar teknis pelayanan kesehatan 2 memperhatikan perspektif pengguna pelayanan yaitu
sejauh mana pelayanan yang diberikan mampu memenuhi harapan dan kepuasan pasien. Interaksi petugas kesehatan dengan penderita TB terjadi di
beberapa titik pelayanan yaitu poliklinik, laboratorium, tempat pengambilan obat dan pada waktu kunjungan rumah.
Peranan petugas kesehatan dalam penyuluhan tentang TB perlu dilakukan, karena masalah tuberkulosis banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan
dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan
penyakit tuberkulosis Depkes, 2002. Penyuluhan tuberkulosis dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun
menggunakan media.
3 Ketersediaan obat
Salah satu strategi DOTS adalah jaminan ketersediaan OAT bahkan harus yang bermutu untuk penanggulangan TB dan diberikan kepada pasien secara
cuma-cuma Kemenkes-RI. 2009. Dengan jaminan ketersediaan obat OAT, tidak terjadi kegagalan pengobatan karena obat tidak dimakan secara rutin.
Obat yang tersedia tidak lengkap juga dapat mengakibatkan terjadi resistensi OAT dan akan menambah kasus MDR-TB.
24
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2.2.2.2 Aspek kesehatan lingkungan
Teori John Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit agent, pejamu host,
dan lingkungan environment. Pada umumnya, lingkungan rumah yang buruk tidak memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi lingkungan yang buruk akan
berpengaruh pada penyebaran penyakit menular termasuk penyakit TB Atmosukarto, 2000.
1 Kondisi rumah
Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik dimana orang menggunakannya untuk tempat berlindung. Pada umumnya, lingkungan
lingkungan fisik dan sosial rumah yang buruk tidak memenuhi syarat kesehatan yang berpengaruh pada penyebaran penyakit TB meliputi
kelembaban udara, ventilasi rumah, suhu rumah, pencahayaan rumah, kepadatan penghuni rumah dan lantai rumah.
Bakteri mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air
membentuk lebih dari 80 volume sel bakteri dan merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri Gould
Brooker, 2003. Selain itu menurut Notoatmodjo 2003, kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri patogen termasuk
bakteri tuberkulosis. Kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40
‐60 dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah 40 atau 60 Depkes RI, 2000.
Menurut Atmosukarto dan Soeswati 2000, kuman tuberkulosis bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari sampai
bertahun-tahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai
risiko penghuninya menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari. Penelitian Girsang tahun 2000,
menyatakan kuman mycobacterium tuberculosis akan mati dalam waktu 2 jam oleh sinar matahari.
25
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2 Sanitasi lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan
sebagainya Notoatmodjo, 2010. Lingkungan sangat mempengaruhi penyebaran penyakit TB, dimana lingkungan yang kurang kebersihan dan
sirkulasi udara yang buruk tidak memenuhi syarat kesehatan akan berpengaruh pada penyebaran penyakit menular terutama penyakit TB.
2.2.2.3 Aspek mikroba atau sifat dari kuman mycobacterium tuberculosa
Penelitian untuk mengetahui faktor apa saja penyebab kegagalan dalam pengobatan TB telah banyak dilakukan dan aspek mikroba telah banyak diteliti
sebagai salah satu penyebab kegagalan pengobatan dimana seseorang terinfeksi oleh kuman TB yang memang sudah memiliki sifat resistensi terhadap obat-
obat TB. Resistensi sel mikroba ialah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antimikroba. Sifat ini dapat merupakan suatu mekanisme
alamiah untuk bertahan hidup Setiabudy, 1995. Faktor yang menentukan sifat resistensi atau sensitifitas mikroba terhadap
antimikroba terdapat pada elemen yang bersifat genetik. Didasarkan pada lokasi elemen untuk resistensi ini, dikenal resistensi kromosal dan resistensi
ekstrakromosal. Sifat genetik dapat menyebabkan suatu mikroba sejak semula resisten terhadap pengaruh suatu antimikroba, yang dikenal sebagai sifat
resisten alamiah. Perubahan sifat genetik karena kuman memperoleh elemen genetik yang
membawa sifat resistensi yang dikenal sebagai resistensi yang diperoleh acquired resistance. Atau resistensi dari luar disebut resistensi yang
dipindahkan transferred resistance, dapat juga terjadi akibat adanya mutasi genetik yang spontan atau akibat rangsang antimikroba induced resitance
Setiabudy, Vincent, 1995. Berbeda dengan resistensi pada banyak bakteria terhadap antibiotika dimana resistensi dapat dengan transformasi, tranduksi
atau konjugasi gen, resisten yang didapat mycobacterium tuberculosis adalah pada mutasi gen kromosom utama genomically based.
26
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Sel bakteria tumbuh dan memperbanyak diri, replikasi terjadi berulang- ulang sehingga jumlah yang besar selama infeksi atau pada permukaan tubuh.
Untuk tumbuh dan berkembang, organisme harus mensintesa atau memerlukan banyak biomolekul.
Obat antimikroba mengganggu dengan proses yang spesifik bahan-bahan esensial untuk pertumbuhan dan atau perkembangan mikroba tersebut.
Mekanisme kerja antimikroba dapat dipisahkan pada kelompok seperti penghambat sintesa dinding sel, penghambat fungsi membran sitoplasma,
penghambat sintesa asam nukleat, penghambat fungsi ribosom Baron, 1996. Sama seperti mekanisme kerja obat antimikroba, resistensi kuman
terhadap obat umumnya terjadi dalam 4 jalur, yaitu adanya proses enzimatik, penurunan permeabilitas terhadap antibiotik, modifikasi letak reseptor obat dan
peningkatan sintesa metabolit antagonis terhadap antibiotik. Prinsip pengobatan TB paru dengan masa pengobatan tahap insentif
selama 2 bulan dengan terapi pemberian pengobatan kombinasi adalah untuk memastikan tidak terjadinya mutan resisten pada satu obat single resistance,
kemudian 4 bulan diteruskan dengan tahap lanjutan untuk membunuh kuman yang masa pertumbuhannya lambat. Isoniazid dan Rifampisin adalah dua OAT
yang sangat poten membunuh lebih dari 99 basil TB dalam 2 bulan awal pengobatan WHO, 2003
Bersama kedua obat ini Pirazinamid dengan efek yang tinggi yang bekerja terhadap basil semidorman yang tidak dipengaruhi oleh OAT yang lain.
Penggunaan obat ini bersamaan dengan OAT yang lain mengurangi masa pengobatan dari 18 bulan menjadi 6 bulan. Oleh karena itu munculnya strain
resisten terhadap salah satu atau lebih obat-obat ini menjadi perhatian yang utama sebagai penyebab kejadian gagal konversi.
27
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2.3 Kerangka Teori Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka, maka kerangka teori penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian
Aspek penderita :
Jenis Kelamin Umur
Status gizi Tingkat pendidikan
Tingkat pendapatan Kepatuhan berobat
Kebiasaan merokok Penyakit penyerta
Aspek pelayanan kesehatan :
Pengawas Menelan Obat PMO
Peran petugas kesehatan Ketersediaan obat
Konversi +-
Aspek kesehatan lingkungan :
Kondisi rumah Sanitasi lingkungan
ASPEK INTERNAL
PENDERITA
ASPEK EKSTERNAL
PENDERITA
Aspek mikroba atau sifat kuman mycobacterium tuberculosa
28
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Menggunakan rancangan penelitian analitik observasional dengan pendekatan Cross sectional, dimana pada penelitian ini tidak dilakukan suatu
perlakuan pada subjek penelitian dan dilakukan hanya pada satu waktu tertentu selama waktu penelitian Ghazali, 2008 dan Notoadmodjo, 2010. Penelitian ini
dilakukan dengan mempelajari hubungan faktor internal dan eksternal pasien TB paru kategori I dengan gagal konversi pada akhir pengobatan fase intensif.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai dengan Februari 2013 yang meliputi persiapan, pengumpulan data, pengolahan dan
analisis data beserta perbaikannya. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP H. Adam Malik Medan, praktek dokter swasta Klinik Jemadi dan puskesmas di kota
Medan.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian adalah pasien TB paru kategori I usia 18 tahun.
3.3.2 Sampel
Sampel penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
a. Kriteria inklusi
1. Pasien TB paru kategori I dengan BTA positif 2. Usia 18 tahun
3. Pada akhir pengobatan fase awal intensif
29
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA