makalah ulumul quran sejarah perkembanga

(1)

Tugas Terstruktur Dosen Pembimbing

Ulumul Qur’an IV Muhammad Yasir, S.Th.I,MA.

SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR QUR’AN

Oleh :

HAMIDA AKMAL 11432204714 SITI ZULAIKHA 11432206205 SISKA ARDIANTI 11432204728

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

PEKANBARU


(2)

KATA PENGANTAR

ميح رلا نمح رلا لا مسب

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan Rahmat, hidayah, dan Inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ulumul Qur’an ini.

Adapun penyusunan makalah ini telah kami upayakan dengan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak. Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusunan bahasanya maupun segi lainnya. Semua itu bukan unsur kesengajaan kami, tetapi dikarenakan kurangnya ilmu dan pengetahuan kami dalam ilmu ini.

Oleh karena itu, dengan lapang dada dan tangan terbuka, kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami, sehingga kami dapat memperbaiki makalah ulumul Qur’an ini kedepannya agar lebih baik lagi.

Pekanbaru, April 2016


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... ii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 1

C. Tujuan Penulis... 1

BAB II PEMBAHASAN... 2

A. Sekilas Lahirnya Tafsir Al-Qur’an... 2

B. Perkembangan dan Pertumbuhan Tafsri Al-Qur’an... 4

1. Tafsir pada Masa Nabi Muhammad Saw. (tahun dari kenabian hingga 11 H/610 M)... 2. Tafsir Periode Mutaqaddimin (Abad ke 1-4 H/7-11 M) 3. Tafsir Periode Muta’akhkhirin ( Abad ke – 4 – 12 H = 11 - 19 M ) 4. Tafsir Periode Kontemporer/Modren (Abad ke 12 H = 19 M -Sekarang) BAB III PENUTUP... 25

A. Kesimpulan... 25

B. Saran... 25 DAFTAR PUSTAKA


(4)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Telah menjadi Sunnatullah bahwa dalam menurunkan kitab, Allah SWT megutus seorang Nabi dengan menggunakan bahasa kaumnya. Hal ini dijelaskan dalam ayat berikut.













 

















 











 























Artinya: ‘Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”(QS.Ibrahim:4)

Nabi Muhammad Saw. hidup di jazirah Arab dan Al-Qur’an di turunkan kepadanya dengan menggunakan bahasa mereka, sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT berikut.





 

 

























Artinya: “Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”(QS.Yusuf:2)

Kelebihan bahasa al-Qur’an jauh diatas bahas mereka, baik dari segi kosakata maupun maknanya. Dengan demikian. Meskipun mereka bertutur dengan bahasa Arab, mereka tidak memiliki pemahaman yang saman akan al-Qur’an. Menurut M.Nur Kholis Setiawan dalam Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Kenyataan itu menunjukkan bahwa al-Qur’an bukanlah teks yang dibuat oleh manusia melainkan teks Ilahi.


(5)

Sehubungan dengan pemahaman yang berbeda terhadapa al-Qur’an, para sahabatpun memiliki pemahaman dan kemampuan menafsirkan yang berbeda pula, meskipun mereka hidup semasa dengan Nabi.

Menelusuri sejarah penafsiran al-Qur’an yang demikian panjang dan tersebar luas di segenap penjuru dunia Islam tentu bukan merupakan perkara mudah. Apalagi untuk menguraikannya secara panjang lebar dan detail. Apalagi di zaman yang serba cepat dan instan ini. Sebab penelusuran sejarah tafsir al-Qur’an selain perlu merujuk ke berbagai literatur yang ada, juga dapat di lacak dari para pelaku penafsiran itu sendiri yang lazim di kenal dengan sebuh thabaqat al-mufassirin (penjenjangan para mufassir).

Oleh karena itu, makalah ini akan menguraikan sejarah penafsiran al-Qur’an dengan uraian yang panjang lebar atau meluas dan mendalam serta rinci. baik sejarah tafsir zaman Rasulullah, mutaqaddimin. Mutaakhkhirin dan kontemporer.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah: a. Bagaimana sejarah dan perkembangan tafsir Al-Qur’an?

b. Bagaimana sejarah tafsir pada masa Nabi Muhammad Saw.? c. Bagaimana sejarah tafsir periode mutaqaddimin?

d. Bagaimana sejarah tafsir periode mutaakhkhirin? e. Bagaimana sejarah tafsir periode kontemporer? C. Tujuan Penulis

Adapun tujuan penulis dalam pembuatan makalah ini, yaitu: a. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan tafsir Al-Qur’an? b. Untuk mengetahui sejarah tafsir pada masa Nabi Muhammad Saw.? c. Untuk mengetahui sejarah tafsir periode mutaqaddimin?

d. Untuk mengetahui sejarah tafsir periode mutaakhkhirin? e. Untuk mengetahui sejarah tafsir periode kontemporer?


(6)

BAB II PEMBAHASAN A. Sekilas lahirnya Tafsir Al-Qur’an

Sebelum membahas lebih jauh tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan tafsir, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu tentang lahirnya tafsir al-Qur’an itu sendiri. Kenyataan sejarah yang tidak terbantahkan oleh siapapun baik dari Barat maupun Timur, muslim maupun non-muslim bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an telah bersemai seiring dengan perjalanan risalah dan kenabian Nabi Muhammad Saw. Hanya saja kebutuhan masyarakat muslim secara spesifik belum terasa ketika itu, dan tidak sebesar masa-masa berikutnya.1

Sebagai pembawa risalah, Nabi Muhammad Saw. memiliki otoritas penuh terhadap penafsiran al-Qur’an. Keberadaannya sebagai penjelas dan penafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an, dan menjadi referensi sentral dalam berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat pada zaman tersebut. Apabila sahabat mendapatkan suatu kesulitan di dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an maka merekabisa langsung menanyakannya kepada Rasulullah Saw, lalu beliau menjelaskan apa yang masih samar pengertiannya bagi para sahabat, sehingga tidak ada lagi keraguan dan kerancuan di benak para sahabat. Misalnya ketika para sahabat mendapat kesulitan dalam memahami isi dari suatu ayat al-Qur’an, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau berkata: “Ketika diturunkan-Nya ayat:



















 























 





Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat

1 Ali Akbar. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir ( Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau : 2011) hal. 28


(7)

keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Para sahabat merasa sangat terbebani dan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan keterangan yang ada dalam ayat tersebut. Kemudian mereka bertanya dengan Nabi Saw: “Siapakah diantara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya?. Beliau menjawab: “Kezaliman disini bukanlah seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu mendengar apa yang diakatakan hamba yang shaleh (Luqman), sebagaimana yang di sinyalir dalam ayat:

  











"

Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Yang dimaksud ‘Ladzulmun’ disini adalah ‘asy-syirka’

“perbuatan syirik”. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.2

Selain dari riwayat yang telah dikemukakan, masih banyak riwayat lain yang datang dari Rasulullah Saw, adakalanya berupa sunnah qauliyah, fi’liyah dan taqririyah dijadikan rujukan penting dalam memahami isi kandungan al-Qur’an. Meskipun Rasulullah Saw tidak mengintrodusir suatu metode yang baku untuk menjelaskan terhadap apa yang ditanyakan para sahabat, namun upaya yang dilakukannya dinilai sebagai suatu penafsiran. Dengan demikian ada yang menyebut diri Rasulullah Saw, sebagai al-Mufassir al-awwal (penafsir pertama). Hal demikian ditegaskan Allah Swt dalam firman-Nya:















 

























 

  

 













 

Artinya: “Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang


(8)

mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”

B. Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir Al-Qur’an

Penafsiran al-Qur’an yang terjadi sejak zaman Nabi Muhammad Saw. (571-632 M) dan masih tetap berlangsung hingga sekarang bahkan di masa-masa mendatang, sungguh telah menghabiskan waktu yang sangat panjang dan melahirkan sejarah tersendiri bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu al-Qur’an khususnya tafsir. Menelusuri sejarah penafsiran al-Qur’an yang demikian panjang dan tersebar luas ddi segenap penjuru dunia Islam tentu bukan merupakan perkara mudah. Apalagi untuk menguraikannya secara panjang lebar dan detail. Apalagi di zaman yang serba cepat dan instan ini. Sebab penelusuran sejarah tafsir al-Qur’an selain perlu merujuk ke berbagai literatur yang ada, juga dapat di lacak dari para pelaku penafsiran itu sendiri yang lazim di kenal dengan sebuh thabaqat al-mufassirin (penjenjangan para mufassir).3

Sebagian ahli tafsir, secara global membagi periodesasi penafsiran al-Qur’an kedalam tiga fase, yaitu periode mutaqaddimin (abad ke-1-4 H), periode mutaakhkhirin (abad 4-12 H), dan periode baru (abad ke-12-sekarang). Adapula yang memilahnya kedalam beberapa fase yang lebih banyak semisal Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1300-1371 H/1883-1925 M) yang membedakan thabaqat al-mufassiriin kedalam tujuh tahapan, yakni: (1) tafsir masa sahabat, (2) tafsir masa thabiin, (3) tafsir masa penghimpunan pendapat para sahabat dan thabiin, (4) tafsir masa generasi ibnu Jarir dan kawan-kawan yang memulai menuliskan penafsirannya, (5) tafsir masa generasi mufassir yang sumber penafsirannya mengabaikan penyebutan rangkaian (sanad) periwayatan, (6) tafsir masa kemajuan kebudayaan dan peradaban Islam, yang oleh Maraghi di sebut dengan ‘ashr ma’rifah


(9)

islamiyah, (7) tafsir pada masa penulisan, transliterasi (penyalinan) dan penerjemahan al-Qur’an kedalam berbagai bahasa asing (non Arab).4

Berbeda dari al-Maraghi, Muhammad Husayn al-Dzahabi memilih sejarah tafsir ketiga marhalah, yaitu: periode Nabi dan Sahabat, thabiin, dan pembukuan tafsir. Namun dalam makalah ini penulis akan memilih fase-fase perkembangan al-Qur’an kedalam empat periode besar, yakni periode Nabi Saw, periode mutaqaddimin. Periode mutaakhkhirin, dan kontemporer (modren).5

1. Tafsir pada Masa Nabi Muhammad Saw. (tahun dari kenabian hingga 11 H/610 M)

Seperti di tegaskan al-Qur’an, tugas utama dan pertama dari kenabian /kerasulan dari Nabi Muhammad Saw. adalah untuk menyampaikan al-Qur’an. Namun, berbarengan dengan itu, berdasarkan al-Qur’an pula Nabi Saw. diberi otoritas untuk meneragkan atau tepatnya menafsirkan al-Qur’an. Sehubungan dengan itu, maka memang sungguh amat tepat penobatan Nabi Saw. oleh para ahli tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an sebagai qari’, hafizh dan terutama mufassir pertama (al-mufassir al-awwal/ the first interpreter) dalam sejarah tafsri al-Qur’an.6

Tugas-tugas penyampaian, penghafalan, pembacaan, dan penafsiran al-Qur’an yang di bebankan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. itu dapat di simpulkan dari deretan ayat-ayat di bawah ini.





  























 















  

























4 Ibid. hal. 319 5 Ibid


(10)

Artinya: “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”(QS.Al-Ma’idah:67)



























 











Artinya: “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu (Al Quran). tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya. dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari padanya.”(QS.Al-Kahfi:27)







































 







 



























Artinya: “Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Ankabut:45)









 



 













  





















Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.”(QS. Al-Qiyamah: 17-18)


(11)

































 







 



 

Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan.”(QS. Al-Nahl: 44)















 

























 

  

 













 

Artinya: “Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”(QS. Al-Nahl: 64)

Ayat-ayat diatas jelas memerintahkan Nabi Muhammad Saw. supaya menyampaikan, membaca, menghafal, dan menafsirkan Al-Qur’an. Nabi telah melaksanakan tugas-tugas Qur’aniyyah itu dengan prima. Baik sebagai pembaca dan penghafal al-Qur’an (qari’ dan hafiz), maupun sebagai penyampai risalah (mubaligh al-risalah) dan penjelas (mubayyin) al-Qur’an. Bahkan lebih dari itu, beliau telah menyelesaikan tugas sucinya (sacredd mission) mengamalkan dan mempraktikkan ajaran-ajaran al-Qur’an selama lebih kurang 23 tahun.7

Nabi mendapatkan pengajaran al-Qur’an berikut penjelasannya dari Allah Swt. dan atau malaikat Jibril seperti dapat di ketahui dari ayat-ayat berikut:









 

 













 



 



 










(12)

Artinya: “ (Tuhan) yang Maha pemurah, Yang Telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (QS.Ar-Rahman:1-4)

Penafsiran al-Qur’an yang dibangun Rasulullah Saw. ialah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an dan menafsirkan al-Qur’an dengan pemahaman beliau sendiri yang kemudian populer dengan sebutan dengan al-Sunnah atau al-Hadist, jika al-Qur’an bersifat murni semata-mata wahyu Allah, baik teks/naskah lafal ataupun maknanya, maka al-Hadist kecuali Hadis Qudsi- pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman beliau dari ayat-ayat al-Qur’an.8

Selanjutnya, timbul perbedaan pendapat dikalangan ulama berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang di tafsirkan oleh Rasulullah Saw. perbedaan tersebut di kelompokkan menjadi dua:9

1. Rasulullah menjelaskan tentang makna al-Qur’an sebagaimana beliau menjelaskan kosakata al-Qur’an. Demikian pendapat Ibnu Taimiyah dalam muqaddimah berdasarkan Surah Al-Nahl:44. Alasan pokok yang menjadi argumen mereka adalah sebagai berikut:

a. Surah al-Nahl:44, penjelasan harus mencakup kosakata dan makna. b. Hadis Abu Abdurrahman As-Sulami yang menjelaskan bahwa ketika

mereka belajar sepuluh ayat, mereka harus mengamalkannya terlebih dahulu.

c. Hadis Anas bin Malik yang menyatakan bahwa setiap lelaki apabila membaca al-Baqarah dan Ali-Imran, menjadi agung diantara kami. d. Muqaddimah karya Ibnu Taimiyah , maksud dari setiap kalam adalah

mngetahui makna-maknanya, bukan sekedar tahu kosakata.

2. Rasulullah hanya sedikit menjelaskan makna al-Qur’an kepada para sahabat. Demikian pendapat al-Khuwayyi dan as-Suyuthi. Alasan pokok yang menjadi argumen mereka adalah sebagai berikut:

8 Ibid. hal.322


(13)

a. Riwayat dari Aisyah yang menyataan bahwa Nabi Saw. hanya menjelaskan dan menafsirkan beberapa ayat yang di ajarkan Jibril. b. Allah memerintahkan manusia untuk berfikir, mengerti maksud

kalam-kalam-Nya, dan melakukan istinbath, yaitu berupaya menemukan penafsiran baru serta makna yang lebih sesuai dengan kondisi masanya.

c. Apabila Nabi menjelaskan seluruh makna al-Qur’an, do’a beliau kepada Ibnu Abbas tidak ada gunanya, karena manusia memiliki batasan pengetahuan yang sama.

Mendapatkan perbedaan pendapat dua kubu tersebut, kita dapat pastikan bahwa Rasulullah Saw. tidak menafsirkan seluruh makna ayat al-Qur’an. Kesimpulan tersebut berdasarkan beberapa alasan berikut.10

1. ada sebagian ayat yang pemahamannya didasarkan pada pengetahuan tentang kebahasaan. Hal ini tidak membutuhkan penjelasan dari Rasulullah. Contonya, ketika Ibnu Abbas menafsirkan kata ya’mahuna (al-Baqarah:15), ia berkata, “Yataraddaduna (mereka terombang-ambing).” 2. Sebagian ayat ada yang mudah untuk di pahami sehingga tidak

membutuhkan penjelasan Nabi. Misalnya, ayat berikut ini.











 



Artinya: “ Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu... (QS. An-Nisa’:23)

3. Sebagian ayat ada yang penjelasannya hanya di ketahui oleh Allah, seperti terjadinya hari kiamat. Oleh sebab itu, setiap Nabi di tanya kapan terjadi kiamat, beliau hanya menjelaskan tanda-tanda datangnya. Dalam Surah Luqman (31) ayat 34 dikemukakan bahwa hanya Allah yang mengetahui tentang hari kiamat.

4. Ada sebagian ayat yang tidak bermanfaat untuk diketahui lebih jauh, seperti warna anjing Ashabul Al-Kahfi dan bentuk tongkat Nabi Musa.


(14)

Rasulullah tidak pernah menafsirkan hingga keluar dari batasan hingga akhirnya cendrung tidak bermanfaat. Kebanyakan tafsir Rasulullah merupakan penjelasan mengenai sesuatu yang global, menerangkan perkara yang sulit, mengkhususkan yang umum, memberikan batasan untuk hal-hal yang muthlak, dan menjelaskan makna kata.11

Sehubungan dengan itu, berikut ini contoh-contoh tafsir yang dilakukan oleh Nabi Saw.12

1. menjelaskan hal yang sulit. Misalnya, riwayat dari Ibnu Abbas yang berkata, “Ada seseorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw. ‘Bagaimana pendapat engkau tentang firman Allah kama anzalna ‘ala al-muqtasimin (sebagaimana [kami telah memberi peringatan], kami telah menurunkan [azab] kepada orang yang memilah-milah [Kitab Allah].

(QS. Al-Hijr:90)? Nabi menjawab, ‘(Mereka adalah) kaum yahudi dan Nasrani.’ Laki-laki itu bertanya lagi, ‘Alladzi ja’alu al-qur’an ‘idhin ([yaitu]orang-orang yang telah menjadikan al-qur’an itu terbagi-bagi).

(QS. Al-Hijr : 91). Apa ‘idhin itu? Nabi menjawab, ‘Orang-orang yang beriman dengan sebagian dan kufur dengan sebagian lainnya.’”

Contohnya lainnya adalah penjelasan Nabi tentang benang putih dan benang hitam sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 187. Nabi menjelaskan bahwa maksudnya adalah terang siang dan gelapnya malam.

2. Memberikan batasan. Misalnya firman Allah potonglah tangan keduanya

(QS. Al-Ma’idah:38), Nabi memberikan batasan dengan memotong tangan kanan.

3. Memberikan suri tauladan. Misalnya, Nabi memerintahkan untuk mencontoh cara shalat yang dilakukannya sebagaimana dalam hadis berikut.

11 Ibid. hal. 51 12 Ibid


(15)

امممك اولممصو مممهورمو مهوممملعف مممكيلهأ ىلا اوعجرا

ىلصأ ينومتيأر

Pulanglah kepada keluarga kalian, ajarilah dan perintahkan mereka, dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat. (HR. Al-Bukhari)

Nabi sebagai pembawa risalah banyak memberikan kesempatan untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an yang belum dipahami secara memadai oleh sahabat dalam berbagai kondisi, seperti dalam perjalanan, mukim. Perang, atau damai. Sementara itu, tafsir pada masa beliau belum di bukukan sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri, tetapi baru disampaikan melalui riwayat.13

B. Periode Mutaqaddimin (Abad ke 1-4 H/7-11 M)

Periode mutaqaddimin ( Abad ke – 1 hingga abad ke - 4 Hijrah ) meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ al – tabi’in. Sepeninggal Nabi Muhammad Saw. ( 11 H / 632 M ) selaku mufassir pertama ( al – mufassir al – awwal ) dan mufasir tunggal di zamannya, penafsiran Al – Qur’an dilakukan oleh sahabat – sahabat Nabi. Terutama kalangan sahabat senior ( kibar al – shahabah ).14

a. Tafsir Pada Masa Sahabat

1. Keberadaan Sahabat Berkaitan dengan Pengetahuan

Berkaitan dengan peristiwa turunnya ayat, tidak semua sahabat menyaksikannya. Oleh sebab itu pemahaman mereka berbeda-beda yang kemudian menimbulkan tingkatan yang berbeda-beda pula dalam memahami makna kosakata al-Qur’an. Misalnya makna kata takhawwuf (takut) dalam surah an-Nahl (16) ayat 47. Sementara itu, seseorang dari suku Hudzil menjelaskan, “Takhawwuf dalam bahasa kami adalah berangsur-angsur (sampai binasa).” Contoh lainnya adalah riwayat mengenai Ibnu Abbas yang tidak mengetahui makna fathir as-samawat sampai akhirnya ia mendapati dua

13 Ibid


(16)

orang Badui yang sedang berdebat mengenai sebuah sumur, siapa diantara keduanya yang lebih dahulu menggali. Berdasarkan perdebatan tersebut, akhirnya Ibnu Abbas menegaskan bahwa maksud fatih as-samawat adalah dia yang awal mula menciptakan langit.15

Oleh sebab itu, Ali bin Abi Thalib berkata, “Tidak. Demi zat yang membelah biji dan membuat keturunan, kami tidak mengetahuinya melainkan pemahaman yang diberikan Allah kepada seseorang mengenai al-Qur’an. Dari pendapat Ali tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:16

a. Para sahabat memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda-beda dan banyak makna al-Qur’an yang samar bagi mereka.

b. Kebanyakan mereka merasa cukup dengan makna global.

c. Di antara mereka ada yang memahami dengan pemahaman yang kurang tepat.

d. Sebagian generasi tua tidak memahami isyarat al-Qur’an seperti Ibnu Abbas yang merupakan generasi muda.

2. Perbedaan Pemahaman Para Sahabat Mengenai al-Qur’an

Kenyataan menjelaskan bahwa Nabi Saw. tidak menjelaskan seluruh ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu, ijtihad para sahabat memegang peran yang sangat penting. Meskipun demikian, tingkatan tafsir mereka berbeda-beda. Berikut ini faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut.17

a. Perbedaan tingkat pemahaman dan kemampuan dalam menguasai bahasa. b. Perbedaan dalam intensitas dalam menyertai Nabi Saw.

c. Perbedaan pemahaman tentang asbab an-nuzul yang membantu dalam memahami makna ayat.

d. Perbedaan pengetahuan mengenai syariat.

e. Perbedaan tingkat kecerdasan karena mereka seperti manusia lain pada umumnya.

15 Samsurrohman. Op.cit. hal. 52 16 Ibid


(17)

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun banyak terdapat perbedaan pendapat dikalangan sahabat, al-Qur’an tetap dapat dipahami secara selaras seiring dengan tingkat perkembangan pengetahuan.

3. Ciri Khusus Tafsir Sahabat

a. Hanya sedikit dimasuki riwayat israiliyat karena Nabi merasa cukup dengan sumber Islam yang murni. Oleh sebab itu, tafsir sahabat tidak dikeruhkan oleh hawa nafsu serta terhindar dari perselisihan dan kedustaan.

b. Belum mencakup keseluruhan al-Qur’an karena banyak ayat yang telah jelas bagi mereka.

c. Hanya sedikit perbedaan pendapat dalam penafsiran karena mereka hidup semasa dengan turunnya wahyu dan memahami bahasa Arab. d. Tidak memaksakan untuk menjelaskan makna secara detail sehingga

menjadi berlebihan dan tidak bermanfaat.

e. Kebanyakan masih berkisar tentang kebahasaan yang dipahami sesuai kalimat yang terpendek.

f. Belum terpengaruh mazhab manapun, tetapi tafsir mereka merupakan hasil istinbath hukum fiqh.

g. Tafsir belum dibukukan sehingga penyampaian dilakukan melaui riwayat dari mulut ke mulut.

h. Tafsir belum dipisahkan dari Hadis dan masih terpencar.18

4. Sumber Rujukan Tafsir Sahabat

Pada masa Nabi Saw. sumber penafsiran adalah al-Qur’an dan ijtihad beliau. Sementara itu, sumber rujukan tafsir pada masa sahabat adalah sebagai berikut:19

a. Al-Qur’an dengan mencakup kalimat yang panjang dan pendek, global dan terperinci, muthlaq dan muqayyad, serta umum dan khusus. Oleh sebab itu, bagi orang yang hendak menafsirkan al-Qur’an, sebelumnya harus

18 Ibid. hal. 54 19 Ibid. hal.55


(18)

meneliti lalu mengumpulkan ayat-ayat berdasarkan kesamaan topik dan membandingkannya.

b. penjelasan Nabi Saw. ketika beliau masih hidup, sahabat langsung menanyakan segala persoalan kepada beliau.

c. Ijtihad dan kemampuan untuk ber-istinbath. Hal ini dilakukan apabila didalam dua sumber diatas tidak ditemukan jawaban. Akan tetapi orang ingin berijtihad harus memenuhi syarat-syarat berikut.

1) mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab. 2) mengetahui kebiasaan kaum Arab.

3) mengetahui perilaku Ahli Kitab pada masa turunnya al-Qur’an. 4) mengetahui asbab an-nuzul.

5) memiliki pemahaman yang kuat karena kebanyakan ayat al-Qur’an maknanya halus dan maksudnya samar.

d. Kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Hal ini dikarenakan sebagian al-Qur’an sesuai dengan kitab Taurat dan Injil (yang asli), seperti kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu. Begitu juga dengan al-Qur’an yang mencakup ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Injil, seperti kisah kelahiran Nabi Isa, hanya saja metode dan tujuan yang dipakai al-Qur’an berbeda.

5. Sahabat yang Terkenal dalam Bidang Ilmu Tafsir

Dari kalangan para sahabat, minimal tercatat sepuluh orang mufassir terkenal, yaitu :20

1) Abu Bakar al – Shiddiq ( w. 13 H / 634 M ) 2) Umar Ibn Al – Khathtab ( w.23 H / 644 M ) 3) Utsman bin Affan ( w.35 H / 656 M ) 4) Ali bin Abi Thalib ( w. 40 H / 661 M ) 5) Ibn Mas’ud ( w. 32 H / 652 M ) 6) Zaid bin Tsabit ( w. 45 H / 665 M ) 7) Ubay bin Ka’ab ( w. 20 H / 640 M ) 8) Abu Musa al – asy’ari ( w. 44 H / 664 M ) 9) Abdullah bin Zubair ( w. 73 H / 692 M ) 10) Abdullah bin Abbas ( w. 68 H / 687 M )

Dari kalangan khulafa’ al – Rasyidin, Ali bin Thalib-lah yang dikenal paling banyak menafsirkan Al – qur’an. Sedangkan tiga lainnya, terutama Abu Bakar, di samping Umar dan Utsman, relatif tidak banyak dengan kegiatan menafsirkan Al – Qur’an. Selain karena Utsman, Umar dan terutama Abu Bakar yang secara berturut – turut terlihat langsung dengan kegiatan


(19)

dunia politik praktis denga jabatannya sebagai khalifah ( kepala negara ) ; juga terutama disebabkan usia mereka terutama Abu Bakar yang tidak lama masa hidupnya dari kematian Nabi Muhammad saw. Seperti diketahui, setelah Nabi berpulang ke rahmat Allah, Abu Bakar secara aklamasi, meskipun didahului dengan perdebatan yang cukup memans, dibaiat untuk menggantikan posisi Nabi selaku pemimpin umat dan negara ( khalifah ). Tapi dua tahun kemudian, Abu bakar berpulang ke rahmat Allah. Meskipun sedikit lebih panjang dari masa kekhalifahan Abu Bakar, namun Umar dan Utsman yang masing – masing menjadi khalifah selama empat puluh tahun dan dua belas tahun, juga kemudian meninggal dunia lebih dulu dibandingkan dengan Ali bin Abi Thalib.21

6. Madrasah Tafsir pada Masa Sahabat

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa adanya tingkat pengetahuan yang berbeda dikalangan sahabat berimbas pada hasil penafsiran. Hal ini kemudian secara otomatis diikuti oleh para muridnya. Dari sinilah muncul tiga madrasah tafsir yaitu, Mekah, Madinah dan Kufah.22

a. Mekah

madrasah tafsir Mekah dipelopori oleh Abdullah bin Abbas yang dikenal dengan Ibnu Abbas. Ia sangat pandai dan memiliki ilmu yang melimpah tentang kitab Allah. Oleh sebab itu, Ibnu Abbas disebut sebagai sebaik-baik penerjemah al-Qur’an. Sementara itu, Ibnu Umar menyatakan bahwa Ibnu Abbas adalah seorang yang paling alim mengenai kitab yang diturunkan kepada Nabi Saw.23

ibnu Abbas merupakan sahabat muda yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, ia mampu menguasai ilmu bahasa Arab dan sastra. Disamping itu ia memliki hafalan yang sangat kuat. Dengan kemampuannya, Ibnu Abbas menjelaskan kosakata yang sulit dengan penjelasan yang memadai. Misalnya, Firman Allah Swt berikut:























21 Ibid. hal. 323

22 Samsurrohman. Op.cit. hal. 56 23 Ibid


(20)

Artinya: “dan kamu Telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa.(QS.Al-Fath:12)

Kata buran ditafsirkan dengan halaka (binasa). Contoh lainnya adalah firman dibawah ini.









 







Artinya: “Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang Penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.”(QS.Hud:75)

Halimun awwahun munibun, ditafsirkan dengan muqin yang dalam bahasa Habasyah artinya orang yang yakin.

Disisi lain, Ibnu Abbas juga mencoba menafsirkan kosakata yang sulit dengan syair Arab. Misalnya, ketika ditanya tentang makna syir’atan wa minhajan, ia menjawab bahwa syir’ah adalah agama dan minhaj adalah jalan. Sementara itu, Ibnu Abbas berusaha untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan pendapat yang sesuai dengan Hadis.

Penafsiran yang dilakukan Ibnu Abbas menunjukkan bahwa pengetahuannya luas. Selanjutnya, metode ini disebut dengan tafsir filologi, yaitu penafsiran kosakata yang sulit dengan mengunakan perangkat bahasa.24

b. Madinah

Madrasah tafsir Madinah dipelopori oleh Ubay bin Ka’ab, seseorang ahli qira’ah serta salah satu penulis wahyu. Pada suatu hari, ia diminta untuk membacakan al-Qur’an kepada Nabi Saw. dan hal itu menjadi keistimewaan tersendiri baginya.25

Ubay tidak begitu senang dengan peristiwa-peristiwa baru serta tidak suka menyibukkan diri dengan kejadian yang belum pernah terjadi.

Pada masa sahabat, ia menjadi pelopor madrasah tafsir Madinah. Penafsirannya menggunakan riwayat karena ia mendengarnya langsung dari Rasulullah dan menyaksikan proses turunnya ayat. Pada masa kekhalifaan Umar bin Khaththab, terdapat larangan untuk meninggalkan Madinah kecuali terpaksa atau ada permintaan untuk berdakwah diwilayah lain.

Berikut ini bebrapa contoh penafsiran yang dihasilkan oleh madrasah tafsir Madinah.26

24 Ibid. hal. 57 25 Ibid. hal. 59 26 Ibid. hal. 60


(21)

1. Menafsirkan ayat dengan asbab an-nuzul. Ubay bi Ka’ab meriwayatkan, “Tatkala ayat tentang iddah turun, yaitu surah al-Baqarah ayat 228 dan 234, para sahabat berkata, ‘Masih ada kelompok perempuan yang belum dijelaskan, yaitu perempuan yang msih kecil, perempuan yang telah monopause, dan perempuan yang mengandung.’” Oleh sebab itu turunlah firman Allah Swt.





  























 

























 













 























 

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”(QS.Ath-Thalaq:4)

2. Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan Hadis. Misalnya, riwayat dari Ubay bahwa ia bertanya kepada Rasulullah tentang li alladzina ahsanu al-husna wa ziyadah (QS.Yunus:26). Nabi bersabda: “Orang-orang yang berbuat kebajikan adalah mereka yang merupakan ahli tauhid, sedangkan al-husna adalah surga dan ziyadah adalah melihat zat Allah.” (HR.Ibnu Jarir Ath-Thabari).

3. menafsirkan al-Qur’an dengan penjelasan umum yang terkandung didalam al-Qur’an itu sendiri serta petunjuk yang mudah dipahami. Misalnya, Ubay menyatakan bahwa hanya umat Islam yang do’anya banyak dikabulkan. Pernyataan tersebut dilandaskan pada ayat ini.


(22)

Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,”(QS.Ali-Imran:110)

c. Kufah

madrasah tafsir Kufah dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud. Ia adalah orang kedua yang membacakan al-Qur’an secara terang-terangan di Mekah setelah Nabi. Ia selalu menyediakan air wudhu’ untuk Nabi, siwak, dan sandal. Selain itu, ia yang memberri penutup ketika Nabi mandi serta membangunkan beliau dari tidur.27

Ibnu Mas’ud pindah ke Kufah pada masa kekhalifahan Umar karena diminta untuk berdakwah dan mengajar disana. Ibnu Mas’ud termasuk sahabat yang paling hafal al-Qur’an hingga Nabi sendiri senang mendengarkan bacaan al-Qur’an darinya.

Adapun contoh penafsiran yang dilakukan Ibnu Mas’ud dengan menggunakan keumuman ayat adalah ketika menafsirkan Firman Allah Swt.



 

















 











 











 









 







 







Artinya: ‘Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, Sesungguhnya Aku adalah termasuk orang-orang yang zalim."

Ibnu Mas’ud menyatakan bahwa keadaan yang sangat gelap adalah kegelapan di dalam perut, kegelapan di dalam lautan, dan kegelapan malam.

7. Nilai Tafsir Sahabat

Berkaitan dengan hasil interpretasi sahabat terhadap al-Qur’an , ulama mengelompokkannya sebagai berikut:28

a. apabila berkaitan dengan hal-hal yang ghaib dan sebab turun ayat, di hukumi marfu kepada Nabi dan termasuk Hadis Nabi yang memiliki kekuatan hukum seperti hadis lain selama sanadnya sahih.

27 Ibid. hal. 62 28 Ibid. hal. 64


(23)

b. Apabila berkaitan dengan hal-hal yang ghaib dan sebab turun ayat lalu dikembalikan kepada ijtihad sahabat, hukumnya mauquf selama tidak disandarkan kepada Nabi Saw. akan tetapi, sebagian ulama wajib berpegang dengan hadis mauquf sahabat karena mereka lebih tahu. Hadis ini dapat menjadi hujjah, jika sanadnya sahih.

c. Ibnu Taymiyah dalam muqaddimah berpendapat, “Apabila tidak ditemukan jawaban di dalam al-Qur’an dan Hadis, dapat merujuk tafsir sahabat karena mereka lebih mengetahuinya. Akan tetapi, apabila tafsir sahabat tidak berkaitan dengan hal dimaksudkan, kekuatan hukumnya sama seperti tafsir-tafsir generasi setelahnya.

b. Tafsir Masa Tabi’in

Ketika penaklukan Islam semakin luas. Tokoh-tokoh sahabat terdorong berpindah ke daerah-daerah taklukan. Mereka membawa ilmu masing-masing. Dari tangan mereka inilah tabi’in, murid mereka itu, belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya tumbuhlah berbagai madzhab dan perguruan tafsir29.

1. Pembukuan Pertama Kali

Meluasnya wilayah kekuasaan Islam dan banyaknya masyarakat non-Arab yang masuk Islam menyebabkan kebutuhan akan tafsir menungkat. Di sisi lain, generasi yang menerima penjelasan langsung dari Nabi semakin sedikit dan mereka terpencar-pencar di sejumlah wilayah kekuasaan Islam yang baru.30

Oleh sebab itu apabila segala ilmu yang bersinggungan dengan al-Qur’an tidak segera dibukukan, akan menghambat kemajuan Islam. Dengan demikian, pada akhirnya ilmu al-Qur’an di bukukan.

2. Metode yang Digunakan Tabi’in

29 Syaikh Manna Qaththan.. Pengantar Studi Ilmu Qur’an. (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.2005) hal:426


(24)

Tidak banyak perbedaan antara metode yang digunakan sahabat dan tabi’in. Mereka cendrung sama dalam menggunakan metode yang fundamental. Metode yang digunakan tabi’in adalah sebagai berikut:31

a. menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an

b. menafsirkan al-Qur’an dengan Hadis Nabi Saw. c. menafsirkan al-Qur’an dengan tafsir sahabat.

d. ijtihad. Jika mereka tidak menemukan jawaban di dalam al-Qur’an, Hadis, dan tafsir sahabat, mereka berijtihad.

Pada masa tabi’in ini, tafsir tetap konsisten dengan metode talaqqi wa talqin (penerimaan dan periwayatan). Tetapi setelah benyak Ahli Kitab masuk Islam, para tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita isra’iliyat yang kemudian dimasukkan kedalam tafsir. Misalnya yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, Wahab bin Munabbih dan Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij. Di samping itu, pada masa ini, mulai timbul silang pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan dari mereka karena banyaknya pendapat-pendapat mereka. namun demikian pendapat-pendapat tersebut sebenarnya hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu dengan yang lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif.32

3. Mufassir yang Terkenal pada masa Tabi’in.

Di Mekah, misalnya, berdiri perguruan tinggi Ibnu Abbas. Diantara muridnya yang terkenal adalah Sa’id bin Jubair, Mujahid, ‘Ikrimah maula

Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan Al-Yamani dan Atha’ bin Abi Rabah. 33

Di Madinah, Ubay bin Ka’ab lebih terkenal di bidang tafsir dari orang lain. Pendapat-pendapatannya tentang tafsir banyak di nukil generasi sesudahnya. Diantara muridnya dikalangan tabi’in, ialah Zaid bin Aslam, Abu ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi.

Di Irak berdiri perguruan Ibnu Mas’ud yang dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’yi. Dan banyak pula tabi’in di Irak dikenal dalam bidang tafsir. Yang masyhur diantaranya adalah ‘Alqamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hazani, ‘Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusi.

31 Ibid. hal. 67

32 Syaikh Manna Al-Qaththan.opcit. hal:428 33 Ibid. hal. 427


(25)

4. Hukum dari Tafsir Tabi’in

Ulama berbeda pendapat tentang tafsir tabi’in. Mereka baru berpedoman pada tafsir tabi’in ini jika tidak ditemukan tafsir dari Rasulullah Saw. dan sahabat.34

a. sebagian kelpmpok, seperti Ibnu Aqil, dan berdasarkan riwayat dari Imam Ahmad dan Syu’bah menyatakan bahwa tidak wajib berpegang pada tafsir tabi’in karena hal-hal berikut ini.

1) mereka tidak mendengar langsung dari Rasulullah.

2) mereka tidak menyaksikan ketika al-Qur’an diturunkan sehingga ada kemungkinan salah paham.

3) Sifat adil tabi’in tidak di tetapkan oleh Al-Qur’an dan hadis seperti halnya sifat adil sahabat.

b. Sebagian kelompok lainnya, seperti Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Abi Mulaikah, dan al-A’masy. Kelompok ini merupakan kelompok mayoritas yang menyatakan bahwa tafsir tabi’in dapat di pegang jika tidak di temukan tafsir Rasulullah Saw. dan sahabat. Hal itu, karena tabi’in menerima tafsir sahabat, menghadiri majelis mereka, dan melihat tata cara ibadah mereka.

5. Nilai Tafsir Tabi’in

Sehubungan dengan hasil ijtihad tabi’in, ulama memberikan penilaian mengenai hal tersebut:35

a. Apabila penafsiran tabi’in mencakup asbab an-nuzul dan hal-hal yang ghaib, memiliki kekuatan hukum marfu, seperti tafsir Mujahid.

b. Apabila penafsiran tabi’in merujuk pada Ahli Kitab, hukumnya seperti penafsiran isra’iliyat (maksudnya hadis isra’iliyat).

c. Apa yang di sepakati oleh tabi’in dapat menjadi hujjah.

d. Jika terdapat perbedaan pendapat, pendapat yangs atu tidak dapat mengalahkan pendapat lainnya.

e. Jika tafsir tabi’in tidak ada yang menentang, tafsir ini lebih rendah daripada tafsir sahabat. Akan tetapi, nilainya lebih berharga apabila dibandingkan dengan tafsir generasi setelah mereka.

34 Samsurrohman. Op.cit. hal. 69 35 Ibid


(26)

6. Menyikapi Tafsir Tabi’in

Berikut ini langkah-langkah yang dilakukan dalam meneliti tafsir tabi’in.36

a. Harus dilakukan penelitian lebih seksama berkaitan dengan sahih atau tidaknya sanad.

b. Harus mengumpulkan metode-metode tafsir sahabat dan tabi’in sehingga dapat diketahui perbedaan riwayat mereka.

c. Apabila ada dua pendapat yang sahih yang berbeda dari seorang sahabat atau tabi’in lalu tidak dapat di kompromikan, harus dianggap sebagai dua pendapat yang berbeda, kecuali di ketahui bahwa yang bersangkutan meralatnya.

d. Mengompromikan riwayat dari sahabat dan tabi’in untuk menunjukkan maksud ayat.

e. tidak semua perbedaan pendapat di nilai sebagai perbedaan.

f. Memperbaharui suatu pendapat setelah adanya kesepakatan berikut. a. Apabila tidak beretentangan, pendapat itu dapat diterima.

b. Apabila bertentangan , pendapat itu harus dipertimbangkan terlebih dahulu, dan apabila telah jelas bertentangan, harus ditolak.

c. Tafsir Masa Tabi’ Tabi’in 1. Pembukuan Tafsir

Pada masa tabi’ tabi’in, pembukuan tafsir mengalami perkembangan yang cukup berarti sehingga ilmu tafsir mulai dibubukan dalam kitab-kitab kecil dan kitab-kitab besar. Dengan demikian, kitab-kitab tersebut mencakup pengetahuan yang lebih beragam apabila dibandingkan dengan kitab-kitab generasi sebelumnya.37

2. Mufassir yang Termasyhur Pada Masa Tabi’ Tabi’in

Proses pembukuan tafsir tentu erat kaitannya dengan para mufassir yang menyusunnya. Berikut ini mufasir-mufasir yang termasyhur pada masa

36 Ibid. hal. 70 37 Ibid. hal. 71


(27)

tabi’ tabi’in. Muqatil bin Sulaiman (w. 150H), Syu’bah bin Al-Hajaj (w. 160 H), Sufyan bi Sa’id Ats-Tsauri (w.161 H ), Waqi’ bin Al-Jarah (w. 197 H), Sufyan bin Uyaynah (w. 198H), Yazid bin Harun (w.206 H), Rauh bin Ubadah (w.207 H), Abdurrazaq bin Hamam bin Ash-Shan’ani, Imam Al-Bukhari (w. 211 H).38

3. Ciri Khusus Tafsir Tabi’ Tabi’in

Penafsiran yang dilakukan oleh tabi’ tabi’in memiliki corak yang menonjol jika dibandingkan dengan tafsir tabi’in. Berikut ini ciri khusus tafsir tabi’ tabi’in.39

a. Fokus pada sanad, baik riwayat tafsir Nabi, Sahabat maupun Tabi’in. b. Tafsir al-Qur’an belum berdiri sendiri, tetapi masih menyatu dengan

disiplin ilmu hadis.

c. Tidak hanya fokus pada tafsir yang marfu’ kepada Nabi, tetapi juga mencakup tafsir sahabat dan tabi’in.

Pada masa ini, para mufassir mulai menekankan tafsir bi al-ma’tsurdan tafsir bi al-ra’yi sehingga tidak begitu terpengaruh dengan adanya tiga madrasah tafsir pada masa sebelumnya, yaitu madrasah Mekah, Madinah dan Kufah.

Pada masa ini pula, mayoritas mufassir menafsirkan al-Qur’an secara kata perkata agar dapat memahaminya melalui al-Qur’an itu sendiri. Model penafsiran seperti ini kemudian lebih dikenal dengan sebuatan “al-Qur’an menafsirkan bagian lainnya” (al-qur’an yufassiru ba’dhuhu badhan). Salah satu mufassir yang melakukan model seperti ini Muqatil bin Sulaiman. Ia seringkali menyatakan, “Ayat ini seperti ayat yang lain.” Contohnya:





















38 Ibid. hal. 72 39 Ibid. hal. 73


(28)

Artinya: “dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.”(QS.Al-Qasash:78)

Muqatil berkomentar, ayat ini selaras dengan surah ar-Rahman ayat 41.















 















Artinya: “Orang-orang yang berdosa dikenal dengan tanda-tandannya, lalu dipegang ubun-ubun dan kaki mereka.”(QS. Ar-Rahman:41)

C. Tafsir Periode Muta’akhkhirin ( Abad ke – 4 – 12 H = 11 - 19 M ) Ekspansi Islam ke berbagai daerah Jazirah Arab maupun luar Arab, pada masa – masa Tabi’in dan tabi’ al – tabi’in semakin berkembang demikian luas. Dan pergaulan umat Islam pun dengan dunia luar yang notabene pada umumnya nonmuslimin / muslihat, meskipun kemudian banyak juga yang memeluk agama Islam , kian waktu semakin kompleks. Pada zaman itu, Islam telah menguasai daerah – daerah lain yang memiliki kebudayaan lama ( kuno ) seperti Persia, Asia Tengah, India, Siria, Turki, Mesir, Etiopia, dan Afrika Selatan bahkan Islam berkembang pua di Asia tenggara terutama Indonseia di samping Malaysia, Brunei Darussalam dan lain – lain.40

Sejak masa itu, mulailah kaum Muslimin mempelajari penegtahuan – pengetahuan yang dimiliki oleh penganut – penganut kebudayaan tersebut. Karena itu, mulailah kaum Muslimin mempelajari ilmu logika, ilmu filsafat, ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu ketabiban dan sebagainya, sehingga dalam beberapa waktu saja telah dapat dimiliki dan dibukukan ilmu – ilmu gaya bahasa, ilmu keindhan bahasa, dan segala hal yang berhubungan dengan bahasa.

Bersamaan dengan perluasan Islam ke segenap daerah / wilayah di berbagai penjuru benua itu, peradaban dan kebudayaan Islam pun semakin


(29)

mengalami kemajuan yang sungguh berarti. Termasuk di dalamnya dunia tafsir. Para ahli tafsir, dalam menafisrkan Al – Qur’an tidak lagi merasa cukup dengan hanya mengutip atau tepatnya mengahafal riwayat dari generasi sahabat, tabi’in, tabi al – tabi’in seperti yang diwarisinya selama ini, akan tetapi telah juga mulai berorientasi pada penafsiran Al – Qur’an yang didasarkan pada pendekatan ilmu – ilmu bahasa pada khususnya dan penalaran – penalaran ilmiah yang lain pada umumnya. Dalam kalimat lain, tafsir Al – Qur’an pada periode mutaakhkhirin ini tidak lagi hanya mengandalkan pada kekuatan tafsir bi al – matsur yang telah lama mereka warisi, akan tetapi mereka juga telah siap untuk mengembangkan tafsir bi al – dirayah dengan segala macam implikasinya.

Akibatnya, tafsir Al – Qur’an pun kemudiannya berkembang demikian rupa dengan menitikberatkan pembahasan dari aspek – aspeknya yang tertentu sesuai dengan kecenderungan kelompok – kelompok mufasir itu sendiri.41 Misalnya :

a. Ada mufassirin yang lebih menekankan penafsiran Al – Qur’an dari segi bahasa terutama keindahan ( balaghahnya ). Di antaranya tercatat nam Al – Zamakhsyari ( 4670 – 538 H/1074-1143 M ) dengan karyanya al – kasysyaf dan kemudian al – Baydhawi dengan kitabnya Anwar al – Tanzil wa Asrar al – Takil ( sinar Al – Qur’an dan Rahasia – rahasia Penakwilannya ).

b. Ada golongan yang semata – mata meninjau dan menafsirkan Al – Qur’an dari segi tata bahasa, kadang – kadang mereka menggunakan syair – syair Arab jahili untuk mengukuhkan pendapat mereka , seperti al – Zajjaj dalam tafsirnya ma’ani Al – Qur’an ( Makna – Makna Al – Qur’an ); al – Wahidi dalam tafsirnya al – Basith ( pemaparan ); Abu Hayyab Muhammad bin Yusuf al – Andalusi ( 654 – 754 H/ 1256 – 1353 M ) dalam tafsirnya al – Bahr al – muhith ( Lautan yang sangat luas ).

c. Ada golongan yang menitik beratkan pembahasan mereka dari segi kisah-kisah dan cerita yang terdahulu termasuk berita-berita dan cerita-cerita yang berasal dari orang yahudi dan nasrani, bahkan kadang-kadang


(30)

berasa dari kaum Zindik yang ingin merusak agama islam. Dalam menghadapi tafsir yang seperti ini sangat diperlukan penelitian dan pemeriksaan oleh kaum muslimin sendiri. Yang tekenal menafsirkan Al-Qur’an dengan sistem ini adalah al-Tsa’labi dan ‘Alauddin bin Muhammad al-Baghdadi (w.741 H/1340 M0, termasuk juga tafsir al Khayin (w.741 H/1340 M).

d. Ada yang mengutamakan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum: menetapkan hukum-hukum fiqih. Penafsiran yang seperti ini telah dilakukan oleh al-Qurtubi (w.671 H/1272 M) dengan tafsirnya al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an; Ibn al-‘Arabi (561-638 H/1165-1240 M) dengan tafsirnya Ahkam Al-Qur’an Jashshash dengan tafsirnya Ahkam Al-Qur’an; Hasan Shiddiq Khan (1248-1307) dengan tafsirnya Nail al-Maram.

e. Ada golongan yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan sifat Allah. Ayat ini seakan-akan berlawanan dengan sifat-sifat kesucian dan ketinggian Alah. Lalu dengan penafsiran itu teranglah bahwa ayat-ayat itu tidak berlawanan dengan sifat-sifat allah. Seperti Imam al-Razy (w.610 H1213 M) dengan tafsirnya Mafatih al-Ghaib. f. Ada golongan menitik beratkan penafsirannya kepada isyarat-isyarat

qur’an yang berhubungan dengan ilmu suluk dan tasawuf, seperti tafsir al-Tasturi susunan Abu Muhammad Sahl bin Abdullah al-al-Tasturi.

g. Ada golongan yang hanya memperhatikan lafal-lafal Al-Qur’an yang gharib (yang jarang terpakai dalam perkataan sehari-hari), seperti KItab Mu’jam Gharaib al-Qur’an nukilan Muhammad Fuad Abd al-Baqi dari Shahih al-Bukhari.

D. Tafsir Periode Kontemporer/Modren (Abad ke 12 H = 19 M -Sekarang)

Periode ini dapat dikatakan dimulai pada akhir abad ke-19 sampai saat ini dan mendatang. Penganut agama islam setelah sekian lama ditindas dan dijajah bangsa barat telah mulai bangkit kembali. Di mana-mana umat islam telah merasakan agama mereka dihinakan dan menjadi alat permainan serta kebudayaan mereka telah dirusak dan dinodai.42


(31)

Maka terkenallah periode modrenisasi Islam yang antara lain dilakukan di Mesir oleh tokoh-tokoh Islam terkenal semisal Jamal din al-Afghani ( 1254 – 1315 H / 1838 – 1897 M ), Syekh Muhammad Abduh ( 1265 – 1323 H / 1849 – 1905 M ) dan Muhammad rasyid Ridha ( 1282 – 1354 H / 1865 – 1935 M ). Dua orang yang disebutkan terakhir, yakni Abduh dan Rasyid Ridha, berhasil menafsirkan Al – Qur’an ( Tafsir al – Qur’an al – Hakim / Tafsir al Manar ) meskipun tidak sampai tamat. Kesungguhan tafsir ini diakui banyak orang dan memiliki pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan tafsir baik bagi kitab – kitab tafsir Al – Qur’an yang semasa dengannya dan terutama kitab – kitab tafsir yang terbit pada masa – masa sesudahnya hingga sekarang. Cikal – cikal tafsir Al – Qur’an yang lahir abad ke – 20 dan 21 banyak yang mendpatkan inspirasi dari Tafsir al – Manar. Di antara contohnya ialah, Tafsir l – Maraghi, Tafsir al – Qasimi dan Tafsir al – Jawahir karya Thanthawi jauhari.43

Shah Waliyullah ( 1701 – 1762 ), seorang pembaharu dari Delhi, telah berjasa dalam memprakarsai penulisan tafsir modern. Dua karyanya yang monumental, yaitu Hujjah Al – Balighah dan Ta’wil Al – Hadis fi Rumaz Qishash Al – Anbiya, memuat pokok – pokok pemikiran modernya. Ia tidak sia – sia, usahanya merangsang para pembaharu lainnya untuk berbuat serupa, maka muncullah di Mesir tafsir Muhammad Abduh, tafsir Rasyid Ridha, Ahmad Khalaf Allah, dan Muhammad Kamil Husain. Di belahan Indo – Pakistan, kita mengenal tokoh Abu Kalam Azad, Al – Msriqi, dan G.A. Parwez, tentu saja masih banyak tokoh lainnya.44

Para ahli tafsir Indonesia lainnya baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup antara lain : Dr. T.M. Hassbi Ash – Shiddiqiey ( 1322 – 1395 H / 1904 – 1975 M ) dengan karyanya Tafsir al – Nur dan Tafsir al – Bayan; Prof. Dr. Mahmud Yunus ( 1317 – 1403 H / 1899 – 1982 M ), A. Hassan ( 1301 – 1378 H / 1883 – 1958 M ), Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A. terutama dengan karyanya Tafsir al – Misbah di samping Tafsir al – Fatihah, dan lain – lain.

43 Ibid


(32)

Satu hal penting yang layak dicatat ialah bahwa gerakan penafsiran Al –Qur’an sebelum periode kontemporer, hampir semua kitab – kitab tafsir ditulis oleh orang – orang Muslim berkebangsaan Arab dan dalam bahasa Arab. Penafsiran Al – Qur’an ke dalam bahasa non Arab, umum terjadi pada akhir – akhir abad ke 19 Masehi dan terutama pada abad ke – 20. Khusus untuk tafsir Al – Qur’an di kawasan Asia Tenggara, justru dipelopori oleh para mufassir Indonesia semisal Abdur – Rauf singkel, buya Hamka, dan lain – lain.

Berangkat dari tujuan untuk mengembalikan al-Qur’an sebagai

Hudan Linnaas, metode yang digunakan oleh mufassir kontemporerpun sedikit banyak berlainan dengan metode yang digunakan oleh para mufassir klasik. Kalau mufassir klasik cendrung menggunakan metode lahlily (analitis), maka masa penafsiran kontemporer penafsiran dilakukan dengan metode ijmali (glonal) dan maudu’iy (tematik) atau penafsiran ayat-ayat tertentu dengan menggunakan pendekatan-pendekatan modren seperti semantik, analisis gender, semiotik, hermeneutika, dan sebagainya.

Dari rangkaian uraian tentang sejarah ringkas tafsir Al – Qur’an sejak zaman Nabi Muhammad saw. Hingga sekarang yang tersebar di berbagai negara Islam atau negara yang berpenduduk Muslim termasuk di Indonesia, terdapat jalinan kesinambungan (mata rantai) yang tidak pernah putus. Kesinambungan mata rantai penafsiran Al – Qur’an ini semakin memperkuat bukti keaslian kitab suci Al – Qur’an. Kecuali itu, rangkaian penafsiran Al – Qur’an yang tidak pernah terputus ini seyogianya disadari benar oleh para mufassir zaman sekarang bahwa dalam menafsirkan al – Qur’an ini hendaknya kita merasa diawasi oleh Rasul Allah ( Muhammad saw.) yang menjuluki para ulama sebagai pewaris para Nabi.

ءاييببننلن

ي ا ةةثيريوي ءناميليعةلنا

“ Sesungguhnya para ulama itu adalah para ahli waris para Nabi.” ( HR. Al – Turmizi )

Perkembangan tafsir Al – Qur’an pada abad ke – 15 H = 21 M, kini semakin deras dan mengalir ke dalam berbagi bahasa di seluruh dunia seiring dengan perkembangan para ilmuan Muslim yang tersebar di seluruh pelosok


(33)

dunia. Meskipun terkadang diwarnai dengan sedikit polemik terhadap penafsirannya mengingat ada beberapa orang yang boleh jadi asal ikut – ikut menafsirkan Al – Qur’an yang jelas tafsir Al – Qur’an kini telah merata ke seluruh penjuru dunia dan meliputi semua bahasa.45

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

a. Tafsir Periode Nabi SAW

Penafsiran al-Qur’an yang dibangun Rasulullah Saw. ialah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an dan menafsirkan al-Qur’an dengan pemahaman beliau sendiri yang kemudian populer dengan sebutan dengan al-Sunnah atau al-Hadist, jika al-Qur’an bersifat murni semata-mata wahyu Allah, baik teks/naskah lafal ataupun maknanya, maka al-Hadist kecuali Hadis Qudsi- pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman beliau dari ayat-ayat al-Qur’an. Rasulullah tidak pernah menafsirkan hingga keluar dari batasan hingga akhirnya cendrung tidak bermanfaat. Kebanyakan tafsir Rasulullah merupakan penjelasan mengenai sesuatu yang global, menerangkan perkara yang sulit, mengkhususkan yang umum, memberikan batasan untuk hal-hal yang muthlak, dan menjelaskan makna kata.

b. Tafsir Periode Mutaqaddimin (Abad ke 1-4 H/7-11 M)

Masa Sahabat Masa Tabi’in Masa Tabi’ Tabi’in


(34)

Al-Qur’an belum ditafsirkan secara menyeluruh.

Tafsir telah mencakup sebagian besar ayat al-Qur’an.

Tafsir telah mencakup seluruh ayat al-Qur’an. Perbedaan pemahaman

tidak banyak terjadi.

Perbedaan pemahaman semakin banyak.

Telah banyak diwarnai perbedaan dan perdebatan pendapat baik dalam bidang teologi maupun fiqh. Merasa cukup hanya

dengan makna ayat secara global.

Muncul penafsiran terhadap setiap ayat dan kosakata.

Mayoritas mufassir menafsirkan al-Qur’an secara kata perkata agar dapat memahaminya melalui al-Qur’an itu sendiri. Belum terjadi perbedaan mazhab. Banyak terjadi perbedaan mazhab. Banyak terjadi perbedaan mazhab. Tafsir belum di

bukukan.

Tafsir sudah mulai di bukukan

Tafsir sudah mulai dibukukan dalam kitab-kitab kecil dan besar. Tafsir masih dalam

bentuk hadis dan riwayat.

Tafsir sudah menjadi di siplin ilmu tersendiri, meskipun masih berbentuk riwayat.

Tafsir al-Qur’an belum berdiri sendiri, tetapi masih menyatu dengan disipin ilmu Hadis. Hanya sedikit dimasuki

riwayat israiliyat

Banyak merujuk kepada riwayat israiliyat dan ahli kitab.

Tafsir al-Qur’an telah banyak di susupi oleh kisah-kisah isra’iliyyat. c. Tafsir Periode Muta’akhkhirin ( Abad ke – 4 – 12 H = 11 - 19 M )

adapun perkembangan tafsir pada masa ini sebagai berikut:

a. Sebagian mufassir lebih menekankan penafsiran al-Qur’an dari segi bahasa terutama keindahan balaghahnya. Dan sebagian yang lain, menafsirkan al-Qur’an dari segi tata bahasa, kadang menggunakan sya’ir-sya’ir Arab Jahili..


(35)

b. Ada yang megutamakan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.

c. Sebagian ada yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Serta sebagian menitikberatkan penafsirannya kepada isyarat-isyarat al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu suluk dan tasawwuf.

d. Pembukuan tafsir sangat berkembang pesat, hingga kitab-kitab tafsir dibukukan berdasarkan aliran masing-masing suatu golongan. Sepeti, tafsir aliran Mu’tazilah, tafsir aliran Syi’ah.

d. Tafsir Periode Kontemporer/Modren (Abad ke- 12 H = 19 M - Sekarang) pada periode ini tafsir al-Qur’an semakin banyak terlahir dengan dipengaruhi berkembangnyaberbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Pada periode ini pula tafsir al-Qur’an banyak dilakukan para mufassir dengan menggunakan metode ijlami (global) dan metode maudhu’iy (tematik).

B. Saran

Sebagai umat Islam, dan sebagai mahasiswa/i Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, kita sebaiknya memahami apa yang dimaksud dengan Tafsir dan bagaimana historis sejarahnya. Karena untuk menjadi seorang mufassir itu tentu tidaklah mudah, kita perlu ilmu yang sangat luas dan rujukan dari semua aspek tafsir Qur’an. Walaupun kita sebagai manusia biasa tidak akan bisa memahami Al-Qur’an secara sempurna, namun setidaknya kita bisa mengaplikasikannya sebagai pedoman hidup. Oleh karena itu, janganlah pernah puas dalam mencari ilmu. Semoga makalah ini memberi manfaat bagi kita semua. Amin.


(36)

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Ali, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, Pekanbaru: Yayasan PusakaRiau, 2011

Al-Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005

Anwar, Rosihon, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2009 Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafir, Jakarta: Amzah, 2014


(1)

Maka terkenallah periode modrenisasi Islam yang antara lain dilakukan di Mesir oleh tokoh-tokoh Islam terkenal semisal Jamal din al-Afghani ( 1254 – 1315 H / 1838 – 1897 M ), Syekh Muhammad Abduh ( 1265 – 1323 H / 1849 – 1905 M ) dan Muhammad rasyid Ridha ( 1282 – 1354 H / 1865 – 1935 M ). Dua orang yang disebutkan terakhir, yakni Abduh dan Rasyid Ridha, berhasil menafsirkan Al – Qur’an ( Tafsir al – Qur’an al – Hakim / Tafsir al Manar ) meskipun tidak sampai tamat. Kesungguhan tafsir ini diakui banyak orang dan memiliki pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan tafsir baik bagi kitab – kitab tafsir Al – Qur’an yang semasa dengannya dan terutama kitab – kitab tafsir yang terbit pada masa – masa sesudahnya hingga sekarang. Cikal – cikal tafsir Al – Qur’an yang lahir abad ke – 20 dan 21 banyak yang mendpatkan inspirasi dari Tafsir al – Manar. Di antara contohnya ialah, Tafsir l – Maraghi, Tafsir al – Qasimi dan Tafsir al – Jawahir karya Thanthawi jauhari.43

Shah Waliyullah ( 1701 – 1762 ), seorang pembaharu dari Delhi, telah berjasa dalam memprakarsai penulisan tafsir modern. Dua karyanya yang monumental, yaitu Hujjah Al – Balighah dan Ta’wil Al – Hadis fi Rumaz Qishash Al – Anbiya, memuat pokok – pokok pemikiran modernya. Ia tidak sia – sia, usahanya merangsang para pembaharu lainnya untuk berbuat serupa, maka muncullah di Mesir tafsir Muhammad Abduh, tafsir Rasyid Ridha, Ahmad Khalaf Allah, dan Muhammad Kamil Husain. Di belahan Indo – Pakistan, kita mengenal tokoh Abu Kalam Azad, Al – Msriqi, dan G.A. Parwez, tentu saja masih banyak tokoh lainnya.44

Para ahli tafsir Indonesia lainnya baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup antara lain : Dr. T.M. Hassbi Ash – Shiddiqiey ( 1322 – 1395 H / 1904 – 1975 M ) dengan karyanya Tafsir al – Nur dan Tafsir al – Bayan; Prof. Dr. Mahmud Yunus ( 1317 – 1403 H / 1899 – 1982 M ), A. Hassan ( 1301 – 1378 H / 1883 – 1958 M ), Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A. terutama dengan karyanya Tafsir al – Misbah di samping Tafsir al – Fatihah, dan lain – lain.

43 Ibid


(2)

Satu hal penting yang layak dicatat ialah bahwa gerakan penafsiran Al –Qur’an sebelum periode kontemporer, hampir semua kitab – kitab tafsir ditulis oleh orang – orang Muslim berkebangsaan Arab dan dalam bahasa Arab. Penafsiran Al – Qur’an ke dalam bahasa non Arab, umum terjadi pada akhir – akhir abad ke 19 Masehi dan terutama pada abad ke – 20. Khusus untuk tafsir Al – Qur’an di kawasan Asia Tenggara, justru dipelopori oleh para mufassir Indonesia semisal Abdur – Rauf singkel, buya Hamka, dan lain – lain.

Berangkat dari tujuan untuk mengembalikan al-Qur’an sebagai

Hudan Linnaas, metode yang digunakan oleh mufassir kontemporerpun sedikit banyak berlainan dengan metode yang digunakan oleh para mufassir klasik. Kalau mufassir klasik cendrung menggunakan metode lahlily (analitis), maka masa penafsiran kontemporer penafsiran dilakukan dengan metode ijmali (glonal) dan maudu’iy (tematik) atau penafsiran ayat-ayat tertentu dengan menggunakan pendekatan-pendekatan modren seperti semantik, analisis gender, semiotik, hermeneutika, dan sebagainya.

Dari rangkaian uraian tentang sejarah ringkas tafsir Al – Qur’an sejak zaman Nabi Muhammad saw. Hingga sekarang yang tersebar di berbagai negara Islam atau negara yang berpenduduk Muslim termasuk di Indonesia, terdapat jalinan kesinambungan (mata rantai) yang tidak pernah putus. Kesinambungan mata rantai penafsiran Al – Qur’an ini semakin memperkuat bukti keaslian kitab suci Al – Qur’an. Kecuali itu, rangkaian penafsiran Al – Qur’an yang tidak pernah terputus ini seyogianya disadari benar oleh para mufassir zaman sekarang bahwa dalam menafsirkan al – Qur’an ini hendaknya kita merasa diawasi oleh Rasul Allah ( Muhammad saw.) yang menjuluki para ulama sebagai pewaris para Nabi.

ءاييببننلن

ي ا ةةثيريوي ءناميليعةلنا

“ Sesungguhnya para ulama itu adalah para ahli waris para Nabi.” ( HR. Al – Turmizi )

Perkembangan tafsir Al – Qur’an pada abad ke – 15 H = 21 M, kini semakin deras dan mengalir ke dalam berbagi bahasa di seluruh dunia seiring dengan perkembangan para ilmuan Muslim yang tersebar di seluruh pelosok


(3)

dunia. Meskipun terkadang diwarnai dengan sedikit polemik terhadap penafsirannya mengingat ada beberapa orang yang boleh jadi asal ikut – ikut menafsirkan Al – Qur’an yang jelas tafsir Al – Qur’an kini telah merata ke seluruh penjuru dunia dan meliputi semua bahasa.45

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

a. Tafsir Periode Nabi SAW

Penafsiran al-Qur’an yang dibangun Rasulullah Saw. ialah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an dan menafsirkan al-Qur’an dengan pemahaman beliau sendiri yang kemudian populer dengan sebutan dengan al-Sunnah atau al-Hadist, jika al-Qur’an bersifat murni semata-mata wahyu Allah, baik teks/naskah lafal ataupun maknanya, maka al-Hadist kecuali Hadis Qudsi- pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman beliau dari ayat-ayat al-Qur’an. Rasulullah tidak pernah menafsirkan hingga keluar dari batasan hingga akhirnya cendrung tidak bermanfaat. Kebanyakan tafsir Rasulullah merupakan penjelasan mengenai sesuatu yang global, menerangkan perkara yang sulit, mengkhususkan yang umum, memberikan batasan untuk hal-hal yang muthlak, dan menjelaskan makna kata.

b. Tafsir Periode Mutaqaddimin (Abad ke 1-4 H/7-11 M)

Masa Sahabat Masa Tabi’in Masa Tabi’ Tabi’in 45 Muhammad Amin Suma. Opcit. Hal. 331


(4)

Al-Qur’an belum ditafsirkan secara menyeluruh.

Tafsir telah mencakup sebagian besar ayat al-Qur’an.

Tafsir telah mencakup seluruh ayat al-Qur’an. Perbedaan pemahaman

tidak banyak terjadi.

Perbedaan pemahaman semakin banyak.

Telah banyak diwarnai

perbedaan dan

perdebatan pendapat baik dalam bidang teologi maupun fiqh. Merasa cukup hanya

dengan makna ayat secara global.

Muncul penafsiran terhadap setiap ayat dan kosakata.

Mayoritas mufassir menafsirkan al-Qur’an secara kata perkata agar dapat memahaminya melalui al-Qur’an itu sendiri. Belum terjadi perbedaan mazhab. Banyak terjadi perbedaan mazhab. Banyak terjadi perbedaan mazhab. Tafsir belum di

bukukan.

Tafsir sudah mulai di bukukan

Tafsir sudah mulai dibukukan dalam kitab-kitab kecil dan besar. Tafsir masih dalam

bentuk hadis dan riwayat.

Tafsir sudah menjadi di siplin ilmu tersendiri,

meskipun masih

berbentuk riwayat.

Tafsir al-Qur’an belum berdiri sendiri, tetapi masih menyatu dengan disipin ilmu Hadis. Hanya sedikit dimasuki

riwayat israiliyat

Banyak merujuk kepada riwayat israiliyat dan ahli kitab.

Tafsir al-Qur’an telah banyak di susupi oleh kisah-kisah isra’iliyyat. c. Tafsir Periode Muta’akhkhirin ( Abad ke – 4 – 12 H = 11 - 19 M )

adapun perkembangan tafsir pada masa ini sebagai berikut:

a. Sebagian mufassir lebih menekankan penafsiran al-Qur’an dari segi bahasa terutama keindahan balaghahnya. Dan sebagian yang lain, menafsirkan al-Qur’an dari segi tata bahasa, kadang menggunakan sya’ir-sya’ir Arab Jahili..


(5)

b. Ada yang megutamakan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.

c. Sebagian ada yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Serta sebagian menitikberatkan penafsirannya kepada isyarat-isyarat al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu suluk dan tasawwuf.

d. Pembukuan tafsir sangat berkembang pesat, hingga kitab-kitab tafsir dibukukan berdasarkan aliran masing-masing suatu golongan. Sepeti, tafsir aliran Mu’tazilah, tafsir aliran Syi’ah.

d. Tafsir Periode Kontemporer/Modren (Abad ke- 12 H = 19 M - Sekarang) pada periode ini tafsir al-Qur’an semakin banyak terlahir dengan dipengaruhi berkembangnyaberbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Pada periode ini pula tafsir al-Qur’an banyak dilakukan para mufassir dengan menggunakan metode ijlami (global) dan metode maudhu’iy (tematik).

B. Saran

Sebagai umat Islam, dan sebagai mahasiswa/i Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, kita sebaiknya memahami apa yang dimaksud dengan Tafsir dan bagaimana historis sejarahnya. Karena untuk menjadi seorang mufassir itu tentu tidaklah mudah, kita perlu ilmu yang sangat luas dan rujukan dari semua aspek tafsir Qur’an. Walaupun kita sebagai manusia biasa tidak akan bisa memahami Al-Qur’an secara sempurna, namun setidaknya kita bisa mengaplikasikannya sebagai pedoman hidup. Oleh karena itu, janganlah pernah puas dalam mencari ilmu. Semoga makalah ini memberi manfaat bagi kita semua. Amin.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Ali, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, Pekanbaru: Yayasan PusakaRiau, 2011

Al-Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005

Anwar, Rosihon, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2009 Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafir, Jakarta: Amzah, 2014