Sumber data Penelitian Teknik dan Pengumpulan Data Analisis Data

23 penelitian identifikasi hokum dan penelitian efektifitas hukum. Pendekatan yuridis empiris ini digunakan untuk melihat efektifitas hukum dilapangan dalam menyelesaikan penguasaaan atas tanah dan penerapan peraturan Perundang- Undangan di bidang Pertanahan antara lain Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Implemantasi Peraturan Peundang-Undangan.

2. Sumber data Penelitian

Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan data sekunder 52 yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tertier bahan penunjang. 53 Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup: 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. b. Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian soal pemakaian tanah oleh rakyat. Kemudian diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1956 c. Undang-Undang Nomor 51 Prp 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya. d. SK KBPN No 42HGUBPN2002 52 Ibid, hal 28. 53 Ibid, hal 39. Universitas Sumatera Utara 24 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, misalnya rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,hasil karya dari kalangan hukum tentang penyelesaian tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II. 3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks, kumulatif dan seterusnya.

3. Teknik dan Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik dan pengumpulan data yang dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Studi dokumen. Penelitian ini menggunakan bahan yang merupakan hasil dari penelitian kepustakaan yang diperoleh melalui Peraturan Perundang-Undangan, buku- bukuliteratur, majalah serta bahan-bahan yang berhubungan dengan judul. b. Pedoman Wawancara. Penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara Interview. Informan yang dijadikan sebagai sumber data dalam pernelitian ini yaitu Badan Pertanahan Nasional, PT Perkebunan Nusantara II Kebun Helvetia dan Penggarap.

4. Analisis Data

Analisis data adalah suatu proses mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode dan mengategorikannya hingga kemudian mengorganisasikan Universitas Sumatera Utara 25 dalam suatu bentuk pengelolaan data untuk menemukan tema dan hipotesis kerja yang diangkat menjadi teori substantif. 54 Untuk menemukan teori dari data tersebut maka menggunakan metode kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. 55 Setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan timbal balik antara teori dengan kegiatan-kegiatan pengumpulan data, konstruksi data, pengelolahan data dan analisis data. 56 54 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung :PT Remaja Rosdakarya, 1993, hal 103 55 Zainuddin Ali,Op.Cit, hal 105. 56 Ronny Hanitijo Soemitro,Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990,hal 41. Universitas Sumatera Utara 26

BAB II PERKEMBANGAN PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL

EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA

A. Masa Pemerintahan Belanda

Politik Hukum Agraria dalam kasus Indonesia apabila dilihat dari segi aspek kesejarahannya ternyata melalui perkembangan yang panjang sebelum berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 cenderung tidak berpihak pada kepentingan masyarakat melainkan sangat menguntungkan bagi kepentingan kaum penjajah. 57 Penjajahan Belanda yang dimulai sejak VOC melakukan perebutan daerah demi daerah di Indonesia sehingga sejak itulah timbul kegoyahan dalam hak-hak kepemilikan tanah rakyat Indonesia karena pihak Belanda mengabaikan hak-hak rakyat dengan memungut hasil bumi dari tanah-tanah milik rakyat, kecuali terhadap hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Belanda dalam hal ini KUHPerdata BW yang di dalamnya Buku II ada mengatur mengenai hak-hak atas tanah antara lain Eigendom, Erfpacht dan Opstal. Khusus terhadap penguasaan tanah untuk luas tanah yang besar bagi perkebunan diberikan Hak Erfpacht. 58 Pemerintah Hindia Belanda tidak mewariskan suatu pendaftaran tanah di Indonesia, khusus untuk seluruh hak-hak atas tanah adat yang terdapat di Indonesia, 57 H. Muchsin,dkk, Hukum Agraria Indonesa Dalam Perspektif Sejarah, Bandung : PT Refika Aditama, 2007, hal 38. 58 G Kartasapoetra,dkk, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Jakarta : PT Bina Aksara, 1985, hal 93. 26 Universitas Sumatera Utara 27 sebagaimana yang dilakukan oleh Inggris terhadap jajahannya. Hal ini lah yang menyebabkan di Indonesia lebih dari 80 tanah-tanah tidak bersurat sama sekali atau pun kalau ada suratnya hanya berupa surat-surat bermaterai yang ditandatangani oleh pihak-pihak dan oleh kepala desa atau lurah atau kepala marga dan sebagainya, 59 samping itu sifat Hukum Adat adalah umumnya tidak tertulis, demikian juga dalam hukum adat tanah, umumnya pemilikan tanah adat seseorang atau masyarakat hukum adat tidak ada bukti tertulis, dalam hal ini pemilik hak atas tanah cukup dibuktikan dengan penguasaan fisik oleh yang bersangkutan dengan adanya pengakuan dari pengetua adat, adanya penguasaan dan pengakuan tersebut dapat menimbulkan hak atas tanah. Jadi tidak cukup hanya dengan mengerjakan menggarap tanah tertentu akan dapat melahirkan hak atas tanah harus ada prosedur tertentu yakni beberapa pengakuan dari pihak yang berwenang. Oleh karena itu, hak garap tidak ada dalam hukum tanah. Menurut hukum penguasaan tanah, yang menggarap tidak ada landasan haknya jika tidak ada legalisasi dari pihak yang berwenang. Justru penguasaannya yang melanggar hak pada pihak pemilik tanah atau hak Negara jika yang diduduki itu tanah Negara. Kalaupun ada pemberian biaya pindah, hal tersebut semata kebijaksanaan BupatiWalikotamadya dalam menyelesaikan kasusnya 60 . 59 AP Parlindungan, Hukum Agraria Beberapa Pemikiran Dan Gagasan, Medan : USU Press, 1998, hal 101. 60 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan, 2005, hal 114 Universitas Sumatera Utara 28 Penguasaan atas tanah yang diikuti dengan formalitas berupa pengakuan atas penguasaan ataupun pemberian hak atas tanah oleh pejabat yang berwenang akan melahirkan hak atas tanah. Salah satu hak atas tanah yang dapat diberikan kepada seseorang atau badan hukum menurut UUPA adalah Hak Guna Usaha. HGU tersebut dari segi sejarahnya berasal dari konsep Hak Barat yaitu Hak Erfpacht yang diatur dalam Buku II KUHPerdata BW kemudian diadopsi dalam UUPA dengan nama Hak Guna Usaha selain itu dikenal Hak Konsesi yang khususnya ada di daerah Swapraja seperti di wilayah Kesulatanan Deli di Residen Sumatera Timur. Hak Erfpacht dan Hak Konsesi tersebut sejak berlaku UUPA dapat dikonversi menjadi HGU. HGU di areal PTPN II Kebun Helvetia semula berasal dari Hak Konsesi dari Sultan Deli kepada NV. Deli Batavia Masstschappij dengan Akta Konsesi Nomor 3 tanggal 4 Oktober 1982 dan disahkan oleh Residen Sumatera Timur dengan Registrasi Nomor 354 tanggal 15 Oktober 1892 untuk waktu 75 tahun dengan luas tanah 2567 Ha. 61 Ketika masa pemerintahan Belanda , masyarakat Melayu yang pada saat itu diberi ijin Pemerintah untuk mengusahakan tanah pertanian setelah masa panen tembakau dengan sistem rotasi, dimana setelah masa panen tembakau Pengusaha Swasta Asing pada masa Pemerintahan Belanda tersebut berpindah-pindah tempat dan masyarakat Melayu dapat menggunaka tanah tembakau tersebut setelah selesai masa panen dengan menanami tanaman semusim seperti padi dan hal tersebut diakui 61 Direktorat Agraria Provinsi Sumatera Utara, Risalah Perkebunan dan Perkembangan Hak Konsesi dan Erfpacht Perkebunan Bwsar dan Penyelesaian Pendudukan Rakyat Atas Tanah Perkebunan di Sumatera Utara, 1976, tidak dipublikasi, hal 8. Universitas Sumatera Utara 29 sebab adanya Akta Konsesi yang menunjukkan bahwa orang Melayu dapat mengelolah tanah tersebut setelah selesai masa panen tembakau. Mereka yang menunggu panen tembakau disebut Rakyat Penunggu sedangkan tanah bekas panen tembakau yang dikelola Rakyat Penunggu disebut tanah Djaluran yang mereka yakini seperti tanah ulayat.

B. Masa Pemerintahan Jepang

Sejak perkebunan kolonial beroperasi sampai runtuhnya Pemerintah Belanda di Sumatera Timur, Rakyat Penunggu tetap memperoleh tanah djaluran. Akan tetapi setelah kekuasaan Belanda digantikan Jepang peluang Rakyat Penunggu untuk mendapat tanah djaluran mulai terganggu. Awal terjadinya garapan pada areal perkebunan di Sumatera Timur ini terjadi sejak pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, dimana pada saat itu untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia, yang menimbulkan keadaan darurat sehingga banyak rakyat mengusahai tanah-tanah perkebunan. Maka sejak saat itu penggarapan atas areal perkebunan di Sumatera Timur mulai berkembang. Namun kekuasaan Jepang tidak bertahan lama, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia diploklamirkan, tidak lama sejak berdirinya Republik Indonesia di Sumatera Timur terbentuk partai politik dan laskar-laskar.

C. Masa Sekarang

Dalam kenyataannya, Hak Guna Usaha merupakan hak atas tanah yang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini disebabkan perkembangan Universitas Sumatera Utara 30 dunia usaha semakin pesat, seiring dengan adanya kebijakan Pemerintah mengembangkan dunia usaha di bidang agrobisnis dan agroindustri, maka salah satu persyaratan yang harus tersedia adalah adanya tanah luas yang mendukung lokasi usaha tersebut. Oleh karena itu, adanya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, maka dapat memberikan kemudahan kepada pemegang Hak Guna Usaha untuk mendapatkan atau melakukan perpanjangan apabila jangka waktu Hak Guna Usaha berakhir. 62 Setelah berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha dalam waktu 35 tahun dengan perpanjangan 25 tahun atau seluruhnya berjumlah 60 tahun, maka Hak Guna Usaha akan hapus demi hukum. Hapusnya Hak Guna Usaha ini bukan berarti tidak dapat diperbaharui. Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, bahwa Hak Guna Usaha yang telah berakhir atau hapus tersebut dapat di perpanjang kembali. 63 Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, yang dimaksud dengan pihak lain ini adalah warga Negara Indonesia, jadi tidak dapat diberikan kepada orang asing, akan tetapi bagi badan-badan hukum yang bermodal asing mungkin dapat diberikan dengan pembatasan yang disebutkan dalam Pasal 55 UUPA Hak Guna Usaha hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan kepada badan-badan hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing jika hal ini diperlukan oleh Undang-Undang yang mengatur pembangunan nasional semesta 62 Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hal 112. 63 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta : Kencana, 2008, hal 174. Universitas Sumatera Utara 31 berencana. Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, bahwa untuk keperluan perusahaan-perusahaan modal asing dapat diberikan tanah dengan Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai menurut peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. 64 Negara bukan pemilik owner tanah, tetapi di dalam kedudukannya sebagai personifikasi rakyatbangsa Indonesia mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu. Untuk melaksanakan kewenangannya, Negara mempunyai kewajiban untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan umum dan perseorangan, termasuk kepentingan pemegang Hak Guna Usaha. Adanya pembatasan jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut memungkinkan NegaraPemerintah secara berkala melakukan pengawasan apakah keseimbangan tersebut masih dapat dipertahankan. 65 Apabila Hak Guna Usaha tersebut berakhir dan tidak diperpanjang lagi oleh pemegang hak nya atau tidak diberikan lagi perpanjangan oleh Pemerintah di sebabkan beberapa hal, misalnya tidak sesuai lagi dengan rencana penggunaan tanahnya atau diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, maka Pemerintah akan menetapkan tanah tersebut sebagai tanah Negara yang akan di distribusikan kepada rakyat dan kepentingan lain yang mengkehendaki sesuai ketentuan yang berlaku. Redistribusi tanah pada umumnya dilatar belakangi oleh suatu keadaan dimana terdapat sebagian besar tanah pertanian dimiliki oleh beberapa orang saja, 64 G. Kartasapoetra, Masalah Pertanahan di Indonesia, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992, hal 8. 65 Maria S W Sumarjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta : Penerbit buku Kompas, 2001, hal 94. Universitas Sumatera Utara 32 tanah-tanah bekas perkebunan dan lain-lain, dan ini terjadi terutama di Negara- Negara berkembang yang tekanan penduduknya pada umumnya sangat tinggi dan fasilitas industri untuk menampung kelebihan penduduk pedesaan terbatas. 66 Secara prakteknya, selama ini telah begitu banyak tanah pertanianperkebunan diredistribusikan kepada para petani penggarapburuh tani dengan pembayaran uang ganti rugi kepada Negara dengan pelunasan jangka panjang 15 tahun. Karena administrasi belum berjalan begitu baik sehingga banyak hambatan yang dialami terutama pada waktu menjelang tahun 1965 dan beberapa tahun sesudah itu, maka pembayaran uang ganti rugi kepada Pemerintah dan Pemerintah kepada ex pemilik tanah sampai saat ini belum rampung. Sehingga perlu adanya pengawasan ketat dari aparat agraria kabupatenkotamadya terhadap tanah-tanah yang sudah diredistribusikan terutama yang belum dilunasi uang ganti ruginya harus di indahkan. 67 Redistribusi tanah pertanianperkebunan tersebut terkecuali terjadi juga pada areal perkebunan di Sumatera Utara termasuk pada areal PTPN II, namun pembagian tanah tersebut tidak berjalan mulus baik menyangkut ganti rugi kepada bekas pemegang hak, pembayaran ganti rugi harga tanah kepada Negara, sampai kepada pendaftaran tanah, sehingga banyak ditemukan ketidakpastian hukum atas pemilikanpenggarapan tanah tersebut hingga saat ini. 66 H. Affan Mukti, Pembahasan Undang-Undang Pokok Agraria, Medan : Usupress, 2010, hal 50. 67 John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta :Sinar Grafika, 1993, hal 233. Universitas Sumatera Utara 33 Tidak adanya kepastian hukum sebagai pengaruh era reformasi mengakibatkan adanya tindakan masyarakat yang bertentangan dengan hukum sehingga perusahaan perkebunan menjadi korban karena lahan tanah perkebunan diambil oleh masyarakat dengan berbagai dalih antara lain klaim Hak Ulayat, Penggarapan, Tuntutan Perkembangan Kota dengan Perubahan Tata Ruang dan Tuntutan lainnya, termasuk pada areal PTPN II. Klaim terhadap hak ulayat ini antara lain disebabkan areal perkebunan PTPN II ini umumnya berada di wilayah etnis melayu dan dahulu tanah PTPN II adalah tanah hak ulayat masyarakat adat melayu 68 . Hak ulayat masih diakui adanya, namun hak tersebut tidak dapat dibenarkan untuk menghalang-halangi pemberian hak guna usaha dan tidak dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayat menolak begitu saja karena kepentingan masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas. 69 Tentang pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat, UUPA tidak memberikan kriteria. Boedi Harsono menyebutkan alasan para perancang dan pembentuk UUPA untuk tidak mengatur tentang hak ulayat karena pengaturan hak ulayat, baik dalam penentuan kriteria eksistensi maupun pendaftarannya akan melestarikan keberadaan hak ulayat, sedangkan secara alamiah terdapat kecenderungan melemahnya hak ulayat. Dalam kenyataannya ketiadaan kriteria persyaratan eksistensi hak ulayat 68 Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 193. 69 I Wayan Suandra, Hukum Pertanahan Indonesia, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994, hal3. Universitas Sumatera Utara 34 merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap marjinalisasi hak masyarakat hukum adat. 70 Salah satu hasil dari reformasi yang telah terjadi yakni munculnya situasi dimana masyarakat tidak punya rem menggunakan dan malah menguasai tanah yang bukan miliknya, karena mereka menganggap secara sah bahwa secara syarat formal hukum yang mereka tau di tanah itu melekat hak mereka secara terus menerus tanpa menghiraukan hukum tanah yang mereka anggap telah memporak porandakan hak mereka tanpa menyadari bahwa hukum itu memberikan keadilan bagi penggunanya. Bila seandainya masyarakat melepaskan diri dari aturan pertanahan yang ada bisa jadi lebih parah dan lebih kacau. Sebab pada prinsipnya tidak ada aturan yang menyengsarakan rakyat. 71 Hingga kini perbuatan melawan hukum ini terpaksa diselesaikan dengan berdamai, yaitu dengan pemberian ganti-rugi atas tanaman yang telah ditanam secara tidak sah oleh si penyerobot. Untuk mencegah perluasan perbuatan semacam ini diharapkan dengan sangat agar pihak yang berwenang dapat bertindak dengan tegas terhadap pihak yang mengadakan perbuatan hukum tersebut. 72 Perkembangan penyelesaian tanah garapan masyarakat belakangan ini baik disebabkan oleh adanya klaim atas tuntutan hak ulayat, adanya tanah redistribusi 70 Maria S. W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Jakarta : Buku Kompas, 2008, hal 171. 71 Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 47. 72 Sunarjati Hartono, Beberapa Pemikiran Kearah Pembaharuan Hukum Tanah¸ Bandung : Alumni, 1978, hal 83. Universitas Sumatera Utara 35 yang tidak tuntas, adanya tindakan penguasaanpendudukan secara tidak sah oleh masyarakat atas tanah perkebunan dan lain-lain sebab telah menimbulkan persoalan yang rumit saat ini ditambah lagi ketidak tegasan Pemerintah dalam menerbitkan ijin pelepasan asset atas tanah-tanah yang tidak diperpanjang HGU nya sesuai dengan ketentuan dalam SK KBPN Nomor 42HGUBPN2002. Berdasarkan Surat Keputusan KBPN Nomor 42HGUBPN2002 menyatakan bahwa terhadap areal Eks HGU yang tidak diperpanjang maka penyelesaian tersebut diserahkan kepada Gubernur Sumatera Utara untuk mengatur P4T yaitu mengatur penguasaan, pemilikan, penggunanaan dan pemanfaatan tanah setelah mendapat ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang. Hingga saat ini belum ada ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang sehingga Gubernur belum dapat mendistribusikan baik dalam hal ini kepada tuntutan rakyat, garapan rakyat, rumah pensiunan karyawan dan bahkan RUTRRUTW. 73 Agar penanganan tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II tersebut dapat diselesaikan dari pada menunggu ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang, sesungguhnya Gubernur Sumatera Utara harus berperan aktif dengan cara membentuk kelompok kerja untuk meneliti kembali dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan apakah sesuai nama-nama rakyat penggarap yang dilindungi oleh Undang-Undang dengan identitas penggarap berdasarkan dokumen-dokumen yang sah seperti salah satunya SIM Surat Izin Menggarap yang ada di lapangan 73 Wawancara dengan Hasinuddin, selaku bagian Kepala Seksi Pengaturan Tanah Pemerintah Kanwil Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara, tanggal 05 Februari di Kanwil Badan Pertanahan Nasional, Medan. Universitas Sumatera Utara 36 serta bukti-bukti yang konkrit yang benar-benar menyatakan bahwa si pemegang hak memperoleh ijin menggarap pada masa itu, namun kenyataan dilapangan yang ditunjukan hanyalah fotocopy-fotocopy, jika sesuai dan akurat data-data di lapangan maka tanah tersebut dapat dikeluarkan dari areal Eks HGU PTPN II dan apabila tuntutan garapan tersebut ternyata penggarap yang tidak dilindungi oleh Undang- Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 maka tuntutan tersebut ditolak dan penggarap tersebut diperintahkan oleh aparat untuk meninggalkan areal Eks HGU PTPN II. Selanjutnya tanah yang dimohonkan menjadi tanah yang dikeluarkan dari areal HGU PTPN II antara lain apabila tanahnya atau obyeknya maupun subyeknya penggarap maupun ahli waris penggarap dilindungi oleh Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 sedang ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang jika dikeluarkan harus ada kejelasan kepada siapa tanah tersebut diberikan, sebab penerbitan ijin pengeluaran dari asset oleh Menteri yang berwenang tanpa terlebih dahulu adanya penelitian kepada siapa yang berhak justru akan menimbulkan bentrok fisik antar pihak-pihak yang menginginkan tanah areal Eks HGU PTPN II tersebut. Menurut Muhammad Zamkani, selaku Deputi Bidang Usaha Industri Primer Kementerian BUMN, makna pelepasan asset lahan tersebut juga belum ada persamaan persepsi, sebab menurut versi Kementerian BUMN, jika HGU habis maka tidak serta merta lahan itu menjadi milik masyarakat atau milik Negara cq.Pemda. Jika PTPN II sebagai pihak lama yang mengelola nya masih mau, maka HGU diperpanjang lagi untuk PTPN II. Namun tidak dipungkiri, jika sudah ada putusan Pengadilan yang memerintahkan lahan itu dilepaskan, maka Kementerian BUMN Universitas Sumatera Utara 37 juga melepaskannya, akan tetapi kewenangan pelepasan asset tersebut harus melalui Rapat Umum Pemegang Saham RUPS dan setiap jajaran direksi juga sudah mempersiapkan solusi, serta harus berhati-hati karena menyangkut tanggung jawab menjaga asset. Menurut Sekretaris Utama Badan Pertanahan Nasional BPN Managam Manurung, bahwa lahan di PTPN II sudah tidak lagi menjadi ranah BPN untuk memproses penyelesaiannya, sebab pihak BPN sudah memutuskan tidak lagi memperpanjang HGU untuk PTPN II di lahan-lahan yang bermasalah, dan hal tersebut dibenarkan oleh Kementerian BUMN telah menerima surat permintaan pelepasan asset. Akan tetapi Kementerian BUMN belum mau melepaskan asset, samping itu BUMN belum puas dengan hasil pemetaan Tim Khusus yang dibentuk oleh Gubsu Gatot Pujo Nugroho berdasarkan SK Gubsu tanggal 23 September 2011 sebab PTPN II itu sendiri tidak masuk dalam tim tersebut. 74 Gubsu Gatot Pujo Nugroho bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah FKPD menyerahkan sejumlah dokumen diantaranya permohonan pelepasan asset atas tanah 5.873.06 Ha eks PTPN II serta menyerahkan hasil kerja Tim Khusus Penanganan Areal eks HGU PTPN II yang dibentuk FKPD Plus pada September 2012, yang tugas Tim Khusus tersebut adalah mengiventarisasi tanah eks HGU PTPN II sekaligus juga melaporkan tentang HGU yang telah diperpanjang dan hasil tersebut dilaporkan ke Menteri BUMN. 74 BUMN Ogah Lepas Lahan Eks HGU PTPN, http:sumutpos.co20120534736bumn- ogah-lepas-lahan-eks-hgu-ptpn-2, diakses hari Sabtu tanggal 16 Maret 2013. Universitas Sumatera Utara 38 Berbagai langkah telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terkait dengan permasalahan eks HGU PTPN II yang sudah cukup panjang sejak tahun 1999 sampai sekarang, namun kemajuan yang telah dilakukan terlihat pada tahun 2010 hingga 2012 setelah terbentuknya tim khusus yang menangani tentang pemetaan atas tanah-tanah yang saat ini di atas lahan eks HGU. Dalam hal ini Gubernur juga meminta kepada Menteri BUMN sesuai ketentuan yang diatur oleh Keputusan Kepala BPN bahwa lahan-lahan eks HGU yang habis masanya sebelum diberikan peruntukannya harus secara langsung dilepas oleh Menteri BUMN yang kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sesuai peruntukannya. Langkah-langkah yang telah dilakukan Gubernur bersama FKPD dan Tim disambut baik oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan, karena upaya yang dilakukan tersebut adalah bertujuan untuk mencari win-win solution yang terbaik bagi kepentingan masyarakat. Akan tetapi hingga saat ini, belum ada penyelesaian yang tuntas mengenai masalah tanah Eks HGU PTPN II tersebut. 75 Sementara itu, salah satu pihak yang mengajukan tuntutan dan penggarapan atas areal PTPN II dengan klaim hak ulayat adalah Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia BPRPI menurut pendapat Buyung salah satu penggarap Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia pada awalnya areal Kebun Helvetia keseluruhannya adalah tanah perkampungan. Menurut beliau bahwa dalam Undang- Undang Dasar 1945 dalam Pasal 33 ayat 3 menyatakan bumi dan air serta kekayaan 75 Sengketa Lahan Sumut : Konflik Lahan Bekas HGU PTPN II Agar Dituntaskan Secara Persuasif,http:www.bisnis-kepri.comindex.php201302sengketa-lahan-sumut-konflik-lahan-bekas- hgu-ptpn-2-agar-dituntaskan-secara-persuasif, diakses hari Sabtu tanggal 16 Maret 2013. Universitas Sumatera Utara 39 alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, hal ini menurut Buyung bahwa UUD 1945 tanah yang dimaksud bukan milik Negara namun diplesetkan seakan-akan menjadi tanah Negara, padahal sesungguhnya tanah tersebut pada awalnya sebelum merdeka rakyat yang lebih dulu menguasai tanah tersebut, sehingga menjadi sengketa dikarenakan Pemerintah menguasai tanah rakyat. Maka bagi rakyat penunggu di areal tersebut menuntut agar tanah ulayat mereka dikembalikan yang telah diambil oleh pihak perusahaan. Sebab menurut rakyat penunggu bahwa Pemerintah tidak mempedulikan nasib rakyat yang asli penduduk pribumi yang dahulu di jaman Belanda diakui hak- haknya untuk bercocok tanam dan sebelum perang dunia II adanya sebuah perjanjian akta konsesi dengan Sultan atas nama rakyat. Pada awalnya tanah tembakau ini berupa tanah djaluran 76 , menurut Buyung dahulu setelah masa panen tembakau maka tanah dilepas lalu rakyat di ijinkan untuk mengelola tanah sehabis panen tembakau tersebut untuk menanam tanaman semusim selama 1 tahun setelah itu dihutankan kembali selama 7 tahun sistem rotasi namun sistem ini telah berhenti sekitar tahun 1975. Pemerintah tidak memberi ijin kepada rakyat untuk bercocok tanam kembali sebab pihak perkebunan menanam tanaman 76 Tanah Djaluran juga perwujutan dari hak ulayat dari pada masyarakat hukum yang terdapat di Sumatera Timur khususnya. Timbulnya tanah djaluran berhubung karena para konsesionaris dahulu disebut para saudagar ingin mengetahui dan meletakkan dasar serta dipertegas hak ulayat dari pada masyarakat hukum tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena para ondernemer ketika itu tidak biasa dengan hukum adat kita yang tidak tertulis maka dalam model akta 1877, model aktaa 1878,1884 dan 1892 menjelaskan dan mempertegas hak rakyat tanah-tanah yang dahulu termasuk hak ulayat kampungnya baik atas penanaman pohon,buah-buahan untuk rakyat, tetapi lebih bersifat bahwa tanah djaluran bukan persetujuan antara raja-raja Sumatera Timur dengan para ondernemer akan tetapi dengan persetujuan pemerintah Belanda yang hanya bersifat deklaratif saja dari pada hukum adat dalam bidang pertnahanan. Universitas Sumatera Utara 40 tebu setelah habis panen tembakau, hingga pada akhirnya rakyat penunggu menuntut atas tanah ulayat mereka apalagi terlebih rakyat penunggu ini mayoritas adalah bertani. Negara Indonesia merupakan negara agraris, sehingga bagi rakyat penunggu hanya bertumpu pada tanah. Pengacara demi pengacara telah dibentuk oleh pihak rakyat penunggu untuk melakukan penyelesaian sengketa tanah garapan pada areal Kebun Helvetia. Namun hingga saat ini menurut Buyung penanganan sengketa tanah garapan tersebut tidak terselesaikan sebab adanya pihak-pihak yang berkepentingan memanfaatkan situasi sehingga menjadi alasan bahwa daerah Sumatera Utara sudah tidak kondusif disebabkan tidak terselesainya permasalahkan tentang sengketa tanah garapan pada areal Kebun Helvetia. 77 77 Wawancara dengan Buyung selaku pemangku adat Masyarakat Adat di bawah Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia Sumatera Utara, pada tanggal 22 Maret 2013 di kediaman Buyung pemangku Masyarakat Adat di bawah Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia. Universitas Sumatera Utara 41

BAB III BENTUK PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS

HGU PTPN II KEBUN HELVETIA

A. Upaya Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan

Pedoman yang dapat dipakai untuk menyelesaikan persoalan dalam Pertanahan di Indonesia yaitu: 78 1. Ditinjau dari sudut objektif, maka tanah itu terbatas. Berarti jika manusia menginginkan suatu bentuk agrarian yang baru janganlah mengkehendaki suatu system yang akan menjamin semua manusia yang ada di Negara Indonesia ini dapat menguasai tanah. Sebab dari sudut objektifnya merupakan suatu kemustahilan. 2. Dari sudut subjektif. Manusia mempunyai sifat dwi tunggal yaitu sebagai individu dan sebagai makhluk sosial. Hubungan manusia dengan tanah itu pada prinsipnya tanpa batas, dan tidak hanya mendasarkan dirinya sendiri namun harus juga mengingat sifat sosial sebagai anggota masyarakat. Hubungan manusia dengan tanah bersifat relatif, sifat tersebut dapat dibatasi pada suatu hal yang pokok baik dari satu orang yang berhubungan, satu kelompok maupun satu golongan. Jika diperuntukkan kepada bentuk hukum agraria maka bagi setiap hak orang Indonesia yang tertinggi atas tanah nya tersebut tidak dapat mengesampingkan hak orang lain. 78 Notonagoro, Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, Jakarta : PT Bina Aksara, 1984, hal 61. 41 Universitas Sumatera Utara 42 3. Negara hukum Indonesia merupakan Negara hukum kebudayaan, bukan Negara hukum yang murni, yang absolut, berarti bahwa dalam Negara Indonesia hukum mempunyai tugas yang bermacam-macam yaitu menyelenggarakan kebutuhan Negara sebagai Negara, menyelenggarakan kebutuhan umum semua warga Negara, menyelenggarakan bantuan Negara kepada warga Negara dalam memelihara kepentingan sendiri. Jadi dalam bentuk hukum agraria harus ada status tanah yang dapat mencukupi macam-macam kebutuhan yang harus diselenggarakan hukum tersebut. 4. Agar hilang kekecewaan-kekecewaan sebagai konsekuensi maka harus ada batas- batas hubungan antara manusia dengan tanah yang dengan singkat dapat dikembalikan kepada sifat manusia dwi tunggal. 5. Berhubung dengan bermacam-macam status tanah yang diperlukan maka adanya batasan seperti pengurangan pengaruh kedudukan manusia perseorangan dalam hubungan dengan tanah. Usaha pembatasan ini dapat dijalankan dengan memasukkan Negara, masyarakat ke dalam lingkungan subyek dan dapat mempunyai 2dua macam bentuk yaitu; a. Dalam bentuk subyek campuran, perseorangan dengan Negara bersama- sama menjadi subyek; b. Melangsungkan seluruhnya hak perseorangan, akan tetapi haknya dibatasi dalam pelaksanaan kekuasaan dengan diadakan perencanaan aturan-aturan oleh Negara. Universitas Sumatera Utara 43 6. Menguatkan kedudukan orang-orang yang tidak mempunyai hubungan-hubungan langsung dengan tanah. 7. Meskipun manusia tidak begitu bersangkut paut dengan hak tanah, akan tetapi manusia mempunyai hak memperoleh manfaat dari tanah. Prinsip kepentingan yang diperlihara oleh hukum agraria ialah kemungkinan membagi hasil oleh pihak Negara, bila diperlukan atau untuk waktu-waktu yang mengharuskan. 8. Dalam hukum agraria perlu diadakan jaminan-jaminan untuk menghilangkan unsur kekuasaan. Upaya hukum dalam penyelesaian sengketa pertanahan dalam pengertian luas yang dapat ditempuh antara lain : 79 1. Musyawarah Melakukan pertemuan dengan pihak yang mengambilmenguasai tanah dimaksud dengan tujuan untuk menyadarkan pihak dimaksud bahwa tindakan nya itu telah melanggar hukum dan harus mengembalikanmenyerahkan tanah tersebut kepada pemiliknya kembali. 2. Penuntutan Jika upaya hukum pertama tidak memberi hasil dan pihak yang mengambilmenguasai tanah itu tidak mau menyerahkanmengembalikan kepada si pemilik maka haruslah dimajukan tuntutan ke Pengadilan. Jika ditempuh dengan cara lain seperti menggunakan kekuasaan, kekuatan atau kekerasan itu 79 Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, Medan : Univeristas Sumatera Utara, 2005, hal 137. Universitas Sumatera Utara 44 sudah di luar koridor hukum yang berlaku. Untuk mengajukan tuntutan tersebut dapat dilakukan dengan cara sendiri atau memberi kuasa kepada pihak atau lembaga yang dapat melakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Kuasa Hukum Jika mempunyai kemampuan terutama di bidang hukum maka dapat diajukan ke pengadilan tetapi jika kemampuan sendiri kurang memadai untuk memahami persoalan tersebut misalnya karena keterbatasannya dibidang pengetahuan hukum maka upayakan mendapatkannya dari para konsultan hukum atau lembaga-lembaga hukum lainnya yang ada seperti Lembaga Bantuan Hukum LBH dan Biro Bantuan Hukum yang ada berbagai Fakultas Hukum dan lembaga-lembaga lainnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan telah dibentuk Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan pada instansi Badan Pertanahan Nasional yang diberi tugas: 1. Menerima dan mencatat semua sengketa pertanahan yang diterima, baik berupa surat gugatan, pengaduan tertulis maupun secara lisan. 2. Meneliti masalah yang disengketakan untuk menentukan tim kerja yang akan ditugasi menelaah dan merumuskan kebijaksanaan dan atau langkah-langkah penyelesaian sengketa yang bersangkutan Universitas Sumatera Utara 45 3. Mengusulkan pembentukan Tim Kerja Pengolah Sengketa Pertanahan dan mempersiapkan surat penugasannya 4. Memonitor tahap-tahap penyelesaian sengketa secara priodik dan memperingatkan Tim Kerja pengolah Sengketa Pertanahan mengenai penanganan sengketa yang belum diselesaikannya 5. Secara priodik membuat laporan mengenai penyelesaian sengketa yang diterima kepada pejabat pimpinan instansi Badan Pertanahan Nasional. Apabila berdasarkan pertimbangan Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan diperlukan penanganan secara koordinatif, maka dibentuk Tim Kerja Pengolah Sengketa Pertanahan yang bertugas: 1. Menelaah secara mendalam sengketa pertanahan yang bersangkutan 2. Berkoordinasi dengan pihak-pihak yang terkait 3. Merumuskan penyelesaian sengketa yang bersangkutan 4. Menangani permasalahan sengketa yang berupa gugatan terhadap Pemerintah atau instansi Badan Pertanahan Nasional. Mekanisme Kerja Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan adalah: 1. Mencatat dan meneliti permasalahan sengeketa tersebut dan memutuskan untuk a. Menangani sendiri sengketa yang bersangkutan apabila masalah tersebut dipandang sebagai sengketa sederhana dan b. Mengusulkan dibentuknya Tim Kerja Pengolah Sengketa Pertanahan untuk menangani sengketa pertanahan yang dianggap rumit dan untuk merumuskan penyelesaiannya diperlukan keikutsertaan pejabat lain. Universitas Sumatera Utara 46 2. Dalam hal Sekretariat Penanganan Sengketa memutuskan untuk merumuskan sendiri penyelesaian permasalahan sengketa yang diterimanya, maka ditugaskan anggota Sekretariat untuk merumuskan penyelesaian sengketa tersebut dan menyiapkan suratdokumen yang diperlukan oleh pejabat yang berwenang dengan menetapkan batas waktu penyelesaiannya. 3. Dalam hal Sekretariat memutuskan untuk mengusulkan dibentuknya Tim Kerja Pengolah Sengketa Pertanahan, maka Tim diberi tugas untuk meneliti secara mendalam permasalahan yang bersangkutan dan apabila diperlukan mengadakan koordinasi dengan instansi lain, meminta informasi dari instansi terkait atau pihak-pihak yang berkepentingan dan mengadakan peninjauan lapangan. 4. Tim mengusulkan kebijakan penyelesaian sengketa dan langkah-langkah yang diperlukan untuk melaksanakannya kepada pimpinan instansi Badan Pertanahan Nasional dan menyiapkan keputusan, instruksi atau suratdokumen lain yang perlu dikeluarkan. Pasal 2 ayat 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Perkaban Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, tujuan dari pengelolaan pengkajian dan penanganan kasus pertanahan adalah untuk memberikan kepastian hukum akan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia. Mekanisme penyelesaian masalah pertanahan di atas hanya sebagai pedoman dalam prakteknya, namun mekanisme tersebut pada dasarnya tergantung pada masalah yang akan diatasi apakah permasalahannya rumit atau sederhana. Walaupun Universitas Sumatera Utara 47 mekanisme penyelesaian masalah pertanahan telah teratur sesuai dengan peraturan yang berlaku, namun pada prinsipnya penyelesaian masalah pertanahan seharusnya tetap mengutamakan cara musyawarah mufakat sebagai penyelesaian yang paling bijaksana dan optimal hasilnya. Akan tetapi tidak semua permasalahan pertanahan diselesaikan secara musyawarah mufakat, banyak berbagai macam untuk melakukan penyelesaian pertanahan sesuai kehendak para pihak yang memilih asalkan berlandas dengan kepastian hukum yang berlaku. 80

B. Pola Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan

Penyelesaian sengketa tanah garapan merupakan salah satu dari kebijakan Pemerintah di bidang pertanahan yang kewenangan pelaksanaannya diselenggarakan oleh Pemerintah KabupatenKota yang diamanatkan dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di bidang Pertanahan maupun sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan dalam rangka menyiapkan konsepsi, kebijakan dan system pertanahan Nasional yang utuh dan terpadu serta pelaksanaan Tap MPR Nomor IXMPR2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. 81 Pola penyelesaian sengketa tanah garapan antara lain: 82 I. Keputusan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2003 tanggal 28 Agustus 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di 80 Abd Rahim, Pola Penyelesaian Masalah Pertanahan Pada Areal Perkebunan di Sumatera Utara, Medan : Tesis, PPS USU, 2005, hal 29-31. 81 Rusmadi Murad,Op.Cit, hal 109. 82 Ibid, hal 132. Universitas Sumatera Utara 48 bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah KabupatenKota ditentukan bahwa sengketa tanah garapan merupakan konflik kepentingan berkaitan dengan pengusahaan tanah oleh pihak-pihak yang tidak berhak diatas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau diatas tanah hak pihak lain sesuai yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 dan Keppres Nomor 32 Tahun 1979. Dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan mempunyai hubungan erat dengan upaya penguatan hak-hak rakyat dan dalam hal ini BupatiWalikota juga salah satu yang memiliki peran yang penting. Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota membantu upaya yang dilakukan oleh BupatiWalikota dengan melakukan koordinasi dan operasional lapangan dengan penanganan sebagai berikut : 1. Norma yang digunakan sebagai landasan operasional adalah: a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA b. Undang-Undang Nomor 51 Prp 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang berhak atau kuasanya. c. Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak Barat. 2. Pelaksanaan terdiri dari 3 tiga tahap yaitu: a. Tahap persiapan, dimulai pada waktu menerima laporan pengaduan sengketa tanah garapan b. Tahap pelaksanaan penanganan sengketa: Universitas Sumatera Utara 49 1. Melakukan penelitian terhadap subyek dan obyek sengketa. 2. Mencegah meluasnya dampak sengketa tanah garapan baik dari segi subyek maupun obyek. 3. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk menetapkan langkah-langkah penanganannya. 4. Memfasilitasi musyawarah antara para pihak yang bersengketa untuk mengadakan kesepakatan para pihak. 5. Jika tidak terjadi kesepakatan dalam musyawarah, Pemerintah atau pemegang hak dapat menempuh jalur hukum berupa bentuk keputusanrekomendasi yang ditujukan kepada Pengadilan. c. Kegiatan pelaporan pelaksanaan dalam hal ini BupatiWalikota melaporkan hasil penyelesaian sengketa tanah garapan kepada Pemerintah cq Kepala BPN melalui Kepala Kantor Pertanahan Wilayah BPN Propinsi setempat. II. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antar Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah KabupatenKota. Dalam penyelenggaraan urusan pemerintah tersebut Pemerintah dapat menyelenggarakan atau melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah dalam rangka dekonsentrasi atau menugaskan sebagian wewenang berdasarkan tugas pembaruan: 1. Pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Universitas Sumatera Utara 50 a. Menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria untuk pelaksanaan urusan tersebut serta memperhatikan keserasiaan hubungan Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, melibatkan pemangku jabatan yang berkoordinasi dengan Mendagri. b. Pembenaran, pengendalian dan memonitoring terhadap pelaksanaan penanganan sengketa tanah garapan 2. Pemerintah Daerah Propinsi menyelenggarakan penyelesaian sengketa tanah garapan lintasan KabupatenKota dan untuk Propinsi DKI Jakarta terdiri dari : a. Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan b. Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa. c. Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan. d. Koordinasi dengan instansi terkait untuk menetapkan langkah- langkah penanganannya. e. Fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak. 3. Pemeritnah KabupatenKota menyelenggarakan penyelesaian sengketa tanah garapan berupa : a. Penerimaan dari pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan. b. Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa. c. Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan. Universitas Sumatera Utara 51 d. Koordinasi dengan Kantor Pertanahan untuk menetapkan langkah langkah penanganannya. e. Fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak. III. Tahap penanganan dan penyelesaian sengketa 1. Identifikasi jenis masalahsengketa. 2. Pengumpulan data yuridis, fisik dan adminstratif. 3. Pengelolaan data yuridis, adminstratif, fisik. IV. Analisis masalah Analisa yang benar akan menentukan bobot suatu pengambilan keputusan yang berkualitas, sebaliknya analisa yang salah hanya akan menimbulkan keputusan yang menyesatkan bahkan akan menimbulkan sengketa dan masalah baru. V. Rekomendasi Hasil analisis akan melahirkan usulan penyelesaian dengan beberapa opsi atau pendapat atau juga langsung menghasilkan suatu keputusan. Rekomendasi dapat berupa usulan pendalaman masalah sengketa dengan materi tertentu. Rekomendasi yang baik adalah suatu usulan penyelesaian yang menjamin bahwa cara penyelesaian yang sarankan akan menghasilkan penyelesaian yang tuntas. VI. Upaya musyawarah Universitas Sumatera Utara 52 Mengupayakan musyawarah adalah suatu cara penyelesaian yang cukup baik karena lebih menjamin tuntas nya penyelesaian sengketa VII.Keputusan Keputusan diharapkan sebagai akhir suatu proses penyelesaian. Keputusan yang baik dan benar adalah suatu hasil dari pertimbangan yang komprehensif dan suatu hasil dari pertimbangan komprehensif dan dilakukan dengan tata cara sesuai ketentuan peraturan yang berlaku, dengan tidak mengabaikan segi-segi keadilan dan bukti serta fakta hukum yang ada. Namun tidak setiap keputusan dapat memuaskan para pihak yang bersengketa.

C. Pola Penyelesaian Pada Areal Perkebunan 1.

Penyelesaian secara administratif a. Terhadap PT Perkebunan Nusantara II Kebun Helvetia Menurut David Ginting 83 , pada awalnya rakyat penggarap mengerjakan tanpa ijin tanah PTPN II Kebun Helvetia. Setelah rakyat penggarap menggarapi tanah tersebut kemudian dilakukan jual beli dengan akta dibawah tangan dengan SK Camat, padahal sesungguhnya SK Camat itu sudah dilarang oleh Gubernur namun kenyataannya tidak di indahkan oleh Camat tersebut sehingga pada tanah areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia tersebut banyak berdiri bangunan- bangunan seperti rumah-rumah rakyat. Namun garapan itu bukan hanya dari 83 Wawancara dengan David Ginting selaku Assiten Manager PTPN II Kebun Helvetia, tangal 30 Januari 2013 di Kantor PTPN II Kebun Heletia, desa Klambir Lima. Kecamatan Deli Serdang. Universitas Sumatera Utara 53 masyarakat penggarap liar maupun penggarap dari rakyat penunggu, ada juga beberapa bangunan dari perumahan pensiunan karyawan PTPN II Kebun Helvetia selanjutnya rumah dinas yang ditempati para karyawan maupun karyawan pensiunan PTPN II Kebun Helvetia tersebut ada yang di jual belikan dibawah tangan dan bagi karyawan yang diketahui menjual rumah dinas yang ditempati maka dipecat sedangkan bagi karyawan pensiunan diproses kemudian ditindaklanjuti ke Kejaksaan. Dalam wawancara dengan David Ginting 84 , sekitar 1½ tahun yang lalu keluar peraturanstatement dari Gubernur Sumatera Utara yang menyatakan melarang mengadakan okupasi pembersihan terhadap garapan, sehingga pihak PTPN II Kebun Helvetia tidak dapat membuat satu program pembersihan tanah garapan program okupasi, seperti salah satunya di Kebun Sei Semayang, dalam hal ini pihak aparat tidak berpihak kepada PTP Kebun Sei Semayang, namun pihak aparat lebih berpihak kepada masyarakat penggarap sehingga terjadi pembakaran truk, pembacokan karyawan PTPN II Kebun Sei Semayang yang tidak dilindungi oleh aparat, sehingga setelah peristiwa tersebut terjadi Manager PTPN II Kebun Sei Semayang tidak menginginkan membuat program pembesihan tanah garapan program okupasi. Untuk melakukan pembuktian bahwa tanah Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia karena awalnya di garap, pihak PTPN II Kebun Helvetia sangat sulit 84 Assiten Manager PTPN II Kebun Helvetia, wawancara tangal 30 Januari 2013 di Kantor PTPN II Kebun Heletia, desa Klambir Lima. Kecamatan Deli Serdang. Universitas Sumatera Utara 54 mendapatkan bukti-bukti jual beli di atas tanah areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia, sebab jika telah di dapat bukti-bukti jual beli tersebut maka akan langsung dibuat oleh pihak PTPN II Kebun Helvetia berupa pengaduan ke Polisi setempat. Sekitar 2 minggu yang lalu sewaktu peneliti melakukan wawancara kepada David Ginting, PTPN II Kebun Helvetia mendapat salah satu bukti-bukti jual beli di atas tanah areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia yang saat ini sedang dalam pada tahap proses penyelidikan. Bentuk penyelesaian yang dilakukan bagi pihak PTPN II Kebun Helvetia saat ini adalah melakukan sosialisasi kepada masyarakat baik ke kepala desa maupun Polisi setempat bahwa areal HGU tersebut masih asset PTP dan jika tidak diindahkan masyarakat dan justru semakin bertambah garapan maka setelah itu ditindak lanjuti dibuat berupa pengaduan ke Polisi setempat dan ke Kejaksaan Tinggi, demikian juga seperti di kantor direksi PTPN II Tanjung Morawa sama halnya bertindak seperti yang dilakukan PTPN II Kebun Helvetia serta melakukan perkembangan seluruh kebun-kebun yang termasuk dalam areal PT Perkebunan Nusantara II. Maka agar tidak semakin bertambahnya garapan, pihak PTP Kebun Helvetia tetap berusaha melakukan suatu program penanaman areal produksi tanaman keras seperti program tebu dan tembakau. Dengan tujuan agar tidak semakin bertambahnya garapan, sebab jika ada rakyat penggarap yang ingin mencoba untuk merusak areal produksi tersebut maka pihak PTP Kebun Helvetia dengan mudah untuk melakukan pengaduan ke Polda. Sebab pihak PTP tetap mempertahankan Hak Guna Usaha yang masih berlaku sampai dengan Universitas Sumatera Utara 55 tahun 2024,demikian dilansirkan David Ginting selaku Assisten Manager PTPN II Kebun Helvetia. 85 Berdasar Surat Keputusan Nomor 42HGUBPN2002 dalam Diktum ketiga dan keempat bahwa Eks HGU PTPN II menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara akan tetapi secara keperdataan masih tetap asset PT Perkebunan Nusantara II, sebab dalam diktum keempat menyatakan menyerahkan pengaturan, penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah tersebut kepada Gubernur Sumatera Utara untuk selanjutnya diproses sesuai ketentuan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku setelah memperoleh ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang, apabila sudah mendapat ijin dari Menteri yang berwenang maka Gubernur sebagai kepala daerah mendistribusikan kepada nama-nama yang sudah tercatat dalam daftar matriks Panitia B Plus. Seperti yang kita ketahui pada hari kamis tanggal 14 Maret 2013 bahwa pihak PTPN II Kebun Helvetia hendak melakukan pembersihan lahan eks HGU seluas 25 Ha yang rencananya akan digunakan kembali sebagai areal perkebunan, namun akibatnya terjadi bentrok antara karyawan PTPN II Kebun Helvetia dengan ratusan petani penggarap yang tergabung dalam Kelompok Tani Mandiri Lestari Indonesia KTMLI. Disinyalir bahwa bentrok yang terjadi dipicu akibat perebutan lahan yang keberadaanya simpang siur. Menurut 85 Wawancara dengan David Ginting selaku Assisten Manager PTPN II Kebun Helvetia tertangal 30 Januari 2013, pukul 11.23 WIB di Kantor PTPN II Kebun Heletia, desa Klambir Lima. Kecamatan Deli Serdang. Universitas Sumatera Utara 56 manager PTPN II Kebun Helvetia, Edi Suranta Tarigan bahwa lahan seluas 25 Ha yang disengketakan masih masuk dalam Hak Guna Usaha Nomor 111 yang berakhir pada tahun 2028 mendatang, sedangkan menurut Sugiono salah seorang petani penggarap menyatakan bahwa lahan yang digarap tersebut oleh para kelompok petani bukan lagi milik PTPN II karena Hak Guna Usahanya telah berakhir dan kini lahan tersebut menjadi milik Negara. Akibat ulah para penggarap tersebut maka pihak PTPN II mengalami kerugian miliaran rupiah. 86

b. Terhadap Badan Pertanahan Nasional

Salah satu isu krusial yang selalu menjadi sorotan khususnya masalah sengketa tanah antara masyarakat petani dengan pihak perkebunan PTPN II. Seiring berjalannya dari pemerintah era Orde Baru ke era Reformasi berakhir pula jangka waktu Hak Guna Usaha Perkebunan PTPN II. Dalam era reformasi permohonan perpanjangan HGU yang telah diproses oleh Panitia 5 Plus dengan melakukan penelitian, inventarisasi dan pertimbangan dan mengusulkan kepada Kepala BPN yang dimana telah ditetapkan bahwa seluas areal 5.359 Ha yang terletak di Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat dan Kota Binjai tidak diperpanjang HGU nya dengan alasan rencana peruntukan di lokasi tersebut untuk non pertanian, penggunaan tanahnya untuk perumahan karyawan PTPN II dan adanya tuntutan dan garapan masyarakat, sehingga dalam penyelesaian 86 Ratusan Petani Penggarap Bentrok Dengan Karyawan PTPN II, http:www.dikonews.com2013031552710-ratusan-petani-penggarap-bentrok-dengan-karyawan- ptpn-ii, diakses hari Sabtu tanggal 16 Maret 2013. Universitas Sumatera Utara 57 tersebut dengan menyerahkan kebijakan pengaturan, penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah tersebut kepada Gubernur Sumatera Utara setelah mendapat ijin pelepasan asset dari Menteri BUMN. Namun tidak adanya titik temu antara pemerintah daerah dengan Menteri Negara BUMN sehingga menyebabkan sengketa tanah tersebut menjadi ruang yang terbuka lebar dengan corak ragam masalah yang lambat laun menjadi rumit. 87 Untuk melaksanakan perpanjangan Hak Guna Usaha PT Perkebunan Nusantara II dan penyelesaian masalah yang ada diatas areal perkebunan tersebut, Gubernur Sumatera Utara telah membentuk Panitia Perpanjangan Hak Guna Usaha PT Perkebunan Nusantara II dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 593.4-065. K Tahun 2000 tanggal 11 Februari 2000 dan Nomor 593.42060K Tahun 2000 tanggal 17 Mei 2000. Panitia tersebut selanjutnya disebut sebagai Panitia B Plus. Secara Yuridis teknis tidak ada dikenal istilah Panitia B Plus, namun penyebutan di dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nomor 12 Tahun 1992 mengatur tentang adanya dua bentuk Panitia Pemeriksaan Tanah tersebut yaitu Panitia A dan Panitia B. Panitia A bertugas untuk memproses permohonan hak atas tanah berupa Hak Milik, Hak Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, sedangkan Panitia B hanya khusus untuk menangani permohan Hak Guna Usaha. Dan kedua Panitia Pemeriksaan Tanah tersebut hanya bertugas tunggal yaitu memproses 87 Pengamat masalah Pertanahan, Corak Ragam Masalah Tanah PTPN II, Koran Analisa pada hari Selasa tanggal 9 April 2013, hal 25. Universitas Sumatera Utara 58 permohonan hak atas tanah, sedangkan apabila masih ada sengketamasalah diatas tanah yang dimohonkan tidak menjadi kewenangan Panitia baik Panitia Pemeriksaan Tanah Panitia A dan Panitia B untuk menyelesaikannya. 88 Latar belakang dibentuknya Panitia B Plus sebagaimana diuraikan dalam Konsideran ‘menimbang’ Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 593.4065. KTahun 2000 tanggal 11 Februari 2000 tentang Pembentukan Panitia B Plus adalah adanya permohonan perpanjangan Hak Guna Usaha PT Perkebunan Nusantara II pada tahun 1997 yang tersebar di Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat dan Kota Binjai yang akan berakhir haknya pada tahun 2000. 89 Dasar pembentukan Panitia B Plus adalah berdasarkan Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 593.4065K 2000 tertanggal 11 Februari 2000 dan Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 593.420602000 tertanggal 17 Mei 2000, bahwa tugas Pantia B Plus yaitu : 90 1. Meneliti kelengkapan berkas permohonan 2. Meneliti areal yang dimohonkan dari aspek penggunaan dan penguasaan 3. Mengiventarisasi, menilai dan menganalisis tuntutanpermohonan rakyat yang diterima 88 Badan Pertanahan Nasional, Op.Cit, hal 5 89 Abd. Rahim., Op.CitI, hal 34. 90 Gubernur Sumatera Utara, Penyelesaian Perpanjanga HGU PTPN II Dan Penyelesaian Masalah TuntutanGarapan Rakyat, Disampaikan dalam rangka Ekspose Gubernur Sumatera Utara di Departemen Dalam Negeri, Makalah, 22 Mei 2002, hal 2. Universitas Sumatera Utara 59 4. Memberikan pendapat dan pertimbangan terhadap HGU Yang dimohonkan dan pertimbangan terhadap HGU yang dimohonkan dan tuntutan rakyat dikabulkan atau ditolak. Pelaksanaan Kerja Panitia B Plus dilakukan dengan beberapa tahapan dan pedoman kerja serta langkah-langkahmetode dalam penyelesaian tanah garapan: 91 A. Tahapan kerja Panitia B Plus Tahap I : Penelitian lapangan menentukan areal bersih dan bermasalah mulai Februari 2000 sampai Agustus 2000 Tahap II : Penelitian dan pembahasan tuntutangarapan rakyat mulai September 2000 sampai Januari 2002 B. Pedoman Kerja I. Pedoman Umum 1. Tuntutan yang sudah ada putusan dari pejabat terdahulu, tetap diperhatikan sampai ada bukti lain yang menyatakan sebaliknya. 2. Penuntut wajib membuktikan dasar tuntutannya dengan dokumen asli dan PTPN II diberi kesempatan membuktikan apakah sudah ada diselesaikan. 3. Apabila tuntutan disetujuidikabulkan, maka pembagian tanah kepada yang berhak harus memperhatikan ketentuan yang berlaku. 91 Ibid, hal 3. Universitas Sumatera Utara 60 4. Areal yang dikuasai PTPN II tanpa sertifikat HGU dan tidak ada klaim masyarakat akan diproses sesuai ketentuan yang berlaku, tetapi apabila ada tuntutan rakyat harus diselesaikan terlebih dahulu 5. Tuntutan yang berdasarkan keputusan Pemerintah dinyatakan dilindungi Undang-Undang maka tanah tersebut dikeluarkan dari areal HGU PTPN II. 6. Tuntutan yang diajukan masyarakat tetapi tidak jelas dasar tuntutannya akan ditolak. 7. Tanah yang terbukti dilindungi Undang-Undang sementara penuntut bukan orang yang ditunjuk dalam Undang-Undang maka tanahnya dikeluarkan dari areal HGU dan peruntukannya diatur oleh Pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku. 8. Garapan yang dilindungi Undang-Undang tetapi areal dikuasai oleh PTPN II dengan kewajiban memberikan ganti rugi, namun tidak dilaksanakan maka tanah tersebut dikeluarkan dari areal HGU PTPN II. II. Pedoman Khusus 1. Hak Ulayat a. Tuntutan hak ulayat terhadap areal PTPN II mulai Sei Ular Deli Serdang sampai Sei Wampu Langkat berasal dari BPRPI, BKMAD, Kesultanan Deli, Forum Peta Umat dan KMHAS serta masyarakat adat setempat harus disikapi untuk memperoleh penyelesaian sesuai ketentuan yang berlaku. Universitas Sumatera Utara 61 b. Berdasarkan UUPA Pasal 3, ditegaskan bahwa hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum ada masih tetap dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. c. Dalam piagam Hak Asasi Manusia yang menjadi lampiran Tap MPR Nomor XVIIMPR1998 tentang Hak Asasi Manusia jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia antara lain dinyatakan bahwa identitas budaya masyarakat tradisional termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi selaras perkembangan zaman. d. PMNAKBPN Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 3 menjelaskan bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat tidak lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut UUPA atau yang sudah dibebaskan oleh Instansi PemerintahBadan HukumPerseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku. e. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas secara yuridis formal tuntutan hak ulayat terhadap areal PTPN II belum dapat diakui dengan alasan: 1. Belum ada Kepututsan dari Pemerintah Daerah mengenai Eksistensi Hak Ulayat di atas areal PTPN II Universitas Sumatera Utara 62 2. Areal tersebut saat ini sudah dipunyai oleh Badan Hukum PTPN II dengan HGU sekalipun sudah berkahir sehingga hak ulayat tidak dapat dilaksanakan dalam areal dimaksud. 2. Tuntutan dengan alas hak SK Gubernur Sumatera Utara Nomor 36KAgr Tahun 1951 Tanah Suguhan a. Penuntut wajib menunjukkan dokumen asli dasar tuntutannya. b. Apabila dasar tuntutan mengandung kebenaran maka tanah dikeluarkan dari areal HGU PTPN II apabila tidak mengandung kebenaran maka tuntutan ditolak. 3. Tuntutan dengan alas hak Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah KRPT atau Kartu Tanda Pendaftaran Tanah Perkebunan KTPPT. a. Penelitian KRPT harus melihat aspek historis dan mewajibkan penuntut menunjukkan dokumen asli dasar tuntutannya beserta peta lampirannya. b. Apabila dasar tuntutan mengandung kebenaran maka tanah dikeluarkan dari areal HGU PTPN II apabila tidak mengandung kebenaran maka tuntutan ditolak. 4. Tuntutan dengan alas hak Surat Izin Menggarap SIM a. Penuntut wajib menunjukkan dokumen asli dasar tuntutannya. b. Apabila dasar tuntutan mengandung kebenaran maka tanah dikeluarkan dari areal HGU PTPN II apabila tidak mengandung kebenaran maka tuntutan ditolak. Universitas Sumatera Utara 63 5. Permohonan perumahan pensiunan karyawan a. Merupakan kebijakan untuk menyikapi tuntutan pensiunan karyawan b. Rumah dihuni oleh penisunan karyawan beserta keluarganya c. Telah terjadi perubahan fisik bangunan atau penambahan bangunan yang dilakukan oleh penghuni atau keluarganya. 6. Tanah garapan a. Tanah tersebut harus diusahakan oleh rakyat secara terus menerus, pihak PTPN II tidak mengganggu garapan tersebut serta tidak menggunakannya lagi secara efisien maka areal dikeluarkan dari HGU b. Jangka waktu penggarapan dapat berpedoman pada PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah c. Garapan baru setelah reformasi ditolak. 7. Tuntutan atas dasar keterangan tanah SKT a. SKT Bupati harus terdaftar pada register pengelurannya b. SKT yang diterbitkan oleh CamatKades diatas areal HGU ditolak. 8. Tata Ruang a. PMNAKBPN Nomor 9 Tahun 1999 Pasal 28 menyatakan permohonan perpanjangan HGU harus sesuai dengan RUTRW. Universitas Sumatera Utara 64 b. Apabila menurut RUTRWK yang ditetapkan dengan Perda KabupatenKota areal tersebut diarah untuk non pertanian maka dikecualikan dari HGU c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 menyatakan bahwa pelaksanaan Tata Ruang tidak mengakibatkan timbulnya kerugian kepada bekas pemegang hak atas tanah. III. Langkah-langkahmetode penyelesaian tanah garapan 1. Meneliti kelengkapan berkas permohonan perpanjangan HGU PT Perkebunan Nusantara II 2. Mendata semua tuntutan garapan rakyat atas areal PTPN II baik yang diterima di kantor Gubernur, Tim tanah, BPN Propinsi, Kantor Gubernur, Tim Tanah, Kantor BupatiWalikota, Kantor Pertanahan KabupatenKota maupun Kantor CamatKepala Desa setempat. 3. Menginventarisasi tuntutangarapan dan permohonan rakyat atas areal PTPN II yang dituangkan dalam bentuk plotting peta hasil pengukuran tahun 1997. 4. Menentukan areal yang bersih dari tuntutangarapan rakyat yang selanjutnya diajukan untuk diperpanjang HGU nya 5. Menetapkan petunjuk Intern sebagai pedoman penyelesaian tuntutangarpan rakyat atas areal PTPN II. Universitas Sumatera Utara 65 6. Melaksanakan wawancara langsung dengan masyarakat penuntut melalui wakilkuasanya untuk meperoleh informasi mengenai dasar tuntutan sebagai bahan bagi Panitia B Plus untuk mengambil keputusan. 7. Meneliti dan membahas tuntutangarapan apakah dapat dipertimbangkan untuk dikabulkan atau ditolak. 8. Melaporkan keseluruhan hasil penelitian dan pembahasan Panitia B Plus kepada Gubernur Sumatera Utara. 9. Menyiapkan Risalah hasil penelitian dan pembahasan tersebut mengenai status areal yang dikabulkan atau ditolak. 10. Menyerahkan hasilnya kepada Gubernur Sumatera Utara untuk selanjutnya dikonsultasikan dan dikoordinasikan ke BPN Pusat dan Departemen serta Kementeriaan terkait. 11. Gubernur Sumatera Utara merekomendasikan ke BPN. Tugas Panitia B Plus antara lain: 1. Mengadakan penelitian terhadap kelengkapan permohonan perpanjangan Hak Guna Usaha PT Perkebunan Nusantara II 2. Mengadakan penelitian terhadap areal tanah yang dimohonkan termasuk penggunaan dan penguasaan tanahnya 3. Menginventarisasi seluruh tuntutan rakyat, garapan rakyat maupun permohonan atas areal PT Perkebunan Nusantara II untuk selanjutnya dilakukan penilaian atau analisis terhadap kebenaran tuntutan tersebut Universitas Sumatera Utara 66 4. Memberikan pendapat dan pertimbangan atas Hak Guna Usaha yang dimohonkan PT Perkebunan Nusantara II serta pertimbangan penyelesaian terhadap tuntutan rakyat atas areal PT Perkebunan Nusantara II yang dituangkan dalam risalah pemeriksaan tanah dan atau berita acara lainya, selanjutnya dilaporkan kepada Gubernur Sumatera Utara untuk memperoleh keputusan. Terhadap penyelesaian areal Eks HGU PTPN II oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berusaha melakukan penanganan dengan membentuk kelompok kerja dalam rangka penyelesaian tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia. Hingga saat ini upaya dalam penyelesaian tanah garapan tersebut telah dilaksanakan dengan membuat tanda-tanda batas di lapangan seperti pemasangan pilar-pilar pada lokasi yang tidak diperpanjang HGU PTPN II dengan kerja sama antara oleh Pemerintah Daerah dan Badan Pertanahan Nasional bersama dengan PTPN II. Namun penyelesaian tanah garapan ini rumit diselesaikan karena sulitnya menentukan nama-nama tuntutan rakyat, garapan rakyat, rumah pensiunan karyawan dan RUTRW sesuai dalam matriks Panitia B Plus berdasarkan fakta-fakta di lapangan serta belum adanya ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang, dan jika ijin tersebut telah Universitas Sumatera Utara 67 terlaksana maka Gubernur dapat mendistribusikan kepada tuntutan-tuntutan yang sesuai dalam matriks Panitia B Plus. 92 Berdasarkan hasil pemeriksaan Panitia B Plus yang telah meneliti dan memeriksa areal perkebunan tersebut, maka dari luas yang dimohonkan khusus pada Kebun Helvetia 1.332,2900 Ha, yang telah diterbitkan Hak Guna Usaha pada Kebun Helvetia seluas 1.128,3500 Ha, sedangkan areal diperpanjangdikeluarkan dari areal yang dimohonkan HGU nya seluas 193,9400 Ha dengan perincian sebagai berikut: No Jenis Tuntutan Luas Ha 1. Tuntutan Rakyat 0,32 Ha 2. Garapan Rakyat 0,97 Ha 3. Perumahan Pensiunan Karyawan 27,78 Ha 4. RUTRW Kabupaten 164,87 Ha Sumber : Risalah Panitia B Pemeriksaan Panitia B Plus Nomor 01PPTBP2002 Dalam penjelasan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 593.4K065K Tahun 2000 Tanggal 11 Februari 2000 jo Nomor 593.2260K Tahun 2000 Tanggal 17 Mei 2000 bahwa tuntutangarapan yang ada pada areal PTPN II yang ditangguhkan sementara perpanjangan HGU nya, Badan Pertanahan Nasional akan merekap baik mengenai nama kelompok 92 Wawancara dengan Hasinuddin, SH, MHum selaku bagian Pengaturan Tanah Pemerintah Kanwil Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara, tertanggal 05 Februari di Kanwil Badan Pertanahan Nasional, Medan. Universitas Sumatera Utara 68 penuntutpenggarap, luas tanah yang dituntutdigarap,plotting tuntutangarapan, letak tanah yang dituntutdigarap dan dasar tuntutangarapan yang ada. Adapun jenis tuntutan yang diteliti oleh Panitia B Plus yaitu meliputi tuntutan masyarakat adat , tuntutan rakyat dengan dasar bukti-bukti atau alas hak yang telah diberikan pejabat penyelesaian tanah garapan sebelumnya maupun karena masyarakat yang telah mendudukimenggarap tanah tersebut pada areal perkebunan. Kemudian Pantia B Plus juga menampung permohonan rakyat atas tanah perumahan bekas karyawanpensiunan PT Perkebunan Nusantara II yang masih ditempati, lahan untuk kuburanwakaf, lahan untuk tempat ibadah, sekolahsarana pendidikan maupun permohonan Pemerintah Daerah Kabupaten KotaWilayah sesuai dengan Rencana Tata Ruang maupun untuk perkantoranperumahan instansi. 93 Jenis tuntutanpermohonan yang diteliti oleh Panitia B Plus yaitu: 94 1. Tuntutan masyarakat adat dengan tanah ulayat berasal dari : a. Badan Perjuangan Rakayat Penunggu Indonesia BPRPI di Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Kota Binjai b. Badan Kesejahteraan Masyarakat Adat Deli BKMAD di Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai c. Forum Komunikasi Masyarakat Melayu Sumatera Timur atau Forum Perjuangan Tanah Adat Untuk Masyarakat Tani Melayu Forum Peta 93 Gubernur Sumatera Utara,Op.Cit, hal 8. 94 Ibid Universitas Sumatera Utara 69 Umat menuntut di Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Binjai bahkan seluruh Sumatera Timur. d. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Serdang KMHAS Kabupaten Deli Serdang 2. Tuntutan masyarakat dengan dasar surat-surat yang pernah diterbitkan oleh Pejabat yang menyelesaikan tanah garapan sebelumnya terdiri dari : a. Surat Keputusan Gubernur Nomor 36KAgr1951 mengenai Pembagian Tanah Sawah dan Ladang di seluruh areal PTPN II ex. PTP IX b. Kartu Tanda Pendaftaran pemilikan Tanah Perkebunan KTPPT yang dikeluarkan oleh Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah Sumatera Timur KRPT maupun Camat tahun 1954 sampat dengan 1956 c. Surat Ijin Menggarap yang dikeluarkan oleh Bupati sebagai Ketua Panitian Landreform Kabupaten maupun Camat d. Surat Keputusan dari Badan Penyelesaian Perkebunan Sumatera Timur BPPST e. Surat Keputusan Mendagri Nomor 44DJA1981 mengenai redistribusi tanah seluas 9.085 Ha f. Surat Keputusan Gubernur mengenai Hasil Penelitian Tim Penyelesaian Tanah Garapan PTP IX TPTGA yang telah ditindak lanjuti dengan SK Mendagri Nomor 85DJA1984 g. Surat Keterangan Tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Desa dan diketahui oleh Camat Universitas Sumatera Utara 70 h. Bukti Pembayaran Ipeda yang dikeluarkan oleh Jawatan dan diketahui oleh Jawatan Pemungut Pajak i. Surat Pembangunan Tanah Obyek Landreform yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Agraria TK II Deli Serdang dan Langkat j. Pengakuankesaksian dan uraian kronologis tuntutan yang diperbuat oleh masyarakatpenuntut 3. Permohonan Areal yang dimohonkan untuk kepentingan fasilitas umum, fasilitas sosial dan kepentingan perkantoranperumahan instansi pemerintah maupun kepentingan masyarakat lainnya termasuk pensiunan karyawan diuraikan sebagai berikut: a. Permohonan berasal dari Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Deli Serdang seluas 2.998,37 Ha b. Permohonan yang berasal dari Pemeritnah dan masyarakat Kabupaten Langkat seluas 308,93 Ha c. Permohonan yang berasal dari Pemerintah dan masyarakat Kota Binjai seluas 343,52 Ha d. Permohonan bekas karyawan atas tapak perumahan yang masih dihuni di beberapa areal perkebunan yang terletak di Kabupaten Langkat, Deli Serdang dan Kota Binjai. Langkah-langkah yang telah ditempuh oleh Panitia B Plus menindaklanjuti tuntutangarapanpermohonan rakyat atas areal PTPN II : Universitas Sumatera Utara 71 1. Menetapkan petunjuk intern pedoman penyelesaian tuntutangarapan rakyat atas areal PTPN II oleh Panitia B Plus 2. Menginventarisasi dan meneliti berkas tuntutanpermohonan masyarakat yang telah diterima oleh Panitia B Plus 3. Membentuk 5 lima Sub Tim Kecil Panitia B Plus yang bertugas memeriksa, meneliti serta mewancarai masyarakat penuntut maupun yang mengajukan permohonan, untuk selanjutnya dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh penuntut maupun kuasanya dan petugas pemeriksa. Hingga sampai saat penelitian yang dilakukan Panitia B Plus tersebut dari kelima Sub Tim Kecil telah memeriksa dan meneliti tuntutan masyarakat pada 37 areal perkebunan yang dituntut 4. Menganalisis dan menilai hasil pemeriksaan Sub Tim Kecil tersebut yang telah dituangkan dalam berita acara pemeriksaan untuk selanjutnya menjadi bahan rapat Panitia B Plus guna menentukan apakah tuntutanpermohonan tersebut dikabulkan atau ditolak.

D. Terhadap Rakyat PenuntutPenggarap

Bentuk penyelesaian bagi rakyat penunggu pemangku masyarakat adat yang juga merupakan salah satu dari tuntutan yang ada di areal PTPN II Kebun Helvetia, selama ini menurut Buyung menyatakan telah berbagai macam upaya penyelesaian yang telah dilakukan, seperti salah satunya menyurati kepada pejabat-pejabat yang berwenang bahkan ke Presiden, akan tetapi surat yang telah Universitas Sumatera Utara 72 dilakukan rakyat penunggu tersebut tidak ditanggapi. Maka bagi rakyat penunggu hanya bertahan pada wilayah nya serta mengikuti apa saja yang diatur oleh Pemerintah, namun bagi rakyat penunggu tetap pada acuannya atau syarat jika benar-benar rakyat penunggu diakui atas perjuangan tanah ulayat mereka, rakyat menuntut agar diberikan fasilitas gratis seperti sekolah gratis, kesehatan gratis serta tanah yang diusahakan Perkebun harus untung, namun tindakan tersebut tidak ditanggapi Pemerintah maupun pihak Perkebunan. Seakan-akan menurut mereka bahwa Pemerintah tidak peduli nasib rakyat terutama bagi rakyat penunggu hingga akhirnya rakyat tersebut secara paksa menduduki areal perkebunan. Seperti pada tahun 1996 rakyat memasuki areal eks perkebunan, namun dilarang, di gusur bahkan dibakar lalu pihak perkebunan menanam tanaman semusim, namun pada tahun 1998 rakyat berusaha masuk kembali ke areal garapannya hingga berusaha mendirikan rumah-rumah baik permanen maupun semi permanen hingga berakibat terjadi bentrok serta kekerasan, dan hingga pada tahun 1999 terjadi perdamaian dimana sebagian dari areal buyung miliki ditanam tembakau tebu namun tergantung oleh putusan Pemerintah, jika keputusan Pemerintah menyatakan bahwa tanah yang dimiliki buyung tersebut tidak diakui oleh Pemerintah maka Buyung dapat meninggalkan areal perkebunan tersebut dan tanah tersebut menjadi milik perusahaan perkebunan. Luas tanah yang digarap oleh buyung sendiri seluas 30 Ha. Universitas Sumatera Utara 73 Bentuk penyelesaian lainnya adalah melakukan mediasi yang dibuat oleh bapak Horasman yang pada saat itu masih menjabat sebagai Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara sekitar tahun 2007 kepada rakyat petani. Alas hak yang di peroleh dan diakui bagi rakyat penunggu selama peneliti wawancarai pak Buyung ditempat kediamannya di Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia adalah tanah adat atas akta konsesi serta saksi hidup dari orangtua mereka terdahulu. Pada kebun Helvetia, penyelesaian tanah garapan yang hingga saat ini belum ada nya tindak lanjut hingga ke Pengadilan, sebab menurut pendapat Buyung jika mereka membuat laporan ke Polda maupun Polres tidak diterima dengan alasan bahwa tanah eks HGU pada areal PTPN II Kebun Helvetia adalah tanah Negara. 95

2. Penyelesaian melalui lembaga pengadilan

Dokumen yang terkait

Hambatan-Hambatan Hukum Dalam Penyelesaian Tanah Garapan Pada Areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia : Atas Adanya SK KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002

2 74 151

Pandangan Kritis Tentang Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat Dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional (Studi Di Kabupaten Simalungun)

5 140 370

Komposisi Komunitas MakroFauna Tanah Untuk Memantau Kualitas Tanah Secara Biologis Pada Areal Perkebunan PTPN II Sampali Kecamatan Percut Sei Tuan

4 29 59

Alas Hak Atas Tanah Yang Dikuasai Rakyat Pada Areal Perkebunan PTPN II Di Kabupaten Deli Serdang

1 61 5

Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah Pada Kantor Pertanahan Di Kota Medan

0 37 2

Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Lelang Atas Jaminan Atas Jaminan Hutang Kebendaan Yang Diikat

0 29 2

Hambatan-Hambatan Hukum Dalam Penyelesaian Tanah Garapan Pada Areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia : Atas Adanya SK KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002

1 1 7

BAB II PERKEMBANGAN PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA A. Masa Pemerintahan Belanda - Hambatan-Hambatan Hukum Dalam Penyelesaian Tanah Garapan Pada Areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia : Atas Adanya SK KBPN Nomor 42/HGU/B

0 1 15

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang. - Hambatan-Hambatan Hukum Dalam Penyelesaian Tanah Garapan Pada Areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia : Atas Adanya SK KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002

1 1 25

HAMBATAN-HAMBATAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA : ATAS ADANYA SK KBPN NOMOR 42HGUBPN2002

0 1 12