Komersialisasi Seni dan Budaya Pemanfaatan Lingkungan Hidup

hanya untuk mencari keuntungan secara ekonomi dan pada tata pergaulan masyarakat yang juga berubah terutama bagi anak muda.

IV.2.1. Komersialisasi Seni dan Budaya

Penggalian seni dan budaya lama dalam menghidupkan kepariwisataan sering dipandang sebagai komersialisasi seni budaya tersebut dimanfaatkan untuk mengejar nilai ekonomi. Faktor ekonomi adalah sebagai salah satu alas an dalam pengembangan sebuah daerah tujuan wisata, oleh salah sebab itu seni budaya tersebut harus diangkat menjadi sebuah daya tarik wisata. Komersialisasi seni budaya yang dimaksud adalah menyajikan suatu kesenian tradisional yang tidak dilakukan seperti yang biasa hidup di masyarakat. 25 Sebagai contoh komersialisasi seni budaya di tempat objek wisata sembahe terlihat dengan sering dilakukannya pagelaran budaya pada hari – hari besar disepanjang tahun 1970 – 1980, seperti pada hari peringatan kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus dan hari – hari besar lainnya. Hal ini telah dilakukan karena tujuan utamanya adalah memberikan kebutuhan wisatawan tanpa menghiraukan makna dan nilai dari seni tradisional tersebut. Pergeseran nilai seni budaya yang terlihat adalah karena adanya saling membutuhkan dalam sebuah industry pariwisata di daerah tujuan wisata Sembahe.Pagelaran seni budaya yang dulunya dilakukan karena motivasi tradisi untuk memperkenalkan sekaligus sebagai daya tarik bagi wisatawan atau 25 Nyoman S. Pendit. Op. Cit. hal. 102 Universitas Sumatera Utara pengunjung.Akibat dari motivasi ini maka makna yang lebih biasa di lakukan menjadi terkikis akibat dari hubungan antara masyarakat dan wisatawan yang berbeda prinsip antara nasional dan tradisional. Dengan kata lain manusia mulai memisahkan diri secara mental dari alam budayaaslinya, dan dapat memecah pandangan hidup kuno oleh karena mereka menemukan faktor yang baru, akan tetapi penemuan itu merupakan pemberontakan terhadap tata tertib suci yang tradisional.

IV.2.2. Pemanfaatan Lingkungan Hidup

Wisatawan yang mempunyai tujuan rekreasi, menginginkan suatu daerah yang menimbulkan suatu suasana baru lepas dari kebisingan kehidupan sehari – hari.Daerah yang diinginkan adalah suatu daerah yang terang, pemandangan aslinya yang nyaman untuk keperluan istirahat.Biasanya daerah ini berupa daerah pantai, gunung – gunung, pedesaan, hutan – hutan, ladang – ladang. Gairah wisatawan yang demikian justru mendorong pemeliharaan lingkungan alam, sebab apabila daerah tujuan wisata tersebut rusak atau tidak dipelihara maka wisatawan tidak akan datang karena kebutuhannya tidak terpenuhi. Oleh karena itu sebenarnya pemeliharaan lingkungan harus sejalan dengan perkembangan pariwisata karena hal ini merupakan syarat mutlak dan dapat saling membantu. 26 Perkembangan pariwisata dapat menimbulkan masalah – masalah terhadap kerusakan lingkungan hidup, misalnya polusi air, kekurangan air, keramaian lalu 26 Ibid Hal. 87 Universitas Sumatera Utara lintas, dan kerusakan pemandangan yang dari tradisional.Hal ini mengurangi kwalitas hidup dari masyarakat setempat serta wisatawan dan pada jangka panjang mengancam kelangsungan daerah industri wisata itu sendiri. 27 Sebaiknya dalam pengelolaan lingkungan perlu dipelajari betul – betul sifat dan gejala alam secara rinci hingga analisis masalah dampak lingkungannya dapat dilaksanakan dengan baik, benar, dan tepat guna, untuk menghindari kemungkinan terjadinya masalah dalam pemamfaatan lingkungan hidup. 28 Industri kepariwisataan sembahe telah membawa masyarakat kepada pengelolaan potensi alam yang selama ini terlantar dengan keindahannya ditata secara rapi demi mendukung daerah ini sebagai daerah tujuan wisata.Atas dasar inisiatif sadar lingkungan ini, maka semua pihak yang terlibat dalam bisnis kepariwisataan turut berusaha membenahi lingkungan hidup. Adapun pembenahan lingkungan hidup meliputi : 1. Penataan dengan baik lokasi khusus bagi wisatawan dengan berbagai fasilitas seperti penginapan, tempat pemandian, dan tempat bersantai. 2. Di lokasi wisata telah dilaksanakan pelarangan ternak – ternak yang berkeliaran, pelarangan bagi masyarakat untuk membuang sampah sembarangan dan menyediakan tempat sampah, hal ini bertujuan untuk menjaga kebebasan kebersihan tempat wisata 27 pillane, James J,1993. Pariwisata Indonesia : Sosial Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta; Kansius, Hal. 60 28 Muktar Madjid, Op.Cit, hal 16 Universitas Sumatera Utara 3. Pelarangan penebangan dan pembakaran hutan secara sembarangan di daerah pegunungan 4. Penanaman kembali hutan yang gundul dan penanaman pohon di sepanjang jalan agar suasana asri dan sejuk. 29 Semua hal di atas telah menjadi perhatian utama sebagai pemanfaatan lingkungan di daerah objek wisata Sembahe.Namun setelah lingkungan hidup itu dikelola untuk kepentingan kepariwisataan tidak justru membawa permasalahan yang baru, seperti permasalahan terhadap lingkungan akibat tidak adanya analisis masalah dampak lingkungan. Penananman kembali hutan yang telah gundul disekitar daerah aliran sungai Sembahe, ternyata pohon yang dipilih untuk ditanam kembali adalah pohon pinus. Seperti yang telah diketahui salah satu tujuan penghijauan kembali hutan yang telah gundul untuk menjaga kesejukan iklim di Sembahe dan menjaga stabilitas air sungai. Pembangunan motel – motel yang pertama dilakukan dengan membabat hutan dan menebang pepehonan yang ada di pinggiran sungai Sembahe. Hutan yang selama ini menjaga keseimbangan lingkungan alam menjadi hilang akibat ditebangai hanya untuk mendapatkan lokasi penginapan tanpa memperdulikan dampak yang akan timbul dikemudian hari. Selain itu kesadaran masyarakat dan wisatawan untuk menjaga kebersihan lingkungan masih belum tampak, terbukti masyarakat dan para wisatawan itu masih banyak membuang sampah ke sungai, akibatnya sungai menjadi 29 Wawancara dengan Elti Sembiring tanggal 21 Oktober 2012 Universitas Sumatera Utara tercemar, padahal daya tarik utama wisatawan adalah sungai untuk datang ke Sembahe. Bagaimana biasanya dalam pengelolaan lingkungan berbenturan dengan nilai budaya lokal mengingat sebagian daerah Sembahe adalah tanah adat, dimana dalam kepemilikan tanah tersebut adalah milik bersama.Disini terjadi 2 pandangan berbeda antara masyarakat yang tinggal di daerah dengan masyarakat yang berada di perantauan. Pada umumnya mereka yang tinggal di daerah melihat tanah adat sebaiknya dijual saja dan hasil penjualan mereka dibagi rata untuk modal usaha, tetapi para perantau menganggap bila tanah adat itu dijual maka akan mengamburkan nilai adat karena tanah adat merupakan warisan nenek moyang yang seharusnya harus dijaga keberadaanya. Biasanya masalah – masalah seperti ini akan diselesaikan di meja rapat antara masyarakat adat dengan pihak investor dan solusinya investor membeli tanah dengan harga yang pantas dan anggota masyarakat akan dipekerjakan di perusahaan tersebut. Cotoh restoran Sembahe yang ada di Sembahe yang membeli tanah masyarakat dan yang menjadi pegawai restoran tersebut adalah sebagian masyarakat setempat. 30

IV.2.3 Pergaulan Masyarakat