Gambaran Kesepian pada Gay di kota Medan

(1)

GAMBARAN KESEPIAN

PADA GAY DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

MATHEUS ANTONIUS PARLAUNGAN

021301072

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

NOVEMBER 2008

SKRIPSI


(2)

KATA PENGANTAR

Tiada yang lebih indah selain memanjatkan Puji-pujian dan Syukur Kepada ALLAH BAPA di SURGA atas penyertaan, kasih setia-NYA dan berkat-berkat-NYA yang tiada berkesudahan kepada peneliti sehingga peneliti dimampukan dan dikuatkan dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini.

Peneliti dalam kesempatan ini mengajukan judul “Gambaran Kesepian pada

Gay di kota Medan” guna memenuhi persyaratan ujian sarjana psikologi. Proses

penyusunan skripsi merupakan suatu proses panjang yang membawa peneliti dapat belajar lebih jauh lagi mengenai ilmu psikologi itu sendiri beserta aplikasinya. Banyak makna dan pelejaran yang peneliti dapatkan dari proses pengerjaan skripsi ini, yang mungkin tidak akan peneliti dapatkan di bangku kuliah.

Atas bantuan dan pemikiran selama ini yang diberikan kepada peneliti dalam pengerjaan skripsi dan selama perkuliahan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua Orang Tuaku, terlebih untuk Ibunda, terima kasih untuk setiap doa-doa yang tak pernah putus selama peneliti menyusun skripsi ini. Terima kasih untuk setiap perhatian, kasih sayang, dan dorongan yang mama berikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. U are The bEst Mom for Me…. Love You MoM….

2. Bapak dr.Chairul Yoel, Sp.A(K), selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Arliza J Lubis, M.Si selaku dosen pembimbing seminar dan skripsi yang telah meluangkan waktu dan tenaga dalam memberikan bimbingan kepada peneliti dalam mengerjakan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

4. Ibu Josetta MRT, M.Psi selaku ketua bagian Psikologi Klinis dan juga sebagai Dosen Penguji pada sidang Skripsi. Terima kasih untuk waktu dan kesediaan Ibu untuk menjadi penguji pada sidang skripsi saya. Tuhan Memberkati Ibu..


(3)

5. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog, selaku Pembantu Dekan I dan juga sebagai Dosen Penguji pada Sidang Skripsi. Terima kasih untuk watu dan kesediaan Ibu untuk menjadi penguji pada sidang skripsi saya.

6. Kepada Bapak Prof. dr. T. Bahri Anwar Djohan, Sp. JP(K) dan Ibu, terima kasih untuk perhatiannya dan dukungannya kepada Ananda, sehingga ananda di mampukan untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Zulkarnain, Psi dan Kak Silvi S.Psi selaku dosen pembimbing akademik peneliti dalam mengikuti perkuliahan selama ini yang memberikan arahan untuk dapat berhasil menyelesaikan pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

8. Kepada seluruh Staff Pengajar Fakultas Psikologi yang telah mendidik, dan memberikan ilmunya kepada peneliti secara langsung ataupun tidak langsung tidak ada yang dapat peneliti ucapkan selain terima kasih yang sebesar-besarnya.

9. Kepada Bapak Aswan, Pak Iskandar, Ibu Titiek, Kak Arie dkk, selaku pegawai Fakultas Psikologi yang selam ini telah banyak membantu peneliti dalam urusan administrasi akademik dan kemahasiswaan.

10.Kepada Opung Alm. dr. A. Naiborhu M.Sc , terima kasih opung untuk waktunya dalam memberikan pengetahuan mengenai faal. That moment will be in my mind always..

11.Kepada Keluarga Besar Naiborhu, Teruntuk Opung semua, terima kasih untuk perhatian yang diberikan, terima kasih untuk semangat dan motivasi, terima kasih untuk materi yang opung pernah berikan sehingga dapat dipergunakan untuk keperluan studi dan juga dalam menyelesaikan skripsi ini. Tuhan kiranya menambahkan umur panjang dan kesehatan kepada opung semua… Love…

12.Kepada Tulang Jend. (Purn) Luhut B. Panjaitan dan Nantulang Devi Br. Simatupang, terima kasih tulang dan nantulang buat semua yang diberikan baik dukungan doa dan materil yang telah tulang dan nantulang berikan selama ketika masih dibangku kuliah hingga saat ini sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.


(4)

Tuhan Menambahkan kekuatan dan kesehatan didalam pekerjaan tulang dan nantulang. Tuhan Memberkati.

13.Kepada Amang Tua, Drs. B. Simanjuntak dan Inang Tua E. Br Limbong, terima kasih buat doa-doanya dan dukungannya. Akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan..

14.Teruntuk Abangku dan Kakak Iparku, Terima kasih buat waktunya selama ini ya.. udah mengantarkan ke UI, dan Taruma Negara serta menunggu berjam-jam hihihi… thanks for that… makasih juga buat tumpangan rumahnya selama di Jakarta hehehehe…. God Bless both of you…

15.Teruntuk kakak ku dr. Mutira M.S thanks untuk tetep ingetin kerjain skripsi.. dan larangan merokoknya hihihi… :p dan buat abang ku Marshall Simanjutak, thx buat pinjaman komputernya ya..

16.Untuk Sepupu2ku, Grace Panjaitan, thx untuk supprotnya dan tawa lepas dimalam hari ketika bingung mau nulis apa Love you… teruntuk kak Lydia, Kak Greta yang selalu dengan masukan positifnya, Kak Juni dan B’Dicky buat doa2nya, Polin buat usaha nelponnya… thanx for all…

17.Buat sahabat-sahabat Angkatan 2002, GanGuan Jiwa Groups + Peh,Lia,Ika, berikut Fredy, Tamma + Istri, Edo, Roy, Tessa + Hamdi, Endang,Septa,Vey, Ika,Lydia dan masih banyak lagi Cuma ga muat di taro disini, thanx buat kalian semua

18.Grace Marbun, S.Psi dan Bram Jaya Nailendra Panjaitan, Thanx buat waktunya selama ini dan rumahnya juga sebagai tempat basecamp ya.. Tuhan Memberkati..

19.Untuk para seniorku, yang telah membantu dalam penyelesaian studi selama ini begitu juga untuk bantuan dalam skripsi, saya haturkan terima kasih.

20.Untuk juniorku, Khususnya Rima Z. Audha, Nella, Mimi, Nike, dan Bobby yang selalu stay tune dalam memberikan dukungan bahkan bahan-bahan.. thx a lot for helping me …


(5)

21.Buat orang-orang yang pernah membantu saya dalam mengerjakan skripsi ini, yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih untuk waktunya, terima kasih buat pemikirannya juga dan tenaga dalam membantu saya menyelesaikan skripsi ini..

22.Buat para subjek penelitian, terima kasih atas kesediaan kalian membantu saya dalam penelitian ini, kiranya kalian mendapatkan apa yang kalian inginkan…

23.Buat yang ada di parkiran dan di kantin Fakultas Psikologi, terutama B’Syarial, B’Hendra dan B’Sono… terima kasih buat dukungannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

24.Buat Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, tempat peneliti menimba ilmu dan pengetahuan selama ini, semoga makin jaya dan berkembang selalu.

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh daari sempurna sehingga kritik dan sarannya sangat diharapkan agar dalam penelitian berikutnya dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Meskipun demikian, peneliti berharap agar hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua.

Medan, 12 November 2008


(6)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara November, 2008

Matheus Antonius Parlaungan : 021301072 Gambaran Kesepian pada Gay di kota Medan Xi + 69 Halaman, 17 tabel, 4 lampiran Bibliografi (1978-2008)

Homoseksual (gay) merupakan orientasi seksual dimana laki-laki memiliki ketertarikan atau minat untuk mengembangkan hubungan yang romantis dengan laki-laki. Akan tetapi masyarakat di Indonesia menganut pada orientasi seksual yang heteroseksual yaitu laki-laki menjalin hubungan yang romantis dengan perempuan, dan perempuan menjalin hubungan yang romantis dengan laki-laki.

Oleh sebab itu, muncul beberapa diskriminasi yang terjadi dan dialami oleh kaum homoseksual (gay) yang membuat kaum tersebut mengalami penolakan, takut membuka orientasi seksualnya, dan takut untuk membina hubungan dengan orang lain di lingkungan sosialnya. Diskriminasi , penolakan, serta takut untuk membina hubungan sosial membuat individu gay mengalami kesepian. Dimana kesepian dapat diartikan sebagai ketidaknyamanan subjektif yang dirasakan apabila hubungan-hubungan sosial yang dimiliki tidak memiliki arti penting, dimana kesepian dapat bersifat kuantitatif (sedikit atau tidak memiliki teman dari yang diinginkan) dan kualitatif (merasa bahwa hubungan sosial yang dibina kurang memuaskan). Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran kesepian pada gay di kota medan.

Variabel dalam penelitian ini adalah kesepian yang di ukur menggunakan skala kesepian. Subjek dalam penelitian ini adalah homoseksual pria (gay) di kota medan. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak 60 orang dengan lokasi penelitian di Kota Medan, Sumatera Utara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesepian pada gay di kota Medan berada pada tingkat tinggi, dapat diartikan bahwa gay di kota Medan mengalami ketidaknyamanan subjektif dan merasakan bahwa hubungan-hubungan yang dibina baik kuantitatif atau kualitatif masih sangat kurang.

Adapun saran peneliti untuk masyarakat kota Medan, agar lebih memahami akan gay dan tidak melakukan diskriminasi sehingga gay di kota Medan dapat lebih


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ………. i

DAFTAR ISI ………... v

DAFTAR TABEL ……….... ix

DAFTAR LAMPIRAN ……… xi

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

1.A. Latar Belakang ... 1

1.B. Perumusan Masalah ………... 5

1.C. Tujuan Penelitian ………... 5

1.D. Manfaat Penelitian ……….... 5

1.E. Sistematika Penulisan ...……… 6

BAB II LANDASAN TEORI ……… 8

II.A. Kesepian ……… 8

II.A.1 Definisi Kesepian ……….. 8

II.A.2 Karakteristik Kesepian ……….. 10

II.A.3 Jenis-Jenis Kesepian ……….. 12

II.A.4 Penyebab Kesepian ……… 13

II.A.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesepian ……… 17

II.A.6 Perasaan Kesepian ………. 18


(8)

II.B. Homoseksual ……….. 20

II.B.1 Identitas Jenis Kelamin ……….. 21

II.B.2 Peran Jenis Kelamin ……….. 23

II.B.3 Orientasi Jenis Kelamin ………. 25

II.B.4 Homoseksual (gay) ………. 26

II.B.5 Faktor-faktor penyebab Homoseksual ……… 28

II.B.6 Masalah-Masalah yang dialami kaum Homoseksual ………. 29

II.B.7 Gambaran Kesepian pada Gay di Kota Medan ………... 30

BAB III METODE PENELITIAN ……… 33

III.A. Variabel Penelitian ……….. 33

III.B. Definisi Operasional ……… 33

III.C. Pertanyaan Penelitian ……….. 34

III.D. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ……… 35

III.D.1 Populasi dan Sampel ………... 35

III.D.2 Karakteristik Populasi ………. 35

III.D.3 Metode Pengambilan Sampel ……….. 36

III.E. Alat Ukur Atau Instrumen Pengukuran ……….. 36

III.F. Uji Coba Alat Ukur ………. 38

III.F.1 Validitas Alat Ukur ……….. 39

III.F.2 Reliabilitas Alat Ukur ………. 39


(9)

III.F.4 Prosedur Pelaksanaan Penelitian ………. 41

III.F.5 Tahap Pelaksanaan ……….. 43

III.F.6 Tahap Pengolahan Data ………... 43

III.G. Metode Analisis Data ………... 43

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ………. 46

IV.A. Gambaran Subjek Penelitian ……… 46

IV.A.1 Usia Subjek Penelitian ………. 46

IV.A.2 Memiliki atau Tidak Memiliki Pasangan ………. 47

IV.A.3 Jenis Pekerjaan ………. 48

IV.A.4 Tingkat Pendapatan ……….. 48

IV.B. Hasil Penelitian ………. 49

IV.B.1 Hasil Uji Normalitas ………. 49

IV.B.2 Hasil Utama Penelitian ………. 50

IV.B.3 Hasil Tambahan Penelitian ………... 54

IV.B.3.a. Gambaran Kesepian pada gay di kota Medan Berdasarkan Usia ……… 55

IV.B.3.b. Gambaran Kesepian pada gay di kota Medan Berdasarkan memiliki pasangan atau tidak ………. 55

IV.B.3.c. Gambaran Kesepian pada gay di kota Medan Berdasarkan Jenis Pekerjaan ……… 56


(10)

Berdasarkan Tingkat Pendapatan ………. 57

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ……….. 59

V.A Kesimpulan ……….. 59

V.B. Diskusi ………. 61

V.C. Saran ………. 64

V.C.1 Saran Metodologis ………... 64

V.C.2 Saran Praktis ………. 64


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Distribusi Aitem-aitem Skala Kesepian UCLA V.3

Sebelum Uji Coba ……… 38

Tabel 2 Distribusi Aitem-aitem Skala Kesepian UCLA V.3

Setelah Uji Coba ……….. 41

Tabel 3 Penyebaran Subjek Berdasarkan Usia ………. 46

Tabel 4 Penyebaran Subjek Berdasarkan

Memiliki Pasangan atau Tidak Memiliki Pasangan ………. 47

Tabel 5 Penyebaran Subjek Bedasarkan Jenis Pekerjaan ……….. 48

Tabel 6 Penyebaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendapatan ………….. 49

Tabel 7 Hasil Uji Normalitas ……….. 50

Tabel 8 Gambaran Kesepian pada Gay di kota Medan ……… 50

Tabel 9 Hasil Kategorisasi Tingkat Kesepian

pada Gay di kota Medan ………. 51

Tabel 10 Gambaran Tingkat Kesepian Emosional

Pada Gay di kota Medan ……….. 52

Tabel 11 Hasil Kategorisasi Tingkat Kesepian Emosional

Pada Gay di kota Medan ……….. 52

Tabel 12 Gambaran Tingkat Kesepian Sosial


(12)

Tabel 13 Hasil Kategorisasi Tingkat Kesepian Sosial

Pada Gay di kota Medan ………. 54

Tabel 14 Gambaran Kesepian pada Gay Berdasarkan Usia ……….. 55

Tabel 15 Gambaran Kesepian pada Gay Berdasarkan

Memiliki Pasangan atau Tidak Memiliki Pasangan ……… 55

Tabel 16 Gambaran Kesepian pada Gay berdasarkan Jenis Pekerjaan …….. 56

Tabel 17 Gambaran Kesepian pada Gay berdasarkan


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN

A. Data Hasil Uji Coba Skala Kesepian

B. Gambaran Umum Subjek Penelitian

C. Data Hasil Penelitian


(14)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara November, 2008

Matheus Antonius Parlaungan : 021301072 Gambaran Kesepian pada Gay di kota Medan Xi + 69 Halaman, 17 tabel, 4 lampiran Bibliografi (1978-2008)

Homoseksual (gay) merupakan orientasi seksual dimana laki-laki memiliki ketertarikan atau minat untuk mengembangkan hubungan yang romantis dengan laki-laki. Akan tetapi masyarakat di Indonesia menganut pada orientasi seksual yang heteroseksual yaitu laki-laki menjalin hubungan yang romantis dengan perempuan, dan perempuan menjalin hubungan yang romantis dengan laki-laki.

Oleh sebab itu, muncul beberapa diskriminasi yang terjadi dan dialami oleh kaum homoseksual (gay) yang membuat kaum tersebut mengalami penolakan, takut membuka orientasi seksualnya, dan takut untuk membina hubungan dengan orang lain di lingkungan sosialnya. Diskriminasi , penolakan, serta takut untuk membina hubungan sosial membuat individu gay mengalami kesepian. Dimana kesepian dapat diartikan sebagai ketidaknyamanan subjektif yang dirasakan apabila hubungan-hubungan sosial yang dimiliki tidak memiliki arti penting, dimana kesepian dapat bersifat kuantitatif (sedikit atau tidak memiliki teman dari yang diinginkan) dan kualitatif (merasa bahwa hubungan sosial yang dibina kurang memuaskan). Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran kesepian pada gay di kota medan.

Variabel dalam penelitian ini adalah kesepian yang di ukur menggunakan skala kesepian. Subjek dalam penelitian ini adalah homoseksual pria (gay) di kota medan. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak 60 orang dengan lokasi penelitian di Kota Medan, Sumatera Utara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesepian pada gay di kota Medan berada pada tingkat tinggi, dapat diartikan bahwa gay di kota Medan mengalami ketidaknyamanan subjektif dan merasakan bahwa hubungan-hubungan yang dibina baik kuantitatif atau kualitatif masih sangat kurang.

Adapun saran peneliti untuk masyarakat kota Medan, agar lebih memahami akan gay dan tidak melakukan diskriminasi sehingga gay di kota Medan dapat lebih


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. LATAR BELAKANG

Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan. Secara biologis manusia dengan mudah dibedakan sebagai laki-laki dan perempuan. Di dunia ini selalu ada norma, ukuran standar untuk perlakukan pada masing–masing jenis kelamin dan perilaku yang diharapkan dari masing–masing jenis kelamin (Sarwono, 1999) yang dikenal dengan peran jenis kelamin.

Menurut Carroll (2005) peran jenis kelamin merupakan sekumpulan atribut sikap, trait, kepribadian dan perilaku yang dianggap sesuai oleh masyarakat untuk masing-masing jenis kelamin. Peran jenis kelamin bisa diartikan sebagai perangkat tingkah laku dan karakteristik lainnya yang dianggap sesuai dan diharapkan bagi laki-laki dan perempuan.

Hal ini berlaku pada individu dewasa yang dituntut untuk memiliki pasangan seksual yang sesuai dengan harapan masyarakat. Secara umum, laki-laki diharapkan untuk berpasangan dengan perempuan dan demikian sebaliknya. Dalam konteks orientasi jenis kelamin hal ini dikenal dengan istilah heteroseksual. Akan tetapi ternyata ada pula individu yang tertarik dan sayang kepada laki-laki dan perempuan secara bersamaan disebut juga dengan istilah biseksual, dan tertarik kepada seseorang dengan jenis kelamin yang sama disebut juga dengan istilah homoseksual, dimana hal ini tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat (Carroll, 2005).


(16)

Penelitian seorang pakar seks di Amerika menemukan 10% dari laki-laki penduduk di Amerika adalah homoseksual sedangkan 5% perempuan adalah lesbian (Damping, 2000), sementara keberadaan kaum homoseksual di Indonesia bila dibandingkan di negara lain sangat berbeda, karena keberadaan kaum homoseksual di Indonesia sangat tertutup. Oetomo (2003) berpendapat bahwa paling tidak ada sekitar 10% dari jumlah penduduk Indonesia adalah individu homoseksual. Hal ini bukanlah suatu hal yang baru, karena homoseksual itu sendiri telah ada sejak jaman dahulu kala.

Laki-laki homoseksual merasa dan menyadari bahwa dirinya adalah seorang laki-laki, yang tertarik kepada sesama jenis. Oleh karena itu, seorang gay tetap berpenampilan maskulin seperti layaknya laki-laki. Hal ini berbeda dengan waria, yang merasa dirinya adalah seorang perempuan walaupun secara fisik memiliki organ kelamin laki-laki normal. Karena merasa dirinya perempuan, maka waria berpenampilan seperti perempuan dan secara normal tertarik pada laki-laki (Subroto, 2005).

Dari segi psikiatri ada dua macam homoseksual, yakni homoseksual ego sistonik (sinkron dengan egonya) dan ego distonik (tidak sinkron dengan egonya). Seorang homoseks ego sistonik adalah seorang homoseksual yang tidak merasa terganggu oleh orientasi seksualnya, tidak ada konflik bawah sadar yang ditimbulkan, serta tidak ada desakan, dorongan atau keinginan untuk mengubah orientasi seksualnya. Hasil penelitian beberapa ahli menunjukkan, orang-orang homoseksual ego sistonik mampu mencapai status pendidikan, pekerjaan, dan ekonomi sama tingginya dengan orang-orang bukan homoseksual, bahkan kadang-kadang lebih tinggi (Budijanto dalam Intisari, 2001).


(17)

Sebaliknya, seorang homoseksual ego distonik adalah individu homoseksual yang mengeluh dan merasa terganggu akibat konflik psikis yang dialaminya. Individu senantiasa tidak atau sedikit sekali terangsang oleh lawan jenis dan hal itu menjadi penghambat untuk memulai dan mempertahankan hubungan heteroseksual yang sebetulnya didambakannya. Dorongan homoseksual yang dirasakannya menyebabkan dia merasa cemas, tidak disukai dan sedih. Konflik psikis tersebut menyebabkan perasaan bersalah, malu, cemas serta perasaan tertekan atau depresi. Umumnya individu homoseksual ego distonik adalah individu yang merasa takut, bersalah, tidak dapat menerima dirinya sebagai seorang homoseksual dan berpura-pura sebagai seorang yang heteroseksual. Kondisi ini mengakibatkan individu homoseksual ego distonik dianggap sebagai individu yang mengalami gangguan psikoseksual (Budijanto dalam Intisari, 2001).

Adanya diskriminasi terhadapa kaum gay di Indonesia secara umum memberikan rasa ketidaknyamanan secara langsung kepada kaum gay. Ditambah dengan adanya kasus-kasus yang bermunculan seperti mutilasi yang dilakukan oleh Ryan atau pembunuhan terhadap karyawan BPPN oleh dua bersaudara yang juga gay

menambah rentetan panjang akan buruknya pandangan masyarakat terhadap kaum

gay serta semakin menimbulkan perasaan cemas, malu, merasa tidak disukai, bersalah, depresi dan takut.

Seperti halnya yang disampaikan oleh Ridho dalam kutipan pada harian sinar harapan “Akibatnya, kaum gay semakin kehilangan ketenangan dan kedamaian menjalani kehidupannya. Dia menjelaskan banyak laki-laki pencinta sesama jenis harus mengalami ketakutan. Bukan hanya takut teror melalui SMS, mereka juga takut pada razia atau penggerebekan oleh masyarakat, aparat kepolisian, dan kelompok agama tertentu”(Harian Sinar Harapan, 08 juli 2008).


(18)

Munculnya perasaan tidak disukai, rasa bersalah, cemas, malu, dan depresi merupakan keadaan mental dan emosional yang dapat diasosiasikan dengan kesepian (Bruno, 1997). Munculnya perasaan tersebut menyebabkan kaum homoseksual sulit untuk membina hubungan-hubungan sosial yang bersifat kualitatif dan juga bersifat kuantitatif sehingga mengalami kesepian. Hal ini di alami oleh kaum homoseksual ketika mereka tidak mampu untuk menjadi diri sendiri pada situasi-situasi yang bersifat umum, mereka akan merasa kesepian dan tidak berguna (D’Augelli, Grossman & Hershberger, 2001).

Kesepian didefinisikan sebagai suatu tanda peringatan bagi seseorang bahwa ia memiliki kekurangan dalam hubungan sosial, yang dapat muncul karena kualitas atau kuantitas seseorang yang sedikit dalam melakukan hubungan sosial (Perlman & Peplau, 1982). Myers (1999) mengatakan bahwa kesepian adalah kesadaran yang menyakitkan bahwa hubungan sosial yang dibina lebih sedikit dan kurang berarti dibandingkan dengan yang diharapkan.

Weiss (dalam De Jong Gierveld dan Tilburg, 1999) menyatakan ada dua jenis kesepian. Pertama, emotional loneliness dimana individu mengalami kesepian yang diakibatkan oleh tidak adanya ikatan yang dekat atau intim (intimate attachment) dengan seseorang sehingga tidak dapat bergantung kepada siapapun. Hubungan yang dimiliki bersifat kurang memuaskan dan merasa tidak dipahami oleh lingkungan sosial. Kedua, social loneliness dimana individu mengalami kesepian akibat tidak adanya teman, saudara ataupun orang lain dari jaringan sosial dimana aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan bisa saling dibagi dan adanya suatu penolakan dari lingkungan.

Menurut Myers (1999) orang yang mengalami kesepian secara kronis terlihat sering menyalahkan diri atas hubungan sosial yang buruk, selalu merasa sulit untuk


(19)

memperkenalkan diri, memiliki self esteem yang rendah, dan menganggap kegagalan dalam hubungan interpersonal merupakan cacat yang tidak dapat diubah dalam kepribadian.

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti hendak melihat gambaran kesepian pada pria homoseksual (gay).

I.B. Permasalahan

Dari seluruh penjelasan latar belakang diatas, diperoleh pertanyaan utama yang akan diteliti yaitu

1. Bagaimana gambaran kesepian pada gay di kota Medan.

2. Bagaimana gambaran kesepian emosional pada gay di kota Medan. 3. Bagaimana gambaran kesepian sosial pada gay di kota Medan

4. Bagaimana gambaran kesepian pada gay di kota Medan berdasarkan usia, memiliki atau tidak memiliki pasangan, pekerjaan, dan tingkat penghasilan.

I.C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesepian pada gay di kota Medan.

I.D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian ilmu dan pengetahuan dalam bidang Psikologi Klinis, khususnya tentang Gambaran Kesepian pada Gay di Kota Medan


(20)

2. Manfaat Praktis

Memberikan informasi kepada kaum homoseksual tentang kesepian yang dialami serta dampak negatif yang ditimbulkan, agar selanjutnya kaum gay

tahu bagaimana mengatasi kesepian yang mereka alami tersebut.

I.E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini adalah :

BAB I : Pendahuluan

Bab ini memuat penjelasan tentang latar belakang penelitian mengenai kesepian pada laki-laki homoseksual, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan. Teori-teori yang dimuat adalah teori yang menjelaskan mengenai kesepian, identitas jenis kelamin, peran jenis kelamin, orientasi jenis kelamin, dan homoseksual.

BAB III: Metodologi Penelitian

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, metode pengambilan sampel, teknik pengumpulan data, serta metode analisis data yang digunakan.


(21)

BAB IV: Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

Pada bab ini dipaparkan uraian hasil penelitian dan analisis data yang terdiri dari gambaran subjek penelitian, hasil utama penelitian dan hasil tambahan penelitian.

BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Pada bab ini dipaparkan kesimpulan dari hasil penelitian, berikut pembahasan diskusi, serta saran yang bersifat metodologis serta saran bersifat praktis.


(22)

BAB II

LANDASAN TEORI II.A. Kesepian

II.A.1 Definisi Kesepian

Hampir semua orang, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan pernah merasakan dan mengalami kesepian. Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli untuk menjelaskan mengenai kesepian.

Peplau dan Perlman (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000) mengartikan kesepian sebagai ketidaknyamanan subjektif yang dirasakan bila hubungan-hubungan sosial yang dimiliki tidak memiliki arti penting, dimana kesiapan ini dapat bersifat kuantitatif (sedikit atau tidak memiliki teman dari yang diinginkan) dan kualitatif (merasa bahwa hubungan sosial yang dibina hanya bersifat seadanya atau dirasa kurang memuaskan).

Baron dan Byrne (2000) mengemukakan bahwa kesepian merupakan keadaan emosional yang berasal dari keinginan untuk memiliki hubungan interpersonal yang dekat, tetapi tidak bisa mendapatkannya.

Bruno (1997) mengatakan, kesepian lebih dari sekedar kata. Kesepian adalah suatu pengalaman personal yang sangat menekan. Hidup dalam kesepian sama halnya hidup dipadang gurun yang gersang, dimana kita haus secara emosional dan psikologis.

Weiss (dalam Peplau & Perlman, 1982) mengatakan bahwa kesepian tidak disebabkan karena sendiri, tetapi dikarenakan tidak memiliki seseorang yang berarti


(23)

dalam suatu hubungan. Kesepian nampak sebagai respon dari ketidakhadiran suatu hubungan.

Perlman dan Peplau (dalam Brehm, 2002) menyatakan bahwa kesepian merupakan suatu perasaan ketidakpuasan atau kehilangan yang dihasilkan dari adanya ketidakseimbangan antara hubungan sosial yang kita inginkan dengan hubungan sosial yang kita alami. Pernyataan ini didukung oleh Gierveld (1989) yang menyatakan bahwa kesepian merupakan suatu keadaan dimana hubungan yang ada lebih sedikit daripada hubungan yang diharapkan, sehingga keintiman yang diharapkan tidak tercapai.

Peplau dan Perlman (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000) mengatakan bahwa kesepian terjadi sebagai akibat berkurangnya hubungan yang berarti dengan orang lain, yang kemudian akan menimbulkan keadaan yang tidak menyenangkan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Wrightsman (1993) bahwa ada tiga definisi utama dari kesepian, pertama, kesepian merupakan pengalaman subjektif seseorang. Kedua, kesepian secara umum dihasilkan karena berkurangnya hubungan sosial seseorang. Ketiga, kesepian adalah keadaan yang tidak menyenangkan.

Taylor, Peplau dan Sears (2000) mengatakan bahwa kesepian dapat berkisar dari perasaan ketidaknyamanan yang ringan sampai yang berat, dan perasaan sedih yang intens dan menetap. Menurut Wrightsman (dalam Dane, Deux & Wrightsman, 1993) kesepian merupakan pengalaman subjektif dan tergantung pada bagaimana interpretasi individu pada suatu kejadian.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para tokoh diatas, dapat disimpulkan bahwa kesepian adalah perasaan tidak nyaman, dan tidak terpuaskan yang diakibatkan oleh sedikit atau tidak adanya ikatan emosional, hubungan sosial


(24)

dan hubungan yang berarti yang dimiliki individu daripada yang diinginkan oleh individu. Dengan kata lain kesepian adalah suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain.

II.A.2. Karakteristik Kesepian

Salah satu atau beberapa keadaan mental dan emosional yang berhubungan dengan kesepian yaitu (Bruno, 1997) :

1. Isolasi

Isolasi adalah keadaan dimana seseorang merasa terasing dari tujuan-tujuannya dan nilai-nilai dominan dalam masyarakat. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya isolasi yaitu : keterguncangan yang disebabkan oleh kepindahan, keyakinan bahwa seseorang lebih unggul dibanding rekan yang lainnya, serta pekerjaan seperti robot.

2. Penolakan

Penolakan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat diterima, diusir, ata dihalau oleh lingkungannya. Seseorang yang kesepian akan merasa dirinya ditolak dan ditinggalkan walaupun berada ditengah-tengah keramaian. Hal ini dialami oleh kebanyakan laki-laki dan perempuan homoseksual ketika berusaha untuk membuka diri dan menyatakan dirinya sebagai gay atau lesbian kepada keluarga, teman, dan lingkungannya (Savin & Cohen, 1996).


(25)

3. Merasa disalah mengerti

Ini merupakan suatu keadaan dimana seseorang seakan-akan dirinya disalahkan dan tidak berguna. Seseorang yang selalu merasa disalah mengerti dapat menimbulkan rasa rendah diri, rasa tidak percaya diri dan merasa tidak mampu untuk bertindak.

4. Tidak mempunyai sahabat

Tidak mempunyai sahabat diibaratkan tidak ada seseorang yang berada disampingnya, tidak ada hubungan, tidak dapat berbagi. Orang yang paling tidak berharga adalah orang yang tidak memiliki sahabat.

5. Bosan

Bosan merupakan suatu perasaan dimana seseorang merasa jenuh, tidak menyenangkan, tidak menarik, merasa lemah. Orang-orang yang mudah bosan biasanya orang-orang yang tidak pernah menikmati keadaan-keadaan yang ada.

6. Merasa tidak dicintai

Merasa tidak dicintai adalah suatu keadaan dimana sesorang tidak mendapatkan kasih sayang, tidak diperlakukan secara lembut dan tidak dihormati. Merasa tidak dicintai menjauhkan seseorang dari persahabatan dan kerjasama.

7. Malas membuka diri

Malas membuka diri adalah suatu keadaan dimana seseorang malas menjalin keakraban, takut terluka, senantiasa merasa cemas dan takut, jangan-jangan orang lain akan melukainya. Savin dan Cohen (1996) mengatakan pria homoseksual


(26)

malas membuka diri ketika bertemu dengan orang yang baru dikenal dan selalu merasa cemas jika orang lain mengetahui bahwa dirinya gay.

8. Gelisah

Gelisah adalah sautu keadaan dimana seseorang merasa resah, tidak nyaman dan tentram didalam hati atau merasa selalu khawatir, tidak senang, dan perasaan galau dilanda cemas. Kondisi ini dialami sebagian besar pria homoseksual ketika berusaha untuk membuka diri atau memutuskan untuk tetap merahasiakan orientasi seksual mereka. (Savin & Cohen, 1996).

II.A.3. Jenis-jenis Kesepian

Weiss (dalam De jong Gierveld & Tillburg, 1999) mengemukakan bahwa di dalam perasaan kesepian terdapat dua komponen yaitu kesepian emosional (emotional loneliness) dan kesepian sosial (social loneliness) yaitu :

1. Kesepian Emosional (Emotional loneliness)

Merupakan kesepian yang diakibatkan oleh tidak adanya ikatan yang dekat atau intim (intimate attachment) dengan seseorang sehingga tidak dapat bergantung kepada siapapun. Hubungan yang ada kurang memuaskan, atau merasa lingkungan sosial kurang memahaminya.

2. Kesepian Sosial (social loneliness)

Merupakan kesepian yang diakibatkan oleh tidak adanya teman, saudara atau orang lain dari jaringan sosial dimana aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan bisa saling dibagi dan adanya suatu penolakan dari lingkungan sosial.


(27)

Shaver, Furman & Buhrmeister (dalam Wrightsman, 1993), mengemukakan ada dua jenis tipe kesepian yang lain berdasarkan sifat kemenetapannya, yaitu :

1. Kesepian yang disebabkan oleh sifat (trait loneliness)

Merupakan kesepian yang cenderung menetap (stable pattern), sedikit berubah, dan biasanya dialami oleh orang yang memiliki harga diri (self esteem) yang rendah, dan sedikit memiliki interaksi sosial yang berarti.

2. Kesepian yang disebabkan oleh keadaan tertentu (state loneliness)

Merupakan kesepian yang bersifat temporer, biasanya disebabkan oleh pengalaman-pengalaman dramatis dalam kehidupan seseorang.

Berdasarkan penjelasan tipe-tipe kesepian diatas maka kesepian secara emosional dapat dihubungkan dengan kesepian yang disebabkan oleh trait loneliness, kesepian disebabkan karena sedikit memiliki interaksi yang berarti. Sedangkan kesepian secara sosial dihubungkan dengan kesepian yang disebabkan state loneliness, kesepian disebabkan karena adanya keinginan untuk memiliki teman.

II.A.4. Penyebab Kesepian

Menurut Brehm (2002) ada empat hal yang menyebabkan seseorang mengalami kesepian, yaitu :

1. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki seseorang

Menurut Brehm (2002) hubungan seseorang yang tidak adekuat akan menyebabkan seseorang merasa tidak puas akan hubungan yang dimiliki. Ada banyak alasan seseorang merasa tidak puas dengan hubungan (relationship) yang tidak


(28)

adekuat. Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang yang kesepian sebagai berikut :

a. Being untouched : tidak memiliki pasangan, tidak memiliki partner seksual, berpisah dengan pasangannya atau pacarnya.

b. Alienation : merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan dan tidak memiliki teman dekat. Perasaan-perasaan seperti merasa berbeda, dan tidak memiliki teman dekat umumnya dialami oleh pria homoseksual dan membuat pria homoseksual merasa kesepian (Savin & Cohen, 1996).

c. Being alone : pulang kerumah tanpa ada yang menyambut, selalu sendiri.

d. Forced isolation : dikurung dalam rumah, dirawat inap dirumah sakit, tidak bisa kemana-mana.

e. Dislocation : jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan atau sekolah baru, sering pindah rumah, sering melakukan perjalanan.

2. Terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Menurut Brehm (2002) kesepian juga dapat muncul karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan, sehingga orang tersebut tidak mengalami kesepian. Tetapi disaat lain hubungan tersebut tidak lagi memuaskan, karena orang itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut. Menurut Peplau (dalam Brehm, 2002) perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber, yaitu :


(29)

sedang sedih. Bagi beberapa orang cenderung membutuhkan orangtuanya ketika sedang senang, dan cenderung membutuhkan teman-temannya bila sedang sedih.

b. Usia. Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan seseorang membawa berbagai perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginan orang itu (desire) terhadap suatu hubungan. Jenis persahabatan yang cukup memuaskan ketika seseorang berusia 15 tahun mungkin tidak lagi memuaskan ketika orang tersebut berusia 25 tahun.

c. Perubahan situasi. Banyak orang yang tidak mau menjalin hubungan emosional yang dekat dengan orang lain ketika mereka sedang membina karir. Namun, ketika karir sudah mapan orang tersebut akan dihadapkan pada kebutuhan yang besar akan suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional.

Menurut Brehm (2002) pemikiran, harapan dan keinginan seseorang terhadap hubungan yang dimiliki dapat berubah. Jika hubungan yang dimiliki seseorang tidak ikut berubah sesuai dengan pemikiran, harapan dan keinginannya maka orang tersebut akan mengalami kesepian.

3. Self-esteem dan causal attribution.

Kesepian berhubungan dengan self-esteem yang rendah. Orang yang memiliki

self-esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi yang berisiko secara sosial (misalnya berbiacara didepan umum dan berada dikerumunan orang yang tidak dikenal). Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus menerus, akan mengalami kesepian.

Menurut Peplau (dalam Brehm, 2002) bagaimana seseorang mengatribusikan penyebab kesepian (causal attribution) dapat membuat kesepian tersebut semakin


(30)

kuat (intens) dan menetap. Orang yang percaya bahwa kesepian yang dialaminya berasal/disebabkan oleh dirinya sendiri akan membuat kesepian yang dialaminya semakin kuat dan cenderung menetap.

Atribusi internal seperti ini akan membuat orang tersebut mengalami depresi, menghambat orang tersebut untuk bertemu dengan orang lain dan menghambat orang tersebut untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini akan membuat kesepian orang tersebut semakin meningkat.

4. Perilaku interpersonal.

Perilaku interpersonal seseorang yang kesepian akan menyulitkan orang tersebut untuk membangun suatu hubungan dengan orang lain. Dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian, orang yang mengalami kesepian akan menilai orang lain secara negatif, mereka tidak begitu menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan dan intensi (kecenderungan untuk berperilaku) orang lain secara negatif, dan cenderung memegang sikap-sikap yang bermusuhan (hostile).

Orang yang kesepian cenderung terhambat dalam keterampilan sosial, cenderung pasif bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami ksesepian dan ragu-ragu dalam mengekspresikan pendapat didepan umum.

Orang yang kesepian cenderung tidak responsif dan tidak sensitif secara sosial. Orang yang kesepian juga cenderung lambat dalam membangun keintiman hubungan yang dimilikinya dengan orang lain. Perilaku ini akan membatasi kesempatan orang itu untuk bersama dengan orang lain dan memiliki kontribusi terhadap pola interaksi yang tidak memuaskan (Peplau & Perlman, Saks & Krupart, 1988).


(31)

II.A.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesepian

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kesepian pada seseorang, antara lain:

1. Usia

Banyak orang beranggapan bahwa semakin tua seseorang maka akan semakin merasa kesepian, tetapi telah banyak yang membuktikan bahwa stereotip tersebut adalah keliru. Hasil penelitian oleh Perlman dan Peplau (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000) menemukan bahwa kesepian lebih tinggi terjadi diantara remaja dan dewasa muda, serta menjadi lebih rendah pada orang-orang yang sudah tua. Pernyataan ini didukung oleh Erikson (dalam Hurlock, 1999) dimana menekankan bahwa masa dewasa dini adalah masa dimana terjadinya ‘krisis keterpencilan’ dan dalam masa inilah seseorang sering sekali merasa kesepian.

2. Status Perkawinan

Secara umum orang yang tidak menikah cenderung lebih merasa kesepian bila dibandingkan dengan orang yang menikah (Page & Cole; Perlman & Peplau; Stack, dalam Brehm, 2002).seperti yang dikemukakan oleh Erikson (dalam Hurlock, 1999) bahwa saat individu memasuki usia dewasa dini, individu dihadapkan kepada tugas perkembangannya, yaitu menemukan pasangan hidup dan membentuk suatu keluarga. Akan tetapi, ketika hal tersebut tidak terlaksana akan menyebabkan terjadilah kesepian pada individu tersebut. Brehm (2002) menyatakan bahwa kurangnya ataupun tidak adanya hubungan intim dengan orang lain, atau pasangan, dapat menyebabkan seseorang mengalami kesepian yang bersifat emosional (emotional loneliness)


(32)

3. Gender

Menurut Borys dan Perlman (dalam Wrightman, 1993), laki-laki dan perempuan menunjukkan frekuensi yang sama saat mengalami kesepian. Meskipun demikian, perempuan lebih mudah menunjukkan ekspresi kesepian daripada laki-laki. Sebagian besar laki-laki yang mengalami kesepian menyangkal bahwa dirinya sedang merasa sepi. Borys dan Perlman (dalam Brehm, 2002) menyebutkan laki-laki juga lebih sulit menyatakan loneliness secara tegas dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan adanya stereotip gender yang berlaku dalam masyarakat bahwa laki-laki yang mengalami kesepian lebih sulit untuk diterima secara sosial dan cenderung di tolak dibanding dengan perempuan. Hal ini bukan berarti bahwa laki-laki lebih mudah mengalami kesepian.

4. Karakteristik latar belakang yang lain

Hubungan antara orang tua dan anak dalam struktur keluarga erat kaitannya dengan kesepian. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002) menemukan individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih mengalami kesepian bila dibandingkan dengan individu yang orang tuanya tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orang tuanya bercerai, semakin tinggi tingkat kesepian yang akan dialami saat dewasa. Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada individu yang orang tuanya berpisah karena salah satunya meninggal.

5. Faktor sosial ekonomi

Weiss (dalam Brehm, 2002) menyatakan bahwa pendapatan yang rendah dari individu cenderung membuat individu tersebut mengalami kesepian bila dibandingkan dengan individu yang memiliki pendapatan yang tinggi.


(33)

II.A.6. Perasaan Kesepian

Rubenstein & Shaver (dalam Brehm, 2002) menyatakan ada 4 bentuk perasaan yang dialami oleh individu yang mengalami kesepian, antara lain adalah:

a. Desperation

Individu merasakan keputusasaan dan ketidakberdayaan dalam dirinya, sehingga dapat menimbulkan keinginan untuk bunuh diri. Adapun desperation ini ditandai dengan perasaan putus asa, tidak berdaya, takut, tidak adanya harapan, merasa dibuang, dan merasa di kecam.

b. Tertekan

Suatu keadaan dimana individu merasakan kesedihan yang mendalam ataupun dalam kondisi tertekan, sehingga bila tidak dapat mengatasi keadaan tersebut dapat mengarahkannya kedalam perasaan depresi. Depresi pada individu ditandai dengan rasa tidak sabar, membosankan, keinginan untuk berpindah-pindah ketempat lain, gelisah, marah, dan tidak mampu untuk berkonsentrasi.

c. Impatient boredom

Individu merasakan kebosanan pada dirinya sebagai akibat yang muncul dari ketidaksabarannya terhadap diri sendiri. Impatient boredom ini ditandai dengan merasa diri tidak menarik, benci pada diri sendiri, merasa bodoh, memalukan, dan tidak nyaman.

d. Self-deprecation

Individu menyalahkan diri sendiri, mencela, dan mengutuk diri terhadap persitiwa atau kejadian yang dialaminya. Self-deprecation ini ditandai dengan perasaan


(34)

sedih, tertekan, kosong, terpencil, tidak memaafkan diri sendiri, melankolis, diasingkan, dan adanya keinginan untuk bersama seseorang yang spesial.

II.A.7. Dampak Kesepian

Kesepian pada umumnya akan menimbulkan berbagai dampak pada orang yang mengalaminya, antara lain :

1. Tingkat perasaan kesepian yang mendalam akan berhubungan dengan berbagai masalah personal seperti depresi, pemakaian alkohol dan obat-obatan, penyakit fisik dan bahkan berisiko kematian (Taylor, Peplau & Sears, 2000). 2. Kesepian disertai oleh berbagai emosi negatif, seperti depresi, kekhawatiran, ketidakpuasan, dan menyalahkan diri sendiri (Anderson, dalam Baron & Byrne, 2000).

3. Orang yang mengalami kesepian dapat tenggelam dalam kepasifan yang menyedihkan, menangis, tidur, minum, makan, memakai obat penenang dan menonton televisi tanpa tujuan (Deux, Dane& Wrightsman, 1993).

II.B. Homoseksual

Sebelum membahas tentang homoseksual, penting sekali diketahui beberapa konsep yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu identitas jenis kelamin, peranjenis kelamin, dan orientasi jenis kelamin.


(35)

II.B.1 Identitas Jenis Kelamin

Pentingnya peranan identitas jenis kelamin seseorang dalam kehidupan sudah tampak ketika seorang ibu melahirkan bayinya (Sarwono, 1999). Umumnya, pertanyaan pertama yang dilontarkan setelah proses persalinan adalah tentang jenis kelamin anak (Musen, Conger & Huston, 1992). Sejak saat itu perlakuan yang diberikan ayah, ibu, keluarga, tetangga dan sebagainya disesuaikan dengan jenis kelamin anak tersebut. Untuk anak laki-laki ia diberi baju biru, selimut biru dan mobil-mobilan. Begitu pula sebaliknya jika anak perempuan ia akan diberi baju serta selimut merah jambu dan boneka (Musen, Conger & Huston, 1992) .

Pola perlakuan orang tua ini berpengaruh pada perilaku anak (Sarwono, 1999). Oleh karena perlakuan tersebut, anak memiliki kesadaran dan penerimaan akan sifat biologis dasar seseorang sebagai laki-laki atau perempuan yang dikenal dengan istilah identitas jenis kelamin. (Musen, Conger & Huston, 1992).

Identitas jenis kelamin ini sudah berkembang pada saat individu berusia 3 tahun (Hoffman, Paris & Hall, 1997). Pada usia itu umumnya anak sudah mampu menyebut dirinya sebagai laki-laki atau perempuan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kohlberg (dalam Berk, 1989) bahwa anak usia 2 tahun mampu mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki dan perempuan dengan benar. Hal ini disebabkan karena pada usia tersebut anak telah menjalani kategorisasi diri secara kognitif, yaitu mengenal diri sendiri sebagai laki-laki atau perempuan.

Myers (1996) menjelaskan ciri-ciri ideal bagi pria adalah sifat maskulin, seperti perkasa,mandiri, melindungi dan menguasai (wanita). Sedangkan ciri-ciri ideal bagi wanita adalah sifat feminin seperti tampil menari, cantik dan seksi.

Dengan adanya dua sifat yang dibentuk dan dipercayai oleh budaya tersebut, yaitu maskulin dan feminin maka Bem (dalam Sarwono, 1999) menjelaskan bahwa


(36)

secara psikologi ada empat kemungkinan tipe jenis kelamin baik pada perempuan maupun laki-laki yaitu :

1. Tipe maskulin, dimana individu mempunyai banyak sifat maskulin dan sedikit sifat feminin,

Tipe feminin, dimana individu mempunyai banyak sifat feminin, dan sedikit sifat maskulin,

Tipe androgin, dimana individu mempunyai banyak sifat maskulin dan feminin secara berimbang,

Tipe tidak tergolongkan, dimana individu mempunyai sedikit sifat feminin dan maskulin.

Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas jenis kelamin : 1. Reaksi dari significant others

Dalam usahanya untuk membentuk identitas jenis kelamin, individu terus menerus mendapatkan reaksi dari orang-orang disekitarnya (Kelly, 2001). Apabila individu terus menerus mendapatkan reaksi negatif, ia tidak dapat mengembangkan identitasnya ke tahap-tahap selanjutnya. Sebagai contoh, anak laki-laki oleh masyarakat diharapkan untuk bermain mobil-mobilan karena dianggap mewakili ciri maskulin. Akan tetapi ketika anak laki-laki senang bermain masak-masakan yang cenderung diasosiasikan dengan sifat feminin, maka anak tersebut dimarahi oleh keluarganya terus menerus. Dengan begitu anak tersebut terhambat mengembangkan identitas feminin dan terdorong untuk mengembangkan identitas maskulin.

2. Self-Acceptance

Derajat penerimaan diri merupakan salah satu aspek terpenting dalam pembentukan identitas jenis kelamin (Kelly, 2001). Bila individu dapat menerima dirinya secara utuh dan merasa nyaman dengan dirinya sendiri, ia akan dapat mengembangkan


(37)

kepribadian dengan maksimal. Sebagai contoh, Oetomo (2003) mencatat ketika seorang pria menyadari dirinya menyukai sesama jenis, ia di sarankan temannya pergi ke psikolog untuk konsultasi. Akan tetapi ketika mendapati penjelasan bahwa homoseksual bukan penyakit dan tidak perlu diubah, akhirnya ia dapat menerima dirinya sebagai homoseks dan menjalankan hidup dengan baik.

Identitas jenis kelamin terkait pula dengan peran jenis kelamin. Misalnya, ketika seorang anak laki-laki tumbuh besar, ia diperbolehkan untuk memanjat pohon atau bermain layang-layang. Begitu pula sebaliknya, ketika anak perempuan tumbuh besar diperbolehkan untuk menjahit atau membantu ibu memasak didapur (Sarwono, 1999). Oleh karena itu, pada bagian selanjutnya akan dibahas mengenai peran jenis kelamin.

II.B.2. Peran Jenis Kelamin.

Peran jenis kelamin merupakan pola perilaku yang dianggap cocok untuk masing-masing jenis kelamin berdasarkan harapan masyarakat. Nauly (1993) mengatakan sejak seorang anak dilahirkan, lingkungan mulai mempersiapkan anak tersebut untuk berperilaku yang dianggap sesuai bagi jenis kelaminnya oleh lingkungan.

Menurut Carroll (2005) peran jenis kelamin merupakan sekumpulan atribut sikap, trait, kepribadian, dan perilaku yang dianggap sesuai oleh masyarakat untuk masing-masing jenis kelamin.

Peran jenis kelamin inilah yang kemudian membentuk seseorang menjadi seorang laki-laki maupun perempuan dan yang membedakan seseorang berdasarkan aspek fisiologis dan non fisiologis. Ketika perbedaan itu mulai dirasakan oleh


(38)

individu, maka dalam dirinya akan terbentuk konsep diri secara keseluruhan, sebagai seorang laki-laki maupun perempuan secara biologis maupun secara psikologis (Subroto, 2005).

Ketika seseorang sudah dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki dan perempuan, ia dihadapkan pada peran jenis kelamin yang terbentuk dalam masyarakat (Carroll, 2005).

Adapun peran jenis kelamin seorang laki-laki yang diharapkan oleh masyarakat adalah sebagai kepala keluarga atau sebagai seorang ayah, dan peran jenis kelamin perempuan yang dianggap wajar oleh masyarakat adalah menjadi seorang istri ataupun ibu. Hal ini berhubungan dengan tahap perkembangan yang dikemukakan oleh Erickson, dimana menurut Erickson pada tahap perkembangan ke-enam (intimacy vs isolation) individu mulai membina kelekatan dengan lawan jenisnya. Hingga akhirnya hubungan tersebut berlanjut ke tahap pernikahan (Erickson, dalam Monks, 2002).

Untuk dapat menjadi seorang ayah ataupun kepala keluarga, seorang laki-laki sewajarnya memilih perempuan menjadi pasangannya. Sedangkan seorang perempuan untuk dapat menjadi seorang ibu ataupun istri sewajarnya memilih laki-laki menjadi pasangannya. Dengan begitu peran jenis kelamin dalam masyarakat berpengaruh didalam pembentukan orientasi jenis kelamin seseorang (Sadli, 2004).


(39)

II.B.3 Orientasi Jenis Kelamin

Orientasi jenis kelamin adalah minat atau ketertarikan seseorang kepada lawan jenis kelamin yang sama, berbeda, ataupun keduanya. Oleh Carroll (2005) orientasi jenis kelamin dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :

 Heteroseksual, yaitu ketertarikan atau minat seseorang untuk mengembangkan hubungan romantis dengan individu yang memiliki jenis kelamin berbeda, dimana hal ini dianggap sesuai dengan norma masyarakat,

 Homoseksual, yaitu ketertarikan atau minat seseorang untuk mengembangkan hubungan romantis dengan individu yang memiliki jenis kelamin yang sama,

 Biseksual, yaitu ketertarikan atau minat seseorang untuk mengembangkan hubungan romantis dengan individu dari jenis kelamin yang sama maupun berbeda sekaligus.

Secara umum laki-laki memang punya kecenderungan untuk lebih menyukai perempuan, dan perempuan lebih menyukai laki-laki sebagai pasangannya, sehingga golongan yang umum ditemui adalah golongan yang berorientasi heteroseksual (Carroll, 2005). Akan tetapi dalam masyarakat mana pun ada sebagian kecil yang berorientasi homoseksual (Oetomo, 2003). Menurut penelitian Beal (dalam Sarwono, 1999) di amerika serikat terdapat 4 – 10% penduduk berorientasi homoseksual.

Orientasi seksual dapat berubah setelah mengalami beberapa pengalaman dengan orang lain dalam konteks hubungan sesama orang dewasa. Sebagai contoh, homoseksual dan biseksual dapat mengalami perubahan orientasi seksual menjadi heteroseksual, jika dituntut untuk menyesuaikan diri dengan norma psikologis yang lebih diinginkan oleh masyarakat (Garnets & Kimmel, dalam Greene, 1994).


(40)

Menurut Negara (2005) ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan orientasi tersebut, antara lain :

 Semakin terbukanya informasi seksualitas

Hal-hal yang berbau seksual, dahulu dianggap sebagai sesuatu yang menimbulkan rasa malu, tabu dan misterius. Akan tetapi dengan adanya media yang membuka informasi tentang seksualitas, membuat hal-hal yang berbau seksual tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang menimbulkan rasa malu, tabu dan misterius.

 Perubahan peran jenis kelamin

Secara tradisional, perempuan diperlukan sebagai mahluk yang pasif dan tidak responsif secara seksual, sedangkan laki-laki dianggap sebagai agressor seksual. Dalam budaya dan adat perempuan hanya dianggap sebagai pihak yang lemah dan hanya menerima saja, sedangkan laki-laki lebih dominan dalam urusan seks dan menentukan segala sesuatu tentang urusan seks. Pandangan ini telah diganti dengan konsep partisipasi, dimana laki-laki dan perempuan saling berpartisipasi dalam membentuk suatu hubungan.

II.B.4 Gay

Keberadaan homoseksual di Indonesia memang tidak terbuka jika dibandingkan dengan negara lain. Berbicara tentang homoseksual sebenarnya bukanlah hal yang baru, karena homoseksual sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala (Spencer, 2004).


(41)

Menurut Spencer (2004) sejak jaman prasejarah homoseksual sudah ada. Dikisahkan pada jaman itu suku Marind dan Kiman dikepulauan Melanesia selalu memperlakukan seorang laki-laki yang sudah mulai remaja untuk tidak lagi tidur bersama ibu, dan mulai tidur dengan ayahnya. Ketika memasuki fase pubertas, anak tersebut diserahkan oleh ayahnya kepada pamannya untuk mendapatkan penetrasi di anus. Perlakuan penetrasi ini dilengkapi dengan sperma, yang mana dipercayai akan membuat anak laki-laki tersebut tumbuh menjadi anak yang kuat dikemudian hari. Setelah tiga tahun kebiasaan tersebut ditinggalkan. Walaupun suku ini mengenal ritus heteroseksual, tetapi kebanyakan diantara penduduk suku ini tetap menjalankan kebiasaan ini pada anak-anaknya.

Dalam konteks homoseksual, istilah gay mengacu pada laki-laki yang mempunyai orientasi seksual kepada laki-laki, sedangkan lesbian mengacu pada perempuan yang mempunyai orientasi seksual kepada perempuan (Kelly, 2001).

Pada tahun 1969 sempat terjadi kerusuhan Stonewall, di New York. Kejadian yang diawali penangkapan oleh polisi di gay bar ini menyebabkan para homoseksual melakukan pemberontakan melawan polisi dan menimbulkan kerusuhan besar. Pemberontakan yang pertama ini menginspirasikan gerakan homoseksual, dari generasi ke generasi hingga saat ini. Kemudian pada tahun 1978, Asosiasi Internasional Gay dan Lesbian didirikan di Belgia, dan tahun 1996 Afrika Selatan merupakan negara yang pertama melindungi hak-hak para gay (Spencer, 2004).

Secara umum, masyarakat sering sekali salah dalam mengartikan istilah homoseksual, homoseksualitas, dan homoseks. Mereka beranggapan bahwa ketiga hal tersebut adalah sama. Istilah homoseksual merujuk pada orientasi seksual yaitu minat atau ketertarikan untuk mengembangkan hubungan yang romantis dengan individu


(42)

yang berjenis kelamin sama. Sementara homoseksualitas adalah aktivitas seksual yang melibatkan pilihan atas individu yang berjenis kelamin sama (Zanden, dalam Subroto, 2005). Seseorang dikatakan sebagai homoseks apabila birahinya untuk melakukan aktivitas seksual bangkit dengan melihat atau berkhayal tentang sesama jenis.

II.B.5 Faktor-faktor yang menyebabkan indvidu menjadi gay.

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan individu menjadi seorang homoseksual, adalah:

 Faktor sosial

Seseorang bisa menjadi gay karena faktor lingkungan atau sosial. Seorang individu yang awalnya heteroseksual bisa menjadi gay jika ia merasa sensasi yang berbeda dan menyenangkan saat melakukan hubungan homoseksual (Masters, 1992). Menurut Feldmen dan MacCulloch (dalam Masters,1992) jika seseorang mengalami pengalaman heteroseksual yang tidak menyenangkan kemudian mendapatkan pengalaman homoseksualitas yang menyenangkan, ada kemungkinan individu tersebut akan menjadi gay.

 Faktor trauma pada masa kecil

Cameron (dalam Savin-Williams, 1996) menyatakan bahwa seseorang dapat menjadi gay disebabkan trauma pada masa kanak, dimana selama masa kanak-kanak tersebut individu mendapatkan penyiksaan dari saudara kandung, teman bermain maupun orang dewasa.


(43)

 Faktor herediter atau genetik

Kallman (dalam Masters, 1992) mencatat bahwa kondisi homoseksualitas adalah kondisi yang disebabkan oleh genetika. Kesimpulan ini diambil berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap kembar identik dan kembar fraternal. Penelitian menemukan jika salah satu saudara kembarnya adalah seorang gay, kemungkinan saudara kembarnya adalah seorang gay juga. National Center Institute (dalam Kelly, 2001) melakukan penelitian terhadap 40 gay yang juga memiliki saudara laki-laki

gay. Penelitian tersebut menemukan dari 40 gay bersaudara tersebut, ditemukan 33

gay bersaudara memiliki 5 tanda yang sama pada kromosom x.

II.B.6 Masalah-masalah yang dialami kaum Gay.

Secara umum, kaum gay mengalami masalah-masalah seperti mendapat penolakan dari keluarga dan lingkungan, adanya penyiksaan fisik yang terjadi dirumah, mendapatkan pelecehan secara verbal (Centre Population Options, dalam Savin & Cohen, 1996). Budijanto (2001) mengatakan bahwa secara psikis kaum homoseksual sering merasa tidak disukai, merasa bersalah dan merasa malu.

Dari beberapa literatur ditemukan ada beberapa dampak dari masalah-masalah yang dihadapi kaum gay terhadap kondisi kesehatan mental dari kaum gay, yaitu :  Keinginan untuk bunuh diri

Keinginan untuk bunuh diri dan perilaku self-destructive adalah masalah serius diantara kaum gay. Gibson (dalam Savin & Cohen, 1996) menyatakan bahwa 30% gay lebih memiliki kecenderungan untuk bunuh diri dibandingkan dengan kaum heteroseksual. Hammelman (dalam Robin, Valerian dan Jessica,


(44)

2003) menjelaskan bahwa gay cenderung melakukan bunuh diri karena mereka mendapatkan pengalaman buruk dari orang lain ketika membuka diri sebagai seorang gay.

 Penyalahgunaan Obat-obatan

Remafedi (dalam Savin & Cohen, 1996) menemukan bahwa lebih dari 80% kaum gay yang berusia lebih dari 15-19 tahun belajar menggunakan obat-obatan terlarang, dan sebanyak 60% dari mereka memenuhi kriteria sebagai pecandu. Savin & Cohen (1996) mencatat bahwa individu gay menggunakan obat-obatan terlarang dan menyalahgunakan pemakaiannya sebagai pelarian dari masalah-masalah yang mereka hadapi.

 Depresi dan Kecemasan

D’Augelli (dalam Savin & Cohen, 1996) meneliti mengenai mahasiswa

gay,lebih dari 60% melaporkan bahwa memiliki masalah dengan emosi mereka dan mengekspresikan depresi, dan tercatat 77% dari mereka juga mengalami kecemasan. Griffin & Krowinski (dalam Robin dkk, 2003) mengatakan bahwa gay

menjadi mudah cemas dan depresi disebabkan oleh internaliasasi homophobia, dan keinginan untuk membuka orientasi seksual mereka atau tidak kepada orang lain.

II.B.7 Gambaran Kesepian Gay dikota Medan

Perkembangan dan pertumbuhan gay dikota Medan belum seperti yang dapat kita temui dan didapati seperti di beberapa kota besar di Indonesia, misalnya di Jakarta, Bandung, dan Surabaya dimana pada kota-kota tersebut ditemui dan didapati


(45)

untuk berkeluh-kesah bagi orang-orang yang memiliki kecenderungan berorientasi homoseksual.

Akan tetapi, menurut sumber Aplaus (edisi 21 Juli – 03 Agustus 2007) seperti yang diungkapkan Roy (salah satu gay dikota Medan – bukan nama sebenarnya) bahwa sekitar tahun 1997 dikawasan Gatot Subroto Medan ditemukan sebuah diskotik dimana para pengunjungnya adalah gay dan lesbian. Namun karena masyarakat sekitar kurang senang dengan keberadaan diskotik tersebut, akhirnya diskotik tersebut terpaksa ditutup.

Adanya diskriminasi terhadapa kaum gay di Indonesia secara umum memberikan rasa ketidaknyamanan secara langsung kepada kaum gay. Ditambah dengan adanya kasus-kasus yang bermunculan seperti mutilasi yang dilakukan oleh Ryan atau pembunuhan terhadap karyawan BPPN oleh dua bersaudara yang juga gay

menambah rentetan panjang akan buruknya pandangan masyarakat terhadap kaum

gay serta semakin menimbulkan perasaan cemas, malu, merasa tidak disukai, bersalah, depresi dan takut.

Seperti halnya yang disampaikan oleh Ridho dalam kutipan pada harian sinar harapan “Akibatnya, kaum gay semakin kehilangan ketenangan dan kedamaian menjalani kehidupannya. Dia menjelaskan banyak laki-laki pencinta sesama jenis harus mengalami ketakutan. Bukan hanya takut teror melalui SMS, mereka juga takut pada razia atau penggerebekan oleh masyarakat, aparat kepolisian, dan kelompok agama tertentu”(Harian Sinar Harapan, 08 juli 2008).


(46)

Tidak adanya tempat-tempat yang dapat menampung keluh-kesah untuk orang-orang yang memiliki kencenderungan berorientasi homoseksual, sulit untuk mendapatkan teman-teman yang memiliki orientasi seksual sejenis, serta sering mengalami penolakan, merasa berbeda dari orang lain, takut membuka diri, merasa tidak disukai, cemas, merasa tidak disukai orang lain, malu dan depresi menyebabkan

gay dikota Medan rentan terhadap kesepian.  Isolasi, alienasi, penolakan, merasa disalah mengerti, merasa tidak dicintai, depresi, tidak memiliki sahabat, takut membuka diri, merupakan beberapa keadaan mental dan emosional yang diasosiasikan dengan kesepian (Bruno, 1997) dimana kaum homoseksual sulit untuk membina hubungan-hubungan sosial yang bersifat kuantitatif dan kualitatif sehingga membuat kaum homoseksual mengalami kesepian.

Skema : Gambaran Kesepian pada Gay di Kota Medan SOSIAL Emosional

-Isolasi -Malas membuka diri -Gelisah -Tidak memiliki sahabat KESEPIAN

Kurangnya Hub. Sosial dan Emosional yang bersifat kuantitatif dan

kualitatif

- Hub.yang tidak adekuat

- Perubahan akan suatu hubungan

- Self esteem

- Perilaku interpersonal

HOMOSEKSUAL -STIGMA

-DISKRIMINASI -PENOLAKAN


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian karena menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisa data dan pengambilan kesimpulan hasil penelitian (Hadi, 2000). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif.

Jenis penelitian ini tidak mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel, atau tidak melakukan pengujian hipotesis. Hasil penelitiannya berupa deskripsi mengenai variabel-variabel tertentu dengan menyajikan frekuensi, angka rata-rata atau kualifikasi lainnya untuk setiap kategori disuatu variabel. Dalam pengolahan dan analisis data menggunakan pengolahan statistik yang bersifat deskriptif (Sevila, 1993). Hasil penelitian ini berupa deskripsi mengenai kesepian pada laki-laki homoseksual (gay).

III.A. Variabel Penelitian

Variabel yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah kesepian.

III.B. Definisi Operasional

Peplau dan perlman (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000) mengartikan kesepian sebagai ketidaknyamanan subjektif yang dirasakan bila hubungan-hubungan sosial yang dimiliki tidak memiliki arti penting, dimana kesepian ini dapat bersifat kuantitatif (sedikit atau tidak memiliki teman dari yang diinginkan individu) dan


(48)

kualitatif (merasa bahwa hubungan sosial yang dibina hanya bersifat seadanya atau dirasa kurang memuaskan).

Kesepian yang bersifat kuantitatif dapat dikatakan sebagai kesepian emosional (emotional loneliness) dimana individu mengalami kesepian yang diakibatkan oleh tidak adanya ikatan yang dekat atau intim (intimate attachment) dengan seseorang sehingga tidak dapat bergantung kepada siapapun. Hubungan yang ada kurang memuaskan, atau merasa lingkungan sosial kurang memahaminya (Weiss, dalam De Jong Gierveld & Tillburg, 1999).

Kesepian yang bersifat kualitatif dapat juga disebut dengan kesepian sosial (social loneliness) dimana indvidu mengalami kesepian akibat tidak adanya teman, saudara ataupun orang lain dari jaringan sosial dimana aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan bias saling dibagi dan adanya suatu penolakan dari lingkungan (Weiss, dalam De Jong, Gierveld & Tillburg, 1999).

III.C. Pertanyaan Penelitian

Permasalahan utama yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah gambaran kesepian pada pria homoseksual (gay) di kota Medan. Selain itu penelitian ini juga akan melihat kesepian emosional dan kesepian sosial yang dialami oleh gay di kota Medan.

Adapun permasalahan utama pada penelitian ini secara umum adalah: 1. Bagaimana Gambaran Umum Kesepian pada gay.


(49)

4. Bagaimana Gambaran Kesepian pada gay berdasarkan usia, pasangan, pekerjaan dan sosial ekonomi.

III.D. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel

III.D.1 Populasi dan sampel

Populasi adalah seluruh subjek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Sampel adalah sebahagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi dalam penelitian ini adalah laki-laki homoseksual (gay) merupakan laki-laki yang memiliki ketertarikan atau minat untuk mengembangkan hubungan romantis dengan laki-laki.

III.D.2 Karakteristik Populasi

Adapun karakteristik populasi pada penelitian ini adalah: 1. Laki-laki homoseksual (gay) berusia 18 tahun hingga 39 tahun.

Masa dewasa dini (18-39 tahun) adalah masa dimana individu banyak sekali menghadapi masalah transisi sosial ataupun perubahan hidup. Disinilah individu paling sering merasakan kesepian.

2. Bertempat tinggal di wilayah Medan.

Penelitian ini dilakukan kepada gay di kota Medan, disebabkan peneliti berada di kota Medan, sehingga memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian.


(50)

III.D.3 Metode Pengambilan Sampel.

Pengambilan sampel atau sampling menurut Hadi (2000) adalah suatu tehnik yang digunakan untuk mengambil sampel dari suatu populasi. Pada penelitian ini responden diperoleh melalui tehnik snowball atau chain sampling yang berarti pemilihan sampel dilakukan secara berantai dengan meminta informasi kepada orang yang telah dihubungi sebelumnya. Dengan bertanya kepada orang tersebut, siapa lagi yang dapat memberikan informasi rantai semakin panjang dan bola salju semakin lama semakin besar. Sampel pada penelitian ini adalah laki-laki homoseksual (gay) merupakan laki-laki yang memiliki ketertarikan atau minat untuk mengembangkan hubungan romantis dengan laki-laki.

III.E. Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan merupakan metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian yang mempunyai tujuan untuk mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti (Azwar, 1999). Pada penelitian ini alat ukur yang digunakan

dalam mengukur kesepian adalah UCLA LONELINESS SCALE V.3. UCLA

LONELINESS SCALE (Skala Kesepian UCLA) diciptakan pertama kali oleh Russel, Peplau dan Ferguson pada tahun 1978. Skala ini diciptakan untuk mengukur perasaan kesepian yang bersifat subjektif dan isolasi sosial. Adapun aitem-aitem yang pertama kali dipergunakan dalam skala UCLA LONELINESS SCALE yang pertama didasari atas pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh individu-individu yang megalami kesepian.

UCLA LONELINESS SCALE yang pertama kali sifatnya lebih kearah kata-kata ‘negatif’ atau mengarahkan individu kepada kesepian, maka dilakukan revisi


(51)

oleh Russel, Peplau dan Cutrona pada tahun 1980 dan menambahkan 10 aitem yang bersifat positif atau 10 pernyataan yang secara tidak langsung mengarahkan individu kepada perasaan kesepian dan diberi nama R-UCLA LONELINESS SCALE (Skala Kesepian UCLA yang telah direvisi).

Agar format dari skala ini lebih sederhana dan dapat dipergunakan oleh segala kalangan dengan administrasi pengukuran yang lebih mudah, dilakukan revisi ketiga terhadap skala ini oleh Russel tahun 1996 dan diberi nama UCLA LONELINESS Scale Version 3 (Skala kesepian UCLA Versi 3). Skala ini memiliki reliabilitas yang baik setelah dilakukan tes dan membuktikan bahwa skala ini memiliki konsistensi internal yang sangat tinggi dan validitas dari skala ini memiliki signifikasi yang tinggi berdasarkan pengujian terhadap validitas criteria (Garfield, 1986). Reliabilitas skala ini berkisar antara 0,89 hingga 0,94. Skala ini diciptakan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kesepian yang dialami oleh seseorang.

Skala kesepian ini menggunakan model skala yang memberikan empat alternatif jawaban yang bersifat kontiniu, yaitu : Tidak Pernah (TP), Jarang (J), Kadang-Kadang (K) dan Sering (S). Nilai bergerak dari angka 4 sampai 1, untuk aitem yang favorable dan angka 1 sampai 4 untuk aitem yang unfavorable. Semakin tinggi nilai yang diperoleh, maka semakin tinggi pula kesepian yang dirasakan individu. Sebaliknya, semakin rendah nilai yang diperoleh, semakin rendah pula tingkat kesepian yang dirasakan oleh individu.

Bentuk asli dari skala UCLA Versi.3 adalah dalam bahasa Inggris. Untuk itu, peneliti melakukan adaptasi skala dengan melakukan terjemahan dari bahasa asli (Inggris) ke bahasa Indonesia, dan sebaliknya, dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Peneliti tidak hanya melakukan penerjemahan aitem-aitem skala kedalam


(52)

bahasa Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris, namun peneliti dengan bantuan pembimbing juga melakukan pembedahan terhadap aitem-aitem setelah diterjemahkan, agar konsep yang diharapkan dari aitem-aitem tidak menyimpang dari tujuan.

Adapun blue print disajikan dalam bentuk table yang memuat uraian komponen-komponen atribut. Dalam penulisan aitem blue print akan dipaparkan gambaran mengenai isi skala dan menjadi acuan serta pedoman bagi peneliti untuk tetap berada dalam lingkup yang benar (Azwar, 1999).

Tabel 1

Distribusi aitem-aitem Skala Kesepian UCLA V.3. Sebelum Uji Coba No Jenis

Kesepian

Indikator Kesepian

Nomor Aitem Favo Unfavo rabel rabel

JUMLAH

1. Emotional Loneliness

Hub yang dekat/intim tidak ada, tidak memuaskan,

lingk sosial kurang memahami

2,4,7,

11,12, 10, 16.

17,18

9

2. Social Loneliness

Tidak memiliki teman, saudara, jaringan sosial, tdk

dpt berbagi kesenangan, ada penolakan

3, 1, 5 8, 6, 9 13, 15, 19

11

JUMLAH 11 9 20

III.F. Uji Coba Alat Ukur

Tujuan dilakukan uji coba alat ukur adalah untuk melihat seberapa jauh alat ukur dengan tepat mengukur variabel yang hendak di ukur dan seberapa jauh alat ukur


(53)

menunjukkan kecermatan pengukuran. Tehnik statistic akan mempergunakan

software SPSS versi 13.00 for windows.

Validitas dan reliabilitas Skala Kesepian UCLA akan diuji sebelum digunakan untuk mengambil data penelitian. Penjelasan mengenai validitas dan reliabilitas ini adalah sebagai berikut:

III.F.1 Validitas

Azwar mendefinisikan validitas alat ukur adalah sejauh mana ketetapan (kemampuan untuk mengukur apa yang hendak diukur) dan kecermatan (kemampuan memberikan gambaran mengenai perbedaan sekecil-kecilnya antara subjek yang satu dengan yang lainnya) dari alat ukur dalam melakukan fungsinya. Pada penelitian ini, aitem akan di uji validitasnya berdasarkan validitas soal (item validity). Skala dinyatakan memiliki item validity apabila aitem-aitem tidak menyimpang serta dapat mewakili konsep yang hendak diukur (Suryabrata, 2000).

Validitas aitem diperoleh dengan cara mengkorelasikan nilai-nilai tiap-tiap butir dengan nilai totalnya. Prosedur ini akan menghasilkan indek daya beda aitem (Azwar, 2000). Formula yang digunakan untuk mencari indek daya beda aitem adalah tehnik korelasi Pearson Product Moment dengan memanfaatkan program SPSS ver 13.00 for Windows dengan tingkat signifikasi 95% (p<0,05).

III.F.2 Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas alat ukur menunjukkan keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan bila diterapkan beberapa kali pada kesempatan yang berbeda (Hadi,


(54)

2000). Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas merupakan indicator konsistensi butir-butir pernyataan tes dalam menjalankan fungsi ukurnya bersama-sama.

Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan pendekatan konsistensi internal, yang mana prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan tes pada sekelompok individu sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis dan berefisien tinggi (Azwar, 2000). Teknik yang digunakan adalah teknik koefisien Alpha Cronbach. Untuk menguji reliabilitas ini menggunakan bantuan SPSS ver 13.00 for windows.

III.F.3 Hasil Uji Coba Alat Ukur

Uji coba skala kesepian UCLA dilakukan pada 36 orang gay di kota Medan, dan 62 orang dengan orientasi seksual heteroseksual sehingga sampel pada uji coba berjumlah 98 orang. Setelah dilakukan uji coba, skala kesepian UCLA tidak ditemukan aitem yang gugur dan memiliki daya beda yang tinggi. Aitem-aitem skala ini memiliki nilai daya beda yang bergerak dari 0,439 sampai 0,860 dengan reliabilitas skala adalah 0,965. Oleh karena reliabilitas di anggap terlalu tinggi, peneliti menambah sampel penelitian sebanyak 79 orang, sehingga total keseluruhan sampel berjumlah 177. Dari hasil penambahan sampel diperoleh reliabilitas skala sebesar 0,925. Berikut ini adalah blue print Skala Kesepian UCLA V.3 setelah uji coba.


(55)

Tabel 2

Distribusi aitem-aitem Skala Kesepian UCLA V.3 Setelah Uji Coba No Jenis Kesepian Aitem Favorabel Aitem Unfavorable JUMLAH

1. Emotional Loneliness 2,4,7,11,12,17,18 10 & 16 9 2. Social Loneliness 3, 8, 13, 14 1, 5, 6, 9, 15, 19, 20 11

JUMLAH 11 9 20

III.F.4 Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Adapun prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari:

1. Tahap Persiapan

Hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum melakukan penelitian adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyusunan alat ukur dan masalah administrasi penelitian yang menyangkut urusan perijinan melaksanakan penelitian.

a. Penyusunan Alat Ukur

Skala Kesepian UCLA Versi. 3 disusun oleh Russel (1996). Bahwa aitem-aitem dalam skala ini merupakan pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh individu-individu yang mengalami kesepian dan direvisi serta dapat dipergunakan oleh segala kalangan dengan administrasi pengukuran yang lebih mudah. Jumlah aitem dalam skala kesepian UCLA Versi. 3 ini adalah 20 aitem. Bentuk asli dari skala kesepian UCLA Versi. 3 adalah dalam bahasa Inggris. Untuk itu, peneliti melakukan adaptasi skala dengan melakukan terjemahan dari bahasa asli (Inggris) ke dalam bahasa Indonesia, dan sebaliknya, dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Peneliti tidak


(56)

hanya melakukan penerjemahan aitem-aitem skala kedalam bahasa Inggris-Indonesia dan Inggris-Indonesia-Inggris, namun peneliti dibantu oleh pembimbing juga melakukan pembedahan dan penyesuaian terhadap aitem-aitem setelah diterjemahkan, agar konsep yang diharapkan dari aitem-aitem tidak menyimpang dari tujuan.

2. Tahap Uji Coba Alat Ukur

Uji coba alat ukur dilakukan kepada subjek yang memenuhi karakteristik sampel dalam penelitian ini. Hasil uji coba kemudian dianalisa dengan analisa daya beda aitem untuk menentukan aitem-aitem yang layak digunakan sebagai alat ukur dan juga reliabilitas alat ukur yang ditentukan melalui koefisien

alpha Cronbach dengan menggunakan SPSS versi 13.00 for windows. 3. Tahap Pelaksanaan

Setelah alat ukur diujicobakan, maka dilakukan penelitian kepada gay di kota Medan yang telah ditentukan sebagai sampel penelitian.

4. Tahap Pengolahan data

Skala yang memenuhi kriteria untuk dianalisis, diolah dengan menggunakan


(57)

III.F.5 Tahap Pelaksanaan

Setelah alat ukur di ujicobakan, maka penelitian dilaksanakan kepada gay di Kota medan yang memenuhi karakteristik sampel yang telah ditentukan sebelumnya. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 9 Oktober 2008 hingga 11 Oktober 2008.

III.F.6 Tahap Pengolahan Data

Skala yang memenuhi kriteria untuk dianalisis, diolah dengan software SPSS versi 13.00 for windows.

III.G. Metode Analisis Data

Azwar (2000) mengatakan bahwa pengolahan data penelitian yang sudah diperoleh dimaksudkan sebagai suatu cara mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga dapat dibaca dan diinterpretasikan.

Data yang diperoleh akan diolah dengan analisis data statistik. Alasan yang mendasari digunakannya analisis data statistic adalah karena statistik dapat menunjukkan kesimpulan atau generalisasi penelitian. Pertimbangan lain adalah: (a) statistik bekerja dengan angka, (b) statistik bersifat objektif, dan (c) statistik bersifat universal (Hadi, 2000).

Dalam penelitian ini, analisa statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran atau memberikan deskriptif mengenai subjek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh untuk kelompok subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis.


(58)

Data yang diperoleh akan diolah dengan metode statistik. Lebih jelasnya, pengolahan data yang dilakukan adalah sebagai berikut dengan menggunakan bantuan komputer dengan program SPSS 13.00for windows:

1. Untuk mendapatkan gambaran skor kesepian pada gay di kota Medan, digunakan statistik deskriptif. Skor yang diperoleh dari subjek di olah, diantaranya berupa skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi.

2. Untuk mendapatkan gambaran tentang subjek penelitian yang diperoleh dari data kontrolnya, diolah dan dinyatakan dalam bentuk persentase.

3. Untuk mendapatkan gambaran skor untuk kesepian emosional dan kesepian sosial pada gay yang di tinjau dari data kontorlnya.

Sebelum melakukan analisis data maka peneliti terlebih dahulu melakukan uji asumsi yaitu:

1. Uji Normalitas Sebaran

Uji normalitas sebaran digunakan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian dari kesepian telah terdistribusi normal. Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan one-sample Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan aplikasi komputer SPSS 13.00 for windows data penelitan dapat dikatakan terdistribusi secara normal apabila p > 0,05 dan sebaliknya, tidak terdistribusi dengan normal apabila p < 0,05 (Hadi, 2000).


(59)

2. Uji Linearitas

Jenis penelitian ini tidak mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel, atau tidak melakukan pengujian hipotesis. Hasil penelitian berupa deskripsi mengenai variabel-variabel tertentu dengan menyajikan frekuensi, angka rata-rata atau kualifikasi lainnya untuk setiap kategori disuatu variabel. Oleh karena itu, pada penelitian ini tidak dilakukan uji linearitas.


(60)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bab ini akan diuraikan analisis dan interpretasi hasil sesuai dengan data yang diperoleh. Pembahasan pada bab ini akan diawali dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian, hasil utama, dan hasil tambahan yang turut memperkaya hasil penelitian.

A. Gambaran Subjek Penelitian

Dari Subjek penelitian dengan jumlah total 60 orang gay, diperoleh gambaran subjek penelitian menurut usia, memiliki pasangan atau tidak memiliki pasangan, jenis pekerjaan, dan jumlah pendapatan.

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Tabel berikut ini menggambarkan penyebaran usia subjek penelitian yaitu sebagai

berikut:

Tabel 3

Penyebaran Subjek Berdasarkan Usia Usia N (Orang) Persentase (%)

18-22 11 18,4

23-27 14 23,3

28-32 15 25

33-37 14 23,3

38-42 6 10


(61)

Berdasarkan pada tabel 3 dapat diketahui jumlah subjek dengan usia 28-32 tahun adalah yang terbanyak yaitu 15 orang (25%), kemudian usia 23-27 tahun dan usia 33-37 dengan jumlah masing-masing yaitu 14 orang (23,3%), kemudian usia 18-22 tahun dengan jumla 11 orang (18,4%), kemudian usia 38-42 tahun dengan jumlah 6 orang (10%).

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Memiliki Pasangan atau Tidak Berpasangan

Tabel berikut ini menggambarkan penyebaran subjek penelitian berdasarkan memiliki pasangan atau tidak berpasangan yaitu sebagai berikut:

Tabel 4

Penyebaran Subjek Berdasarkan Memiliki Pasangan atau Tidak Berpasangan

STATUS N (ORANG) PERSENTASE (%)

MEMILIKI PASANGAN 23 38,3

TIDAK MEMILIKI PASANGAN 37 61,7

JUMLAH 60 100

Berdasarkan pada tabel 4 dapat diketahui subjek yang tidak memiliki pasangan adalah sebesar 37 orang (61,7%) dan yang memiliki pasangan sebanyak 23 orang (38,3%).


(1)

C. Saran

C.1 Saran Metodologis

Penelitian ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan yang berangkat dari tujuan utuam penelitian yaitu ingin melihat gambaran atau deskriptif mengenai kesepian pada gay di kota Medan, oleh karena itu peneliti memberikan saran-saran yang dapat diberikan untuk pengembangan penelitian selanjutnya:

1. Untuk memperkaya data hasil penelitian, pengambilan data dapat dilakukan dengan menggunakan alat ukur observasi dan wawancara.

2. Dapat dilakukan pendekatan kualitatif untuk melihat lebih jauh mengenai kesepian yang bersifat emosional dan kesepian yang bersifat sosial pada gay di kota Medan.

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menambahkan jumlah sampel dan variabel tambahan sehingga dapat di jadikan bahan perbandingan.

C.2. Saran Praktis

Disamping saran-saran yang diberikan untuk pengembangan penelitian, berikut ini adalah saran-saran yang dapat diberikan untuk bidang klinis:

1. Gambaran tingkat kesepian yang dialami oleh gay di kota Medan termasuk pada posisi tingkat tinggi. Ini menunjukkan bahwa gay di kota medan mengalami kesepian. Untuk mengatasi serta dapat mengurangi tingkat kesepian pada gay di kota Medan disarankan agar gay di kota medan


(2)

bersosialisasi, tidak perlu merasa takut dan memakai ‘topeng’ di lingkungan sosialnya. Karena dengan meningkatkan keterbukaan diri ketika bersosialisasi mereka akan mempunyai lebih banyak teman. Hal ini diharapkan dapat membantu menurunkan tingkat kesepian pada gay di kota Medan, khususnya pada kesepian yang bersifat sosial.

2. Meningkatkan rasa percaya diri untuk membuka diri atau orientasi seksual pada kaum gay di kota Medan diperoleh dengan adanya dukungan positif dari lingkungan sosialnya. Secara umum gay mengalami dan merasa dikucilkan, karena adanya perlakuan diskriminasi dari masyarakat terhadap kaum gay. Untuk itu, disarankan kepada setiap masyarakat di kota Medan menambah wawasan dan informasi yang positif mengenai kaum gay lewat buku ataupun media lain, agar dapat menerima keberadaan kaum gay, serta lebih terbuka dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berinteraksi secara bebas, terbuka, serta merasa nyaman ditengah-tengah lingkungan sosialnya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S (2000). Reliabilitas dan Validitas. Edisi 3. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset

Baron, R.A & Byrne, D. (2000). Social Psychology : Understanding Human Interaction 9th Edition. Massachussets : Allyn & Bacon.

Berk, Laura.E. (1989). Child Development. Massachussets : Allyn & Bacon

Brehm, S.S. (2002). Intimate Relationship, 2nd edition. New York : McGraw-Hill. Bruno, F.J. (1997). Menaklukk.an Kesepian. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Budijanto (2001). Homoseksual Dari Seniman Hingga Menteri. Intisari

Carrol, Jamell L (2005). Sexuality Now. Embracing Diversity. Belmont: Thomson Wadsworth

D’Augelli, Grossman & Hershberger (2001). Suicidality patterns and Sexual Orientation Related factor Among Lesbian, Gay, and Bisexual Journal.

De Jong Gierveld, J & Till Burg, T.V. (1999). Manual of The Loneliness Scale. Vrije Universiteit Amsterdam

Deux, Kay, Dane, F.C & Wrightman, L.S (1993). Social Psychology in the 90’s. 6th edition. California : Brooks/Cole Publisihing Company.

Garfield E (1986). Essays of an information Scientist, Vol:9, p.33, 1986 Hadi, S. (2000). Metodologi Research (Jilid 1-3). Yogyakarta : Andi Offset.

Hall,C.S & Lindesy, G. (1997). Theories of Personality (4th edition). New York : John Willey & Sons, Inc

Hurlock, Elizabeth B. (1999). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Ke-5. Jakarta : Erlangga.


(4)

York: McGraw-Hill.

Knox, David. (1984). Human Sexuality : The Search for Understanding. St.Paul : West Publishing Company.

Masters, William. (1992). Human Sexuality. New York : Harper Collins Publisher. Miracle, T.S. (2003). Human Sexuality : Meeting your basic needs. New Jersey :

Pearson Education, Inc.

Mussen, P.H., Conger, J.J., Kagan.,J., Huston, A.C. (1992). Perkembangan dan Kepribadian Anak. Jakarta, ARCAN.

Monks, F.J & Knoers A.M.P, Haditono S.R (2001). Psikologi Perkembangan :

Pengantar Dalam berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Myers, D.G. (1996). Social Psychology, 4th Edition. New York : McGraw-Hill. Myers, D.G. (1999). Social Psychology, 5th Edition. New York : McGraw-Hill.

Nauly, M. (1993). Perbandingan Peran Jenis Kelamin dan Fear of Success pada Wanita Bekerja Suku Bangsa Batak, Jawa dan Minangkabau (Skripsi). Jakarta : Fakultas Psikologi UI.

Negara, M.O. (2005). Mengurai Persoalan Kehidupan Seksual dan Reproduksi Perempuan dalam Jurnal Perempuan No.41. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan. Nevid, J.S., Rathus, L.F., Rathus, S.A. (1995). Human Sexuality in a Word of

Diversity 2nd edition. Boston : Ally and Bacon.

Oetomo, D. (2003). Memberi Suara pada yang bisu. Yogyakarta : Pustaka Marwa. Peplau, L.A & Perlman, Daniel. (1982). Loneliness : A Sourcebook of Current

Theory,Research, and Therapy. New York : John Willey & Sons.

Russell, D.,dkk (1978). Developing a measure of loneliness. Journal of Personality Assment, 42, 290-294


(5)

Russel, D., dkk (1980). The revised UCLA Loneliness Scale: Concurrent and discriminant validity evidence. Journal of Personality and Social Psychology, 39, 472-480

Russell, D., (1996). UCLA Loneliness Scale (Version3): Reliability, Validity, and Factor Structure. Journal of Personality Assessment. Volume: 66. Issue: 1. Publication Year: 1996. Page Number: 40

Robin, J., Valerian, J., Jesica, L.G. (2003). Stressors for Gay Men and Lesbians : Life Stress, Gay-Related Stress, Stigma Consciousness, and Depressive Symptoms. Sadli, S. (2004). Seksualitas Perspektif Psikologi dalam Seksualitas : Teori dan

Realitas.Penyunting Hidayana M Irwan. Jakarta : Program Gender dan Seksualitas Fisip UI bekerja sama dengan Ford Foundation.

Saks, M.J. & Krupat, E. (1988) Social Psychology and It’s Application. New York : Harper & Row Pub.

Sarwono, S.W. (1999). Psikologi Sosial, individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta : Balai Pustaka.

Savin, Williams., Cohen, M. (1996) The Lives of Lesbians, Gays, and Bisexual Sevila, C.G., Ochave, A, Jesus., Punsalan, G, Twila., Regala, Bella, P., & Gabriel G

(1993). Pengantar Metode Penelitian. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Spencer,C. (2004). Sejarah homoseksualitas dari Zaman Kuno Hingga sekarang. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Subroto,U. (2005). Latar Belakang Penentuan Peran Sentul dan Kantil pada Pasangan Lesbian

Suryabrata, S. (2000). Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Jakarta : Andi Offset. Taylor, S.E., Peplau & D.O. Sears. (2000). Social Psychology 10th Edition. USA:


(6)

Prentice Hall.

Wrightman, L.S. (1993). Social Psychology In the 90’s. USA : Brooks/Cole Pub.Co Aplause (2007). Edisi 21 Juli – 03 Agustus 2007 : Denyut Gay di Kota Medan Damping, C. (2000). Homoseksual. (online)

http : www.klinikpria.com/dataoptik/homoseksualitas.html

Harian Sinar Harapan (2008). Edisi 08 Juli 2008 : Ulah Ryan Buat Kelompok Gay Gerah