Optimalisasi Peranan Mediator Dalam Rangka Meminimalisir Perceraian di Pengadilan Agama Depok
OPTIM
TIMALISASI PERANAN MEDIATOR
DALAM RAN
ANGKA MEMINIMALISIR PERCERA
ERAIAN
DII P
PENGADILAN AGAMA DEPOK
Skripsi
Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi
S
Diajukan Kepada Fa
nuhi Salah
Satu
ratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy))
Persyarata
Oleh:
CHOIRUNNISYA
NIM. 1111044200004
ROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
PRO
( AHWAL SYAKHSIYYAH )
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
FA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/ 2016 M
ABSTRAK
Choirunnisya. NIM 1111044200004. OPTIMALISASI PERANAN
MEDIATOR DALAM RANGKA MEMINIMALISIR PERCERAIAN DI
PENGADILAN AGAMA DEPOK. Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam,
Program Studi Hukum Keluarga, Faklutas Syari’ah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/Syarif Hidayatullah Jakarta,
1437 H/2015 M. Ix + 63 halaman + 33 lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui penerapan mediator dalam
memaksimalkan mediasi dengan berbagai cara, yaitu memberikan nasihat kepada
kedua belah pihak dengan dakwah juga dengan mendalami persoalan yang sedang
dirasakan oleh kedua belah pihak serta mencari jalan keluar agar perkara yang
sedang berjalan tidak sampai kepada putusan hakim. Upaya perdamaian yang
dilakukan oleh hakim mediator sudah berjalan dengan baik sesuai dengan Perma
No. 1 Tahun 2008.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode kualitatif,
yakni mendeskripsikan fenomena-fenomena yang terjadi dilapangan. Dan teknik
yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah dengan wawancara dan
observasi langsung ke Pengadilan Agama dengan hakim mediator.
Implementasi mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah menjalankan proses
menurut Perma No. 1 Tahun 2008 meskipun hasil mediasi tersebut belum
mambawa hasil yang segnifikan bagi pihak yang berperkara. Implementasi sudah
dikatakan baik apabila ruangan yang disedikan untuk mediasi memiliki fasilitas
yang lengkap dalam artian para pihak yang berperkara dipastikan nyaman ketika
melakukan mediasi. Sedangkan tingkat keberhasilan mediasi dipengadilan agama
adalah sudah berjalan dengan efektif hanya saja meskipun sudah berjalan dengan
baik dari kedua belah pihak belum menemui titik terang dan jalan satu-satunya
yaitu pada perceraian yang dipengaruhi oleh benyaknya faktor diantaranya karena
adanya pihak ketiga, pertengkaran yang terus menerus masalah ekonomi dan
adanya perbedaan prinsip. Hakim Mediator menegaskan, bahwa perceraian yang
terjadi sebelum adanya mediasi, berarti kedua belah pihak telah mempunyai
kesepakatan dengan adanya perceraian baik-baik.
Kata Kunci
: Optimalisasi, Implementasi, Mediasi.
pembimbing
: Dr. Moh. Ali Wafa, SH., S.Ag., M.Ag
Daftar Pustaka : 1984 s.d 2015
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala Puji dan Syukur penulis panjatkan Kepada Allah SWT,
atas karunia dan rahmat yang telah ia berikan. Tidak ada kekuatan apapun dalam
diri ini selain dengan kekuasaan Allah SWT. Shalawat dan salam kepada baginda
besar Nabi Muhammad SAW, yang menjadi suri tauladan bagi kita, semoga sifatsifat beliau bisa kita tanamkan dalam keseharian kita.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana
Syari’ah (S.Sy) pada Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, Universitas
Islam Negi Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis
memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan
trimakasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Arip Purkon, MA., Ketua Program Studi dan
Sekertaris Program Studi Ahwal al Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Moh. Ali Wafa, SH., S.Ag., M.Ag., Dosen Pembimbing Skripsi yang
sangat bijaksana dan dengan besar hati sabar serta bersedia meluangkan
waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis dalam
penulisan skripsi ini.
v
4. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA., Dosen Pembimbing Akademik yang
senantiasa memberikan bimbingan serta motivasi kepada penulis.
5. Dosen pengajar pada lingkungan Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal
Syakhsiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya
kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
6. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi kepustakaan.
7. Ketua Pengadilan Agama Depok, Risman Kamal, SH dan Suryadi S,Ag., SH.,
M.H Mediator Pengadilan Agama, Ai Salamah, Farid Muzaky dan semua
pihak yang penulis tidak bisa disebutkan namanya satu persatu terimakasih
telah membantu dan telah memberikan data-data bagi penulis dalam
menyesaikan skripsi ini.
8. Arif Sasongko, SH Ketua Pos Bantuan Hukum Keluarga Amanah,
Muhammad Syaikhoni, S.Sy, Rachmatullah Tiflen, S.Sy dan semua pihak
yang
berpartispasi
moril
maupun
matreril
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan segenap usaha.
9. Ayahanda tercinta Sholeh Muhammad yang telah lama berpulang ke
pangkuan Ilahi Rabbi dan Ibunda tersayang Sundari, sujud abdiku kepada
kalian atas doa, pengorbanan dan memberikan motivasi terbesar kalian selama
ini, “Allahummaghfirlii waliwalidayya warhamhuma kamaa rabbayani
vi
shogiro”. Kakak ku tersayang Rina Kurniati, Yeyet Sukmawati, Nengsri
Supriyanti Ningsih dan Saudara-saudariku terkasih Susi Susanti, Rio
Hadikusuma, Finkant Adzania Madina dan Helga Geulisya Angelia yang
selalu memberikan bantuan dan Support bagi penulis.
10. Terimakasih untuk sahabat terbaikku Ovy Verina Wardhani, Nurul Via
Rachmanengsih dan Eka Purnamasari terimakasih telah memberikan
dukungan doa dan semangatnya kepada penulis dari awal perkuliahan hingga
penulis menulis skripsi dan dapat menyelesaikan skripsi ini.
11. Seluruh teman-teman Administrasi Keperdataan Islam 2011 yang tidak bisa
penulis sebutkan namanya satu persatu, yang telah menjadi teman
seperjuangan penulis dari awal masuk kuliah sampai penulis menyelesaikan
skripsi ini, trimakasih untuk canda tawa kalian, semangat dan doa akan selalu
menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan.
Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini
selanjutnya. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan
rujukan penyusunan skripsi selanjutnya.
Jakarta, 05 Januari 2016
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...............................................................................................
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................................................
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ..................................................................
LEMBAR PERNYATAAN....................................................................................
ABSTRAK ...............................................................................................................
KATA PENGANTAR ............................................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................
D. Review Studi Terdahulu ..................................................................
E. Metode Penelitian ............................................................................
F. Sistematika Penulisan ......................................................................
i
ii
iii
iv
v
iv
ix
1
5
7
8
9
12
BAB II MEDIASI DALAM LINGKUP PERADILAN AGAMA
A. Pengertian Mediasi...........................................................................
14
B. Landasan Hukum Mediasi ...............................................................
16
C. Proses Mediasi di Pengadilan Agama.............................................
20
D. Faktor Yang Menjadi Penghambat dan Pendukung Mediasi ........
25
E. Peraturan Mediasi Menurut Perma No. 1 Tahun 2008 ..................
31
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA DEPOK
A. Struktur Organisasi .........................................................................
36
B. Kewenangan Pengadilan ................................................................
44
C. Gambaran Permohonan Perkara di Pengadilan Agama Depok ...
47
BAB IV UPAYA IMPLEMENTASI DAN KEBERHASILAN MEDIASI DI
PENGADILAN AGAMA DEPOK
A. Optimalisasi dan Upaya Hakim Mediasi Meminimalisir
Perceraian........................................................................................
49
B. Implementasi Mediasi di Pengadilan Agama Depok ...................
57
C. Tingkat Keberhasilan Mediasi di Pengadilan Agama Depok ......
58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .....................................................................................
63
B. Saran ................................................................................................
65
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
66
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................................................
70
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah mahluk yang diciptakan oleh Allah SWT, yang dibekali
keinginan untuk melakukan perkawinan, karena perkawinan itu adalah salah
satu faktor untuk menjaga keberlangsungan kehidupan umat manusia di muka
bumi. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal. 1
Perkawinan merupakan fitrah cinta yang timbul antara pria dan wanita
yang bukan mahram, menjadi jalan yang paling bermanfaat dan paling afdhal
dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan
perkawinan inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan
Allah. Sebagai mana dijelaskan bahwa perkawinan menurut hukum Islam
ialah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghaliidzan untuk
menaati perintah Allah.2 Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
1
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta :
Elsas, 2008), h.3.
2
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Akademika Pressindo, 2010), Cet ke-
4, h. 32.
1
2
wasallam mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan
untuknya dan memberantas kendala-kendalanya.3
Perkawainan mengkaruniakan kepada manusia rasa cinta, kasih dan
sayang diantara suami istri. Al-Qur’an dan Hadist sebagai pedoman penting
bagi umat islam terhadap pengaruh perkawinan tersebut, hal ini terlihat
dengan banyaknya nash yang menjelaskan tentang perkawinan, diantara salah
satunya firman Allah didalam QS. Ar-Rum [30] : 21.4
Ayat tersebut, selain mengarah kepada perkawinan, juga menunjukan
bahwa dengan adanya perkawinan menjunjung tujuan tertinggi dalam syari’at
islam, yaitu memelihara regenerasi, memelihara gen manusia, dan masingmasing suami istri mendatangkan ketenangan jiwa karena kecintaan dan kasih
sayangnya yang tersalurkan, demikian juga halnya pasangan suami istri
sebagai tempat peristirahatan lelah dan tegang. Islam mengatur hubungan
suami istri dengan syari’at terbatas dan menegakkan peraturan rumah tangga
atas adanya pemimpin dalam rumah tangga yaitu suami.5
Menjalani kehidupan berkeluarga, tentu ada saja waktu terjadinya
perselisihan antara dua pasangan suami istri. Karena itu komunikasi sangat
penting untuk dijaga oleh kedua belah pihak. Untuk mengatasi permasalahan
yang seyogyanya akan timbul didalam kehidupan berumah tangga, maka
3
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h. 32.
4
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h. 36.
5
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h.3.
3
pemerintah telah memberikan solusi berupa tindakan preventif agar kedua
calon suami dan istri memahami secara benar makna dan tujuan pernikahan itu
sendiri sehingga terwujudlah keluarga hermonis. Tak jarang kehancuran
rumah tangga ini memang ada yang berakhir dengan damai kembali, namun
bila suami istri sudah tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar untuk
berdamai sehingga percekcokan terus menerus maka tak jarang hubungan
suami istri tersebut berujung pada perceraian.
Setiap perkawinan tentunya diharapkan adanya kelanggengan dalam
membina rumah tangga dengan mawaddah dan harmonis menjadikan keluarga
sakinah mawaddah warrahmah juga bertahan seumur hidupnya. Namun ada
kalanya perkawinan ini tidak mencapai kebahagiaan. Maka demi kebaikan
bersama terbukalah pintu bagi perceraian. Dengan demikian kasus perceraian
menjadi perkara yang paling banyak ditangani hakim di pengadilan.6
Dampak perceraian dari segi kejiwaan akan memberikan dampak negative
terhadap jiwa orang-orang yang terlibat. Ada sebuah kajian di Ottawa
menyatakan bahwa pria maupun wanita akan mengalami depresi dua tahun
pertama perceraian. Menurut penelitian ini, ternyata pria berusia 20 sampai 64
tahun yang telah mengalami perceraian atau perpisahan, enam kali lebih
banyak merasa tertekan, dibanding mereka yang tetap dalam hubungan
6
Muhammad Ichsan, Jangan Pernah Bercerai, (Yogyakarta: Ichsan Media, 2009), h. 14.
4
pernikahan. Sedangkan wanita hanya 3,5 lebih depresi dibandingkan mereka
yang bertahan dalam pernikahan.7
Pengadilan Agama Depok beberapa tahun ini banyak sekali menerima
perkara perceraian khususnya perkara cerai gugat. Karena itu keseimbangan
kedudukan suami istri dalam menangani kasus perceraian sangat penting.
Perceraian terjadi karena beberapa factor diantaranya adalah karena kurangnya
suami dalam memberi nafkah kepada anak dan istri, tindakan kekerasan dalam
rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istri dan sebaliknya, adapun
dikarenakan masing-masing mempunyai wanita atau laki-laki lain (Wil/Pil).
Akan tetapi perceraian banyak yang terjadi karena factor ekonomi, dari
perceraian ini maka berdampak sangat besar bagi psikologis anak dari kedua
belah pihak.8
Kasus perceraian dilaporkan terdapat 2746 Istri cerai gugat suami selama
tahun 2013 ditambah dengan priode Januari sampai akhir Juni 2014 sebanyak
1451, sehingga menjadi 4197 Istri cerai gugat pada priode tersebut. Tingginya
angka gugat cerai istri terhadap suami ditambah dengan kasus cerai talak,
telah menyumbang angka perceraian di Pengadilan Agama Depok cukup
tinggi dibuktikan dengan data di Pengadilan Agama Depok 4197 Kasus
selama priode tahun 2013 sampai bulan Juni 2014. Tingginya perkara cerai
gugat yang diajukan oleh pihak istri ini tentulah banyak dilatar belakangi oleh
7
8
Muhammad Ichsan, Jangan Pernah Bercerai, h. 14.
Hasil Data Wawancara dengan Ai Salamah, SH Staf Pengadilan Agama Depok, di
Ruang Panitera Muda Hukum Hari jum’at tanggal 25 Februari Tahun 2015 pada pukul 12.30 Wib.
5
banyak faktor, sayangnya tingginya angka perceraian ini tidak dibarengi
dengan upaya mediasi yang maksimal dari pihak hakim mediator. Dari proses
mediasi yang berjumlah 3056 Hanya 153 yang berhasil dan tidak terjadi
perceraian. Ini artinya tugas berat bagi Pengadilan Agama dan Kementrian
Agama untuk memaksimalkan peran mediasi di dalam pengadilan.9
Penyeselesaian perselisihan atau konflik yang terbaik adalah dengan cara
perdamaian atau mediasi. Hukum Islam mementingkan penyelesaian
peselisihan dengan cara perdamaian, sebelum dengan cara putusan pengadilan,
karena putusan pengadilan dapat menimbulkan dendam yang mendalam,
terutama bagi pihak yang terkalahkan. Untuk itu sebelum diperiksa hakim
wajib berusaha mendamaikan kedua belah pihak terlebih dahulu, apabila hal
ini belum dilakukan oleh hakim bisa berakibat bahwa putusan yang dijatuhkan
batal demi hukum.10
Berdasarkan
latar
belakang
permasalahan
diatas,
penulis
akan
mengkajinya dalam skripsi yang berjudul “Optimalisasi Peranan Mediator
Dalam Rangka Meminimalisir Perceraian di Pengadilan Agama Depok”.
B. Batasan dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Untuk mempermudah penulisan dan pembahasan dalam skripsi ini, perlu
kiranya penulis membatasi masalah sehingga jelas masalah yang akan dibahas.
9
Rekapitulasi Data Perkara Masuk dan Putus di Pengadilan Agama Depok Tahun 2013-
2014.
10
Jaenal Arifin, Pengadilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
(Jakarta : Kencana Perdana Media Group, 2008), h. 351.
6
Dalam skripsi ini penulis membatasi masalahnya yaitu masalah mediasi.
Namun yang menjadi focus bahasannya adalah optimalisasi peranan mediator
dalam rangka meminimalisir perceraian di Pengadilan khususnya di
Pengadilan Agama Depok di tahun 2011 sampai tahun 2014.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pasal 15 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang proses
mediasi di Pengadilan Agama, mediator wajib mendorong para pihak untuk
menulusuri, menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan
penyelsaian yang tebaik bagi para pihak. Ini artinya peran mediator dituntut
untuk mendamaikan para pihak.
Namun pada kenyataannya hakim belum bisa mendamaikan atau
meminimalisir angka perceraian, hal tersebut menyebabkan semakin tingginya
angka perceraian di Pengadilan Agama. Dan puncaknya pada tahun 20122014.
Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah optimalisasi dan upaya-upaya mediator dalam rangka
meminimalisir angka perceraian di Pengadilan Agama Depok?
2. Bagaimanakah implementasi mediasi di Pengadilan Agama Depok?
3. Bagaimanakah tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Segala sesuatu yang ditulis oleh seseorang tentu memiliki tujuan
tersendiri, begitu halnya dalam pembahasan judul ini. Penulis tentu memiliki
beberapa tujuan tertentu agar tidak menyimpang dari rumusan masalah yang
diutarakan diatas. Maka dengan adanya penilitian ini, bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui optimalisasi dan upaya-upaya hakim mediasi dalam
rangka meminimalisir angka perceraian di Pengadilan Agama Depok.
2. Untuk mengetahui implementasi mediasi di Pengadilan Agama Depok.
3. Untuk mengetahui bagaimana tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan
Agama Depok.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penulis dalam menambah
wawasan, pengalaman, dan dapat memberikan sumbangan pemikiran
dalam rangka mengembangkan dan memperkaya khasanah pengetahuan,
terutama pengetahuan yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian.
2. Hasil penilitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para hakim dan
praktisi hukum dalam melakukan mediasi pada perkara perceraian di
Pengadilan Agama.
3. Hasil penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian
selanjutnya.
8
D. Studi Terdahulu
Pada hakikatnya membina rumah tangga yang sakinah mawaddah
warrahmah tidak semudah yang diinginkan, bahwa memelihara keharmonisan
dalam berumah tangga bukan merupakan hal yang mudah untuk dilaksanakan.
Beberapa penyelesaian mengenai perkara mediasi dalam perkara perceraian
telah dibahas pada judul skripsi terdahulu. Adapaun beberapa judul skripsi
yang pernah penulis baca pada perpustakaan yang tersedia di UIN Jakarta
adalah sebagai berikut :
Pertama, judul skripsi tentang : “Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama
(Studi Implementasi Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan Agama Bekasi).” Oleh Nur Hidayat Tahun 1432 H/ 2011 M. Pada
judul skripsi tersebut hanya membahas tentang faktor-faktor penghambat dan
pendukung proses mediasi di Pengadilan Agama, yang mana di Pengadilan
Agama banyak menerapkan proses mediasi yang tidak sesuai dengan PERMA
tentang Mediasi.
Kedua, judul skripsi tentang : “Efektifitas dan Peranan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Dalam Mewujudkan Proses Mediasi.” Oleh Ubaidillah Tahun
2011 M. Pada judul skripsi tersebut hanya membahas tentang Efektifitas dan
Peranan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Dalam Mewujudkan Proses
Mediasi, hanya membahas perkara semua perkara yang perlu di mediasi.
Kewarisan, perceraian dan kasus-kasus yang masuk diterima pengadilan
Agama Jakarta Selatan.
9
Dari kedua skripsi di atas, penilitan penulis ini jelas akan berbeda dengan
keduanya. Penulis akan membahas tentang pengoptimalan dan implementasi
mediasi dalam mengurangi tingkat perceraian khususnya di Pengadilan
Agama Depok karena selama ini proses mediasi hanyalah sebagai formalitas
berjalannya persidangan.
E. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian ini adalah dengan cara menggunakan metode penelitian
kualitatif, yaitu dengan memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum
yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala dalam kehidupan manusia.11
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu
penelitian bersifat pendekatan survei dengan melakukan observasi langsung
dan melakukan wawancara kepada hakim yang ditunjuk sebagai hakim
mediator dan para pihak yang berperkara.
Penelitian yang terdiri dari studi pustaka dan studi lapangan (Library
Research and Field Research), untuk memperoleh informasi pada responden
yang terkait dengan judul skripsi ini sehingga diperoleh data yang valid dan
dapat dipertanggung jawabkan.
2. Sumber Data
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan dua jenis sumber data
yaitu :
11
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 20.
10
1. Data primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh penelitian sendiri selama
penelitian berjalan.12 Data primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas
peraturan perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki peraturan
Perundang-undangan dengan Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Badan Hukum Premier tersebut
yaitu PERMA No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
2. Data skunder
Data Skunder merupakan data yang diperoleh dari bahan Kepustakaan.13
bahan hukum yang terdiri atas buku-buku (textbook) yang ditulis para ahli
hukum yang berpengaruh (de hersende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat
para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil symposium
mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini. Bahan hukum
skunder tersebut terdiri dari buku-buku hukum, kitab-kitab fikih yang
berkaitan dengan mediasi, media cetak, artikel-artikel baik dari internet
maupun berupa data digital.
3. Teknik Pengumpulan Data
Karena pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka
teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah dengan melalui
metode wawancara. Wawancara dilakukan pada pihak yang menangani proses
h.51.
12
Modul Perancangan Undang-undang, (Jakarta: Sekertaris Jendral DPR RI, 2008), h. 7.
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992),
11
mediasi yakni hakim mediator. Dan melakukan obesrvasi langsung ke
Pengadilan Agama Depok.
Selain itu pada penelitian ini juga menggunakan teknik documenter untuk
mendapatkan data yang lebih lengkap. Teknik ini sangat penting dilakukan,
karena beberapa bahan materi terdapat di dalam buku, jurnal, arsip dan
dokumen.
Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode
sebagai berikut :
a. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variable berupa catatan,
transkip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat,
agenda, dan sebagainya.14
b. Metode Interview
Metode interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara
untuk memperoleh informasi dari terwawancara.15 Dalam penulisan proposal
ini Penulis akan melakukan wawancara dengan para pakar hukum, seperti
hakim dan pengamat hukum lainnya.
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 201.
15
Suharsismi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h.205.
12
c. Teknis Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan dengan
pengelolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan untuk
menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2015.
d. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan metode deskriptif
kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan
hasil wawancara yang diperoleh. Sehingga didapat suatu kesimpulan yang
objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan
penulis dalam penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam
bentuk bab dab sub bab yang saling berkaitan merupakan suatu bahasan dari
masalah yang diteliti. Maka masing-masing dengan sistematikanya sebagai
berikut :
Pertama pendahuluan, yang memuat latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi terdahulu,
metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
13
Kedua, berisi tentang mediasi persfektif hukum positif dan hukum islam
yaitu meliputi pengertian mediasi, landasan hukum mediasi, proses mediasi,
factor penghambat dan pendukung mediasi, mediasi menurut perma No. 1
Tahun 2008.
Ketiga, berisi tentang profil Pengadilan Agama Depok yakni meliputi,
sejarah singkat dan letak geografis, visi misi, struktur organisasi, kewenangan
pengadilan dan gambaran permohonan.
Keempat, berisi tentang analisa implementasi dan keberhasilan hakim
mediasi yakni meliputi , Optimalisasi Mediator di Pengadilan Agama Depok,
implementasi mediasi, dan Tingkat Kebrhasilan Mediasi di Pengadilan Agama
Depok.
Kelima, berisi Penutup dari semua bab yang memuat kesimpulan dan
saran-saran.
BAB II
MEDIASI DALAM LINGKUP PERADILAN AGAMA
A. Pengertian Mediasi
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahsa latin, mediare yang
berarti berada ditengah. Makna ini menunjukan pada peran yang ditampilkan
pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan
menyelesaikan sengketa antara para pihak.1 Mediasi berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam
penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.2
Mediasi sebagaimana dicantum pada pasal 1851 KUHP adalah, suatu
persetujuan dimana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan,
atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung
atau mencegah timbulnya suatu perkara.3 Kemudian dalam pasal 130 HIR dan
154 RBg yang berbunyi “bila pada hari yang telah ditentukan para pihak
datang menghadap, maka Pengadilan Negeri dengan perantara ketua berusaha
mendamaikan, jika dapat dicapai perdamaian, maka di dalam sidang itu juga
dibuatkan suatu akta dan para pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang
telah dibuat, dan akta itu mempunyai kekuatan serta dilaksanakan seperti suatu
1
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 2.
2
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 640.
3
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:
Pradyna Paramitha, 2004), h. 468.
14
15
surat keputusan biasa”.4 Begitu juga perdamaian yang dimuat di KHI
khususnya berkaitan dengan hukum keluarga, pasal 115: “Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”, Pasal
143 ayat (1): “Dalam pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak”. (2): “selama perkara belum diputuskan
usaha untuk mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.”
Dan pasal 144: “Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan
gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada
seblum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya
perdamaian.” 5
Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan pengertian mediasi adalah cara penyelesaian sengketa
memalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu oleh mediator.6
4
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
Dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Grafindo Sejahtera, 2001), h. 65.
5
6
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), h. 141.
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
16
B. Landasan Hukum Mediasi
Dalam kitab suci Al-Qur’an ayat yang berhubungan dengan dengan
perdamaian (mediasi) antara lain dalam surat QS. An-Nisa (4) ayat 35 yang
berbunyi :
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Ayat diatas menganjurkan untuk mengutus kepada keduanya seorang
hakam, yaitu juru damai untuk meyelesaikan kemelut mereka dengan baik.
Juru damai itu sebaiknya dari kedua belah pihak agar sama-sama mengetahui
masing-masing keluhan dan harapan anggota keluarganya. Jika antara
keduanya ingin mengadakan perbaikan atas kemelut rumah tangga antara
suami dan istri tersebut niscaya Allah akan memberi bimbingan kepada
keduanya.7
Walaupun tidak disebut dengan mediasi, penyelesaian sengketa dalam
islam gunakan menyerupai pola yang digunakan dalam mediasi. Dalam
hukum islam mediasi lebih dikenal dengan istilah islah dan hakam.8 Ishlah/
7
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2000), h. 412-413.
8
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan
Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2011), h. 119.
17
sulhu menurut bahasa adalah perbaikan.9 Menurut syara’ adalah suatu akad
dengan maksud untuk mengakhiri suatu suatu persengketaan antara kedua
belah pihak yang bersengketa.10 Selain islah dikenal juga dengan hakam
berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan perkawinan yang disebut dengan
syiqaq.
Untuk mengatasi kemelut rumah tangga antara suami dan istri, islam
memerintahkan antara kedua belah pihak bermaksud untuk mencari jalan
keluar terhadap kemelut rumah tangga yang dihadapi suami istri. Sebagai
pedoman, hakam dapat diambil dari penjelasan pasal 76 ayat (2) Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama bahwa,
“Hakim adalah orang yang ditetapkan pengadilan dari pihak keluarga suami
atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian
perselisihan terhadap syiqaq”.11
Kemudian dasar hukum mediasi
berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan seperti dalam Pasal 82 ayat (1) dan (4) Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan Agama yang berbunyi:
9
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Kamus Arab- Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 789.
10
11
As Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah Juz III, (Beirut: Dar Al-Fiqr, 1997), h. 350.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama pasal 76 ayat 2.
18
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan.12
Dalam pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan, ketua Majlis
Hakim diberi wewenang menawarkan perdamaian kepada para pihak yang
berperkara. Tawaran perdamaian dapat diusahakan sepanjang pemeriksaan
perkara sebelum majlis hakim menjatuhkan putusan. Perdamaian ditawarkan
bukan hanya pada sidang hari pertama, melainkan juga pada setiap kali sidang.
Hal ini sesuai dengan sifat perkara bahwa inisiatif berperkara datang dari
pihak-pihak, karenanya pihak-pihak juga yang dapat mengakhirinya secara
damai melalui perantaraan majlis hakim di muka sidang pengadilan. Menurut
ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, pengadilan tidak menutup kemungkinan untuk upaya
penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.13
Lalu mengenai pemeriksaan perkara perceraian di pengadilan, ada pasalpasal lain yang mengatur masalah perdamaian ini, yaitu dalam Pasal 56 ayat
(2), 65, 83 Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan Agama
12
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama pasal 82 ayat 1 dan 2.
13
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : PT
Citra Aditya Bakti, 2000), h. 93.
19
dan Pasal 31, 33 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan.14
Selain itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menganjurkan
kepada Hakim agar selalu berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang
berperkara di dalam persidangan, yaitu dalam pasal 143 ayat 1dan 2 yang
berbunyi :
(1) Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim mendamaikan kedua belah
pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
setiap sidang pemeriksaan.15
Begitu juga dalam Pasal 130 HIR/154 RBG.16 Disebutkan bahwa apabila
pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, maka
pengadilan dengan perantaraan kedua sidang berusaha mendamaikan mereka.
1. Jika persidangan tercapai pada waktu persidangan dibuat suatu akta
perdamaian yang mana kedua belah pihak dihukum untuk melaksanakan
perjanjian itu, akta perdamaian tersebut berkekuatan dan dapat dijalankan
sebagaimana putusan yang biasa akan tetapi ketentuan ini tidak berlaku
14
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama pasal 56 ayat
2 ayat 65,83 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
15
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), h. 141.
16
Mohammad Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta : PT
Rineka Cipta, 2004), h. 61.
20
bagi perkara perceraian hanya saja berlaku bagi hak asuh anak, harta
bersama, waris dan sebagainya.
2. Terhadap putusan yang sedemikian itu tidak dapat dimohonkan banding.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, pada Pasal 1 butir 7 disebutkan bahwa:
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
C. Proses Mediasi di Pengadilan Agama
Tahapan mediasi yang dilakukan dilakukan oleh pengadilan sesuai dengan
PERMA No. 1 Tahun 2008, proses mediasi dibagi kedalam tiga tahap, yaitu
tahap pramediasi, tahap pelaksanaan mediasi,17 tahap akhir implementasi hasil
mediasi, ketiga tahap ini merupakan jalan yang akan ditempuh oleh mediator
dan para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka.
1. Tahap Pramediasi
Tahap pramediasi adalah tahap awal dimana mediator menyusun sejumlah
langkah dan persiapan sebelum mediasi benar-benar dimulai. Tahap ini
menentukan berjalan atau tidaknya proses mediasi selanjutnya. Mediator
melakukan beberapa langkah antara lain : membangun kepercayaan diri,
menghubungi para pihak, menggali dan memberikan informasi awal mediasi,
mengkordinasikan pihak bertikai, mewaspadai perbedaan budaya, menentukan
siapa yang hadir, menentukan tujuan pertemuan, kesepakatan waktu dan
17
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 36.
21
tempat, dan menciptakan rasa aman bagi kedua belah pihak untuk bertemu dan
membicarakan permasalahan mereka.18
Tahap pra mediasi menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur
mediasi di Pengadilan pasal 7 ayat (1) bahwa: “pada hari sidang yang telah
ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak
untuk menempuh mediasi”, pada hari itu juga paling lama 2 hari kerja,
berikutnya para pihak ataupun kuasa hukum mereka wajib memilih mediator
dengan alternative pilihan sebagaimana pada pasal 8 PERMA ini lalu
menyampaikannya kepada Ketua Majlis.19
2. Tahap Pelaksanaan Mediasi
Tahap pelaksanaan mediasi adalah tahap dimana pihak-pihak bersengketa
sudah berhadapan satu sama lain dan memulai proses mediasi. Tahap mediasi
didalam pasal 13 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang proses mediasi
di Pengadilan: Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak
menunjuk mediator yang disepakati, para pihak dapat menyerahkan resume
perkara kepada satu sama lain dan mediator. Selanjutnya mediator
menunjukan jadwal pertemuan, dimana para pihak dapat didampingi kuasa
hukumnya. Pada dasarnya proses mediasi bersifat rahasia dan berlangsung
18
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, h. 37.
19
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengket Perdata di Pengadilan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h.73.
22
paling lama 40 hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator
sebagaimana pada ayat (3) pasal yang sama.20
Dalam proses ini terdapat beberapa langkah, diantaranya sambutan
mediator, presentasi dan pemaparan kisah para pihak, mengurutkan dan
menjernihkan permasalahan, berdiskusi dan bernegosiasi masalah yang
disepakati,
menciptakan
opsi-opsi,
menemukan
butir
kesepakatan,
merumuskan keputusan, mencatat dan menuturkan kembali keputusan dan
penutup mediasi. Jika tercapai kesepakatan, para pihak dengan bantuan
mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang telah dicapai dan
ditanda tangani oleh para pihak dan mediator (pasal 17 ayat 1). 21
Dalam menyusun dan mengurutkan permasalahan, mediator harus selalu
mengklarifikasikan dan menanyakan kepada para pihak, apakah persoalan itu
penting bagi mereka, dan apakah kebutuhan-kebutuhan khusus yang berkaitan
dengan tiap-tiap masalah yang telah diurutkan satu persatu. Jika mediator
telah mengurutkan permasalahan dan menemukan kebutuhan-kebutuhan
khusus para pihak, maka ia dapat menuliskan atau menggambarkan pada
kertas, setelah mendapatkan persetujuan masing-masing pihak
yang
menyatakan kebutuhan tersebut.22
20
Muslih MZ, “Pengantar Mediasi: Teori dan Praktik”, dalam M. Mukhsin Jamil (ed.),
Mengelola Konflik Membangun Damai; Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik,
(Semarang: Walisongo Mediation Centre, 2007), h. 120.
21
Muslih MZ, “Pengantar Mediasi: Teori dan Praktik”, dalam M. Mukhsin Jamil (ed.),
Mengelola Konflik Membangun Damai; Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik, h.
121.
22
Muslih MZ, “Pengantar Mediasi: Teori dan Praktik”, dalam M. Mukhsin Jamil (ed.),
Mengelola Konflik Membangun Damai; Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik, h.
123.
23
Hakim kemudian mengukuhkan kesepakatan tersebut sebagai suatu akta
perdamaian, jika tidak mencapai kesepakatan, maka mediator menyampaikan
secara tertulis bahwa proses mediasi gagal, dan memberitahukannya kepada
Hakim (pasal 18 ayat 1) yang kemudian akan melanjutkan pemeriksaan pokok
perkara tersebut.
3. Tahap Akhir Implementasi Hasil Mediasi
Tahap ini merupakan tahap dimana para pihak hanyalah menjalankan
hasil-hasil kesepakatan yang telah mereka tuangkan bersama dalam suatu
perjanjian tertulis tersebut berdasarkan komitmen yang telah mereka tunjukan
selama dalam proses mediasi.23
Dengan mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat
dan relative murah dan dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para
pihak, selain itu akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan
mereka secara nyata, juga memberikan kesempatan para pihak untuk
berpartisipasi secara langsung dalam menyelesaikan perselisihan. 24
Adapun manfaat dalam gugatan perdata jika perdamaian berhasil
dilaksanakan dari para pihak yang berperkara dengan dibuatnya akta
perdamaian yang dibuat dalam bentuk putusan perdamaian yang dibuat oleh
Hakim yaitu: 25
23
Muslih MZ, “Pengantar Mediasi: Teori dan Praktik”, dalam M. Mukhsin Jamil (ed.),
Mengelola Konflik Membangun Damai; Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik, h. 155.
24
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, (Jakarta : Kencana, 2009), h. 26.
25
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 160.
24
1. Mempunyai Kekuatan Hukum
Pada pasal 1851 KUHP Perdata dikemukakan bahwa semua putusan
perdamaian yang dibuat sidang Majlis Hakim mempunyai kekuatan hukum
tetap seperti putusan pengadilan lain. Putusan perdamaian itu tidak bisa
dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan salah
satu pihak telah dirugikan oleh putusan perdamaian itu. Begitu juga dalam
pasal 130 ayat (2) HIR.26
2. Tertutup Upaya Banding dan Kasasi
Putusan perdamaian sama nilainya dengan putusan pengadilan lainnya
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini berarti terhadap putusan
perdamaian itu tertutup upaya banding dan kasasi. Ketentuan ini mengandung
bahwa pengertian putusan perdamaian itu sejak ditetapkan oleh hakim menjadi
putusan perdamaian itu adalah pasti dan tidak ada penafsiran lagi. 27
3. Memiliki Kekuatan Ekseskutorial
Putusan perdamaian yang dibuat dalam persidangan Majlis Hakim
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, mempunyai kekuatan hukum
eksekusi dan mempunyai hukum pembuktian. Dalam artian apabila para pihak
tetap ingin mengambil putusan perceraian maka surat kesepakatan perdamaian
tersebut tidak berlaku lagi dan dapat dijadikan bukti dipersidangan bahwa
sebelum berlanjut kepersidangan kedua para pihak sudah melakukan mediasi
26
Bahwa jika perdamaian dapat dicapai, maka pada waktu itu pula dalam persidangan
dibuatputusan perdamaian dengan menghukum para pihak untuk mematuhi persetujuan damai
yang mereka buat.
27
161.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, h.
25
dan membuat surat kesepakatan perdamaian akan tetapi dipertengahan jalan
salah satu pihak melanggar kesepakatan tersebut maka pihak yang dirugikan
bisa mencabut kesepakatan tersebut.
D. Faktor Yang Menjadi Penghambat dan Pendukung Mediasi
1. Faktor Penghambat Penerapan Perma No. 1 Tahun 2008
Mahkamah Agung RI dengan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor :
KMA/059/SK/XII/2003 yang berlaku sejak 30 Desember 2003 dan berlaku
efektif sejak 18 September-November 2004, telah menunjuk beberapa
Pengadilan Negeri yang perlu dibina dan diamati secara khusus dalam rangka
penerapan PERMA No. 2 Tahun 2003 yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Bengkalis dan Pengadilan
Negeri
Batusangkar.
Keempat
Pengadilan
Negeri
tersebut
bertugas
menjalankan kegiatan mediasi berupa:
a. Mengadakan pelaksanaan dan sosialisasi program percontohan mediasi.
b. Mengadakan pelatihan bagi hakim-hakim, wakil advokat, pemuka adat,
wakil pengusaha, dan para dosen mengenai pelaksanaan mediasi.28
Dengan berakhirnya masa pembinaan tersebut, ternyata terdapat beberapa
hambatan yang dijumpai dalam pelaksanaan mediasi berdasarkan PERMA No.
2 Tahun 2003 tersebut. Kemudian lahirlah PERMA No. 1 Tahun 2008 yang
28
214.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, h.
26
diharapkan dapat mengatasi kekurangan PERMA No. 1 Tahun 2003.29 Akan
tetapi, meski peraturan telah diganti, hambatan pelaksanaan tetap ada
sebagaimana di bawah ini.
Beberapa factor yang mengambat pelaksanaan PERMA, antara lain:
a. Ketiadaan Mekanisme yang Dapat Memaksa Salah Satu Pihak Atau Para
Pihak yang Tidak Menghadiri Pertemuan Mediasi.
Dalam proses persidangan biasa jika salah satu pihak tidak hadir pada
sidang pertama setelah dipanggil secara patut, maka hakim dapat menjatuhkan
hukuman verstek, yang mengalahkan pihak yang tidak hadir. Dalam proses
mediasi, bila ada para pihak yang tidak hadir setelah ditentukan pertemuan
mediasi, berarti ia sebenarnya tidak berkehendak untuk berdamai, sehingga
mereka
dengan
sengaja
ingin
bermain-main
dengan
waktu,
yaitu
menghabiskan waktu empat puluh hari yang diwajibkan untuk mediasi. Oleh
karenanya perlu diterapkan suatu konsekuensi yang tidak menguntungkan bagi
pihak yang tidak hadir. Alternative lain adalah merefisi PERMA dengan
menambah ketentuan bahwa apabila setelah dua hari sejak jadwal pertemuan
mediasi yang disepakati terlewati, maka satu pihak atau para pihak tidak hadir
tanpa alasan yang kuat, maka mediator berwenang untuk mengatakan proses
mediasi gagal, sehingga tidak perlu menunggu masa empat puluh hari habis
untuk menyatakan kegagalan mediasi. Dengan demikian penghematan waktu
29
h.154.
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengket Perdata di Pengadilan,
27
dalam penanganan perkara karena tujuan dasar mediasi adalah percepatan
penyelsaian perkara.30
b. Jumlah Mediator dan Jumlah Hakim yang Terbatas
Dengan adanya PERMA No. 1 Tahun 2008, Pasal 8 ayat (1), mediator
pada setiap pengadilan berasal dari kalangan Hakim dan hakim yang memiliki
sertifikat. Hakim diberi tugas sebagai Hakim mediator dimana mereka juga
perlu mendapatkan pelatihan mengenai mediasi. Hakim mediator dapat berupa
Hakim pemeriksa perkara dan Hakim bukan pemeriksa perkara. Kemudian
dengan adanya proses mediasi yang mediatornya adalah salah satu hakim
pemeriksa perkara yang telah mengetahui duduk persoalan sebenarnya melalui
kaukus, tentu cenderung akan berpihak kepada salah satu pihak dan apabila
perdamaian gagal, maka secara psikologis Hakim tersebut tidak lagi impertial
meskipun ada syarat keterpisahan mediasi dari litigasi dalam pasal 19 PERMA
ini.31 Dengan minimnya jumlah Hakim yang telah memiliki sertifikat
mediator, maka Ketua Pengadilan perlu mengeluarkan kebijakan dengan
menunjukan mediator Hakim tambahan terutama apabila jumlah perkara
perdata di wilayah hukumnya tergolong banyak guna terwujud proses mediasi
yang lebih fair dan seimbang.
c. Itikad Baik Para Pihak
Itikad baik sangat penting guna keberhasilan proses mediasi agar tercapai
kesepakatan yang win-win solution. Apabila para pihak tidak mau melihat
30
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengket Perdata di Pengadilan,
31
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengket Perdata di Pengadilan,
h.183.
h. 203.
28
kebutuhan mereka dan hanya mengejar keuntungan, maka perdamaian melalui
mediasi akan sulit tercapai.32
d. Dukungan Para Hakim
Para Hakim Pengadilan Negri dan Pengadilan Agama berpendapat bahwa
tugas pokok mereka adalah menyelsaikan sengketa secara memutus. Disini
Hakim belum memiliki kesadaran idealis, tanpa dukungan dari para Hakim
maka penerapan mediasi yang diwajibkan itu tidak akan pernah berhasil
karena gaji yang diterima merupakan imbalan atas pelaksanaan tugas pokok
itu. Pemberian tugas sebagai mediator yang intinya adalah mendamaikan
adalah berbeda dari tugas pokok, dengan kata lain tugas tambahan, sehingga
mereka berhak atas insentif. Oleh karenanmya perlu upaya penciptaan insentif
yang jelas dan transparan bagi para Hakim yang sukses mendamaikan,
sehingga para Hakim mendukung sepenuhnya proses mediasi. Memang dalam
Pasal 25 ayat (1) PERMA ini telah diatur bahwa hakim yang berhasil
menjalankan fungsi mediator akan diberi insentif dan Mahkamah Agung
menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi, akan tetapi
sehingga tahun 2015 pengaturan tersebut belum terealisasi, hanya sekedar
peraturan diatas kertas. Sehingga tidak meningkatkan kesadaran Hakim untuk
mendamaikan.
e. Ruangan Mediasi
Tersedianya ruangan khusus mediasi merupakan factor penting untuk
mendukung pelaksanaan mediasi tersebut. Disamping factor keberhasilannya
32
h. 203.
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengket Perdata di Pengadilan,
29
yang harus dijaga, rasa nyaman juga perlu diperhatikan agar para pihak lebih
leluasa mengungkapkan masalahnya dan tidak takut masalahnya didengar
orang lain.
Untuk itu perlu rehabilitasi gedung kantor pengadilan yang saat ini masih
banyak pengadilan yang kekurangan ruangan sehingga melaksanakan proses
mediasi di ruangan Hakim yang apabila dilakukan di luar gedung pengadilan
dan di luar jam kerja, tentu akan menimbulkan hal-hal yang mencurigakan
pihak lain dan akan merusak citra Hakim serta dilarang dalam PERMA No. 1
Tahun 2008.33
f. Dukungan Pengacara dalam Proses Mediasi
Masalah pemberian honorarium kepada pengacara adalah hubungan antara
pengacara dan kliennya sehingga tidak perlu dicampuri oleh Mahkamah
Agung. Akan tetapi, karena dukungan atau penolakan pengacara untuk
menganjurkan kliennya bermediasi akan berpengaruh pada pelaksanaan
PERMA ini, maka hal ini perlu dibahas sebagai satu mata rantai yang saling
berkaitan.34
Pola honorarium terbagi atas tiga
TIMALISASI PERANAN MEDIATOR
DALAM RAN
ANGKA MEMINIMALISIR PERCERA
ERAIAN
DII P
PENGADILAN AGAMA DEPOK
Skripsi
Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi
S
Diajukan Kepada Fa
nuhi Salah
Satu
ratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy))
Persyarata
Oleh:
CHOIRUNNISYA
NIM. 1111044200004
ROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
PRO
( AHWAL SYAKHSIYYAH )
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
FA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/ 2016 M
ABSTRAK
Choirunnisya. NIM 1111044200004. OPTIMALISASI PERANAN
MEDIATOR DALAM RANGKA MEMINIMALISIR PERCERAIAN DI
PENGADILAN AGAMA DEPOK. Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam,
Program Studi Hukum Keluarga, Faklutas Syari’ah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/Syarif Hidayatullah Jakarta,
1437 H/2015 M. Ix + 63 halaman + 33 lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui penerapan mediator dalam
memaksimalkan mediasi dengan berbagai cara, yaitu memberikan nasihat kepada
kedua belah pihak dengan dakwah juga dengan mendalami persoalan yang sedang
dirasakan oleh kedua belah pihak serta mencari jalan keluar agar perkara yang
sedang berjalan tidak sampai kepada putusan hakim. Upaya perdamaian yang
dilakukan oleh hakim mediator sudah berjalan dengan baik sesuai dengan Perma
No. 1 Tahun 2008.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode kualitatif,
yakni mendeskripsikan fenomena-fenomena yang terjadi dilapangan. Dan teknik
yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah dengan wawancara dan
observasi langsung ke Pengadilan Agama dengan hakim mediator.
Implementasi mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah menjalankan proses
menurut Perma No. 1 Tahun 2008 meskipun hasil mediasi tersebut belum
mambawa hasil yang segnifikan bagi pihak yang berperkara. Implementasi sudah
dikatakan baik apabila ruangan yang disedikan untuk mediasi memiliki fasilitas
yang lengkap dalam artian para pihak yang berperkara dipastikan nyaman ketika
melakukan mediasi. Sedangkan tingkat keberhasilan mediasi dipengadilan agama
adalah sudah berjalan dengan efektif hanya saja meskipun sudah berjalan dengan
baik dari kedua belah pihak belum menemui titik terang dan jalan satu-satunya
yaitu pada perceraian yang dipengaruhi oleh benyaknya faktor diantaranya karena
adanya pihak ketiga, pertengkaran yang terus menerus masalah ekonomi dan
adanya perbedaan prinsip. Hakim Mediator menegaskan, bahwa perceraian yang
terjadi sebelum adanya mediasi, berarti kedua belah pihak telah mempunyai
kesepakatan dengan adanya perceraian baik-baik.
Kata Kunci
: Optimalisasi, Implementasi, Mediasi.
pembimbing
: Dr. Moh. Ali Wafa, SH., S.Ag., M.Ag
Daftar Pustaka : 1984 s.d 2015
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala Puji dan Syukur penulis panjatkan Kepada Allah SWT,
atas karunia dan rahmat yang telah ia berikan. Tidak ada kekuatan apapun dalam
diri ini selain dengan kekuasaan Allah SWT. Shalawat dan salam kepada baginda
besar Nabi Muhammad SAW, yang menjadi suri tauladan bagi kita, semoga sifatsifat beliau bisa kita tanamkan dalam keseharian kita.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana
Syari’ah (S.Sy) pada Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, Universitas
Islam Negi Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis
memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan
trimakasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Arip Purkon, MA., Ketua Program Studi dan
Sekertaris Program Studi Ahwal al Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Moh. Ali Wafa, SH., S.Ag., M.Ag., Dosen Pembimbing Skripsi yang
sangat bijaksana dan dengan besar hati sabar serta bersedia meluangkan
waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis dalam
penulisan skripsi ini.
v
4. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA., Dosen Pembimbing Akademik yang
senantiasa memberikan bimbingan serta motivasi kepada penulis.
5. Dosen pengajar pada lingkungan Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal
Syakhsiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya
kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
6. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi kepustakaan.
7. Ketua Pengadilan Agama Depok, Risman Kamal, SH dan Suryadi S,Ag., SH.,
M.H Mediator Pengadilan Agama, Ai Salamah, Farid Muzaky dan semua
pihak yang penulis tidak bisa disebutkan namanya satu persatu terimakasih
telah membantu dan telah memberikan data-data bagi penulis dalam
menyesaikan skripsi ini.
8. Arif Sasongko, SH Ketua Pos Bantuan Hukum Keluarga Amanah,
Muhammad Syaikhoni, S.Sy, Rachmatullah Tiflen, S.Sy dan semua pihak
yang
berpartispasi
moril
maupun
matreril
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan segenap usaha.
9. Ayahanda tercinta Sholeh Muhammad yang telah lama berpulang ke
pangkuan Ilahi Rabbi dan Ibunda tersayang Sundari, sujud abdiku kepada
kalian atas doa, pengorbanan dan memberikan motivasi terbesar kalian selama
ini, “Allahummaghfirlii waliwalidayya warhamhuma kamaa rabbayani
vi
shogiro”. Kakak ku tersayang Rina Kurniati, Yeyet Sukmawati, Nengsri
Supriyanti Ningsih dan Saudara-saudariku terkasih Susi Susanti, Rio
Hadikusuma, Finkant Adzania Madina dan Helga Geulisya Angelia yang
selalu memberikan bantuan dan Support bagi penulis.
10. Terimakasih untuk sahabat terbaikku Ovy Verina Wardhani, Nurul Via
Rachmanengsih dan Eka Purnamasari terimakasih telah memberikan
dukungan doa dan semangatnya kepada penulis dari awal perkuliahan hingga
penulis menulis skripsi dan dapat menyelesaikan skripsi ini.
11. Seluruh teman-teman Administrasi Keperdataan Islam 2011 yang tidak bisa
penulis sebutkan namanya satu persatu, yang telah menjadi teman
seperjuangan penulis dari awal masuk kuliah sampai penulis menyelesaikan
skripsi ini, trimakasih untuk canda tawa kalian, semangat dan doa akan selalu
menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan.
Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini
selanjutnya. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan
rujukan penyusunan skripsi selanjutnya.
Jakarta, 05 Januari 2016
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...............................................................................................
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................................................
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ..................................................................
LEMBAR PERNYATAAN....................................................................................
ABSTRAK ...............................................................................................................
KATA PENGANTAR ............................................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................
D. Review Studi Terdahulu ..................................................................
E. Metode Penelitian ............................................................................
F. Sistematika Penulisan ......................................................................
i
ii
iii
iv
v
iv
ix
1
5
7
8
9
12
BAB II MEDIASI DALAM LINGKUP PERADILAN AGAMA
A. Pengertian Mediasi...........................................................................
14
B. Landasan Hukum Mediasi ...............................................................
16
C. Proses Mediasi di Pengadilan Agama.............................................
20
D. Faktor Yang Menjadi Penghambat dan Pendukung Mediasi ........
25
E. Peraturan Mediasi Menurut Perma No. 1 Tahun 2008 ..................
31
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA DEPOK
A. Struktur Organisasi .........................................................................
36
B. Kewenangan Pengadilan ................................................................
44
C. Gambaran Permohonan Perkara di Pengadilan Agama Depok ...
47
BAB IV UPAYA IMPLEMENTASI DAN KEBERHASILAN MEDIASI DI
PENGADILAN AGAMA DEPOK
A. Optimalisasi dan Upaya Hakim Mediasi Meminimalisir
Perceraian........................................................................................
49
B. Implementasi Mediasi di Pengadilan Agama Depok ...................
57
C. Tingkat Keberhasilan Mediasi di Pengadilan Agama Depok ......
58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .....................................................................................
63
B. Saran ................................................................................................
65
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
66
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................................................
70
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah mahluk yang diciptakan oleh Allah SWT, yang dibekali
keinginan untuk melakukan perkawinan, karena perkawinan itu adalah salah
satu faktor untuk menjaga keberlangsungan kehidupan umat manusia di muka
bumi. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal. 1
Perkawinan merupakan fitrah cinta yang timbul antara pria dan wanita
yang bukan mahram, menjadi jalan yang paling bermanfaat dan paling afdhal
dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan
perkawinan inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan
Allah. Sebagai mana dijelaskan bahwa perkawinan menurut hukum Islam
ialah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghaliidzan untuk
menaati perintah Allah.2 Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
1
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta :
Elsas, 2008), h.3.
2
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Akademika Pressindo, 2010), Cet ke-
4, h. 32.
1
2
wasallam mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan
untuknya dan memberantas kendala-kendalanya.3
Perkawainan mengkaruniakan kepada manusia rasa cinta, kasih dan
sayang diantara suami istri. Al-Qur’an dan Hadist sebagai pedoman penting
bagi umat islam terhadap pengaruh perkawinan tersebut, hal ini terlihat
dengan banyaknya nash yang menjelaskan tentang perkawinan, diantara salah
satunya firman Allah didalam QS. Ar-Rum [30] : 21.4
Ayat tersebut, selain mengarah kepada perkawinan, juga menunjukan
bahwa dengan adanya perkawinan menjunjung tujuan tertinggi dalam syari’at
islam, yaitu memelihara regenerasi, memelihara gen manusia, dan masingmasing suami istri mendatangkan ketenangan jiwa karena kecintaan dan kasih
sayangnya yang tersalurkan, demikian juga halnya pasangan suami istri
sebagai tempat peristirahatan lelah dan tegang. Islam mengatur hubungan
suami istri dengan syari’at terbatas dan menegakkan peraturan rumah tangga
atas adanya pemimpin dalam rumah tangga yaitu suami.5
Menjalani kehidupan berkeluarga, tentu ada saja waktu terjadinya
perselisihan antara dua pasangan suami istri. Karena itu komunikasi sangat
penting untuk dijaga oleh kedua belah pihak. Untuk mengatasi permasalahan
yang seyogyanya akan timbul didalam kehidupan berumah tangga, maka
3
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h. 32.
4
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h. 36.
5
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h.3.
3
pemerintah telah memberikan solusi berupa tindakan preventif agar kedua
calon suami dan istri memahami secara benar makna dan tujuan pernikahan itu
sendiri sehingga terwujudlah keluarga hermonis. Tak jarang kehancuran
rumah tangga ini memang ada yang berakhir dengan damai kembali, namun
bila suami istri sudah tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar untuk
berdamai sehingga percekcokan terus menerus maka tak jarang hubungan
suami istri tersebut berujung pada perceraian.
Setiap perkawinan tentunya diharapkan adanya kelanggengan dalam
membina rumah tangga dengan mawaddah dan harmonis menjadikan keluarga
sakinah mawaddah warrahmah juga bertahan seumur hidupnya. Namun ada
kalanya perkawinan ini tidak mencapai kebahagiaan. Maka demi kebaikan
bersama terbukalah pintu bagi perceraian. Dengan demikian kasus perceraian
menjadi perkara yang paling banyak ditangani hakim di pengadilan.6
Dampak perceraian dari segi kejiwaan akan memberikan dampak negative
terhadap jiwa orang-orang yang terlibat. Ada sebuah kajian di Ottawa
menyatakan bahwa pria maupun wanita akan mengalami depresi dua tahun
pertama perceraian. Menurut penelitian ini, ternyata pria berusia 20 sampai 64
tahun yang telah mengalami perceraian atau perpisahan, enam kali lebih
banyak merasa tertekan, dibanding mereka yang tetap dalam hubungan
6
Muhammad Ichsan, Jangan Pernah Bercerai, (Yogyakarta: Ichsan Media, 2009), h. 14.
4
pernikahan. Sedangkan wanita hanya 3,5 lebih depresi dibandingkan mereka
yang bertahan dalam pernikahan.7
Pengadilan Agama Depok beberapa tahun ini banyak sekali menerima
perkara perceraian khususnya perkara cerai gugat. Karena itu keseimbangan
kedudukan suami istri dalam menangani kasus perceraian sangat penting.
Perceraian terjadi karena beberapa factor diantaranya adalah karena kurangnya
suami dalam memberi nafkah kepada anak dan istri, tindakan kekerasan dalam
rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istri dan sebaliknya, adapun
dikarenakan masing-masing mempunyai wanita atau laki-laki lain (Wil/Pil).
Akan tetapi perceraian banyak yang terjadi karena factor ekonomi, dari
perceraian ini maka berdampak sangat besar bagi psikologis anak dari kedua
belah pihak.8
Kasus perceraian dilaporkan terdapat 2746 Istri cerai gugat suami selama
tahun 2013 ditambah dengan priode Januari sampai akhir Juni 2014 sebanyak
1451, sehingga menjadi 4197 Istri cerai gugat pada priode tersebut. Tingginya
angka gugat cerai istri terhadap suami ditambah dengan kasus cerai talak,
telah menyumbang angka perceraian di Pengadilan Agama Depok cukup
tinggi dibuktikan dengan data di Pengadilan Agama Depok 4197 Kasus
selama priode tahun 2013 sampai bulan Juni 2014. Tingginya perkara cerai
gugat yang diajukan oleh pihak istri ini tentulah banyak dilatar belakangi oleh
7
8
Muhammad Ichsan, Jangan Pernah Bercerai, h. 14.
Hasil Data Wawancara dengan Ai Salamah, SH Staf Pengadilan Agama Depok, di
Ruang Panitera Muda Hukum Hari jum’at tanggal 25 Februari Tahun 2015 pada pukul 12.30 Wib.
5
banyak faktor, sayangnya tingginya angka perceraian ini tidak dibarengi
dengan upaya mediasi yang maksimal dari pihak hakim mediator. Dari proses
mediasi yang berjumlah 3056 Hanya 153 yang berhasil dan tidak terjadi
perceraian. Ini artinya tugas berat bagi Pengadilan Agama dan Kementrian
Agama untuk memaksimalkan peran mediasi di dalam pengadilan.9
Penyeselesaian perselisihan atau konflik yang terbaik adalah dengan cara
perdamaian atau mediasi. Hukum Islam mementingkan penyelesaian
peselisihan dengan cara perdamaian, sebelum dengan cara putusan pengadilan,
karena putusan pengadilan dapat menimbulkan dendam yang mendalam,
terutama bagi pihak yang terkalahkan. Untuk itu sebelum diperiksa hakim
wajib berusaha mendamaikan kedua belah pihak terlebih dahulu, apabila hal
ini belum dilakukan oleh hakim bisa berakibat bahwa putusan yang dijatuhkan
batal demi hukum.10
Berdasarkan
latar
belakang
permasalahan
diatas,
penulis
akan
mengkajinya dalam skripsi yang berjudul “Optimalisasi Peranan Mediator
Dalam Rangka Meminimalisir Perceraian di Pengadilan Agama Depok”.
B. Batasan dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Untuk mempermudah penulisan dan pembahasan dalam skripsi ini, perlu
kiranya penulis membatasi masalah sehingga jelas masalah yang akan dibahas.
9
Rekapitulasi Data Perkara Masuk dan Putus di Pengadilan Agama Depok Tahun 2013-
2014.
10
Jaenal Arifin, Pengadilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
(Jakarta : Kencana Perdana Media Group, 2008), h. 351.
6
Dalam skripsi ini penulis membatasi masalahnya yaitu masalah mediasi.
Namun yang menjadi focus bahasannya adalah optimalisasi peranan mediator
dalam rangka meminimalisir perceraian di Pengadilan khususnya di
Pengadilan Agama Depok di tahun 2011 sampai tahun 2014.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pasal 15 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang proses
mediasi di Pengadilan Agama, mediator wajib mendorong para pihak untuk
menulusuri, menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan
penyelsaian yang tebaik bagi para pihak. Ini artinya peran mediator dituntut
untuk mendamaikan para pihak.
Namun pada kenyataannya hakim belum bisa mendamaikan atau
meminimalisir angka perceraian, hal tersebut menyebabkan semakin tingginya
angka perceraian di Pengadilan Agama. Dan puncaknya pada tahun 20122014.
Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah optimalisasi dan upaya-upaya mediator dalam rangka
meminimalisir angka perceraian di Pengadilan Agama Depok?
2. Bagaimanakah implementasi mediasi di Pengadilan Agama Depok?
3. Bagaimanakah tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Segala sesuatu yang ditulis oleh seseorang tentu memiliki tujuan
tersendiri, begitu halnya dalam pembahasan judul ini. Penulis tentu memiliki
beberapa tujuan tertentu agar tidak menyimpang dari rumusan masalah yang
diutarakan diatas. Maka dengan adanya penilitian ini, bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui optimalisasi dan upaya-upaya hakim mediasi dalam
rangka meminimalisir angka perceraian di Pengadilan Agama Depok.
2. Untuk mengetahui implementasi mediasi di Pengadilan Agama Depok.
3. Untuk mengetahui bagaimana tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan
Agama Depok.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penulis dalam menambah
wawasan, pengalaman, dan dapat memberikan sumbangan pemikiran
dalam rangka mengembangkan dan memperkaya khasanah pengetahuan,
terutama pengetahuan yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian.
2. Hasil penilitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para hakim dan
praktisi hukum dalam melakukan mediasi pada perkara perceraian di
Pengadilan Agama.
3. Hasil penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian
selanjutnya.
8
D. Studi Terdahulu
Pada hakikatnya membina rumah tangga yang sakinah mawaddah
warrahmah tidak semudah yang diinginkan, bahwa memelihara keharmonisan
dalam berumah tangga bukan merupakan hal yang mudah untuk dilaksanakan.
Beberapa penyelesaian mengenai perkara mediasi dalam perkara perceraian
telah dibahas pada judul skripsi terdahulu. Adapaun beberapa judul skripsi
yang pernah penulis baca pada perpustakaan yang tersedia di UIN Jakarta
adalah sebagai berikut :
Pertama, judul skripsi tentang : “Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama
(Studi Implementasi Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan Agama Bekasi).” Oleh Nur Hidayat Tahun 1432 H/ 2011 M. Pada
judul skripsi tersebut hanya membahas tentang faktor-faktor penghambat dan
pendukung proses mediasi di Pengadilan Agama, yang mana di Pengadilan
Agama banyak menerapkan proses mediasi yang tidak sesuai dengan PERMA
tentang Mediasi.
Kedua, judul skripsi tentang : “Efektifitas dan Peranan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Dalam Mewujudkan Proses Mediasi.” Oleh Ubaidillah Tahun
2011 M. Pada judul skripsi tersebut hanya membahas tentang Efektifitas dan
Peranan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Dalam Mewujudkan Proses
Mediasi, hanya membahas perkara semua perkara yang perlu di mediasi.
Kewarisan, perceraian dan kasus-kasus yang masuk diterima pengadilan
Agama Jakarta Selatan.
9
Dari kedua skripsi di atas, penilitan penulis ini jelas akan berbeda dengan
keduanya. Penulis akan membahas tentang pengoptimalan dan implementasi
mediasi dalam mengurangi tingkat perceraian khususnya di Pengadilan
Agama Depok karena selama ini proses mediasi hanyalah sebagai formalitas
berjalannya persidangan.
E. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian ini adalah dengan cara menggunakan metode penelitian
kualitatif, yaitu dengan memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum
yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala dalam kehidupan manusia.11
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu
penelitian bersifat pendekatan survei dengan melakukan observasi langsung
dan melakukan wawancara kepada hakim yang ditunjuk sebagai hakim
mediator dan para pihak yang berperkara.
Penelitian yang terdiri dari studi pustaka dan studi lapangan (Library
Research and Field Research), untuk memperoleh informasi pada responden
yang terkait dengan judul skripsi ini sehingga diperoleh data yang valid dan
dapat dipertanggung jawabkan.
2. Sumber Data
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan dua jenis sumber data
yaitu :
11
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 20.
10
1. Data primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh penelitian sendiri selama
penelitian berjalan.12 Data primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas
peraturan perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki peraturan
Perundang-undangan dengan Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Badan Hukum Premier tersebut
yaitu PERMA No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
2. Data skunder
Data Skunder merupakan data yang diperoleh dari bahan Kepustakaan.13
bahan hukum yang terdiri atas buku-buku (textbook) yang ditulis para ahli
hukum yang berpengaruh (de hersende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat
para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil symposium
mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini. Bahan hukum
skunder tersebut terdiri dari buku-buku hukum, kitab-kitab fikih yang
berkaitan dengan mediasi, media cetak, artikel-artikel baik dari internet
maupun berupa data digital.
3. Teknik Pengumpulan Data
Karena pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka
teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah dengan melalui
metode wawancara. Wawancara dilakukan pada pihak yang menangani proses
h.51.
12
Modul Perancangan Undang-undang, (Jakarta: Sekertaris Jendral DPR RI, 2008), h. 7.
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992),
11
mediasi yakni hakim mediator. Dan melakukan obesrvasi langsung ke
Pengadilan Agama Depok.
Selain itu pada penelitian ini juga menggunakan teknik documenter untuk
mendapatkan data yang lebih lengkap. Teknik ini sangat penting dilakukan,
karena beberapa bahan materi terdapat di dalam buku, jurnal, arsip dan
dokumen.
Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode
sebagai berikut :
a. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variable berupa catatan,
transkip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat,
agenda, dan sebagainya.14
b. Metode Interview
Metode interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara
untuk memperoleh informasi dari terwawancara.15 Dalam penulisan proposal
ini Penulis akan melakukan wawancara dengan para pakar hukum, seperti
hakim dan pengamat hukum lainnya.
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 201.
15
Suharsismi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h.205.
12
c. Teknis Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan dengan
pengelolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan untuk
menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2015.
d. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan metode deskriptif
kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan
hasil wawancara yang diperoleh. Sehingga didapat suatu kesimpulan yang
objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan
penulis dalam penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam
bentuk bab dab sub bab yang saling berkaitan merupakan suatu bahasan dari
masalah yang diteliti. Maka masing-masing dengan sistematikanya sebagai
berikut :
Pertama pendahuluan, yang memuat latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi terdahulu,
metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
13
Kedua, berisi tentang mediasi persfektif hukum positif dan hukum islam
yaitu meliputi pengertian mediasi, landasan hukum mediasi, proses mediasi,
factor penghambat dan pendukung mediasi, mediasi menurut perma No. 1
Tahun 2008.
Ketiga, berisi tentang profil Pengadilan Agama Depok yakni meliputi,
sejarah singkat dan letak geografis, visi misi, struktur organisasi, kewenangan
pengadilan dan gambaran permohonan.
Keempat, berisi tentang analisa implementasi dan keberhasilan hakim
mediasi yakni meliputi , Optimalisasi Mediator di Pengadilan Agama Depok,
implementasi mediasi, dan Tingkat Kebrhasilan Mediasi di Pengadilan Agama
Depok.
Kelima, berisi Penutup dari semua bab yang memuat kesimpulan dan
saran-saran.
BAB II
MEDIASI DALAM LINGKUP PERADILAN AGAMA
A. Pengertian Mediasi
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahsa latin, mediare yang
berarti berada ditengah. Makna ini menunjukan pada peran yang ditampilkan
pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan
menyelesaikan sengketa antara para pihak.1 Mediasi berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam
penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.2
Mediasi sebagaimana dicantum pada pasal 1851 KUHP adalah, suatu
persetujuan dimana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan,
atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung
atau mencegah timbulnya suatu perkara.3 Kemudian dalam pasal 130 HIR dan
154 RBg yang berbunyi “bila pada hari yang telah ditentukan para pihak
datang menghadap, maka Pengadilan Negeri dengan perantara ketua berusaha
mendamaikan, jika dapat dicapai perdamaian, maka di dalam sidang itu juga
dibuatkan suatu akta dan para pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang
telah dibuat, dan akta itu mempunyai kekuatan serta dilaksanakan seperti suatu
1
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 2.
2
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 640.
3
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:
Pradyna Paramitha, 2004), h. 468.
14
15
surat keputusan biasa”.4 Begitu juga perdamaian yang dimuat di KHI
khususnya berkaitan dengan hukum keluarga, pasal 115: “Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”, Pasal
143 ayat (1): “Dalam pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak”. (2): “selama perkara belum diputuskan
usaha untuk mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.”
Dan pasal 144: “Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan
gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada
seblum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya
perdamaian.” 5
Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan disebutkan pengertian mediasi adalah cara penyelesaian sengketa
memalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu oleh mediator.6
4
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
Dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Grafindo Sejahtera, 2001), h. 65.
5
6
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), h. 141.
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
16
B. Landasan Hukum Mediasi
Dalam kitab suci Al-Qur’an ayat yang berhubungan dengan dengan
perdamaian (mediasi) antara lain dalam surat QS. An-Nisa (4) ayat 35 yang
berbunyi :
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Ayat diatas menganjurkan untuk mengutus kepada keduanya seorang
hakam, yaitu juru damai untuk meyelesaikan kemelut mereka dengan baik.
Juru damai itu sebaiknya dari kedua belah pihak agar sama-sama mengetahui
masing-masing keluhan dan harapan anggota keluarganya. Jika antara
keduanya ingin mengadakan perbaikan atas kemelut rumah tangga antara
suami dan istri tersebut niscaya Allah akan memberi bimbingan kepada
keduanya.7
Walaupun tidak disebut dengan mediasi, penyelesaian sengketa dalam
islam gunakan menyerupai pola yang digunakan dalam mediasi. Dalam
hukum islam mediasi lebih dikenal dengan istilah islah dan hakam.8 Ishlah/
7
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2000), h. 412-413.
8
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan
Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2011), h. 119.
17
sulhu menurut bahasa adalah perbaikan.9 Menurut syara’ adalah suatu akad
dengan maksud untuk mengakhiri suatu suatu persengketaan antara kedua
belah pihak yang bersengketa.10 Selain islah dikenal juga dengan hakam
berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan perkawinan yang disebut dengan
syiqaq.
Untuk mengatasi kemelut rumah tangga antara suami dan istri, islam
memerintahkan antara kedua belah pihak bermaksud untuk mencari jalan
keluar terhadap kemelut rumah tangga yang dihadapi suami istri. Sebagai
pedoman, hakam dapat diambil dari penjelasan pasal 76 ayat (2) Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama bahwa,
“Hakim adalah orang yang ditetapkan pengadilan dari pihak keluarga suami
atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian
perselisihan terhadap syiqaq”.11
Kemudian dasar hukum mediasi
berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan seperti dalam Pasal 82 ayat (1) dan (4) Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan Agama yang berbunyi:
9
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Kamus Arab- Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 789.
10
11
As Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah Juz III, (Beirut: Dar Al-Fiqr, 1997), h. 350.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama pasal 76 ayat 2.
18
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan.12
Dalam pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan, ketua Majlis
Hakim diberi wewenang menawarkan perdamaian kepada para pihak yang
berperkara. Tawaran perdamaian dapat diusahakan sepanjang pemeriksaan
perkara sebelum majlis hakim menjatuhkan putusan. Perdamaian ditawarkan
bukan hanya pada sidang hari pertama, melainkan juga pada setiap kali sidang.
Hal ini sesuai dengan sifat perkara bahwa inisiatif berperkara datang dari
pihak-pihak, karenanya pihak-pihak juga yang dapat mengakhirinya secara
damai melalui perantaraan majlis hakim di muka sidang pengadilan. Menurut
ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, pengadilan tidak menutup kemungkinan untuk upaya
penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.13
Lalu mengenai pemeriksaan perkara perceraian di pengadilan, ada pasalpasal lain yang mengatur masalah perdamaian ini, yaitu dalam Pasal 56 ayat
(2), 65, 83 Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan Agama
12
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama pasal 82 ayat 1 dan 2.
13
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : PT
Citra Aditya Bakti, 2000), h. 93.
19
dan Pasal 31, 33 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan.14
Selain itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menganjurkan
kepada Hakim agar selalu berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang
berperkara di dalam persidangan, yaitu dalam pasal 143 ayat 1dan 2 yang
berbunyi :
(1) Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim mendamaikan kedua belah
pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
setiap sidang pemeriksaan.15
Begitu juga dalam Pasal 130 HIR/154 RBG.16 Disebutkan bahwa apabila
pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, maka
pengadilan dengan perantaraan kedua sidang berusaha mendamaikan mereka.
1. Jika persidangan tercapai pada waktu persidangan dibuat suatu akta
perdamaian yang mana kedua belah pihak dihukum untuk melaksanakan
perjanjian itu, akta perdamaian tersebut berkekuatan dan dapat dijalankan
sebagaimana putusan yang biasa akan tetapi ketentuan ini tidak berlaku
14
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama pasal 56 ayat
2 ayat 65,83 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
15
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), h. 141.
16
Mohammad Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta : PT
Rineka Cipta, 2004), h. 61.
20
bagi perkara perceraian hanya saja berlaku bagi hak asuh anak, harta
bersama, waris dan sebagainya.
2. Terhadap putusan yang sedemikian itu tidak dapat dimohonkan banding.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, pada Pasal 1 butir 7 disebutkan bahwa:
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
C. Proses Mediasi di Pengadilan Agama
Tahapan mediasi yang dilakukan dilakukan oleh pengadilan sesuai dengan
PERMA No. 1 Tahun 2008, proses mediasi dibagi kedalam tiga tahap, yaitu
tahap pramediasi, tahap pelaksanaan mediasi,17 tahap akhir implementasi hasil
mediasi, ketiga tahap ini merupakan jalan yang akan ditempuh oleh mediator
dan para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka.
1. Tahap Pramediasi
Tahap pramediasi adalah tahap awal dimana mediator menyusun sejumlah
langkah dan persiapan sebelum mediasi benar-benar dimulai. Tahap ini
menentukan berjalan atau tidaknya proses mediasi selanjutnya. Mediator
melakukan beberapa langkah antara lain : membangun kepercayaan diri,
menghubungi para pihak, menggali dan memberikan informasi awal mediasi,
mengkordinasikan pihak bertikai, mewaspadai perbedaan budaya, menentukan
siapa yang hadir, menentukan tujuan pertemuan, kesepakatan waktu dan
17
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 36.
21
tempat, dan menciptakan rasa aman bagi kedua belah pihak untuk bertemu dan
membicarakan permasalahan mereka.18
Tahap pra mediasi menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur
mediasi di Pengadilan pasal 7 ayat (1) bahwa: “pada hari sidang yang telah
ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak
untuk menempuh mediasi”, pada hari itu juga paling lama 2 hari kerja,
berikutnya para pihak ataupun kuasa hukum mereka wajib memilih mediator
dengan alternative pilihan sebagaimana pada pasal 8 PERMA ini lalu
menyampaikannya kepada Ketua Majlis.19
2. Tahap Pelaksanaan Mediasi
Tahap pelaksanaan mediasi adalah tahap dimana pihak-pihak bersengketa
sudah berhadapan satu sama lain dan memulai proses mediasi. Tahap mediasi
didalam pasal 13 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang proses mediasi
di Pengadilan: Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak
menunjuk mediator yang disepakati, para pihak dapat menyerahkan resume
perkara kepada satu sama lain dan mediator. Selanjutnya mediator
menunjukan jadwal pertemuan, dimana para pihak dapat didampingi kuasa
hukumnya. Pada dasarnya proses mediasi bersifat rahasia dan berlangsung
18
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, h. 37.
19
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengket Perdata di Pengadilan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h.73.
22
paling lama 40 hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator
sebagaimana pada ayat (3) pasal yang sama.20
Dalam proses ini terdapat beberapa langkah, diantaranya sambutan
mediator, presentasi dan pemaparan kisah para pihak, mengurutkan dan
menjernihkan permasalahan, berdiskusi dan bernegosiasi masalah yang
disepakati,
menciptakan
opsi-opsi,
menemukan
butir
kesepakatan,
merumuskan keputusan, mencatat dan menuturkan kembali keputusan dan
penutup mediasi. Jika tercapai kesepakatan, para pihak dengan bantuan
mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang telah dicapai dan
ditanda tangani oleh para pihak dan mediator (pasal 17 ayat 1). 21
Dalam menyusun dan mengurutkan permasalahan, mediator harus selalu
mengklarifikasikan dan menanyakan kepada para pihak, apakah persoalan itu
penting bagi mereka, dan apakah kebutuhan-kebutuhan khusus yang berkaitan
dengan tiap-tiap masalah yang telah diurutkan satu persatu. Jika mediator
telah mengurutkan permasalahan dan menemukan kebutuhan-kebutuhan
khusus para pihak, maka ia dapat menuliskan atau menggambarkan pada
kertas, setelah mendapatkan persetujuan masing-masing pihak
yang
menyatakan kebutuhan tersebut.22
20
Muslih MZ, “Pengantar Mediasi: Teori dan Praktik”, dalam M. Mukhsin Jamil (ed.),
Mengelola Konflik Membangun Damai; Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik,
(Semarang: Walisongo Mediation Centre, 2007), h. 120.
21
Muslih MZ, “Pengantar Mediasi: Teori dan Praktik”, dalam M. Mukhsin Jamil (ed.),
Mengelola Konflik Membangun Damai; Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik, h.
121.
22
Muslih MZ, “Pengantar Mediasi: Teori dan Praktik”, dalam M. Mukhsin Jamil (ed.),
Mengelola Konflik Membangun Damai; Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik, h.
123.
23
Hakim kemudian mengukuhkan kesepakatan tersebut sebagai suatu akta
perdamaian, jika tidak mencapai kesepakatan, maka mediator menyampaikan
secara tertulis bahwa proses mediasi gagal, dan memberitahukannya kepada
Hakim (pasal 18 ayat 1) yang kemudian akan melanjutkan pemeriksaan pokok
perkara tersebut.
3. Tahap Akhir Implementasi Hasil Mediasi
Tahap ini merupakan tahap dimana para pihak hanyalah menjalankan
hasil-hasil kesepakatan yang telah mereka tuangkan bersama dalam suatu
perjanjian tertulis tersebut berdasarkan komitmen yang telah mereka tunjukan
selama dalam proses mediasi.23
Dengan mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat
dan relative murah dan dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para
pihak, selain itu akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan
mereka secara nyata, juga memberikan kesempatan para pihak untuk
berpartisipasi secara langsung dalam menyelesaikan perselisihan. 24
Adapun manfaat dalam gugatan perdata jika perdamaian berhasil
dilaksanakan dari para pihak yang berperkara dengan dibuatnya akta
perdamaian yang dibuat dalam bentuk putusan perdamaian yang dibuat oleh
Hakim yaitu: 25
23
Muslih MZ, “Pengantar Mediasi: Teori dan Praktik”, dalam M. Mukhsin Jamil (ed.),
Mengelola Konflik Membangun Damai; Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik, h. 155.
24
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, (Jakarta : Kencana, 2009), h. 26.
25
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 160.
24
1. Mempunyai Kekuatan Hukum
Pada pasal 1851 KUHP Perdata dikemukakan bahwa semua putusan
perdamaian yang dibuat sidang Majlis Hakim mempunyai kekuatan hukum
tetap seperti putusan pengadilan lain. Putusan perdamaian itu tidak bisa
dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan salah
satu pihak telah dirugikan oleh putusan perdamaian itu. Begitu juga dalam
pasal 130 ayat (2) HIR.26
2. Tertutup Upaya Banding dan Kasasi
Putusan perdamaian sama nilainya dengan putusan pengadilan lainnya
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini berarti terhadap putusan
perdamaian itu tertutup upaya banding dan kasasi. Ketentuan ini mengandung
bahwa pengertian putusan perdamaian itu sejak ditetapkan oleh hakim menjadi
putusan perdamaian itu adalah pasti dan tidak ada penafsiran lagi. 27
3. Memiliki Kekuatan Ekseskutorial
Putusan perdamaian yang dibuat dalam persidangan Majlis Hakim
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, mempunyai kekuatan hukum
eksekusi dan mempunyai hukum pembuktian. Dalam artian apabila para pihak
tetap ingin mengambil putusan perceraian maka surat kesepakatan perdamaian
tersebut tidak berlaku lagi dan dapat dijadikan bukti dipersidangan bahwa
sebelum berlanjut kepersidangan kedua para pihak sudah melakukan mediasi
26
Bahwa jika perdamaian dapat dicapai, maka pada waktu itu pula dalam persidangan
dibuatputusan perdamaian dengan menghukum para pihak untuk mematuhi persetujuan damai
yang mereka buat.
27
161.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, h.
25
dan membuat surat kesepakatan perdamaian akan tetapi dipertengahan jalan
salah satu pihak melanggar kesepakatan tersebut maka pihak yang dirugikan
bisa mencabut kesepakatan tersebut.
D. Faktor Yang Menjadi Penghambat dan Pendukung Mediasi
1. Faktor Penghambat Penerapan Perma No. 1 Tahun 2008
Mahkamah Agung RI dengan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor :
KMA/059/SK/XII/2003 yang berlaku sejak 30 Desember 2003 dan berlaku
efektif sejak 18 September-November 2004, telah menunjuk beberapa
Pengadilan Negeri yang perlu dibina dan diamati secara khusus dalam rangka
penerapan PERMA No. 2 Tahun 2003 yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Bengkalis dan Pengadilan
Negeri
Batusangkar.
Keempat
Pengadilan
Negeri
tersebut
bertugas
menjalankan kegiatan mediasi berupa:
a. Mengadakan pelaksanaan dan sosialisasi program percontohan mediasi.
b. Mengadakan pelatihan bagi hakim-hakim, wakil advokat, pemuka adat,
wakil pengusaha, dan para dosen mengenai pelaksanaan mediasi.28
Dengan berakhirnya masa pembinaan tersebut, ternyata terdapat beberapa
hambatan yang dijumpai dalam pelaksanaan mediasi berdasarkan PERMA No.
2 Tahun 2003 tersebut. Kemudian lahirlah PERMA No. 1 Tahun 2008 yang
28
214.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, h.
26
diharapkan dapat mengatasi kekurangan PERMA No. 1 Tahun 2003.29 Akan
tetapi, meski peraturan telah diganti, hambatan pelaksanaan tetap ada
sebagaimana di bawah ini.
Beberapa factor yang mengambat pelaksanaan PERMA, antara lain:
a. Ketiadaan Mekanisme yang Dapat Memaksa Salah Satu Pihak Atau Para
Pihak yang Tidak Menghadiri Pertemuan Mediasi.
Dalam proses persidangan biasa jika salah satu pihak tidak hadir pada
sidang pertama setelah dipanggil secara patut, maka hakim dapat menjatuhkan
hukuman verstek, yang mengalahkan pihak yang tidak hadir. Dalam proses
mediasi, bila ada para pihak yang tidak hadir setelah ditentukan pertemuan
mediasi, berarti ia sebenarnya tidak berkehendak untuk berdamai, sehingga
mereka
dengan
sengaja
ingin
bermain-main
dengan
waktu,
yaitu
menghabiskan waktu empat puluh hari yang diwajibkan untuk mediasi. Oleh
karenanya perlu diterapkan suatu konsekuensi yang tidak menguntungkan bagi
pihak yang tidak hadir. Alternative lain adalah merefisi PERMA dengan
menambah ketentuan bahwa apabila setelah dua hari sejak jadwal pertemuan
mediasi yang disepakati terlewati, maka satu pihak atau para pihak tidak hadir
tanpa alasan yang kuat, maka mediator berwenang untuk mengatakan proses
mediasi gagal, sehingga tidak perlu menunggu masa empat puluh hari habis
untuk menyatakan kegagalan mediasi. Dengan demikian penghematan waktu
29
h.154.
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengket Perdata di Pengadilan,
27
dalam penanganan perkara karena tujuan dasar mediasi adalah percepatan
penyelsaian perkara.30
b. Jumlah Mediator dan Jumlah Hakim yang Terbatas
Dengan adanya PERMA No. 1 Tahun 2008, Pasal 8 ayat (1), mediator
pada setiap pengadilan berasal dari kalangan Hakim dan hakim yang memiliki
sertifikat. Hakim diberi tugas sebagai Hakim mediator dimana mereka juga
perlu mendapatkan pelatihan mengenai mediasi. Hakim mediator dapat berupa
Hakim pemeriksa perkara dan Hakim bukan pemeriksa perkara. Kemudian
dengan adanya proses mediasi yang mediatornya adalah salah satu hakim
pemeriksa perkara yang telah mengetahui duduk persoalan sebenarnya melalui
kaukus, tentu cenderung akan berpihak kepada salah satu pihak dan apabila
perdamaian gagal, maka secara psikologis Hakim tersebut tidak lagi impertial
meskipun ada syarat keterpisahan mediasi dari litigasi dalam pasal 19 PERMA
ini.31 Dengan minimnya jumlah Hakim yang telah memiliki sertifikat
mediator, maka Ketua Pengadilan perlu mengeluarkan kebijakan dengan
menunjukan mediator Hakim tambahan terutama apabila jumlah perkara
perdata di wilayah hukumnya tergolong banyak guna terwujud proses mediasi
yang lebih fair dan seimbang.
c. Itikad Baik Para Pihak
Itikad baik sangat penting guna keberhasilan proses mediasi agar tercapai
kesepakatan yang win-win solution. Apabila para pihak tidak mau melihat
30
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengket Perdata di Pengadilan,
31
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengket Perdata di Pengadilan,
h.183.
h. 203.
28
kebutuhan mereka dan hanya mengejar keuntungan, maka perdamaian melalui
mediasi akan sulit tercapai.32
d. Dukungan Para Hakim
Para Hakim Pengadilan Negri dan Pengadilan Agama berpendapat bahwa
tugas pokok mereka adalah menyelsaikan sengketa secara memutus. Disini
Hakim belum memiliki kesadaran idealis, tanpa dukungan dari para Hakim
maka penerapan mediasi yang diwajibkan itu tidak akan pernah berhasil
karena gaji yang diterima merupakan imbalan atas pelaksanaan tugas pokok
itu. Pemberian tugas sebagai mediator yang intinya adalah mendamaikan
adalah berbeda dari tugas pokok, dengan kata lain tugas tambahan, sehingga
mereka berhak atas insentif. Oleh karenanmya perlu upaya penciptaan insentif
yang jelas dan transparan bagi para Hakim yang sukses mendamaikan,
sehingga para Hakim mendukung sepenuhnya proses mediasi. Memang dalam
Pasal 25 ayat (1) PERMA ini telah diatur bahwa hakim yang berhasil
menjalankan fungsi mediator akan diberi insentif dan Mahkamah Agung
menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi, akan tetapi
sehingga tahun 2015 pengaturan tersebut belum terealisasi, hanya sekedar
peraturan diatas kertas. Sehingga tidak meningkatkan kesadaran Hakim untuk
mendamaikan.
e. Ruangan Mediasi
Tersedianya ruangan khusus mediasi merupakan factor penting untuk
mendukung pelaksanaan mediasi tersebut. Disamping factor keberhasilannya
32
h. 203.
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengket Perdata di Pengadilan,
29
yang harus dijaga, rasa nyaman juga perlu diperhatikan agar para pihak lebih
leluasa mengungkapkan masalahnya dan tidak takut masalahnya didengar
orang lain.
Untuk itu perlu rehabilitasi gedung kantor pengadilan yang saat ini masih
banyak pengadilan yang kekurangan ruangan sehingga melaksanakan proses
mediasi di ruangan Hakim yang apabila dilakukan di luar gedung pengadilan
dan di luar jam kerja, tentu akan menimbulkan hal-hal yang mencurigakan
pihak lain dan akan merusak citra Hakim serta dilarang dalam PERMA No. 1
Tahun 2008.33
f. Dukungan Pengacara dalam Proses Mediasi
Masalah pemberian honorarium kepada pengacara adalah hubungan antara
pengacara dan kliennya sehingga tidak perlu dicampuri oleh Mahkamah
Agung. Akan tetapi, karena dukungan atau penolakan pengacara untuk
menganjurkan kliennya bermediasi akan berpengaruh pada pelaksanaan
PERMA ini, maka hal ini perlu dibahas sebagai satu mata rantai yang saling
berkaitan.34
Pola honorarium terbagi atas tiga