Pengakuan Diri Seorang Gay di Dalam Lingkungan Gay (Studi Deskriftif Cafe’ Shop di Kota Medan)

(1)

PENGAKUAN DIRI SEORANG GAY DI DALAM LINGKUNGAN GAY (Studi Deskriptif Cafe Shop Di Kota Medan)

DISUSUN

O L E H

WINDA PURWANI 090901009

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

MEDAN 2015


(2)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulilah penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmad dan karunianya,sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Skripsi yang berjudul “ PENGAKUAN DIRI SEORANG GAY DI DALAM LINGKUNGAN GAY ( Studi Deskriptif Café Shop Di Kota Medan )”. Adapun penyusunan dan penulisan Skripsi ini merupaka salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosiologi pada fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatra Utara.

Penulis juga menyadari bahwa Skripsi ini tidak luput dari kekurangan disana-sini, baik dari segi susunan, tata bahasa, maupun dari segi ilmiah atau isinya, mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh Penulis disamping pengetahuan dan pengalaman yang masih kurang,dan juga kurangnya bahan pustaka yang penulis gunakan dalam penyusunan Skripsi ini.

Selama dari tahap awal hingga sampai penyelesaian Skripsi ini, penulis banyak melibatkan berbagai pihak,baik secara langsung maupun tidak langsung. penulis juga menerima bantuan berupa moril, spiritual, dan dorongan serta bimingan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,M.Sc.(CTM)Sp. A(K) selaku Rektor Universitas Sumatra Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku dekan serta seluruh staf pegawai dan administrasi.

3. Ibu Drs. Lina Sudarwati, M. Si selaku ketua departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

4. Bapak Drs. T. Ilham Saladin selaku Seketaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik.


(3)

5. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.Si selaku Dosen Wali Penulis, serta selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan waktu, nasehat untuk membimbing penulis sehingga selesainya skripsi ini dengan baik.

6. Bapak /Ibu Dosen dan staf pengajar Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosila dan Ilmu Politik, semoga ilmu yang disampaikan kepada penulis dapat menjadikan bekal nantinya dan dapat penulis terapkan serta amalkan ditengah-tengah masyarakat.

7. Spesial penghargaan dengan rasa sayang serta rasa cinta saya persembahkan kepada Ayahanda Ali Purnomo dan Ibunda Nurbaiti Simatupang yang telah mendidik dan membesarkan serta selalu memberikan semangat, doa dan kasih sayangnya kepada saya tanpa mengenal lelah demi keberhasilan anaknya hingga selesainya Skripsi ini. Terima kasih banyak ibunda.

8. Adik-adikku: Maulani Hasanah SE, Lia Wahyuni, dan Fathan Ragil yang saya sayangi, selalu semangat menggapai cita-cita.

9. Kekasihku Ahmad Reyza yang telah memberikan semangat, perhatian dan dorongan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini, semoga sukses selalu buat kita.

10. Kepada teman-teman seperjuangan Angkatan 2009. Riya, Novha, Siti, May Yuliarti, Dede, Irfin, Ridho, Bima, Dewi, Edi, Wisnu, Winda Kataren, Fitri, Syahid, Tian, Johan, Siska, Rani, willer, sri, Joni, Abdul Rahman, Irvin dan yang tidak bisa dituliskan namanya satu persatu, terima kasih atas dukungan kalian semua,atas kerja sama yang sudah terjalin selama masa perkuliahan.

11. Semua pihak yang telah membantu baik selama penulis menjalani kuliah maupun saat menulis skripsi, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.

Uraian terima kasih yang penulis sampaikan belum sebanding dengan apa yang telah penulis dapatkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua elemen. Adapun


(4)

kesalahan dalam penulisan skripsi ini, penulis memohon maaf karena keterbatasan yang penulis miliki. Selain itu, kesempurnaan hanya milik ALLAH Swt. Terimakasih

Medan


(5)

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Manfaat Penelitian ... 11

1.5. Sistematika Penulisan…... 11

BAB II : KAJIAN PUSTAKA 2.1. Homoseksual ... 13

2.2. Latar Belakang Perkembangan Homoseksual…... 14

2.3. Tahapan Pembentukan Identitas Diri Homoseksual... 27

2.4. Pengertian Homoseksual (Gay) ... 29

2.5. Jenis Homoseksual (Gay)………..….. 31

2.6. Bentuk Hubungan Seksual pada Gay ……….… 33

2.7. Kajian tentang Motif ………..… 34

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian... 42

3.2. Lokasi Penelitian... 43

3.3. Unit Analisis dan Informan ... 43

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 44

3.5. Alat Pengumpulan Data Data... 45

BAB IV : ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 47

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ……….. 105

2. Saran ……… 107 DAFTAR PUSTAKA


(6)

ABSTRAK

Homoseksual bagaimana mereka mengambil sikap dalam menjalani proses pencarian maknanya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai pemaknaan hidup kaum homoseksual, khususnya yang ada di kota Medan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian pendekatan deskriptif kualitatif dipandang sesuai untuk dapat mengetahui bagaimana makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan. Partisipan dan Lokasi Penelitian Pada suatu penelitian, populasi dan sampel adalah hal yang harus diperhatikan. Populasi adalah semua individu untuk siapa kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sampel penelitian akan digeneralisasi. Karakteristik Partisipan Penelitianpria atau wanita yang memiliki orientasi homoseksual, diketahui melalui proses wawancara secara langsung ataupun informasi dari pihak ketiga. Penelitian deskriptif kualitatif ini mengambil sampel 2 (dua) orang homoseksual. Lokasi dilakukannya penelitian ini adalah di kota Medan. Pemilihan kota Medan dikarenakan peneliti memang berdomisili di kota Medan dan dengan demikian akan memberikan kemudahan bagi peneliti untuk menemukan partisipan. Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan metode wawancara dan selama wawancara akan dilakukan observasi.

Hasil dari penelitian menemukan faktor-faktor penyebab yang menjadikan responden memilih menjadi seorang gay yaitu faktor keluarga dan kelainan sexual yang mendorong mereka memilih menjadi seorang homoseksual (gay), beberapa responden berusaha menyangkal dan bertanya-tanya tentang keadaan dirinya yang homoseksual. Dalam pemaknaan hidup mereka berusaha untuk mengabaikan perasaan terhadap laki-laki yang timbul. Namun setelah mereka menyadari dan berusaha berubah akan tetapi ada juga yang tetap menerima diri mereka apa adanya dan tidak mempermasalahkan orientasi seksualnya dengan melakukan hal-hal yang berguna bagi dirinya sendiri dan orang lain dalam pengambilan sikap ketakutan akan reaksi negatif yang akan muncul dari lingkugan membuat kedua responden tetap berusaha untuk menutupi identitas orientasi seksual mereka.


(7)

ABSTRACT

Homosexual how they take a position in undergoing the process of finding meaning. The purpose of this study was to gain an understanding of the meaning of life of homosexuals, particularly in the city of Medan.

This study used qualitative research methods deemed appropriate approach to be able to know how the meaning of life in couples who do not have children. Participants and Location Research In one study, the population and the sample is something that must be considered. Population is all the individuals to whom the facts obtained from the sample to be generalized. Participants study the characteristics of men or women who have a homosexual orientation, known through direct interviews or information from third parties. This qualitative study took a sample of 2 (two) people homosexual. The location of this research is in the city of Medan. Medan municipal elections because researchers did live in the city of Medan and thus would make it easy for researchers to find participants. In this study, researchers collected data using interviews and observations during the interview will be conducted.

Results of the study found the causative factors that make respondents chose being a gay is a factor family and sexual abnormalities are a cause they choose to be a homosexual ( gay ) , some respondents tried to deny and to wonder about the state of her homosexual . Within the meaning of their lives trying to ignore the feelings of the men who arise . However, once they are aware of and trying to change but there is also still accept themselves what their sexual orientation and are not concerned with doing things that are useful to themselves and others in taking the attitude that fear of negative reactions will emerge from the second of environmental making respondents still trying to mask the identity of their sexual orientation


(8)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pada umumnya, orang-orang memiliki orientasi seksual terhadap lawan jenisnya. Seorang pria tertarik pada wanita, dan sebaliknya, wanita tertarik pada pria. Mereka disebut sebagai kaum heteroseksual. Namun, kenyataannya ada orang-orang yang orientasi seksualnya justru terarah pada sesama jenis. Mereka lebih tertarik pada orang yang berjenis kelamin yang sama dengan dirinya. Pria tertarik pada pria dan wanita tertarik pada wanita. Mereka inilah yang disebut sebagai kaum homoseksual, lesbian untuk wanita homoseksual dan gay bagi pria homoseksual (Kompas, 26 September 2006).

Pada kenyataannya, fenomena homoseksual bukanlah hal yang baru. Hubungan ini sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Ulasan dari Wikipedia (2006) mengatakan bahwa tokoh-tokoh seperti Alexander Agung, Socrates, dan Julius Caesar dipercaya memiliki orientasi homoseksual. Selain itu, sebuah survey antropologi menemukan bahwa 50% suku bangsa yang ada di dunia mempraktekkan dan melembagakan homoseksualitas, meskipun masih belum dapat diterima di sebagian besar budaya yang berkembang saat ini, termasuk di Indonesia. Akibatnya, masih banyak kaum homoseksual yang tidak berani menunjukkan jati diri mereka.

Juliastuti (2000), seorang pemerhati kaum gay, dalam esainya melaporkan bahwa sejak peristiwa Stonewall tahun 1968 tentang pembangkangan kaum homoseksual untuk memperjuangkan hak-haknya, menghasilkan gerakan yang


(9)

nyata bagi kaum homoseksualitas untuk lebih menyatakan keberadaan mereka, tidak lagi takut takut dan bersembunyi dalam mengungkapkan orientasinya.

Kajian-kajian dengan topik homoseksual juga berkembang dengan pesat dan mulai bermunculan komunitas-komunitas homoseksual seperti GAYa Nusantara atau Lambda Indonesia, yang menyuarakan hak-hak mereka sekaligus sebagai wadah berkumpul dan berbagi pengalaman. Sampai saat ini, keberadaan kaum homoseksual sudah menjadi rahasia umum. Bahkan di beberapa negara seperti Kanada dan Belanda telah mengesahkan pernikahan pasangan sejenis (http://kunci.or.id/esai/nws/05/gay.htm, 2000).

Banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk memiliki orientasi seksual terhadap sesama jenis. Masters dan Johnson (1979, dalam Caroll, 2005) mengemukakan teori behavioral tentang homoseksual dan menganggapnya sebagai perilaku yang dipelajari, sebagai akibat dari reward atau reinforcement yang menyenangkan atau hukuman atau reinforcement negatif dari perilaku homoseksualnya. Selama masa dewasa, pria dan wanita bergerak menuju perilaku sesama jenis jika mereka memiliki hubungan heteroseksual yang buruk dan hubungan homoseksual yang menyenangkan. Sementara itu, Bem (1996, dalam Carroll, 2005) mengatakan bahwa adanya variabel biologis memberi kontribusi terhadap tempramen masa anak-anak yang mempengaruhi preferensi anak terhadap kegiatan sex-typical atau sex-atypical dan teman sebayanya, yang mengarah pada munculnya orientasi homoseksual.

Teori exotic-becomes-erotic yang dikemukakan oleh Bem (1996) mengatakan bahwa perasaan seksual berubah dari pengalaman jender sejenis sebagai lebih eksotis, atau berbeda, daripada dengan lawan jenis. Artinya ketika


(10)

kita merasa nyaman berhubungan dengan teman sesama jenis, kita telah memutuskan untuk memilih orientasi seksual yang ingin kita jalankan. Hal ini terungkap saat penulis berkomunikasi dengan Budi, seorang gay berusia 48 tahun (bulan Oktober 2007): “Saya tidak pernah berhubungan seks dengan wanita. Saya tidak pernah suka dengan wanita sejak kecil. Tidak tahu kenapa. Tapi saya rasa pria lebih tahu bagaimana memuaskan pria.” (komunikasi personal Oktober 2007)

Mereka yakin bahwa menjadi gay adalah pilihan hidupnya. Bagi Andi, menjadi gay itu adalah pilihan sebagaimana yang diungkapkan berikut ini:

"Hidup itu pilihan, gue pengen kayak gini. Gue milih ini karena gue udah siap. Kebanyakan orang suka let it flow dan tahu-tahu mereka stuck, ’kok gue udah sejauh ini ya?’” (Boulevard's Blog June 2007.html)

Kenyataan bahwa homoseksual merupakan pilihan masing-masing orang tidak membuat hidup sebagai seorang homoseksual sebagai sesuatu yang gampang untuk dijalankan, terutama ketika lingkungan tidak bisa menerima aktivitas yang dilakukannya (Carroll, 2005). Untuk memahami pendapat orang lain tentang homoseksual, maka pada bulan Agustus 2007 peneliti melakukan wawancara dan terungkap bahwa homoseksual belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat:

”Homo?Ih, aku bakal lari kalau ketemu mereka....”

”...Saya sih bisa menerima mereka, tapi yang penting mereka tidak menyukai suami saya. Hahaha....” (komunikasi personal/Agustus, 2007)

Bagi kebanyakan orang, menemukan bahwa identitas diri sebagai homoseksual dapat menyakitkan dan membingungkan, seperti terungkap dalam kutipan berikut:


(11)

“Here I was, with a good job, close friends who I know would not abandon me

when they learned I was gay. I had many gay friends, so I had support network. My family is open, so I wasn’t worried about them rejecting me. And still, I cried myself to sleep every night and woke up each morning feeling like I had been kicked in the solar plexus.” (Carroll, 2005:hlm. 330)

Orang tersebut, yang memiliki segala dukungan dan kelebihan dalam hidupnya, masih mengalami kesulitan dan kebingungan. Kesulitan yang lebih banyak akan dialami oleh orang-orang yang merasa akan ditolak oleh keluarga dan teman temannya (Carroll, 2005).

Ada dua istilah utama dalam wacana homoseksual modern, yaitu:

”closet”(kloset, tertutup) dan “coming out” (keluar). Istilah ’kloset’ mengacu pada individu yang masih menyimpan jati dirinya sedangkan istilah “coming out” merujuk pada individu yang telah terbuka kepada publik mengenai homoseksualitasnya. Kategori “kloset” digambarkan sebagai orang-orang yang

menjalani hidupnya dengan kepalsuan, tidak bahagia, dan tertekan oleh posisi sosial yang diterima dari masyarakat. “Kloset” kemudian bermakna strategi pertahanan yang dibuat untuk menghadapi norma-norma masyarakat heteroseksual di sekitarnya (http://kunci.or.id/esai/nws/05/gay.htm, 2000).

Memutuskan untuk mengungkapkan jati diri bukanlah hal yang bersifat sementara karena dengan demikian, seorang homoseksual harus memiliki kemampuan “manajemen informasi” seumur hidup, menyediakan alasan yang berbeda bagi keluarga, teman, dan orang lain dalam konteks yang berbeda (Cain, 1991) seperti dalam kutipan berikut:


(12)

“I developed crushes on female classmates but felt so ashamed that I would

cry myself to sleep at night. I desperately wanted to make myself normal like the other girls. Girls and boys, were pairing off into couples and kissing at middle school parties, and kids who didn’t participate were called “faggot” and “dyke,” words that terrified me because I suspected they had something to do with who I was…. …I realized I was a lesbian but had no idea where to go…. …I worried that maybe I was the only one…. … I was as repressed as a teenager can possibly be, and I just wasn’t happy. I prayed that God would make me into someone “normal” that no one would hate…. … I didn’t want to be different, or hated, or bashed – I wanted to be invisible…. … I swallowed a bottle of Tylenol 4 with codeine, and waited to die…. … I knew that I wanted to come out, but I was

terrified that it would kill my parents.” (Carroll, 2005:hlm. 342)

“Saya akui bahwa saya memang punya kecenderungan menyukai sesama

jenis. Saya punya teman akrab seorang lelaki yang sudah menikah. Hampir setiap hari kami jalan bersama. Dia berbadan gemuk. Setiap saya jalan dengan dia dan kebetulan kulit kami bersentuhan, saya langsung ereksi. Sepertinya ia menikmatinya juga. Begitu pun bila jalan ke mal, saya suka melihat pria berbadan gemuk, tetapi saya tidak berniat untuk berhubungan badan dengan mereka. Karena kuatnya keinginan untuk menepis perasaan yang menyimpang ini saya memutuskan sepihak pertemanan dengan sahabat saya itu. Saya takut rasa ini berlarut-larut dan susah untuk dihilangkan. Anehnya, saya malah tersiksa karena saya semakin rindu dengannya. Pertanyaan saya, apakah saya bisa diobati? Saya ingin membangkitkan kembali rasa yang dulu ada ketika pertama kali


(13)

berhubungan intim dengan pacar dan ingin melenyapkan perasaan suka sesama jenis ini!” (Homoseksual Jangan Menikah « seksfile.htm, 2014).

Lesbian atau gay yang berusia dewasa biasanya lebih terbuka pada teman-temannya daripada pada keluarganya. Namun, kebanyakan homoseksual mengalami penolakan oleh teman-teman mereka yang memiliki orientasi heteroseksual. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh D’Augelli & Herschberger (1993); Remafedi (1987), ditemukan bahwa 46% pemuda-pemudi gay dan lesbian mengatakan bahwa mereka kehilangan teman setelah membeberkan orientasi seksual mereka (Carroll, 2005).

Ditemukan bahwa homoseksual yang ditolak oleh orang tuanya mengalami peningkatan isolasi, kesepian, depresi, bunuh diri, homelessness, prostitusi dan infeksi yang ditularkan secara seksual (Armesto, 2001 dalam Carroll, 2005). Resiko mengalami kecemasan, depresi, dan gangguan psikiatris lainnya lebih tinggi dialami oleh kaum homoseksual daripada heteroseksual (Cochran, 2001 dalam Carroll, 2005).

Takut orientasi seksualnya diketahui orang lain, terutama oleh orang tua, juga dialami oleh seorang homoseksual bernama Anto (bukan nama sebenarnya), 32 tahun, saat peneliti berkomunikasi dengannya.

”Ada sih, beberapa teman dekat yang tahu. Tapi kalau bisa jangan semua

orang tahu, apalagi orang tua. Gimana ya, mereka pasti pengen anaknya bisa berkeluarga.... ...Kalau ketahuan bisa berabe lah. Tapi untung mereka sekarang ada di Jakarta, jadi mereka tidak tahu apa yang saya lakukan di sini.” (komunikasi personal/Agustus 2007)


(14)

Keinginan bunuh diri juga tercermin dalam kutipan berikut ini:

“Please help me. Oh, shit, I have to talk to someone. Help me please. My

feelings are turning into gnawing monsters trying to clamber out. Oh please, I want to just jump out that window and try to kill myself. Maybe I’ll get some sympathy then. Maybe they’ll try to understand I have to tell someone, ask someone. Who?!! Dammit all, would someone please help me? Someone, anyone. Help me. I’m going to kill myself if they don’t.” (Carroll, 2005 : hlm. 330)

“Perbedaan bukanlah sesuatu yang disukai…. …saat kau berbeda, kau jadi

makhluk freak, nerd, atau si homo. Saat kau berbeda, kau akan jadi sasaran bullying mereka yang mayoritas. Belum lagi jika kau berasal dari keluarga yang kurang harmonis, di mana keluarga tidak bisa jadi pilar tempatmu bersandar….. … Bayangkan betapa takutnya dirimu saat mengetahuinya. Kau tentu tidak mau dipanggil si homo, banci, lesbi, bencong, lines, atau apalah sebutan lainnya selama di sekolah, kan? Atau bahkan kau bisa dipukuli di sekolah setiap hari karena alasan bahwa dirimu “beda”. Rasa takut dan bingung itu membuat banyak

remaja seakan-akan merasa berada dalam lubang hitam tergelap dalam hidupnya. Saya sendiri pernah mengalaminya. Satu kali. Berpikir untuk mengakhiri hidup

agar orang tidak perlu tahu bahwa saya lesbian...

(http://rahasiabulan.blogspot.com, 2014)

Orang tua dari anak homoseksual juga mengalami kesulitan dalam pembelajaran untuk menerima orientasi seksual anak mereka. Hal ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan berpikir bahwa homoseksual sebagai sesuatu yang tidak diajarkan oleh orang tua. Orang tua dapat secara tiba-tiba merasa tidak mengenal anaknya, bahwa anak mereka adalah orang asing, atau khawatir bahwa


(15)

mereka telah melakukan hal yang salah sebagai orang tua (Fields, 2001 a;Strommen,1989 dalam Carroll, 2005). Orang tua yang memiliki anak-anak gay, lesbian atau biseks cenderung bereaksi dengan kekecewaan, malu, dan terkejut ketika mengetahui orientasi seksual anaknya (LaSala, 2000, dalam Carroll 2005).

Masa dewasa adalah waktu dimana seorang manusia mengeksplorasi dan mengeksploitasi identitas dirinya yang telah terbentuk pada tahap perkembangan sebelumnya melalui pilihannya akan gaya hidup, hubungan dan pekerjaan. Pada masa inilah biasanya seseorang memperbarui apa yang ia ketahui tentang hidup, mencapai pemahaman baru mengenai dirinya dan menentukan jalan hidup. Masa dewasa adalah ketika seorang individu menilai kembali prioritas dan nilai personal mereka yang nantinya berpengaruh pada kemampuannya untuk memperoleh cinta, kesenangan, dan rasa kebermaknaan dalam hidupnya (Corr,Nabe,Corr, 2003).

Setiap orang, tidak terkecuali homoseksual, akan senantiasa mencari makna dalam menjalani kehidupannya karena hidup selalu memiliki makna dalam keadaan apa pun, bahkan keadaan yang paling menyedihkan sekalipun. Orang mengalami berbagai kejadian dan situasi dalam hidupnya yang selalu menawarkan kesempatan untuk memberikan makna dalam hidupnya. (Frankl, dalam Barnes 2000).

Proses pencarian makna dimulai dengan memiliki kebebasan untuk berkehendak (freedom to will), kehendak untuk hidup bermakna (will to meaning), dan menentukan serta menemukan makna hidup (meaning of life). Manusia bukan saja mampu mengambil jarak (to detach) terhadap berbagai kondisi di luar


(16)

dirinya, melainkan juga terhadap kondisi di dalam dirinya sendiri (selfdetachment).

Kemampuan inilah yang menyebabkan manusia disebut the self determining being yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang dianggap penting dan baik bagi dirinya yang harus diimbangi dengan tanggung jawab (Bastaman, 1996).

Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyatakan tiga kelompok nilai yang dapat menjadi sumber makna bagi hidup dalam diri manusia, yaitu: nilai-nilai kreatif (Creative Values), nilai-nilai Pengalaman (Experiental Values), nilai-nilai bersikap (Attitudinal Values). Bastaman (2007) menambahkan satu komponen lain yang dapat menjadikan hidup ini menjadi lebih bermakna, yaitu nilai-nilai Harapan (Hopeful Values).

Reaksi lingkungan, khususnya orangtua, dan ketakutan-ketakutan yang muncul dalam diri homoseksual dapat membuat hidupnya menjadi hampa, bosan dan tidak bertujuan. Ketika kita merasa takut tidak bisa memenuhi harapan orang lain, kita akan berusaha membatasi diri kita dalam berhubungan dengan orang lain. Konflik-konflik yang muncul akibat pilihan yang kita ambil tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan akan mempengaruhi makna hidup yang dijalani seseorang, dalam hal ini kaum homoseksual. Akibatnya, hidup mereka senantiasa berada dalam ketakutan, tidak aman, dan tidak bisa menjadi diri mereka apa adanya (Frankl, dalam Barnes, 2000).

Bagi orang yang berada dalam keraguan, segala sesuatu terlihat negative dan dipertanyakan. Sikap yang negatif akan menghasilkan perasaan hampa (vacuum) termasuk nihilsm, reductionism, dan pandeterminism. Nihilsm


(17)

didefinisikan sebagai penyangkalan makna, dan karena penyangkalan ini, seseorang tidak menemukan pentingnya pencarian makna karena memang tidak ada. Reductionism melibatkan penyangkalan keinginan untuk hidup bermakna, dan karenanya percaya bahwa tidak perlu mencari makna karena tidak memiliki cara-cara untuk mencapai hidup bermakna. Pandeterminism terdiri dari kerangka berpikir yang percaya bahwa tidak perlu mencari makna hidup karena seseorang sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu, gen, dorongan-dorongan Sosiologis, dan lingkungan (Barnes, 2000).

Keadaan sebaliknya juga mungkin terjadi. Kaum homoseksual justru menemukan makna hidupnya tanpa menjadikan orientasi seksual sebagai hambatan dalam menjalani hidup yang bermakna. Mereka menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah hidup dan jauh dari perasaan hampa. Mereka juga mempunyai tujuan hidup yang jelas dan kegiatan yang terarah. Selain itu, mereka mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, dalam arti menyadari batasan-batasan lingkungan, tetapi dalam batasa itu mereka tetap dapat menentukan sendiri apa yang paling baik untuk mereka lakukan. Mereka benar-benar menghargai hidup dan kehidupan, karena mereka menyadari bahwa hidup dan kehidupan itu menawarkan makna yang harus mereka penuhi (Bastaman, 1996).

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana para homoseksual memaknai hidupnya mengingat mereka hidup di tengah ketakutan akan lingkungan yang memberikan penolakan dan reaksi negatif terhadap kaum homoseksual, namun tetap saja mereka bertahan?


(18)

Bagaimana mereka mengambil sikap dalam menjalani proses pencarian maknanya?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai pemaknaan hidup kaum homoseksual, khususnya yang ada di kota Medan.

1.4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah khasanah dalam pembelajaran mengenai homoseksual dan memberi sumbangan bagi ilmu Sosiologi, khususnya Sosiologi klinis.

2. Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman tentang kekuatan dan kelemahan yang dimiliki kaum homoseksual dalam proses pencarian makna hidup. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi kaum homoseksual dalam memaknai hidupnya.

1.5. Sistematika Penulisan

Laporan hasil penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan

Dalam bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan serta sistematika penulisan.


(19)

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Adapun teori-teori yang dimuat adalah teori-teori yang berhubungan dengan homoseksualitas dan makna hidup.

Bab III : Metode Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan, partisipan penelitian, lokasi penelitian, dan prosedur penelitian.

Bab IV : Analisis Data dan Interpretasi

Bab ini memuat deskripsi data, rekonstruksi data, analisa data, dan pembahasan.

Bab V : Kesimpulan dan Diskusi

Pada bab ini akan dijelaskan kesimpulan dari penelitian ini, diskusi tentang temuan selama proses penelitian dan saran yang diajukan berkaitan dengan penelitian ini.


(20)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Homoseksual

Orientasi seksual digambarkan sebagai objek impuls seksual sesesorang: heteroseksual (jenis kelamin berlawanan), homoseksual (jenis kelamin sama) atau biseksual (kedua jenis kelamin) (Kaplan, 1997).

Istilah ¡§homoseksual¡¨ paling sering digunakan untuk menggambarkan perilaku jelas seseorang, orientasi seksual, dan rasa identitas pribadi atau sosial.

Hawkin (dalam Kaplan, 1997) menulis bahwa istilah gay dan lesbian dimaksudkan pada kombinasi identitas diri sendiri dan identitas sosial; istilah tersebut mencerminkan kenyataan bahwa orang memiliki suatu perasaan menjadi kelompok sosial yang memiliki label sama.

Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama. Homoseksual juga digunakan untuk merujuk pada hubungan intim dan/atau hubungan seksual di antara orang-orang berjenis kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai gay atau lesbian. Homoseksualitas dapat mengacu pada:

1. Orientasi seksual yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan orang lain yang mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau identitas gender yang sama.

2. Perilaku seksual dengan seseorang dengan gender yang sama tidak peduli orientasi seksual atau identitas gender.


(21)

3. Identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual (Wikipedia, 2007).

Dengan demikian maka yang dimaksud dengan homoseksual mengacu pada orang-orang yang memiliki dorongan impuls, preferensi, perilaku seksual dan ketertarikan secara fisik, emosi dan seksual dengan orang lain yang memiliki jenis kelamin sama serta orang-orang yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai homoseksual.

2.2. Latar Belakang Perkembangan Homoseksual

Orientasi seksual orang lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara faktor genetik, hormonal, kognitif, dan lingkungan (McWhirter, Reinisch & Sanders, 1989; Money, 1987; Savin ¡V Williams & Rodriguez, 1993; Whitman, Diamond & Martin, 1993, dalam Santrock, 2002). Sebagian besar ahli dalam hal homoseksualitas percaya bahwa tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan homoseksualitas dan bobot masing-masing faktor berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain. Akibatnya, tidak ada satu orangpun yang mengetahui secara pasti penyebab seseorang menjadi seorang homoseksual (Santrock, 2002).

Teori tentang homoseksual yang berkembang saat ini pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua golongan: esensialis dan konstruksionis. Esensialisme berpendapat bahwa homoseksual berbeda dengan heteroseksual sejak lahir, hasil dari proses biologi dan perkembangan. Teori ini menyiratkan bahwa homoseksualitas merupakan abnormalitas perkembangan, yang membawa perdebatan bahwa homoseksualitas merupakan sebuah penyakit. Sebaliknya, konstruksionis berpendapat bahwa homoseksualitas adalah sebuah peran sosial


(22)

yang telah berkembang secara berbeda dalam budaya dan waktu yang berbeda, dan oleh karenanya tidak ada perbedaan antara homoseksual dan heteroseksual secara lahiriah (Carroll, 2005).

Berikut ini jabaran berbagai pendekatan yang memaparkan latar belakang terbentuknya perilaku homoseksual.

2.2.1 Pendekatan Biologis

Teori biologis tentang homoseksual bersifat esensialis yang mengatakan bahwa perbedaan orientasi seksual disebabkan oleh adanya perbedaan secara fisiologis. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh genetik, hormon, atau sifat (trait) fisik sederhana.

1.Genetik

Franz Kallman (1952, dalam Carroll, 2005) merupakan pelopor penelitian yang berusaha menunjukkan komponen genetik pada homoseksual dengan melakukan penelitian terhadap kembar identik dan membandingkannya dengan kembar fraternal. Ia menemukan komponen genetik yang kuat pada homoseksual.

Hammer dkk (1993, dalam Carroll, 2005) menemukan bahwa homoseksual pria cenderung memiliki saudara homoseksual dari bagian ibunya, dan dengan menelusuri jejak keberadaan gen homoseksual melalui garis keturuan ibu, menemukannya pada 33 orang dari 40 saudara laki-laki. Pattatucci (1998, dalam Carroll, 2005) berpendapat bahwa pria gay memiliki saudara laki-laki gay daripada saudara laki-laki lesbian, sementara para lesbian memiliki lebih banyak saudara perempuan lesbian daripada saudara laki-laki gay. Penelitian ini juga menemukan bukti bahwa gen “gay” ada pada kromosom X tetapi tidak menemukan gen “lesbian”.


(23)

2.Hormon

Beberapa penelitian menemukan bukti bahwa pria homoseksual memiliki tingkat hormon androgen yang lebih rendah daripada pria heteroseksual (Dorner, 1988), namun yang lainnya tidak menemukan adanya perbedaan tersebut (Hendricks et al, 1989). Ellis dkk (1988) berpendapat bahwa stress selama kehamilan (yang biasa mempengaruhi tingkat hormon) lebih dapat memicu pembentukan janin homoseksual.

Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa anak laki-laki yang menunjukkan perilaku kewanitaan mengalami kesulitan selama masa prenatal daripada anak laki-laki lainnya (Zuger, 1989). Telah ditemukan bahwa tingkat hormon awal mempengaruhi orientasi seksual dan perilaku masa anak-anak yang berhubungan dengan jenis kelamin (Berenbaum & Snyder, 1995).

Banyak penelitian yang membandingkan tingkat androgen dalam darah pada homoseksual dewasa dengan pria heteroseksual, dan umumnya tidak menemukan perbedaan yang signifikan (Green, 1988).

Dari lima studi yang membandingkan tingkat hormon pada lesbian dan wanita heteroseksual, tiga di antaranya tidak menemukan perbedaan tingkat testoteron, estrogen, atau hormon lain, sementara dua lainnya menemukan tingkat testoteron yang lebih tinggi pada lesbian (dan satu menemukan tingkat estrogen yang lebih rendah) (Dancey, 1990).

3.Fisiologi

Dua artikel pada awal tahun 1990-an melaporkan penemuan perbedaan otak pada pria homoseksual dan heteroseksual (LeVay, 1991; Swaab & Hofman, 1990). Kedua studi ini memfokuskan pada hipotalamus, yang diketahui berperan


(24)

penting pada dorongan seksual, dan menemukan bahwa daerah-daerah tertentu pada hipotalamus pria homoseksual berbeda (lebih besar maupun lebih kecil) dengan pria heteroseksual. Gallo (2000) juga menemukan perbedaan struktural pada hipotalamus dalam hubungannya dengan orientasi seksual. Melalui studi tentang panjang jari, Brown (2002) dan Williams (2000) menemukan bahwa lesbian memiliki panjang jari yang lebih mirip jari pria secara umum – jari telunjuk lebih pendek daripada jari manis – mendukung ide bahwa lesbian mungkin memiliki tingkat testoteron yang lebih tinggi daripada wanita heteroseksual pada awal kehidupannya.

2.2.2 Pendekatan Sosiologis

Pendekatan Sosiologis yang menggambarkan terjadinya homoseksual berfokus pada pelatihan dan sejarah seseorang dalam menemukan asal homoseksual. Pendekatan Sosiologis melihat perkembangan perilaku homoseksual lebih sebagai produk dari dorongan sosial daripada bawaan lahir pada orang tertentu (Carroll, 2005).

1. Freud dan Psikoanalitis

Freud (1951, dalam Carroll, 2005) berpendapat bahwa bayi melihat segala sesuatu sebagai potensi seksual, dan karena pria dan wanita berpotensi tertarik pada bayi, kita semua pada dasarnya biseksual.

Freud tidak melihat homoseksual sebagai suatu penyakit dan menuliskan bahwa homoseksual ”bukanlah hal yang memalukan, bukan degradasi, dan tidak dapat diklasifikasikan sebagai sebuah penyakit.” Dia bahkan menemukan homoseksual ”dibedakan oleh perkembangan intelektual yang tinggi dan budaya etis.”


(25)

Freud memandang heteroseksualitas pria sebagai hasil pendewasaan yang normal dan homoseksualitas pria sebagai akibat oedipus complex yang tidak terselesaikan. Kelekatan pada ibu yang intens ditambah dengan ayah yang jauh dapat membawa anak laki-laki pada ketakutan akan balas dendam ayah melalui kastrasi. Setelah masa pubertas, anak berpindah dari ketertarikan pada ibu menjadi identifikasi ibu, dan mulai mencari objek cinta yang akan dicari oleh ibunya – pria. Fiksasi pada penis dapat mengurangi ketakutan kastrasi pada pria, dan dengan menolak wanita, pria dapat menghindari perseteruan dengan ayahnya.

Freud juga melihat homoseksual sebagai autoerotis (pemunculan perasaan seksual tanpa adanya stimulus eksternal) dan narcisistik; dengan mencintai tubuh yang dimilikinya, seseorang seperti bercinta pada bayangan dirinya. Namun, pandangan ini ditolak oleh psikoanalis lainnya yang muncul kemudian, terutama Sandor Rado (1949, dalam Caroll, 2005) yang mengatakan bahwa manusia tidak biseksual secara lahiriah dan homoseksualitas adalah keadaan psikopatologis – penyakit mental. Pandangan inilah (bukan pandangan Freud) yang kemudian menjadi standar bagi profesi psikiater hingga tahun 1970-an.

Beiber dkk (1962, dalam Carroll, 2005) mengemukakan bahwa semua anak laki-laki memiliki ketertarikan erotik yang normal terhadap wanita. Akan tetapi, beberapa anak laki-laki memiliki ibu posesif yang terlalu dekat dan juga terlalu intim serta menggoda secara seksual. Sebaliknya, ayah mereka tidak bersahabat atau absen, dan triangulasi ini mendorong anak untuk berada di pihak ibu, yang menghambat perkembangan maskulin normalnya. Oleh karena itu, Beiber mengatakan bahwa ibu yang menggoda menimbulkan ketakutan akan heteroseksualitas pada diri anak.


(26)

Wolff (1971, dalam Carroll, 2005) meneliti keluarga dari lebih dari 100 lesbian dan melaporkan bahwa sebagian besar memiliki ibu yang menolak atau dingin secara emosional dan ayah yang berjarak. Untuk lesbian, para teoritikus percaya bahwa kurangnya kasih sayang dari ibu menyebabkan anak perempuan mencari kasih sayang dari wanita lainnya (Carroll, 2005).

2. Ketidaknyamanan Peran Gender

Secara umum ditemukan bahwa pria gay lebih bersifat feminism daripada pria heteroseksual, sementara lesbian lebih bersifat maskulin (Bailey et al, 1995; Pillard, 1991). Meskipun temuan ini berhubungan, yang berarti bahwa sifat cross gender dan kemunculan homoseksualitas di kemudian hari berhubungan, tetapi tidak memiliki hubungan sebab akibat.

Green (1987) menemukan bahwa anak laki-laki yang feminim atau ”sissy boy” memakai pakaian lawan jenis, tertarik pada busana wanita, bermain boneka,

menghindari permainan kasar, berkeinginan menjadi perempuan, dan tidak ingin menjadi seperti ayahnya sejak kecil. Tiga per empat dari mereka tumbuh menjadi homoseksual atau biseksual, sedangkan hanya satu dari anak laki-laki maskulin yang tumbuh menjadi biseksual. ”Sissy boy” tersebut juga cenderung dianianya, ditolak, dan diabaikan oleh teman sebayanya, lebih lemah daripada anak laki-laki lainnya, dan memiliki lebih banyak kasus psikopatologi (Zucker, 1990).

Teori konstuksionis akan mengatakan bahwa anak perempuan diperbolehkan menunjukkan perilaku maskulin tanpa diejek, dan anak perempuan yang tidak nyaman dengan gendernya, menjadi ”tomboy,” tidak berkorelasi dengan kecenderungan menjadi lesbian di kemudian hari. Teori ini tidak bisa dijadikan pegangan tunggal dalam menjelaskan homoseksual, karena banyak pria


(27)

gay yang tidak bersifat keperempuan-perempuanan pada waktu kecil, dan tidak semua anak laki-laki yang keperempuan-perempuanan tumbuh menjadi gay.

3. Interaksi Kelompok Teman Sebaya

Berdasarkan catatan bahwa dorongan seksual seseorang mulai berkembang pada masa remaja, Storm (1981) berpendapat bahwa orang-orang yang tumbuh lebih cepat mulai tertarik secara seksual sebelum mereka mengalami kontak yang signifikan dengan lawan jenis. Karena pacaran biasanya dimulai pada usia sekitar 15 tahun, anak laki-laki yang dewasa pada usia 12 tahun masih bermain dan berinteraksi secara umum dengan kelompok dari jenis kelamin yang sama, sehingga kemungkinan perasaan erotis yang muncul berfokus pada anak laki-laki juga. Teori ini didukung oleh fakta bahwa homoseksual cenderung melaporkan kontak seksual yang lebih cepat dibandingkan heteroseksual. Selain itu, dorongan seksual pria biasa muncul lebih cepat daripada wanita.

4. Teori Behavioris

Teori behavioral tentang homoseksual menganggap bahwa perilaku homoseksual adalah perilaku yang dipelajari, diakibatkan perilaku homoseksual yang mendatangkan hadiah atau penguat yang menyenangkan atau pemberian hukuman atau penguat negatif terhadap perilaku heteroseksual. Sebagai contoh, seseorang bisa saja memiliki hubungan dengan sesama jenis menyenangkan, dan berpasangan dengan lawan jenis adalah hal yang menakutkan, dalam fantasinya, orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan sesama jenis, menguatkan kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa dewasa, beberapa pria dan wanita bergerak menuju perilaku dan hubungan sesama jenis jika mereka


(28)

mengalami hubungan heteroseksual yang buruk dan hubungan homoseksual yang menyenangkan (Masters & Johnson, 1979, dalam Carroll, 2005).

5. Bahasa dalam Sub Kultur Kaum Homoseksual

Orang-orang yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda lazimnya berbicara dengan cara yang berbeda. Perbedaan ini boleh jadi menyangkut dialek, intonasi maupun kosakata yang digunakan untuk berbicara. Bahasa adalah istitusi sosial yang dirancang, dimodifikasikan dan dikombinasi untuk memenuhi kebutuhan kultur atau subkultur yang terus berubah. Karena bahasa dari budaya satu berbeda dari budaya lain dan sama pentingnya bahasa dari suatu subkultur berbeda dari bahasa dari subkultur yang lain (Montgomery, 1986) dalam Devito (1958; 157).

Terdapat dua pengelompokan bahasa. Yaitu bahasa verbal dan non verbal. Bahasa verbal bisa berupa penggunaan kata yang dsampaikan secara langsung. Sedangkan bahasa non verbal itu berupa isyarat-isyarat kata yang dikeluarkan dari reaksi wajah, gerakan tubuh serta simbolsimbol yang dihasilkan dari panca indera kita sendiri. Tidak ada struktur yang pasti, tetap, dan dapat diramalkan mengenai hubungan antara komunikasi verbal dan komunikasi non verbal. Keduanya dapat berlangsung spontan bahkan serentak.

Dalam pembahasan ini yang dimaksud subkultur adalah kelompok-kelompok dalam sebuah kultur yang besar. Ini didasarkan atas wilayah geografis, pekerjaan, orientasi afeksi, guru, seniman, heteroseksual, homoseksual. Semuanya dapat dipandang sebagai subkultur tergantung pada konteksnya.

Karena minat yang sama merupakan subkultur (munculnya kelompok-kelompok), sub bahasa muncul. Istilah bahasa digunakan oleh kelompok


(29)

subkultur tertentu yang didalam kulturnya lebih dominan. Ada beberapa jenis subbahasa yang banyak dikenal adalah argot, cost, jargon dan slang (Sihabudin, 2011:77). Begitu juga dalam komunikasi antar budaya terdapat beberapa subkultur. Salah satunya antara lain bahasa “Argot”. Permasalahannya bahasa yang digunakan sehari-hari oleh kaum homoseksual dalam berinteraksi sesama komunitasnya termasuk dalam bagian bahasa “Argot”.

Argot adalah kosakata khusus yang berkembang di kalangan dunia hitam. Misalnya pencopet, pembunuh, germo dan pelacur. Sebuah subkultur yang dapat dikatakan menyimpang. Dalam bentuknya yang murni argot tidak dimengerti oleh orang luar, tetapi karena sering diucapkan di film atau televisi, bahasa tersembunyi itu bisa dikenal. Contohnya mami (germo wanita), pentongan istilah waria untuk menyatakan alat kelamin laki-laki dan masih banyak argot lain yang berkembang di kalangan masyarakat seperti observasi penelitian (Sihabudin, 2011:81).

Bahasa gaul kaum homoseksual berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan menemukan sejumlah kata yang mereka gunakan, misalnya duta (duit/uang), maharani (mahal) sapose (siapa), kemandro chint (kamu mau kemana), lekong (laki-laki), nek/mak/chint/cun (panggilan akrab untuk homoseksual), kelinci (kecil), gedong (besar), inang (iya), rexona (rokok), tinta mawar (tidak mau), cucox (cakep/keren) sekong (gay),lesbong (lesbi).

Sebagian besar penggunaan bahasa gaul kaum homoseksual hampir sama dengan penggunaan bahasa gaul kaum waria. Sehingga bahasa gaul yang digunakan kaum homoseksual dalam komunitasnya serta kaum waria sama -sama memakai kosakata yang sama. Selain itu bahasa non verbal yang digunakan dalam


(30)

menarik perhatian komunitas mereka di kota Serang lebih mengutamakan permainan mata. Walaupun di berbagai daerah memiliki tanda/symbol tersendiri bagi kaum homoseksual untuk berkenalan dengan orang lain. Namun bagi homoseksual yang ada dikota Serang lebih menekankan permainan bahasa tubuh mereka.

Homoseksualitas juga dapat didefenisikan sebagai orientasi atau pilihan seks yang diarahkan pada orang atau ketertarikan dari jenis kelamin yang sama (Oetomo, 2001:6). Dalam pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia homoseksualitas dimasukan dalam kategori gangguan psikoseksual, dan disebut sebagai orientasi seksual egodistonik, yaitu “identitas jenis kelamin atau preferensi seksual tidak diragukan, tetapi individu berharap yang lain disebabkan oleh gangguan psikologis dan perilaku serta mencari cara untuk mengubahnya”, artinya homoseksualitas dianggap suatu kelainan hanya bila individu merasa tidak tenang dengan orientasi seksual dan bermaksud mengubahnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1998:115).

Teori yang digunakan dalam penelitian yaitu berhubungan dengan Komunikasi Interaksi Simbolik yang berawal dari kedekatan rasional dan seterusnya kedekatan yang terjadi melalui proses bertahap pengungkapan diri dengan menggunakan simbol-simbol yang telah di akui kebersamaan anata anggota komunitas dalam pengungkapan diri. Akhirnya mencapai proses tahap dangkal sampai tahap intim. Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara symbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto, 2007).


(31)

Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia. Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.

Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik (Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees, 2007), antara lain:

1. Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain. 2. Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu

dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya. 3. Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan,

dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih


(32)

secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.

Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain:

1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia

Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama.

2. Pentingnya konsep mengenai diri

Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri” atau ”Self-Concept”. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya.

3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam social kemasyarakatannya. Penelitian ini mengacu pada teori pendukung pertukaran social (social exchange) yaitu model yang digunakan untuk menganalisis hubungan antarpersonal (interpersonal communication) Teori Pertukaran Sosial dari


(33)

Thibault dan Kelley ini menganggap bahwa bentuk dasar dari hubungan sosial adalah sebagai suatu transaksi dagang, dimana orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Teori ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan teori ini sebagai berikut: “Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”.

2.2.3. Pendekatan Sosiologi

Pendekatan sosiologis mencoba menjelaskan bagaimana dorongan sosial menghasilkan homoseksualitas di dalam masyarakat. Konsep-konsep seperti homoseksualitas, biseksualitas, heteroseksualitas adalah produk dari imajinasi masyarakat dan tergantung pada bagaimana kita sebagai masyarakat mendefenisikan sesuatu hal. Dengan kata lain, kita mempelajari cara berpikir budaya kita dan mengaplikasikannya pada diri kita (Carroll, 2005).

Penggunaan istilah ”homoseksual” yang mengacu pada perilaku sesama jenis berkembang setelah Revolusi Industri yang membebaskan orang – orang secara ekonomi sehingga memberikan kesempatan untuk memilih gaya hidup yang baru di perkotaan (Adam, 1987). Oleh karena itu, pendapat bahwa apakah seseorang ”homoseksual” atau ”heteroseksual” bukanlah fakta biologis tetapi hanya cara berpikir yang berubah seiring dengan keadaan sosial.


(34)

2.2.4. Pendekatan Interaksional : Biologi dan Sosiologi

Bem (1996) berpendapat bahwa variabel biologis seperti genetik, hormon, dan neuroanatomi otak, tidak menyebabkan orientasi seksual tertentu, tetapi lebih berkontribusi pada tempramen masa anak-anak yang mempengaruhi preferensi anak pada aktivitas dan kelompok sebaya yang sesuai dengan jenis kelaminnya atau tidak.

Teori exotic-becomes-erotic yang dikemukakan oleh Bem (1996) mengatakan bahwa perasaan seksual berubah dari pengalaman gender sejenis sebagai lebih eksotis, atau berbeda dari orang itu, daripada yang berlawanan jenis. Ia menyatakan bahwa anak-anak gay dan lesbian memiliki teman bermain lawan jenis ketika tumbuh, dan membuat mereka melihat sesama jenis lebih ”eksotis” dan menarik.

2.3.Tahapan Pembentukan Identitas Diri Homoseksual

Vivienne Cass (1984) mengemukakan model enam tahapan dalam pembentukan identitas gay dan lesbian. Tidak semua gay dan lesbian mencapai tahap keenam; tergantung, di dalam masing-masing tahapan, pada seberapa nyaman seseorang dengan orientasi seksualnya.

Tahapan 1: Identitiy confusion.

Individu mulai percaya bahwa perilakunya bisa didefinisikan sebagai gay atau lesbian. Mungkin saja timbul keinginan untuk mendefinisikan kembali konsep orang tersebut terhadap perilaku gay dan lesbian, dengan segala kebiasaan dan informasi salah yang dimiliki sebagian besar orang. Orang tersebut bisa menerima peran tersebut dan mencari informasi, menekan dan menghalangi semua perilaku gay dan lesbian, atau menyangkal kemiripan dengan semua


(35)

identitasnya (seperti pria yang memiliki hubungan sesama jenis di penjara namun tidak percaya bahwa dia adalah gay ”yang sebenarnya”).

Tahapan 2: Identity comparison.

Individu menerima potensi identitas dirinya gay; menolak model heteroseksual tetapi tidak menemukan penggantinya. Orang tersebut mungkin merasa berbeda dan bahkan kehilangan. Orang yang berada dalam tahapan ini masih menyangkal homoseksualitasnya. Ia berpura-pura sebagai seorang heteroseksual.

Tahapan 3: Identity tolerance.

Pada tahap ini, individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa dirinya mungkin gay atau lesbian dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai kebutuhan sosial, seksual dan emosional. Kebingungan menurun, tapi identitas diri masih pada tahap toleransi, bukan sepenuhnya diterima. Biasanya, individu masih tidak membeberkan identitas barunya pada dunia heteroseksual dan tetap menjalankan gaya hidup ganda.

Tahapan 4: Identity acceptance.

Pandangan positif tentang identitas diri mulai dibentuk, hubungan dan jaringan gay dan lesbian mulai berkembang. Pembukaan jati diri selektif kepada teman dan keluarga mulai dibuat, dan individu sering membenamkan dirinya sendiri dalam budaya homoseksual.

Tahapan 5: Identity pride

Kebanggaan sebagai homoseksual mulai dikembangkan, dan kemarahan terhadap pengobatan bisa mengakibatkan penolakan heteroseksual karena


(36)

dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Individu merasa cukup bernilai dan cocok dengan gaya hidupnya.

Tahapan 6: Identity synthesis

Ketika individu benar-benar merasa nyaman dengan gaya hidupnya dan ketika kontak dengan orang nonhomoseksual meningkat, seseorang menyadari ketidak benaran dalam membagi dunia mengkotak-kotakkan dunia dalam ”gay dan lesbian yang baik” dan ”heteroseksual yang buruk.” Individu menjalani gaya hidup gay yang terbuka sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi sebuah isu dan menyadari bahwa ada banyak sisi dan aspek kepribadian yang mana orientasi seksual hanya salah satu aspek tersebut. Proses pembentukan identitas telah selesai.

Menemukan bahwa makna tersebut tidaklah penting atau mengecewakan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang pernah hidup dalam kesenangan, kekuasaan, kesejahteraan, dan menyadari mereka mengejar sesuatu yang tidak memiliki kelanjutan , dan sekarang merasa kosong. Realitas ini dapat mengarah pada kemunduran, perasaan tak bermakna, bahkan pemikiran untuk bunuh diri.

2.4. Pengertian Homoseksual (Gay)

Colin Spencer mengemukakan bahwa homoseksual merupakan sebuah rasa ketertarikan secara perasaan dalam bentuk kasih sayang, hubungan emosional baik secara erotis atau tidak, di mana ia bisa muncul secara menonjol, ekspresif maupun secara ekslusif yang ditujukan terhadap orang-orang berjenis kelamin sama (Hatib Abdul Kadir, 2007: 66). Homoseksual adalah ketertarikan seksual terhadap jenis kelamin yang sama (Feldmen, 1990: 359). Ketertarikan seksual ini


(37)

yang dimaksud adalah orientasi seksual, yaitu kecenderungan seseorang untuk melakukan perilaku seksual dengan laki-laki atau perempuan (Nietzel,1998: 489). Homoseksualitas bukan hanya kontak seksual antara seseorang dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama tetapi juga menyangkut individu yang memiliki kecenderungan psikologis, emosional, dan sosial terhadap seseorang dengan jenis kelamin yang sama (Kendall ,1998: 375).

Sawitri Supardi Sadarjoen (2005: 41), juga mendefinisikan homoseksual sebagai suatu kecenderungan yang kuat akan daya tarik erotis seseorang terhadap orang lain dengan jenis kelamin yang sama. Istilah homoseksual dapat digunakan baik untuk pria , yang lebih dikenal dengan istilah gay, ataupun wanita lebih dikenal dengan istilah lesbian.

Michael (Kendall, 1998: 144), mengidentifikasikan tiga kriteria dalam menentukan seseorang itu homoseksual (gay), yakni sebagai berikut:

1. Ketertarikan seksual terhadap orang yang memiliki kesamaan jenis kelamin dengan dirinya

2. Keterlibatan seksual dengan satu orang atau lebih yang memiliki kesamaan jenis kelamin dengan dirinya

3. Mengidentifikasi diri sebagai gay atau lesbian

Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa gay adalah laki-laki yang mempunyai ketertarikan seksual pada sesama jenis dan mempunyai kecenderungan psikologis, emosional, dan sosial dengan sesama jenis. Dalam menentukan bahwa seseorang itu adalah gay ada beberapa kriteria yaitu ketertarikan seksual terhadap orang yang memiliki kesamaan jenis kelamin


(38)

dengan dirinya, keterlibatan seksual dengan satu orang atau lebih yang memiliki kesamaan jenis kelamin dengan dirinya, mengidentifikasi diri sebagai gay.

2.5. Jenis – jenis Homoseksual (Gay)

Homoseksual atau gay menurut Kartini Kartono (1989: 73), dapat digolongkan dalam tiga bagian yaitu:

1. Homoseksual yang aktif, yaitu gay yang bertindak sebagai pria yang agresif.

2. Homoseksual yang pasif, yang bertingkah laku lebih dominan sebagai wanita dan memiliki kecenderungan feminim

3. Homoseksual yang bergantian peranan, kadang – kadang memerankan laki – laki dan dilain waktu memerankan wanita.

Pendapat lain diungkapkan oleh Coleman (A. Supratiknya,1995: 95), yang menggolongkan gay atau homoseksual berdasarkan kualitasnya dalam beberapa jenis yaitu:

1.Homoseksual tulen, homoseksual jenis ini memenuhi gambaran stereotip tentang laki–laki yang cenderung lebih keperempuan-perempuanan, yaitu suka berperilaku dan mengenakan pakaian perempuan

2.Homoseksual malu – malu, yaitu laki – laki yang memiliki hasrat homoseksual akan tetapi tidak berani menjalin hubungan personal yang intim dengan orang lain untuk kegiatan homoseksual.

3.Homoseksual tersembunyi, biasanya berasal dari golongan menengah keatas dan memiliki status sosial yang tinggi, sehingga biasanya hanya diketahui oleh teman dekatnya.


(39)

4.Homoseksual situasional, homoseksual jenis ini terjadi pada situasi yang mendesak di mana tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan hubungan dengan lawan jenis, diantaranya dapat ditemui pada situasi khusus seperti perang dan di penjara. Sehingga tinggkah laku homoseksual timbul sebagai usaha untuk menyalurkan dorongan seksualnya.

5.Biseksual, homoseksual jenis ini mempraktekan kegiatan homoseksual dan heteroseksual secara sekaligus, homoseksual jenis ini bisa mendapatkan kepuasan seksual dari lawan jenis dan sesama jenis.

6.Homoseksual mapan, homoseksual jenis ini dapat menerima homoseksualitas mereka, memenuhi peran kemasyarakatan secara bertanggung jawab dan mengikatkan diri pada suatu komunitas.

Pendapat lain tentang penggolongan homoseksual atau gay adalah berdasarkan PPDGJ II Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1983 yang disusun oleh psikolog dan psikiater Indonesia mengelompokan homoseksual dalam dua jenis, yaitu;

1. Homoseks ego sentonik, merupakan homoseksual yang merasa tidak terganggu oleh orientasi seksualnya.

2. Homoseks ego distonik, merupakan homoseksual yang merasa selalu terganggu olek orientasi seksualnya dan mengakibat timbulnya konflik psikis, konflik psikis internal individu ini akan menimbulkan perasaan bersalah, malu, bahkan depresi.

Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa homoseksual dapat dikelompokan berdasarkan pola hubungannya yaitu, homoseksual aktif, homoseksual pasif, dan homoseksual yang bergantian peranan. Homoseksual juga


(40)

dapat dikelompokkan berdasarkan kualitasnya menjadi homoseksual tulen,homoseksual tersembunyi, homoseksual malu-malu, homoseksual situasional, homoseksual mapan, dan biseksual. Sedangkan berdasarkan penerimaan pada individu homoseksual dapat dikelompokan menjadi homoseksual ego sentonik dan homoseksual ego distonik. Untuk mempersempit dan mempermudah penelitian, peneliti memfokuskan pengelompokan homoseksual atau gay berdasarkan penerimaan pada individu homoseksual yaitu ego sentonik dan homoseksual ego distonik.

2.6. Bentuk Hubungan Seksual pada Gay

Mengenai hubungan seks pada gay pada umumnya mengambil bentuk imitasi dari hubungan herteroseksual. Dimana ada yang berperan sebagai laki-laki dan ada yang berperan sebagai perempuan. Jika dalam hubungan homoseksual yang seperti itu maka hal itu akan terlihat dalam perilaku sehari-hari. Kartini Kartono (1989: 249), menjelaskan tentang perilaku seksual homoseksual atau gay terpola dalam 3 bentuk hubungan seksual, yaitu:

1.Oral Eratism

Oral (segala sesuatu yang berkaitan dengan mulut), stimulan oral pada penis disebut Fellatio (fallare : mengisap). Fellatio yaitu mendapatkan kenikmatan seksual dengan cara mengisap alat kelamin partnernya yang dimasukkan ke dalam mulut. Fellatio umumnya dilakukan homoseks remaja dan dewasa. Fellatio dapat dilakukan dengan cara tunggal atau ganda. Fellatio tunggal bila hanya dilakukan salah seorang partner, sedangkan fellatio ganda atau dikenal hubungan 69 dilakukan dengan saling mengisap alat kelamin partner pada saat yang bersamaan.


(41)

2.Body Contact

Body contact mengambil bentuk onani atau menggesekgesekkan tubuh atau dengan cara senggama sela paha.salah satu partnernya memanipulasi pahanya sedemikian sehingga alat kelamin pasangannya dapat masuk di sela pahanya.

3.Anal Seks

Anal seks (seks yang berhubungan dengan anus) dalam dunia homoseksual terkenal dengan sebutan sodomi. Sodomi mengacu pada hubungan seks dengan cara memasukan alat kelamin ke dalam anus partnernya. Dalam hubungan sodomi tersebut salah satu partnernya bertindak aktif sedang yang lain bertindak pasif menerima.

Homoseksual tidak mengenal laki-laki dan perempuan. Istilah dalam homoseksual dikenal top dan bottom. Homoseksual top adalah homoseksual yang dioral dan menganal sedangkan bottom yaitu yang mengoral dan dianal. Selain kedua istilah tersebut juga ada gay fire style yaitu gay yang mampu memposisikan sebagai top maupun bottom (Urin Laila Sa’adah, 2008:1).

Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa bentuk hubungan pada gay mengambil imitasi dari bentuk hubungan heteroseksual. Bentuk hubungan tersebut antara lain : oral eratism, body contact dan anal sex. Istilah laki-laki dan perempuan dalam homoseksual atau gay lebih dikenal dengan top dan bottom, serta gay fire style yang bisa memposisikan sebagai top atau bottom. 2.7. Kajian tentang Motif

i. Pengertian Motif

Abu Ahmadi (2002: 191), mengungkapkan bahwa motif adalah dorongan yang sudah terikat pada suatu tujuan. Motif menunjuk hubungan sistematik antara


(42)

suatu respon dengan keadaan dorongan tertentu. Apabila dorongan dasar itu bersifat bawaan, maka motif itu hasil proses belajar. Gerungan (2004: 151), berpendapat bahwa motif itu merupakan suatu pengertian yang melengkapi semua penggerak alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Sedangkan Atkinson (Abu Ahmadi, 2002: 191), motif sebagai sesuatu disposisi laten yang berusaha dengan kuat untuk menuju ke tujuan tertentu, tujuan ini dapat berupa prestasi, afiliasi ataupun kekuasaan.

Definisi yang lain dari Lindzey, Hall dan Thompson (Abu Ahmadi, 2002: 191), motif adalah sesuatu yang menimbulkan tingkah laku. Motif timbul karena adanya kebutuhan/need (Abu Ahmadi, 2002: 193), kebutuhan-kebutuhan dapat diartikan sebagai:

1. Satu kekurangan universal dikalangan umat manusia dan musnah bila kekurangan itu tidak tercukupi.

2. Satu kekurangan universal dikalangan umat manusia yang dapat membantu dan membawa kebahagiaan pada manusia bila kekurangan itu terpenuhi, walaupun hal itu tidaklah esensiil terhadap kelangsungan hidup manusia.

3. Sebuah kekurangan yang dapat dipenuhi secara wajar dengan berbagai benda lainnya apabila ada benda khusus yang diingini tidak dapat diperoleh.

2. Sifat taraf kebutuhan.

Kebutuhan (need) dapat dipandang sebagai kekurangan adanya sesuatu, dan ini menuntut segera pemenuhannya, untuk segera mendapatkan keseimbangan. Situasi kekurangan ini berfungsi sebagai suatu kekuatan atau


(43)

dorongan alasan, yang menyebabkan seseorang bertindak untuk memenuhi kebutuhan. Dari bentuk-bentuk perbuatan kita dapat simpulkan adanya kebutuhan dan motif dari perbuatan itu. Selain pengamatan terhadap tingkah laku individu ada jalan lain untuk mengetahui atau meyakini adanya kebutuhan dan motif ialah dengan mengetahui pengalaman pribadi. Maslow menyatakan bahwa manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, kebutuhan tersebut mempunyai tingkatan-tingkatan yang digambarkan dalam piramida hirarki kebutuhan. Adapun kebutuhan tersebut adalah (Sarlito W. Sarwono, 2002: 174):

1. Kebutuhan Fisiologis

Pada tingkat yang paling bawah, terdapat kebutuhan yang bersifat fisiologik (kebutuhan akan udara, makanan, minuman, seksual dan sebagainya) yang ditandai oleh kekurangan sesuatu dalam tubuh orang yang bersangkutan. Kebutuhan ini dinamakan juga kebutuhan dasar (basic needs) yang jika tidak dipenuhi dalam keadaan yang sangat ekstrim (misalnya kelaparan) bisa manusia yang bersangkutan kehilangan kendali atas perilakunya sendiri karena seluruh kapasitas manusia tersebut dikerahkan dan dipusatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya itu. Sebaliknya, jika kebutuhan dasar ini relatif sudah tercukupi, muncullah kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa aman (safety needs).

2. Kebutuhan akan Rasa Aman

Jenis kebutuhan yang kedua ini berhubungan dengan jaminan keamanan, stabilitas, perlindungan, struktur, keteraturan, situasi yang bisa diperkirakan, bebas dari rasa takut dan cemas dan sebagainya. Karena adanya kebutuhan inilah maka manusia membuat peraturan, undang-undang, mengembangkan


(44)

kepercayaan, membuat sistem, asuransi, pensiun dan sebagainya. Sama halnya dengan basic needs, kalau safety needs ini terlalu lama dan terlalu banyak tidak terpenuhi, maka pandangan seseorang tentang dunianya bisa terpengaruh dan pada gilirannya pun perilakunya akan cenderung ke arah yang makin negatif.

3. Kebutuhan Dicintai dan Disayangi

Setelah kebutuhan dasar dan rasa aman relatif dipenuhi, maka timbul kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai. Setiap orang ingin mempunyai hubungan yang hangat dan akrab, bahkan mesra dengan orang lain. Ia ingin mencintai dan dicintai. Setiap orang ingin setia kawan dan butuh kesetiakawanan. Setiap orang pun ingin mempunyai kelompoknya sendiri, ingin punya "akar" dalam masyarakat. Setiap orang butuh menjadi bagian dalam sebuah keluarga, sebuah kampung, suatu marga, dll. Setiap orang yang tidak mempunyai keluarga akan merasa sebatang kara, sedangkan orang yang tidak sekolah dan tidak bekerja merasa dirinya pengangguran yang tidak berharga. Kondisi seperti ini akan menurunkan harga diri orang yang bersangkutan.

4. Kebutuhan Harga Diri

Di sisi lain, jika kebutuhan tingkat tiga relatif sudah terpenuhi, maka timbul kebutuhan akan harga diri (esteem needs). Ada dua macam kebutuhan akan harga diri. Pertama, adalah kebutuhan-kebutuhan akan kekuatan, penguasaan, kompetensi, percaya diri dan kemandirian. Sedangkan yang kedua adalah kebutuhan akan penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, kebanggaan, dianggap penting dan apresiasi dari orang lain. Orang-orang yang terpenuhi kebutuhannya akan harga diri akan tampil sebagai orang yang percaya diri, tidak tergantung pada orang lain dan selalu siap untuk berkembang terus


(45)

untuk selanjutnya meraih kebutuhan yang tertinggi yaitu aktualisasi diri (self actualization).

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri

Aktualisasi diri adalah ketepatan seseorang didalam menempatkan dirinya

sesuai dengan kemampuan yang ada dalam dirinya

(id.wikipedia.org/wiki/aktualisasi_diri. Diakses pada tanggal 7 Januari 2014, jam 20.15 WIB). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang terdapat berbagai kebutuhan yang tidak tersusun secara hirarki, melainkan saling mengisi. Jika berbagai kebutuhan tidak terpenuhi maka akan terjadi patologi seperti apatisme, kebosanan, putus asa, tidak punya rasa humor lagi, keterasingan, mementingkan diri sendiri, kehilangan selera dan sebagainya.

Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa motif adalah dorongan yang menyebabkan individu melakukan perilku tertentu. Semua tingkah laku manusia pada hakikatnya mempunyai motif. Tingkah laku juga disebut tingkah laku secara refleks dan berlangsung secara otomatis dan mempunyai maksud-maksud tertentu walaupun maksud itu tidak senantiasa sadar bagi manusia. Motif-motif manusia dapat bekerja secara sadar, dan juga secara tidak sadar bagi diri manusia. Kegiatan kegiatan yang biasa kita lakukan sehari-hari juga mempunyai motif-motifnya tersendiri. Kita menyetel weker (jam) kita pagi-pagi dengan motif untuk melakukan sesuatu pekerjaan sebelum kita berangkat kuliah.

3. Macam-macam Motif

Menurut Wood Worth dan Marquis (Abu Ahmadi, 2002: 194-195) motif dibedakan menjadi dua macam, yaitu :


(46)

1. Motif yang tergantung pada keadaan dalam jasmani.

Motif ini merupakan kebutuhan organik. Misalnya makan dan minum. 2. Motif yang tergantung hubungan individu dengan lingkungan. Motif ini

dibedakan menjadi:

a. Emergency motive / motif darurat.

Motif yang membutuhkan tindakan segera karena keadaan sekitarnya menuntut demikian. Misalnya: motif untuk melepaskan diri dari bahaya, melindungi matanya dan sebagainya.

b. Objektif motive / motif objektif

Motif yang berhubungan langsung dengan lingkungan baik berupa individu maupun benda. Misalnya: penghargaan, memiliki mobil, memiliki rumah bagus dan sebagainya.

Teevan dan Smith (Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, 2006: 162), menggolongkan motif atas dasar perkembangannya, yaitu:

1. Motif Primer

Adalah motif yang timbulnya berdasarkan proses kimiawi fisiologik dan diperoleh dengan tidak dipelajari. Contohnya: haus dan lapar.

2. Motif Sekunder

Adalah motif yang timbulnya tidak secara langsung berdasarkan proses kimiawi psikologik dan umumnya diperoleh dari proses belajar baik melalui pengalaman maupun lingkungan. McClelland mengemukakan bahwa motif sekunder disebut juga dengan motif social yang terdiri dari motif berprestasi, motif berafiliasi, dan motif berkuasa


(47)

Menurut Gerungan (2004: 155-156), motif dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:

1. Motif Tunggal / Motif Bergabung

Motif melakukan kegiatan-kegiatan merupakan motif tunggal atau motif bergabung. Misalnya, apabila seseorang menjadi anggota suatu perkumpulan, maka motifnya biasanya bergabung. Memahami susunan motif yang mendorong seseorang berbuat sesuatu yang tidak kita mengerti seringkali tidak mudah, perlu dipahami lebih mendalam riwayat dan struktur kepribadiannya, perbuatan itu sendiri, kondisi-kondisi di lingkungannya dimana perbuatan itu dilakukan, dan saling berhubungan antara ketiga golongan faktor tersebut.

2. Motif Biogenetis

Motif-motif biogenetis merupakan motif-motif yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan seseorang demi kelanjutan kehidupannya secara biologis. Motif biogenetis ini bercorak universal dan kurang terikat dengan lingkungan kebudayaannya tempat individu tersebut berada dan berkembang. Motif biogenetis ini adalah asli di dalam diri orang dan berkembang dengan sendirinya. 3. Motif Sosiogenetis

Motif-motif sosiogenetis adalah motif-motif yang dipelajari orang dan berasal dari lingkungan kebudayaan tempat orang itu berada dan berkembang. Motif sosiogenetis tidak berkembang dengan sendirinya tetapi berdasarkan interaksi sosial dengan orang-orang atau hasil kebudayaan orang.

4. Motif Teogenetis

Motif teogenetis adalah motif yang berasal dari interaksi antara manusia dengan tuhan seperti yang terwujud dalam ibadahnya dan dalam kehidupannya


(48)

sehari-hari dimana individu tersebut berusaha merealisasikan norma-norma agamanya.


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Mengingat masalah yang hendak diungkap dalam penelitian ini, maka pendekatan deskriptif kualitatif dipandang sesuai untuk dapat mengetahui bagaimana makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan. Karena makna hidup adalah sesuatu yang bersifat unik dan personal sehingga apa yang dirasakan berharga dan penting untuk seseorang, belum tentu berharga dan penting bagi orang lain sehingga makna hidup antara seseorang akan berbeda dengan orang lain. Selain itu, makna hidup itu ada dalam kehidupan itu sendiri, sehingga walaupun pengalaman sebagai homoseksual dirasakan oleh beberapa orang, namun, makna hidup mereka akan berbeda satu sama lain, karena pengalaman dan kehidupan mereka berbeda satu sama lain. Sehingga dengan penelitian deskriptif kualitatif, dapat dilihat manusia dengan subyektifitasnya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Poerwandari (2001) bahwa dalam penelitian deskriptif kualitatif, manusia dipandang dalam segala kompleksitasnya sebagai makhluk subyektif.

Melalui penelitian deskriptif kualitatif, diharapkan peneliti akan dapat melihat permasalahan ini dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi partisipan penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwandari (2001) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting penelitian deskriptif kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh


(50)

tentang fenomena yang diteliti. Dan sebagian besar aspek Sosiologis manusia juga sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih ‘etis’ dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah. Artinya tidak cukup mencari “what” dan “how much”, tetapi perlu juga memahaminya (“why” dan “how”) dalam konteksnya.

3.2. Lokasi Penelitian

Pada suatu penelitian, populasi dan sampel adalah hal yang harus diperhatikan. Populasi adalah semua individu untuk siapa kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sampel penelitian akan digeneralisasi. Sampel adalah sebahagian dari populasi yang dikenakan langsung dalam penelitian. Sampel harus bersifat representatif, yaitu dapat mewakili atau menggambarkan dengan jelas karakteristik populasinya (Hadi, 1999).

Lokasi dilakukannya penelitian ini adalah di kota Medan lebih tepatnya peneliti mengambil lokasi di cafe-cafe di jalan Dr.Mansur Medan yg dia antaranya Cafe chocolate & Music Coffe. Pemilihan lokasi cafe dikarenakan peneliti memang berdomisili di kota Medan dan dengan demikian akan memberikan kemudahan bagi peneliti untuk menemukan partisipan. Karena menurut peneliti para kaum Gay banyak berkumpul di cafe-cafe yang dimana itu merupakan salah satu tempat mereka dapat saling berinteraksi langsung dan dapat membaur dengan kelompok Gay lainnya.


(1)

3. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah banyaknya gay yang ada sehingga terjadi kemungkinan adanya motif lain yang melatarbelakangi pilihan sebagai gay yang belum tersentuh dalam penelitian ini, selain itu juga kendala dalam menemukan gay yang bersedia untuk menjadi informan dan kesulitan dalam mengatur waktu untuk wawancara karena kesibukan informan.


(2)

106

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan pada Bab I sebelumnya, maka dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Pemaknaan hidup homoseksual di tengah konflik dengan reaksi lingkungan yang negative Pada awalnya, kedua responden menyangkal dan bertanya-tanya tentang keadaan dirinya yang homoseksual. Mereka berusaha untuk mengabaikan perasaan terhadap laki-laki yang timbul. Meskipun demikian, mereka tetap bertahan karena kemudian merasa bahwa ini adalah sesutau hal yang sudah tidak bisa diubah lagi. Mereka menerima diri mereka apa adanya dan tidak mempermasalahkan orientasi seksualnya dengan melakukan hal-hal yang berguna bagi dirinya sendiri dan orang lain. Responden I berusaha bekerja sebaik mungkin di kantornya sehingga menempati posisi yang cukup bagus, sementara Responden II menyibukkan diri dengan mengajar dan membantu di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang dikelola oleh gereja tempanya berkunjung. Keinginan untuk mengubah orientasi seksual kerap muncul, meskipun mereka berusaha menerima diri mereka apa adanya. Munculnya pasangan hidup membuat mereka bertahan dalam menjalani hidupnya dan merasa hidup mereak berarti dan bermakna. Pada Responden I pasangan hidup wanita memberikan harapan bahwa dirinya dapat mengubah orientasi seksualnya, apalagi dia kemudian menemukan bahwa perasaan suka dan dorongan seksual terhadap calon istri memberikan sumbangan yang sangat


(3)

berarti dalam usahanya mengubah orientasi seksual. Pada Responden II pasangan hidup laki-laki lah yang justru mendorongnya untuk terus bertahan dan berkarya. Fokus untuk mmemberi sosok ayah dan pacar bagi pasangan hidupnya membuat Responden II menyadari bahwa dirinya masih berguna dan dapat melakukan hal yang bermanfaat bagi orang lain.

Kedua responden sama-sama telah sampai pada tahap perealisasian makna, dimana Responden I memutuskan untuk menikah dan membangun keluarga dengan wanita sementara Responden II berusaha memberikan tabungan dan jaminan bagi pasangannya apabila suatu saat merka harus berpisah.

2. Pengambilan sikap

Ketakutan akan reaksi negatif yang akan muncul dari lingkugan membuat kedua responden tetap berusaha untuk menutupi identitas orientasi seksual mereka. Keduanya beranggapan bahwa masyarakat dan keluarga belum dapat menerima dan memahami keadaan meraka yang homoseksual. Responden I memiliki keluarga yang antipasti terhadap homoseksualitas, sementara Responden II bahkan telah meihat hasil yang buruk akibat pengakuan yang dilakukan oleh salah seorang saudara perempuannya yang lesbian.

Oleh karena itu, kedua responden sangat berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan orang lain, terutama dengan sesama homoseksual. Orang-orang yang ingin berkenalan tidak serta merta diterima begitu saja. Responden I selalu meminta kartu identitas atau tanda pengenal orang-orang yang akan berkenalan dengannya. Sementara itu, kedua responden selalu bersikap selektif dan hati-hati, terutama ketika ingin berteman dengan orang lain. Sedapat mungkin mereka akan berusaha supaya orang lain tidak mengetahui orientasi


(4)

108

seksualnya. Mereka merasa puas dengan menjalankan dua gaya hidup yang berbeda meskipun mereka harus mengerahkan tenaga dan usaha yang lebih banyak.

2. Saran-saran

Dengan melihat hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Bagi orang-orang yang memiliki orientasi homoseksual hendaknya tidak terlalu hanyut dalam penyesalan dan penyangkalan. Masih banyak hal yang biasa dilakukan untuk diri sendiri dan orang lain. Homoseksualitas hanyalah satu apsek kecil dari sekian banyak aspek yang dapat dijalani oleh setiap manusia. 2. Kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga yang homoseksual

hendaknya dapat menerima dan memahami alasan mereka memilih orientasi tersebut. Pada kebanyakan kasus, mereka juga tidak ingin mendapatkan keadaan tersebut, dan oleh karenanya, dukungan dari keluarga sangat membantu dalam usaha mereka untuk menjadi manusia yang bermakna

3. Kepada masyarakat, hendaknya dapat menerima bahwa homoseksual adalah bagian dari masyarakat dan keberadaan mereka bukanlah suatu hal yang baru. Diskriminasi dan stigmatisasi hendaknya dihilangkan karena dapat membuat kaum homoseksual terisolasi secara sosial.

4. Bagi para praktisi, terutama di bidang klinis, agar dapat memahami konflik dan kegelisahan yang dialami oleh orang-orang yang menyadari homseksualitasnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2001, Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta : Penerbit Tarawang Press.

Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Bastaman, H, D. (1996). Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi Dengan Pengalaman Tragis. Jakarta : Penerbit Paramadina.

Baudrillard, P. Jean. 1970, Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta : Penerbit Kreasi Wacana.

Carroll, Janell L. 2005. Sexuality Now Embracing Diversity. Belmont: Wadsworth-Thompson,Inc.

Chane, David. 1996, Life Style. Yogyakarta : Penerbit Jala Sutra.

Devito, Joseph A 1997. Komunikasi Antar Manusia, Kuliah Dasar. Edisi 5. Jakarta: Profesional Books.

Effendi, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bak.

Faki, Mansour. 1996, Analisis Gender. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Belajar Fatherstone, Mike (Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth). 2005, Postmodernisme

dan Budaya konsumen. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Belajar Gulo, W.2002. Metodologi Penelitian, Jakarta : Grasindo.

Hadi, Taufik. 2000. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Hartini dan Kartasaputra dalam puspita, 2009. skripsi : Komunikasi Waria di Desa (Studi Fenomologi Eksistensi Waria di Desa Talang Bunut Kecamatan Lebong), Bandung : Universitas Padjajaran

Ibrahim, Idi Subandy. 1997, Ecstasy Gaya Hidup : Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Bandung : Mizan

Kartajaya, Hermawan., Yuswohady, Madyani, Dewi., Christynar, Mathilda., Indrio, Bembi Dwi (2004) Metrosexual in Venus; Pahami Perilakunya, Bidik Hatinya, Menangkan Pasarnya. Jakarta. Penerbit MarkPlus&Co.

Kotler, P. Armstrong, G. (1997). Dasar-Dasar Pemasaran Jilid 1. Alih Bahasa: Alexander Sidoro. Jakarta. Prenhallindo.

Mowen, J.C., Minor, M. (2002). Perilaku Konsumen. Jakarta. Penerbit Erlangga. Megawangi, Ratna, Dr. 1999, Membicarakan Berbeda; Sudut Pandang Baru

Tentang Relasi Gender. Jakarta : Mizan

Moleong, Lexy. J. 2005, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya

Poewadarminta, W. J. S. 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia : diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bangsa. Jakarta : PN Balai Pustaka.

Poloma, Margaret M. 1994, Sosiologi Kontemporer. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Robertson, T.S, Zielenski, J, Ward, S. (1984). Consumer Behaviour. United State of America. Robertson&Robertson, Inc.

Setiadi, J. Nugroho. 2003, Prilaku Konsumen. Jakarta : Penerbit Prenada Media. Singarimbun, Masri. 1989, Metode Penelitian Survei. Jakarta : Lembaga


(6)

110

Soekanto, Soerjono, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Skripsiadi, Erwin J., Aning, Floriberta (2005) Penuntun Komunikasi dan Tingkah Laku Manusia Modern; Mengenal Budaya dan Tradisi yang Berbeda. Yogyakarta. Enigma Publishing.

Sumartono. (1998). Pengaruh Terpaan Iklan Shampoo di Televisi Terhadap Sikap dan Perilaku Konsumtif Remaja. Bandung : PPS-Unpad

Sumartono. (2002). Terperangkap dalam Iklan : Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi. Bandung. Penerbit Alfabeta.

Suriasumantri, J.S. (1996) Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

Tarigan, Megawati. 2011. Komunikasi Interpersonal Kaum Lesbian di Kota Pontianak Kalimantan Barat. Skripsi: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.

Sumber Internet

Alex. 2007. Jangan Pernah Merasa Sendirian.

http://www.rahasiabulan.blogspot.com (diakses tanggal 25 September 2014). Anonim. 2007. Homosexuality. www.wikipedia.org (diakses tanggal 20 Agustus

2014).

Gde. 2006. Kadar Homoseksualitas Bergradasi. http://www.KOMPAS Cyber Media.htm. (diakses tanggal 20 Agustus 2014)

Saraswati, Batari dan Floresiana Yasmin Indriasti. I Am Gay. http://www.Boulevard's Blog June 2007.htm.(diakses tanggal 25 September 2014)

http://eprints.Undip.ac.id//11145// Pengambilan-keputusan-menjadi-homoseksual pada- laki-laki-usia-dewasa-awal

http://netsains.com/2009/04/psikologi-remaja-karakteristik-dan-permasalahannya/ http://kuliahpsikologi.dekrizky.com/masa-remaja.

www.narth.com. 2014

www.pancarananugerah.org. 2014

---. Wikipedia “Pengertian Komunitas” ---. Sumber Depkes RI, Tahun 2008. www.edwies.com. Tipe-tipe Homoseksual

http://dokteriwan.blogspot.com/ unduh tanggal 10 April 2015

http://manajemenkomunikasi.blogspot.com/2014/08/sejarah-teori-interaksisimbolik. html /. Unduh tanggal 23.04.14