Efek Penambahan Na2O Terhadap Proses Sintering, Sifat Fisis, dan Sifat Magnet BaFe12O19

(1)

1. Bahan

Serbuk BaFe12O19 Serbuk NaHCO3

Polimer Celuna WE –518 Toluene


(2)

2. Peralatan

Hand Mortar Thermolyne

Ball Mill Oven


(3)

Magnetizer Jangka Sorong

Spatula Beaker gelas


(4)

LAMPIRAN 2

Perhitungan

1.1 Perhitungan massa NaHCo3

Dimana : Mr NaHCo3 = 84,01 mol Massa atom Na2 = 23 Massa atom O = 16 Massa Total 100 gram Maka :

Variasi Na2O 0%, 1%, 2%, dan 3% 1. Untuk variasi Na2O 1 % yaitu:

% Berat BaFe12O19 = 99 g % Berat Na2O = 1 g

= 100 g Na2O = = 0,01613 mol

= =

= 0,01613 mol 2 NaHCo3 Na2O + H2O + Co2

2 x 0,01613 = 0,03226 x 84,01 = 2,7101 g

2. Untuk variasi Na2O 2 % yaitu: % Berat BaFe12O19 = 98 g % Berat Na2O = 2 g

= 100 g Na2O = = 0,03225 mol

= =


(5)

2 x 0,03225 = 0,0645 x 84,01 = 5,4186 g 3. Untuk variasi Na2O 3 % yaitu:

% Berat BaFe12O19 = 97 g % Berat Na2O = 3 g +

= 100 g Na2O = = 0,04838 mol

= =

= 0,04838 mol 2 NaHCo3 Na2O + H2O + Co2

2 x 0,04838 = 0,09676 x 84,01 = 8,1288 g

1.2 Perhitungan Densitas Sampel

1. Perhitungan densitas sampel barium heksaferit dengan Na2O 0% pada suhu sintering 1100oC

Untuk sampel 1

Diketahui : d = 1,725 cm d = 1,709 cm t = 0,435 cm t = 0,426 cm m = 3,82 gr m = 3,81 gr Ditanya : ρ …?

Penyelesaian : V = . d2.t ρ =

= . (1,725)2.0,435 =

= 0,785 . 2,975 . 0,435 = 3,76 gr/cm3 = 1,016 cm3


(6)

Diketahui : d = 1,709 cm t = 0,426 cm m = 3,81 gr Ditanya : ρ …?

Penyelesaian : V = . d2.t ρ =

= . (1,709)2.0,426 =

= 0,785 . 2,920 . 0,426 = 3,90 gr/cm3 = 0,976 cm3

Maka ρ rata-rata =

= 3,8315 gr/cm3

1.3 Perhitungan Susut Bakar

1. Perhitungan susut bakar sampel barium heksaferit dengan Na2O 0% pada suhu sintering 1100oC

Untuk sampel 1

Diketahui : d = 1,725 cm

do = 1,874 cm

Ditanya : susut bakar …?

Penyelesaian : susut bakar = . 100%

= .100%

= 7,9 %

Untuk sampel 2

Diketahui : d = 1,709 cm t = 1,874 cm Ditanya : susut bakar …?


(7)

= 8,8 % Susut bakar rata-rata =

=

= 8,35% 1.4 Perhitungan Porositas Sampel

1. Perhitungan porositas sampel barium heksaferit dengan Na2O 0% pada suhu sintering 1100oC

Diketahui : m1 = 3,80 gr m2 = 3,92 gr Ditanya : porositas …?

Penyelesaian : porositas = . 100%

= .100%

= 3,1 % 1.5 Perhitungan True Density Sampel

1. Perhitungan true density sampel barium heksaferit dengan Na2O 0% pada suhu sintering 1100oC

Diketahui : m1 = 14,09 gr m3 = 14,59 gr m2 = 23,80 gr m4 = 24,17 Ditanya : ρ s…?

Penyelesaian : ρ s =

.

ρair

=

.

1


(8)

LAMPIRAN 3

Data Percobaan

Data pengukuran densitas dan porositas

1. Data pengukuran true density dari sampel dengan variasi komposisi Na2O Komposisi Na2O

(% wt)

True Density (g/cm3)

0 3,84

1 3,84

2 3,84

3 3,84

2. Data pengukuran bulk density dari sampel dengan variasi komposisi Na2O dan variasi suhu sintering

Suhu Sintering (oC)

Bulk Density (g/cm3) Komposisi Na2O (%)

0 1 2 3

1100 3,83 3,84 3,86 3,88

1150 4,03 3,79 3,68 3,65

1200 4,31 3,65 3,6 3,5

1250 4,40 3,62 3,5 3,48

1300 4,50 3,43 3,43 3,40

3. Data pengukuran susut bakar dari sampel dengan variasi komposisi Na2O dan variasi suhu sintering

Susut Bakar ( % )

Suhu Sintering 0 % 1 % 2 % 3 %

1100 oC 8,4 11,5 11,8 11,8

1150 oC 10,9 11,5 11,4 10,8

1200 oC 12 12 12 11,6

1250 oC 12,8 11,7 11,5 9,7


(9)

Porositas ( % )

Suhu sintering 0 % 1 % 2 % 3 %

1100 oC 3,1 1 1 0.8

1150 oC 2,1 1,3 1,2 1,2

1200 oC 1,6 1,5 1,5 1,5

1250 oC 1,5 1,6 1,6 1.6

1300 oC 0.7 2 2,3 2.5

5. Data pengukuran fluks density magnetic dari sampel dengan variasi komposisi Na2O dan variasi suhu sintering

Kuat Medan Magnet ( G ) Suhu Sintering

( oC )

Komposisi 0%

Komposisi 1%

Komposisi 2%

Komposisi 3%

1100 509,5 518,5 520,8 526,9

1150 531,2 524,2 514,4 482,2

1200 560,0 548,2 517,1 458,4

1250 548,1 526,1 477,7 369,4

1300 547,6 455,8 339,6 315,7

Grafik pada percobaan

1. Grafik pengukuran bulk density dari sampel dengan variasi komposisi Na2O dan variasi suhu sintering


(10)

2. Grafik pengukuran susut bakar dari sampel dengan variasi komposisi Na2O dan variasi suhu sintering

3. Grafik pengukuran porositas dari sampel dengan variasi komposisi Na2O dan variasi suhu sintering

4. Grafik pengukuran fluks density magnetic dari sampel dengan variasi komposisi Na2O dan variasi suhu sintering


(11)

2. Pola difraksi sinar- x sampel BaFe12O19 dengan aditif 1% Na2O dan disintering 1200°C


(12)

3. Pola difraksi sinar- x sampel BaFe12O19 dengan aditif 2% Na2O dan disintering 1200°C

4. Pola difraksi sinar- x sampel BaFe12O19 dengan aditif 3% Na2O dan disintering 1200°C


(13)

2. Grafik Hasil Pengujian Vsm BaFe12O19 dengan penambahan Komposisi Na2O 1 %wt


(14)

3. Grafik Hasil Pengujian Vsm BaFe12O19 dengan penambahan Komposisi Na2O 3%wt


(15)

Afza, Erini. 2011. Pembuatan Magnet Permanen Ba-Hexa Ferrite (BaO.6Fe2O3) dengan Metode Koopresipitasi dan Karakterisasinya. Universitas Sumatera Utara.

Angelo P.C. and Subramanian R. 2008. Powder Metallurgy: Science,

Technology and Applications. Prentice Hall India : New Delhi.

Candra Kurniawan, Thomas, Perdamean Sebayang. 2011. Analisis Ukuran Partikel Menggunakan Free Sofware Image j , Jurnal Seminar Nasional Fisika ISSN 2088-4176. Pusat Penelitian Fisika- LIPI. Tangerang.

Ginting, Delovita. 2015. Efek Penambahan Boron Terhadap Mikrostruktur, Sifat Fisis, Dan Magnetik Barium Heksaferit. Universitas Sumatera Utara. Ginting, Masno. dkk. 2006. Pembuatan Magnet Permanen Isotropic Berbasis

NdFe-B dan Karakterisasinya. Teknologi Indonesia. Vol 29.

Harris, J. R. 2002. Mathematical modelling of mechanical alloying. Doctoral dissertation, University of Nottingham.

Jiles, D. C. 1998. Introduction to magnetism and magnetic materials. CRC Press. 95-105

Kim, Seong H., Christopher M. Lee, and Kabindra Kafle. "Characterization of crystalline cellulose in biomass: (2013): Basic principles, applications, and limitations of XRD, NMR, IR, Raman, and SFG." Korean Journal of

Chemical Engineering 30.12 2127-2141.

Mujiman. 2004. Sintesis Dan Karekterisasi Keramik Alumina (Al2O3) Terhadap Aditif Titania (TiO2) Heksaferit (Studi kasus di Lembaga Ilmu penelitian Indonesia, Jakarta). [Skripsi]. Lampung : Universitas Lampung Bandar Lampung, Program Sarjana S-1

Nayiroh, nurun. 2013. metalurgi serbuk. Diakses 14-02-2016 http://blog.uin-malang.ac.id/nurun/files/2013/03/METALURGISERBUK.pdf

Özgür, Ümit, Yahya Alivov, and Hadis Morkoç. 2009 "Microwave ferrites, part 1: fundamental properties Journal of Materials Science : Materials in


(16)

Priyono., Yuli Astanto., Happy Traningsih., & Ainie Khuriati R.S. 2004. Efek Aditive Al2O3 terhadap Struktur dan Sifat Fisis Magnet Permanen BaO.6(Fe2O3). Jurnal Berkala Fisika, Vol.7, No.2, April 2004. hal 69-73.

Ridwan,Grace Tj. Sulungbudi danMujamilah. 2012. Pengaruh Aditif Bi2o3 Terhadap Strukturmikro Dan Sifat Magnet Barium Heksaferit. Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) –BATAN

Sardjono, P W.A. Adi, P. Sebayang dan Muljadi. 2012, Analisis Fasa dan Sifat Magnetik pada Komposit BaFe12O19/Nd2Fe14B Hasil Mechanical Milling, Jurnal Sains Materi Indonesia, Vol.13, No.2, 2012.

Setia N, Henni. 2015. Pengaruh Komposisi Fe2O3 Terhadap Sifat Fisis, Mikrostruktur Dan Magnet Dari Barium Heksaferit. Universitas Sumatera Utara

Simbolon, Silviana. 2012. Sintesis Dan Karakterisasi Barium M-Heksaferit Dengan Doping Ion Mn Dan Temperatur Sintering. Universitas Sumatera Utara. Spaldin, N. A. 2010. Magnetic materials : fundamentals and applications. Cambridge

University Press. Pages 1-16

Tippler, Paul A. 1991. Fisika Untuk Sains dan Tehnik. Edisi Ketiga. Jilid 2. Erlangga : Jakarta

Vidyawathi, S. S.; Amaresh, R.; Satapathy, L. N. 2002. Effect of boric acid sintering aid on densification of barium ferrite. Bull. Mater. Sci, 25.6: 569- 572.

Vlack, Lawrence H. Van. 1984. Elements of Materials Science and Engineering. 5th Edition. Erlangga. Jakarta. 553-554.

Yulianto, A. 2013. Aplikasi Low Density Polyethylene (Ldpe) Pada Pembuatan Magnet Ferrite Komposit. Unnes Physics Journal, 2(2).

Ray, zailani. 2014. Hubungan Antara Ukuran Partikel Pada Pembuatan Bonded Permanen Magnet Nd-Fe-B Terhadap Struktur Mikro Dan Sifat Magnet. Universitas sumatera utara.


(17)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Pusat Penelitian Pengembangan Fisika (P2F) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) PUSPIPTEK, Serpong.

3.1.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini di mulai pada 01 Februari 2016 sampai dengan 03 Mei 2016.

3.2 Bahan dan Alat: 3.2.1 Bahan

Bahan –bahan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah : a. Serbuk BaFe12O19

Sebagai bahan baku untuk membuat magnet permanen. b. Serbuk NaHCO3

Sebagai bahan additive. c. Toluene

Berfungsi sebagai bahan campuran dalam proses milling. d. Polimer Celuna WE –518

Berfungsi sebagai perekat matriks bahan magnet .

3.2.2 Alat

Alat –alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Neraca Digital

Berfungsi untuk menimbang bahan-bahan yang akan digunakan dalam pembuatan magnet.

b. Gelas ukur

Berfungsi untuk mengukur volume dari bahan baku. c. Spatula


(18)

22

d. Ball Mill

Berfungsi untuk menggiling campuran bahan baku sehingga relatif lebih homogen.

e. Bola-bola besi

Berfungsi sebagai pengaduk bahan pada saat proses milling agar homogen. f. Oven

Berfungsi untuk mengeringkan serbuk campuran. g. Cetakan sample terbuat dari besi

Berfungsi sebagai tempat untuk mencetak sampel. h. Hand Mortar

Berfungsi sebagai alat bantu penghancuran serbuk sehingga menjadi butiran kecil.

i. Jangka Sorong

Berfungsi untuk mengukur diameter dan tebal sampel.

j. Thermolyne Furnace High Temperature tipe 46200

Berfungsi untuk mensintering dengan temperatur 11000C -13000C.

k. Hydraulic press (Hidraulic Jack)

Berfungsi untuk menekan pada proses cold compaction sampel yang telah dimasukkan kedalam cetakan dengan kekuatan tekanan tertentu dengan kapasitas maksimum tekanan 100kgf/cm2.

l. XRD (X-Ray Diffraction)

Berfungsi untuk mengetahui struktur kristal dari sampel. m. Gaussmeter

Berfungsi sebagai alat untuk mengukur besarnya medan magnet (flux density) sampel.

n. Magnetizer

Berfungsi untuk memberikan medan magnetik luar pada sampel agar memiliki magnet .


(19)

3.3 Variabel Eksperimen 3.3.1 Variabel Penelitian

Variabel dari penelitian ini adalah suhu sintering yang mulai dari suhu 1100 oC, 1150

o

C, 1200 oC, 1250 oC dan 1300oC dengan waktu tahan (holding time) selama

1 jam.

3.3.2 Variabel percobaan yang akan di uji

Variabel yang akan digunakan dalam percobaan ini adalah : a. Sifat Fisis

- Densitas (Density). - Porositas (Porosity). b. Analisa Struktur Kristal

- XRD (X-Ray Diffraction). c. Sifat Magnet

- Fluks Magnetik. - Kurva Histerisis.


(20)

3.4 Diagram Alir Penelitian

Ditimbang Serbuk BaFe12O19

24

Ditimbang Serbuk NaHCO3

Pencampuran dengan menggunakan Hand Mortar

Serbuk (ɸ= 80 mikron)

Kalsinasi (1000oC selama 1 jam)

Media

Milling Menggunakan Ball Mill Selama 1 jam

Toluene

Pengeringan dalam oven (80-90oC)

Serbuk Halus (ɸ= 40 mikron) Polimer Celuna

Pencetakan WE –518 ( 3% wt)

Sintering dengan suhu 1100 oC –1300 oC

Karakterisasi Sifat Fisis ( Densitas dan Porositas ) dan XRD

Magnetisasi

Karakterisasi Sifat Magnet ( Fluks Magnetik dan Kurva Histerisis)

Data


(21)

3.5 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan meliputi : preparasi serbuk, pencampuran dengan menggunakan hand mortar sampai menjadi butiran halus, kalsinasi, milling dengan menggunakan ball mill, pencetakan, proses sintering, magnetisasi, dan pengukuran karakterisasi bahan.

3.5.1. Pencampuran bahan baku

3.5.1.1 Preparasi Serbuk Barium Heksaferit ( BaFe12O19 ) dan NaHCO3 Pada penelitian ini akan dilihat pengaruh aditif terhadap proses sintering, sifat fisis dan sifat magnet BaFe12O19 dengan variasi 0%, 1%, 2%, dan 3% berat. Dimana penelitian yang dilakukan sampai serbuk menjadi pelet.

Adapun langkah-langkah preparasi sampel adalah sebagai berikut :

1. Dilakukan perhitungan massa NaHCO3 (perhitungan lihat pada lampiran 2) dan sesuai perbandingan massa yang diinginkan. Massa total yang akan dimilling 100 gram. Berikut ini adalah Tabelnya :

Tabel 3.1 Komposisi Bahan baku BaFe12O19 : NaHCO3

Kode % berat % berat Massa (g) Massa (g) Sampel BaFe12O19 Na2O BaFe12O19 NaHCO3

A 100 0 100 0

B 99 1 99 2,7101

C 98 2 98 5,4186

D 97 3 97 8,1288

2. Setelah masing-masing bahan ditimbang, maka selanjutnya akan dilakukan proses pencampuran kedua bahan tersebut dengan menggunakan Hand Mortar sampai menjadi butiran halus.

3.5.2. Proses Kalsinasi

Tahap selanjutnya adalah kalsinasi yang dilakukan pada temperatur 10000C selama 1 jam. Tujuan dari kalsinasi ini untuk menguraikan senyawa-senyawa dalam bentuk garam atau dihidrat menjadi oksida dan membentuk fasa kristalin.


(22)

26

3.5.3.Proses Milling

Untuk membuat magnet Barium Heksaferit disediakan bahan baku yang dibutuhkan yaitu serbuk Barium Heksaferrite dan serbuk Na2O. Bahan baku tersebut kemudian di milling dengan menggunakan ball mill. Prosedur kerja untuk melakukan proses milling serbuk ini adalah :

1.Bola-bola milling dan wadahnya dicuci menggunakan sabun dan pasir kemudian dikeringkan.

2.Serbuk yang telah ditimbang dimasukkan kedalam wadah beserta bola bola milling.

3.Memasukkan toluene secukupnya hingga menggenangi semua bahan. 4.Mencampur semua bahan dengan alat mixing selama 1 jam.

3.5.4Proses Pencetakan

Pembuatan sampel uji dilakukan dengan cara dry Pressing ( cetak kering). Proses pembentukan sampel dengan penekanan (dry pressing) ini dengan tambahan Celuna WE- 518 sebagai bahan perekat yang dicampurkan sebanyak 3%wt. Sebelum sampel dimasukkan ke dalam cetakan, dinding cetakan terlebih dahulu dilapisi (diolesi) dengan pelumas agar mempermudah proses kompaksi (penekanan). Serbuk campuran diletakkan dalam cetakan berdiameter 10 mm. Serbuk magnet telah dicampur dengan Celuna WE-518 3%wt dimasukkan ke dalam cetakan dan dilakukan penekanan dengan magnetic field press ditahan selama 2 menit kemudian dilakukan penekanan (kompaksi) dengan hydraulic

press kapasitas 8 ton.

3.5.5 Proses Sintering

Proses sintering pada magnet keramik BaFe12O19 dilakukan dengan cara pemanasan sampel dalam tungku listrik (furnace) pada suhu 1100oC, 1150oC, 1200oC, 1250oC, 1300oC dengan variasi Na2O yaitu 0%, 1%, 2%, dan 3 % yang ditahan selama 1 jam. Sintering dapat meningkatkan kekuatan sampel karena terjadinya pertumbuhan butiran dan butir butir tersebut melebur menjadi satu. Langkah-langkah untuk melakukan proses sintering adalah sebagai berikut :


(23)

2.Memasukkan sampel ke dalam tungku pembakaran dengan menggunakan bata tahan panas.

3. Memutar saklar pada posisi “ON” unt

4.Mengatur suhu pembakaran yang diinginkan dan pada puncaknya ditahan selama 1 jam.

5.Mematikan tungku setelah proses sintering selesai. 6.Mengeluarkan sampel dari tungku pembakaran.

3.5.6 Magnetisasi

Magnetisasi dilakukan dengan alat yang disebut dengan Magnetizer, fungsinya untuk memberikan medan magnetik pada sampel (magnetisasi) dengan tegangan 1200 volt.

3.6 Karakterisasi Hasil

Setelah semua treatment telah dilakukan maka dilanjutkan dengan karakterisasi. Adapun karakterisasi yang dilakukan adalah densitas, porositas, analisa XRD, pengukuran fluks density dengan Gausmeter, Kurva Histerisis dengan VSM (Vibrating Sample Magnetometer).

3.6.1 Uji Densitas 3.6.1.1 Bulk Density

Bulk density merupakan densitas sampel yang berdasarkan volume sampel

termasuk dengan rongga atau pori. Pengujian bulk density dilakukan dengan metode perhitungan langsung yaitu dengan mencari massa dan volume dari masing –masing sampel. Prosedur kerja untuk menentukan besarnya bulk density (gr/cm3 ) suatu sampel berbentuk pelet adalah sebagai berikut :

1.Menyiapkan sampel.

2.Mengukur diameter dan tebal sampel dengan menggunakan jangka sorong.

3.Menimbang massa sampel 4.Mencari volume dari sampel


(24)

28

3.6.2 Porositas

Porositas didefenisikan sebagai banyaknya lubang atau pori yang terdapat dalam suatu sampel yang telah selesai dibuat. Pengujian ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Langkah kerja untuk menentukan besarnya porositas (%) suatu sampel yaitu:

1.Disiapkan sampel, aquades, gelas beaker.

2.Ditimbang sampel terlebih dahulu untuk menentukan massa kering (m1). 3.Diletakkan sampel kedalam gelas beaker.

4.Dituangkan aquades kedalam gelas beaker yang berisi sampel. 5.Direndam selama 24 jam.

6.Sampel yang telah direndam ditimbang untuk menentukan Massa basah (m2).

7.Dihitung nilai porositasnya dengan rumus :

3.6.3 Susut Bakar

Susut bakar merupakan penyusutan dari sampel sebelum dilakukan sintering dan setelah dilakukan sintering. Penyusutan terjadi karena adanya reaksi pembakaran yaitu pelepasan Co2 dan difusi partikel. Langkah kerja untuk menentukan besarnya susut bakar (%) suatu sampel yaitu :

1. Diukur diameter sampel sebelum dibakar (d). 2. Diukur diameter sampel setelah dibakar (do). 3. Hitung nilai susut bakar dengan rumus :

3.7Sifat Magnet

Untuk karakterisasi sifat-sifat magnet menggunakan alat Impluse

magnetizer, berfungsi untuk memberikan medan magnet luar pada sampel agar

memiliki magnet. Setelah itu di hitung nilai medan magnetnya menggunakan

gaussmeter. Dan untuk karakterisasi sifat magnet yang lainnya menggunakan alat

VSM (vibrating sampel magnetometer) yaitu alat yang dapat menganalisis sampel dengan output berupa kurva histerisis yang dilengkapi dengan nilai induksi remanensi (Br) dan gaya koersif (Hc). Pada saat pengukuran berlangsung terjadi


(25)

proses magnetisasi pada sampel, sehingga sampel akan memiliki sifat magnet setelah pengujian dilakukan.

3.8 Analisa Mikrostruktur

3.8.1 XRD (X-ray Diffractrometer)

Difraksi sinar X atau X-ray diffraction (XRD) adalah suatu metode analisa yang digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel. Profil XRD juga dapat memberikan data kualitatif dan semi kuantitatif pada padatan atau sampel. Analisis kimia meliputi:

1.Identifikasi/Penentuan jenis kristal.

2.Penentuan kemurnian relatif dan derajat kristalinitas sampel. 3.Deteksi senyawa baru.

4.Deteksi kerusakan oleh suatu perlakuan.

Untuk interpretasi/pembacaan spektra dengan membandingkan spektra yang berada pada induk data spektra XRD, misalnya pada data JCPDS. Untuk menyimpulkan minimal ada 3 puncak spektra yang identik dengan spektra pada data induk. Adapun langkah langkah dari pengujian ini adalah :

-Siapkan sampel yang akan diuji. -Letakan sampel diatas preparat.

-Masukan kedalam XRD kemudian tutup rapat.

-Siapkan software pendukung untuk pengoperasian XRD.

3.8.2 Vibrating Sample Magnetometer (VSM)

Vibrating Sample Magnetometer (VSM) merupakan salah satu alat ukur

magnetisasi yang bekerja berdasarkan metode induksi. VSM digunakan untuk mengetahui sifat magnetik material. Dengan alat ini akan diperoleh informasi mengenai besaran-besaran sifat magnetic sebagai akibat perubahan medan magnet luar yang digambarkan dalam kurva histerisis.


(26)

30

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Telah dilakukan pengamatan melihat pengaruh penambahan Na2O terhadap magnet permanen Barium heksaferit. Metode yang digunakan yaitu metode metalurgi serbuk. Efek yang diamati dalam penelitian ini adalah suhu sintering, sifat fisis, dan sifat magnetik dari Barium heksaferit setelah penambahan Na2O. Beberapa karakterisasi yang perlu diamati meliputi: pengukuran true density, Bulk

density, susut bakar, porositas, analisa struktur mikro dengan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD), dan sifat magnetic : flux density magnetic dan kurva histerisis.

4.1 Karakterisasi Sifat Fisis

Sifat fisis yang diamati dalam penelitian pembuatan magnet Barium Heksaferrit (BaFe12O19) dengan penambahan komposisi Na2O sebagai magnet permanen meliputi pengukuran densitas dan porositas.

4.1.1 Densitas dan Porositas 4.1.1.1 True Density

Pengukuran true density dari serbuk Barium heksaferit (BaFe12O19) dengan penambahan Na2O menggunakan prinsip piknometer mengunakan cairan pembanding yaitu aquades. Hasil pengukuran true density diperlihatkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Nilai true density dari sampel dengan variasi komposisi Na2O Komposisi Na2O True Density

(% wt) (g/cm3)

0 3,84

1 3,84

2 3,84

3 3,84

Tabel diatas memperlihatkan bahwa nilai true density Barium heksaferit dengan penambahan Na2O yaitu 3,84 g/cm3.


(27)

4.1.1.2 Bulk Density

Pengukuran bulk density dari serbuk Barium heksaferit (BaFe12O19) dengan penambahan Na2O menggunakan metode perhitungan langsung. Hasil pengukuran densitas diperlihatkan pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.1.

Tabel 4.2. Nilai bulk density dari sampel dengan variasi komposisi Na2O dan variasi suhu sintering

Suhu Sintering Bulk Density (g/cm3)

(oC) Komposisi Na2O (%)

0 1 2 3

1100 3,83 3,84 3,86 3,88

1150 4,03 3,79 3,68 3,65

1200 4,31 3,65 3,6 3,5

1250 4,40 3,62 3,5 3,48

1300 4,50 3,43 3,43 3,40

Dari tabel 4.2 dapat dibuat grafik hubungan antara nilai bulk density terhadap perubahan suhu sintering seperti gambar dibawah ini :

) 5

3 (g /c m 4.6 4.2 0% D en si ty 3.8 1% 3.4 2% B ul

k 3 3%

1050 1100 1150 1200 1250 1300 1350

Suhu Sintering (oC)

Gambar 4.1 Hubungan antara bulk density dengan penambahan komposisi Na2O dari BaFe12O19 sebagai fungsi suhu sintering.

Gambar 4.1 memperlihatkan bahwa nilai bulk density naik dengan tanpa penambahan

aditif Na2O (0%) dan kenaikan temperatur sintering tetapi nilai bulk density

cenderung menurun dengan adanya penambahan aditif Na2O 1%, 2%, dan 3%. Nilai

densitas optimum berada pada suhu 1100°C dengan menghasilkan nilai densitas 3,84

g/cm3 pada komposisi Na2O 1%. Adanya penambahan komposisi Na2O

menyebabkan nilai bulk density cenderung menurun, hal ini disebabkan oleh nilai

densitas Na2O (2,27 g/cm3) yang lebih kecil dari nilai densitas BaFe12O19


(28)

32

temperatur sintering maka nilai densitas akan semakin menurun. Hal ini terjadi karena semakin tinggi temperatur pada proses sintering menyebabkan terjadinya pertumbuhan butir. Pada sampel dengan temperatur sintering 1300°C terjadi keretakan pada permukaan sampel tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Silvana Simbolon (2013) menyatakan bahwa pada proses sintering dengan temperatur tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan butir. Sehingga terjadi keretakan pada permukaannya. Hal itu mengakibatkan peningkatan pori pada sampel meskipun tetap terjadi susut pada sampel tersebut.

4.1.1.3 Porositas

Pengukuran porositas dari serbuk Barium heksaferit (BaFe12O19) dengan penambahan Na2O menggunakan metode penyerapan. Hasil pengujian porositas diperlihatkan pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.2.

Tabel 4.3. Nilai porositas dari sampel dengan variasi komposisi Na2O dan variasi suhu sintering

Suhu sintering Porositas ( % )

(oC) Komposisi Na2O(%)

0 1 2 3

1100 3,1 1 1 0.8

1150 2,1 1,3 1,2 1,2

1200 1,6 1,5 1,5 1,5

1250 1,5 1,6 1,6 1.6

1300 0.7 2 2,3 2.5

Dari tabel 4.3 dapat dibuat grafik hubungan antara nilai porositas terhadap perubahan suhu sintering seperti gambar dibawah ini :

(%) 3.5 P or os it

as 2.5 0%

1.5 1%

2% 0.5

3%

1050 1100 1150 1200 1250 1300 1350

Suhu Sintering (oC)


(29)

Gambar 4.2 memperlihatkan bahwa nilai porositas cenderung naik dengan adanya penambahan Na2O (1%, 2% dan 3%) dan naiknya suhu sintering tetapi cenderung menurun pada komposisi Na2O (0%). Nilai porositas mencapai maksimum 2,5% pada komposisi 3% Na2O dengan suhu sintering 1300°C dan nilai porositas terendah adalah 0,8% pada komposisi Na2O (3%) dengan suhu sintering 1300°C.

Hal ini mungkin disebabkan terjadi perbesaran bulir (grain) selama proses sintering pada suhu yang lebih tinggi sehingga ukuran bulir menjadi lebih besar, semakin banyak rongga yang terbentuk dan meningkatkan porositas (Tang, Xin., 2005). Suhu sintering berbanding terbalik dengan porositas sampel. Jika semakin tinggi nilai densitas maka semakin rendah nilai porositasnya, begitu pula sebaliknya semakin rendah nilai densitas maka nilai porositas akan semakin tinggi.

4.1.4 Susut Bakar

Pengukuran susut bakar dari serbuk Barium heksaferit dengan penambahan Na2O menggunakan metode perhitungan langsung. Hasil pengukuran susut bakar diperlihatkan pada Tabel 4.4 dan Gambar 4.3.

Tabel 4.4 Nilai susut bakar dari sampel dengan variasi komposisi Na2O dan variasi suhu sintering

Suhu Sintering Susut Bakar ( % )

(oC) Komposisi Na2O (%)

0 1 2 3

1100 8,4 11,5 11,8 11,8

1150 10,9 11,5 11,3 10,8

1200 12 12 12 11,6

1250 12,8 11,7 11,5 9,7

1300 14 10,5 9,5 6,6

Dari tabel 4.4 dapat dibuat grafik hubungan antara nilai susut bakar terhadap perubahan suhu sintering seperti gambar dibawah ini :


(30)

34 (%) 14 12 Bakar 10 0% 8 1% Susut 6 2% 4 3%

1050 1100 1150 1200 1250 1300 1350

Suhu Sintering (oC)

Gambar 4.3 Hubungan antara susut bakar dengan penambahan komposisi Na2O dari BaFe12O19 sebagai fungsi suhu sintering

Gambar 4.3 menunjukkan bahwa nilai susut bakar menurun seiring dengan penambahan aditif Na2O dan kenaikan temperature sintering tetapi sampel yang tanpa aditif Na2O memiliki susut bakar yang lebih besar dari sampel yang menggunakan aditif. Nilai susut bakar maksimum yaitu 14% terdapat pada penambahan Na2O (0%) pada suhu sintering 1300oC sedangkan dengan penambahan aditif Na2O nilai susut bakar maksimum yaitu 12% pada suhu 1100

o

C - 1150 oC.

4.2 Karakterisasi Mikrostruktur

Karakterisasi mikrostruktur yang diamati dalam penelitian pembuatan magnet Barium Heksaferrit (BaFe12O19) dengan penambahan komposisi Na2O sebagai magnet permanen meliputi pengujian XRD dan pengamatan Mikroskop Optik.

4.2.1 Pengujian XRD (X-Ray Diffraction)

Untuk dapat mengetahui fasa-fasa yang terbentuk pada sampel yang telah melalui proses sintering, maka dilakukan karakterisasi sampel dengan menggunakan peralatan X-ray diffractrometer yang kemudian dianalisa secara kualitatif. Proses analisa tersebut dilakukan dengan cara mencocokkan data hasil pengukuran difraksi yang didapat dari sampel dengan data hasil difraksi sinar-X yang terdapat pada database ICDD (International Center for Diffraction Data). Hasil analisa XRD diperlihatkan pada gambar 4.4, gambar 4.5, gambar 4.6, dan gambar 4,7.


(31)

BaFe12O19

Gambar 4.4 Pola difraksi sinar- x sampel BaFe12O19 dengan aditif 0% Na2O dan disintering 1200°C

Pada Gambar diatas memperlihatkan hasil analisa X-Ray Diffraction (XRD) dari bahan BaFe12O19 tanpa penambahan Na2O (0 %wt) pada suhu sintering 1200 °C. Dari gambar pola XRD tersebut memperlihatkan bahwa terdapat 14 peak tertinggi yang menjadi titik acuan untuk mencari fasa yang terbentuk. Hasil Rietveld

Refinement fasa menggunakan program Match dan ICDD, Setelah dilakukan

rietveld refinement terdapat beberapa puncak yang merupakan fasa BaFe12O19.

Hal ini sesuai dengan hasil data standar ICDD No 00-027-1029, BaFe12O19 memiliki parameter kisi a = b = 5.892 Å, c = 23.198 Å, dan volume cell-nya 697.44 ų. maka derajat kristalisasi fasa BaFe12O19 pada suhu 1200 °C tanpa penambahan komposisi Na2O (0 %wt) adalah 100% BaFe12O19.

BaFe12O19


(32)

36

Pada Gambar 4.5 memperlihatkan hasil analisa X-Ray Diffraction (XRD) dari bahan

BaFe12O19 dengan penambahan Na2O (1%) dan disintering 1200 °C dengan adanya

penambahan aditif Na2O tidak mempengaruhi perubahan struktur kristal . Dari

gambar pola XRD tersebut memperlihatkan bahwa terdapat 14 peak tertinggi yang menjadi titik acuan untuk mencari fasa yang terbentuk. Hasil Rietveld Refinement fasa menggunakan program Match dan ICDD, Setelah dilakukan rietveld refinement

terdapat beberapa puncak yang merupakan fasa BaFe12O19.

Na2O 2%

BaFe12O19

Gambar 4.6 pola difraksi sinar- x sampel BaFe12O19 dengan aditif 2% Na2O dan disinterring 1200°C

Pada Gambar 4.6 memperlihatkan hasil analisa X-Ray Diffraction (XRD) dari bahan

BaFe12O19 dengan penambahan Na2O (2%) dan disintering 1200 °C dengan adanya

penambahan aditif Na2O tidak mempengaruhi perubahan struktur kristal . Dari

gambar pola XRD tersebut memperlihatkan bahwa terdapat 14 peak tertinggi yang menjadi titik acuan untuk mencari fasa yang terbentuk. Hasil Rietveld Refinement fasa menggunakan program Match dan ICDD, Setelah dilakukan rietveld refinement


(33)

BaFe12O19

Gambar 4.7 pola difraksi sinar- x sampel BaFe12O19 dengan aditif 3% Na2O dan disinterring 1200°C

Pada Gambar 4.7 memperlihatkan hasil analisa X-Ray Diffraction (XRD) dari bahan

BaFe12O19 dengan penambahan Na2O (3%) dan disintering 1200 °C dengan adanya

penambahan aditif Na2O tidak mempengaruhi perubahan struktur kristal . Dari

gambar pola XRD tersebut memperlihatkan bahwa terdapat 14 peak tertinggi yang menjadi titik acuan untuk mencari fasa yang terbentuk. Hasil Rietveld Refinement fasa menggunakan program Match dan ICDD, Setelah dilakukan rietveld refinement

terdapat beberapa puncak yang merupakan fasa BaFe12O19.

4.3 Karakteristik Sifat Magnet 4.3.1 Flux Density Magnetic

Untuk mengetahui kuat medan magnet dari BaFe12O19 maka dilakukan pengukuran dengan menggunakan Gaussmeter. Hasil pengukuran Gaussmeter (kuat medan magnet) ditunjukkan pada tabel 4.5 dan gambar 4.8 dibawah ini :

Tabel 4.5. Nilai porositas dari sampel dengan variasi komposisi Na2O dan variasi suhu sintering

Suhu Sintering Kuat Medan Magnet ( G )

(oC) Komposisi Na2O (%)

0 1 2 3

1100 509,5 518,5 520,8 526,9 1150 531,2 524,2 514,4 482,2 1200 560,0 548,2 517,1 458,4 1250 548,1 526,1 477,7 369,4 1300 547,6 455,8 339,6 315,7


(34)

38

Dari tabel 4.5 dapat dibuat grafik hubungan antara nilai flux density magnetic terhadap perubahan suhu sintering seperti gambar dibawah ini :

Fl u ks M agn et ik (G

) 600

500

0%

400 1%

2%

300 3%

1050 1100 1150 1200 1250 1300 1350

Suhu Sintering ( oC)

Gambar 4.8 Hubungan antara fluks magnetik dengan penambahan komposisi Na2O dari BaFe12O19 sebagai fungsi suhu sintering. Berdasarkan hasil pengukuran nilai kuat medan magnet pada tabel 4.5 nilai fluks magnetik cenderung menurun dengan adanya penambahan aditif Na2O dan naiknya suhu sintering. Nilai fluks magnetic tertinggi yaitu 548,2 G terdapat pada suhu sintering 1200°C dengan komposisi Na2O 1% Sedangkan nilai fluks magnetik terendah yaitu 315,7 G terdapat pada suhu sintering 1300°C dengan penambahan komposisi Na2O 3%.

4.3.2 Pengujian Vibrating Sample Magnetometer (VSM)

VSM (Vibrating Sample Magnetometer) merupakan suatu jenis peralatan yang digunakan untuk mempelajari sifat magnetik bahan. Pengujian VSM dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai besaran-besaran sifat magnetik sebagai akibat perubahan medan magnet luar yang digambarkan dalam kurva histeresis yang dilengkapi dengan nilai induksi remanent (Br) dan gaya koersif (Hc).Hasil pengujian Vsm dari serbuk Barium heksaferit (BaFe12O19) dengan penambahan Na2O ( 0%, 1% dan 3% ) diperlihatkan pada Tabel 4.5 dan Gambar 4.10 dibawah ini :


(35)

Gambar 4.9 Kurva histerisis BaFe12O19 dengan penambahan Na2O 0%, 1% dan 3%

60 50 40 30 20  (e mu /g ) 10 0

-20000 -10000 -10 0 10000 20000

-20 BaFe12O19

-30 BaFe12O19 + Na2O 1%

-40 BaFe12O19 + Na2O 3%

-50 -60

Hexs(Oe)

Untuk mengetahui nilai sifat magnetik dari hasil kurva histeresis pada gambar 4.9 diatas akan ditunjukkan seperti pada tabel 4.6 dibawah ini :

Sampel Remanence koersifitas magnet saturasi BHmax

(emu/g) (KOe) (emu/g) (MGOe)

BaFe12O19 42,15 1,344 59,18 0,135

BaFe12O19 + 25,72 0,982 47,24 0,159 Na2O 1%

BaFe12O19 + 18,14 1,152 41,28 0,092 Na2O 3%

Tabel 4.6 Nilai Uji VSM dari sampel dengan variasi komposisi Na2O Dari kurva diatas dapat diperlihatkan bahwa effek penambahan Na2O menyebabkan terjadinya penurunan nilai koersifitas, remanence, dan magnet saturasi. Hasil pengujian VSM yang terbaik yaitu pada penambahan Na2O (1%).

Kekuatan magnet (magnetic field) ditentukan oleh besarnya remanensi (Mr) dari suatu bahan. Remanensi (Mr) merupakan magnet sisa yang terdapat pada bahan setelah pengaruh medan magnet luar ditiadakan. Hasil kurva histeresis diatas menunjukkan bahwa nilai remanensi (Mr) paling besar pada sampel dengan penambahan aditif Na2O 1% sebesar 25,72 emu/g. Koersivitas (Hc) merupakan besar medan magnet balik yang dibutuhkan untuk meniadakan kemagnetan suatu bahan. Hasil kurva histeresis diatas menunjukkan bahwa nilai koersivitas (Hc) lebih besar pada sampel dengan penambahan aditif Na2O 3% sebesar 1,152 KOe.


(36)

40

Besarnya nilai energi produk maksimum dihasilkan dari nilai maksimal perkalian antara Br dan Hc pada kuadran kedua kurva histeresis. Nilai energi produk paling besar pada sampel dengan penambahan aditif Na2O 1% yaitu 0,159 MGOe. Saturasi magnet adalah keadaan ketika material tidak dapat lagi menyerap medan magnet yang lebih kuat sehingga menyebabkan flux magnetic yang tidak berubah meskipun nilai magnetisasi ditingkatkan.

Nilai saturasi magnet yang tinggi menunjukkan bahwa sampel mempunyai sifat magnet yang baik. Maka dari hasil pengujian VSM yang terbaik yaitu pada penambahan Na2O (1%) dengan nilai saturasi magnet 47,24 emu/g.


(37)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab 4 sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan :

1. Dari hasil karakterisasi sifat fisis diperoleh hasil yang terbaik yaitu pada penambahan Na2O 1% dengan suhu 1100oC. Pada kondisi ini diperoleh : nilai susut bakar = 11,5%, porositas = 1%, dan densitas = 3,84 g/cm3 2. Dari hasil analisa struktur kristal XRD (X-Ray Diffraction), hasil yang

terlihat pada pembuatan BaFe12O19 dengan komposisi Na2O 0%, 1%, 2%, dan 3%wt terdapat beberapa puncak fasa yang sama yaitu BaFe12O19 dan dengan adanya penambahan aditif Na2O tidak mempengaruhi struktur kristal.

3. Dengan penambahan aditif Na2O (1%, 2%, dan 3%wt) maka nilai sifat magnetik cenderung menurun. Nilai fluks magnetic terbesar yaitu 548,2 G pada sampel dengan aditif Na2O 1% dan suhu sintering 1200oC

4. Dari hasil pengujian VSM untuk penambahan aditif dapat menurunkan nilai remanence, koersifitas dan magnet saturasi. Dengan penambahan aditif Na2O (1%) diperoleh nilai remanence = 25,72 emu/g, koersifitas = 0,982 KOe, dan nilai magnet saturasi = 47,24 emu/g.

5.2 Saran

Untuk proses penelitian lebih lanjut dalam pembuatan magnet permanen Barium heksaferrite (BaFe12O19) disarankan:

1. Untuk penelitian lebih lanjut perlu dilakukan pengujian kekerasan dari

magnet BaFe12O19, disamping itu perlu dilakukan pula penggunaan bahan

baku yang lebih halus lagi dari yang dilakukan sekarang.

2. Untuk penelitian lebih lanjut perlu dilakukan penambahan aditif Na2O kurang dari 1%.


(38)

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Magnet secara umum

Magnet adalah suatu benda yang mempunyai medan magnet dan mempunyai gaya tolak menolak dan tarik menarik terhadap benda-benda tertentu. Efek tarik menarik dan tolak menolak pada magnet disebut dengan magnetisme. Kata magnet berasal dari bahasa Yunani yaitu Magnitis Lithos yang berarti batu Magnesian. Magnesian adalah nama sebuah wilayah Yunani pada masa lalu, dimana terdapat batu magnet yang ditemukan sejak zaman dulu di wilayah tersebut. Setiap magnet mempunyai dua kutub yang terletak dibagian ujung-ujungnya yaitu kutub selatan dan kutub utara. Material magnet adalah salah satu komponen yang banyak digunakan pada peralatan elektronika, telekomunikasi dan otomotif, dan sampai saat ini komponen tersebut sebagian besar masih diimpor. Material magnet dibagi menjadi dua jenis yaitu material magnet lunak dan material magnet keras. Material magnet lunak dapat diaplikasikan pada sirkulator dan pada transformator. Sedangkan, material magnet keras dapat diaplikasikan pada motor DC, kWh meter, meteran air dan lain-lainnya (Zailani, 2014).

Benda dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan sifat kemagnetannya yaitu benda magnetik dan benda non-magnetik. Benda magnetik adalah benda yang dapat ditarik oleh magnet, sedangkan benda non-magnetik adalah benda yang tidak dapat ditarik oleh magnet (Suryatin, 2008). Contoh benda magnetik adalah logam seperti besi dan baja, namun tidak semua logam dapat ditarik oleh magnet, sedangkan contoh benda non-magnetik adalah oksigen cair. Satuan intensitas magnet menurut sistem metrik Satuan Internasional (SI) adalah Tesla dan SI unit untuk total fluks magnetik adalah weber (1 weber/m2 = 1 tesla) yang mempengaruhi luasan satu meter persegi (Afza, 2011).

Magnet terbaik umumnya mengandung besi metalik. Namun, ternyata bahwa unsur lain pun menampilkan sifat magnetik; selain itu, material bukan logam pun dapat memiliki sifat magnet. Dalam teknologi modern kini banyak


(39)

unsur lain untuk meningkatkan kemampuan magnetik sehingga memenuhi persyaratan (Van Vlack, 1984).

2.2 Macam-Macam Magnet

Berdasarkan sifat kemagnetannya magnet dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu : a. Magnet Permanen

Magnet permanen adalah suatu bahan yang dapat menghasilkan medan magnet yang besarnya tetap tanpa adanya pengaruh dari luar atau disebut magnet alam karena memiliki sifat kemagnetan yang tetap.

b. Magnet Remanen

Magnet remanen adalah suatu bahan yang dapat menghasilkan magnet yang bersifat sementara. Medan magnet remanen dihasilkan dengan cara mengalirkan arus listrik atau digosok-gosokkan dengan magnet alam. Bila suatu bahan penghantar dialiri arus listrik yang dialirkan, besarnya medan magnet yang dihasilkan tergantung pada besarnya arus listrik yang dialirkan. Medan magnet remanen yang digunakan dalam praktek kebanyakan dihasilkan oleh arus dalam kumparan yang berinti besi. Agar medan magnet yang dihasilkan cukup kuat, kumparan diisi dengan besi atau bahan sejenis besi dan sistem ini dinamakan electromagnet. Keuntungan electromagnet adalah bahwa kemgnetannya dapat dibuat sangat kuat, tergantung dengan arus yang dialirkan. Dan kemagnetannya dapat dihilangkan dengan memutuskan arus listriknya

2.3 Sifat Kemagnetan Bahan

Bahan magnetik adalah suatu bahan yang memiliki sifat kemagnetan dalam komponen pembentuknya. Menurut sifatnya terhadap adanya pengaruh kemagnetan, bahan magnet ini dapat digolongkan menjadi 5 yaitu bahan diamagnetic, bahan ferromagnetik, bahan anti ferromagnetik, bahan ferrimagnetik, dan bahan paramagnetik (Jiles, D. C, 1998).


(40)

7

2.3.1 Bahan Ferromagnetik

Ferromagnetik merupakan bahan yang memiliki nilai suseptibilitas magnetik positif yang sangat tinggi. Dalam bahan ini sejumlah kecil medan magnetik luar dapat menyebabkan derajat penyearahan yang tinggi pada momen dipol magnetik atomnya. Dalam beberapa kasus, penyearahan ini dapat bertahan sekalipun medan kemagnetannya telah dihilang. Hal ini terjadi karena momen dipol magnetik atom dari bahan-bahan ferromagnetik ini mengarahkan gaya-gaya yang kuat pada atom disebelahnya. Sehingga dalam daerah ruang yang sempit, momen ini disearahkan satu sama lain sekalipun medan luarnya tidak ada lagi. Daerah ruang tempat momen dipol magnetik disearahkan, tetapi arah penyearahnya beragam dari daerah sehingga momen magnetik total dari kepingan mikrokopi bahan ferromagnetik ini adalah nol dalam keadaaan normal (Tipler, 2001).

Gambar 2.1 Momen Magnetik Dari Sifat Ferromagnetik

2.3.2 Bahan Anti Ferromagnetik

Bahan anti ferromagnetik adalah suatu bahan yang memiliki susebtibilitas positif yang kecil pada segala temperatur, tetapi perubahan suscepbilitas karena tempratur adalah keadaan yang sangat khusus.Susunan dwikutubnya adalah sejajar tetapi berlawanan arah, diperlihatkan pada Gambar 2.2

(a) (b)


(41)

2.3.3 Bahan Ferrimagnetik

Pada bahan yang bersifat dipol yang berdekatan memiliki arah yang berlawanan tetapi momen magnetiknya tidak sama besar. Bahan ferrimagnetik memiliki nilai susepbilitas tinggi tetapi lebih rendah dari bahan ferromagnetik, beberapa contoh dari bahan ferrimagnetik adalah ferrite dan magnetite (Mujiman, 2004).

Gambar 2.3 Momen Magnet Dari Sifat Ferimagnetik

2.3.4 Bahan Paramagnetik

Bahan paramagnetik adalah bahan –bahan yang memiliki suseptibilitas magnetik Xm yang positif dan sangat kecil. Paramanetik muncul dalam bahan atom – atomnya memiliki momen magnetik hermanen yang berinteraksi satu sama lain secara sangat lemah. Apabila tidak terdapat medan magnetik luar, momen magnetik ini akan berorientasi acak. Dengan adanya medan magnetik luar, momen magnetik ini arahnya cenderung sejajar dengan medannya, tetapi ini dilawan oleh

kecenderungan momen untuk berorientasi acak akibat gerak termalnya. Perbandingan momen yang menyearahkan dengan medan ini bergantung pada kekuatan medan pada temperatur yang sangat rendah, hampir seluruh momen akan disearahkan dengan medannya( Tipler, 2001).

Gambar 2.4 Momen Magnetik Dari Sifat Paramagnetik

2.3.5 Bahan Diamagnetik

Bahan diamagnetik merupakan bahan yang memiliki nilai suseptibilitas negatif dan sangat kecil. Sifat diamagnetik ditemukan oleh faraday pada tahun 1846


(42)

9

ketika sekeping bismuth ditolak oleh kedua kutub magnet, hal ini memperlihatkan bahwa medan induksi dari magnet tersebut menginduksi momen magnetik pada bismuth pada arah berlawanan dengan medan induksi pada magnet (Tipler, 2001).

2.4 Jenis Magnet Permanen

Produk magnet permanen ada dua macam berdasarkan teknik pembuatannya yaitu magnet permanen isotropi dan magnet permanen anisotropi.

(a) (b)

Gambar 2.5 Arah partikel pada magnet isotropi dan anisotropi (a)Arah partikel acak (Isotrop)

(b)Arah partikel searah (Anisotrop) (Masno G, dkk, 2006).

Magnet permanen isotropi magnet dimana pada proses pembentukkan arah domain magnet partikel-partikelnya masih acak, sedangkan yang anisotropi pada pembentukkan dilakukan di dalam medan magnet sehingga arah domain magnet partikel-partikelnya mengarah pada satu arah tertentu seperti ditunjukkan pada gambar 2.5 untuk membedakan isotropi dan anisotropi. Magnet permanen isotropi memiliki sifat magnet atau remanensi magnet yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan magnet permanen anisotropi.

2.5 Kurva Histerisis

Sifat-sifat magnet suatu bahan dapat diperlihatkan dalam kurva histerisis yaitu kurva hubungan intensitas magnet (H) terhadap medan magnet (B). Pada dasarnya kurva tersebut mempresentasikan suatu proses magnetisasi dan demagnetisasi oleh suatu medan magnet luar yang digunakan untuk memagnetisasi ditingkatkan dari nol, maka magnetisasi atau polarisasi dari magnet bertambah besar dan mencapai tingkat saturasi pada suatu medan magnet luar tertentu. Dengan


(43)

menjadi nol dan meneruskannya pada arah yang bertentangan serta meningkatkan besar medan magnet luar pada arah tersebut dan menurunkannya kembali ke nol kemudian membalikkan arah seperti semula. Maka magnetisasi atau polarisasi dari magnet permanen membentuk suatu loop. (Spaldin, 2003)

Bahan yang mencapai saturasi untuk harga H rendah disebut dengan magnet lunak, sedangkan bahan yang saturasinya terjadi pada harga H tinggi disebut magnet keras. Sesudah mencapai saturasi ketika intensitas magnet H diperkecil hingga mencapai H = 0, ternyata kurva B tidak melewati jalur kurva semula. Pada

harga H = 0, medan magnet atau rapat fluks B mempunyai harga Br ≠ 0 seperti yang ditunjukkan pada kurva histerisis pada gambar 2.6. Harga Br ini disebut

dengan induksi remanen atau remanensi bahan.

Gambar. 2.6 Kurva Histerisis Material Magnetik

Remanen atau ketertambatan adalah sisa medan magnet B dalam proses magnetisasi pada saat medan magnet H dihilangkan, atau remanensi terjadi pada saat intensitas medan magnetik H berharga nol dan medan magnet B menunjukkan harga tertentu. Pada gambar 2.6 tampak bahwa setelah harga intensitas magnet H = 0 atau dibuat negatif (dengan membalik arus lilitan), kurva B(H) akan memotong sumbu pada harga Hc. Intensitas Hc inilah yang diperlukan untuk membuat rapat fluks B = 0 atau menghilangkan fluks dalam bahan. Intensitas magnet Hc ini disebut koersivitas bahan. Koersivitas digunakan untuk membedakan hard magnet atau soft magnet. Semakin besar gaya koersivitasnya maka semakin keras sifat magnetnya. Bahan dengan koersivitas tinggi berarti tidak mudah hilang kemagnetannya.

Untuk menghilangkan kemagnetannya diperlukan intensitas magnet H yang besar. Bila selanjutnya harga diperbesar pada harga negatif sampai mencapai saturasi dan dikembalikan melalui nol, berbalik arah dan terus diperbesar pada


(44)

11

harga H positif hingga saturasi kembali, maka kurva B(H) akan membentuk satu lintasan tertutup yang disebut kurva histeresis. Bahan yang mempunyai koersivitas tinggi kemagnetannya tidak mudah hilang. Bahan seperti itu baik untuk membuat magnet permanen.

2.6 Magnet Keramik

Magnet keramik memiliki peran yang sangat penting dalam berbagai aplikasi, khususnya dalam rangkaian-rangkaian frekuensi tinggi dimana rugi-rugi arus

eddy dalam logam sangat tinggi. Keramik sendiri adalah bahan-bahan yang

tersusun dari senyawa anorganik bukan logam yang pengolahannya melalui perlakuan dengan temperatur tinggi. Kegunaannya adalah untuk dibuat berbagai keperluan desain teknis khususnya dibidang kelistrikan, elektronika, dan mekanik, serta memanfaatkan material keramik tersebut sebagai bahan magnet permanen. Material ini dapat menghasilkan medan magnet tanpa harus diberi arus listrik yang mengalir dalam sebuah kumparan atau solenoida untuk mempertahankan medan magnet yang dimilikinya. Disamping itu, magnet permanen jenis ini juga dapat memberikan medan yang konstan tanpa mengeluarkan daya yang terus menerus.

Bahan keramik yang bersifat magnetik umumnya merupakan golongan ferit, merupakan oksida yang-Fe2O3 )disusunsebagaikomponenolehutama. hemat

Bahan ini menunjukkan induksi magnetik spontan meskipun medan magnet luar yang diberikan dihilangkan. Material ferit dikenal sebagai magnet keramik, bahan itu tidak lain adalah oksida besi yang disebut ferit besi (ferrous ferrite) dengan rumus kimia MO(Fe2O3)6, dimana M adalah Ba, Sr atau Pb.

6Fe2O3 + BaCO3 BaO.6Fe2O3+ CO2 Pada umumnya ferit dibagi menjadi tiga kelas:

1. Ferit lunak, ferit ini mempunyai formula MFe2O4, dimana M = Cu, Zn, Ni,Co, Fe, Mn, dan Mg dengan struktur kristal seperti mineral spinel. Sifat bahan ini mempunyai permeabilitas, hambatan jenis yang tinggi, dan koersivitas yang rendah.


(45)

mempunyai gaya koersivitas dan remanen yang tinggi dan mempunyai struktur kristal heksagonal dengan momen-momen magnetik yang sejajar dengan sumbu c.

3. Ferit berstruktur Garnet, magnet ini mempunyai magnetisasi spontan yang bergantung pada temperatur secara khas. Strukturnya sangat rumit, berbentuk kubik dengan sel satuan disusun tidak kurang dari 160 atom. Magnet keramik yang merupakan magnet permanen mempunyai struktur

hexagonal close-pakced (HCP). Dalam hal ini bahan yang sering digunakan

adalah Barrium Ferrite (BaO.6Fe2O3), dapat juga barium digantikan bahan yang menyerupai (segolongan) dengannya, yaitu seperti Strontium. Material magnetic ferit yang memiliki sifat-sifat campuran beberapa oksida logam valensi II, dimana oksida besi valensi III (Fe2O3) merupakan komponen yang utama.

Ferit lunak mempunyai struktur kristal kubik dengan rumus umum MO.Fe2O3 dimana M adalah Fe, Mn, Ni, dan Zn atau gabungannya seperti Mn-Zn dan Ni-Mn-Zn. Bahan ini banyak digunakan untuk inti transformator, memori komputer, induktor, recording heads, microwave dan lain-lain. Ferit keras banyak digunakan dalam komponen elektronik, diantaranya motor-motor DC kecil, pengeras suara (loud speaker), meteran air, KWH-meter, telephone receiver,

circulator dan rice cooker (Angelo, 2008).

2.7 Barium heksaferit (BaFe12O19)

Berdasarkan rumus kimia dan struktur kristalnya, heksaferit dikelompokkan menjadi 5 tipe, yaitu : tipe-M (BaFe12O19 ), tipe-W (BaMe2 Fe16O27 ), tipe-X (Ba2 Me2 Fe28O46 ), tipe-Y (Ba2 Me2 Fe12O22 ), tipe-Z (Ba3Me2 Fe24O41 ) dan tipe-U (Ba4 Me2 Fe36O60 ) (Özgüri dkk,2009). Barium heksaferite memiliki rumus kimia BaO.6Fe2O3 (BaFe12O19). Sel komplek Barium heksaferit tersusun atas 2 sistem kristal yaitu struktur kubus-pusat-sisi (face-centered-cubic) dan heksagonal mampat (hexagonal-close-packed) seperti terlihat pada Gambar 2.7.


(46)

13

Gambar 2.7 Struktur kristal BaFe12O19

Sruktur BaFe12O19 memanjang ke arah sumbu z dengan c = 23,2 Å dan a = 5,88 Å. Ion-ion Ba2+ dan O2- memiliki ukuran yang besar, hampir sama dan bersifat non magnetik. Keduanya tersusun dalam model close packed (tertutup). Ion Fe3+ menempati posisi interstisi. Ion yang bersifat magnet dalam BaFe12O19 hanyalah ion Fe3+, tiap-tiap ion dengan nilai momen magnetik 5µB. Gambar 2.8 menunjukkan skema struktur kristal BaFe12O19

Gambar 2.8 Skema struktur kristal BaFe12O19

Tanda panah pada ion Fe menunjukkan arah polarisasi spin. 2a, 12k, dan 4f2 adalah struktur oktahedral, 4f1 adalah struktur tetrahedral, dan 2b adalah struktur heksahedral (trigonal bipiramida). Satu unit sel berisi 38 ion O2-, 2 ion Ba2+, dan 24 ion Fe3+. Ion Fe3+ dalam 12k, 2a dan 2b (16 atom tiap satu unit sel) memiliki spin up, sedangkan ion Fe3+ dalam 4f1 dan 4f2 (8 atom tiap satu unit sel) memiliki spin down, maka jumlah totalnya adalah 8 spin up. Oleh karena itu, momen magnet total setiap satu unit sel adalah 8 x 5 µB = 40 µB yang berisi dua ion Ba2+. Sub unit R dan S menunjukkan rumus kimia R = (Ba2+Fe63+O112)2- dan S = (Fe63+O82-)2+. Asterix menunjukkan bahwa sub-unit berotasi 180º mengelilingi sumbu heksagonal (Özgür dkk, 2009).


(47)

2.8 Natrium Oksida

Natrium oksida adalah senyawa kimia dengan rumus Na2 O. Hal ini digunakan dalam keramik dan gelas, meskipun tidak dalam bentuk mentah. Ini adalah dasar anhidrida dari natrium hidroksida, sehingga ketika air ditambahkan ke natrium oksida NaOH diproduksi (Zintl,E.1934). Natrium oksida (Na2O) merupakan salah satu senyawa penting dalam ilmu material karena dibutuhkan dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan material, antara lain sebagai komponen dari pembentukan gelas, keramik, optik (Pellegri, et al., 1998). Aplikasi dari natrium oksida ini ditentukan oleh beberapa parameter diantaranya morfologi, ukuran mikro, struktur dan sebagainya. Pembentukan morfologi, ukuran mikro, struktur dari natrium oksida dipengaruhi oleh suhu sintering. Pembentukan natrium oksida diperoleh dari peruraian natrium karbonat dengan perlakuan sintering (Zhu et al., 2004)

2.9 Metalurgi Serbuk

Metalurgi serbuk adalah metode yang terus dikembangkan dari proses manufaktur yang dapat mencapai bentuk komponen akhir dengan mencampurkan serbuk secara bersamaan dan dikompaksi dalam cetakan, dan selanjutnya disinter di dalam furnace (tungku pemanas). Langkah-langkah yang harus dilalui dalam metalurgi serbuk, antara lain: Pencampuran (mixing), Penekanan (kompaksi) dan Pemanasan (sintering).

2.9.1.Pencampuran (mixing)

Blending dan mixing merupakan istilah yang biasa digunakan dalam pembuatan

material dengan menggunakan metode serbuk namun kedua metode tersebut berbeda menurut standar ISO. Blending didefinisikan sebagai proses penggilingan suatu material tertentu hingga menjadi serbuk yang merata pada beberapa komposisi nominal. Proses blending dilakukan untuk menghasilkan serbuk yang sesuai dengan komposisi dan ukuran yang diinginkan. Mixing didefinisikan sebagai pencampuran dua atau lebih serbuk yang berbeda (Afza, 2011).


(48)

15

1. Pencampuran basah (wet mixing) Proses pencampuran dimana serbuk matrik dan filler dicampur terlebih dahulu dengan pelarut polar. Metode ini dipakai apabila material (matrik dan filler) yang digunakan mudah mengalami oksidasi. Tujuan pemberian pelarut polar adalah untuk mempermudah proses pencampuran material yang digunakan dan untuk melapisi permukaan material supaya tidak berhubungan dengan udara luar sehingga mencegah terjadinya oksidasi pada material yang digunakan.

2. Pencampuran kering (dry mixing) Proses pencampuran yang dilakukan tanpa menggunakan pelarut untuk membantu melarutkan dan dilakukan di udara luar. Metode ini dipakai apabila material yang digunakan tidak mudah mengalami oksidasi (Nayiroh,2013).

2.9.2Penekanan (pressing)

Penekanan merupakan proses pemadatan serbuk menjadi sampel dengan bentuk tertentu sesuai dengan cetakannya. Ada 2 macam metode penekanan, yaitu:

1. Cold compressing, yaitu penekanan dengan temperatur kamar. Metode

ini dipakai apabila bahan yang digunakan mudah teroksidasi, seperti Al.

2. Hot compressing, yaitu penekanan dengan temperatur di atas temperatur

kamar. Penekanan (pressing) adalah kompaksi yang secara simultan dengan pencetakan dari bubuk atau granular dalam cetakan die atau

mold (Nayiroh,2013).

2.9.3 Pemanasan (sintering)

Pemanasan pada temperatur di bawah titik leleh material komposit disebut dengan

sintering. Diantara langkah-langkah untuk meningkatkan ikatan antar partikel

setelah kompaksi adalah dengan disintering. Parameter sintering :

1.Temperatur (T) 2.Waktu


(49)

5.Atmosfer sintering 6.Jenis material

Berdasarkan pola ikatan yang terjadi pada proses kompaksi, ada 2 fenomena yang mungkin terjadi pada saat sintering, yaitu:

1. Penyusutan (shrinkage)

Apabila pada saat kompaksi terbentuk pola ikatan bola-bidang maka pada proses sintering akan terbentuk shrinkage, yang terjadi karena saat proses

sintering berlangsung gas (lubricant) yang berada pada porositas

mengalami degassing (peristiwa keluarnya gas pada saat sintering). Dan apabila temperatur sinter terus dinaikkan akan terjadi difusi permukaan antar partikel matrik dan filler yang akhirnya akan terbentuk liquid

bridge/necking (mempunyai fasa campuran antara matrik dan filler). Liquid bridge ini akan menutupi porositas sehingga terjadi eleminasi

porositas/berkurangnya jumlah dan ukuran porositas. Penyusutan dominan bila pemadatan belum mencapai kejenuhan (Nayiroh,2013).

2. Retak (cracking)

Apabila pada kompaksi terbentuk pola ikatan antar partikel berupa bidang, sehingga menyebabkan adanya trapping gas (gas/lubricant terjebak di dalam material), maka pada saat sintering gas yang terjebak belum sempat keluar tapi liquid bridge telah terjadi, sehingga jalur porositasnya telah tertutup rapat. Gas yang terjebak ini akan mendesak ke segala arah sehingga terjadi bloating (mengembang), sehingga tekanan di porositas lebih tinggi dibanding tekanan di luar. Bila kualitas ikatan permukaan partikel pada bahan komposit tersebut rendah, maka tidak akan mampu menahan tekanan yang lebih besar sehingga menyebabkan retakan (cracking). Keretakan juga dapat diakibatkan dari proses pemadatan yang kurang sempurna, adanya shock termal pada saat pemanasan karena pemuaian dari matrik dan filler yang berbeda (Nayiroh,2013). Proses sintering meliputi 3 tahap mekanisme pemanasan:

1. Presintering

Presintering merupakan proses pemanasan yang bertujuan untuk:


(50)

17

2. Pengeluaran gas dari atmosfer atau pelumas padat yang terjebak dalam porositas bahan komposit (degassing)

3. Menghindari perubahan temperatur yang terlalu cepat pada saat proses

sintering (shock thermal)

2. Difusi permukaan

Pada proses pemanasan untuk terjadinya transportasi massa pada permukaan antar partikel serbuk yang saling berinteraksi, dilakukan pada temperatur sintering (2/3 Tm). Atom-atom pada permukan partikel serbuk saling berdifusi antar permukaan sehingga meningkatkan gaya kohesifitas antar partikel.

3. Eliminasi porositas

Tujuan akhir dari proses sintering pada bahan komposit berbasis metalurgi serbuk adalah bahan yang mempunyai kompaktibilitas tinggi. Hal tersebut terjadi akibat adanya difusi antar permukaan partikel serbuk, sehingga menyebabkan terjadinya leher (liquid bridge) antar partikel dan proses akhir dari pemanasan sintering menyebabkan eliminasi porositas (terbentuknya

sinter density) (Nayiroh,2013).

Sintering dapat diklasifikasikan dalam dua bagian besar yaitu sintering dalam keadaan padat (solid state sintering) dan sintering fasa cair (liquid phase

sintering). Sintering dalam keadaan padat dalam pembuatan material yang

diberi tekanan diasumsikan sebagai fasa tunggal oleh karena tingkat pegotornya rendah. Sedangkan sintering pada fasa cair adalah sintering untuk serbuk yang disertai terbentuknya fase liquid selama proses sintering berlangsung.

(a) (b)

Gambar 2.9 Proses sinter padat.


(51)

Dari gambar 2.9 dapat dilihat bahwa proses sintering dalam keadaan padat, selama sintering penyusutan serbuk, kekuatan dari material akan bertambah, pori-pori dan ukuran butir berubah. Perubahan ini diakibatkan oleh sifat dasar dari serbuk itu sendiri, kondisi tekanan, aditif, waktu sintering dan suhu. Proses sintering memerlukan waktu dan suhu pemanasan yang cukup agar partikel halus dapat menjadi padat. Sinter tanpa cairan memerlukan difusi dalam bahan padat itu sendiri, sehingga diperlukan suhu tinggi dalam proses sintering (Afza, 2011).

2.10 Karakterisasi Material Magnet

Untuk mengetahui sifat-sifat dan kemampuan suatu material maka perlu dilakukan pengujian dan analisis. Beberapa jenis pengujian dan analisis yang dibahas untuk keperluan penelitian ini antara lain : pengujian sifat fisis (densitas (true density)), dan analisa struktur kristal dengan menggunakan alat uji XRD (X-Ray Diffraction).

2.10.1 Sifat Fisis

Densitas merupakan ukuran kepadatan dari suatu material. Pengukuran densitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah true density dan bulk density. True

density merupakan densitas nyata dari partikel atau kepadatan sebenarnya dari

partikel padat atau serbuk (powder) berbeda dengan bulk density, yang mengukur kepadatan rata-rata volume terbesar dari serbuk yang sudah dipadatkan. Pada pengujian true density menggunakan piknometer. Bulk density merupakan densitas sampel yang berdasarkan volume sampel termasuk dengan rongga atau pori. Pengujian Bulk density dilakukan untuk megukur benda padatan yang besar dengan bentuk yang beraturan maupun yang tidak beraturan. Pada pengujian Bulk

density menggunakan metode Archimedes.

Densitas sering didefinisikan sebagai perbandingan antara massa (m) dengan volume (v) dalam hubungannya dapat dituliskan sebagai berikut (M. Ristic, 1979).

ρ ………..(2.1)


(52)

19

v = Volume sampel (cm3)

True density adalah kerapatan dari serbuk yang diukur dengan alat piknometer

dapat dihitung dengan rumus:

ρ x ρair………..(2.2)

dengan:m1 = massa picnometer dalam keadaan kosong (gram) m2 = massa picnometer diisi dengan air (gram)

m3 = massa picnometer kering diisi dengan serbuk (gram) m4 = massa picnometer diisi dengan serbuk dan air (gram) ρair=massa jenis air (1 gram/cm3)

Porositas dapat didefenisikan sebagai perbandingan antara jumlah volume lubang-lubang kosong yang dimiliki oleh zat padat (volume kosong) dengan jumlah dari volume zat padat yang ditempati oleh zat padat. Porositas pada suatu material dinyatakan dalam persen (%) rongga fraksi volume dari suatu rongga yang ada di dalam material tersebut. Besarnya porositas pada suatu material bervariasi mulai dari 0% sampai dengan 90% tergantung dari jenis dan aplikasi material tersebut. Ada dua jenis porositas yaitu porositas terbuka dan porositas tertutup. Porositas yang tertutup pada umumnya sulit untuk ditentukan karena pori tersebut merupakan rongga yang terjebak di dalam padatan dan serta tidak ada akses ke permukaan luar, sedangkan pori terbuka masih ada akses ke permukaan luar, walaupun ronga tersebut ada ditengah-tengah padatan (Delovita, 2015).

2.10.2 Uji Difraksi Sinar-X (XRD)

Uji difraksi sinar-X (XRD) dilakukan untuk menentukan fasa yang terbentuk setelah serbuk mengalami proses kalsinasi. Dari data yang akan dihasilkan dapat diprediksi ukuran kristal serbuk dengan bantuan software Xpowder dan Match. Ukuran kristalin ditentukan berdasarkan pelebaran puncak difraksi sinar-X yang muncul. Makin lebar puncak difraksi yang dihasilkan maka makin kecil ukuran kristal serbuk. Ada 3 komponen dasar suatu difraktometer sinar X yaitu:

1.Sumber Sinar X 2.Spesimen (Bahan Uji)


(53)

Gambar 2.10 Geometri sebuah Difraktometer sinar –X

Sudut antara permukaan bidang spesimen dan sumber sinar X adalah sudut Bragg (Ө). Sudut antara projeksi sumber sinar X dan detektor adalah 2Ө. Atas dasar ini pola difraksi sinar X yang dihasilkan dengan geometri ini sering dikenal sebagai penyidikan (scans) Ө- 2Ө(theta-dua theta). Pada geometri Ө- 2Өsumber sinar X-nya tetap, dan detektor bergerak melalui suatu jangkauan (range) sudut. Jejari (radius) lingkaran pemfokus tidak konstan tetapi bertambah besar bila 2Ө berkurang. Range pengukuran 2Өbiasanya dari 00 hingga sekitar 170.

Pada eksperimen tidak diperlukan menyidik seluruh sudut tersebut, pemilihan rangenya tergantung pada struktur kristal material (jika dikenal) dan waktu yang diperlukan untuk memperoleh pola difraksinya. Untuk spesimen yang tak dikenal range sudut yang besar sering dilakukan karena posisi refleksi refleksinya belum diketahui. Geometri Ө- 2Ө umumnya digunakan, walaupun masih ada geometri yang lain seperti geometri Ө- Ө(theta-theta) dimana detektor dan sumber sinar-X keduanya bergerak pada bidang vertikal dalam arah yang berlawanan di atas pusat spesimennya. Pada beberapa bentuk analisis difraksi sinar-X sampel dapat dimiringkan dan dirotasikan sekit

Lingkaran difraktometer pada gambar 2.10 berbeda dari lingkaran pemfokusnya. Lingkaran difraktometer berpusat pada specimen dan detektor dengan sumber sinar-X keduanya berada pada keliling lingkarannya. Jejari lingkaran difraktometer adalah tetap. Lingkaran difraktometer juga dinyatakan sebagai lingkaran goniometer. Goniometer adalah komponen sentral dari suatu difraktometer sinar-X dan mengandung pemegang sampel (sample holder). Pada kebanyakan difraktometer serbuk goniometernya adalah vertical (Kim S, 2013).


(54)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Magnet permanen merupakan material rekayasa dengan aplikasi luas yang banyak digunakan pada industri di Indonesia, namun pemenuhan komponen magnet permanen sampai saat ini masih bergantung pada produk impor seperti dari Jepang dan China. Hal ini dikarenakan belum adanya produsen magnet permanen lokal dalam negeri (Sardjono, 2012).

Di Indonesia, banyak ditemui pemakaian magnet untuk berbagai macam keperluan baik untuk industri dalam skala besar maupun industri rumah tangga. Namun sayangnya, bahan magnet tidak bisa ditemukan begitu saja, melainkan harus dilakukan proses pengolahan terlebih dahulu agar bisa digunakan. Hal inilah yang menyebabkan negara kita mengimpor magnet dari luar negeri, sementara bahan baku yang merupakan sumber daya alam (SDA) lokal untuk membuat magnet begitu banyak tersedia di Indonesia (Priyono, 2004).

Material nanokristal feromagnetik merupakan material yang menarik perhatian para peneliti beberapa tahun terakhir ini. Salah satunya adalah oksida heksagonal ferit. Berdasarkan rumus kimia dan struktur kristalnya, heksaferit dikelompokkan menjadi 5 tipe, yaitu : tipe-M , tipe-W , tipe-X , tipe-Y dan tipe-Z. Tipe-M yang lebih dikenal dengan sebutan barium heksagonal ferit (BaM) merupakan oksida keramik yang paling banyak dimanfaatkan secara komersial dan hingga kini telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengembangkan material tersebut baik dari segi fabrikasinya maupun penggunaannya. Barium heksaferit dan seluruh turunannya memiliki sifat magnet yang spesifik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai magnet permanen, media peredam magnetik dan peralatan aplikasi gelombang mikro lainnya. (Candra Kurniawan,2011).

Bahan magnet permanen Barium heksaferit telah sangat dikenal dan banyak digunakan baik di industri maupun pada peralatan rumah tangga. Pemanfaatan bahan barium heksaferit ini secara luas, didukung oleh harganya yang murah, nilai koersivitas, saturasi magnet dan suhu transisi magnet (suhu Curie,Tc) yang tinggi,


(55)

sifat kimia yang stabil, dan tahan korosi, sehingga membuat bahan magnet ferit paling banyak digunakan dan diproduksi di industri terutama untuk komponen elektronik dan penyerap gelombang mikro. Beberapa tahun terakhir ini senyawa Barium heksaferit telah diaplikasikan dalam bidang industri material elektronik dan magnetik karena senyawa ini mempunyai magnetisasi total dan medan anisotropi yang relatif tinggi, stabil terhadap suhu tinggi dan relatif tahan terhadap bahan kimia. Sifat semacam ini sangat diperlukan sebagai material strategis di dunia industri yang merupakan material magnetik,apalagi dengan adanya subsitusi ion lain yang dapat mempengaruhi karakteristiknya (Ridwan, 2012). Sifat-sifat kemagnetan dari Barium heksaferit sangat tergantung pada mikrostrukturnya, seperti misalnya ukuran butir (grain size) dan distribusi grain size. Dalam pembuatan Barium heksaferit ditambahkan bahan aditif yang berfungsi memperbaiki mikrostruktur yaitu mencegah pertumbuhan butir dan sebagai filler. Beberapa jenis aditif yang digunakan dalam pembuatan magnet ferit antar lain: B2O3, SiO2, Na2O (Vidyawati, 2002).

Seperti telah diketahui, sifat-sifat makroskopik seperti sifat magnet, listrik maupun mekanik bahan akan sangat bergantung pada struktur mikroskopiknya. Oleh sebab itu, proses sintesis maupun komponen unsur-unsur yang terkandung di dalam bahan akan berpengaruh terhadap produk akhir yang dihasilkan. Pengaruh suhu dan lama sintering merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan kristalit bahan. Pertumbuhan kristalit ini dapat dipercepat ataupun dibatasi dengan menambahkan unsur-unsur tertentu ke dalam prekursor (Ridwan, 2012).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh Na2O terhadap proses sintering, sifat fisis dan sifat magnet Barium heksaferit dengan variasi 0, 1, 2, dan 3% berat (%wt).


(56)

3

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah untuk proses pembuatan magnet keramik permanen terbatas pada :

1. Karakterisasi Barium heksaferit dengan penambahan aditif Na2O sebanyak 0, 1, 2, dan 3 % wt (dalam persen berat).

2. Sintering dilakukan pada suhu 1100oC - 1300oC

1.4Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah:

1. Mengetahui pengaruh Na2O terhadap sifat fisis ( densitas dan porositas) dan sifat magnet ( fluks magnetic dan kurva histerisis)

2. Mengetahui pengaruh Aditif Na2O terhadap suhu sintering

1.5Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam merekayasa material keramik magnetik berupa magnet permanen berbasis Barium heksaferit dengan penambahan aditif Na2O menggunakan metode metalurgi serbuk.

1.6 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di laboratorium, yaitu:

1. Pusat Penelitian Pengembangan Fisika (P2F) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) PUSPIPTEK, Serpong.

2. Penelitian di mulai pada 01 Februari 2016 sampai dengan 03 Mei 2016.

1.7Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada masing –masing bab adalah sebagai berikut :

Bab 1 Pendahuluan

Bab ini mencakup latar belakang penelitian, batasan masalah yang akan diteliti, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tempat penelitian, dan sistematika penelitian


(57)

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Bab ini membahas tentang landasan teori yang menjadi acuan untuk proses pengambilan data, analisa data serta pembahasannya.

Bab 3 Metodelogi Penelitian

Bab ini membahas tentang peralatan dan bahan penelitian, diagram alir penelitian, dan pengujian sampel.

Bab 4 Hasil dan Pembahasan

Bab ini membahas tentang data hasil penelitian dan analisa yang diperoleh dari penelitian

Bab 5 Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian dan memberikan saran untuk penelitian yang lebih lanjut


(58)

EFEK PENAMBAHAN Na

2

O TERHADAP PROSES

SINTERING, SIFAT FISIS, DAN SIFAT MAGNET BaFe

12

O

19

ABSTRAK

Penelitian mengenai efek penambahan Na2O pada material Barium Heksaferit (BaFe12O19) dengan menggunakan metode metalurgi serbuk telah dilakukan. Aditif Na2O divariasi antara lain : 0%, 1%, 2%, dan 3%wt dan suhu sintering divariasi : 1100oC, 1150oC, 1200oC, 1250oC, dan 1300oC yang masing–masing pada suhu tersebut ditahan selama 1 jam. Karakterisasi yang dilakukan meliputi : pengukuran true density, susut bakar, bulk density, porositas, flux density, uji VSM, dan analisa mikrostruktur dengan XRD. Dari hasil analisa dengan XRD diperoleh bahwa hasil yang terlihat adalah fasa BaFe12O19 sebagai fasa dominan untuk semua sampel dengan aditif Na2O 0%, 1%, 2%, dan 3%wt. Dari hasil karakterisasi sifat fisis diperoleh hasil yang terbaik yaitu pada penambahan Na2O 1% dengan suhu 1100oC. Pada kondisi ini diperoleh : nilai susut bakar = 11,5%, porositas = 1%, dan bulk density = 3,84 gr/cm3. Dengan penambahan aditif Na2O (1%, 2%, dan 3%wt) maka nilai sifat magnetik cenderung menurun. Nilai fluks

magnetic terbesar yaitu 548,2 G terdapat pada suhu sintering 1200oC dengan

aditif Na2O 1%. Dari hasil pengujian VSM untuk penambahan aditif Na2O 1% diperoleh nilai koersifitas yaitu 0,982 KOe, nilai remanence yaitu 25,72 emu/g dan nilai magnet saturasi yaitu 47,24 emu/g.

Kata kunci : Magnet Permanen, Barium Heksaferit, Aditif Na2O, Sintering, Sifat Fisis dan Sifat Magnet


(59)

PHYSICAL PROPERTIES, AND MAGNETIC OF BaFe

12

O

19

ABSTRACT

Research on the addition effect of Na2O in material barium hexaferrite

(BaFe12O19) by using the method metallurgy has been done. Na 2O additive

variations include : 0%, 1%, 2% and 3% wt and temperature sintering variations

: 1100oC, 1150oC, 1200oC, 1250oC, and 1300oC hold for 1 hours. The

characterizations was conducted : measurement of true density, keel fuel, bulk density, porosity, flux density, VSM test and microstructure analysis using XRD.

From the analysis by XRD obtained that results seen is the phase BaFe12O19 as

the phase dominant to sample additive all with Na2O 0%, 1%, 2% and 3% wt.

From the results of the physical characterization is obtained the best results is to

adding Na2O 1% with the temperature sintering 1100oC, with a keel fuel 11,5%,

porosity 1%, and a bulk density 3,84 gr/cm3, With the addition of additives Na2O

(1%, 2% and 3% wt) this value of magnetic properties decline. The magnetic flux

of 548,2 G found in temperature sintering 1200oC with additive Na2O 1%. From

the testing VSM for additive Na2O 1% obtained coercivity value 0,982 KOe, the

remanence 25,72 emu/g and value saturation the magnetic 47,24 emu/g.

Keywords : Permanent Magnet, Barium Hexaferrite, Additive Na2O,


(60)

EFEK PENAMBAHAN Na2O TERHADAP PROSES SINTERING, SIFAT

FISIS, DAN SIFAT MAGNET BaFe12O19

SKRIPSI

INDAH JURIANI 120801005

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(61)

FISIS, DAN SIFAT MAGNET BaFe12O19

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

INDAH JURIANI 120801005

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(62)

PERSETUJUAN

Judul : Efek Penambahan Na2O Terhadap Proses

Sintering, Sifat Fisis, Dan Sifat Magnet BaFe12O19

Kategori : Skripsi

Nama : Indah Juriani

Nomor Induk Mahasiswa : 120801005

Program studi : Sarjana (S1) Fisika Departemen : Fisika

Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di: Medan, Juni 2016

Disetujui Oleh

Pembimbing 1, Pembimbing 2,

Ir. Muljadi, M.Si. Drs.Syahrul Humaidi, M.Sc NIP : 195711161983121002 NIP: 196506171993031009

Departemen Fisika FMIPA USU Ketua,


(1)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel x

Daftar Gambar xi

Daftar Lampiran xii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 2

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Batasan Masalah 3

1.4 Tujuan Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

1.6 Tempat dan Waktu Penelitian 3

1.7 Sistematika Penulisan 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Pengertian Magnet 5

2.2 Macam-Macam Magnet 6

2.3 Sifat-Sifat Kemagnetan Bahan 6

2.3.1 Bahan Ferromagnetik 7

2.3.2 Bahan Anti Ferromagnetik 7

2.3.3 Bahan Ferrimagnetik 8

2.3.4 Bahan Paramagnetik 8


(2)

2.4 Jenis Magnet Permanen 9

2.5 Kurva Histerisis 9

2.6 Magnet Keramik 11

2.7 Barium Heksaferit 12

2.8 Natrium Oksida 14

2.9 Metode Metalurgi Serbuk 14

2.9.1 Pencampuran (Mixing) 14

2.9.2 Penekanan (pressing) 15

2.9.3 Pemanasan (Sintering) 15

2.10 Karakterisasi Material Magnet 18

2.10.1 Sifat Fisis 18

2.10.2 XRD (X-Ray Diffraction) 19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 21

3.1 Tempat Penelitian 21

3.1.2 Waktu Penelitian 21

3.2 Alat dan Bahan 21

3.2.1 Bahan 21

3.2.2 Alat 21

3.3 Variabel Eksperimen 23

3.3.1 Variabel Penelitian 23

3.3.2 Variabel Percobaan yang diuji 23

3.4 Diagram Alir 24

3.5 Prosedur Penelitian 25

3.5.1 Pencampuran Bahan Baku 25

3.5.1.1 Preparasi Serbuk Barium Heksaferit dan Na2O 25

3.5.2 Proses Kalsinasi 25

3.5.3 Proses Milling 26

3.5.4 Proses Pencetakan 26

3.5.5 Proses Sintering 26

3.5.6 Magnetisasi 27


(3)

3.6.1 Uji Densitas 27

3.6.1.1 Bulk Density 27

3.6.2 Porositas 28

3.6.3 Susut Bakar 28

3.7 Sifat Magnet 28

3.8 Analisa Mikrostruktur 29

3.8.1 XRD (X-ray Diffractrometer) 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 30

4.1 Karakterisasi Sifat Fisis 30

4.1.1 Densitas dan Porositas 30

4.1.1.1 True Density 30

4.1.1.2 Bulk Density 31

4.1.1.3 Porositas 32

4.1.1.4 Susut Bakar 33

4.2 Karakterisasi Mikrostruktur 34

4.2.1 Pengujian XRD (X-Ray Difraction) 34

4.3 Karakteristik Sifat Magnet 37

4.3.1 Fluks Density Magnetic 37

4.3.2 Pengujian VSM 38

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 41

5.1 Kesimpulan 41

5.2 Saran 41


(4)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Komposisi Bahan baku BaFe12O19 : NaHCo3 25

Tabel 4.1 Hasil Pengujian True Density 30

Tabel 4.2 Hasil Pengujian Bulk Density 32

Tabel 4.3 Hasil Pengujian Porositas 33

Tabel 4.4 Hasil Pengujian Susut Bakar 34

Tabel 4.5 Hasil pengujian Fluks densitas Magnetic 38


(5)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Momen Magnetik Dari Sifat Ferromagnetik 7 Gambar 2.2 Momen Magnet Dari Sifat Anti Ferromagnetik 7 Gambar 2.3 Momen Magnetik Dari Sifat Paramagnetik 8 Gambar 2.4 Momen Magnetik Dari Sifat Ferrimagnetik 8 Gambar 2.5 Arah partikel pada magnet isotropi dan anisotropi 9 Gambar 2.6 Kurva Histerisis untuk Ferromagnetik dan Ferrimagnetik. 10 Gambar 2.7 Kurva Histerisis Material Magnetik 10

Gambar 2.8 Struktur kristal BaFe12O19 13

Gambar 2.9 Skema struktur kristal BaFe12O19 13

Gambar 2.10 Proses Sintering 18

Gambar 2.11 Difraksi Bidang Atom 21

Gambar 4.1 Hubungan antara bulk density dengan penambahan komposisi Na2O dari BaFe12O19 sebagai fungsi suhu sintering 31 Gambar 4.2 Hubungan antara porositas dengan penambahan komposisi

Na2O dari BaFe12O19 sebagai fungsi suhu sintering. 32 Gambar 4.3 Hubungan antara susut bakar dengan penambahan komposisi

Na2O dari BaFe12O19 sebagai fungsi suhu sintering. 33 Gambar 4.4 Pola difraksi sinar- x sampel BaFe12O19 dengan aditif 0%

Na2O dan disintering 1200°C 35

Gambar 4.5 Pola difraksi sinar- x sampel BaFe12O19 dengan aditif 1%

Na2O dan disinterring 1200°C 35

Gambar 4.6 pola difraksi sinar- x sampel BaFe12O19 dengan aditif 2%

Na2O dan disinterring 1200°C 36

Gambar 4.7 pola difraksi sinar- x sampel BaFe12O19 dengan aditif 3%

Na2O dan disinterring 1200°C 37

Gambar 4.8 Hubungan antara fluks magnetik dengan penambahan

komposisi Na2O dari BaFe12O19 sebagai fungsi suhu sintering. 38

Gambar 4.9 Kurva histerisis BaFe12O19 dengan penambahan Na2O 0%, 1%,


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Peralatan dan bahan 43

Lampiran 2 Perhitungan 44