Tinjauan Yuridis Penerapan Manajemen Risiko Pada Bank Sumut Yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah (Studi Pada Bank Sumut)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Badrulzaman Darus Mariam, 1989, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung. _____________, 2005, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung.

_____________, 1993, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan

Penjelasannya, Alumni, Bandung.

Badrulzaman Darus Mariam, dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Darmawan Indra, 1992, Pengantar Uang dan Perbankan, Rineka Cipta, Jakarta.

Djumhana Muhammad, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Djohan Mohammad, 1990, Perbankan di Indonesia, Gramedia, Jakarta.

Fuady Munir, 2002, Hukum Perkreditan Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

_____________, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung.

Harahap Yahya M, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung. Ibrahim Johannes, 2004, Bank Sebagai Lembaga Intermediasi Dalam Hukum

Positif, CV. Utomo, Bandung.

Mahmoedin H. As, 1994, Etika Bisnis Perbankan, Mulia Sari, Jakarta.

Mantayborbir S, et.all, 2001, Pengurusan Piutang Macet Pada PUPN/BUPLN

(Kajian Teori dan Praktik), Pustaka Bangsa, Jakarta.

Muhammad Abdulkadir, 1986, Hukum Perjanjian¸ Alumni, Bandung.

Muljadi Kartini dan Gunawan Widjaja, 2002, Kebendaan Pada Umumnya , Kencana, Jakarta.


(2)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN JUAL BELI

A. Pengertian Perjanjian

Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Menurut Subekti, “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.17

Ada beberapa penulis yang memakai perkataan persetujuan yang tentu saja tidak salah, karena peristiwa termaksud juga berupa suatu kesepakatan atau pertemuan kehendak antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu dan perkataan persetujuan memang lebih sesuai dengan perkataan Belanda overeenkomst yang dipakai oleh BW, tetapi karena perjanjian oleh masyarakat sudah dirasakan sebagai suatu istilah yang mantap untuk menggambarkan rangkaian janji-janji yang pemenuhannya dijamin oleh hukum.18

Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan, pembentukan organisasi usaha dan sebegitu jauh

17 Ibid., hal. 1


(3)

menyangkut juga tenaga kerja.19

Mengenai batasan pengertian perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata, Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung kelemahan-kelemahan.20 Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal janji kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri. Sehingga hukum ke III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.21

Kalau demikian, perjanjian/verbintennis adalah hubungan hukum/

rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara

perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan Berdasarkan pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain “hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut Hukum Kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi”.


(4)

hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Suatu perjanjian yang mengikat (perikatan) minimal harus ada salah satu pihak yang mempunyai kewajiban karena bila tidak ada pihak yang mempunyai kewajiban, maka dikatakan tidak ada perjanjian yang mengikat.

Hubungan hukum yang terjadi, baik karena perjanjian maupun karena hukum, dinamakan perikatan karena hubungan hukum tersebut mengikat, yaitu kewajiban-kewajiban yang timbul dari adanya perikatan itu dapat dipaksakan ,secara hukum. Jadi, suatu perjanjian yang tidak mengikat atau tidak dapat dipaksakan (unenforceable) adalah bukan perikatan.22

Berdasarkan hal tersebut maka satu pihak memperoleh hak/recht dan Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.

22 Notaris Nurul Muslimah Kurniati, “Kontrak Dan Perikatan”, Melalui

http://notarisnurulmuslimahkurniati.blogspot.com/2009/04/kontrak-dan-perikatan.html, Diakses tanggal 11 Pebruari 2014.


(5)

pihak sebelah lagi memikul kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau voorwerp dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser atau kreditur. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur.

Hukum kebendaan dikatakan bersifat tertutup, dan karenanya tidak boleh ditambah, diubah, dikurangi atau dimodifikasi oleh orang perorangan atas kehendak mereka sendiri, hukum kebendaan, seringkali juga disebut sebagai hukum yang memaksa .23

Selanjutnya dapat dilihat perbedaan antara hukum benda/zakenrecht Akan tetapi seperti yang telah pernah disinggung di atas, karakter hukum kekayaan dalam harta benda keluarga adalah lahir dengan sendirinya, semata-mata karena ketentuan undang-undang. Vermogenrecht/hukum kekayaan yang bersifat pribadi dalam perjanjian/verbintenis baru bisa tercipta apabila ada tindakan hukum/rechthandeling.

Sekalipun yang menjadi objek atau vorwerp itu merupakan benda, namun hukum perjanjian hanya mengatur dan mempermasalahkan hubungan benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi tertentu (bepaalde persoon).


(6)

dengan hukum perjanjian.

a. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi mempunyai droit de suite.

b. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk menghormati hak seseorang atas benda tadi, in violable et sacre.

c. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan sesukanya atas benda tersebut.

Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam perjanjian adalah bersifat “ hak relatif “/relatief recht. Dia hanya mengatur hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan diri padanya berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan hukum / recht berrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara orang-orang tertentu saja.24

Terutama mengenai hubungan tanah dengan seseorang, tidak lagi ditekankan pada faktor hak. Tetapi dititik beratkan pada segi penggunaan dan fungsi sosial tanah, agar selaras dengan maksud dan jiwa pada Pasal 33 ayat 3 Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang pengertian hukum benda yang diatur dalam BW dalam Buku II, yang menganggap hak kebendaan itu “inviolable et sacre” dan memiliki droit de

suite, tidak mempunyai daya hukum lagi. Sebab dengan berlakunya

Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 sesuai dengan asas unifikasi hukum pertanahan, Buku II Burgelijk Wetboek (BW) tidak dinyatakan berlaku lagi.

24Universitas Sumatera Utara, “Tinjauan Umum Tentang Kompensasi”,

Pebruari 2014.


(7)

Undang-Undang Dasar 1945.

Seperti telah dikemukakan di atas, pada umumnya hak yang lahir dari perjanjian itu bersifat hak relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada

persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas

perbuatan hukum.

Akan tetapi ada beberapa pengecualian:

a. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang tertentu (bepaalde persoon), verbintenis bisa terjadi oleh suatu keadaan/kenyataan tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan.

b. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata, dapat dikonkritisasi sebagai verbintenis. Sekalipun sebelumnya tidak ada hubungan hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat dilihat pada

Waterkraan Arrest (H.R. 10 Juni 1910).25

Verbintenis/perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam

perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapatkan prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa kreditur menyelesaikan pelaksanaan kewajiban/prestasi yang mereka perjanjikan. Apabila debitur enggan secara sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada Pengadilan untuk melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa. Akan tetapi tidak seluruhnya verbintenis


(8)

mempunyai sifat yang dapat dipaksakan.

Pengecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis. Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat tanpa hak memaksa. Jadi natuurlijk verbintenis adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa. Dengan demikian, perjanjian dapat dibedakan antara:

a. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).

Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Misalnya perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.

b. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti

natuurlijke verbintenis.

Ketidak sempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak dapat dipaksakan.

c. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, Disini pemenuhan

dapat dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan dan eksekusi riel, ganti rugi serta uang paksa.

Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat dan bertujuan mengadakan tata


(9)

tertib diantara anggota-anggota masyarakat. Ini berarti bahwa unsur hukum baru dapat dianggap ada, apabila suatu tingkah laku seseorang sedikit banyak menyinggung atau mempengaruhi tingkah laku dengan kepentingan orang lain.

Wirjono Prodjodikoro, berpendapat: “Bahwa dalam hal gangguan oleh pihak ketiga, pemilik hak benda dapat melaksanakan haknya terhadap siapapun juga, adalah sifat lain dari hak benda yaitu sifat absolut. Sedangkan dalam hukum perjanjian seseorang yang berhak, dapat dibilang mempunyai hak tak mutlak yaitu hanya dapat melaksanakan haknya terhadap seorang tertentu yakni orang pihak lain yang turut membikin perjanjian itu ”.26

Suatu perhubungan hukum mengenai suatu benda, hukum perdata membedakan hak terhadap benda dan hak terhadap orang. Meskipun suatu perjanjian adalah mengenai suatu benda, perjanjian itu tetap merupakan perhubungan hukum antara orang dengan orang, lebih tegasnya antara orang tertentu dengan orang lain tertentu. Artinya, hukum perdata tetap memandang suatu perjanjian sebagai hubungan hukum, di mana seorang tertentu, berdasarkan atas suatu janji berkewajiban untuk melakukan suatu hal, dan orang lain tertentu berhak menuntut pelaksanaan kewajiban itu. Misalnya, A dan B membuat perjanjian jual beli, yaitu A adalah penjual dan B adalah pembeli, dan barang yang dibeli adalah sebuah lemari tertentu yang berada di dalam rumah A. Harga pembelian sudah dibayar, tetapi sebelum lemari diserahkan kepada B, ada pencuri yang mengambil lemari tersebut, sehingga


(10)

lemari tersebut jatuh ke tangan seorang ketiga (C). Dalam hal ini B hanya berhak menegur A supaya lemari diserahkan kepadanya, dan B tidak dapat langsung menegur C supaya lemari tersebut diserahkan kepadanya.

Sifat hukum perjanjian ini berbeda dengan sifat hukum kebendaan. Pada hukum benda, hubungan hukum itu terjadi antara orang dengan benda. Sedangkan pada hukum perjanjian, hubungan hukum itu terjadi antara orang dengan orang berdasarkan perjanjian yang dibuat orang-orang tersebut.

Dengan sifat hukum perjanjian, yakni sifat perorangan, maka para pihak dapat dengan bebas menentukan isi dari perjanjian yang mereka buat, asal saja tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, yang artinya hukum perjanjian itu menganut sistem terbuka.

Pasal-pasal dari hukum perjanjian ini merupakan hukum pelengkap, yaitu pasal-pasal itu dapat dikesampingkan apabila dikehendaki, oleh para pihak yang membuat perjanjian, mereka diperbolehkan mengatur sendiri sesuatu soal, namun tidak boleh melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

KUH Perdata, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) yang mengatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Uraian di atas juga dikenal asas kebebasan berkontrak. Hukum tidak pernah berhubungan dan tidak perlu mengetahui apa yang melatar belakangi dibuatnya suatu perjanjian, melainkan cukup bahwa prestasi yang dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan undang-undang,


(11)

kesusilaan dan ketertiban umum. 27

Bentuk atau jenis perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci dalam undang-undang, akan tetapi dalam pemakaian hukum perjanjian oleh Dikarenakan hukum perjanjian itu adalah merupakan peristiwa hukum yang selalu terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga apabila ditinjau dari segi yuridisnya, hukum perjanjian itu tentunya mempunyai perbedaan satu sama lain dalam arti kata bahwa perjanjian yang berlaku dalam masyarakat itu mempunyai coraknya yang tersendiri pula. Corak yang berbeda dalam bentuk perjanjian itu, merupakan bentuk atau jenis dari perjanjian.

Bentuk atau jenis perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci dalam undang-undang, akan tetapi dalam pemakaian hukum perjanjian oleh masyarakat dengan penafsiran pasal dari KUH Perdata terdapat bentuk atau jenis yang berbeda tentunya.

B. Jenis Perjanjian

Dikarenakan hukum perjanjian itu adalah merupakan peristiwa hukum yang selalu terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga apabila ditinjau dari segi yuridisnya, hukum perjanjian itu tentunya mempunyai perbedaan satu sama lain dalam arti kata bahwa perjanjian yang berlaku dalam masyarakat itu mempunyai coraknya yang tersendiri pula. Corak yang berbeda dalam bentuk perjanjian itu, merupakan bentuk atau jenis dari perjanjian.


(12)

masyarakat de-ngan penafsiran pasal dari KUH Perdata terdapat bentuk atau jenis yang berbeda tentunya.

Perbedaan tersebut dapat penulis kelompokkan sebagai berikut: a. Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Misalnya : jual beli, sewa-menyewa. Dari contoh ini, penulis menguraikan tentang apa itu jual beli.

Jual-beli itu adalah suatu perjanjian bertimbal-balik dimana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga, yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut .

Dari sebutan jual-beli ini tercermin kepada kita memperlihatkan dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan di pihak lain dinamakan pembeli. Dua perkataan bertimbal balik itu, adalah sesuai dengan istilah Belanda Koop en verkoop yang mengandung pengertian bahwa, pihak yang satu Verkoop (menjual), sedangkan koop adalah membeli.28

b. Perjanjian Sepihak

Perjanjian sepihak merupakan kebalikan dari pada perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Contohnya : Perjanjian hibah.

Pasal 1666 KUH Perdata memberikan suatu pengertian bahwa penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya dengan cuma-cuma, dan dengan tidak dapat ditarik kembali


(13)

menyerahkan suatu barang, guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Perjanjian ini juga selalu disebut dengan perjanjian cuma-cuma.

Yang menjadi kriteria perjanjian ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah .

c. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian dengan alasan hak yang membebani Perjanjian cuma-cuma atau percuma adalah perjanjian yang hanya memberi keuntungan pada satu pihak, misalnya: Perjanjian pinjam pakai. Pasal 1740 KUH Perdata menyebutkan bahwa : Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya, untuk dipakai dengan cuma-cuma dengan syarat bahwa yang menerima barang ini setelah memakainya atau setelah lewatnya waktu tertentu, akan mengembalikannya kembali.

Sedangkan perjanjian atas beban atau alas hak yang membebani, adalah suatu perjanjian dalam mana terhadap prestasi ini dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, dan antara kedua prestasi ini ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasinya dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerah lepaskan suatu barang tertentu kepada A .


(14)

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, maksudnya bahwa perjanjian itu memang ada diatur dan diberi nama oleh undang-undang. Misalnya jual-beli, sewa-menyewa, perjanjian pertanggungan, pinjam pakai dan lain-lain. Sedangkan perjanjian bernama adalah merupakan suatu perjanjian yang munculnya berdasarkan praktek sehari-hari. Contohnya: Perjanjian sewa-beli. Jumlah dari perjanjian ini tidak terbatas banyaknya.

Lahirnya perjanjian ini dalam praktek adalah berdasarkan adanya suatu azas kebebasan berkontrak, untuk mengadakan suatu perjanjian atau yang lebih dikenal Party Otonomie, yang berlaku di dalam hukum perikatan.

Contohnya: A ingin membeli barang B, tetapi A tidak mempunyai uang sekaligus, dalam hal ini B si empunya barang mengizinkan A untuk mempergunakan barang tersebut sebagai penyewa, dan apabila dikemudian hari A mempunyai uang, A diberi kesempatan oleh B (si empunya barang) untuk membeli lebih dahulu barang tersebut. Perjanjian sewa beli itu adalah merupakan ciptaan yang terjadi dalam praktek.

Hal di atas tersebut, memang diizinkan oleh undang-undang sesuai dengan azas kebebasan berkontrak yang tercantum di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Bentuk perjanjian sewa beli ini adalah suatu bentuk perjanjian jual-beli akan tetapi di lain pihak ia juga hampir berbentuk suatu perjanjian sewa-menyewa.

Meskipun ia merupakan campuran atau gabungan daripada perjanjian jual beli dengan suatu perjanjian sewa menyewa, tetapi ia lebih condong


(15)

dikemukakan semacam sewa menyewa.

e. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir.

Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadinya perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak.

Untuk berpindahnya hak milik atas sesuatu yang diperjual belikan masih dibutuhkan suatu lembaga, yaitu lembaga penyerahan. Pentingnya perbedaan antara perjanjian kebendaan dengan perjanjian obligatoir adalah untuk mengetahui sejauh mana dalam suatu perjanjian itu telah adanya suatu penyerahan sebagai realisasi perjanjian, dan apakah perjanjian itu sah menurut hukum atau tidak.

Objek dari perjanjian obligatoir adalah : Dapat benda bergerak dan dapat pula benda tidak bergerak, karena perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Maksudnya bahwa sejak adanya perjanjian, timbullah hak dan kewajiban mengadakan sesuatu.

f. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena adanya perjanjian kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian


(16)

nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak perjanjian penitipan, pinjam pakai. Salah satu contoh uraian diatas yaitu: “Perjanjian penitipan barang, yang tercantum dalam Pasal 1694 KUH Perdata, yang memberikan seseorang menerima suatu barang dari orang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya”.29

Wirjono Prodjodikoro mengatakan “jual beli adalah suatu persetujuan dimana suatu pihak mengikat diri untuk berwajib menyerahkan suatu barang, Dari uraian diatas tergambar bahwa perjanjian penitipan merupakan sauatu perjanjian real, jadi bukan suatu perjanjian yang baru tercipta dengan adanya suatu penyerahan yang nyata yaitu memberikan barang yang dititipkan.

Setelah penulis kemukakan tentang keanekaan dari perjanjian, maka telah dapat penulis kelompokkan bentuk atau jenis-jenis dari perjanjian yang terdapat dalam undang-undang maupun di luar undang-undang.

C. Pengertian Jual Beli

Untuk mengetahui pengertian perjanjian jual beli ada baiknya dilihat Pasal 1457 KUH Perdata yang menentukan “jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak) dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga".

29 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan


(17)

dan pihak lain berwajib membayar harga, yang dimufakati mereka berdua".30 Volmar sebagaimana dikutip oleh Suryodiningrat mengatakan “jual beli adalah pihak yang satu penjual (verkopen) mengikat diri kepada pihak lainnyam pembeli (loper) untuk memindah tangankan suatu benda dalam eigendom dengan memperoleh pembayaran dari orang yang disebut terakhir, sejumlah tertentu, berwujud uang". 31

Sedangkan R.M. Suryodininfrat mengemukakan “ jual beli itu ialah perjanjian / persetujuan / kontrak dimana satu pihak (penjual) mengikat diri untuk menyerahkan hak milik atas benda/barang kepada pihak lainnya (pembeli) yang mengikat dirinya untuk membayar harganya berupa uang kepada penjual.32

- Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, Dari pengertian yang diberikan Pasal 1457 KUH Perdata di atas, perjanjian jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban :

- Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjualan.33

D. Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli

Di dalam Pasal 1458 KUH perdata dinyatakan bahwa “ jual beli itu

30

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1991, hal. 17.


(18)

dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar “.

Pasal 1458 KUH Perdata ini menunjukkan bahwa jual beli itu mempunyai sifat konsensual yaitu karena jual beli itu dilahirkan sebagai suatu perjanjian jual beli yang sah yang mengikat pihak-pihak dan mempunyai kekuatan serta daya hukum pada saat tercapainya kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur pokoknya yaitu jenis barang dan patokan harga, walaupun jual beli ini mengenai barang yang bergerak atau tidak bergerak.

Di dalam sistem obligatoir, apabila barang telah dijual tetapi belum ada penyerahan kepada pembeli, tetapi barang yang dijual itu kemudian dijual kembali untuk yang kedua kalinya oleh si penjual, dan diserahkan kepada pembeli kedua (2), maka barang tidak menjadi milik pembeli kedua, tegasnya apabila A selaku penjual, menjualkan barangnya kepada B, selaku pembeli yang pertama, sebelum barang diserahkan kepada B, A menjualkannya kembali kepada C, selaku pembeli yang kedua, di dalam sistem obligatoir, perbuatan A, tidak dibenarkan, hal ini seperti yang dimuat di dalam Putusan Mahkamah Agung tertanggal 19 Juni 1973, No. 101 K/Sip/63 di dalam perkara ini PT. Daining diputuskan oleh Mahkamah Agung telah menyalahi janjinya untuk menjual sebuah pabrik kepada PT. Ichsani, dalam perkara ini Mahkamah Agung tidak membenarkan Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi,


(19)

bahwa dengan penyetoran uang harga pabrik tersebut oleh tergugat dalam kasasi (PT. Ichsani) di suatu Bank atas rekening penjual, dengan sendirinya pabrik sudah menjadi milik tergugat dalam kasasi, dan juga penyerahan kepada PT. Ichsana tidak mungkin dilaksanakan karena pabrik tidak lagi berada di tangan PT. Daining, karena telah dikuasai oleh PN. Areal Survey.

Sifat obligatoir ini sangat berlainan sekali dengan Code Civil Prancis, yang menyatakan bahwa hak milik atas barang-barang yang dijual adalah sudah berpindah ke tangan pembeli pada waktu persetujuan jual beli diadakan. Di dalam Hukum Adat di Indonesia, perincian-perincian pengertian obligatoir dan sifatnya sama sekali tidak diperlukan.

Menurut Hukum Adat Indonesia yang dinamakan jual beli, bukanlah persetujuan belaka, yang berada di antara kedua belh pihak, tetapi adalah suatu penyerahan barang oleh si penjual kepada si pembeli dengan maksud memindahkan hak milik, atas barang itu dengan syarat pembayaran hanya tertentu, berupa uang oleh pembeli kepada penjual.

Dengan demikian dalam Hukum Adat setiap hubungan jual beli tidak mengikat kepada asas atau sistem obligatoir, atau sistem/ asas yang lainnya.

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa :

Dalam Hukum Adat ada juga persetujuan antara kedua belah pihak yang berupa mufakat tentang maksud untuk memindahkan hak milik dari tangan penjual ke tangan pembeli dan pembayaran yang harga pembelian oleh pembeli kepada penjual, tetapi persetujuan itu hanya bersifat pendahuluan untuk suatu perbuatan hukum tertentu yaitu berupa penyerahan tadi. Selama penyerahan barang belum terjadi, maka belum


(20)

kedua belah pihak.34

Akan tetapi cara dan bentuk penjualan eksekutorial yang bersifat umum ini, jarang sekali terjadi. Penjualan demikian harus memerlukan keputusan pengadilan. Karena itu jual beli yang terjadi dalam lalu lintas kehidupan masyarakat sehari-hari, adalah jual beli antara tangan ke tangan, yakni jual beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli tanpa campur tanga pihak resmi, dan tidak perlu di muka umum. Bentuk jual belinyapun, terutama jika objeknya barang-barang bergerak cukup dilakukan dengan lisan. Kecuali mengenai benda-benda tertentu, terutama mengenai objek benda-bneda tidak Tentang perjanjian jual beli, dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang keadaan benda dan harga barang tersebut, sekalipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayarkan (Pasal 1458 KUH Perdata). Jual beli tiada lain daripada persesuaian kehendak (wis overeenstemming) antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga. Barang dan hargalah yang menjadi essensial perjanjian jual beli. Tanpa ada barang yang hendak dijual, tidak mungkin terjadi jual beli. Sebaliknya jika barang objek jual beli tidak dibayar dengan sesuatu harga, jual beli dianggap tidak ada.

Cara dan terbentuknya perjanjian jual beli, bisa terjadi sevata openbar/terbuka, seperti yang terjadi pada penjualan atas dasar eksekutorial atau yang disebut excutoriale verkoop. Penjualan eksekutorial mesti dilakukan melalui lelang di muka umum oleh pejabat kantor lelang.


(21)

bergerak pada umumnya, selalu memerlukan bentuk akta jual beli. Tujuan akta ini hanya sekedar mempelajari jual beli itu dengan keperluan penyerahan yang kadang-kadang memerlukan penyerahan yuridis di samping penyerahan nyata.


(22)

BAB IV

PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO PADA BANK YANG

MELAKUKAN PEMBERIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH

(STUDI PADA PT. BANK SUMUT)

A. Proses Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Pada PT. Bank Sumut

Sebelum dilakukannya proses perjanjian kredit pemilikan rumah pada PT. Bank Sumut maka sebelumnya calon nasabah (debitur) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pihak Bank Sumut.

Untuk dapat memiliki rumah dengan melalui fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dari PT. Bank Sumut, calon debitur harus memenuhi persyaratan, yaitu :

1. Warga Negara Indonesia

2. Usia minimal 21 tahun dan pada saat kredit lunas usia maksimum 55 tahun (untuk pegawai) dan 60 tahun (untuk wiraswasta/professional)

3. Memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap

4. Fotocopy surat pemesanan, kuitansi uang muka, dan PPJB (rumah baru dari developer)

5. Fotocopy sertifikat, AJB, IMB, dan PBB terakhir (rumah second)

6. Mengajukan permohonan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah dengan dilampiri dokumen sebagai berikut :

a. Untuk calon debitur perorangan :


(23)

2) Fotocopy Kartu Keluarga 3) Fotocopy Surat Nikah

4) Fotocopy Surat Kewarganegaraan (untuk WNI keturunan)

5) Fotocopy Surat Ganti Nama disertai fotocopy Akta Kelahiran (untuk WNI Keturunan)

6) Surat keterangan bekerja dari perusahaan tempat calon debitur bekerja (dalam hal calon debitur sebagai karyawan)

7) Slip gaji 3 bulan terakhir

8) Fotocopy SPT Tahunan PPh Pasal 21 (dalam hal calon debitur sebagai karyawan)

9) Surat-surat bukti agunan sesuai dengan agunan yang akan dijaminkan, dimana pada saat permohonan diajukan dapat berupa fotocopy terlebih dahulu, dan aslinya harus diserahkan sebelum proses pengikatan kredit dilakukan

10) Fotocopy rekening tabungan atau rekening koran 3 bulan terakhir 11) Fotocopy NPWP Pribadi (dalam hal calon debitur sebagai

profesional)

12) Fotocopy Surat Izin Praktek/SK Pengangkatan dari Instansi terkait (dalam hal calon debitur sebagai profesional)

13) Dokumen lainnya yang diperlukan35 b. Untuk calon debitur perusahaan :


(24)

1) Fotocopy Akta Pendirian Perusahaan dan perubahan-perubahannya 2) Surat pernyataan yang menyatakan bahwa akta pendirian

perusahaan dan perubahan-perubahannya yang diserahkan pada PT. Bank Sumut adalah yang terkini (up to date)

3) Fotocopy NPWP Perusahaan 4) Fotocopy SIUP

5) Fotocopy TDP

6) Fotocopy company profile dan track record

7) Fotocopy laporan keuangan audited 3 tahun terakhir yang merupakan lampiran SPT Tahunan PPh

8) Fotocopy SPT Tahunan PPh

9) Dokumen lainnya yang diperlukan.36

Penilaian permohonan kredit di PT. Bank Sumut dilakukan oleh pejabat Setelah semua persyaratan tersebut di atas diserahkan oleh pemohon/calon debitur kepada pihak bank, maka selanjutnya pihak bank akan melakukan verifikasi tentang kelayakan dari pemohon/calon debitur. Pihak bank akan melakukan analisa atau penilaian kredit, dimana analisa tersebut harus menggambarkan konsep hubungan total, meliputi penilaian seluruh kredit dari pemohon/ calon debitur, baik dari seluruh perorangan maupun perusahaan yang terkait dengannya yang telah mendapat dan atau akan memperoleh fasilitas kredit secara bersamaan oleh bank.

36 Hasil Wawancara Dengan Bapak Agung Santoso, Selaku Kepala Divisi Sumber Daya


(25)

yang terkait dengan proses penilaian permohonan kredit, yaitu analis kredit, taksatur, dan legal.

Berdasarkan rekomendasi dari hasil analisa/penilaian kredit secara keseluruhan dengan konsep hubungan total, maka atas suatu permohonan kredit baik baru, tambahan, maupun perpanjangan dan perubahan persyaratan kredit yang diajukan calon debitur, diambil suatu keputusan oleh Komite Kredit, baik di tingkat cabang maupun di tingkat pusat sesuai dengan kewenangannya masing-masing, selambat-lambatnya dalam batas waktu 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan dan berkas-berkas kredit tersebut secara lengkap. Keputusan kredit tersebut dapat berupa :

1. Persetujuan tanpa perubahan. 2. Persetujuan dengan perubahan. 3. Penolakan.37

Surat Pemberitahuan dan Penegasan Persetujuan Kredit (SP3K) tersebut dibuat rangkap 2 (dua), yang tembusannya setelah ditandatangani oleh

Setiap keputusan pemberian persetujuan kredit yang berbeda dengan isi rekomendasi dari hasil penilaian kredit harus dijelaskan secara tertulis oleh komite kredit. Setiap keputusan yang disetujui maupun yang ditolak harus disampaikan secara tertulis kepada pemohon kredit, baik berupa Surat Pemberitahuan dan Penegasan Persetujuan Kredit (SP3K), maupun pemberitahuan alasan penolakan kredit.


(26)

pemohon kredit di atas materai secukupnya, harus dikembalikan kepada bank dan merupakan bukti tanda persetujuannya atas hal-hal yang meliputi :

1. Jumlah maksimum/limit kredit 2. Jangka waktu berlakunya kredit 3. Bentuk dan struktur kredit 4. Tujuan penggunaan kredit

5. Suku bunga dan cara pembayaran kembali 6. Biaya administrasi yang harus dibayar 7. Provisi kredit yang harus dibayar

8. Keharusan menandatangani Surat Perjanjian Kredit

9. Perincian agunan, surat bukti kepemilikan, dan cara pengikatannya 10. Penutupan asuransi barang-barang agunan

11. Biaya akta notaris/PPAT (untuk pengikatan agunan)

12. Persyaratan khusus lainnya yang oleh pihak bank dianggap perlu untuk diterapkan.38

Apabila pemohon/calon debitur dianggap layak dan memenuhi syarat, maka langkah selanjutnya adalah penandatanganan akad kredit, kemudian dilakukan realisasi kredit yang berupa pencairan kredit dengan cara

Setelah Surat Pemberitahuan dan Penegasan Persetujuan Kredit (SP3K) ditandatangani dan dikembalikan kepada bank oleh pemohon/debitur, maka pejabat legal harus menyiapkan proses untuk realisasi kredit.

38 Hasil Wawancara Dengan Bapak Agung Santoso, Selaku Kepala Divisi Sumber Daya


(27)

pembayaran tunai kepada debitur atau melakukan pemindahbukuan ke rekening yang ditunjuk oleh debitur, yaitu rekening milik perusahaan pengembang yang menjual rumah kepada debitur.39

Penerapan manajemen risiko pada kredit kepemilikan rumah pada PT. Bank Sumut dilakukan dengan dasar Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4292) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5029), Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5247), dan dalam rangka meningkatkan kehati-hatian bagi Bank yang melakukan aktivitas pemberian kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit atau pembiayaan konsumsi beragun properti, dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor maka perlu untuk mengatur pemberian kredit B. Penerapan Manajemen Risiko Pada Kredit Kepemilikan Rumah Pada


(28)

atau pembiayaan pemilikan properti, kredit atau pembiayaan konsumsi beragun properti, dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor dalam Surat Edaran Bank Indonesia dan yang terakhir adalah Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.

Inti dari Surat Edaran BI adalah penetapan rasio loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR), yaitu rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap agunan aset/objek yang didanai pada saat awal pemberian kredit ditetapkan maksimal 70%.

Bank Indonesia memberikan sanksi kepada bank yang melanggar ketentuan tersebut berupa sanksi administratif sebagaimana tertuang dalam PBI No 11/25/PBI/2009 mengenai Penerapan Manajemen Risiko. Masa transisi untuk pemberlakuan ketentuan baru tersebut adalah tiga bulan setelah surat edaran dikeluarkan.

Melihat pertumbuhan kredit KPR yang sangat tinggi dalam beberapa tahun terakhir ini, sangatlah wajar apabila BI memberikan sinyal kepada dunia perbankan untuk senantiasa menjaga prinsip kehati-hatian. Demikian juga halnya dengan PT. Bank Sumut sebagai salah satu bank yang bernaung di bawah Bank Indonesia tentunya harus tunduk dan patuh kepada surat edaran


(29)

Bank Indonesia dalam penerapan manajemen risiko kredit pemilikan rumah.40

Namun, bagaimanapun PT. Bank Sumut harus menyikapi Surat Edaran Bank Indonesia secara positif. Dengan adanya ketetapan mengenai LTV KPR dan uang muka KKB, diharapkan nilai kredit bermasalah atau non performance loan (NPL) dan potensi bubble di kredit konsumtif bisa ditekan. Data BI menyebutkan, NPL KPR sampai Desember 2011 tercatat sebesar 1,83% dan Januari 2012 sebesar 2,12%.

BI mengingatkan bahwa pertumbuhan KPR yang cukup besar bisa mendorong tingginya harga rumah (properti), yang pada akhirnya tidak mencerminkan harga yang sebenarnya (bubble). Hal ini pada gilirannya dapat meningkatkan risiko yang mungkin terjadi di kalangan perbankan.

BI tentu saja punya alasan cukup untuk mengeluarkan peraturan tersebut. Berdasarkan data BI, pertumbuhan KPR sampai Desember 2011 mencapai 32,9 % (yoy), sementara Januari 2012 tumbuh 43,04 (yoy).

Namun, munculnya peraturan BI tersebut tentu saja cukup berdampak, tidak hanya bagi para nasabah tapi juga kalangan perbankan. Bagi nasabah, adanya peraturan baru BI tentang ketentuan uang muka (tunai) sebesar 30% dari nilai rumah yang akan dibeli, jelas akan memberatkan calon nasabah yang hendak berinvestasi.

41

Dunia perbankan memang harus belajar dari kasus krisis finansial


(30)

global di mana jatuhnya perekonomian negara-negara ekonomi maju pada 2008-2009 lalu adalah karena macetnya kredit properti. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya hal tersebut di Indonesia maka tidak ada salahnya jika Bank Indonesia menetapkan tingkat LTV KPR.

Selama ini uang muka KPR yang diberikan kepada nasabah oleh Bank Sumut berbeda-beda, tergantung past performance dan credit history nasabah tersebut sebelumnya. Jika past performace dan credit history nasabah dinilai cukup baik dan lancar maka biasanya Bank Sumut akan menetapkan uang muka secara fleksibel. Sebaliknya, jika nasabah tersebut dirasa kurang nilai

past performance dan credit historynya maka Bank Sumut akan menetapkan

nilai uang muka yang cukup besar.42

42 Hasil Wawancara Dengan Bapak Agung Santoso, Selaku Kepala Divisi Sumber Daya

Manusia PT. Bank Sumut Medan tanggal 12 Pebruari 2014.

Ke depan, Bank Sumut harus memenuhi aturan yang sudah ditetapkan oleh BI soal nilai LTV KPR minimal sebesar 70% tanpa harus memandang bagaimana past performance dan credit history nasabah.

Ini sesuatu yang sangat berisiko dan jelas tidak mendidik. Karena itu, betapa pun “pahitnya” peraturan baru BI bagi nasabah dan juga pihak Bank Sumut, langkah tersebut tetap penting dilakukan agar Bank Sumut tak terjebak dalam kredit bermasalah.


(31)

C. Akibat Hukum Wanprestasi Perjanjian Kredit Kepemilikan Rumah

Pada PT. Bank Sumut

Akibat hukum wanprestasi perjanjian kredit kepemilikan rumah pada PT. Bank Sumut maka PT. Bank Sumut memiliki hak untuk menyita rumah sebagai objek jaminan kredit, selanjutnya dengan menyita rumah tersebut akan dilakukan lelang.

Bank Sumut selaku kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum. Eksekusi jaminan secara langsung melalui lelang ini merupakan salah satu daya tarik Undang-undang Hak Tanggungan karena prosesnya jauh lebih cepat dibandingkan dengan proses eksekusi pada umumnya.

Eksekusi obyek Hak Tanggungan yang dilakukan secara lelang ini pada dasarnya tidak memerlukan ijin/fiat eksekusi dari pengadilan mengingat penjualan yang dilakukan berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan ini merupakan tindakan pelaksanaan perjanjian. Sehingga apabila debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan Pertama dapat langsung melaksanakan eksekusi lelang obyek Hak Tanggungan.

Syarat agar eksekusi lelang obyek Hak Tanggungan ini dapat dilakukan apabila dalam APHT dicantumkan janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (2) huruf e Undang-undang Hak Tanggungan, yaitu bahwa “pemegang Hak Tanggungan Pertama mempunyai hak untuk menjual sendiri obyek sendiri Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji.”


(32)

Tindakan bank dalam usaha menyelesaikan kredit bermasalah akan beraneka ragam tergantung pada kondisi kredit bermasalah (Non Performing

Loan). PT. Bank Sumut dalam menyelesaikan kredit bermasalah ada 2 (dua)

strategi yang dapat ditempuh yaitu penyelamatan kredit (diluar proses pengadilan) dan penyelesaian kredit bermasalah melalui prosedur hukum yang berlaku (melalui proses pengadilan).43

43 Hasil Wawancara Dengan Bapak Agung Santoso, Selaku Kepala Divisi Sumber Daya

Manusia PT. Bank Sumut Medan tanggal 12 Pebruari 2014.

1. Penyelamatan kredit (diluar proses pengadilan)

Penyelamatan adalah suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui perundingan antara kreditur dan debitur. Jadi tahap penyelamatan kredit ini belum memanfaatkan lembaga hukum karena debitur masih kooperatif. Tindakan penyelamatan ini selalu dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga hukum.

Langkah penyelamatan kredit ini dilakukan apabila terdapat kemauan dan itikad baik dan kooperatif dari debitur serta bersedia mengikuti syarat-syarat yang ditentukan bank karena dalam hal ini lebih banyak negoisasi dan solusi yang ditawarkan bank untuk menentukan syarat dan ketentuannya.

Kredit yang merosot mutunya akan berkembang menjadi kredit bermasalah. Adanya kemerosotan mutu kredit yang serius ditandai dengan terjadinya penunggakan atau keterlambatan pembayaran angsuran dan/atau bunga oleh debitur. Oleh karena itu pihak bank akan segera bertindak dengan melakukan:


(33)

a. Pemberitahuan (6 s/d 29 hari) b. Peringatan I (30 s/d 49 hari) c. Peringatan II (50 s/d 59 hari) d. Peringatan terakhir ( 90 hari )

Permasalahan dilakukan dalam penyelamatan kredit adalah sebagai berikut :

a. Pemanggilan debitur

Pada tahap ini apabila surat pemberitahuan sampai dengan peringatan terakhir tidak diperhatikan oleh debitur maka pendekatan terhadap debitur sebagai usaha penyelesaian kredit bermasalah dilakukan dengan cara pemanggilan debitur untuk melakukan :

1) Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan/atau jangka waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak.

2) Peninjauan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau keseluruhan syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan/atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit, dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi equity perusahaan.

3) Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit menyangkut : penanaman dana bank, konversi seluruh atau sebagian dari


(34)

Pada prakteknya upaya penyelamatan Kredit Pemilikan Rumah yang bermasalah yang dilakukan oleh PT. Bank Sumut adalah melalui mekanisme penjadwalan kembali (rescheduling). Mekanisme tersebut dilakukan dengan cara memperpanjang jangka waktu kredit atau dengan memperpanjang jangka waktu angsuran.44

44 Hasil Wawancara Dengan Bapak Agung Santoso, Selaku Kepala Divisi Sumber Daya

Manusia PT. Bank Sumut Medan tanggal 12 Pebruari 2014.

Perpanjangan jangka waktu kredit merupakan bentuk penyelamatan kredit yang dilakukan pihak bank selaku kreditur yang bertujuan untuk memperingan debitur untuk mengembalikan hutangnya, misalnya hutang seluruhnya yang seharusnya dikembalikan selambat-lambatnya pada bulan Januari 2011 diperpanjang menjadi Januri 2013. Atau dengan memperpanjang jangka waktu angsuran misalnya jangka waktu pembayaran angsuran yang semula 36 (tiga puluh enam) kali diperpanjang menjadi 48 (empat puluh delapan) kali sehingga jumlah angsuranpun menjadi mengecil seiring dengan penambahan jumlah angsuran.

Sasaran dari penjadwalan ulang ini adalah debitur yang menunggak di atas 6 (enam) bulan atau yang berpotensi bermasalah yang menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan tunggakan yang ada. Dengan memperpanjang jangka waktu kredit maka kualitas kredit debitur digolongkan menjadi tidak bermasalah (performing loan) dan dengan memperpanjang jangka waktu akan memberikan kesempatan kepada debitur untuk melunasi hutangnya.


(35)

Pendekatan pihak bank terhadap debitur yang berupa rescheduling tersebut dilakukan agar tidak melibatkan pihak lain dalam menyelesaikan kredit bermasalah. Pada PT. Bank Sumut Medan proses rescheduling antara pihak debitur dengan pihak bank terdapat hal-hal yang harus diperhatikan yaitu:

1) Penjelasan dari debitur tentang kondisi operasi dan keuangan usahanya serta sebab-sebab penurunan prestasi usahanya.

2) Penjelasan dari debitur tentang kesediaan debitur untuk mengadakan audit laporan keuangan dan manajemen usahanya, rencana mereka memperbaiki keadaan usahanya serta jadwal pelaksanaan rencana tersebut.

3) Kesediaan debitur dengan biaya sendiri memasang pembebanan hak tanggungan atas kreditnya.45

2) Membantu memperingan kewajiban debitur sehingga dengan keringanan Menurut penulis, langkah penyelamatan kredit yang dilakukan pihak bank melalui upaya perpanjangan jangka waktu kredit perlu dilakukan bank sebelum melakukan tindakan hukum dalam rangka penyelesaian kredit bermasalah. Karena menurut penulis upaya ini memiliki beberapa unsur positif yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak baik debitur maupun kreditur, yaitu :

1) Menghindarkan kerugian bagi bank karena bank harus menjaga kualitas kredit yang telah diberikan.


(36)

ini debitur mempunyai kemampuan untuk melanjutkan kembali angsuran hutangnya.

3) Dengan penyelamatan kredit maka penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga hukum dapat dihindarkan karena penyelesaian melalui lembaga hukum dalam prakteknya memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit.

b. Dilakukan perjanjian alih debitur

Bila upaya-upaya pembinaan kepada debitur telah dilakukan oleh pihak bank tidak menunjukkan hasil kemajuan yang berarti, maka kreditur melakukan alih debitur yang disetujui oleh para pihak yang terkait. Surat Perjanjian Alih Debitur dimaksudkan untuk mengalihkan hak dan kewajiban kepada pihak ketiga yang ditunjuk oleh debitur maupun kreditur, penunjukkan tersebut harus mendapat persetujuan dari kreditur. Dalam pembuatan Surat Alih Debitur tersebut, terdapat tiga pihak yang saling berhubungan satu sama lain, antara debitur lama dengan pihak ketiga/calon debitur serta kreditur, mereka membuat kesepakatan dan saling setuju untuk menyerahkan hak dan kewajibannya masing-masing. Pada prakteknya perjanjian alih debitur belum pernah dilakukan oleh PT. Bank Sumut Medan untuk menyelesaikan kredit bermasalah.

c. Debitur melakukan oper kredit


(37)

oper kredit dalam pelaksanaan Kredit Pemilikan Rumah pada PT. Bank Sumut Medan selaku kreditur, adalah :

1) Debitur melakukan wanprestasi kepada kreditur sehingga dikenakan penjadwalan ulang (reschedule) atas angsuran dan atau jangka waktu/masa kreditnya oleh pihak bank selaku kreditur.

2) Debitur pindah tugas/mutasi ke daerah lain.

3) Debitur sudah tidak mempunyai kemampuan finansial untuk melaksanakan prestasinya kepada kreditur karena penghasilan yang tidak memadai lagi. 4) Proses oper kredit dengan pihak ketiga tanpa melibatkan pihak kreditur

lebih mudah dalam pelaksanaannya dan biaya administrasinya ringan serta pihak debitur lama tidak terkena beban Pajak Penghasilan Pasal 25.

Proses oper kredit tersebut dilakukan dengan cara dibuat dan ditandatanganinya surat kuasa menjual dari debitur selaku pemberi kuasa kepada pihak ketiga selaku penerima kuasa yang dibuat dibawah tangan dan tanpa persetujuan dari kreditur.

Surat kuasa menjual tersebut berisi :

1) Setelah semua angsuran telah dilunasi oleh penerima kuasa/pihak yang menerima pengalihan, maka sekarang untuk nanti pada waktunya debitur/pemberi kuasa dengan ini memberi kuasa kepada penerima kuasa untuk menjual/mengalihkan, mengoperkan/memindahkan/melepaskan hak atas objek tanah dan bangunan tersebut kepada siapapun.


(38)

hadapan instansi/pejabat yang berwenang, termasuk di hadapan notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, memberikan keterangan-keterangan, membuat/minta dibuatkan/suruh membuat dan menandatangani segala surat dan akta kepada pihak yang menerimanya, pada umumnya melakukan segala tindakan yang perlu dan berguna agar terlaksananya maksud pemberian kuasa tersebut.

Pada kenyataannya dalam penyelesaian kredit bermasalah pada perjanjian Kredit Pemilikan Rumah di PT. Bank Sumut Medan dengan melalui proses oper kredit belum pernah terjadi. Karena pada prakteknya jika terjadi kredit bermasalah dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah di PT. Bank Sumut Medan, yang dilakukan oleh debitur adalah melunasi kredit setelah dilakukannya rescheduling oleh bank atau dengan cara dilakukannya penjualan agunan secara dibawah tangan.46

Apabila upaya penyelamatan tidak membuahkan hasil maka pihak bank akan melakukan upaya penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga hukum. Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa alternatif dan langkah hukum yang ditempuh oleh pihak bank, yaitu:

2. Penyelesaian Kredit Bermasalah

47

46 Hasil Wawancara Dengan Bapak Agung Santoso, Selaku Kepala Divisi Sumber Daya

Manusia PT. Bank Sumut Medan tanggal 12 Pebruari 2014.

47

Hasil Wawancara Dengan Bapak Agung Santoso, Selaku Kepala Divisi Sumber Daya Manusia PT. Bank Sumut Medan tanggal 12 Pebruari 2014.


(39)

a. Somasi

Langkah hukum pertama yang dilakukan oleh pihak bank dalam penyelesaian kredit bermasalah adalah dengan memberikan somasi atau peringatan kepada debitur untuk segera memenuhi ketentuan perjanjian kredit khususnya pembayaran hutangnya baik hutang pokok atau bunga karena waktu pembayaran sudah jatuh tempo. Jatuh tempo disini bisa terjadi karena waktu-waktu yang ditentukan pembayaran bunga setiap bulan atau triwulan sudah waktunya dibayar namun debitur belum melakukan pembayaran atau jangka waktu kredit sudah berakhir tetapi debitur belum membayar seluruh hutangnya baik pokok, bunga dan denda. Peringatan atau somasi ini dilakukan kreditur atau bank langsung kepada kreditur sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut. Peringatan pertama dilakukan setelah tunggakan mencapai 31 (tigapuluh satu) hari (angsuran kedua) dengan tembusan ke developer/pengembang, jika masih dalam status buy

back guarantee. Jika belum ada pembayaran maka dibuatkanlah surat

peringatan ke-2 dan ke-3 setiap 2 minggu.

Isi pokoknya dari somasi yang diberikan oleh pihak bank tersebut adalah: 1) Pemberitahuan mengenai jatuh tempo, pembayaran bunga dan/atau

pokok kredit.

2) Perintah untuk membayar hutangnya dengan jumlah tertentu sesuai permintaan/pemberitahuan kreditur.


(40)

Tingkat keberhasilan somasi berkisar 50% (limapuluh persen) dari somasi yang diberikan kepada debitur. Hal ini menunjukkan bahwa hanya sebagian debitur saja yang mematuhi somasi yang diberikan oleh pihak bank. Somasi secara yuridis tidak mempunyai akibat hukum memaksa kepada debitur untuk membayar artinya jika debitur yang disomasi tidak memenuhi somasi tersebut maka kreditur tidak dapat memaksa.

Namun dengan adanya somasi diharapkan adanya tekanan psikologis dan membuat malu debitur sehingga debitur diharapkan menyelesaikan hutangnya atau paling tidak menunjukkan itikad baik menyelesaikan hutangnya.

b. Penjualan Agunan

Apabila tunggakan yang dilakukan debitur sudah mencapai 2 (dua) kali berturut-turut, sudah tidak ada kemampuan bayar dari debitur dan masih dalam kondisi buy back guarantee maka oleh bank segera dibuat surat permohonan buy back kepada developer, tetapi bila sudah tidak ada buy

back guarantee maka yang dilakukan oleh bank adalah dengan penjualan

agunan.

Dalam hal ini bank selaku kreditur dapat meminta debitur melakukan penjualan jaminan kredit. Karena dengan cara ini dapat menghemat waktu, biaya dan hasilnya akan lebih baik daripada lelang. Karena dalam prakteknya terkadang penjualan jaminan melalui lelang bertujuan untuk memperoleh harga yang tinggi tetapi dalam pelaksanaannya justru


(41)

sebaliknya, biaya mahal, memerlukan waktu yang lama dan hasil penjualan lelang rendah.

Dalam penjualan agunan ini, bank sebagai kreditur dapat juga membantu debitur dalam melakukan penjualan jaminan tersebut, dengan cara mencarikan calon pembeli dan jika perlu ikut berunding dengan calon pembeli untuk memperlancar penjualan tersebut. Meskipun debitur sebagai pemilik yang berhak menentukan nilai penjualan tersebut, tetapi bank (kreditur sebagai pemegang jaminan) juga berhak untuk mengatur nilai penjualan agar tidak terlalu rendah sehingga tidak sesuai dengan penilaian bank atau terlalu tinggi sehingga tidak laku. Bank juga harus mengatur agar hasil penjualan barang jaminan tidak jatuh ke debitur tetapi langsung disetor ke bank untuk pembayaran atas hutang debitur.

Jika perlu dibuat kesepakatan tertulis antara bank, debitur dan calon pembeli mengenai transfer pembayaran jual beli melalui bank untuk membayar hutang debitur.

Penjualan agunan di PT. Bank Sumut Medan dalam rangka penyelesaian kredit bermasalah cukup efektif. Penjualan agunan secara sukarela menurut penulis dapat dipraktekan karena Pasal 20 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa penjualan jaminan diluar lelang/dibawah tangan dapat dilakukan dengan syarat:


(42)

memberitahukan kepada pihak-pihak yang berkepntingan. Perhitungan 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal pengiriman pos tercatat atau tanggal penerimaan faksimile.

3. Diumumkan melalui sedikitnya 2 (dua) surat kabar yang beredar di suatu tempat atau surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Pengumunan juga dapat dilakukan melalui radio dan televisi.

4. Tidak ada keberatan dari pihak lain.

Diperlukannya syarat-syarat tersebut di atas bertujuan untuk melindungi pihak-pihak yang memiliki kepentingan, pemegang hak tanggungan kedua, ketiga dan kreditur lain dari debitur/pemberi hak tanggungan.

c. Eksekusi melalui Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) Apabila debitur dalam penyelesaian tunggakan hutang-hutangnya tidak kooperatif atau tidak dapat diajak bekerja sama maka sebagai upaya hukum, langkah terakhir yang dilakukan oleh pihak bank dalam prakteknya adalah menyerahkan penagihannya kepada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN).

Penyerahan penyelesaian kredit bermasalah ini kepada KP2LN dilakukan bank apabila benar-benar dalam keadaan yang sangat memaksa dan penyelesaian kredit yang rumit, yakni apabila bank telah melakukan penagihan, rescheduling, somasi, dan upaya penjualan agunan tetapi tidak berhasil atau dengan kata lain debitur tidak beritikad baik dalam


(43)

menyelesaikan kewajibannya kepada bank. Upaya penagihan melalui KP2LN dapat diartikan sebagai langkah terakhir bank karena setelah pihak bank berupaya sendiri melakukan penagihan dan penyelesaian kredit bermasalah namun tidak berhasil. Pada prakteknya eksekusi melalui Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) belum pernah dilakukan oeh PT. Bank Sumut Medan karena dengan cara ini biasanya harga objek yang dilelang menjadi sangat rendah dan cara lelang tersebut memerlukan waktu yang lama.

Dalam melakukan penyelesaian kredit bermasalah tentu untuk dapat dilaksanakannya secara cepat dan efisien, akan ditemukan beberapa hambatan baik dari faktor intern PT. Bank Sumut Medan sendiri, maupun dari faktor ekstern, yaitu :

a. Faktor intern :

1) Dokumen/data kredit debitur yang tidak lengkap. Beberapa dokumen kredit penting tersebut diantaranya adalah :

- Salinan perjanjian kredit beserta perjanjian pendukung seperti perjanjian jaminan dengan pihak ketiga (personal guarantee, bank

guarantee).

- Salinan surat kuasa untuk menjual dan/atau surat kuasa membebankan hak tanggungan.


(44)

- Salinan tanda bukti kepemilikan agunan seperti sertifikat tanah, IMB.

- Salinan Surat Izin Usaha dan salinan NPWP.

Apabila dokumen ini tidak lengkap maka akan menghambat penyelesaian kredit bermasalah di suatu bank. Pada PT. Bank Sumut Medan dokumen kredit berupa salinan Akta Pembebanan Hak Tanggungan tidak selalu dibuat hingga suatu kredit telah menunjukkan gejala dari kredit golongan lancar menjadi kredit golongan macet. Hal ini akan menjadi masalah dalam penyelesaian kredit macet apabila debitur tidak mau kooperatif untuk melakukan pengikatan jaminan. 2) Terdapat ketidaksesuaian data debitur antara yang tersimpan di arsip

dengan keadaan sebenarnya. Perubahan data debitur baik perorangan maupun badan usaha berupa perubahan alamat domisili, alamat perusahaan, keadaan usaha debitur apabila tidak cepat diketahui akan menghambat penyelesaian kredit bermasalah pada suatu bank. Pada PT. Bank Sumut Medan perubahan data debitur yang tidak diketahui dengan cepat akan menghambat langkah-langkah pengawasan kredit debitur yang sudah dan sedang dilakukan oleh pihak bank secara intensif sebagai cara penyelesaian kredit bermasalah.

b. Faktor ekstern :

1) Debitur menghilang atau meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui lagi alamatnya. Peristiwa ini kemungkinan terjadi hanya bila


(45)

debitur berwatak tidak jujur dan tidak bertanggung jawab.

2) Penagihan debitur sangat sulit. Kesulitan penaguhan terhadap debitur akan dialami oleh bank bilamana debitur tidak memenuhi prestasi karena (keadaan memaksa) overmacht. Dalam prakteknya dapat ditemui keadaan debitur yang overmacht karena sakit, kecelakaan atau debitur terkena PHK.

3) Tidak pernah dapat dilaksanakan hak eksekusi seperti yang diberikan oleh Undang-undang ( Pasal 1178 KUH Perdata dan 224 HIR). Hal ini karena belum terbentuknya peraturan pelaksana dari hak eksekusi menimbulkan penafsiran terhadap Pasal 224 HIR menjadi berbeda-beda antara pembuat akta yang memiliki kekuatan eksekutorial dengan pelaksana akta eksekutorial akibatnya yang paling dirugikan adalah pihak bank karena merupakan pihak yang paling banyak menggunakan sarana grosse akta sebagai sarana untuk melakukan eksekusi piutangnya.

4) Proses eksekusi jaminan kredit melalui pengadilan sangat lama, berbelit-belit dan membutuhkan biaya yang besar.


(46)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Proses perjanjian kredit kepemilikan rumah pada PT. Bank Sumut dimulai dari permohonan debitur. Dengan adanya pemrohonan debitur tersebut maka pihak bank selaku kreditur memberikan syarat-syarat permohonan kredit kepemilikan rumah. Dan selanjutnya berkas tersebut dipelajari secara seksama oleh bank untuk memberikan kredit kepemilikan rumah atau menolaknya.

2. Penerapan manajemen risiko pada Kredit kepemilikan rumah pada PT. Bank Sumut dilakukan berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia dan yang terakhir adalah Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti. Inti dari Surat Edaran BI adalah penetapan rasio loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR), yaitu rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap agunan aset/objek yang didanai pada saat awal pemberian kredit ditetapkan maksimal 70%.

3. Akibat hukum wanprestasi perjanjian kredit kepemilikan rumah pada PT. Bank Sumut maka PT. Bank Sumut memiliki hak untuk menyita rumah sebagai objek jaminan kredit, selanjutnya dengan menyita rumah tersebut akan dilakukan lelang.


(47)

B. Saran

1. Perjanjian kredit yang dibuat secara baku oleh pihak bank memberikan kewajiban-kewajiban kepada debitur sehingga dalam pelaksanaannya harus dilakukan pengawasan yang ketat oleh bank terhadap kedisiplinan debitur dalam membayar angsuran kreditnya.

2. Dalam penyaluran kredit diharapkan pihak bank selalu memperhatikan dan menerapkan prinsip kehati-hatian dan melakukan analisis kredit secara cermat, teliti dan mendalam dari berbagai aspek berdasarkan prinsip-prinsip yang berlaku secara universal dalam dunia perbankan . Hal ini dipandang perlu untuk menghindari atau mengantisipasi munculnya kredit bermasalah dikemudian hari. Oleh karena itu, perlu adanya pembinaan berkelanjutan dari pihak bank kepada debitur dengan cara berkomunikasi tentang semua bentuk permasalahan yang terjadi atau yang mungkin akan terjadi dengan tujuan untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut sehingga dapat mencegah terjadinya kredit macet.

3. Dalam penyelesaian kredit bermasalah sebaiknya bank senantiasa terlebih dahulu melakukan upaya penyelamatan melalui penjadwalan kembali

(rescheduling), penyesuaian kembali (reconditioning) atau penataan

kembali (restructuring). Upaya penyelesaian kredit bermasalah melalui upaya yang persuasif lebih efektif daripada melakukan upaya-upaya hukum, mengingat upaya hukum memerlukan biaya, tenaga dan waktu


(48)

yang cukup lama. Hal ini sesuai dengan tuntutan dunia perbankan pada saat ini yang memerlukan proses eksekusi yang mudah, cepat dan pasti.


(49)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT

A. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit

Di dalam memahami pengertian kredit banyak pendapat dari para ahli, namun semua pendapat tersebut mengarah kepada suatu tujuan yaitu kepercayaan.5

Kredit menurut etimologi berarti “percaya, karena pihak yang memperoleh kredit pada dasarnya, adalah pihak yang memperoleh kepercayaan”.6

“ Dalam pengertian kredit ada terdapat pengertian transfer antara waktu sekarang dengan waktu yang akan datang. Dengan demikian didefinisikan sebagai suatu hak untuk menggunakan uang dalam batas waktu tertentu berdasarkan pertimbangan tertentu “.

Dalam perkembangannya kata kredit berubah makna menjadi pinjaman. Memang diakui bahwa pinjaman yang diberikan oleh pihak kreditur kepada debitur dilandasi kepercayaan, bahwa pada suatu waktu tertentu pinjaman tersebut dikembalikan ditambah imbalan jasa tertentu.

7

Istilah kredit berasal dari kata bahasa Romawi “credere” dan berarti kepercayaan. Dasar dari kredit adalah kepercayaan bahwa pihak lain ada

5 H. As. Mahmoedin, Etika Bisnis Perbankan, Mulia Sari, Jakarta, 1994, hal. 99. 6


(50)

pada masa yang akan datang akan memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan. Apa yang dijanjikan untuk dipenuhi itu dapat berupa : barang, uang atau jasa “.8

Pinjaman yang diberikan (kredit) ialah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan lain pihak dalam hal, pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan .9

a. Kepercayaan, yaitu keyakinan si pemberi kredit (bank) bahwa prestasi (uang) yang diberikan akan benar-benar diterima kembali dari si penerima kredit pada suatu masa yang akan datang.

Kredit berarti suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan datang disertai dengan suatu kontra prestasi.

Pada hakekatnya pemberian kredit didasarkan atas kepercayaan, yang berarti bahwa pemberian kredit adalah pemberian kepercayaan oleh Bank sebagai pemberi kredit, dimana prestasi yang diberikan benar-benar sudah diyakini akan dapat dibayar kembali oleh si penerima kredit sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama.

Berdasarkan pengertian kredit seperti tersebut di atas, maka ditarik suatu kesimpulan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam pemberian kredit adalah :

8

Indra Darmawan, Pengantar Uang dan Perbankan, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hal.44.

9 Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,


(51)

b. Waktu, yaitu jangka waktu antara saat pemberian prestasi dengan saat pengembaliannya.

Dalam unsur waktu ini terkandung pengertian tentang nilai agio uang yaitu nilai uang sekarang lebih berharga daripada uang di masa yang datang.

c. Resiko, yaitu risiko sebagai akibat yang akan dapat timbul pada pemberian kredit. Guna menghindari risiko, maka sebelum kredit diberikan harus dilakukan penilaian secara cermat dan dilindungi dengan agunan/jaminan kredit sebagai benteng terakhir dalam pengamanan kredit.

d. Prestasi, dalam hubungannya dengan pemberian kredit. Yang dimaksud dengan prestasi adalah uang.10

Inventarisasi dari perjanjian kredit yang ada hingga saat ini adalah sebagai berikut :

a. Perjanjian pinjam-meminjam uang (KUH Perdata Bab XIII).

b. Perjanjian pinjam-meminjam di dalam Undang-undang melepas uang (Geldschietersardonantie S. 1938 No. 552).

c. Perjanjian pinjam uang di dalam Undang-undang Riba (Woeker

Ordonantie S. 1938 No. 524).

d. Perjanjian Kredit (Undang-undang Perbankan). e. Perjanjian Kartu Kredit (Undang-undang Perbankan). f. Perjanjian Sewa Guna Usaha (Undang-undang Perbankan)

g. Perjanjian sewa beli (Keputusan Menteri Perdagangan No. 34/KP/II/80). h. Perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali (KUH Perdata).

Dari inventarisasi di atas dapat dibedakan dua kelompok perjanjian kredit yaitu :


(52)

perjanjian kartu kredit,

2. Perjanjian kredit barang, terlihat pada perjanjian sewa beli dan perjanjian sewa guna usaha.11

Jadi perjanjian kredit bank tergolong ke dalam perjanjian kredit uang. Menurut undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan disebut dalam Pasal 1 butir 11 bahwa :

“ Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga “.

Perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam pakai habis yang tunduk kepada Pasal 1754 KUH Perdata12

Dari ketentuan ini dapat diketahui bahwa Undang-undang Perbankan menunjuk “ Perjanjian Pinjam Meminjam “ sebagai acuan dari perjanjian kredit, yang diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata, disebutkan bahwa, perjanjian pinjam meminjam ialah “Perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang merupakan kelompok perjanjian khusus (bernama), sehingga perjanjian kredit tergolong dalam kategori KUH Perdata.

11 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1989, hal.

39-140.

12 S. Mantayborbir, et.all, Pengurusan Piutang Macet Pada PUPN/BUPLN (Kajian Teori


(53)

yang bisa habis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula “.

Dalam ketentuan perbankan yang berlaku hingga saat ini, belum ditemukan secara tegas tentang bagaimana seharusnya bentuk perjanjian kredit itu dibuat.

Dari definisi kredit yang dikemukakan dalam Undang-undang Perbankan, maka elemen-elemen dari perjanjian kredit itu adalah :

a. Para pihak.

1) Undang-undang Perbankan mengemukakan bahwa pihak yang diperbolehkan untuk menyalurkan atau menyediakan kredit adalah badan tertentu saja yaitu Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat dan bentuk usaha lain yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah (Pasal 21 ayat (1) dan (2)).

2) Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya, wajib mendapat izin usaha sebagai bank umum atau perkreditan rakyat dari Menteri setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia, kecuali kegiatan menghimpun dana dari masyarakat tersebut diatur dalam Undang-undang tersendiri (Pasal 16). b. Bunga.


(54)

c. Batas maksimum pemberian kredit.

Di dalam Undang-undang Perbankan ditentukan bahwa Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan (Pasal 11 ayat (1)).

d. Jaminan.

Jaminan merupakan pengamanan bagi pemberi kredit. Undang-undang Perbankan menentukan bahwa yang dapat menjadi jaminan adalah kelayakan proyek dan barang jaminan, serta hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.

e. Jangka waktu.

Di dalam perjanjian kredit perlu ditentukan jangka waktu, karena kredit adalah pinjaman dan akhirnya pada suatu waktu harus dikembalikan kepada penyedia kredit.

f. Bentuk perjanjian kredit.

Di lingkungan perbankan perjanjian baku sudah lazim dipergunakan. Perjanjian baku adalah perjanjian yang materinya ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh kreditur dan ditawarkan kepada masyarakat untuk digunakan secara massal atau individual.


(55)

B. Fungsi Kredit

Dalam membahas fungsi kredit, kita tidak dapat melepaskan diri dan falsafah yang dianut oleh suatu negara. Di negara-negara liberal tujuan kredit didasarkan kepada usaha untuk memperoleh keuntungan sesuai dengan prinsip ekonomi yang dianut oleh negara yang bersangkutan, yaitu dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya untuk memperoleh manfaat (keuntungan) yang sebesar-besarnya.

Oleh karena pemberian kredit dimaksud untuk memperoleh keuntungan, maka bank hanya boleh meneruskan simpanan masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit, jika ia betul-betul merasa yakin bahwa nasabah yang akan menerima kredit itu mampu dan mau mengembalikan kredit yang telah diterimanya. Dari faktor kemampuan dan kemauan tersebut, tersimpul unsur keamanan (safety) dan sekaligus juga unsur keuntungan (profitability) dari suatu kredit. Kedua unsur tersebut saling berkaitan.

Keamanan atau safety yang dimaksud adalah bahwa prestasi yang diberikan dalam bentuk uang, barang, atau jasa itu betul-betul terjamin pengembaliannya, sehingga keuntungan/profitability yang diharapkan itu dapat menjadi kenyataan.

Keuntungan atau profitability merupakan tujuan dari pemberian kredit yang terjelma dalam bentuk bunga yang diterima. Dan karena Pancasila adalah sebagai dasar dan falsafah negara kita, maka tujuan kredit tidak semata-mata


(56)

mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dengan demikian maka tujuan kredit yang diberikan oleh suatu bank, khususnya bank pemerintah yang akan mengembangkan tugas sebagai agent of development adalah untuk :

1. Turut menyukseskan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan.

2. Meningkatkan aktivitas perusahaan agar dapat menjalankan fungsinya guna menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat.

3. Memperoleh laba agar kelangsungan hidup perusahaan terjamin, dan dapat memperluas usahanya.

Dari tujuan tersebut, tersimpul adanya kepentingan yang seimbang antara:

1. Kepentingan pemerintah,

2. Kepentingan masyarakat (rakyat), dan 3. Kepentingan pemilik modal (pengusaha).

Bank-bank swasta seyogianya menyesuaikan diri dengan tujuan kredit seperti tersebut di atas.

Berdasarkan kebijakan di bidang ekonomi dan pembangunan dan ketentuan-ketentuan yang berlaku di negara kita, maka secara umum dapat dikemukakan bahwa kebijakan kredit perbankan adalah sebagai berikut :

1. Pemberian kredit harus sesuai dan seirama dengan kebijakan moneter dan ekonomi.


(57)

2. Pemberian kredit harus selektif dan diarahkan kepada sektor-sektor yang diprioritaskan.

3. Bank dilarang memberikan kredit kepada usaha-usaha yang diragukan

bank ability-nya.

4. Setiap kredit harus diikat dengan suatu perjanjian kredit (akad kredit). Di sini tersirat pertimbangan yuridis dari revenue (penghasilan pemerintah dengan adanya bea materai kredit).

5. Overdarft (penarikan uang dari bank melebihi saldo giro atau melebihi plafon kredit yang disetujui) dilarang.

6. Pemberian kredit untuk pembayaran kembali kepada pemerintah dilarang (kredit untuk membayar pajak dan bea cukai).

7. Kredit tanpa jaminan dilarang (pertimbangan keamanan dan safety).

Dalam kehidupan perekonomian yang modern, bank memegang peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, organisasi-organisasi bank selalu diikutsertakan dalam menentukan kebijakan di bidang moneter pengawasan devisa, pencatatan efek-efek, dan lain-lain. Hal ini antara lain disebabkan usaha pokok bank adalah memberikan kredit, dan kredit yang diberikan oleh bank yang mempunyai pengaruh yang sangat luas dalam segala bidang kehidupan, khususnya di bidang ekonomi.

Fungsi kredit perbankan dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan antara lain sebagai berikut :


(58)

a. Para pemilik uang/modal dapat secara langsung meminjamkan uangnya kepada para pengusaha yang memerlukan, untuk meningkatkan produksi atau untuk meningkatkan usahanya.

b. Para pemilik uang/modal dapat menyimpan uangnya pada lembaga-lembaga keuangan. Uang tersebut diberikan sebagai pinjaman kepada perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan usahanya.

2. Kredit dapat meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang

Kredit uang yang disalurkan melalui rekening giro dapat menciptakan pembayaran baru seperti cek, giro bilyet, dan wesel, sehingga apabila pembayaran-pembayaran dilakukan dengan cek, giro bilyet, dan wesel maka akan dapat meningkatkan peredaran uang giral. Di samping itu kredit perbankan yang ditarik secara tunai dapat pula meningkatkan peredaran uang kartal, sehingga arus lalu lintas uang akan berkembang pula.

3. Kredit dapat pula meningkatkan daya guna dan peredaran barang

Dengan mendapat kredit, para pengusaha dapat memproses bahan baku menjadi barang jadi, sehingga daya guna barang tersebut menjadi meningkat. Di samping itu, kredit dapat pula meningkatkan peredaran barang, baik melalui penjualan secara kredit maupun dengan membeli barang-barang dari satu tempat dan menjualnya ke tempat lain. Pembelian tersebut uangnya berasal dari kredit. hal ini juga berarti bahwa kredit tersebut dapat pula meningkatkan manfaat suatu barang.


(59)

Dalam keadaan ekonomi yang kurang sehat, kebijakan diarahkan kepada usaha-usaha antara lain :

a. Pengendalian inflasi, b. Peningkatan ekspor, dan

c. Pemenuhan kebutuhan pokok rakyat.

Untuk menekan laju inflasi pada tahun 1966, yang lebih kurang berkisar 650%, melalui pemberian kredit yang selektif dan terarah, untuk melindungi usaha-usaha yang bersifat nonspekulatif.

Arus kredit diarahkan pada sektor-sektor yang produktif dengan pembatasan kualitatif dan kuantitatif. Tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi dan memenuhi kebutuhan dalam negeri agar bisa di ekspor. Kebijakan tersebut telah berhasil dengan baik.

5. Kredit dapat meningkatkan kegairahan berusahaan

Setiap orang yang berusaha selalu ingin meningkatkan usaha tersebut, namun ada kalanya dibatasi oleh kemampuan di bidang permodalan. Bantuan kredit yang diberikan oleh bank akan dapat mengatasi kekurangmampuan para pengusaha di bidang permodalan tersebut, sehingga para pengusaha akan dapat meningkatkan usahanya.

6. Kredit dapat meningkatkan pemerataan pendapatan

Dengan bantuan kredit dari bank, para pengusaha dapat memperluas usahanya dan memberikan proyek-proyek baru. Peningkatan usaha dan


(60)

melaksanakan proyek-proyek tersebut. Dengan demikian mereka akan memperoleh pendapatan. Apabila perluasan usaha serta pendirian proyek-proyek baru telah selesai, maka untuk mengelolanya diperlukan pula tenaga kerja. Dengan tertampungnya tenaga-tenaga kerja tersebut, maka pemerataan pendapatan akan meningkat pula.

7. Kredit sebagai alat untuk meningkatkan hubungan internasional

Bank-bank besar di luar negeri mempunyai jaringan usaha, dapat memberikan bantuan dalam bentuk kredit, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Begitu juga negara-negara yang telah maju mempunyai cadangan devisa dan tabungann yang tinggi, dapat memberikan bantuan-bantuan dalam bentuk kredit kepada negara-negara yang sedang berkembang untuk membangun. Bantuan dalam bentuk kredit ini tidak saja dapat mempererat hubungan ekonomi antarnegara yang bersangkutan tetapi juga dapat meningkatkan hubungan internasional.

C. Hak dan Kewajiban Debitur dan Kreditur

Dalam penyebutan pihak yang berutang atau yang memberi utang dalam bidang perbankan dikenal istilah Debitur atau Kreditur. Pasal 1 angka 2 dan 3 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang): menyebutkan:


(61)

Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.

2. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”

Pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam hukum perjanjian dijamin oleh undang-undang. Pengaturan tentang hak dan kewajiban kreditur dan debitur dalam perjanjian mencerminkan sejumlah asas yang menjadi prinsip-prinsip atau asas-asas perjanjian.

Dalam terminologi hukum, hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang seharusnya diterima atau dilaksanakan atas suatu objek yang diperjanjikan. Objek perjanjian dalam hukum perikatan merupakan sesuatu yang menjadi tujuan para pihak. Pelaksanaan hak dan kewajiban dalam hukum perikatan disebut prestasi.

Adapun hak kewajiban debitur dan kreditur dalam perjanjian kredit meliputi:

1. Debitur: a. Hak:

1) Menerima sejumlah dana yang dipinjam dari pihak kreditur. 2) Memakai dana sesuai dengan peruntukannya.

b. Kewajiban:

1) Melakukan pembayaran kredit sesuai dengan tanggal yang disepakati


(62)

dalam membayar kredit.

3) Menyerahkan hak kebendaan dari benda jaminan hutang. 2. Kreditur:

a. Hak:

1) Menerima pembayaran hutang debitur.

2) Menetapkan sejumlah biaya dari proses hutang piutang debitur. 3) Menetapkan denda atas keterlambatan pembayaran debitur. 4) Menguasai objek jaminan hutang.

b. Kewajiban:

1) Menyerahkan sejumlah dana yang dipinjam oleh debitur. 2) Mengelola penguasaan hak kebendaan secara baik.

D. Penyelesaian Wanprestasi

Di dalam setiap pekerjaan timbal-balik selalu ada 2 (dua) macam subjek hukum, yang masing-masing subjek hukum tersebut mempunyai hak dan kewajiban secara bertimbal balik dalam melaksanakan perjanjian yang mereka perbuat.

Di dalam suatu perjanjian ada kemungkinan salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian atau tidak memenuhi isi perjanjian sebagaimana yang telah mereka sepakati bersama-sama. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, atau lebih jelas apa yang merupakan kewajiban menurut perjanjian yang mereka perbuat, maka dikatakan bahwa


(1)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul : “Tinjauan Yuridis Penerapan Manajemen Risiko Pada Bank Sumut Yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah (Studi Pada Bank Sumut)”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.

Pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu


(2)

Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin, SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini

5. Kepada Ayahanda Tersayang Idris Zainal, SH dan Ibunda Tersayang Dra. Zakiah, MPd, atas segala perhatian, dukungan, doa dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU dan yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

6. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

7. Kepada Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2010, selama menjalani perkuliahan..


(3)

8. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Februari 2014

Penulis


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 10

C. Tujuan Penulisan ... 10

D. Manfaat Penulisan ... 11

E. Keaslian Penulisan ... 11

F. Metode Penelitian... 11

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT ... 15

A. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit ... 15

B. Fungsi Kredit…………... 21

C. Hak dan Kewajiban Debitur dan Krditur... 26

D. Penyelesaian Wanprestasi... 28

BAB III TINJAUAM UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN JUAL BELI ... 33

A. Pengertian Perjanjian ... 33

B. Jenis Perjanjian... 42

C. Pengertian Jual Beli... 47


(5)

BAB IV PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO PADA BANK YANG MELAKUKAN PEMBERIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH (STUDI PADA PT. BANK SUMUT) . 53 A. Proses Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Pada PT. Bank

Sumut ... 53

B. Penerapan Manajemen Risiko Pada Krdit Kepemilikan Rumah Pada PT. Bank Sumut ... 58

C. Akibat Hukum Wanprestasi Perjanjian Kredit Kepemilikan Rumah Pada PT. Bank Sumut ... 62

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA


(6)

ABSTRAK *Syarifah

**Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum *** Puspa Melati Hasibuan, SH.M.Hum

Rumah adalah kebutuhan primer bagi sebagian besar keluarga baik yang tinggal di pedesaan maupun di perkotaan dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan primer. Hal tersebut tidak semua orang mampu membeli secara tunai. Untuk itu mereka membutuhkan bantuan dari lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang penyaluran kredit perumahan. Berdasarkan uraian tersebut maka diajukan beberapa permasalahan bagaimana proses perjanjian kredit kepemilikan rumah pada PT. Bank Sumut, bagaimana manajemen risiko pada kredit kepemilikan rumah pada PT. Bank Sumut dan bagaimana akibat hukum wanprestasi perjanjian kredit kepemilikan rumah pada PT. Bank Sumut.

Metode penelitian yang di lakukan adalah adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis normatif dan studi lapangan pada PT. Bank Sumut.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan proses perjanjian kredit kepemilikan rumah pada PT. Bank Sumut dimulai dari permohonan debitur. Dengan adanya pemrohonan debitur tersebut maka pihak bank selaku kreditur memberikan syarat-syarat permohonan kredit kepemilikan rumah. Dan selanjutnya berkas tersebut dipelajari secara seksama oleh bank untuk memberikan kredit kepemilikan rumah atau menolaknya. Penerapan manajemen risiko pada Kredit kepemilikan rumah pada PT. Bank Sumut dilakukan berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia dan yang terakhir adalah Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti. Inti dari Surat Edaran BI adalah penetapan rasio

loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR), yaitu rasio antara nilai

kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap agunan aset/objek yang didanai pada saat awal pemberian kredit ditetapkan maksimal 70%. Akibat hukum wanprestasi perjanjian kredit kepemilikan rumah pada PT. Bank Sumut adalah dilakukannya Penyelamatan kredit melalui upaya penjadwalan kembali

(rescheduling) kredit sebelum dilakukan upaya-upaya hukum oleh pihak bank.

Hal ini merupakan upaya yang paling dominan dilakukan. Apabila jalan ini tidak selesai maka dilakukan upaya-upaya hukum diantaranya memberikan somasi, penjualan agunan untuk pelunasan piutang yang terjadi berdasarkan kesepakatan pihak bank dengan debitur dan sebagai langkah terakhir apabila bank mengalami kesulitan penanganan terhadap kredit bermasalah maka penyelesaiannya akan diserahkan kepada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN).

Kata Kunci

* Masiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

** Dosen Pembimbing I Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU *** Dosen Pembimbing II Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU