Perancangan dan Evaluasi Balanced Scorecard sebagai Pengukuran Kinerja Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Bogor

PERANCANGAN DAN EVALUASI BALANCED SCORECARD
SEBAGAI PENGUKURAN KINERJA USAHA KECIL DAN
MENENGAH (UKM) DI BOGOR

ERWINA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perancangan dan
Evaluasi Balanced Scorecard sebagai Pengukuran Kinerja Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015

Erwina
NRP. H251124101

RINGKASAN
ERWINA. Perancangan dan Evaluasi Balanced Scorecard sebagai Pengukuran
Kinerja Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Bogor. Dibimbing oleh
ANGGRAINI SUKMAWATI dan I MADE SUMERTAJAYA.
Usaha kecil menengah (UKM) hadir sebagai suatu solusi dari sistem
perekonomian yang sehat memiliki peranan yang strategis dalam perekonomian
Indonesia. Setiap tahun jumlah UKM yang ada di Indonesia semakin bertambah
jumlahnya. Namun perkembangan jumlah UKM yang terus meningkat belum
diimbangi dengan meratanya tingkat kualitas SDM. Permasalahn klasik dihadapi
dari dahulu hingga sekarang yaitu rendahnya produktivitas dari UKM yang
berdampak pada kinerja yang dihasilkan oleh UKM. Keberhasilan UKM dapat
dilihat dari kinerja yang dihasilkan. Namun hingga saat ini pengukuran kinerja
masih bersifat tradisional yakni mengukur kinerja melalui perspektif keuangan,
sedangkan perspektif non-keuangan sedikit terabaikan. Oleh karena itu,

diperlukan sebuah pendekatan baru dalam mengukur kinerja UKM. Balanced
scorecard merupakan pendekatan lain yang dapat digunakan untuk mengukur
kinerja UKM, dengan mengukur kinerja dari beberapa perspektif yaitu perspektif
keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal dan perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan.
Penelitian ini bertujuan (1) Mengidentifikasi sasaran strategis dan peta
strategis pada UKM di Bogor (2) Merumuskan indikator kinerja utama dan
inisiatif strategis pada UKM di Bogor serta (3) Mengevaluasi implementasi
pengukuran kinerja dengan pendekatan balanced scorecard pada UKM di Bogor
untuk mengetahui kelayakan BSC dalam pengukuran kinerja UKM di Bogor.
Penelitian dilaksanakan di Bogor pada bulan September 2014 hingga
Januari 2015. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui kuesioner dan wawancara terhadap beberapa narasumber
dan pihak-pihak yang terkait. Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui
studi pustaka. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan
purposive sampling yaitu pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu.
Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak delapan pakar yakni dari Dinas
UKM Kota Bogor, Dinas UKM Kabupaten Bogor, akademisi sebagai pengamat,
lembaga keuangan dan empat pengelola UKM. Sedangkan untuk implementasi
terdapat empat UKM sebagai ujicoba. Pengolahan dan analisis data melalui studi

literatur, focus grup discussion, wawancara mendalam, analytical hierarchy
process (AHP) dan scoring. Hasil penelitian merumuskan delapan sasaran
strategik dari empat perspektif BSC yang kemudian menjadi hubungan sebab
akibat dalam peta strategik, 15 indikator kinerja utama untuk mengukur kinerja
pada UKM dan 19 rumusan inisiatif strategik. Dari pendapat pakar, perspektif
modal insani merupakan perspektif dengan tingkat prioritas tertinggi namun
berdasarkan implementasi diperoleh bahwa modal insani merupakan perspektif
dengan skor pencapaian yang rendah. Penelitian ini juga menemukan bahwa
pengukuran kinerja dengan pendekatan balanced scorecard layak untuk
diterapkan di UKM.
Kata kunci: balanced scorecard, kinerja, modal insani, usaha kecil dan menengah

SUMMARY
ERWINA. The Design and evaluation of Balanced Scorecard as Performance
Measurement of Small and Medium Enterprises (SMEs) in Bogor. Supervised by
ANGGRAINI SUKMAWATI and I MADE SUMERTAJAYA.
Small and Medium Enterprises (SMEs) appeared as the solution of the good
economic system that played strategic roles in Indonesian economy. Every year,
SMEs in Indonesia are multiplied in number. Nevertheless, the development of
SMEs was not followed by the development of human resource quality. Classic

problem that has been faced from the past to the present is the low productivity of
SMEs which result on the performance of SMEs. The success of SMEs could be
seen from their performance. Nevertheless, until now the performance
measurement still use the traditional way which views the performance only from
the financial perspective. Therefore, it needs a new performance measurement
system. Balanced scorecard was another approach that could be used to measure
performance. In Balanced scorecard, performance was measured by four
perspectives which are financial perspective, customer perspective, internal
business process perspective, and learning and growth perspective.
This study aims at (1) identifying the strategic target and strategic map of
SMEs in Bogor (2) formulating the key performance indicators and initiatives
strategic of SMEs in Bogor and (3) evaluate the implementation of performance
measurement using the Balanced Scorecard in Bogor SMEs to find out the
feasibility of BSC for measuring the SMEs Performance in Bogor.
The study was conducted in Bogor SMEs from September 2014 until
January 2015. The data used in this study was primary and secondary data.
Primary data was collected by using questionnaire and interviewing the expert in
SMEs. On the other hand, the secondary data was collected by literature review.
The sampling technique was carried out using purposive sampling, using certain
consideration. The samples of this study were eight experts who were four SMEs

owner, Bogor SMEs official, academician as observer, financial institutions. On
the other hand, for the implementation of BSC, it used four SMEs. The data
tabulation and analysis were carried out using literature study, focus group
discussion, in-depth interview, and analytical hierarchy process (AHP) and
scoring. The result of the study formulated eight strategic targets from four
perspectives and 15 key performance indicators to measure performance in SMEs
and 19 strategic initiative formulations. The experts had a notion that human
capital perspective had the highest priority but based on the implementation the
human capital perspective got the lowest score. This study also found that
performance measurement using balanced scorecard approach was suitable for
SMEs.
Keywords: balance scorecard, human capital, performance, small and medium
enterprises.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERANCANGAN DAN EVALUASI BALANCED SCORECARD
SEBAGAI PENGUKURAN KINERJA USAHA KECIL DAN
MENENGAH (UKM) DI BOGOR

ERWINA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Manajemen

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Muhammad Syamsun, MSc

Judul Tesis : Perancangan dan Evaluasi Balanced Scorecard sebagai Pengukuran
Kinerja Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Bogor
Nama
: Erwina
NIM
: H251124101

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Anggraini Sukmawati, MM
Ketua

Dr Ir I Made Sumertajaya, MSi
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Ilmu Manajemen

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Abdul Kohar Irwanto, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 26 Februari 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat, karunia dan pertolongan-Nya sehingga
penelitian yang berjudul Perancangan dan Evaluasi Balanced Scorecard sebagai
Pengukuran Kinerja Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Bogor berhasil
diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Anggraini Sukmawati, MM
dan Bapak Dr Ir I Made Sumertajaya, MSi selaku komisi pembimbing atas segala
arahan, saran dan bimbingannya. Terimakasih kepada Bapak Dr Ir Muhammad
Syamsun, MSc selaku penguji luar komisi dan Dr Ir Jono M Munandar, MSc
selaku penguji sidang perwakilan program studi. Tidak lupa penulis sampaikan
penghargaan kepada Dinas Koperasi dan UKM Kota Bogor, Dinas Koperasi,
UKM, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, dan Bank Bukopin
sebagai lembaga keuangan serta kepada pengelola UKM di Bogor atas segala
bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian. Penelitian ini merupakan
bagian dari skema penelitian unggulan perguruan tinggi desentralisasi lanjutan
yang dibiayai oleh DIKTI dengan judul Model peningkatan kinerja usaha kecil
menengah (UKM) melalui pengembangan modal insani dan modal sosial.
Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada
keluarga tercinta, Ayah Sumardin dan Ibu A.Hani Paluseri atas seluruh do’a,
dukungan, kasih sayang serta kesabarannya dalam membantu penulis selama
menjalani pendidikan di IPB. Terima kasih pula kepada teman-teman Ilmu
Manajemen angkatan 2012 genap dan teman-teman Griya Putih Asri, Nurul
Mukhlishah dan Febri Palupi atas segala dorongan dan bantuannya selama penulis
melakukan penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Maret 2015

Erwina

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN


Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan

47
65

6 PEMBAHASAN UMUM
Implikasi Manajerial

66
69

7 SIMPULAN DAN SARAN

70

DAFTAR PUSTAKA

72

LAMPIRAN

76

RIWAYAT HIDUP

88

DAFTAR TABEL
1 Perkembangan jumlah UKM dan tenaga kerja di Kota Bogor tahun
2009-2012
2 Penelitian yang relevan
3 Skala banding secara berpasangan
4 Nilai RI
5 Rancangan balanced scorecard sebelum focus group discussion
6 Sasaran strategis kinerja UKM pada setiap perspektif
7 Indikator kinerja utama pada perspektif keuangan
8 Indikator kinerja utama pada perspektif pelanggan
9 Indikator kinerja utama pada perspektif proses bisnis internal
10 Indikator kinerja utama pada perspektif modal insani
11 Inisiatif strategis pada UKM
12 Tingkat prioritas perspektif pada UKM
13 Tingkat prioritas IKU berdasarkan bobot global pada UKM
14 Skala sasaran strategis, perspektif, dan kinerja
15 Pengukuran kinerja pada UKM kelompok kerajinan
16 Pengukuran kinerja pada UKM kelompok makanan
17 Pengukuran kinerja pada UKM kelompok herbal
18 Pengukuran kinerja pada UKM kelompok agro
19 Bobot perspektif, sasaran strategis, dan indikator kinerja utama

2
21
29
29
34
35
40
41
41
42
44
50
52
55
56
58
60
62
67

DAFTAR GAMBAR
1 Jumlah UKM yang dibina Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Bogor
2 Tolok ukur balanced scorecard
3 Model rantai nilai dari perspektif pelanggan dalam BSC
4 Model rantai nilai perspektif bisnis internal dalam BSC
5 Kerangka pemikiran penelitian
6 Peta lokasi penelitian
7 Peta strategi usaha kecil dan menengah
8 Hierarki sistem pengukuran kinerja UKM dengan pendekatan balanced
scorecard
9 Model BSC dengan menggunakan ANP

2
11
13
14
25
26
38
48
71

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Rancangan pengukuran kinerja
Hasil AHP
Kuesioner penggunaan proses hirarki analitik (AHP)
Kuesioner simulasi

77
78
79
85

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) yang akan diberlakukan
pada akhir 2015, negara-negara berkembang dituntut agar mampu meningkatkan
daya saing di setiap sektor. Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN harus
mempersiapkan diri dengan matang untuk bersaing dengan profesional dari
negara lain. Dimana akan terjadi integrasi 10 negara Asia Tenggara dalam suatu
kawasan ekonomi eksklusif yang menciptakan akses pasar antar negara yang lebih
luas. Dampak terciptanya MEA adalah pasar bebas di bidang permodalan, barang
dan jasa serta tenaga kerja. Untuk itu pemerintah Indonesia diharapkan mampu
mempersiapkan langkah-langkah strategis dalam sektor tenaga kerja,
infrastruktur, dan sektor industri. Sehingga salah satu sektor terpenting yang perlu
mendapatkan perhatian yaitu pada sektor usaha kecil dan menengah (UKM).
Melalui UKM diharapkan Indonesia bisa menjadi pelaku bukan hanya menjadi
penonton pada MEA 2015. Fenomena tersebut merupakan suatu bentuk
perubahan yang harus dihadapi organisasi pada negara-negara berkembang seperti
Indonesia sehingga adaptasi merupakan suatu keharusan agar organisasi mampu
bertahan sehingga dapat memperkokoh perekonomian nasional. Hal tersebut
dapat dikatakan karena UKM di Indonesia digambarkan sebagai sektor yang
memiliki peran penting dalam perekonomi nasional, yaitu mempercepat
pemerataan pertumbuhan ekonomi melalui misi penyediaan lapangan usaha dan
lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, serta ikut berperan dalam
meningkatkan perolehan devisa dan memperkokoh struktur ekonomi nasional
(Hubeis 2011).
Usaha kecil dan menengah (UKM) hadir sebagai suatu solusi dari sistem
perekonomian yang sehat memiliki peranan yang strategis dalam perekonomian
Indonesia. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2013 ratarata laju pertumbuhan UKM dalam lima tahun terakhir mengalami pertumbuhan
yang terus meningkat sebesar 2.68 persen. Berdasarkan data yang dikeluarkan
oleh Kementerian Koperasi dan UKM pada tahun 2013, pertumbuhan jumlah
UKM dalam periode tahun 2011-2012 yaitu sebesar 2.41 persen yang diikuti
dengan pertumbuhan penyerapan jumlah tenaga kerja sebanyak 5.83 persen.
Penyerapan jumlah tenaga kerja pada UKM mampu mengurangi jumlah
pengangguran dan meningkatkan taraf hidup sebagian besar masyarakat
Indonesia.
Bogor merupakan wilayah yang terbagi menjadi dua pemerintahan yakni
kota dan kabupaten. Dimana perkembangan jumlah UKM Kota dan Kabupaten
Bogor cukup pesat. Hal ini terjadi karena Bogor berada dekat dengan ibukota
Indonesia yaitu Jakarta dan menjadi tujuan wisata. Integrasi ini terutama
bertumpu pada sektor pariwisata, karena sektor pariwisata Bogor sedang
mengalami perkembangan, sehingga menjadi peluang tersendiri bagi pelaku UKM
pada wilayah ini. Saat ini mayoritas pelaku ekonomi di Bogor adalah pelaku
usaha UKM yang terus tumbuh secara signifikan serta menjadi sebuah sektor
usaha yang mampu menopang stabilitas perekonomian daerah. Peranan UKM

2
tidak hanya sampai disitu, UKM juga mampu membuka lapangan kerja bagi
masyarakat sekitar dan meningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Data dari Dinas Koperasi dan UMKM kota Bogor tahun 2013 menjelaskan
bahwa jumlah keseluruhan UMKM Kota Bogor empat tahun terakhir mengalami
peningkatan. Selain itu UMKM memberikan kontribusi lapangan pekerjaan bagi
masyarakat Kota Bogor dengan menyerap 58 249 tenaga kerja pada tahun 2012.
Usaha kecil dan menengah di Kota Bogor cukup tersebar di enam kecamatan yang
ada di Kota Bogor. Dengan letak geografis yang cukup strategis membuat UKM
di Kota Bogor semakin berkembang. Usaha kecil dan menengah Kota Bogor
memiliki peranan dalam kemajuan sektor-sektor perekonomian Kota Bogor.
Tabel 1 Perkembangan jumlah UKM dan tenaga kerja di Kota Bogor tahun 20092012
Tahun

Jumlah UKM (Unit Usaha)

Jumlah tenaga kerja (Orang)

2009
32 256
2010
32 901
2011
33 559
2012
33 572
Sumber : Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor (2013)

57 107
58 249
57 107
58 249

Selain di Kota Bogor, UKM juga berkembang dengan baik di Kabupaten
Bogor. Saat ini pelaku ekonomi mayoritas di Kabupaten Bogor adalah pelaku
usaha UMKM yang terus bertumbuh dan menjadi sektor usaha yang mampu
menjadi sebuah penopang stabilitas perekonomian daerah. Berdasarkan data dari
Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor (2014),
jumlah UKM binaan Kabupaten Bogor hingga tahun 2013 sebanyak 12.914 yang
tersebar pada 40 Kecamatan dengan berbagai macam produk yang dihasilkan.
Hampir pada setiap Kecamatan memiliki produk unggulan masing-masing.
Kelompok UKM makanan dan minuman merupakan kelompok UKM yang paling
dominan pada Kabupaten Bogor. Berikut disajikan data UKM yang dibina oleh
Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor dari
tahun 2006 hingga tahun 2013.
3500

3000

3000
2500

2000
1700

2000
1500

1500
1200

1298

1216

2010

2011

2012

1000

1000
500
0
2006

2007

2008

2009

2013

Gambar 1 Jumlah UKM dari tahun 2006-2013 (Dinas Koperasi, UKM,
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor 2014)

3

Perkembangan UKM yang meningkat pada Kota dan Kabupaten Bogor dari
segi jumlah atau kuantitas tersebut belum diimbangi oleh meratanya peningkatan
kualitas UKM. Permasalahan klasik yang dihadapi yaitu rendahnya produktivitas.
Sebenarnya UKM pada wilayah ini mampu lebih meningkatkan kesejahteraan
masyarakat jika dikelola dengan lebih baik. Pengelolaan UKM kurang maksimal
karena dihadapkan pada berbagai permasalahan. Menurut Hubeis (2011),
permasalahan UKM dapat dijelaskan dengan tujuh faktor yaitu kesulitan
pemasaran, keterbatasan finansial, keterbatasan SDM, masalah bahan baku,
keterbatasan teknologi, keterampilan manajerial, dan juga permasalahan pada
kemitraan. Tambunan (2007) dalam penelitiannya tentang pengembangan UKM,
menemukan bahwa kendala yang dihadapi oleh UKM di Indonesia yaitu peraturan
pemerintah yang rumit, permasalahan modal, keterampilan sumber daya manusia
yang rendah serta kemampuan teknologi yang kurang. Sedangkan berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Rutha (2013), permasalahan utama yang dihadapi
oleh UKM Kota Bogor yaitu pada modal insani. Hasil serupa juga ditemukan oleh
Wahyuningrum (2013) pada UKM Kota Depok. Sehingga berdasarkan penelitian
tersebut maka perlu adanya pengembangan modal insani pada UKM. Dubas dan
Nijhawan (2007) menyatakan bahwa modal insani umumnya diperoleh melalui
pendidikan dan pengalaman di tempat kerja, disisi lain juga diperoleh melalui
pelatihan, baik formal maupun non formal seperti on the job training. Mereka
menambahkan bahwa pekerja khusus terlatih membayar premi untuk keterampilan
khusus. Keterampilan khusus meliputi pengetahuan tentang budaya perusahaan,
saluran komunikasi, produk-produk dari perusahaan, dan pemahaman tentang
kepribadian rekan kerja, manajer, dan kebutuhan pelanggan dari suatu perusahaan.
Pengembangan modal insani akan berdampak pada peningkatan kinerja UKM
sehingga UKM memiliki daya saing yang berkelanjutan. Rivai (2006),
menganggap bahwa kinerja merupakan suatu perilaku yang ditampilkan seseorang
yang merupakan prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan
perannya di dalam perusahaan. Jamil (2012) menyatakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi suatu kinerja organisasi sangat ditentukan oleh jenis serta
profil organisasi dan juga tergantung dari tujuan sebuah penelitian dilakukan.
Studi yang dikembangkan oleh Lusthaus et al. dalam Jamil (2012) menunjukkan
bahwa terdapat 3 faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi yaitu (a) kapasitas
organisasi, (b) motivasi organisasi, (c) lingkungan eksternal. Oleh karena itu, vital
untuk mengembangkan sumber daya insani melalui proses rekruitmen yang
kompetitif, pelatihan yang sistematis, peningkatan kepuasan pegawai, peningkatan
pendidikan pegawai, dan pemberdayaan pegawai. Meningkatkan kinerja UKM
dan mengembangkan modal insani sangat diperlukan sebagai upaya untuk
menghadapi persaingan yang semakin kompetitif. Sehingga diperlukan suatu alat
ukur kinerja yang baru pada UKM.
Balanced scorecard merupakan suatu alat ukur yang telah lama
dikembangkan dan banyak digunakan oleh organisasi baik swasta maupun publik.
Luis dan Biromo (2008) mendefinisikan Balanced scorecard sebagai suatu alat
manajemen kinerja yang bisa membantu sebuah organisasi untuk menerjemahkan
visi, misi dan strategi kedalam bentuk aksi dengan memanfaatkan sekumpulan
indikator keuangan dan juga non keuangan yang kesemuanya terjalin dalam suatu
hubungan sebab-akibat. BSC sangat berperan sebagai pengubah visi serta strategi

4
organisasi menjadi sebuah aksi sehingga BSC tidak berhenti pada saat strategi
selesai dibangun tetapi terus melakukan tahap monitor pada proses eksekusinya.
Penggunaan BSC sebagai alat ukur manajemen dapat mencerminkan bagaimana
kinerja organisasi secara menyeluruh sehingga mampu melakukan suatu
perbaikan untuk kinerja selanjutnya. Sejauh ini, pemanfaat BSC sebagai alat
pengukuran kinerja banyak digunakan pada perusahaan-perusahaan besar baik
perusahaan profit maupun pada organisasi publik. Usaha kecil dan menengah
sebagai sektor penting dalam perekonomian nasional perlu melakukan perbaikan
pada pengukuran kinerja agar memiliki daya saing. Pendekatan lain untuk
mengukur kinerja pada UKM bisa dilakukan dengan menggunakan BSC, sehingga
mampu menyeimbangkan antara perspektif keuangan dan non keuangan. Rickards
(2007) menyatakan bahwa BSC sangat layak untuk dikembangkan, diperkenalkan
dan digunakan oleh UKM karena akan sangat berguna bagi pengelola UKM
dalam menganalisis kinerja bisnis yang mereka jalani. Untuk itu penelitian ini
akan mencoba merancang suatu pengukuran kinerja baru berupa BSC pada UKM
di Bogor sebagai upaya mengembangkan modal insani dan meningkatkan kinerja.

Perumusan Masalah
Memahami faktor-faktor kunci keberhasilan pada UKM sangat penting
untuk dilakukan agar mampu meningkatkan kinerja UKM. Keberhasilan UKM
dapat dilihat dari kinerja yang dihasilkan. Namun hingga saat ini pengukuran
kinerja hanya berfokus pada hasil akhir yaitu materi tanpa melibatkan faktor
lainnya. Pengukuran kinerja pada UKM selama ini masih bersifat tradisional
yakni mengukur kinerja melalui perspektif keuangan, sedangkan perspektif nonkeuangan sedikit terabaikan. Padahal pengukuran kinerja perlu melihat adanya
perspektif keuangan dan non-keuangan agar terjadi keseimbangan pada kinerja
UKM khususnya di wilayah Bogor. Untuk itu, sebagai upaya dalam meningkatkan
kinerja dan mengembangkan modal insani pada UKM di Bogor diperlukan suatu
alat ukur kinerja yang baru agar UKM mampu dan memiliki daya saing yang
tinggi. Pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan
balanced scorecard. Pengukuran kinerja dengan pendekatan BSC
menyeimbangkan antara faktor keuangan dan non-keuangan pada UKM, sehingga
dengan demikian modal insani pada UKM juga mendapat perhatian oleh
pengelola UKM. Pengukuran kinerja dengan BSC pada UKM sejauh ini belum
diterapkan di Indonesia utamanya pada UKM di wilayah Bogor. Hal ini terjadi
karena UKM merupakan suatu bentuk usaha yang masih sederhana yang
bertumbuh dengan sendirinya. Sehingga diperlukan suatu perancangan BSC pada
UKM di Bogor sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja.
Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini
yaitu sebagai berikut:
1. Apa saja sasaran strategis yang ingin dicapai dan bagaimana peta strategis
dalam perancangan BSC sebagai pengukuran kinerja UKM di Bogor?
2. Apa saja indikator kinerja utama (IKU) dan inisiatif strategis dalam
perancangan BSC sebagai pengukuran kinerja UKM di Bogor?
3. Bagaimana implementasi pengukuran kinerja pada UKM di Bogor dengan
pendekatan BSC sebagai ilustrasi?

5
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu
sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi sasaran strategis dan peta strategis dalam perancangan BSC
sebagai pengukuran kinerja UKM di Bogor.
2. Merumuskan indikator kinerja utama (IKU) dan inisiatif strategis dalam
perancangan BSC sebagai pengukuran kinerja UKM di Bogor.
3. Mengevaluasi implementasi pengukuran kinerja dengan pendekatan BSC
pada UKM di Bogor sebagai ilustrasi.

Kegunaan Penelitian
1. Kalangan Akademisi
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah bahan informasi dan referensi
bagi kalangan akademisi yang akan mengembangkan penelitian lain yang
sejenis.
2. Kalangan Praktisi
Diharapkan hasil penelitian dapat memberikan kontribusi praktis kepada para
pelaku usaha agar mampu mengembangkan UKM di Bogor
3. Kalangan Pengambil Kebijakan
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi
tambahan bagi para pengambil kebijakan yang berada di lingkungan Bogor
dalam peningkatan UKM

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengenai perancangan dan evaluasi balanced scorecard
dilihat dari empat perspektif yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan,
perspektif proses internal dan perspektif modal insani. Penelitian ini melibatkan
unsur manajemen dari UKM yang berlokasi di Kota dan Kabupaten Bogor.
Langkah awal yang dilakukan yaitu menentukan sasaran strategis berdasarkan
literatur dan penelitian terdahulu dengan mempertimbangkan kebutuhan UKM
kemudian disusunlah peta strategi dan setelahnya terbentuklah indikator kinerja
utama. Kelompok UKM yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi pada empat
kelompok UKM, yaitu kelompok kerajinan, kelompok makanan, kelompok herbal
dan kelompok agro.

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kinerja
Rivai (2006), menganggap bahwa kinerja merupakan suatu perilaku yang
ditampikan seseorang yang merupakan prestasi kerja yang dihasilkan oleh
karyawan sesuai dengan perannya di dalam perusahaan. Menurut Moeheriono
(2009), pengertian kinerja atau performance merupakan gambaran mengenai
tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang dituangkan melalui
perencanaan strategis suatu organisasi. Kinerja dapat diketahui dan diukur jika
individu atau sekelompok karyawan telah mempunyai kriteria atau standar
keberhasilan tolok ukur yang ditetapkan oleh organisasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sangat beragam. Jamil (2012)
menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi suatu kinerja organisasi
sangat ditentukan oleh jenis serta profil organisasi dan juga tergantung dari tujuan
sebuah penelitian dilakukan. Studi yang dikembangkan oleh Lusthaus et al.
dalam Jamil (2012) menunjukkan bahwa terdapat 3 faktor yang mempengaruhi
kinerja organisai yaitu kapasitas organisasi, motivasi organisasi, dan lingkungan
eksternal.
Miner diacu Sutrisno (2011), mengemukakan secara umum dapat
dinyatakan empat aspek dari kinerja, yaitu sebagai berikut: (1) Kualitas yang
dihasilkan, menerangkan tentang jumlah kesalahan, waktu dan ketepatan dalam
melakukan tugas. (2) Kuantitas yang dihasilkan, berkenaan dengan berapa jumlah
produk atau jasa yang dapat dihasilkan. (3) Waktu kerja, menerangkan akan
berapa jumlah absen, keterlambatan, serta masa kerja yang telah dijalani individu
tersebut. (4) Kerja sama, menerangkan akan bagaimana individu membantu atau
menghambat usaha dari teman sekerjanya. Melalui keempat aspek kinerja diatas
dapat dikatakan bahwa individu mempunyai kinerja yang baik bila dia berhasil
memenuhi keempat aspek tersebut sesuai dengan target atau rencana yang telah
ditetapkan oleh organisasi.
Bernardin dan Russel diacu Sutrisno (2011), mengajukan enam kinerja
primer yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja yaitu (1) Quality,
merupakan suatu tingkat sejauh manakah proses atau hasil pelaksanaan kegiatan
mendekati sebuah kesempurnaan ataukah mendekati sasaran yang telah di
tetapkan. (2) Quantity, merupakan jumlah yang dihasilkan. (3) Timelines, yaitu
sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan pada waktu yang telah ditentukan. (4)
Cost efectivenes, tingkat penggunaan sejauh mana pemanfaatan sumber daya
organisasi dimaksimalkan agar mencapai hasil yang tertinggi. (5) Need for
supervision, sejauh mana seorang pekerja dapat melaksanakan suatu fungsi
pekerjaan tanpa adanya pengawasan. (6) Interpersonal impact, sejauh mana
seseorang memelihara harga diri, nama baik dan hubungan diantara rekan kerja.
Kemudian standar pengukuran prestasi kerja dikemukakan oleh Lopes dalam
Sutrisno (2014), yakni kuantitas kerja, kualitas kerja, pengetahuan tentang
pekerjaan, pendapat atau pernyataan yang disampaikan, keputusan yang diambil,
perencanaan kerja, dan daerah organisasi kerja.

7
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Damayanthy (2013) pada perusahaan
daerah Pasar Tohaga. Ia menemukan bahwa faktor-faktor tersebut yaitu berasal
dari faktor individu, faktor fsikologi, dan faktor organisasi. Faktor individu sendiri
dicerminkan dari faktor kemampuan yaitu mengenai komunikasi dan adptasi,
faktor keterampilan akan pengetahuan kerja dan demografi mengenai jenis
kelamin dan kesetaraan gender dalam promosi. Faktor fsikologi dicerminkan dari
indikator proses pembelajaran yaitu mempelajari hal baru dan pekerjaan
menambah pengetahuan. Sedangkan untuk faktor organisasi dicerminkan oleh
indikator kepemimpinan, desain pekerjaan dan pengawasan supervisi sebenarnya
tidak berpengaruh langsung terhadap kinerja, namun berpengaruh terhadap
motivasi dan kepuasan kerja pegawai yang merupakan faktor psikologi yang
kemudian akan berpengaruh terhadap kinerja. Pada pengaruh tidak langsung
kinerja pegawai dicerminkan oleh adanya indikator cara kerja, kepemimpinan dan
juga tanggung jawab. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai yang mempunyai
tanggungjawab dalam melaksanakan tugasnya tanpa adanya perintah dari atasan,
cara bekerja yang efisien dan efektif serta memiliki jiwa kepemimpinan yang baik
menandakan bahwa memiliki kinerja yang baik.

Pengukuran Kinerja
Pengukuran terhadap kinerja perlu dilakukan untuk mengetahui apakah
selama melaksanakan suatu kinerja terdapat penyimpangan dari rencana yang
telah ditentukan sebelumnya atau apakah hasil kinerja telah tercapai sesuai dengan
yang diharapkan. Pengukuran mengatur keterkaitan antara strategi berorientasi
pelanggan dan tujuan dengan tindakan. Menurut Wibowo (2009), pengukuran
kerja yang depat dapat dilakukan dengan: (1) Memastikan bahwa persyaratan
yang diinginkan pelanggan telah terpenuhi.(2) Mengusahakan standar kinerja
untuk menciptakan perbandingan.(3) Mengusahakan jarak bagi orang untuk
memonitor tingkat kinerja.(4) Menetapkan arti penting masalah kualitas dan
menentukan apa yang perlu prioritas perhatian.(5) Menghindari konsekuensi dari
rendahnya kualitas.(6) Mempertimbangkan penggunaan sumber daya.(7)
Mengusahakan umpan balik untuk mendorong usaha perbaikan.
Kunci keberhasilan pengukuran kinerja adalah apabila hanya
mengumpulkan ukuran kinerja yang dapat dan akan digunakan. Ukuran kinerja
dapat dipergunakan untuk sejumlah keperluan yang berbeda. Amstrong dan Baron
diacu Wibowo (2009) membagi tipe ukuran kinerja berdasarkan pada lingkup
penggunaannya, dalam lingkup individu, tim dan oganisasional. Pada pengukuran
organisasional, terdapat empat pendekatan berbeda yang dapat dipakai untuk
mengukur kinerja organisasi, yaitu sebagai berikut (Wibisono 2006),
1. Balanced scorecard, merupakan serangkaian ukuran yang memberi manajer
puncak pandangan bisnis yang cepat tetapi komprehensif. Manajer harus
melihat bisinis dalam empat perspektif yaitu (a) Perspektif pelanggan, tentang
bagaimana pelanggan melihat kita, (b) Perspektif proses bisnis internal, tentang
apa yang harus kita lampui, (c) Perspektif pertumbuhan dan pembelajaran,
tentang dapat kah kita melanjutkan untuk memperbaiki dan menciptakan nilai,
dan (d) Perspektif keuangan, tentang bagaimana kita melihat pemegang saham.

8
2. The European Foundation for Quality Management Model, terdapat indikasi
bahwa kepuasan pelanggan, kepuasan pekerja, dan dampak pada masyarakat
dicapai melalui kepemimpinan. Hal tersebut mendorong kebijakan dan juga
strategi, manajemen pekerja, sumberdaya dan proses mengarah pada
keunggulan hasil bisnis. Terdapat sembilan elemen dalam model ini yaitu (a)
kepemimpinan, tentang bagaimana perilaku dan tindakan tim eksekutif dan
semua pimpinan lain memberi inspirasi, mendukung dan meningkatkan budaya
total quality manajemen, (b) kebijakan dan strategi, tentang bagaimana
organisasi memformulasikan, menyebarkan dan mereview kebijakan dan
strategi dan mengubahnya kedalam rencana dan tindakan, (c) manajemen
sumber daya manusia, tentang bagaimana organisasi merealisasi potensi
sepenuhnya dari segenap sumberdaya manusianya, (d) sumber daya, tentang
bagaimana organisasi mengelola sumber daya secara efektif dan efisien, (e)
proses, tentang bagimana organisasi mengidentifikasi, mengelola, mereview
dan memperbaiki prosesnya (f) kepuasan pelanggan, tentang apa yang
diperoleh organisasi dalam hubungan dengan kepuasan pelanggan, (g)
kepuasan pekerja, tentang apa yang diperoleh organisasi dalam hubungan
dengan kepuasan orangnya sendiri, (h) dampak pada masyarakat, tentang apa
yang dicapai organisasi dalam memuaskan kebutuhan konsumen dan harapan
masyarakat lokal, nasional, dan internasional, (i) hasil bisnis, tentang apa yang
dicapai organisasi dalam hubungannya dengan sasaran bisnis yang
direncanakan dan memuaskan kebutuhan dan harapan setiap orang dengan
kepentingan finansial dalam organisasi.
3. Economic Value Added, terdapat empat ukuran yang paling selalu digunakan
yaitu (a) added value merupakan perbedaan antara nilai pasar dari output
perusahaan dan biaya inputnya (b) market value added merupakan perbedaan
antara kapitalisasi pasar perusahaan dan total investasi kapital. Jika positif,
akan mengindikasikan diciptakannya kekayaan pasar saham. (c) cash flow
return on investment membandingkan cashflow disesuaikan inflasi dengan
gross revenue disesuaikan inflasi, untuk menemukan cashflow return on
investment.
4. Traditional Financial Measures, merupakan ukuran finansial tradisional yang
antara lain termasuk return on equity, return on capital employed, earnings per
share, price/earning ratio, return on sales, assets turnover, overall
overheads/sales ratio, profit or sales or added value per employer, output per
employee.

Modal Insani
Menurut Moeheriono (2009), modal insani (human capital) tidak lain adalah
sumber daya manusia yang dimiliki suatu organisasi atau perusahaan. Peranan
sumber daya manusia diyakini oleh banyak kalangan merupakan aset terpenting
bagi perusahaan karena keberhasilan perusahaan sangat tergantung kepada
bagaimana perusahaan mengelola karyawannya.
Wibisono (2006) mengemukakan bahwa sumber daya insani merupakan
sumber daya paling penting untuk dapat memenangkan persaingan, karena
merupakan tulang punggung dari seluruh sistem yang dirancang, metode yang

9
diterapkan, dan teknologi yang digunakan. Oleh karena itu, vital untuk
mengembangkan sumber daya insani melalui proses rekrutmen yang kompetitif,
pelatihan yang sistematis, peningkatan kepuasan pegawai, peningkatan
pendidikan pegawai, dan pemberdayaan pegawai. Dalam jangka panjang,
program pengembangan sumber daya insani yang harus dimiliki perusahaan
setidaknya menyangkut, (a) pendidikan lanjutan bagi pegawai, (b) pelatihan
regular bagi pegawai, (c) sistem dan prosedur bagi rotasi kerja, (d) sistem dan
prosedur jalur karir, (e) sistem dan prosedur untuk perbaikan, kesehatan,
keselamatan, dan keamanan kerja, (f) evaluasi kinerja individu, (g) pengukuran
kepuasan pegawai yang menyangkut gaji, jam kerja, kesehatan dan keselamatan,
intensif, serta pelatihan dan pendidikan.
Menurut Moeheriono (2009), peranan human capital terdiri atas
pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan kemampuan (ability)
seseorang yang dapat digunakan untuk menghasilkan layanan professional dan
economic rent. Teori human capital ini membedakan human capital dalam dua
bentuk , (1) industry-spesific human capital, merupakan pengetahuan rutinitas
yang khas dalam suatu industri yang tidak dapat ditransfer ke industri lainnya dan
(2) firm-specific human capital, merupakan pengetahuan mengenai rutinitas dan
prosedur yang khas dari sebuah perusahaan, yang membatasi nilai-nilai keluar d
ari perusahaan tersebut. Perbedaan dalam firm-specific dan industry-spesific yang
utama dan pokok adalah terletak dalam spesifikasinya. Pada industry-spesific
adalah kurang memiliki kekhususan perusahaan sehingga seorang yang
profesional dapat dengan mudah pindah dari satu perusahaan ke perusahaan
lainnya di seluruh pasar dan ia menghilangkan nilai industry-spesific perusahaan
sebelumnya. Dalam hal ini, peranan human capital menjadi sangat penting karena
merupakan sumber inovasi dan pembaharuan dari manajemen sumber daya
manusia.
Human capital memegang peranan sangat penting yang kritikal karena
kesuksesan atau kegagalan perusahaan sering kali tergantung pada bagaimana
perusahaan melakukan leverage terhadap asetnya yang paling berharga tersebut,
yaitu sumber daya manusia. Manusia adalah satu-satunya elemen dasar dalam
organisasi yang memiliki kekuatan yang melekat pada dirinya untuk menciptakan
value perusahaan (Moeheriono 2009).
Muhi (2010) melakukan penelitian mengenai analisis investasi modal
manusia dalam perspektif pendidikan dan pelatihan. Penelitian ini memberikan
beberapa kesimpulan bahwa (a) Pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu
faktor yang penting dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Pendidikan dan pelatihan tidak hanya menambah pengetahuan, akan tetapi juga
meningkatkan keterampilan bekerja, dengan demikian meningkatkan
produktivitas kerja. Pendidikan dan pelatihan dipandang sebagai investasi yang
imbalannya dapat diperoleh beberapa tahun kemudian. (b) Harapan terhadap hasil
investasi modal dalam diri manusia sebagai level yang lebih tinggi dalam
pendapatan, kemampuan bekerja selama hidup dan apresiasi yang lebih tinggi
dalam aktivitas non pasar dan keterkaitannya. (c) Pendidikan dan pelatihan dapat
dilakukan dengan berbagai cara yaitu dilakukan di dalam maupun diluar
pekerjaan. Pelatihan di luar pekerjaan umumnya merupakan pelatihan yang
bersifat formal diluar jam kerja. Pendidikan dan pelatihan yang dilakukan di

10
dalam pekerjaan dapat dilakukan dengan cara mengikutsertakan karyawan dalam
berbagai aktivitas tertentu seperti kegiatan yang bersifat on the job training.

Konsep Balanced scorecard
Menurut Luis dan Biromo (2008), balanced scorecard muncul pertama kali
pada tahun 1992 oleh Kaplan dan Norton dalam sebuah artikel yang mereka tulis
di majalah Harvard Business Review. Selanjutnya teori BSC telah berkembang
dengan sangat pesat, sehingga pada tahun 1996 Kaplan dan Norton melakukan
revisi pada BSC hingga muncul istilah strategy map yang kemudian dijelaskan
lebih terperinci pada tahun 2004. Konsep BSC yang pertama sedikit berbeda
dengan konsep BSC yang kedua. Perbedaan yang paling signifikan adalah bahwa
BSC generasi kedua mempunyai hubungan sebab-akibat yang disebut peta
strategi. Selain itu, terdapat tiga pembaruan yang muncul sebagai akibat dari
adanya evolusi BSC yaitu fokus, tujuan dan bidang penerapan.
Balanced scorecard pada generasi pertama berfokus pada pengukuran
kinerja sedangkan BSC generasi kedua lebih fokus kepada manajemen.
Manajemen yang tidak semata pada kinerja tetapi mencakup manajemen strategi,
manajemen operasional dan manajemen di bidang lainnya. Terkait dengan tujuan,
BSC generasi pertama bertujuan untuk mengendalikan pelaksanaan strategi,
sedangkan yang kedua menekankan pada komunikasi strategi. Kemudian pada
bidang penerapan, BSC generasi pertama ditujukan hanya pada sektor swasta,
sedangkan BSC generasi kedua selain swasta juga mencakup sektor publik, dan
penerapannya terbukti berhasil.
Balanced scorecard (BSC) didefinisikan sebagai suatu alat manajemen
kinerja yang bisa membantu sebuah organisasi untuk menerjemahkan visi, misi
dan strategi kedalam bentuk aksi dengan memanfaatkan sekumpulan indikator
finansial dan juga non finansial yang kesemuanya terjalin dalam suatu hubungan
sebab-akibat. BSC sangat berperan sebagai pengubah visi serta strategi organisasi
menjadi sebuah aksi sehingga BSC tidak berhenti pada saat strategi selesai
dibangun tetapi terus melakukan tahap monitor pada proses eksekusinya (Luis dan
Biromo 2008). Sedangkan menurut Gaspersz (2003), BSC merupakan sistem
manajemen bagi perusahaan untuk berinvestasi dalam jangka panjang untuk
pelanggan, pembelajaran dan pertumbuhan karyawan, termasuk manajemen,
proses bisnis internal demi memperoleh hasil finansial yang memungkinkan
perkembangan organisasi bisnis dari pada sekedar mengelola bottom line untuk
memacu hasil-hasil jangka pendek.
Selain itu, Luis dan Biromo (2008) menjabarkan pengertian BSC dengan
memisahkan antara “balance” dan “scorecard”. Balance berarti seimbang.
Sehingga BSC merupakan alat manajemen untuk menjaga keseimbangan antara
indikator finansial dan non-finansial, indikator kinerja masa lampau, masa kini,
dan masa depan, kemudian indikator internal dan eksternal serta indikator yang
bersifat leading dan lagging. Selanjutnya kata scorecard secara harfiah dapat
diterjemahkan sebagai “kartu nilai” atau raport yang biasa dikenal di sekolahan.
Terjemahan bebas seperti demikian cukup benar, disebabkan BSC juga dapat
dianggap sebagai sebuah kartu di mana di dalamnya terdapat berbagai penilaian
atas pencapaian kinerja dari setiap strategi yang telah dibangun.

11
Perspektif dalam Balanced scorecard
Kaplan dan Norton diacu Gapersz (2003) memperkenalkan empat perspektif
yang berbeda dari suatu aktivitas perusahaan yang dapat dievaluasi oleh
manajemen, yaitu perspektif finansial, perspektif pelanggan, perspektif proses
bisnis internal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Perspektif yang
dimaksud yaitu fokus pandangan kita yang dititikberatkan pada keempat hal
tersebut. Perspektif finansial, merupakan bagaimana kita memuaskan pemegang
saham. Perspektif pelanggan menjelaskan tentang bagaimana memuaskan
pelanggan. Perspektif proses bisnis internal menjelaskan tentang proses apa saja
yang seyogyanya diunggulkan untuk mencapai kesuksesan perusahaan.
Sedangkan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan menekankan bagaimana
mempertahankan keberlangsungan kemampuan terhadap perubahan dan
peningkatan. Pemahaman akan empat perspektif pada BSC tersebut sangat
penting agar seseorang mampu menerapkan konsep BSC secara benar dan
berhasil. Untuk menjamin keterpaduan di antara perspektive yang ada, maka
ukuran-ukuran yang dikembangkan untuk masing-masing perspektif ini
mengandung sebuah hubungan sebab akibat secara langsung maupun tidak
langsung. Menurut Kaplan dan Norton dalam Rivai dan Sagala (2013),
mengartikulasikan empat perspektif yang dapat memandu perusahaan untuk
mengimplementasikan strategi perusahaan.
Financial
How do we look against the
financial objectivers of our
owners?

Customer

Internal

How do we look to the
customers that we want to
attract

What must we excel at for our
customers?

Innovation and
Learning
How do we get better at
improving?

Gambar 2 Tolok ukur balanced scorecard (Rivai dan Sagala 2013)
Perspektif Keuangan
Menurut Gaspersz (2003), untuk membangun suatu BSC, unit-unit bisnis
harus dikaitkan dengan tujuan finansial yang memiliki kaitan dengan strategi
perusahaan. Tujuan finansial memiliki peran sebagai fokus bagi tujuan-tujuan
strategis dan ukuran-ukuran bagi semua perspektif dalam BSC. Setiap ukuran
yang dipilih seyogyanya menjadi bagian dari sebuah keterkaitan hubungan sebab
akibat yang memuncak pada peningkatan kinerja finansial.

12
Luis dan Biromo (2008), menyatakan bahwa dalam organisasi yang mencari
laba, faktor keuangan menjadi indikator yang sangat penting, tak berbeda dengan
konsep untuk membangun strategi keuangan lainnya, BSC menggariskan upaya
apa yang harus dilakukan untuk dapat berhasil secara keuangan di mata para
pemegang saham. Keuangan organisasi dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu
jangka pendek dan jangka panjang. Dalam pendekatan keuangan yang bertujuan
jangka pendek, strategi yang digunakan adalah strategi peningkatan produktivitas,
meliputi upaya-upaya yang dapat dilakukan agar produktivitas dapat optimal.
Strategi produktivitas ini dapat dicapai dengan perbaikan struktur biaya dan
pemaksimalan utilitasi aset. Berbeda dengan pendekatan keuangan yang bertujuan
jangka panjang, strategi yang dilakukan merupakan strategi khusus yang disebut
strategi pertumbuhan. Strategi ini meliputi dua hal utama yaitu peningkatan
pendapatan dan peningkatan nilai bagi pelanggan.
Menurut Kaplan dan Norton diacu Rivai dan Sagala (2013), pengukuran
kinerja keuangan mempertimbangkan adanya tahapan dari siklus bisnis yaitu
growth, sustain, dan harvest. Tiap tahapan memiliki sasaran yang berbeda,
sehingga penekanan dan pengukurannya berbeda pula.
(a) Growth, merupakan tahap pertama dan awal dari siklus kehidupan bisnis.
Pada tahap ini suatu perusahaan memiliki tingkat pertumbuhan yang sama
sekali atau paling tidak memiliki potensi untuk berkembang. Perusahaan
dalam tahap berkembang mungkin secara aktual beroerasi dengan cash flow
negatif dan tingkat pengembalian atas modal yang rendah. Sasaran keuangan
untuk growth stage menekankan pada pertumbuhan penjualan di dalam pasar
baru dari konsumen baru dan dari produk dan jasa baru.
(b) Sustain stage, merupakan tahap kedua yaitu tahap di mana perusahaan masih
melakukan investasi dan reinvestasi dengan mempersyaratkan tingkat
pengembalian yang terkait. Dalam tahap ini perusahaan berusaha
mempertahankan pangsa pasar yang ada dan mengembangkannya apabila
mungkin. Sasaran keuangan tahap ini lebih diarahkan pada besarnya tingkat
pengembalian atas investasi yang dilakukan.
(c) Harvest, merupakan tahap kematangan, suatu tahap di mana perusahaan
melakukan panen terhadap investasi mereka. Tujuan utama dalam tahap ini
adalah memaksimumkan arus kas yang masuk ke perusahaan. Sasaran
keuangannya adalah cash flow dan pengurangan modal kerja yang diperlukan
serta yang mampu dikembalikan dari investasi di masa lalu.
Perspektif Pelanggan
Menggunakan kacamata pelanggan adalah hal yang seharusnya dilakukan
pada perspektif ini. Tujuannya, menurut Luis dan Biromo (2008) adalah untuk
mengetahui bagaimana pelanggan menilai produk atau jasa, dan organisasi. Halhal yang biasanya dinilai di antaranya atribut produk atau jasa, hubungan dengan
pelanggan, citra dan reputasi organisasi. Nilai-nilai demikian dapat diukur dengan
cara melakukan survei kepuasan pelanggan, baik yang dilakukan oleh organisasi
sendiri maupun oleh lembaga independen.
Dengan adanya perspektif ini seseorang dapat melihat output dari
produk/jasa di mata masyarakat. Jika output negatif dapat dilakukan perbaikan
secara cepat. Untuk memberikan nilai yang baik kepada pelanggan, ada tiga
pendekatan yang berkaitan dengan produk. Pendekatan tersebut yaitu product

13
leadership, operational exellence dan customer intimacy. Product leadership
adalah produk-produk unggulan yang selalu terdepan dalam hal inovasi.
Operation exellence adalah produk-produk yang dirancang agar seekonomis
mungkin. Sedangkan customer intimacy adalah produk-produk yang dibuat
spesial dan tidak masal serta disesuaikan dengan keinginan pelanggannya.
Menurut Gaspersz (2003), dalam perspektif pelanggan dalam BSC,
perusahaan harus mengidentifikasi pelanggan dan segmen pasar di mana mereka
akan berkompetensi. Elemen yang paling penting yaitu kebutuhan pelanggan,
karenanya diperlukan pengidentifikasian secara tepat akan kebutuhan pelanggan.
Selain itu, konsep segmentasi pasar juga penting untuk diketahui karena akan
bermanfaat bagi penilaian pasar serta penetapan strategi memasuki pasar. Secara
sederhana langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam lingkup perspektif
pelanggan dapat mengikuti model rantai nilai seperti berikut:

Gambar 3 Model rantai nilai dari perspektif pelanggan dalam BSC
(Gaspersz 2003)
Perspektif Proses Bisnis Internal
Proses bisnis internal yang dimaksud merupakan serangkaian aktivitas yang
ada dalam bisnis secara internal yang kerap disebut dengan rantai nilai. Dalam
perspektif suatu proses bisnis internal BSC, seorang manajer harus
mengidentifikasi proses-proses yang paling krisis untuk mencapai suatu tujuan
peningkatan nilai untuk pelanggan dan tujuan peningkatan nilai bagi pemegang
saham. Menurut Gaspersz (2003), yang biasa digunakan untuk BSC adalah model
rantai nilai proses bisnis internal yang terdiri dari 3 komponen utama yaitu,
(1) Proses inovasi, mengidentifikasi segala kebutuhan pelanggan masa kini dan
masa mendatang serta mengembangkan solusi baru untuk kebutuhan pelanggan
tersebut. Proses inovasi dapat dilakukan melalui riset pasar agar bisa
mingidentifikasi ukuran pasar serta kebutuhan pelanggan dengan spesifik,
sehingga perusahaan bisa menciptakan dan juga menawarkan produk sesuai

14
kebutuhan pelanggan dan pasar. (2) Proses operasional, mengidentifikasi
sumber-sumber suatu pemborosan dalam proses operasional juga
mengembangkan sebuah solusi masalah yang ada dalam proses operasional demi
meningkatkan efisiensi produksi, meningkatkan kualitas produk juga proses,
memperpendek waktu siklus sehingga meningkatkan penyerahan produk
berkualitas tepat waktu dan lain-lain. (3) Proses pelayanan, berkaitan dengan
pelayanan kepada pelanggan, seperti pelayanan purna jual, menyelesaikan
masalah yang timbul pada pelanggan dalam kesempatan pertama secara cepat,
melakukan tindak lanjut secara proaktif dan tepat waktu, memberikan sentuhan
pribadi dan lain-lain. Model rantai nilai proses bisnis internal dalam BSC adalah
sebagai berikut:

Gambar 4 Model rantai nilai perspektif bisnis internal dalam BSC
(Gaspersz 2003)
Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Perspektif keempat dalam balanced scorecard yaitu mengembangkan tujuan
dan ukuran yang mengendalikan pembelajaran dan pertumbuhan organisasi.
Tujuan dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan merupakan pengendali
untuk mencapai keunggulan outcome ketiga perspektif sebelumnya yaitu
perspektif keuangan, pelanggan dan proses bisnis internal (Gaspesz 2003).
Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ini berfokus pada sumber daya,
yaitu sumberdaya manusia yang ada dalam organisasi. Pengembangan sumber
daya manusia agar masing-masing menjadi karyawan yang kompeten yang
akhirnya akan menghasilkan kinerja yang prima bagi organisasi. Menurut Luis
dan Biromo (2008), terdapat tiga kategori utama yang dianalisis dan diukur dalam
perspektif pembelajaran dan pertumbuhan yaitu (a)