1
BAB I PENDAHULUAN
I.A. LATAR BELAKANG
Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan. Secara biologis manusia dengan mudah
dibedakan sebagai laki-laki dan perempuan. Di dunia ini selalu ada norma, ukuran standar untuk perlakukan pada masing–masing jenis kelamin dan perilaku yang
diharapkan dari masing–masing jenis kelamin Sarwono, 1999 yang dikenal dengan peran jenis kelamin.
Menurut Carroll 2005 peran jenis kelamin merupakan sekumpulan atribut sikap, trait, kepribadian dan perilaku yang dianggap sesuai oleh masyarakat untuk
masing-masing jenis kelamin. Peran jenis kelamin bisa diartikan sebagai perangkat tingkah laku dan karakteristik lainnya yang dianggap sesuai dan diharapkan bagi laki-
laki dan perempuan. Hal ini berlaku pada individu dewasa yang dituntut untuk memiliki pasangan
seksual yang sesuai dengan harapan masyarakat. Secara umum, laki-laki diharapkan untuk berpasangan dengan perempuan dan demikian sebaliknya. Dalam konteks
orientasi jenis kelamin hal ini dikenal dengan istilah heteroseksual. Akan tetapi ternyata ada pula individu yang tertarik dan sayang kepada laki-laki dan perempuan
secara bersamaan disebut juga dengan istilah biseksual, dan tertarik kepada seseorang dengan jenis kelamin yang sama disebut juga dengan istilah homoseksual, dimana hal
ini tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat Carroll, 2005.
Universitas Sumatera Utara
2 Penelitian seorang pakar seks di Amerika menemukan 10 dari laki-laki
penduduk di Amerika adalah homoseksual sedangkan 5 perempuan adalah lesbian Damping, 2000, sementara keberadaan kaum homoseksual di Indonesia bila
dibandingkan di negara lain sangat berbeda, karena keberadaan kaum homoseksual di Indonesia sangat tertutup. Oetomo 2003 berpendapat bahwa paling tidak ada sekitar
10 dari jumlah penduduk Indonesia adalah individu homoseksual. Hal ini bukanlah suatu hal yang baru, karena homoseksual itu sendiri telah ada sejak jaman dahulu
kala. Laki-laki homoseksual merasa dan menyadari bahwa dirinya adalah seorang
laki-laki, yang tertarik kepada sesama jenis. Oleh karena itu, seorang gay tetap berpenampilan maskulin seperti layaknya laki-laki. Hal ini berbeda dengan waria,
yang merasa dirinya adalah seorang perempuan walaupun secara fisik memiliki organ kelamin laki-laki normal. Karena merasa dirinya perempuan, maka waria
berpenampilan seperti perempuan dan secara normal tertarik pada laki-laki Subroto, 2005.
Dari segi psikiatri ada dua macam homoseksual, yakni homoseksual ego sistonik sinkron dengan egonya dan ego distonik tidak sinkron dengan egonya.
Seorang homoseks ego sistonik adalah seorang homoseksual yang tidak merasa terganggu oleh orientasi seksualnya, tidak ada konflik bawah sadar yang ditimbulkan,
serta tidak ada desakan, dorongan atau keinginan untuk mengubah orientasi seksualnya. Hasil penelitian beberapa ahli menunjukkan, orang-orang homoseksual
ego sistonik mampu mencapai status pendidikan, pekerjaan, dan ekonomi sama tingginya dengan orang-orang bukan homoseksual, bahkan kadang-kadang lebih
tinggi Budijanto dalam Intisari, 2001.
Universitas Sumatera Utara
3 Sebaliknya, seorang homoseksual ego distonik adalah individu homoseksual
yang mengeluh dan merasa terganggu akibat konflik psikis yang dialaminya. Individu senantiasa tidak atau sedikit sekali terangsang oleh lawan jenis dan hal itu menjadi
penghambat untuk memulai dan mempertahankan hubungan heteroseksual yang sebetulnya didambakannya. Dorongan homoseksual yang dirasakannya menyebabkan
dia merasa cemas, tidak disukai dan sedih. Konflik psikis tersebut menyebabkan perasaan bersalah, malu, cemas serta perasaan tertekan atau depresi. Umumnya
individu homoseksual ego distonik adalah individu yang merasa takut, bersalah, tidak dapat menerima dirinya sebagai seorang homoseksual dan berpura-pura sebagai
seorang yang heteroseksual. Kondisi ini mengakibatkan individu homoseksual ego distonik dianggap sebagai individu yang mengalami gangguan psikoseksual
Budijanto dalam Intisari, 2001. Adanya diskriminasi terhadapa kaum gay di Indonesia secara umum
memberikan rasa ketidaknyamanan secara langsung kepada kaum gay. Ditambah dengan adanya kasus-kasus yang bermunculan seperti mutilasi yang dilakukan oleh
Ryan atau pembunuhan terhadap karyawan BPPN oleh dua bersaudara yang juga gay menambah rentetan panjang akan buruknya pandangan masyarakat terhadap kaum
gay serta semakin menimbulkan perasaan cemas, malu, merasa tidak disukai, bersalah, depresi dan takut.
Seperti halnya yang disampaikan oleh Ridho dalam kutipan pada harian sinar harapan “Akibatnya, kaum gay semakin kehilangan ketenangan dan kedamaian
menjalani kehidupannya. Dia menjelaskan banyak laki-laki pencinta sesama jenis harus mengalami ketakutan. Bukan hanya takut teror melalui SMS, mereka juga takut
pada razia atau penggerebekan oleh masyarakat, aparat kepolisian, dan kelompok agama tertentu”
Harian Sinar Harapan, 08 juli 2008.
Universitas Sumatera Utara
4 Munculnya perasaan tidak disukai, rasa bersalah, cemas, malu, dan depresi
merupakan keadaan mental dan emosional yang dapat diasosiasikan dengan kesepian Bruno, 1997. Munculnya perasaan tersebut menyebabkan kaum homoseksual sulit
untuk membina hubungan-hubungan sosial yang bersifat kualitatif dan juga bersifat kuantitatif sehingga mengalami kesepian. Hal ini di alami oleh kaum homoseksual
ketika mereka tidak mampu untuk menjadi diri sendiri pada situasi-situasi yang bersifat umum, mereka akan merasa kesepian dan tidak berguna D’Augelli,
Grossman Hershberger, 2001. Kesepian didefinisikan sebagai suatu tanda peringatan bagi seseorang bahwa
ia memiliki kekurangan dalam hubungan sosial, yang dapat muncul karena kualitas atau kuantitas seseorang yang sedikit dalam melakukan hubungan sosial Perlman
Peplau, 1982. Myers 1999 mengatakan bahwa kesepian adalah kesadaran yang menyakitkan bahwa hubungan sosial yang dibina lebih sedikit dan kurang berarti
dibandingkan dengan yang diharapkan. Weiss dalam De Jong Gierveld dan Tilburg, 1999 menyatakan ada dua jenis
kesepian. Pertama, emotional loneliness dimana individu mengalami kesepian yang diakibatkan oleh tidak adanya ikatan yang dekat atau intim intimate attachment
dengan seseorang sehingga tidak dapat bergantung kepada siapapun. Hubungan yang dimiliki bersifat kurang memuaskan dan merasa tidak dipahami oleh lingkungan
sosial. Kedua, social loneliness dimana individu mengalami kesepian akibat tidak adanya teman, saudara ataupun orang lain dari jaringan sosial dimana aktivitas-
aktivitas dan kepentingan-kepentingan bisa saling dibagi dan adanya suatu penolakan dari lingkungan.
Menurut Myers 1999 orang yang mengalami kesepian secara kronis terlihat sering menyalahkan diri atas hubungan sosial yang buruk, selalu merasa sulit untuk
Universitas Sumatera Utara
5 memperkenalkan diri, memiliki self esteem yang rendah, dan menganggap kegagalan
dalam hubungan interpersonal merupakan cacat yang tidak dapat diubah dalam kepribadian.
Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti hendak melihat gambaran kesepian pada pria homoseksual gay.
I.B. Permasalahan
Dari seluruh penjelasan latar belakang diatas, diperoleh pertanyaan utama yang akan diteliti yaitu
1. Bagaimana gambaran kesepian pada gay di kota Medan. 2. Bagaimana gambaran kesepian emosional pada gay di kota Medan.
3. Bagaimana gambaran kesepian sosial pada gay di kota Medan 4. Bagaimana gambaran kesepian pada gay di kota Medan berdasarkan usia,
memiliki atau tidak memiliki pasangan, pekerjaan, dan tingkat penghasilan.
I.C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesepian pada gay di kota Medan.
I.D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian ilmu dan pengetahuan dalam bidang Psikologi Klinis, khususnya tentang Gambaran Kesepian pada Gay di
Kota Medan
Universitas Sumatera Utara
6 2. Manfaat
Praktis Memberikan informasi kepada kaum homoseksual tentang kesepian yang
dialami serta dampak negatif yang ditimbulkan, agar selanjutnya kaum gay tahu bagaimana mengatasi kesepian yang mereka alami tersebut.
I.E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah :
BAB I : Pendahuluan