Karakteristik Petani Tepi Hutan dan Kompetensinya dalam Melestarikan Hutan Lindung di 12 Desa di Provinsi Lampung

(1)

KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG

DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG

R. PITOJO BUDIONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN

KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG

DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh:

R. PITOJO BUDIONO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(3)

Judul Disertasi : KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN

KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG Nama Mahasiswa : R. PITOJO BUDIONO

Noomor Pokok : P.016010071

Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Disetujui : 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. H.R. Margono Slamet, M.Sc. Prof. Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, APU. Anggota Anggota

Diketahui:

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.


(4)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

®

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam


(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya yang berjudul :

KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG DI 12 DESA

DI PROVINSI LAMPUNG

Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan penuh rasa tangung jawab.

Bogor, Juli 2006. Pembuat Pernyataan,

R. Pitojo Budiono P016010071


(6)

ABSTRACT

R. PITOJO BUDIONO, The Characteristic of Farmer Living Around the Forest and the Competency in Protected Forest Sustainability in 12 Villages at Lampung Province. Under the direction of AMRI JAHI, MARGONO SLAMET, and DJOKO SUSANTO. The object of this study is to analyses the competency of farmers managing the protected forest in relation to sustainable efforts and conservation farming. The benefit of the study is to find out the strategies of developing competency to answer the balance of protected forest sustainability and the farmers’ necessities. Study is carried out in Lampung Province which includes 400 respondents in 12 villages in 4 registers (Reg 19, Reg 22, Reg 38, and Reg 45 B) along the protected forest’s border. Data was collected on May to October 2005 from interviews, closed questionnaires and observations. Quantitative data underwent first step of correlation test of Konkordasi Kendall W, to further test of Path Analysis and Structural Equations Modeling (SEM). Result of study shows sustainability competency owned by farmers in each area is different, for instance area of knowledge (3,12), behavior (3,04), and skills (2,73). This condition encourages farmers “to know, willing but unable to carry out” sustainability due to the imbalanced competency and direction. Result of structural equations shows that competency to sustain is influenced by 92% technical forestry factors, 100% socio-economic factors, 18% socio-cultural factors, 83% conservation techniques. In relation to that, the conservation efforts for protected forests are prioritized on economical aspects, forestry sectors, and conservation farming. Based on measurement equations, socio-cultural factors are strong potential and latent transformers to change the competency of the farmers.

_____________


(7)

ABSTRAK

R. PITOJO BUDIONO, Karakteristik Petani Tepi Hutan dan Kompetensinya dalam Melestarikan Hutan Lindung di 12 Desa di Provinsi Lampung. Di bawah pengarahan AMRI JAHI, MARGONO SLAMET, dan DJOKO SUSANTO.

Tujuan studi adalah mengkaji kompetensi yang dimiliki petani tepi hutan dalam mengelola lahan di kawasan hutan lindung yang terkait dengan upaya pelestarian dan pertanian konservasi. Manfaat dari studi adalah untuk menemukan strategi pengembangan kompetensi guna menjawab keseimbangan kelesatrian hutan lindung dan kebutuhan petani. Studi dilakukan di Propinsi Lampung dengan melibatkan 400 responden yang tersebar di 12 desa. yang tercakup pada empat register (Reg-19, Reg-22, Reg-38, dan Reg-45 B) yang berbatasan langsung dengan hutan lindung. Data dikumpulkan pada bulan Mei – Oktober 2005 melalui wawancara dengan angket tertutup dan observasi. Data kuantitatif selanjutnya diuji dengan uji korelasi peringkat Konkordasi Kendall W untuk tahap awal, dan uji lanjut dengan Path Analysis dan Structural Equations Model (SEM). Hasil studi menunjukkan bahwa kompetensi yang dimiliki oleh petani tepi hutan pada tiap ranah berbeda seperti kompetensi melestarikan di ranah pengetahuan (3,12), sikap (3,04), dan ketrampilan (2,73). Kondisi ini menyebabkan petani tepi hutan “tahu, mau tetapi tidak mampu” melakukan pelestarian. Hal dapat terjadi karena kompetensinya tidak seimbang dan searah. Sedangkan hasil structural equations menunjukkan Kompetensi melestarikan dipengaruhi oleh 92% faktor teknis kehutanan, 100% sosial ekonomi, 18% sosial budaya, 83% teknis konservasi. Dengan demikian upaya melestarikan hutan lindung diprioritaskan pada aspek ekonomi, teknis kehutanan dan petanian konservasi. Sedangkan hasil measurement equations, ternyata aspek sosial budaya merupakan peubah laten yang berpotensi kuat untuk mengubah kompetensi melestarikan hutan.

____________


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul “KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG ”.

Disertasi ini disusun berdasarkan hasil penelitian di empat Kabupaten di Provinsi Lampung pada bulan Mei 2005 sampai dengan bulan Oktober 2005. Penyusunan disertasi ini merupakan salah satu persyaratan dalam rangka penyelesaian studi program Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Dengan telah diselesaikannya penyusunan disertasi ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Amri Jahi, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Margono Slamet, dan Prof. Dr. Ign Djoko Susanto, SKM. APU, yang telah memberikan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan dengan penuh dedikasi hingga akhir penulisan disertasi.

2. Prof Dr. Dudung Darusman, MA Ketua Lab. Sosek, Fak. Kehutanan IPB, selaku penguji pada ujian tertutup dan korektor kisi-kisi penelitian.

3. Dr. Harry Santoso, MS, Direktur Pengelolaan DAS – RLPS Departemen Kehutanan dan Dr. Sumardjo, MS, Ketua Program Studi KMP Fakultas Ekologi Manusia IPB selaku penguji pada ujian terbuka

4. Prof. Dr. Endang Suhendang, MS., Prof. Dr. Naik Sinukaban, Prof. Dr. Sutopo Gani, M.Sc. Dr. Hariadi Kartodihardjo, Dr. Didik Suhardjito, Dr. Irdika Mashur,


(9)

Dr. Nur Heni Wijanyanto, Dr. Affandi, Dr. Kukuh Mutrilaksono, Dr. Suryadarma, selaku korektor dari kisi-kisi penelitian.

5. Dr. Meine van Noordwijk., Prof Dr. Bustanul Arifin., Prof. Dr. Kurniatun H,. Dr. Suyanto,. Dr. Laxman Joshi., Beria Leimona, dan teman-teman atas saran dan masukkannya pada Seminar Hasil Penelitian di ICRAF.

6. Prof. Dr. Muhadjir Utomo, M.Sc. selaku Rektor Universitas Lampung beserta jajarannya atas restunya untuk melakukan studi program S3 di IPB.

7. Prof. Dr, Ida Farida Riva’i, Prof. Dr. Bambang Sumitro, MS, Prof. Dr. Sugeng P. Haryanto, MS, Drs. Hertanto, M.Si dan Drs. Syarief Makhya, M.Si, dan teman-teman FISIP UNILA atas rekomendasi dan dukungan morilnya.

8. Kepala Dinas Kehutanan beserta staffnya di empat kabupaten, dan masyarakat 12 kampung tepi hutan lindung serta para penyuluh lapangan, atas kesempatan, data, informasi serta bantuan kerjasamanya saat penulis melakukan penelitian.

9. Segenap Pimpinanan dan staf Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan dan layanan yang prima serta Pengelola BPPS atas beasiswanya.

10. Dr. FX. Susilo, Dra. Sri Murwani, MSc. Mas Deden, Mas Farid, Mas Wicak, Pak Supadi atas data dan diskusi serta suportnya selama penelitian.

11. Istri tercinta, Christine Wulandari, Ph.D serta ananda tercinta Budiasti Wulansari (Ola) dan Budicahya Rama Bagaskara (Bagas), atas dorongan, ketabahan, keikhlasan, pengertian, kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi program S3.

12. Orang tua tercinta, bapak Soetarno (alm.) dan ibu Sri Soedarni, bapak Soegandari (alm.) dan ibu Hj. Sri Soeparmi serta kakak-kakak dan adik-adik yang telah


(10)

memberikan dorongan, motivasi, doa dan restunya untuk menyelesaikan studi program S3, dan pada seluruh pihak yang telah membantu penulis selama studi, penelitian dan penyusunan disertasi ini.

Sulit bagi penulis untuk dapat membalas budi baik dan bantuan yang telah diberikan oleh bapak dan ibu sekalian, maka dari itu dengan tulus hati penulis mendoakan semoga Allah SWT memberikan imbalan yang sesuai. Amin ya rabbal alamiin.

Semoga disertasi ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Juli 2006 R. Pitojo Budiono


(11)

KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG

DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG

R. PITOJO BUDIONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(12)

KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN

KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG

DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh:

R. PITOJO BUDIONO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(13)

Judul Disertasi : KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN

KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG Nama Mahasiswa : R. PITOJO BUDIONO

Noomor Pokok : P.016010071

Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Disetujui : 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. H.R. Margono Slamet, M.Sc. Prof. Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, APU. Anggota Anggota

Diketahui:

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.


(14)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

®

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam


(15)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya yang berjudul :

KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG DI 12 DESA

DI PROVINSI LAMPUNG

Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan penuh rasa tangung jawab.

Bogor, Juli 2006. Pembuat Pernyataan,

R. Pitojo Budiono P016010071


(16)

ABSTRACT

R. PITOJO BUDIONO, The Characteristic of Farmer Living Around the Forest and the Competency in Protected Forest Sustainability in 12 Villages at Lampung Province. Under the direction of AMRI JAHI, MARGONO SLAMET, and DJOKO SUSANTO. The object of this study is to analyses the competency of farmers managing the protected forest in relation to sustainable efforts and conservation farming. The benefit of the study is to find out the strategies of developing competency to answer the balance of protected forest sustainability and the farmers’ necessities. Study is carried out in Lampung Province which includes 400 respondents in 12 villages in 4 registers (Reg 19, Reg 22, Reg 38, and Reg 45 B) along the protected forest’s border. Data was collected on May to October 2005 from interviews, closed questionnaires and observations. Quantitative data underwent first step of correlation test of Konkordasi Kendall W, to further test of Path Analysis and Structural Equations Modeling (SEM). Result of study shows sustainability competency owned by farmers in each area is different, for instance area of knowledge (3,12), behavior (3,04), and skills (2,73). This condition encourages farmers “to know, willing but unable to carry out” sustainability due to the imbalanced competency and direction. Result of structural equations shows that competency to sustain is influenced by 92% technical forestry factors, 100% socio-economic factors, 18% socio-cultural factors, 83% conservation techniques. In relation to that, the conservation efforts for protected forests are prioritized on economical aspects, forestry sectors, and conservation farming. Based on measurement equations, socio-cultural factors are strong potential and latent transformers to change the competency of the farmers.

_____________


(17)

ABSTRAK

R. PITOJO BUDIONO, Karakteristik Petani Tepi Hutan dan Kompetensinya dalam Melestarikan Hutan Lindung di 12 Desa di Provinsi Lampung. Di bawah pengarahan AMRI JAHI, MARGONO SLAMET, dan DJOKO SUSANTO.

Tujuan studi adalah mengkaji kompetensi yang dimiliki petani tepi hutan dalam mengelola lahan di kawasan hutan lindung yang terkait dengan upaya pelestarian dan pertanian konservasi. Manfaat dari studi adalah untuk menemukan strategi pengembangan kompetensi guna menjawab keseimbangan kelesatrian hutan lindung dan kebutuhan petani. Studi dilakukan di Propinsi Lampung dengan melibatkan 400 responden yang tersebar di 12 desa. yang tercakup pada empat register (Reg-19, Reg-22, Reg-38, dan Reg-45 B) yang berbatasan langsung dengan hutan lindung. Data dikumpulkan pada bulan Mei – Oktober 2005 melalui wawancara dengan angket tertutup dan observasi. Data kuantitatif selanjutnya diuji dengan uji korelasi peringkat Konkordasi Kendall W untuk tahap awal, dan uji lanjut dengan Path Analysis dan Structural Equations Model (SEM). Hasil studi menunjukkan bahwa kompetensi yang dimiliki oleh petani tepi hutan pada tiap ranah berbeda seperti kompetensi melestarikan di ranah pengetahuan (3,12), sikap (3,04), dan ketrampilan (2,73). Kondisi ini menyebabkan petani tepi hutan “tahu, mau tetapi tidak mampu” melakukan pelestarian. Hal dapat terjadi karena kompetensinya tidak seimbang dan searah. Sedangkan hasil structural equations menunjukkan Kompetensi melestarikan dipengaruhi oleh 92% faktor teknis kehutanan, 100% sosial ekonomi, 18% sosial budaya, 83% teknis konservasi. Dengan demikian upaya melestarikan hutan lindung diprioritaskan pada aspek ekonomi, teknis kehutanan dan petanian konservasi. Sedangkan hasil measurement equations, ternyata aspek sosial budaya merupakan peubah laten yang berpotensi kuat untuk mengubah kompetensi melestarikan hutan.

____________


(18)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul “KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG ”.

Disertasi ini disusun berdasarkan hasil penelitian di empat Kabupaten di Provinsi Lampung pada bulan Mei 2005 sampai dengan bulan Oktober 2005. Penyusunan disertasi ini merupakan salah satu persyaratan dalam rangka penyelesaian studi program Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Dengan telah diselesaikannya penyusunan disertasi ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Amri Jahi, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Margono Slamet, dan Prof. Dr. Ign Djoko Susanto, SKM. APU, yang telah memberikan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan dengan penuh dedikasi hingga akhir penulisan disertasi.

2. Prof Dr. Dudung Darusman, MA Ketua Lab. Sosek, Fak. Kehutanan IPB, selaku penguji pada ujian tertutup dan korektor kisi-kisi penelitian.

3. Dr. Harry Santoso, MS, Direktur Pengelolaan DAS – RLPS Departemen Kehutanan dan Dr. Sumardjo, MS, Ketua Program Studi KMP Fakultas Ekologi Manusia IPB selaku penguji pada ujian terbuka

4. Prof. Dr. Endang Suhendang, MS., Prof. Dr. Naik Sinukaban, Prof. Dr. Sutopo Gani, M.Sc. Dr. Hariadi Kartodihardjo, Dr. Didik Suhardjito, Dr. Irdika Mashur,


(19)

Dr. Nur Heni Wijanyanto, Dr. Affandi, Dr. Kukuh Mutrilaksono, Dr. Suryadarma, selaku korektor dari kisi-kisi penelitian.

5. Dr. Meine van Noordwijk., Prof Dr. Bustanul Arifin., Prof. Dr. Kurniatun H,. Dr. Suyanto,. Dr. Laxman Joshi., Beria Leimona, dan teman-teman atas saran dan masukkannya pada Seminar Hasil Penelitian di ICRAF.

6. Prof. Dr. Muhadjir Utomo, M.Sc. selaku Rektor Universitas Lampung beserta jajarannya atas restunya untuk melakukan studi program S3 di IPB.

7. Prof. Dr, Ida Farida Riva’i, Prof. Dr. Bambang Sumitro, MS, Prof. Dr. Sugeng P. Haryanto, MS, Drs. Hertanto, M.Si dan Drs. Syarief Makhya, M.Si, dan teman-teman FISIP UNILA atas rekomendasi dan dukungan morilnya.

8. Kepala Dinas Kehutanan beserta staffnya di empat kabupaten, dan masyarakat 12 kampung tepi hutan lindung serta para penyuluh lapangan, atas kesempatan, data, informasi serta bantuan kerjasamanya saat penulis melakukan penelitian.

9. Segenap Pimpinanan dan staf Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan dan layanan yang prima serta Pengelola BPPS atas beasiswanya.

10. Dr. FX. Susilo, Dra. Sri Murwani, MSc. Mas Deden, Mas Farid, Mas Wicak, Pak Supadi atas data dan diskusi serta suportnya selama penelitian.

11. Istri tercinta, Christine Wulandari, Ph.D serta ananda tercinta Budiasti Wulansari (Ola) dan Budicahya Rama Bagaskara (Bagas), atas dorongan, ketabahan, keikhlasan, pengertian, kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi program S3.

12. Orang tua tercinta, bapak Soetarno (alm.) dan ibu Sri Soedarni, bapak Soegandari (alm.) dan ibu Hj. Sri Soeparmi serta kakak-kakak dan adik-adik yang telah


(20)

memberikan dorongan, motivasi, doa dan restunya untuk menyelesaikan studi program S3, dan pada seluruh pihak yang telah membantu penulis selama studi, penelitian dan penyusunan disertasi ini.

Sulit bagi penulis untuk dapat membalas budi baik dan bantuan yang telah diberikan oleh bapak dan ibu sekalian, maka dari itu dengan tulus hati penulis mendoakan semoga Allah SWT memberikan imbalan yang sesuai. Amin ya rabbal alamiin.

Semoga disertasi ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Juli 2006 R. Pitojo Budiono


(21)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

R. Pitojo Budiono dilahirkan di Purwokerto – Jawa Tengah pada tanggal 8 Mei 1964 sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara, pasangan (alm) Bapak R. Soetarno dan Ibu Sri Soedarni.

Penulis menyelesaikan pendidikan SD Negeri Sokanegara 1, SMP Negeri 1, SMA Negeri 1 di Purwokerto, lulus tahun 1983 kemudian meneruskan ke Perguruan Tinggi di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 1989.

Setelah menyelesaikan S1, penulis bekerja di PANIN BANK Semarang, (1990 – 1992). Pada tahun 1993 penulis diterima sebagai staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan S2 di Program Studi Ketahanan Nasional di Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 1999. Setelah S2 penulis ditempatkan di Jurusan Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, kemudian pada tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa S3 di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) Institut Pertanian Bogor.

Selama belajar di S3 penulis aktif di Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) dan di Konsorsium Kurikulum Ilmu Pengetahuan (KKIP) di Bogor yang memiliki fokus pada pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Penulis pemegang sertifikat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) dari Lembaga Ekolabel Indonesia. Selain itu penulis pernah menjadi konsultan lepas pada Lembaga Konsultan - Mutu Agung Lestari (MAL) sebagai anggota tim Lembaga Penilai Independent (LPI) 1 dan LPI 2 di bidang SOSEK-SOSBUD untuk penilaian HPH.


(22)

DAFTAR ISI

Hal DAFTAR ISI ... vi DAFTAR TABEL ……… viii DAFTAR GAMBAR ……….. xii DAFTAR LAMPIRAN ……… xiv PENDAHULUAN

Latar Belakang ………... 1 Masalah Penelitian ………... 3 Tujuan Penelitian ………... 3 Kegunaan Penelitian ... 4 Definisi Istilah ... 5 TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Petani Tepi Hutan ………... 8 Hutan Lindung ………... 18 Pengertian Kelestarian ………... 22 Kompetensi ………... 27 Kompetensi Melestarikan yang Perlu Dikuasai oleh Petani ... 30 Kompetensi Teknis sebagai Jurutani ... 33 Kompetensi Khusus sebagai Pengelola ... 35 Kompetensi Petani Tepi Hutan yang Harus Dikuasai dalam

Melestarikan ...

36 Kompetensi di bidang Teknis ... 38 Kompetensi di bidang Sosial Ekonomi ... 44 Kompetensi di bidang Sosial Budaya ... 51 Hubungan Karakteristik Petani Tepi Hutan dengan Kompetensi

Melestarikan Hutan Lindung ...

61 Pertanian Konservasi di Lahan Kering ... 67 Pertanian Lahan Kering ... 67 Pertanian Konservasi ... 72 Kompetensi dalam Pertanian Konservasi... 79 Kerangka Pikir... ... 86 METODE PENELITIAN

Populasi ……….………. 92

Sampel ………...……… 93

Rancangan Model …... 95

Data ……….. 95

Instrumentasi ………. 100 Keterandalan Kuesioner ... 101 Realibilitas Kuesioner... 103 Pengumpulan Data ... 105 Analisis Data ... 105


(23)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Lokasi Penelitian ... 107 Sebaran Petani Tepi Hutan pada Sejumlah Karakteristik ………... 107 Kompetensi Petani tepi Hutan dalam Melestarikan Hutan Lindung ... 120 Hubungan Karakteristik Demografi Petani Petani Tepi Hutan

dengan Kompetensi Melestarikan Hutan Lindung. ...

123 Hubungan Karakteristik Petani dengan Pengetahuan

Melestarikan Hutan Lindung ... ...

124 Hubungan Karakteristik Petani dengan Sikap Melestarikan

Hutan Lindung ...

144 Hubungan Karakteristik Petani dengan Ketrampilan

Melestarikan Hutan Lindung ...

165 Uji Parametrik Karakteristik Demografi Petani Tepi Hutan dan

Kompetensi Melestarikan Hutan ...

186 Analisis Jalur pada Peubah Bebas Kompetensi Melestarikan ... 187 Analisis Konfirmatory pada Peubah tak Bebas Kompetensi

Melestarikan ... ...

199 Pembahasan ... 205 Gambaran Singkat Kondisi Kondisi Hutan Lindung di Indonesia ... 205 Kondisi dan Permasalahan Hutan Lindung di Lampung ... 207 Penyuluhan Kehutanan di Provinsi Lampung ... 211 Kondisi Petani Tepi Hutan Lindung pada Lokasi Penelitian ... 216 Kebutuhan Lahan Petani Tepi Hutan Lindung ... 222 Model Pendekatan terhadap Pembangunan Kehutanan 224 Kebutuhan Petani dalam Melestarikan Hutan Lindung ... 230 Motivasi yang Diperlukan untuk Meningkatkan Kompetensi ... 237 Potensi Petani sebagai Pelestari ... 238 Derajat Kompetensi Melestarikan pada Tiap Ranah ... 244 Derajat Pengetahuan Melestarikan ... 244 Derajat Sikap Melestarikan ... 249 Derajat Ketrampilan Melestarikan ... 254 Model Penilaian Kelestarian Hutan Berbasiskan Individu ... 262 Pola Pengembangan Kompetensi Petani dalam Melestarikan ... 268

KESIMPULAN DAN SARAN 269

Kesimpulan ... 269 Saran ... . 270 DAFTAR PUSTAKA ... 271


(24)

DAFTAR TABEL No

Tabel Teks Hal

1 Pengkelasan Berdasarkan Kemiringan ... 20 2 Pengkelasan Berdasarkan Intensitas Curah Hujan ... 21 3 Luas Kawasan Hutan di Provinsi Lampung Berdasarkan Fungsinya... 21 4 Ciri Petani Sub-Sisten dan Petani Komersial dalam Berusahatani... 31 5 Skema Hubungan antar Kelas Kemampuan Tanah dengan Intensitas dan

Macam Penggunaannya ... 75 6 Pengelolaan Lahan Berdasarkan Kemiringan... 76 7 Populasi Petani Tepi Hutan ... 92 8 Perincian Sampel Petani Tepi Hutan ... 94 9 Model Pembobotan Kategori ... 101 10 Para Juri Kelestarian dan Pertanian Konservasi ... 102 11 Profil Lahan Kritis di Provinsi Lampung ... 108 12 Sebaran Responden Berdasarkan Umur ... 108 13 Sebaran Responden Berdasarkan Lama Tinggal di Desa ... 109 14 Sebaran Responden Berdasarkan Suku ... 110 15 Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan Formal ... 111 16 Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan Non Formal ... 112 17 Sebaran Responden Berdasarkan Motivasi ... 113 18 Sebaran Responden Berdasarkan Pengalaman Berusaha ... 114 19 Sebaran Responden Berdasarkan Luas Lahan Grapan ... 115 20 Sebaran Responden Berdasarkan Status Lahan Garapan ... 116 21 Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan ... 117 22 Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Kekosmopolitan ... 118 23 Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga ... 118 24 Sebaran Responden Berdasarkan Kontak dengan PPL ... 119 25 Hubungan Umur dengan Kompetensi Pengetahuan Petani ... 125 26 Hubungan Lama Tinggal dengan Kompetensi Pengetahuan Petani ... . 127 27 Hubungan Suku dengan Kompetensi Pengetahuan Petani ... 128 28 Hubungan Motivasi dengan Kompetensi Pengetahuan Petani ... ... 130 29 Hubungan Pendidikan Formal dengan Kompetensi Pengetahuan Petani ... 132 30 Hubungan Pendidikan Non Formal dgn Kompetensi Pengetahuan Petani ... 133 31 Hubungan Pengalaman Berusaha dengan Kompetensi Pengetahuan Petani 135 32 Hubungan Luas Lahan Garapan dengan Kompetensi Pengetahuan Petani ... 136 33 Hubungan Status Lahan Garapan dengan Kompetensi Pengetahuan Petani . 138 34 Hubungan Pendapatan dengan Kompetensi Pengetahuan Petani ... 139 35 Hubungan Tingkat Kekosmopolitan dgn Kompetensi Pengetahuan Petani 140 36 Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Kompetensi Pengetahuan ... 142 37 Hubungan Kontak PPL dengan Kompetensi Pengetahuan Petani ... 143 38 Hubungan Umur dengan Kompetensi Sikap Petani... 145 39 Hubungan Lama Tinggal dengan Kompetensi Sikap Petani ... ... 146 40 Hubungan Suku dengan Kompetensi Sikap Petani ... ... 148 41 Hubungan Motivasi dengan Kompetensi Sikap Petani ... 149


(25)

42 Hubungan Pendidikan Formal dengan Kompetensi Sikap Petani ... . 151 43 Hubungan Pendidikan Non Formal dengan Kompetensi Sikap Petani ... 152 44 Hubungan Pengalaman Berusaha dengan Kompetensi Sikap Petani ... 154 45 Hubungan Luas Lahan Garapan dengan Kompetensi Sikap Petani ... 156 46 Hubungan Status Lahan Garapan dengan Kompetensi Sikap Petani ... 158 47 Hubungan Pendapatan dengan Kompetensi Sikap Petani ... ... 160 48 Hubungan Tingkat Kekosmopolitan dengan Kompetensi Sikap Petani ... 161 49 Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Kompetensi Sikap Petani... 163 50 Hubungan Kontak PPL dengan Kompetensi Sikap Petani ... ... 165 51 Hubungan Umur dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ………... 167 52 Hubungan Lama Tinggal di Desa dengan Kompetensi Ketrampilan Petani 168 53 Hubungan Suku dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ... 170 54 Hubungan Motivasi dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ... ... 171 55 Hubungan Pendidikan Formal dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ... 173 56 Hubungan Pendidikan Non Formal dgn Kompetensi Ketrampilan Petani .... 174 57 Hubungan Pengalaman Berusaha dengan Kompetensi Ketrampilan Petani 176 58 Hubungan Luas Lahan Garapan dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ... 177 59 Hubungan Status Lahan Garapan dengan Kompetensi Ketrampilan Petani .. 179 60 Hubungan Pendapatan dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ... 180 61 Hubungan Tingkat Kekosmopolitan dengan Kompetensi Ketrampilan ... 182 62 Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Kompetensi Ketrampilan ... 184 63 Hubungan Kontak PPL dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ... 185 64 Pengaruh langsung dan Tak Langsung X terhdap Y Kompetensi ... 198 65 Hasil Pengukuran pada Peubah Laten ... 199 66 Komparasi Kompetensi Petani dalam Melestarikan ………... 236 67 Pengetahuan Petani Tepi Hutan dalam Melestarikan ... 239 68 Sikap Petani Tepi Hutan dalam Melestarikan ... 241 69 Ketrampilan Petani Tepi Hutan dalam Melestarikan ... 243


(26)

15 Derajat Sikap Petani pada Kompetensi Konservasi ... 253 16 Derajat Ketrampilan Petani pada Kompetensi Teknis ... 255 17 Derajat Ketrampilan Petani pada Kompetensi Sosek ... 256 18 Derajat Ketrampilan Petani pada Kompetensi Sosbud ... 257 19 Derajat Ketrampilan Petani pada Kompetensi Konservasi ... 259 20 Kompetensi Perilaku Melestarikan ... 260 21 Klasifikasi Kompetensi Petani Tepi Hutan ... 261 22 Derajat Kompetensi Petani dalam Melestarikan Hutan ... 262

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks hal

1 Kerangka Penilaian Pembangunan Berkelanjutan ………. … 26 2 Garis Besar Hubungan antara X dan Y……… 86 3 Bagan Kerangka Pikir ……… 91 4 Pola Perilaku Melestarikan ... 123 5 Pola Hubungan Karakteristik Petani terhadap Kompetensi ... 189 6 Hasil Analisis Jalur terhadap Peubah Bebas Kompetensi ………… 191 7 Diagram Hasil Uji Structural Equations Model ……… 201 8 Derajat Pengetahuan Petani pada Kompetensi Teknis ... 245 9 Derajat Pengetahuan Petani pada Kompetensi Sosek ... 246 10 Derajat Pengetahuan Petani pada Kompetensi Sosbud ... 247 11 Derajat Pengetahuan Petani pada Kompetensi Konservasi ... 248 12 Derajat Sikap Petani pada Kompetensi Teknis ... ... 250 13 Derajat Sikap Petani pada Kompetensi Sosek ... 251 14 Derajat Sikap Petani pada Kompetensi Sosbud ... 252


(27)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Lampiran Hal Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian ... 279 Lampiran 2 Izin Penelitian ... ... 280 Lampiran 3 Proporsi Pendapatan Petani ... 281 Lampiran 4 Diagram Hasil Uji SEM ... 282


(28)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung perlu dikaji secara mendalam. Hal ini penting karena hutan akan lestari jika para petani yang tinggal di sekitar hutan memiliki kompetensi yang memadai dalam melestarian hutan.

Kerusakan hutan lindung di Lampung terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menjadi semakin parah pada era Reformasi yang dimulai pertengahan tahun 1997, dan berlanjut terus pada era Otonomi Daerah pada tahun 2001. Hal ini sejalan dengan desakan kebutuhan hidup petani yang tidak berlahan atau berlahan sempit, yang terus meningkat sehingga mereka membuka lahan hutan lindung untuk berkebun. Selain karena tidak mempunyai lahan, petani tertarik untuk membuka kawasan hutan lindung karena lahan tersebut masih subur. Kesuburan tanah dibutuhkan petani untuk mengembangkan usaha taninya seperti: tanaman kopi, coklat, tangkil, lada hitam, cabai, timun, sayur-sayuran dan sebagainya yang harganya baik di pasar.

Sekalipun ada pengelolaan lahan hutan menjadi kebun, upaya konservasi tanah dan air dalam bidang kehutanan harus dilakukan dengan benar agar dapat menjaga dan meningkatkan kondisi hutan, serta memberikan manfaat bagi kehidupan. Pengelolaan hutan harus dilakukan dengan baik dan benar agar “tidak akan menimbulkan masalah”. Hal ini hanya bisa dicapai jika petani memahami dan mempraktekkan prinsip-prinsip kelestarian hutan dan pertanian konservasi berkelanjutan. Dengan mempraktekkan prinsip-prinsip tersebut maka kelestarian hutan lindung akan terjaga dan penggundulan hutan dapat dicegah sehingga erosi, dan longsor, dapat dikendalikan dengan baik.


(29)

Keuntungan petani dalam mempraktekkan prinsip-prinsip kelestarian selain terjaganya kondisi fisik hutan yang luas manfaatnya adalah terjaganya produktivitas hasil tanaman yang mampu menopang kebutuhan hidupnya. Tingkat produktivitas dapat terjaga dengan baik, apabila petani mampu memilih bibit unggul, merawat tanaman dengan baik dan memelihara keseimbangan unsur-unsur hara di dalam tanah melalui pemupukan baik organik maupun kimia dengan tepat.

Kesemuanya itu dapat berjalan dengan baik apabila petani di kawasan hutan lindung mendapat bimbingan dan penyuluhan, antara lain dari Dinas Kehutanan, dan Dinas Perkebunan. Dengan adanya bimbingan tersebut, pengelolaan kawasan hutan lindung, akan terjaga dengan baik dan para petani sadar bahwa perilaku merusak hutan lindung seperti menebang dan membuka areal tanam baru tanpa memperhatikan prinsip kelestarian, membuka lereng-lereng terjal yang mengakibatkan erosi dan hilangnya daerah tangkapan air, dapat dicegah dan mengurangi kerusakan lingkungan yang lebih parah.

Berkaitan dengan hal di atas, dalam rangka menjaga dan memulihkan kualitas hutan lindung di Lampung yang sudah rusak, diperlukan studi yang mendalam tentang perilaku yang didasarkan kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung dan melakukan pertanian konservasi di areal hutan lindung tersebut.

Rumusan Masalah

Masalah kompetensi dalam berperilaku tidak terlepas dari aspek pengetahuan, sikap dan ketrampilan, karena sebelum orang melakukan tindakan, terlebih dahulu yang muncul adalah predisposisi dari perilaku tersebut yakni sikap. Melalui sikap inilah muncul kecenderungan untuk bertindak yang didasarkan atas penilaian pada obyek


(30)

tertentu. Inti permasalahannya adalah petani yang memanfaatkan hutan lindung sebagai tempat pemenuhan kebutuhan pada dasarnya tidak dibenarkan secara hukum, namun telah menjadi kenyataan bahwa petani telah memanfaatkan dan mengelola hutan lindung tanpa prinsip kelestarian dan pertanian konservasi, sehingga fungsi hutan lindung menjadi terganggu dan menurun. Dengan demikian pertanyaan penelitian adalah:

(1) Bagaimana petani tepi hutan yang dikaji dalam penelitian ini terdistribusi pada sejumlah karakteristik yang diamati ?

(2) Kompetensi apa yang dimiliki petani tepi hutan dalam melestarikan hutan? (3) Sejauh mana terdapat hubungan diantara karakteristik individu petani tepi hutan

dengan kompetensi melestarikan hutan lindung ?

(4) Bagaimana pola hubungan tidak langsung kompetensi petani dalam melestarikan hutan dengan karakteristik mereka?

Tujuan Penelitian

Mengacu pada masalah penelitian yang ada, maka tujuan umum penelitian adalah untuk mengungkapkan dimensi kuantitatif dan kualitatif dalam bentuk terukur aspek-aspek permasalahan kompetensi melestarikan hutan lindung secara proporsional dan ilmiah dalam perspektif ilmu penyuluhan pembangunan. Dengan demikian tujuan penelitian adalah:

(1) Menetapkan distribusi pada sejumlah karakteristik petani tepi hutan lindung yang diamati di Provinsi Lampung.

(2) Mengungkapkan kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung (3) Menentukan derajat hubungan karakteristik petani tepi hutan dengan upaya mereka


(31)

(4) Mengungkapkan pola hubungan tidak langsung karakteristik petani tepi hutan dengan kompetensi melestarikan.

Kegunaan Penelitian

Hasil disertasi diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu penyuluhan secara teoritis khususnya tentang kompetensi petani tepi hutan lindung, serta bagi penyuluh yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Secara spesifik kegunaannya adalah:

Bagi Pemerintah dan LSM

(1) Sebagai masukan kepada pemerintah khususnya jajaran Departeman Kehutanan dan Pemerintah Daerah untuk mengambil kebijakan didasarkan pada kompetensi petani tepi hutan dalam meningkatkan kelestarian hutan lindung.

(2) Memberikan informasi tentang potensi, dan karakteristik petani tepi hutan dalam perilaku melestarikan dan pertanian konservasi di hutan lindung.

(3) Bagi LSM dapat merupakan salah satu referensi materi dalam memerankan sebagai community organizer (CO)

Bagi Perguruan Tinggi

(1) Sebagai upaya sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan berkaitan dengan pengembangan kompetensi petani tepi hutan yang dapat menjadi dasar dari pemberdayaan masyarakat (Community Development).


(32)

(2) Memberikan kontribusi yang dapat menjelaskan duduk permasalahan secara proporsional dan ilmiah, masalah kompetensi petani di hutan lindung kepada semua pihak serta memberikan peluang kajian yang lebih intensif tentang kompetensi sebagai dasar perilaku petani hutan dimasa akan datang.

Definisi Istilah

Pentingnya memberi batasan definisi istilah yang digunakan berkaitan dengan peubah-peubah agar pengertian yang dibangun menjadi jelas dan tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda. Istilah yang digunakan meliputi:

I. Petani tepi hutan, adalah orang yang berdiam di desa-desa tepi hutan lindung dan bermata-pencaharian pokok mengelola lahan di dalam kawasan hutan lindung.

II. Karakteristik demografi petani tepi hutan adalah ciri–ciri petani tepi hutan yang melekat pada diri individu berupa: umur, lama tinggal di desa, suku, motivasi melestarikan, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman berusaha, luas lahan garapan, status lahan, pendapatan keluarga, kekosmopolitan, jumlah anggota keluarga dan kontak dengan PPL (Petugas Penyuluh Lapangan).

(1) Umur ialah usia petani tepi hutan yang dihitung sejak lahir sampai keulangtahuan terdekat ketika menjadi responden dan diukur jumlah tahun. (2) Lama tinggal di desa yaitu waktu lamanya tinggal petani tepi hutan yang

dihitung sejak kedatangan atau lahir sampai keulangtahuan terdekat ketika menjadi responden dan diukur dalam jumlah tahun.


(33)

(3) Suku adalah golongan etnis, atau kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan sosial lainnya berdasarkan kesadaran dan identitas perbedaan kebudayan, atau bahasanya dan diidentifikasi menurut garis keturunan ayah. (4) Motivasi melestarikan hutan ialah dorongan yang timbul dari dalam petani tepi

hutan berupa alasan datang menggarap lahan hutan dan keinginan untuk meningkatkan kualitas fisik lingkungan hutan.

(5) Pendidikan adalah tingkat proses belajar formal yang ditempuh responden, yang dinyatakan dalam jumlah tahun sekolah yang pernah dilalui.

(6) Pendidikan non formal ialah frekuensi pelatihan yang pernah diikuti petani dengan materi kehutanan atau pertanian konservasi.

(7) Pengalaman berusaha ialah aktivitas yang pernah dilakukan petani tepi hutan dalam pengelolaan lahan kering atau mengelola di kawasan hutan.

(8) Luas kepemilikan lahan garapan ialah hamparan lahan dalam satuan hektar yang digunakan oleh petani tepi hutan untuk berusaha tani.

(9) Status kepemilikan lahan garapan, ialah hak kepemilikan lahan yang digunakan petani untuk memenuhi kebutuhannya

(10) Pendapatan keluarga ialah besarnya konsumsi responden yang bersumber dari usahatani maupun yang bukan, yang dihitung dalam rupiah perbulan.

(11) Tingkat kekosmopolitan yaitu keterbukaan petani tepi hutan terhadap informasi dalam pelestarian hutan dengan berbagai sumber informasi.

(12) Jumlah anggota keluarga ialah banyaknya jiwa dalam keluarga petani.

(13) Kontak dengan PPL yaitu frekuensi petani tepi hutan berhubungan dengan penyuluh kehutanan dalam suatu pertemuan.


(34)

III. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi sebagai sumber tata air pada daerah sekitarnya, dan status hutan kawasan lindung ditetapkan oleh pemerintah. IV. Kompetensi melestarikan hutan adalah sejumlah potensi untuk berperilaku secara

cerdas guna menjawab tantangan dan masalahnya dan merupakan kombinasi sinergis antara kemampuan dari ranah pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Dengan demikian kompetensi melestarikan hutan lindung terkait dengan aspek teknis kehutanan, sosial-budaya, sosial-ekonomi dan pertanian konservasi.

V. Pertanian lahan kering diartikan sebagai suatu sistem pertanian yang dilaksanakan di atas lahan tanpa mengandalkan atau menggunakan irigasi secara permanen, sehingga kebutuhan air bergantung pada curah hujan.

VI. Pertanian konservasi cara atau teknik pengelolan lahan untuk pertanian dengan menekankan pada aspek tata olah lahan yang tepat, supaya lahan tetap mampu berproduksi dan terjaga kesuburannya, sehingga mampu mencegah terjadinya erosi atau hilangnya lapisan subur pada tanah, dengan demikian kondisi tanah tetap terjaga produktivitasnya.

VII. Peubah laten yaitu adalah peubah yang digunakan untuk mengukur indikator namun peubah tersebut tidak dapat diamati secara langsung sehingga diperlukan peubah tak langsung untuk mengukurnya dan peubah laten terdapat pada analisis konfirmatory (Structural Equations Model).


(35)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Petani Tepi Hutan

Sosok petani adalah orang yang hidup di desa, dan beraktivitas sehari-harinya berkaitan langsung dengan mengelola sawah, tegalan, ladang, ternak, maupun hutan. Petani sebagai individu dalam masyarakat memiliki ciri yang unik dan spesifik, karena berkaitan dengan lokasi tempat tinggal serta komoditi yang dikelolanya.

Wolf (1985:2), menyatakan bahwa petani adalah orang desa yang kegiatannya bercocok tanam dan beternak, untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan karakter petani tepi hutan ialah orang yang memiliki ciri-ciri tinggal di sekitar hutan dan tergantung pada hutan untuk mencukupi kebutuhannya.

Untuk memenuhi kebutuhan, maka petani mengkonversi lahan hutan menjadi ladang, tegalan, kebun, ataupun sawah, dimana tujuannya adalah untuk mengembangkan usaha taninya, yang dipandang memiliki peluang nilai ekonomi yang baik di pasar. Namun demikian upaya yang dilakukan petani tepi hutan dalam mengkonversi lahan sudah seharusnya tetap berpedoman pada asas kelestarian hutan maupun prinsip pertanian berkelanjutan.

Menurut Hardjanto dan Hendro (2000:8-9) yang dimaksud dengan petani adalah orang yang memiliki atau mengelola kebun, talun, ladang, dan sawah, sedangkan yang dimaksud dengan bukan petani adalah pihak-pihak lain yang terkait dengan hasil pertanian petani mulai dari masa panen sampai pasca panen.

Berkaitan dengan hal itu, maka yang dimaksud petani tepi hutan adalah orang yang menggarap lahan hutan. Secara ‘de facto’ petani tersebut telah hidup di dalam kawasan hutan lindung. Sekalipun mereka telah menggarap dan mengkonversi lahan


(36)

lindung, akan tetapi ia hanya menanam di lahan garapannya, sehingga yang dimiliki terbatas pada hak kelola atau pemanfaatan.

Para peneliti seperti Aziz (1995), Yani, (1995) Muliatuty (2003), dan Zulfarina (2003) memperhatikan karakteristik demografi ketika meneliti pertanian ladang berpindah dan pertanian pada lahan kering. Karakteristik petani yang diamati itu ialah: 1) umur, 2) pendidikan, 3) pengetahuan, 4) pengalaman berusaha tani, 5) kekosmopolitan, 6) luas lahan garapan, dan 7) pendapatan.

Selain itu, Taufiqurrahman dkk., (2003) mengamati 1) jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan, 2) jarak rumah ke ladang di hutan, 3) jumlah jenis tanaman di lahan, dan 4) jumlah jenis tanaman yang menghasilkan, dan Ruagadi, (1991), Permana, (1994), Rosalia, (2000) mengamati juga karakteristik pada sisi kesukuan dan budaya sebagai bagian dari penelitiannya.

Karakteristik suku dengan nilai budaya sangat erat kaitannya, keduanya menyatu dan mengalami proses enkulturasi dengan nilai budaya yang hidup di masyarakatnya. Oleh karena itu sistem nilai budaya berimplikasi pada kebiasaan, norma dan adat.

Kajian tersebut di atas, akan diamati juga pada petani tepi hutan. Dengan demikian karakteristik petani tepi hutan dalam diklasifikasikan menjadi karakteristik demografi yaitu: 1) umur, 2) lama tinggal di desa, 3) suku, 4) motivasi, 5) pendidikan formal, 6) pendidikan non formal, 7) pengalaman berusaha 8) luas lahan garapan, 9) status lahan, 10) pendapatan keluarga, 11). kekosmopolitan, 12). jumlah anggota keluarga, dan 13) kontak dengan PPL.


(37)

Umur

Umur adalah dapat dijadikan ukuran kematangan secara psikologis seseorang, berkaitan dengan hal ini, Padmowihardjo (1994:36) menyatakan bahwa umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur adalah faktor psikologis. Oleh karena itu terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan umur. Faktor pertama terdiri dari: 1) mekanisme belajar dan kematangan otak, 2) kematangan organ seksual, dan 3) kematangan otot organ-organ tertentu. Sedangkan faktor kedua yaitu: akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar.

Sedangkan Klausmeier dan Goodwin (1966:97) mengemukakan bahwa umur pelajar maupun pengajar merupakan salah satu karakteristik penting yang berkaitan dengan efisiensi belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat Salkind (1985:31) yang menyatakan bahwa umur menurut kronologi dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan individu, sebab umur menurut kronologi relatif lebih mudah dan akurat untuk ditentukan.

Lama Tinggal di Desa

Lama tinggal di desa dijadikan ukuran perilaku melestarikan dengan mendasarkan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh waktu. Padmowihardjo (1994:19-29) melihat dimensi waktu berkaitan dengan pengalaman, dapat dinyatakan bahwa pengetahuan akan bertambah seiring dengan berjalannya waktu, dasar alasannya ialah proses perkembangan manusia identik dengan proses belajar. Lama tinggal di desa tepi hutan akan terkait dengan intensitas pengelolaan pertanian di tepi hutan, hal ini akan menimbulkan pengalaman dan gambaran terhadap obyek hutan, yang tentunya akan mempengaruhi


(38)

sikap dan ketrampilannya. Lama tinggal juga terkait dengan kemampuan meningkatkan pendapatan, menurut FAO dan World Bank (2001:13) mengemukakan bahwa usaha tani selalu terkait dengan upaya peningkatan pendapatan off farm untuk sektor pertanian, dan sektor non pertanian.

Suku

Suku adalah golongan etnis, atau kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan sosial lainnya berdasarkan kesadaran dan identitas perbedaan kebudayaan, khususnya bahasa. Hal ini dapat diamati dari kelompok dalam masyarakat yang menunjukkan asal orang tua dari sudut geografis dan dikuatkan dengan sistem nilai berupa norma dan budaya yang berlaku. Dahama dan Bhatnagar (1980) dalam Mardikanto (1993:24) menyatakan bahwa suku sangat terkait dengan norma dan budaya dengan demikian nilai budaya dan kebiasaan menjadi bagian yang penting sebagai penciri suku asal seseorang.

Soekartawi (1988:90) menyatakan bahwa faktor kebudayaan sangat berpengaruh terhadap proses difusi-inovasi yang berupa tata nilai dan sikap. Dengan demikian, suku yang memiliki sistem nilai dan norma unik, yang berhubungan dengan kebiasaan petani tepi hutan dalam melestarikan.

Motivasi

Padmowihardjo (1994:135) mengemukakan tentang motivasi yang berarti usaha yang dilakukan manusia atau upaya yang menimbulkan dorongan berbuat atau melakukan tindakan sesuatu, oleh karena itu setiap tindakan memiliki motif atau dorongan. Sedangkan batasan motivasi belajar yaitu setiap usaha yang dilakukan untuk


(39)

menimbulkan dorongan pada dirinya untuk belajar dan bila motivasi tersebut melestarikan hutan, maka akan terkait dengan dorongan dari dalam petani untuk melakukan tindakan pelestarian hutan. Berkaitan dengan motivasi, Sudjana (1991:162) menegaskan bahwa motivasi belajar terkait dengan motivasi intensif dan motivasi tersebut menggambarkan kecenderungan manusia untuk menggerakkan, mendominasi dan menguasai lingkungan sekelilingnya.

Menurut Suparno (2001:88-93) bahwa motivasi terkait dengan apa yang dilakukan oleh seseorang dan berkaitan dengan nilai (value) atau manfaat. Motivasi tersebut menjadi dorongan untuk tumbuh dan berkembang. Pengalaman yang menguntungkan atau menyenangkan akan mendorong motivasi itu lebih kuat lagi, namun sebaliknya pengalaman kegagalan akan menurunkan motivasi. Dengan demikian perlu dijaga keseimbangan agar seseorang dapat mengatur dirinya sendiri relatif lebih bebas dari dorongan orang lain untuk lebih mampu terhadap dirinya sendiri dan lingkungan.

Pendidikan Formal

Pendidikan adalah sebagai sarana untuk membentuk pendapat dan keberanian dalam mengambil keputusan secara tepat (Van den Ban, 2003:51). Demikian halnya Burtona dan William dalam Padmowihardjo (1994:5) menyatakan bahwa belajar merupakan proses perbaikan pengetahuan dan ketrampilan dengan cara mengalami sendiri.

Sedangkan Soekartawi (1988:71) menyatakan bahwa tingkat pendidikan berkorelasi dalam kemampuan adopsi–inovasi, begitu pula sebaliknya. Menurut Slamet (2003:20) menegaskan bahwa perubahan perilaku yang disebabkan oleh pendidikan berupa: 1) perubahan dalam pengetahuan atau hal yang diketahui, 2) perubahan dalam


(40)

ketrampilan atau kebiasaan dalam melakukan sesuatu dan 3) perubahan dalam sikap mental atau segala sesuatu yang dirasakan. Dengan demikian pendidikan merupakan proses pembinaan pengetahuan, dan sikap, manusia dalam rangka mempengaruhi dan mengubah perbuatan sesuai dengan tujuan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan baik formal dan non formal berhubungan dengan pengetahuan dan sikap serta perilaku petani dalam melestarikan hutan.

Pendidikan Non Formal

Pendidikan non formal adalah bentuk pengajaran yang dibuat secara sistematis, diluar pendidikan formal, dan informal dalam hal ini kepada petani dan keluarganya supaya berubah pengetahuan, sikap dan kemampuannya. Pendidikan non formal menjadi pilihan dalam penyuluhan karena memiliki karakteristik antara lain: a) tidak mengenal batas umur, b) tidak mengenal kurikulum yang harus diselesaikan. c) tidak mengenal ruang tertentu, sehingga proses pendidikan dapat dilakukan dimana saja. Dengan demikian pendidikan non formal dapat dilakukan dimana ada waktu dan kesempatan (Sastraatmadja, 1986:13-14).

Menurut Tjondronegoro dalam Sastraatmadja (1986:28), menyatakan bahwa pendidikan non formal merupakan perpaduan dari kegiatan mengunggah minat/ keinginan, menyebarkan pengetahuan, ketrampilan dan kecakapan, sehingga diharapkan terjadinya perubahan perilaku (sikap, tindakan dan pengetahuan).

Senada dengan hal di atas, Slamet (2003:18) menyatakan bahwa suatu sistem pendidikan luar sekolah (pendidikan non formal) untuk petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang


(41)

baik, sesuai dengan bidang profesinya, serta mampu, sanggup berswadaya dan memperbaiki - meningkatkan kesejahteraannya.

Dengan demikian pendidikan non formal sangat berkaitan dengan tingkat kemampuan petani tepi hutan dalam pengetahuan, sikap dan ketrampilan melestarikan hutan dan melakukan pertanian konservasi.

Pengalaman Berusaha

Pengalaman dalam proses belajar memiliki pengaruh yang nyata dan penting karena melalui pengalaman yang berhasil akan menimbulkan perasaan optimis di masa akan datang. Sedangkan pengalaman akan menimbulkan perasaan pesimis untuk dapat berhasil walupun mendapat kesempatan untuk kembali mempelajari.

Menurut Dahama dan Bhatnagar (1980) dalam Mardikanto (1993:86), menyatakan bahwa pengalaman seseorang akan memberikan kontribusi terhadap minat dan harapan untuk belajar lebih banyak, sehingga pengalaman dapat mengarahkan perhatian kepada minat, kebutuhan, dan masalah-masalah yang dihadapi.

Dengan demikian pengalaman petani tepi hutan sebelum masuk dan bermukim berhubungan dengan kompetensi melestarikan

Luas Lahan Garapan

Luas lahan garapan adalah jumlah luas lahan yang dikerjakan oleh petani tepi hutan dalam satuan luas misal hektar (ha), di daerah Lampung satuan luas tanah biasa dipakai istilah satu rantai (1 rantai = 400 m2). Pada ilmu usaha tani, luas lahan garapan berimplikasi pada besarnya modal kerja dan penghasilan.


(42)

Pambudy, (1999:202-203) mengemukakan bahwa perilaku peternak agribisnis sangat berhubungan dengan besaran luas lahan. Semakin luas lahannya maka semakin tinggi jiwa wirausaha mereka. Pada kenyataannya banyak peternak ayam yang tidak mampu mengembangkan agrisbisnis ayam karena lahan yang dikuasai sangat terbatas.

Taufiqurrahman dkk., (2003:46) menyatakan bahwa luas lahan memiliki hubungan terhadap kenaikan pendapat petani Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Nusa Tenggara Barat, demikian pula dalam pengelolaan lahan yang dinyatakan dengan semakin luas lahan yang dimiliki oleh petani semakin tidak optimal pemanfaatannya. Dengan demikian, luas lahan garapan berhubungan dengan perilaku melestarikan hutan.

Status Lahan Garapan

Status lahan garapan adalah merupakan hak penguasaan atas lahan yang dikerjakan oleh petani. Status lahan garapan di dalam kawasan ini dapat berupa hak kelola, sewa pada petani dan dapat berupa hak kelola dengan sistem bagi hasil (Departemen Kehutanan, 1999:IX-14).

Perbedaan status lahan, dapat memberikan andil yang besar terhadap rusaknya sistem pertanian berkelanjutan, karena status sewa akan mendorong penyewa melakukan eksplorasi sumber daya lahan secara berlebihan untuk mengejar keuntungan (Salikin 2003:41). Hal serupa dinyatakan oleh Soekartawi (1988:93) bahwa status lahan garapan akan berimplikasi pada pengawasan yang lebih lengkap atas usaha taninya.

Secara umum status lahan garapan tidak terlepas dari hak kelola, dan mengenai hak akan terkait dengan beberapa status. Menurut Tjondronegoro, dalam Suhardjito (1999:10-11) masalah hak dan status lahan (Property Rights) dinyatakan penting, karena land use planning dalam kehutanan adalah pembagian lahan pemakaian tanah


(43)

berdasarkan prinsip conservation, sehingga luas dan letak hutan tetap menjadi perhatian peruntukannya tanpa meninggalkan kenyataan kebutuhan hidup masyarakat setempat. Dengan demikian, status lahan garapan berhubungan dengan perilaku melestarikan hutan dan pertanian konservasi.

Pendapatan Keluarga

Pendapatan adalah perolehan yang didapat kepala keluarga dan anggota keluarganya dari berbagai kegiatan yang dilakukan. Indikator tingkat pendapatan meliputi: (1) Pendapatan yang dihasilkan dari luar kawasan hutan, dan (2) Pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan memanfaatkan hutan (Hutagalung, 2002:26).

Selain itu Agussabti (2002:282) dalam penelitiannya menemukan bahwa tingkat pendapatan petani maju akan mempengaruhi tingkat kedinamisan sipetani dalam mengembangkan usahataninya.

Menurut Wulandari (1999:11) pendapatan terkait dengan tingkat adopsi petani dalam menerapkan teknis pertanian. Dengan demikian, pendapatan keluarga berhubungan dengan perilaku melestarikan hutan.

Tingkat Kekosmopolitan

Kekosmopolitan yaitu keterbukaan petani pada informasi melalui hubungan mereka dengan berbagai sumber informasi yang dibutuhkan. Kekosmopolitan individu dicirikan dengan sejumlah atribut yang membedakan mereka dari orang lain di dalam komunitasnya, yaitu: 1) individu tersebut memiliki status sosial, 2) partisipasi sosial lebih tinggi, 3) lebih banyak berhubungan dengan pihak luar, 4) lebih banyak menggunakan


(44)

media massa, 5) memiliki lebih banyak hubungan dengan orang lain maupun lembaga yang berada di luar komunitasnya (Rogers, 1989:27).

Mosher (1987:34) berpendapat bahwa keterbukaan seseorang berhubungan dengan penerimaan perubahan-perubahan seseorang untuk meningkatkan perbaikan usahatani mereka. Menurut Agussabti (2002:178-179) perilaku petani dalam mengelola usahatani berhubungan dengan frekuensi interaksi sesama petani. Semakin intensif mereka berinteraksi maka semakin banyak mendapatkan informasi baru untuk mengembangkan usahataninya. Demikian pula pendapat Pambudy (1999:186-187) bahwa keterbukaan terhadap informasi peternak berhubungan dengan perilaku mereka. Dijelaskan pula bahwa semakin banyak media massa yang dipergunakan dan semakin banyak kontak interpersonal dalam mencari informasi maka akan semakin banyak pilihan cara-cara untuk meningkatkan kualitas usahatani mereka.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa tingkat kekosmopolitan berhubungan dengan perilaku melestarikan hutan, karena berkaitan dengan banyaknya informasi yang didapatkan oleh petani.

Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan jiwa dalam satu rumah tangga menjadi tanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan untuk sejahtera (Hernanto, 1989:27). Jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi suatu keluarga (Asdi, 1996:12).

Menurut Soekartawi (1988:34-35) jumlah tanggungan keluarga berhubungan dengan tingkat pendapatan bersih usahatani. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka semakin banyak pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan kosumsi keluarga sehingga akan mengurangi modal untuk kegiatan usahatani selanjutnya. Jumlah


(45)

tanggungan keluarga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pengelolaan pekarangan secara lestari di Lampung Tengah, Lampung Barat, dan Lampung Utara (Wulandari, 1999:103). Dengan demikian, jumlah tanggungan keluarga berhubungan dengan perilaku melestarikan hutan lindung.

Kontak dengan PPL

Menurut Soekanto (2002:65-66) hubungan yang terjadi antara seseorang dengan orang lain bersifat primer dan sekunder. Hubungan yang bersifat primer terjadi apabila seseorang mengadakan hubungan langsung dengan bertemu dan berhadapan muka. Sedangkan hubungan yang bersifat sekunder memulai perantara baik orang lain maupun alat-alat seperti telepon, radio dan sebagainya. Sedangkan menurut FAO (1998:229), Wiraatmadja (1990:30), dan Suparno (2001:135), menyatakan inti dari kegiatan penyuluhan adalah kegiatan yang berhubungan dengan komunikasi dua arah antara penyuluh dan petani, dan secara spesifik FAO menyatakan bahwa jasa penyuluhan memegang peranan penting dalam gerakan diseminasi (implementasi) terhadap uji peningkatan usaha tani (on-farm).

Hutan Lindung

Hutan di Indonesia pada dasarnya memiliki tiga fungsi yaitu: 1) ekonomi, 2) ekologi, dan 3) sosial. Berkaitan dengan ketiga fungsi tersebut, Djajapertjunda, (2002: 63), Darusman (2002:31-35), Wiyono dan Awang (2001:17-18), menyatakan bahwa kebijakan pengurusan hutan diatur oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat. Hal menegaskan bahwa siapapun yang melaksanakan kegiatan di bidang kehutanan atau


(46)

bertujuan memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan, baik secara langsung, tanpa mengorbankan asas kelestarian.

Pemanfaatan dan penguasaan hutan sudah dimulai sejak jaman Pemerintahan Belanda, hal ini ditunjukkan oleh terbentuknya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang-Undang ini menjadi cikal bakal perundang-undangan kehutanan Indonesia.

Menurut Djajapertjunda (2002:29-33), klasifikasi hutan yang didasarkan pada penguasaan terdiri atas: 1) hutan negara yaitu hutan yang sudah dikuasai negara dan diurus oleh pemerintah, 2) hutan cadangan yaitu hutan yang belum ditetapkan pengurusannya, 3) hutan swapraja, 4) hutan swasta, 5) hutan persekutuan adat, dan 6) hutan milik atau hutan adat.

Hutan negara memiliki fungsi dan peruntukan yang khusus. Hutan negara meliputi: 1) hutan lindung yang berperan melindungi tata air, mengurangi erosi, mencegah bahaya banjir, dan memiliki pengaruh yang baik terhadap iklim di sekelilingnya, 2) hutan produksi yaitu hutan yang ditumbuhi oleh jenis-jenis pohon yang dapat dipungut kayunya secara komersial, 3) hutan suaka alam yaitu hutan yang keadaan alamnya memiliki sifat yang sangat khas yang digunakan untuk perlindungan hayati flora maupun fauna, dan 4) hutan wisata yaitu kawasan hutan yang memiliki keindahan dan dikembangkan menjadi taman wisata, yang perlu dilestarikan.

Menurut Departeman Kehutanan (1999:II-34) penetapan kawasan hutan lindung meliputi: 1) kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, intensitas hujan, 2) kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih (sesuai Keppres No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung, sebagai


(47)

penyempurnaan dari SK Mentri Pertanian No. 837/Kpts/Um/II/1980 yang menetapkan kriteria lereng lapangan 45 % atau lebih). 3) kawasan hutan yang mempunyai ketinggian 2.000 m di atas permukaan laut (dpl).

Kriteria hutan lindung di atas, secara implisit mengindikasikan bahwa hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi sebagai sumber tata air pada daerah sekitarnya karena berkaitan sebagai daerah hydrologis. Sedangkan kriteria hutan lindung ditinjau dari kemiringan adalah seperti dalam tabel berikut:

Tabel 1. Pengkelasan Berdasarkan Kemiringan

Kelas Lereng dalam prosentase Kategori

1 0 – 8 Datar

2 8,1 – 15 Landai

3 15,1 – 25 Agak curam

4 25,1 – 45 Curam

5 45,1 atau lebih Sangat curam Sumber: Departemen Kehutanan, 1999:II-35

Selain faktor kemiringan yang menjadi perhatian dalam pengelolaan hutan lindung, adalah dengan memperhatikan intensitas hujan, dan hal ini sesuai dengan fungsi dari hutan lindung sebagai daerah tangkapan air atau catchments area.

Besarnya intesitas curah hujan akan berpengaruh terhadap cepat lambatnya pertumbuhan bibit pohon yang ada di hutan, dan hal ini sangat mendukung kembalinya kondisi hutan serta terjaganya fungsi hutan lindung sebagai daerah sumber air.

Kondisi umum hutan di Provinsi Lampung adalah hampir separuhnya berupa kawasan hutan lindung, namun ada beberapa wilayah hutan lindung yang kondisinya tidak memenuhi kriteria sebagai hutan lindung lagi, karena fungsi sebagai daerah tangkapan air sudah sangat kurang, namun tetap dinyatakan sebagai wilayah hutan


(48)

lindung. Berkaitan dengan hal tersebut, klasifikasi berdasarkan curah hujan seperti tabel berikut.

Tabel 2. Pengkelasan Berdasarkan Intensitas Curah Hujan Kelas Intensitas Hujan Kategori

1 13,6 atau kurang Sangat rendah

2 13,7 – 20,6 Rendah

3 20,7 – 27,6 Sedang

4 27,7 – 34,6 Tinggi

5 34,8 atau lebih Sangat tinggi Sumber: Departemen Kehutanan, 1999:II-36

Sebagai gambaran, luas wilayah Provinsi Lampung ialah 3.301.784 ha yang merupakan luas daratan, dan luas kawasan hutan mencapai 1.004.735 ha atau sekitar 30,43 %. Memperhatikan batasan kawasan hutan yang ada pada Tabel 3, maka yang dimaksud dengan hutan lindung adalah suatu kawasan hutan yang memiliki fungsi sumber air untuk wilayah sekitar atau yang lain, yang telah ditetapkan dan dikukuhkan dalam RPPH (Rencana Pengelolaan dan Pengukuhan Hutan) atau TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) sebagai kawasan lindung. Distribusi kawasan hutan di Lampung:

Tabel 3. Luas Kawasan Hutan di Lampung Berdasarkan Fungsinya

No. Fungsi Luas (ha) Prosentase

1. Kawasan Suaka Alam dan Hutan Wisata (darat dan perairan)

462.030 30,43

2. Hutan Lindung 317.615 31,61

3. Hutan Produksi terbatas 33.358 3,32

4. Hutan produksi tetap 191.732 19,08

5. Hutan produksi yang dapat dikonversi * 153.459 15,56

Jumlah 1.004.735 100

Sumber: SK Menhutbun: 256/Kpts-II/2000 tanggal 23-08-2000 Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Lampung tahun 2002


(49)

Pengertian Kelestarian Hutan

Konsep lestari (sustainable) mengacu pada Webster’s New World Dictionary (1995) adalah “to provide for the the support of ”, yang berarti menyediakan dan membantu untuk kelangsungan sesuatu. Oleh karena itu memaknai konsep kelestarian memerlukan upaya pemahaman dalam hubungannya antara manusia dengan alam.

Helms (Suhendang, 2004:11) mendefinisikan kelestarian sebagai “sustainable forest management development is the practice of meeting the forest resources needs and value of the present with out compromising the similar capability of future generation”, yang dapat diartikan bahwa dalam pengelolaan hutan lestari, pemanfaatan hasil dan nilai-nilai yang dapat diperoleh dari hutan untuk generasi kini tidak boleh mengorbankan kemampuan hutan tersebut untuk memberikan hasil dan nilai-nilai yang sama untuk generasi yang akan datang.

Pendapat ini sejalan dengan Komisi Dunia Lingkungan Hidup atau The World Commission on Environment and Development (1987) yang menyatakan:

“sustainable development is a process of change in which the exploitation of resources, the direction of investments, the orientation of technological and institusional change are all in harmony and enhance both current and future potential to meet human needs and aspiration” (FAO, 1993:2).

yang dapat dimaknai bahwa kelesatrian adalah sebuah proses perubahan yang didalamnya memanfaatkan suberdaya untuk diarahkan sebagai investasi, orientasi teknologi dan perubahan lembaga guna peningkatan keselarasan secara keseluruhan antara kondisi saat ini dan potensi yang akan datang untuk mempertemukan kebutuhan dan aspirasi kemanusiaan. Lebih lanjut Higman, et al., (1999) menegaskan bahwa sustainable forest management adalah bagian dari sustainable development. Berkaitan dengan hal itu Higman, et al., (1999) mendefinisikan pengelolaan hutan yang


(50)

berkelanjutan adalah sebagai suatu proses pengelolan hutan untuk mencapai satu tujuan atau lebih secara lebih jelas yaitu produksi hasil hutan dan jasa secara berkelanjutan tanpa mengurangi nilai dan produktivitas di masa mendatang dan tanpa efek negatif baik fisik maupun sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Higman et al., secara rinci sebagai berikut:

“Sustainable forest management is process of managing forest to achieve one or more clearly spesified objectives of management with regard to the production of a continuous flow of desired forest products and services, without undue reduction of its inherent values and future productivity and without undue undersirable effects on the physical and social enviroment” (Higman et al., 1999:4)

Konsep lestari (sustainable) mengandung dimensi waktu jangka panjang, yang berimplikasi pula pada sistem pengelolaan (management). Pembangunan berkelanjutan dalam pelestarian hutan telah didefinisikan cukup beragam oleh berbagai institusi dan para pakar, sesuai dengan latar belakang kepakarannya serta tujuannya, oleh karena itu muncul inisiatif standart kelestarian dari tingkat internasional seperti: International Tropical Timber Organization (ITTO), Forest Stewerdship Council (FSC), African Timber Organization (ATO), Canadian Standards Association (CSA) dan ditingkat nasional seperti Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), Center for International Forestry Research (CIFOR) dan ICRAF yang telah berganti menjadi World Agroforestry Research.

Upton dan Bass (2002:9) menegaskan bahwa setiap lembaga memiliki kriteria kelestarian yang saling melengkapi, namun demikian ada prinsip yang penting yakni prinsip lokalitas. Melalui prinsip lokalitas yang diterapkan CSA, maka ukuran kelestarian akan semakin lebih dekat dengan kenyataan, oleh karena itu CSA menerapkan Local Foreast Management Unit (LFMU) menjadi bagian dari prinsip kelestarian yang


(51)

akomodatif. Namun demikian walaupun menerapkan prinsip lokalitas, Upton dan Bass (2002:10) tetap melihat bahwa pentingnya kelestarian dalam arti yang lebih luas.

Paradigma pembangunan di bidang kehutanan yang baru, menekankan pada aspek ekologinya, biologi, dan sosial. Menurut Kellomaki (2003) dari University of Joensuu, Jepang, yang menyoroti kelestarian hutan dalam dimensi sosial menyatakan:

“The sustainable social development of any society closely relates to the sustainable management of natural resources. Management of natural resources is sustainable whenever current use considers the needs of future generation” (Kellomaki, 2003:12).

Dengan demikian masalah kelestarian yang diungkapkan oleh Kollomaki menekankan bahwa keberlanjutan pembangunan sosial pada berbagai kelompok sosial berkorelasi dengan pelestarian sumber daya alam (SDA). Pengelolaan SDA akan lestari bila pemanfaatannya mempertimbangkan kebutuhan masa mendatang.

Pemahaman kelestarian hutan pada awalnya selalu diidentikan dengan terjaganya produksi kayu secara kontinyu dan terjaganya satwa, namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman, ilmu dan teknologi, maka pemahaman tentang kelestarian hutan berkaitan pula dengan lahan hutan (lands forest) telah berubah yakni kelestarian dilihat dari manfaat bagi kehidupan manusia. Berkaitan dengan itu batasan kelestarian termasuk di dalamnya keanekaragaman hayati (biodiversity), produktivitas, ekosistem, ekologi, ekonomi, dan fungsi sosial (Suhendang, 2002:19).

Bruenig, (Suhendang 2002:20) menjelaskan bahwa pengelolaan hutan secara lestari tidak terlepas dari praktek sylvicultur atau budidaya tanaman hutan. Manfaat dari kegiatan silvikultur selain untuk rehabilitasi lahan atau kondisi fisik hutan, juga


(52)

bermanfaat bagi petani tepi hutan, karena petani mendapat manfaat ekonomi dari hutan. Penerapan prinsip ini bertujuan ganda, yaitu untuk kelestarian hutan dan manusianya.

Penerapan prinsip kelestarian yang mengacu pada prinsip pengelolan hutan lestari (PHL) atau Sustainable Forest Management (SFM) mempengaruhi cara pandang dari hutan sebagai penghasil kayu, menjadi hutan bermanfaat ganda (multiple use of the forest principle). Pada masa sebelum PHL, kayu dianggap sebagai hasil utama, dan tujuan pengelolaan hutan adalah memproduksi kayu, namun setelah adanya PHL semua hasil hutan adalah utama dan dikelompokkan ke dalam fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial (Suhendang, 2002:236).

Berkaitan dengan kelestarian hutan, lebih lanjut Kellomaki (2003) menyatakan ada tiga prinsip pengelolaan hutan yang berkelanjutan terkait dengan upaya konservasi yang harus dilakukan yaitu:

“The genetical resources of forests require conservation in whatever form they are contributing to the biodiversity of the forests and forest ecosystem (Principle of Biodiversity) - Sumberdaya genetis hutan memerlukan konservasi yang kemudian berkontribusi pada keanekaragaman hayati hutan dan ekosistemnya.

The capacity of the forest ecosystem to intercept solar energy and subsequent cycle of material (water, carbon, nitrogen, mineral nutrients) requires maintenance (Priciple of Ecological Balance) – Kapasitas ekosistem hutan untuk jadi media energi dan materi lain seperti air, karbon, nitrogen, nutrisi mineral memerlukan adanya pemeliharan.

The capacity of forest ecosystem to produce timber and other items and services requires conservation (Principle of Multi Use)” - Kapasitas ekosistem hutan untuk memproduksi kayu dan lainnya serta jasa, memerlukan konservasi. (Kellomaki, 2003:14).

Cara kerja dari ketiga prinsip tersebut saling mendukung dan berkaitan satu sama lainnya, hal ini dikuatkan oleh Sample et at., (1999:7) yang menyatakan bahwa hal terpenting dari makna kelestarian hutan adalah pendekatan ekosistem, secara lebih


(53)

spesifik adalah upaya-upaya konservasinya. Ekologi yang tidak didukung kondisi ekonomi dan sosial, akan ada kesenjangan, maka sistem kelestarian akan tidak berjalan (collaps). Berkaitan dengan hal ini Becker (Purnomo, 2003:9) menggambarkan keterkaitan antara sistem yang mendukung pengembangan pelestarian.

Sistem nilai sosial budaya

Daya Dukung Ekonomi

Sumber : Backer, Purnomo, 2003

Gambar 1. Konsep Kerangka Kerja untuk Penilaian Kelestarian

Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan perpotongan (irisan) dari ketiga bagian utama menggambarkan keterkaitan langsung faktor-faktor dalam pengembangan kelestarian seperti, daya dukung ekonomi (economic viability), biofisik dan lingkungan (biophysical and environmental), dan kadaan sosial ekonomi (socio-economic well-being), sedangkan garis putus-putus, di luar ketiga kotak tersebut menggambarkan lingkungan yang kondusif berupa sistem nilai yang turut memberikan pengaruh dan arah dari kelestarian. Selain itu Rammel dan Markus (2004:13) menegaskan bahwa kunci untuk mengembangkan pembangunan berkelanjutan adalah stabilitas dalam arti luas.

Keadaan Sosial-ekonomi

PEMBANGUNAN

BERKELANJUTAN

Biofisik dan lingkungan


(54)

Dengan demikian untuk menilai suatu kelestarian hutan, tidak dapat dilakukan pada satu aspek saja, karena bila mengandalkan satu aspek saja, maka yang terjadi adalah justru ketimpangan kebutuhan dan ekosistem atau hubungan antara manusia dan alam.

Prinsip kelestarian yang mengacu pada ketiga hal (ekologi, ekonomi, dan sosial), justru memberikan keseimbangan dalam pengelolaan, pemanfaatan yang tetap lestari. Oleh karena itu untuk dapat melakukan pelestarian hutan lindung maka dibutuhkan kemampuan atau kompetensi dari petani, maupun stakeholder terkait.

Kompetensi

Definisi kompetensi menurut Spencer, (1993:9) yaitu: “A competency is an underlying characteristic of an individual that is causally related to criterion referenced effective and for superior, performance in a job or situation”. Oleh karena itu kompetensi berkaitan pula, dengan hal-hal yang mendasari dari sebagian kepribadian, yang kemudian dapat-mampu memperkirakan situasi perilaku dan tugas. Sedangkan dalam competency dictionary mendefinisikan “competencies are general of the behaviour or action needed to successfully perform within a particular [work] context (e.g. job, group of job, function, etc)” – yang intinya bahwa kompetensi adalah perilaku umum yang diperlukan untuk keberhasilan dalam kerja.

Lasmanhadi (2002) mengemukakan bahwa kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia mencapai kerja yang superior. Aspek-aspek pribadi ini termasuk sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap pengetahuan dan ketrampilan. Kompetensi-kompetensi tersebut akan mengarahkan pada tingkah laku. Sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja. Golmen (2004) menyatakan bahwa kompetensi terkait dengan pemenuhan standart lingkungan kerja.


(55)

Willis dan Sameul dalam Puspadi, (2003:120) menyatakan bahwa kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas secara efektif dan kompetensi merupakan refleksi dari kinerja yang prima.

Gilley dan Eggland (1989:101) menyatakan bahwa kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang sehingga yang bersangkutan dapat menyelesaikan perannya dan peningkatkan ketrampilan menjadi bagian yang diutamakan dalam HRD, oleh karena itu untuk menyatakan seseorang memiliki kompetensi yang berupa kemampuan dalam hal pengetahuan dan ketrampilan, mengacu pada jenis pekerjaan yang spesifik dan lingkungan yang spesifik.

Dengan demikian dapat disarikan bahwa kompetensi adalah sejumlah kemampuan yang ada dalam diri manusia untuk berbuat secara cerdas dalam rangka menjawab permasalahan hidupnya. Komponen kompetensi adalah pengetahuan, sikap dan ketrampilan, di mana ketiga hal tersebut dapat saling berhubungan maupun saling terpisah satu dengan lainnya, sehingga setiap perilaku pada dasarnya merupakan refleksi kompetensi yang dimilikinya.

Konsep kompetensi yang mengacu pada kemampuan, kecakapan, dan ketrampilan dalam bertindak, seperti dinyatakan oleh Kurt Lewin (1951) dalam Azwar (1998:11) bahwa perilaku yang dilambangkan dengan (B) adalah fungsi karakteristik individu (P) dan lingkungan (E) yang dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan B = f (P,E), dimana fungsi dari perilaku adalah merupakan fungsi individu dalam hal ini adalah petani tepi hutan yang memiliki motif, nilai-nilai, sifat dan sikap, berinteraksi dengan lingkungan, sedangkan faktor lingkungan yaitu hutan lindung, lingkungan sosial-budaya. Faktor lingkungan dapat menjadi pengaruh dalam berperilaku, bahkan kadang-kadang kekuatan


(56)

pengaruhnya lebih besar dari karakteristik individu yang dimiliki sehingga kekuatan lingkungan mampu mengubah perilaku dan orientasi seseorang.

Asngari (2001:17) menyatakan bahwa untuk mengubah perilaku seseorang, dapat dilakukan dengan mengubah salah satu unsur perilaku, atau ketiga-tiganya yaitu pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Perubahan pada masing-masing unsur akan saling mempengaruhi perilaku seseorang.

Azwar (1998:27) mengemukakan bahwa kompenen perilaku terdiri atas 1) komponen kognitif, yang berisi kepercayaan yang membentuk pengetahunan, 2) komponen afektif yang berkaitan dengan emosional-perasaan yang mendasari terbentuknya sikap, dan 3) komponen konatif adalah berupa kepercayaan dan perasan terhadap suatu obyek stimlus.

Secara spesifik ketiga kompenen tersebut, oleh ahli pendidikan Bloom (Winkel, 1996:134) dikembangkan menjadi hal yang dapat diukur, meliputi: ranah kognitif atas enam jenjang yaitu: 1) pengetahuan, 2) pemahaman, 3) penerapan, 4) analisis, 5) sintesis, dan 6) evaluasi; Pada ranah afektif terdiri atas lima jenjang meliputi: 1) penerimaan, 2) partisipasi, 3) penilaian, 4) organisasi dan 5) pembentukan pola hidup; sedangkan pada ranah psikomotorik terdiri atas tujuh jenjang meliputi: 1) persepsi, 2) kesiapan, 3) gerakan terbimbing, 4) gerakan terbiasa, 5) gerakan kompleks, 6) penyesuaian pola gerakan, dan 7) kreativitas.

Lebih lanjut Spencer (1993:11) menyatakan bahwa kompetensi juga mendasari orang untuk perilaku, berfikir, kemampuan mengambil jalan pintas dan daya tahan untuk menanggapi sesuatu dalam waktu yang panjang. Karakteristik tersebut meliputi:


(57)

motivasi, sifat atau ciri, keyakinan, ketrampilan, dan juga pengetahuan. Karakteristik dasar inilah yang kemudian menjadikan seseorang dikategorikan unggul.

Dengan demikian kualitas perilaku seseorang adalah merupakan manifestasi dari kombinasi sinergis antara kemampuan pada aspek kognisi, afeksi, dan psikomotor, dan arti penting dari kompetensi melestarikan yaitu sebagai dasar kemampuan petani tepi hutan untuk dapat melakukan pelestarian hutan dan pertanian konservasi yang benar.

Kompetensi Melestarikan yang Perlu Dikuasai Petani Hutan

Besarnya kebutuhan dan pertambahan penduduk, mengakibatkan lahan hutan lindung menjadi pilihan untuk melakukan usaha taninya. Usaha tani di kawasan hutan lindung bila tidak dilakukan dengan benar akan berakibat menurunnya fungsi hutan. Oleh karena itu upaya untuk menjaga dan memulihkan fungsi hutan diperlukan kemampuan tertentu petani tepi hutan dalam mengelola dan memanfaatkan lahan.

Maydell (1988:133) menyatakan bahwa kemampuan petani tepi hutan dengan pengalamannya mengelola lahan untuk bertahan hidup, pada dasarnya adalah cikal-bakal dari sistem keletarian yang bertanggungjawab. Kemampuan dan kecakapan mengelola lahan tidak terlepas dari ketrampilan teknis yang dikuasai sehingga mampu menjawab kepentingan petani tepi hutan dalam jangka pendek dan jangka panjang,

Lebih lanjut Meydell (1988:134) menyatakan bahwa bentuk potensial tata guna tanah terpadu untuk jangka panjang menjadikan petani agar memiliki kemampuan dalam hal: 1) melakukan pencegahan bahaya longsor, dan erosi, 2) konservasi atau menerapkan teknik-teknik tata guna tanah ganda, 3) mengolah lahan garapan baru tanpa merusak sumber daya yang ada, 4) memperbaki sistem suplai bagi penduduk dalam hal


(58)

ketersediaan bahan pangan, dan 5) mampu membina kemandirian petani dan lahan melalui perbaikan daur secara alamiah.

Sedangkan hasil penelitian Sudaryanto (1998:100-101) menyatakan bahwa upaya pelestarian hutan tidak terlepas dari peningkatan kemampuan pada petani meliputi: 1) aspek sosial-ekonomi dan budaya, 2) aspek teknis, dan 3) aspek kelembagaan.

Adanya kekhawatiran bahwa petani tepi hutan tidak mampu beradaptasi secara positif dan cepat terhadap banyaknya perubahan yang mereka hadapi akan menghambat kemampuan petani dalam melestarikan (Ritchie et al., 2001:9). Kekhawatiran ini dapat terjadi bilamana kompetansi petani dalam melestarikan masih kurang. Adanya perubahan sistem pengelolaan lahan agar mampu menjaga kelestarian serta menjamin ekonomi keluarga, menuntut kemampuan petani untuk belajar menyesuaikan terhadap perubahan tersebut. Pambudy dan Andryono (2002:74) memilahkan ciri petani sub-sisten dengan petani komercial sebagai berikut:

Tabel 4. Ciri Petani Sub-Sisten dan Petani Komersial dalam Berusahatani. No Ciri - Ciri Petani Sub-Sisten Petani Komersial

1 Prinsip hidup Mendahulukan selamat

( pesimistis)

Mendahulukan pada keuntungan (optimistis) 2 Kebergantungan

dengan alam

Sangat tergantung dengan alam

Memanfaatkan alam dan mengendalikan alam 3 Penggunaan

sumberdaya alam

Usahatani untuk sekarang Usahatani yang berkelanjutan

4 Bentuk usahatani Usahatani keluarga Usahatani kooperatif

5 Sikap terhadap

adanya ide baru

Cenderung bertahan yang lama

Tanggap (responsif) terhadap ide yang baru

6 Keterbukaan terhadap

hubungan luar

Terbuka hanya pada batas tertentu

Terbuka (informatif)

7 Perencanaan dalam

berusaha tani

Menggunakan pengalaman dan tradisi

Usaha secara berencana

8 Orientasi usahatani Kebutuhan keluarga Permintaan pasar

9 Kegunaan hasil

berusahatani

Kehidupan yang harmonis Pemupukan modal usaha.


(59)

Berkaitan dengan hal tersebut Mosher, (1978:34) menyatakan bahwa petani dalam menjalankan usaha taninya, pada dasarnya mempunyai dua peran yakni sebagai juru tani (cultivator) dan sekaligus sebagai pengelola (manager).

Peran petani sebagai juru tani menuntut kemampuan teknis petani tepi hutan dalam menentukan tindakan-tindakan yang tepat dalam melakukan konservasi lahan untuk mendukung kelestarian, seperti kemampuan menentukan jenis teras yang digunakan berkaitan dengan kemiringan lahan, serta jenis tanaman yang cocok. Sedangkan kemampuan manajerial dari petani tepi hutan merupakan kemampuan atau kecakapan dalam hal mengatur, mengelola dan menentukan prioritas dalam ekonomi rumah tangga dan jenis serta pola tanam yang akan dilaksanakan di lahannya. Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan kompetensi petani pelestari hutan adalah kemampuan dan rasa tanggungjawab petani tepi hutan secara teknis, dan manajerial yang meliputi aspek sosial budaya-ekonomi.

Kompetensi teknis sebagai jurutani berkaitan dengan ketrampilan dalam melakukan budidaya ”wanatani” atau agroforestri, penerapan prinsip-prinsip silvikultur dan pertanian konservasi dan kompetensi sosial budaya berkaitan dengan kemampuan dalam memahami kebijakan pemerintah, adat istiadat/ kebiasaan, keterbukaan, kelembagaan, partisipasi, suku dan agama.

Sedangkan kompetensi manajerial yang meliputi sosial ekonomi berkaitan dengan trampil mengelola keuangan, memperkirakan biaya produksi, dan berusaha berinvestasi. Dengan demikian faktor sosial ekonomi terkait dengan jenis mata pencaharian, pendapatan, jumlah anggota keluarga, luas lahan, kepemilikan lahan dan tata niaga.


(60)

Kompetensi Teknis Petani Tepi Hutan sebagai Jurutani

Kompetensi teknis yang harus dikuasai petani sebagai juru tani adalah berupa ketrampilan dalam memelihara tanaman, mengelola lahan guna mendapatkan hasil yang mampu meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Juru tani pada tanaman, maka kemampuan yang harus dimiliki petani berupa: 1) menyiapkan persemaian, 2) penyebaran benih, 3) penyiangan, 4) mengatur kelembaban tanah, dan 5) melindungi dari hama dan penyakit (Mosher, 1978:35).

Selain itu, petani sebagai juru tani juga diharapkan menentukan tindakan yang tepat dalam melakukan konservasi lahan untuk mendukung kelestarian, seperti kemampuan menentukan jenis teras yang digunakan berkaitan dengan kemiringan lahan, serta jenis tanaman yang cocok. Kemampuan teknis petani dalam mengelola lahan tidak terlepas dari skill yang dikuasai petani ( Andayani, 2002:4).

Kemampuan dalam hal mengelola lahan pertanian sangatlah menentukan kelestarian baik dari tanah maupun produksi dan kelestarian tanah dapat terjaga melalui sistem pertanian konservasi. Menurut Bennet dalam (Sinukaban, 1989:2) menyatakan bahwa konservasi tanah difokuskan pada proses yang berkaitan dengan erosi secara fisik terhadap lahan, vegetasi dan pertanian yang menyangkut aspek ekonomi, sosial dan kesejahteraan.

Lebih lanjut Sinukaban (1989:7) menegaskan bahwa ada dua prinsip kegiatan konservasi tanah yaitu berupa melindungi/ mencegah tanah supaya tanah tidak rusak secara fisik karena erosi atau secara kimia karena kehilangan kesuburan, baik akibat alam maupun kegiatan manusia. Kedua, memelihara tanah supaya tidak menurun kualitas


(61)

produktivitasnya baik karena alam atau kegiatan manusia melalui kombinasi metode pengelolaan dan penggunaan tanah yang tepat.

Dinyatakan pula bahwa kendala yang menyebabkan rendahnya produksi terkait dengan ketidakcocokan lahan untuk ditanami, buruknya sifat tanah, rendahnya kesuburan tanah, laju erosi, dan buruknya drainase. Untuk dapat memperbaiki itu semua dibutuhkan kemampuan teknis petani dalam hal konservasi tanah (Sinukaban, 1989:14).

Sedangkan kemampuan manajerial dari petani tepi hutan didefinisikan sebagai kemampuan dalam hal mengatur, mengelola dan menentukan prioritas termasuk didalamnya ekonomi rumah tangga, usaha, jenis dan pola tanam yang akan dilaksanakan.

Petani dalam mengelola lahan berusaha melakukan dengan tepat seperti menentukan kualitas dan jenis bibit tanaman berkayu serta hortikultura yang akan ditanam (Aryani, 2002:3). Selain itu Wulandari (1999:13) berpendapat bahwa petani juga dituntut untuk mampu mengoptimalkan fungsi dan pemanfaatan lahannya untuk mencukupi kebutuhannya melalui teknik agroforestri atau wanatani.

Salikin (2003:1) menyatakan bahwa dalam sistem budaya pertanian, termasuk didalamnya budaya kehutanan tidak boleh menyimpang dari sistem ekologis yang ada agar dapat memicu produktivitas yang berjangka panjang.

Untuk mengkaji kompetensi teknis petani tepi hutan melalui pendekatan-pendekatan analogi dengan mempelajari pengalaman-pengalaman, budaya malakukan dalam wanatani, serta mencermati kesesuaian dalam bercocok tanam melalui prinsip silvikultur maupun pertanian konservasi, maka petani tepi hutan yang trampil dalam melestarikan adalah petani yang mampu mengkobinasikan kegiatan pertanian konservasi dan trampil dalam budidaya tanaman hutan.


(1)

LAMPIRAN 4


(2)

(3)

y = -0.0088x + 73.555 R2 = 0.0012

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 20 40 60 80 100 120

Proporsi Pendapatan Tani

As p e k So se k

Prop pendapatan non tani Linear (Prop pendapatan non tani)

Keterangan:

-

Ojek

-

Warung

-

Buruh

-

Tukang


(4)

y = 0.0088x + 72.674 R2 = 0.0012

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 20 40 60 80 100 120

Proporsi Pendapatan Tani

As p e k So se k

Prop pendapatan tani Linear (Prop pendapatan tani)

PROPORSI PENDAPATAN USAHA TANI

Keterangan:

-

Kopi

-

Coklat

-

Pisang

-

Petai

-

Jagung


(5)

y = 0.5863x + 71.907 R2 = 0.0033

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

KLASIFIKASI PENDAPATAN PETANI

Rendah

Sedang

Tinggi


(6)