7.4 Sistematika Penulisan BAB I :
Pendahuluan
Bab I terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, batasan masalah, manfaat penelitian, tujuan penelitian,
landasan pemikiran dan juga penjelasan tentang metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian. BAB II
: Rezim Orde Baru
Pada Bab ini menjelaskan berbagai hal Latar Belakang Pemerintahan Soeharto terutama Srtategi Pemerintahan
rezim Soeharto Orde Baru dan Kebijakan-kebijakan yang dibuat Soeharto dalam Pemerintahannnya yang
sangat berambisi untuk berkuasa selama - lamanya.
BAB III : Pembahasan atau Analisis
Pada Bab ini akan berisi tentang uraian yang terdiri dari Kekuasaan pada masa Pemerintahannya, dilihat dari Sifat
dan Alat yang digunakan dalam mendapatkan dan mempertahankan Kekuasaan, kondisi Militer pada masa
Pemerintahannnya, dan Keterlibatan peran Militer pada masa Pemerintahan Soeharto.
BABIV : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi mengenai kesimpulan yang didapatkan dari penelitian. Dan juga berisi tentang beberapa saran yang
mempunyai hubungan dengan penelitian.
Universitas Sumatera Utara
BAB II REZIM ORDE BARU
1. Latar Belakang lahirnya Pemerintahan Soeharto
Ada beberapa faktor yang menjadi latar belakang lahirnya pemerintahan Soeharto. Pemerintahan Soeharto lahir tidak terlepas dari adanya pemerintahan
Soekarno dan Gerakan 30 september atau G30 SPKI. Sesudah kemerdekaan terutama pada masa demokrasi parlementer
kekuasaan politik di Indonesia cendrung bersifat menyebar, tidak terkonsentrasi pada salah satu pusat kekuasaan politik
42
. Pada masa ini secara umum kekuasaan politik terbagi antara lembaga-lembaga birokrasi, partai-partai politik dan
militer
43
. Pada tahun 1950an tidak ada satupun partai politik yang mewakili militer, pada dasarnya periode demokrasi parlementer dikarakterisrikkan oleh
persaingan berbagai partai politik unutk memperoleh kekuasaan dan kepentingan mereka yang beragam menjadi koalisi mereka selalu hanya berumur pendek
44
. Presiden soekarna didukung oleh tentara memainkan peranan penting
45
. Pada masa demokrasi parlementer hubungan anatara partai politik dengan
birokrasi terutama harus dilihat bagaimana partai senantiasa berusaha mempengaruhi dan menguasai birokrasi
46
. Dengan kekuasaannya, partai sering beruasaha menempatkan orang-orangnya pada posisi penting. Era demokrasi
terpimpin ditandai dengan surutnya pengaruh partai-partai setelah Dekrit Presiden 5 juli 1959 dan uniknya militer Angkatan Darat dalam panggung politik
42
Priyo Budi Santoso, Birokrasi Pemerintahan OrdeBaru,Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada,1995,hal.81
43
Ibid.
44
Ibid
45
Leo Surya Dinata, Golkar dan Militer,Jakarta:LP3ES,1992,hal.7
46
Priyo Budi Santoso,Op Cit.,hal.87
Universitas Sumatera Utara
Indonesia
47
. Salah satu karateristik yang menonjol pada sistim politik indonesia masa itu adalah adanya aliansi antara Soekarno dan Angkatan Darat
48
. Selama peninggalan terakhir masa demokrasi terpimpin, politik Indonesia
hubungan kekuasaan yang saling bersaing adalah diantara tiga kekuatan politik yaitu: Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI Partai Komunis Indonesia , dimana
Soekarno bertindak sebagai penyeimbang antara dua kekuatan politik
49
. Demokrasi terpimpin sendiri diadakan dengan tujuan untuk menjamin stabilitas
dan kontuinitas dibidang politik, agar rencana pembangunan semesta dapat dilaksanakan.
50
Namun yang terjadi adalah : Pertama, pada permukaan memang seolah-olah ada stabilitas, tetapi dibawah permukaan terjadi pertentangan-
pertentangan dan ketegangan bertumpuk seperti kemudian menjadi nyata sesudah G 30 S PKI Gerakan tiga puluh September PKI 1965 . Kedua, Stabilitas dibeli
dengan memusatkan kekuasaan ditangan seorang pemimpin besar dan dengan menekan kebebasan untuk mengkritik. Hasilnya ialah korupsi dan demoralisasi
dikalangan pemimpin negara. Ketiga, pembangunan terbukti tidak mengalami kemajuan. Keempat, Ditengah-tengah perkembangan tadi, terbukti PKI berhasil
memperkuat posisinya, sehingga lambat laun seolah-olah hanya ada tiga faktor kekuasaan pokok Soekarno, Angkatan Perang, dan PKI .
Selama periode demokrasi terpimpin trlihat dengan jelas betapa besar pengaruh dan peran Soekarno, walau dalam pelakasanaan pemerintahannya tidak
47
Ibid.hal 84
48
Hubungan kekuasaaan anatara kedua kekuatan itulah yang menentukan corak sistim politik pada masa itu. Ibid.
49
Soekarno dibutuhkan oleh PKI sebagai pelingdung melawan Angkatan Darat,sedangkan bagi AD Soekarno berfungsi sebagai pemberi legitimasi bagi keterlibatannya dalam politik dipihak lain
Soekarno membutuhkan AD untuk menghambat PKI, tetapi juga membutuhkan PKI untuk memberikan organisasi yang efekrif dalam rangka menggerakkan dukungan rakyat dan
mendapatkan massa yang besar untuk mendengarkan pidatonya,ibid,.hal.85.
50
Dr TB Simatupang Dari Revolusi ke Pembangunan, Jakarta : BPK Gunung Mulia,1987,hal.134
Universitas Sumatera Utara
bekerja sendiri.
51
Tujuan presiden menciptakan stabilitas pemerintahan tidak dapat terwujud sebagaimana yang diterapkannya, walaupun persoalan keamanan
dapat diselesaikan, dalam arti “diarkhirinya” berbagai bentuk perlawanan bersenjata, seperti PRRI, Permesta dan DITII. Banyak ananli yang mengatakan
lahirnya instabilitas tersebut adalah tidak seimbangnnya pembangunan ekonomi dan pembangunan politik. Termasuk penyebabnya adalah tidak harmonisnya
hubungan antara tentara pusat dan tentara yang ada di daerah.
52
Tiga kekuatan politik yang dominan pada masa itu, memandang masalah ekonomi sebagai hal yang kurang penting dibandingkan dengan masalah-masalah
politik yang mendesak.
53
Selain itu juga menjaga perimbangan kekuatan, Presiden Soekarno selalu menunda keputusan-keputusan ekonomi politik yang dapat
merugikan unsur-unsur yang ada dalam pemerintahan.
54
Pengabaian masalah ekonomi ini membuat perekonomian Indonesia ambruk. Persaingan kekuasaan
yang terjadi antara tiga kekuatan politik tersebut akhirnya meletus dalam usaha kudeta oleh PKI pada tanggal 30 September 1965 yang berakhir dengan
kegagalan. Kegagalan dari kondisi perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan
Soekarno adalah merupakan dalah satu faktor yang melarbelakangi lahirnya pemerintahan Soeharto. Tujuan dari adanya pemerintahan Soeharto sendiri adalah
menciptakan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi.
55
51
Demokrasi Terpimpin didominasi oleh kepribadian Soekarno, walaupun prakarsa pelaksanaannya diambil bersama-sama dengan pimpinan Angkatan bersenjata. Pada waktu itu
beberapa pengamat menganggap Soekarno sebagai dictator. Lihat jurnal pencerahan politik unutk Demokrasi.
52
Lihat Jurnal Ilmu Politik vol 16, Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama,hal 73.
53
Priyo Budi Santoso,Op.Cit.,hal87
54
ibid.hal 87
55
ibid.,hal.89
Universitas Sumatera Utara
Partai komonis Indonesia PKI yang merupakan salah satu kekuatan politik pada waktu itu, tidak pernah berhenti unutk mewujudkan cita-citanya
dalam rangka mendirikan Negara komunis melalui berbagai cara dalam merebut kekuasaan pemerintahan.
56
Setelah gagal dalam pemberontakan di Madiun 1948, PKI di bawah pimpinan D.N.Aidit berhasil mengangkat dirinya kembali
kegelanggang politik Indonesia. Pada tanggal 1 Oktober 1956 mulailah gerakan mereka dengan melakukan penculikan terhadap enam perwira tinggi dan seorang
perwira pertama TNI AD.
57
Adanya peristiwa G 30 S ini, secara tidak langsung telah menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik dalam waktu yang cepat
sedangkan kondisi pemerintahan dalam keadaan darurat. Hal ini juga berimplikasi terhadap kondisi stabilitas dan keamanan Negara.
Adanya krisis politik yang tidak menentu adalah akibat Soekarno yang enggang untuk menyelesaikan kasus G 30 S, krisis ekonomi semakin parah,
masyarakat menjadi gelisah dan tidak puas pada akhirnya terjadilah demonstrasi mahasiswa yang mengajukan tiga tuntutan rakyat yang dikenal dengan tritura.
58
Untuk mengatasi krisis nasional yang semakin parah tersebut maka pada tanggal 11 maret 1966 Supersemar, Presiden Soekarno memerintahkan kepada Menteri
Pangad LetJend Soeharto untuk atas nama Presiden Panglima Tertinggi Pemimpin Besar Revolusi mengambil segala tindakan yang dianggap perlu demi
terjaminnya keamanan, ketegangan serta stabilitas jalannya pemerinthan dan
56
Arief Yulianto,Op.Cit.,hal.232
57
Enam perwira tinggi AD antara lain: Letjend Ahmad YaniMenPangad, Mayjend R.SoepraptoDeputi IIPangad, Mayjend MT. HaryonoDeputiII Pangad, Mayjend S.Parman AS
I Pangad, Mayjend DI PanjaitanASIV Pangad, Brigjend Soetoyo S Inspektur KehakimanOditor AD, sedangkan satu perwira pertama adalah Lettu Piere Tandean.
Ibid.,hal.242.
58
Tiga Tuntutan Rakyat tanggal 10 Januari 1966, yaitu Bubarkan PKI, Turunkan Harga, Retool cabinet Dwikora. Ibid.,hal 244
Universitas Sumatera Utara
revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan wibawa kepemimpinan Presiden. Adanya Supersemar ini merupakan tonggak lahirnya pemerintahan Soeharto.
59
2. Konfigurasi Politik Orde Baru.
Di Indonesia konfigurasi politik berkembang melalui tolak tarik antara demokratis dan otoritarian. Sepanjang sejarah Indonesia ternyata telah terjadi
tolak-tarik antara konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Demokrasi dan otoritarian muncul secara bergantian dan dengan kecendrungan
liner di setiap periode pada konfigurasi otoriter.
60
Sejalan dengan tolak-tarik konfigurasi politik itu, perkembangan karakter produk hukum memperlihatkan
kepengaruhannya dengan terjadinya tolak tarik antara produk hukum yang berkarekter responsive dan produk hukum yang berkarater konservatif dengan
kecendrungan linear sama. Semua kontitusi yang pernah berlaku di Indonesia menjadikan “
demokrasi” sebagai salah satu asasnya yang menonjol ; tetapi tidak semua konstitusi mampu melahirkan konfigurasi politik yang demokratis. Artinya sebuah
kontitusi yang jelas-jelas menganut paham demokratis dapat melahirkan konfigurasi politik yang tidak demokratis atau otoriter. Bahkan, di bawah sebuah
kontitusi yang sama dapat lahir konfigurasi politik yang berbeda-beda pada periode yang berbeda-beda pula. UUD 1945 yang berlaku pada periode 1945-
1949 melahirkan konfigurasi yang jauh berbeda dengan kofigurasi politik : pada
59
Ibid.,hal245
60
Moh.Mahmud MD.,Tampilnya Negara kuat Orde Baru, Studi Teoritis dan Konstitusional tentang Perkembangan Peranan Negara di Indonesia,” tesis S2 ilmu politik, Fak. PascaSarjana
UGM,1989, hal.169.
Universitas Sumatera Utara
saat UUD tersebut berlaku pada periode 1959-1966, untuk selanjutnya melahirkan konfigurasi politik yang berbeda lagi pada periode setelah 1966.
61
3.
Sistem politik Orde Baru
Keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 merupakan titik awal lahirnya Orde Baru.
62
Pelantikan jendral Soeharto menjadi Presiden dalam sedang MPRS bulan maret 1968 menandai surutnya dua kekuatan politik utama dalam demokrsi
terpimpin dari panggung politik nasional, yaitu Soekarno dan PKI, dengan meninggalkan ABRI seorang diri. Dalam keadaan demikian, ABRI memiliki
surplus of power untuk berbuat apa-apa saja.
63
ABRI kemudian ‘mengajak’ kaum teknokrat menata perekonomian nasional. Dalam bidang politik, pemerintah Orde
Baru diharuskan menciptakan sebuah format politik baru yang berlainan dengan format politik masa sbelumnya.
Rezim Orde Baru telah berkuasa selama 32 tahun 1966-1998. Satu dari apa yang bisa disebut hipnotis Orde Baru ialah bahwa Negara itu “maha kuasa”.
64
Setiap kebijaksanaan harus berjalan, meskipun bertentangan dengan rasa keadilan, tidak demokratis dan melanggar hak azasi manusia. Lihat misalnya pemberlakuan
daerah operasi militer DOM di Aceh 1980-1990, pembebasan tanah di Kedungombo, Tragedy Tanjung Periok 1948, penanganan Gerakan Pengacau
Keamanan GPK Warsidi di Lampung, pertentangan Kantor DPP-PDI di Jakarta 21 Juli 1996, kasus Timor-Timur 1975-1998, pelaksanaan pemilu tahun 1971-
61
Moh.Mahmud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia.Yogyakarta GAMA MEDIA1999.hal 11.
62
Marwati Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI,Jakarta; Depdikbud dan Balai Pustaka,1984. hal 406.
63
Alfian , Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta ; Gramedia 1980.,hal 4-5.
64
Mochtar Pabotinggo, Suara Waktu. Jakarta :Erlangga, 1999,hal 50-51.
Universitas Sumatera Utara
1997 yang direkayasa, dan fakta otoriter lainnya merupakan contoh konkret kebijaksanaan Orde Baru yang membuktikan tesis otoriter Soeharto.
65
Format politik Orde Baru telah diterapkan sejak tahun 1969-1975 di atas landasan paradigma stabilitas politik. Disini terjadi monopoli politik yang
berimplikasi pada monopoli ekonomi serta praktek Negara kekuasaan, yang tidak berdasar pada landasan konstitusional UUD 45, dan akhirnya melanggar hak azasi
manusia. Menurut Ali Sadikin, manifestasi rezim Orde Baru yang berdasarkan kekuasaan itu, bahwa lembaga legislative, yudikatif, dan ABRI hanya dijadikan
sebagai “alat kekuasaan” untuk menopang kekuasaan rezim Orde Baru.
66
Politik Orde Baru ini tidak terpisahkan dari tiga ciri utama yang saling berkaitan yaitu :
67
1. Berlakunya anomasi politik ketika stabilitas kekuasaan tidak
diiringi oleh stabilitas pemerintahan, padahal stabilitas politik memerlukan dua stabilitas pemerintahan dan kekuasaan
sekaligus. 2.
Dijalankannya perwakilan proporsional simbolis dalam lembaga legislative. Misalnya dari pemilihan umum 1977 – 1992, ada
tiga partai Golkar, PPP, PDI yang orang-orangnya didudukkan secara proporsional pada lembaga itu setiap tahun.
3. Di lembagakannya mekanisme politik atas dasar ketidak
percayaan pada rakyat dan menafikan kedaulatan rakyat oleh
65
Muhhammad Hisyam, Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta ; Yayasan Obor Indonesia,2003. hal 184
66
Ibid, ini merupakan wawancara bapak Ali Sadikin, Mantan Gubernur Jakarta, 10 Mei 2000.
67
Ibid.,hal 185.
Universitas Sumatera Utara
rezim. Keadaan seperti itu, terlihat dalam kelima UU politik yang dihasilkan oleh dan berlaku pada masa Orde Baru.
Sistem politik Orde Baru berpijak atas dasar penggunaan kekuasaan, dengan cara mengkooptasi lembaga lain seperti, legislative, yudikatif, partai
politik dan ABRI sebagai alat kekuasaan. Di sisi lain, pemerintah pusat telah melancarkan kebijakan yang bersifat “ sentralistik” atas daerah tingkat satu dan
daerah tingkat dua, karena hamper semua hasil daya alam dan kewenangan berbagai bidang seperti : Birokrasi, Anggaran, Politik dan Keamanan dijalankan
oleh pusat. Dengan cara tersebut kebijakan orde baru telah mengokohkan bentuk pemerintahan yang berorientasi atas konsep “ kekuasaan” yang bersifat otoriter
dan sentralistik
68
. Pada masa Orde Baru, Soeharto menghadapi dua ancaman yang bersifat
laten yaitu “ ekstrem kanan” dan “ekstrem kiri”. Ekstrem kanan dipersepsikan sebagai kelompok islam fanatik yang mengingkan dasar Negara dari Pancasila
menjadi Islam dan ekstrem kiri” digambarkan sebagai kaum komunis yang juga mengancam Pancasila. Untuk mengantisipasi bahaya itu, pemerintah melancarkan
persiapan yang komprehensif untuk konsilidasi sistem politik Orde Baru yang bertujuan untuk mendapatkan stabilitas politik dan ekonomi dalam panjang.
69
Untuk itu pemeerintah telah dan mengesahkan Undang-undang politik pada tahun 1984. Undang-undang pertahanan itu memposisikan ABRI sebagai pemain utama
dalam bidang pertahanan keamanan dan sosial politik tanpa batas waktu. Pada tanggal 23 Juni 1984 Preseiden Soeharto menunjuk Soepardjo Rustam, selaku
Menteri Dalam Negeri, untuk membacakan lima RUU, yaitu RUU Amandemen
68
Ibid .,hal 187.
69
Ibid.,hal 205.
Universitas Sumatera Utara
untuk UU pemilu, RUUDPRMPR, RUU amandemen UU Parpol dan Golkar, RUU Referendum dan RUU Organisasi Massa. Dalam pidatonya Seoprdjo
menegaskan bahwa diajukannya kelima RUU adalah untuk melaksanakan “ Demokrasi Pancasila”. Dia merujuk pada tahun 1978 dan 1983 MPR telah
menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh kekuatan sosial politik. Keputusan itu harus dilaksanakan untuk pembangunan politik yang lebih
stabil di Indonesia. Lima RUU ini secara substansial pokok-pokok pikiran antara lain bahwa UU itu bertujuan untuk :
70
1. Pemantapan dan pengalaman Pancasila dalam kehidupan politik dan
kemasyaraktan kita. 2.
Pembangunan dan pendidikan politik adalah penting bagi warga Negara, sehinggamereka mengetahui akan kewajiban dan haknya.
3. Pelaksanaan pemilihan umum sebagai sarana Demokrasi Pancasila setiap
lima tahun sekali dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia yang diselenggarakan oleh Presiden selaku pemegang mandat dan MPR.
4. Pancasila satu-satunya asas dalam dasar organisasi politik dan organisasi
masyarakat. 5.
Referendum sebagai jalan keluar bagi revisi UUD 45. Menurut Liddle, pakar politik Indonesia dari Amerika Serikat, mengatakan
bahwa secara politik, disahkannya lima RUU dibidang politik pada tahun 1985, “memposisikan pemerintahan Soeharto berada di puncak kekuasaan”.
71
Ada dua indikasi kearah itu. Pertama : Pemerintah praktis menguasai kontrol yang
sempurna atas politik Indonesia baik dari mekanisme pemilu keanggotaan
70
Ibid.,hal 206.
71
William Liddle, Partisipasi dan Partai Politik: Indonesia pada Masa Awal Orde Baru. Jakarta : Grafiti Press, 1992.hal.133.
Universitas Sumatera Utara
DPRMPR dan Organisasi Politik dan Organisasi Massa yang akan terus bergantung pada pemerintah. Kedua : Posisi Soeharto sebagai Presiden semakin
kuat kedudukannya dan sebaliknya melumpuhkan kekuatan oposisi terhadap pemerintah Orde Baru.
Konfigurasi Politik Orde Baru dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu periode 1965-1970 dan periode 1971-1997. periode 1965-1970 merupakan
periode transisi dalam sistem politik Indonesia, dari masa orde lama ke orde baaru. Periode ini dibahas tersendiri mengingat peristiwa pada periode ini
mempunyai pengaruh yang cukup berarti dalam sistem politik Indonesia. Sedangakan periode 1971-1997 merupakan puncak membangun basis kekuatan
pendukung Orde Baru, sebagaimana layaknya sebuah institusi baru dalam sistem politik.
3.1 Periode Trasisi 1965-1970
3.1.1
Manuver Politik PKI
Partai komunis Indonesia PKI merupakan salah satu partai yang sangat berperngaruh pada paruh pertama tahun 1960-an. Manuver-manuver politiknya
sangat menakjubkan bahkan sejak awal kemedekaan Indonesia. Maneuver politik pamungkas yang dilakukan PKI pada awal 1965 adalah melontarkan gagasan
untuk membentuk Angkatan ke-5 disamping adanya Angkatan Darat, Laut, Udara dan POLRI.
72
Gagasan ini di tentang keras pleh pihak ABRI. ABRI memandang gagasan ini sebagai upaya untuk mengganggu eksitensi ABRI. Sementara PKI
72
Soebijiono.,Op.Cit.,hal.31
Universitas Sumatera Utara
menganggap gagasannya sebagai upaya untuk memperkuat barisan kekuatan rakyat dan mudah di mobolisasi bila Negara dalam keadaan darurat. Maneuver
politik PKI lainnya adalah menuntut diadakannya Nasakomisasi di lingkungan ABRI dengan menempatkan komisasris-komisaris politik seperti terdapat dalam
tentara-tentara Negara komunis. Sayang, gagasan ini pun ditolak pihak ABRI. Sebenarnya, konflik antara PKI dan ABRI sudah lama berlangsung,
terutama ketika pada tanggal 20 Oktober 1964 saat itu diperingati sebagai hari jadi Organisasi kekuatan sosial politik Golongan Karya ABRI membantu
Organisasi “golongan fungsional” karya membentuk “sekretariat bersama Golongan Karya” yang disingkat “sekber Golkar”
73
. Sebab sekber Golkar ini pada dasarnya dibentuk untuk menandingi Front Nasional yang didominsi oleh PKI.
Selain mendukung organisasi kekuatan politik diluar ABRI, usaha lain yang dilakukan ABRI untuk mengimbangi kekuatan PKI adalah meningkatkan
organisasi territorial sesuai doktrin perang wilayah. Pada tingkat kecamatan dibentuk Bintara Pembina Desa. Dalam bidang media komunikasi massa,ABRI
menerbitkan surat kabar Angkatan Bersenjata dan berita Yudha untuk mengimbangi propaganda PKI melalui surat kabar Harian Rakyat, Bintang Timur
dan Warta Bakhti.
74
Penolakan Angkata ke-5 Nasokomisasi tidak menyurutkan manuver politik PKI. Ditengah-tengah konflik, muncul isu tentang dokumen Gilchrist dan
isu adanya Dewan Jendral di lingkungan ABRI yang akan mengadakan perebutan kekuasaan. ABRI menganggap bahwa isu tersebut adalah fitnah yang ditiupkan
73
Ibid.,hal 28-30.
74
Benny K Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Jakarta : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM,1997, hal. 138-139.
Universitas Sumatera Utara
oleh PKI dan ormas-ormasnya, yang menyebabkan timbulnya kecurigaan PresidenPanglima Tertinggi terhada ABRI.
Pada saat yang bersamaan keadaan perekonomian Negara Indonesia sangat memburuk. PKI melancarkan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut
penurunan harga beras dan perbaikian ekonomi. Sebagai puncak dari maneuver politik PKI pada tahun 1960-an itu adalah pemberontankan mereka pada tanggal
30 September 1965 yang dikenal dengan sebutan pemerontakan G 30 SPKI. Pasukan bersenjata dibawah pimpinan Letkol Untung Komandan Pasukan
Pengawal Presiden saat itu mengadakan penculikan dan pembunuhan terhadap enam Perwira tinggi dan seorang perwira pertama TNI-AD Angkatan Darat.
Selain itu mereka juga merebut instalasi strategi di Ibukota, antara lain Gedung RRI dan Telekomunikasi.
75
3.1.2 Peran Angkatan Darat
Terbunuhnya tujuh perwira Angkatan Darat itu membangkitkan amarah yang begitu besar dari ABRI khususnya Angkatan Darat. Karena itu, secepat itu
pula AD melakukan tindakan balasan yang dilakukan oleh Kostrad yang saat itu dipimpin oleh Mayor Jendaral Soeharto, yang ditugasi Presiden Soekarno untuk
melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban.
76
Dalam operasi pemulihan keamanan dan ketertiban inilah AD memperlihatkan perannya yang cukup penting dan strategis saat itu. Dalam
perkembangannya kemudian peran ini menjadi semakin luas dan operasi pemulihan keamanan dan ketertiban dapat dianggap sebagai turning point peran-
75
Ibid.,hal 139.
76
Ibid.hal 140.
Universitas Sumatera Utara
peran strategis ABRI khususnya AD pada masa-masa selanjutnya sebab dengan peran yang strategi seperti itu kepentingan ABRI dalam bidang politik bidang
yang diinginkan ABRI saat itu semakin dilegitimasi.
77
TNI-AD membina basis sumber kekuasaannya sendiri, baik di bidang politik maupun di bidang ekonomi. Begitulah, AD berhasil memiliki basis
pendukung politik yang dibina dikalangan kelompok-kelompok kepentingan yang disponsorinya dan menjadi pengelola banyak perusahaan Negara yang penting.
78
Namun, hal itu dilakukan dengan cara sangat hati-hati karena ia tidak memiliki legitimasi untuk memainkan peran non-militer. Jadi dapat dikatan sejarah
Angkatan Darat selama tahun 1950-an dan 1960-an adalah sejarah pencarian suatu rumusan, yang dapat memberinya keabsahan untuk ikut bermain dilapangan
politik. Pencarian ini mendorongnya bekerja sama dan bersaing dengan Soekarno serta berjuang melawan PKI.
Karena persaingan inilah maka ketika Presiden Soekarno mencoba mengambil kebijakan untuk menyelesaikan masalah G 30 S PKI secara politis,
Angkatan Darat membuat berbagai perhitungan misalnya, mempengaruhi Presiden Soekarno bahwa jika tidak diadakan operasi pemulihan kertiban dan
keamanan, Negara dilanda perang saudara. Tindakan ini sangat menguntungkan karena situasi saat itu yang tidak memungkinkan untuk menjalankan diplomasi,
apalagi dalam kondisi kesehatan Presiden Soekarno yang kurang memadai. Dalam situasi politik yang tidak menentu seperti itu, krisis ekonomi menjadi semakin
parah. Masyarakat menjadi gelisah dan tidak puas. Yang mengakibatkan merebaknya demonstrasi mahasiswa yang semula yang hanya terjadi di Jakarta
77
Ibid.,hal 140.
78
Muhtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES,1989 hal.22.
Universitas Sumatera Utara
kemudian meluas kebandung dan kota-kota lain. Mereka mengajukan tri tuntutan rakyat Tritura, kepada pemerintah pada tanggal 10 Januari 1966, yaitu :
pembubaran PKI, penurunan hargaperbaikan ekonomi, dan retool kabinet Dwikom.
79
3.1.3 Supersemar Sebagai Titik Tolak
Surat perintah sebelas maret atau supersemar menjadi titik awal lahirnya Orde Baru.
80
Sebab dengan supersemar itulah kemudian Soeharto membubarkan PKI dan mengambil tindakan “pembaharuan dan stabilitas politik” dengan
supersemar itu pula kekuasaan Presiden Soekarno dengan sistem politik Demokrasi Terpimpinnnya lenyap. Tampilnya Orde Baru dipentas politik telah
menggeser sistem politik Indonesia dari titik ektrem otoriter kesistem Demokrasi Liberal kembali seperti pada tahun 1950-an yang namanya dikenal sebagai
sistem politik Orde Baru.
81
Jadi, pada awalnya Orde Baru tampil kepentas politik langgem demokrasi libertarian dianut dibidang politik dan berusaha memberi kepuasan dibidang
ekonomi. Tetapi langgem ini hanya pada masa-masa awal kekuasaan sebab semakin lama seperti yang terjadi kemudian hingga saat ini, Negara Orde Baru
ternyata semakin menunjukkan dirinya sebagai Negara yang kuat yang berperan
79
Soebijiono.,Op.Cit.hal 32.
80
Marwati Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Op.Cit.,hal 415.
81
Moh.Mahmud MD., Op.Cit.,hal 62. oleh banyak pengamat, diktomik oral-orba dinilai menyesatkan karena seolah-olah rezim sebelumnya terutama bung karno tidak memberikan
sumbangan apa-apa kepada Republik ini dan hanya mewariskan kemerosatan ekonomi. Padahal, kedua Orde ini tidak berlainan sama sekali; setidaknya ideology pancasial dan kontitusi UUD’45
diterapkan dalam dua periode ini. Persamaan lainnya adalah terhadap peranan partai politik atau sistem multi partai. Liddle bahkan mengatakan bahwa tidak ada perbedaan kultur elite Orde Lama
dan Orde Baru 1968-1971. Hal ini terdapat dalam R.William, Liddle,’moderanizing in Indonesian Politics”, Yale University Press.1973. dikotomi ini dapat juga dilihat dalam tulisan
seorang arsitec Orde Baru, Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, Jakarta: CSIS 1974, HAL 15- 16.
Universitas Sumatera Utara
aktif. Langkah demokrasi yang dilakukan Orde Baru bisa dimengerti mengingat pada saat itu legitimasi masih harus diciptakan dengan cara membuat antisistem
yang diciptakan presiden Soekarno yang pada saat itu tidak disukai lagi. Bagaimana juga langgem libertarian dalam bidang politik ini hanya
strategi awal untuk mencari tempat bentuk pemantapan legitimasi sebab ada perjalanan selanjutnya ternyata Orde Baru semakin mengaruh kelanggem
organisasi atau menjelmakan diri menjadi suatu organisasi yang kuat dan mampu mengatasi segala kekuatan yang ada di masyarakat. Alfian mengemukakan bahwa
pada awal Orde Baru sistem demokrasi dijalankan dibarengi dengan langkah- langkah untuk mencari format baru sistem politik Indonesia. Alfian menulis:
“Apa yang sekarang yang dikenal sebagai peristiwa 30 September 1965 Peristiwa GESTAPU atau G 30 SPKI dengan cepat telah mengubah
warna dan bentuk kehidupan politik di Indonesia. Peristiwa itu telah menyebabkan berakhirnya riwayat dua kekuasaan politik utama,
Almarhum Presiden Soekarno dan PKI. Yang sebelumnya memainkan peranan sangat penting disamping militer ABRI terutama TNI-AD
dalam sistem politik Indonesia. Dalam bulan Maret 1968 MPRS secara resmi menjadikan jendral Soeharto Presiden penuh kedua, dan ini
sekaligus bahwa struktur kekuasaan baru yang diberi nama “Orde Baru” yang semakin mantap posisinya, menggantikan rezim Soekarno yang
diberi “Orde Lama”.
82
Jelaslah bahwa pada awal perjalannya, Orde Baru dihadapkan pada masalah penciptaan mekanisme politik yang baru yang mampu memuaskan
pendukung-pendukungnya. Hal itu tidak bisa dilakukan dengan cepat, sebab meskipun angkatan darat telah muncul sebagai kekuatan utama saat tapi tidak
dapat dikesampingkan bahwa partai-partai politik masih mempunyai banyak pengikut.
82
Alfian, Format Baru Politik Indonesia Magazine No.20 tahun 1974,.hal 26
Universitas Sumatera Utara
3.1.4 Peran partai politik DPR
Terjadinya G 30 SPKI menjadi titik balik terjadinya perubahan revolusioner secara nasional di Indonesia di segala bidang kehidupan baik politik,
ekonomi, sosial budaya dan lain-lain. Sikap parpol lewat wakil-wakil mereka dalam DPR-GR waktu itu cukup tegas. Terlihat dari penyataan pendapat DPR-GR
tentang petualangan “ Gerakan 30 September” yang diputuskan dalam persidangan paripurna DPR-GR pada saat itu wakil dari PKI sudah tidak aktif
lagi tanggal 15 November 1965, sikap tersebut dapat dilihat pada tiga butir konsiderans menimbang sebagai berikut :
83
1. Bahwa apa yang disebut “ Gerakan 30 September”, yang berdasarkan
fakta-fakta yang ada didalangi PKI dan ormas-ormasnya. 2.
Petualangan ini adalah gerakan kontra revolusi, karena menghianati revolusi Indonesia sehingga menimbulkan banyak korban, baik dikalangan
pimpinan angkatan bersenjata maupun dikalangan rakyat. 3.
Rakyat pada umumnya termasuk buruh, tani, pegawai baik yang tergabung dalam partai-partai politik, serta ormas-ormas yang progresif revolusioner
dan angkatan bersenjata mengutuk tindakan itu dan menuntut pembubaran dari partai dan ormas-ormas yang menjadi dalang dan pelaku GESTAPU
tersebut. Selanjutnya sidang paripurna itu memutuskan :
1. Mendukung sepenuhnya kebijakan pimpinan DPR-GR yang telah
membekukan sementara segala kegiatan anggota DPR-GR yang mewakili PKI dan ormas-ormasnya serta ormas-ormas lain yang tersangka, terlibat
83
Benny K Harman, Op.Cit.,hal 146.
Universitas Sumatera Utara
ataupun yang melibatkan diri dalam gerakan kontra revolusioner atau “Gerakan 30 September”.
2. Mendesak P.J.M PresidenPanglima tertinggi Angkatan Bersenjata
Republik IndonesiaPeminpin besar revolusi Bung Karno untuk secapatnya mengambil keputusan terakhir dalam bidang politik sesuai
dengan pertanggung jawaban beliau kepada bangsa dan Negara dan sesuai pula dengan tututan rakyat Indonesia melalui partai-partai politik dan
ormas-ormasnya yang progresif revolusioner. 3.
Mendesak pemerintah dalam waktu yang singkat memberikan keterangan resmi dimuka sedang DPR-GR mengenai jalannya peristiwa “Gerakan 30
September” sidang paripurna tanggal 15 November 1965 itu didahului adanya surat keputusan pimpinan DPR-GR mengenai pembekuaan
keanggotaan DPR-GR yang berasal dari fraksi PKI dan ormas-ormasnya. Surat keputusan pimpinan DPR-GR itu ialah No.10PimpI65-66 yang
membekukan 55 orang anggota yang berasal dari PKI.
84
Kalau dilihat dari perubahan iklim politik secara formal kelembagaan DPR-GRlah yang pertama membersihkan dirinya dari unsur-unsur PKI dan
ormas-ormasnya. Keputusan politik DPR-GR dalam bentuk “pernyataan pendapat tentang petualangan Gerakan 30 S PKI “ tersebut membawa pengaruh terhadap
perubahan politik.
85
Keputusan politik inilah yang menjadi landasan demonstrasi mahasiswa menuntut tritura terutama membubarkan PKI dan ormas-ormasnya.
Dilihat dari pengaruh atau efek yang dihasilkan, maka keputusan politik DPR-GR
84
Muchtar Pakpahan, DPR RI Semasa Orde Baru, Jakarta : Sinar Harapan 1994 hal.70.
85
Ibid.,hal 71.
Universitas Sumatera Utara
ini adalah titik kulminasi Orde Lama dan awal Orde Baru. Disinilah peran utama parpol DPR-GR pada waktu itu.
3.2
Periode 1970-1997. 3.2.1
Format Politik Orde Baru
Persoalan utama menghadang rezim Orde Baru adalah warisan krisis dari rezim sebelumnya yaitu masalah krisis ekonomi dan ketidak stabilan politik.
Dibidang ekonomi, terjadi kemerosaton dan stagnasi.
86
Pada tahun 1966 bahan laju inflasi mencapai 650.
87
Sementara itu dibidang politik, terjadi ketidak setsabilan yang disebakan oleh pertentangan antar kelompok-kelompok politik
dalam masyarakat. Untuk mengatasi dua krisis ini, pemerintah mengambil kebijakan dalam bidang ekonomi berupa pembangunan ekonomi yang berorientasi
keluar.
88
Sementara dibidang politik diupayakan menciptakan format politik yang mendukung pembangunan ekonomi.
Setelah revolusi kemerdekaan Indonesia, diberlakukan sistem politik demokrasi liberal menerut Alfian
89
atau demokrasi parlementer menurut Afan Gaffar.
90
Ciri khas system politik ini adalah besarnya peranan partai politik sispil yang berpusat diparlementer. Para politisi sipil mewakili partai-partai politik atau
golongan. Akan tetapi pratik politik yang berkembang dalam sistem ini diwarnai oleh konflik-konflik politik dan ideologis, bahkan kadang-kadang menimbulkan
86
H.W.Arndt ed, Pembangunan dan Pemerataan. Jakarta :LP3ES,1983,hal 3
87
Anne Both dan Peter Melawley, Ekonomi Orde Baru, Jakarta:LP3ES.1983
88
Mas’oed, Muhtar, Op.Cit .hal 95
89
Alfian, Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. Jakarta : Gramedia, 1991.,hal.30- 41.
90
Istilah “demokrasi liberal” dianggap kurang tepat karena khas barat, sedangkan demokrasi liberal yang berlaku di Indonesia pada saat itu tidak sama dengan demokrasi liberal sebagaimana
lazimnya dipraktikan dalam system politik liberal. Sehingga afan gaffer.lebih senang menggunakan istilah “demokrasi parlementer”. Demikianlah satu mata kuliah Dr afan gaffer,MA.,
Mata kuliah analisa Politik Indonesia, semester genap tahun ajaran 1992-1993, Program Pasca Sarjana, Program Studi Ilmu Politik,PPS UGM,Yogyakarta.
Universitas Sumatera Utara
pemberontakan didaerah. Sistem ini ditandai oleh kelabilan politik berupa jatuh bangunnya kabinet.
91
Format politik ini memberi kebebasan memberi kebebasan yang tidak terbatas bagi perbedaan pendapat konflik yang mengakibatkan
sulitnya tercapai konsensus. Kecendrungan konflik jauh lebih besar daripada kemampuan mengembangkan konsensus.
92
Berikutnya, melalui dekrit presiden 5 juli 1959, Bung Karno mulai naik kegelangggang politik sebagai pemain utama. Sistem politik yang berlaku
berganti dengan sistem demokrasi yang terpimpin. Proses politik tidak lagi berlangsung diparlemen, yang perananya merosot, bahkan dapat dikatakan
lumpuh sama sekali. Proses politik bertumpu pada tiga kekuatan politik : Bung Karno, ABRI, dan PKI. Soekarno menjadi faktor pengimbang antara ABRI dan
PKI dan antara PKI dan golongan islam. Sistem ini juga ditandai oleh kelabilan politik. Titik berat pembangunan pada politik membuat sektor ekonomi merosot.
93
Setelah dua sistem politik ini berakhir, berganti dengan system politik demokrasi pancasial. Dikalangan pendukungnya, muncul political will unutk
menciptakan suatu Orde Politik yang berlarian sama sekali dengan Orde Politik sebelumnya, maka dinamakamn “Orde Baru”.
94
Format politik Orde Baru ini mencoba menciptakan keseimbangan antara konflik dan konsensus. Menurut
91
Alfian, Op.Cit.hal 59.
92
Ibid .,hal 59-78
93
Ibid., hal 41-47.
94
Oleh banyak pengamat, diktonamik Orde Baru-Orde Lama dinilai menyesatkan karena seolah-olah rezim sebelumnya terutama bung karno tidak memberikan sumbangan apa-apa kepada
republic ini dan hanya mewariskan kemerosaotan ekonomi. Padahal kedua orde ini tidak berlainan sama sekali;setidaknya Ideology Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 diterapkan dalam dua
periode. Persamaan lainnya adalah sikap phob terhadap peranan partai politik atau sistem Multi Partai. Liddle bahkan mengatakan tidak ada perbedaan kultur politik eleite Orde Lama dengan
Orde Baru 1968-1971. Hal ini terdapat dalam R Willeam Liddle,’Modernizing Indonesia Politics”New Haven: South Asia Studies: Yale University Press,1973. Dikotomik ini dapat
dilihat pada tulisan salah seorang arsitek Orde Baru, Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional. Jakarta :CSIS,1974, hal 15-16.
Universitas Sumatera Utara
Alfian, pada suatu saat mungkin saja konflik yang ditekankan, sedangkan pada saat yang lain adalah konsensus. Hal ini lebih sering disebut “demokrasi gelang
karet “.
95
Seperti layaknya gelang karet, demokrasipun demikian. Kebebasan dan keterbukaan suatu saat di kedepankan, sedangkan pada saat yang lain sebaliknya.
Kalau masa Orde Lama pembangunan ditekankan pada bidang politik, maka Orde Baru mengubahnya menjadi ekonomi. Jargon politik no, ekonomi yes
seringkali disuarakan pada awal–awal pemerintahan Orde Baru. “Pengordebaruan” juga berlangsung dalam hal orientasi pemeikiran sosial politik
dan ekonomi, yang pada masa orde lama tekannya sangat ideologis dan politis.
96
Dibidang politik rezim yang berkuasa dihadapkan pada upaya menciptakan sebuah format politik baru. Upaya ini secara praktis bersamaan
dengan tumbuhnya optimisme masyarakat sekelurnya mereka dari suatu masa yang merugikan. Optimisme akan kehidupan baru yang lebih baik, lebih
demokratis, lebih aman, dan sebagainya. Format politik Orde Baru yang tercipta itu antara lain ditandai oleh :
97
1. Peran eksekutif Negara sangat kuat karena dijalankan oleh militer setelah
ambruknya demokrasi terpimpin dan menjadi satu-satunya pemain utama diatas panggung politik nasional. Legitimasi peranan mereka dihadirkan
melalui konsep Dwifungsi ABRI. 2.
Upaya membangun sebuah kekuatan organisasi politik sipil sebagai perpanjangan tangan ABRI dan pemerintah karena hampir dua dekade
95
Alfian ,Op.Cit.,hal 48.
96
Mengenai perbandingan orientasi politik antara ordelama dan orde baru,antara lain dapat kita lihat dalam Albret Wijaya,Budaya politik dan pembengunan ekonomiJakarta LP3ES,1988.
Daniel SLev menganggap bahwa demokrasi terpimpin harus dilihat sebagai kelanjutan demokrasi parlementer, sementara reinhart 1971 menandaskan, demokrasi pancasila juga harus dilihat
sebagai kelanjutan upaya pasca kemerdekaan. Ibid.,hal 195.
97
Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru,. Jakarta : Gema Insani Press,1996. hal 188.
Universitas Sumatera Utara
sejak munculnya orde baru, sulit membedakan pemerintah dengan ABRI dalam politik. Organisasi politik adalah Golkar, maka dengan segala cara
dilakukanlah “pembesaran” Golkar. Sebaliknya “ pengecilan” partai-partai politik. Upaya ini berhasil setelah pemilu 1971 dengan terciptanya system
kepartaian yang hegonik. 3.
Penjinakan radikalisme dalam politik malalui proses depolitisasi massa. Misalnya dengan menerapkan konsep floating mass massa mengembang
dan konsep NKKBKK didalam kehidupan kampus. 4.
Tekanan pada pendekatan keamanan isecurty approach debangdingkan dengan pendekatan kesejahtraan prosperty approach dalam
pembangunan politik unutk menciptakan stabilitas politik. 5.
Menggalang dukungan masyarakat melalui organisasi-organisasi social dalam jaringan korporadis. Korporatisme Negara menyerap semua unsur
dalam masyarakat, menjadikan Birokrasi “ ibarat gurita yang sangat perkasa memangsa semua lawannya”, sedangkan posisi masyarakat lemah.
Alam setiap proses pengambilan keputusan politik nasional, masyarakat hamper belum pernah dilibatkan. Masyarakat dilibatkan hanya pada tahap
pelaksanaannya. Masyarkat pun sangat mudah di mobilisasikan unutk memberikan dukungan kepada setiap kebijakan pemerintah.
3.2.2 Lembaga Kepresidenan yang Kuat
Setiap pemimpin yang baru saja memperoleh kekuasaan pasti menghadapi persoalan bagaimana untuk tetap berkuasa. Sebab tanpa kekuasaan yang cukup
besar dasar dan efektif, tujuan tersebut tidak akan pernah bisa tercapai. Karena itu
Universitas Sumatera Utara
tugas pertama seorang pemimpin adalah memperkuat posisi kekuasaannya sehingga ia bisa melakukan perubahan dalam masyarakat. Para pendukung Orde
Baru telah berhasil malaksanakan hal tersebut secara sempurna. Hal pertama yang dilakukan Orde Baru adalah menampilkan citra baik
tentang kepribadian pemimpin. Upaya ini terutama untuk menunjukkkan kepada rakyat bahwa peminpin baru merupakan jelmaan yang diimpi-impikan rakyat. Ali
Moertopo, seorang arsitek Orde Baru, berhasil mengerjakan ini dengan baik ketika ia mengusulkan sebutan “bapak pembangunan” bagi Presiden Soeharto.
98
Selain citra pemimpin untuk memperkuat posisi kekuasaanya pemimpin Orde Baru melembagakan lembaga-lembaga politik dan pemerintahan yang
dicirikan dengan menguatnya kantor lembaga kepresidenan. Pelembagaan ini bisa berjalan dengan baik karena Soeharto memiliki dan kemampuan istimewa.
Pertama, Kemampuan memanfaatkan kekuasaan darurat yang diperoleh dari Presiden Soekarno, dan yang kedua, Ialah kemampuan membina sumber
keuangan untuk melanggengkan kekuasaan. Salah satu kondisi yang memberi kemudahan kepada Jendral Soeharto
untuk mengembangkan kekuatan politiknya muncul ketika ia berhasil mempengaruhi Presiden Soekarno supaya memberi wewenang kepadanya untuk “
memulihkan keamanan dan ketertiban” setelah peristiwa G 30 SPKI. Setelah terjadi tawar-menawar yang tampaknya cukup sengit, Presiden Soekarno akhirnya
mengangkatnya menjadi panglima dari suatu unit yang secara khusus dibentuk untuk itu, yaitu Kopkamtib Komandan Operasi Keamanan dan Ketertiban, pada
tanggal 2 Oktober 1956. kesempatan yang “diimpikan” tercipta ketika Jendral
98
Mohtar Mas’oed, “Lembaga Kepresidenan dan Resep Pengendalian Politik di Indonesia “,Dalam Risa Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer, Jakarta : Grafindo Persada,
1996,hal 97
Universitas Sumatera Utara
Soeharto lagi “memperoleh surat perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno yang secara de facto memindahkan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada
Jendral Soeharto.
99
Setelah keadaan darurat ini selesai, mulailah Soeharto membina sumber keuangan, terutama ketika ia secara resmi menjadi Presiden Indonesia yang
kedua. Dari sinilah Soeharto membangun lembaga kepresidenan yang sangat kuat powerfull hingga ia mengundurkan diri.
Bahkan bila dibangdingkan dengan lembaga kepresidenan lain yang ada di dunia ini, lembaga kepresidenan Orde Baru merupakan lembaga kepresiden yang
sangat kuat,
100
disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut : 1.
Lembaga kepresidenan mampu mengontrol political recruitmen dan ini merupakan resource politik yang sangat strategis. Meskipun menurut UUD
1945 lembaga ini mempunyai kedudukan yang sama dengan lembaga tinggi Negara lainnya seperti, MA, Dewan Perwakilan Rakyat DPR,
Dewan Pertimbangan Agung DPA, dan Badan Pemeriksa Keuangan BPK, namun dalam kenyataannya lembaga kepresidenan mempunyai
kekuasaan untuk mengisi jabatan dalam lembaga tinggi Negara tersebut. Pengangkatan ketua MA dan Hakim Agung adalah melalui lembaga
kepresidenan. Hal ini yang sama terjadi di lembaga DP dan BPK.
101
2. Presiden memiliki kekuasaan keuangan financial and budgeting power
yang sangat kuat, sehingga dengan demikian lembaga kepresidenan mempunyai sumber daya keuangan yang sangat besar. Kekuasaan
99
Ibid.,hal 101.
100
Ibid .,hal 101.
101
Benny K Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM1997.hal 156.
Universitas Sumatera Utara
keuangan ini dapat diperoleh melalui proses budgeting yang ada. Hamper semua masyarakat Indonesia mengetahui bahwa dalam praktek anggaran
keuangan di Indonesia peranan lembaga kepresidenan sangat sentral, sementara peranan lembaga perwakilan rakyat DPR belum berfungsi
sebagaiman diharapkan. Kekuasaan keuangan yang sangat sentral yang dimiliki oleh presiden diwujudkan juga dalam bentuk sejumlah
implementasi pembangunan yang melalui proyek INPRES dan Banpres. Ddua proyek ini secara politis sangat strategis untuk memperkuat
lembaga.
102
3. Presiden sendiri secara formal diberikan wewenang yang sangat besar oleh
konstitusi, misalnya Presiden adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenajata RI, yang dalam hal tertentu dapat digunakan secara strategis
seperti misalnya dengan dibentuknya Dewan Kehormatan Militer unutk menyelesaikan peristiwa 12 November di Dili, Timor-Timur. Disamping
itu, Presiden juga memiliki legacy tertentu yang tidak dimiliki oleh lembaga lainnya, misalnya sebagai pengemban Supersemar.
103
3.2.3 Militer sebagai Kekuatan Politik yang Dominan
Peran militer dalam panggung politik Indonesia mempunyai sejarah yang panjang. Sejak awal, militer bukanlah institusi yang pasif. Militer menyediakan
tangga alternatif untuk meraih sukses hingga periode pertama 1957 sampai 1958 bagi orang-orang yang mula-mula tidak memberi pada mereka tempat diantara elit
sosial politik dalam republik yang baru.
102
Ibid.,hal 157.
103
Ibid.,hal158.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Crouch, militer Indonesia mendapatkan orientasi politik dan kepentingan-kepentingan politiknya tatkala revolusi melawan Belanda. Dan masa
revolusi tahun 1945-1949, militer terlibat dalam perjuangan kemerdekaan pada saat mana tindakan politik dan militer saling menjalin dan tidak terpisahkan.
104
Namun, acapkali peran militer dimaknai sebagai tindakan “ damai “ yang dipicu oleh kegagalan politisi sipil dalam menata politik nasional. Padahal setelah
prolamasi kemerdekaan, militer berupaya membentuk dirinya sebagai organisasi yang solid.
105
Dominasi militer dalam politik Indonesia di perkukuh sejak Soeharto mengambil alih kekuasaan pada tahun 1966 dan menjadi Presiden pada
tahun 1968. Selama periode awal Orde Baru, Soeharto banyak menempatkan peranan-paranan militer di dalam kabinetnya juga dalam institusi politik serta
ekonomi yang strategis. Posisi-posisi kunci dalam kabinet sepanjang kekuasaannya, seperti Menteri Seketaris Negara, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pertahanan Keamanan senantiasa dipegang oleh para perwira Militer.
106
Domionasi militer ini terus dipertahankan rezim Orde Baru melalui resepsi dan kontrol politik yang ketat. Dominasi militer dalam politik akan sulit
dipertahankan tanpa di topang basis ekonomi yang kuat. Dimana basis ekonomi di
104
Budi Irawanto : Flim Ideology, dan Militer;Hegomoni Militer dalam Sinema Indonesia. Yogyakarta :Media Pressindo, 1999 hal.42
105
Di Negara modern lazimnya organisasi militer dibentuk oleh pemerintah untuk memberi keunutngan dan keunggulan bagi organisasi politik sipil. Di Indonesia, karna berbagai situasi
politik pada 1945, menurut Muhaimin, pemerintah hanya dapat dikatakan melegalisasi atau mengesahkan organisasi angkatan perangnya saja. Angkatan perang Indonesia pada garis besarnya
membentuk dirinya sendiri. Mengatur dirinya sendiri dengan semacamnya yang kesemuanya justru dilakukan semampunya dan serba apa adanya. Kelahiran militer yang khas ini, telah memperkuat
kenyainan sejak awal bahwa ia bukan hanya sebagai “alat mati” pemerintah, tetapi terlibat aktif dengan persoalan-persoalan diluar militer. Sedangkan menurut Salim Said relasi sipil militer yang
terbentuk dipengaruhi oleh keterlibatan militer dalam politik sejak kelahirannya dan lemahnya institusi sipil. Bagi Said, karateristik yang unik dari angkatan bersenjta Indonesia adalah : ia
membentuk dirinya sendiri. Artinya, ia dibentuk bukan oleh pemerintah atau partai politik bahkan ia mengorganisir dirinya dari kekacauaan tentara yang dilatih Jepang setelah penyerangan Jepang
dan proklamasi kemerdekaan, ketika pemerintah enggan menganggkat tentara.
106
Budi Irawanto., Ibid., hal 43.
Universitas Sumatera Utara
bangun melalui strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan yang tinggi. Naiknya harga minyak Oil Boom pada decade 1970-an memberi
keunutngan yang besar pada elit militer dan sekutu bisnisnya.
107
Dalam bahasa yang lain, Richard tanter menyatakan orde Baru dibawah Presiden Soeharto telah menghasilkan 3 proses politik yang terpisah, secara
bersama-sama menhasilkan pola-pola yang distingktif dan terlembaga dari control terhadap mastarakat Indonesia. Militerisasi, pengawasan politik domestik yang
komprehensif dan temporer tetapi dengan terror yang konstan dari Negara.
108
Satu rumusan ideologis penting lainnya yang menegaskan totalitas organik Negara
ialah gagasan mengenai wawasan nusantara – kesatuan kepulauan dari Negara Indonesia. Sistem Negara Orde Baru telah melembagakan suatu proses kompleks
negoisasi antara tiga arus utama, yaitu, Totalitariannisme Politik, Kontitusionalisme-Cum Legalisme dan Kemajemukan Budaya.
109
Selama lebih dari dua dekade, istilah “ pembangunan” telah menjadi doktirn tetap untuk untuk melegitimasi keberadaan Orde Baru. Seperti telah
dikemukan, pemerintahan Orde Baru telah menampilkan militer sebagai pelaku utama dalam pentas perpolitikan di Indonesia, peran militer dalam bidang
ekonomi sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Demokrasi Liberal, yaitu sejak lahirnya konsep Dwifungsi ABRI.
110
Tampilnya ABRI dalam tugas pembinaan wilayah masyarakat dimaksudkan agar roda pemerintahan dan fungsi-fungsi masyarakat berjalan
dengan wajar dan baik untuk itulah ABRI melakukan kegiatan-kegiatan non-
107
Ibid.,hal 45.
108
Ibid.,hal 56.
109
Ibid.,hal 56.
110
Arief Budiman, Negara, Kelas,dan Formasi Sosial,wawancara dalam majalh keadilan, Fakultas hokum UII. Yogyakarta no 1 Thun XII,1985, hal 39.
Universitas Sumatera Utara
tempur yang disebu8t kekaryaan dalam arti luas yang kemudian diperinci sebagai penugasan dibidang-bidang sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya. Bagi
nasution yang penting dalam konsep ini sebenarnya bukanlah fungsi non tempurnya, melainkan identitas TNI yang tidak saja mampu mengadikan dirinya
dibidang kemiliteran, tetapi bila sewaktu-waktu diperlukan berkesanggupan serta berkemampuan untuk menyumbangkan tenaganya dibidang-bidang
kemasyarakatan lainnya agar kehidupan masyarakat tetap terbina dengan baik.
111
Berkenaan dengan hal itu Nasution menulis : “Sebenarnya saya menyesal atas istilah “Dwifungsi “ , yang mula-mula
saya pakai dalam rapat polisi di porang, karna bukan fungsinya yang penting tetapi adalah kesanggupannya selaku kekuatan rakyattentara
pejuang yang idiil serta strukturil berakar dalam rakyat sebagai landasan, selaku kekuatan militer, dan sebagai landasan unutk kesanggupan tugas-
tugas non-militer, jika diperlukan.”
112
Seperti dikemukakan Arief Budiman, konsep Dwifungsi ini pada kenyataanya telah membukakan pintu bagi ABRI untuk masuk dalam kegiatan
ekonomi dan politik. Golongan militer kemudian menjadi pengelolah dari berbagai perusahaan ketika terjadi nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan
Belanda dan Amerika pada saat berlangsungnya konfrontasi dengan Malaysia.
113
Kecendrungan masuknya militer dalam bidang politik semakin kuat setelah pada tahun-tahun berikutnya mereka harus mengatasi baik ancaman dari luar Belanda
maupun krisis politik dari dalam yaitu peritiwa penculikan politik 3 Juli 1946 dan pemberontakan PKI di madiun Tahun 1948.
114
111
Rezlan Izhar Jenie, Pemikiran Jendral A.H.Nasution tentang peranan militer dalam politik di Indonesia, Skripsi FIS UI,1981,hal 72-73.
112
Ibid.,hal 73.
113
Moh,Mahmud, Demoikrasi dan Konstitusidi Indonesia, Jakarta:PT Rineka Cipta, 2000.hal 67.
114
Yahya Muhaimin,Op.Cit.,hal 223.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun demikian turut sertanya militer secara terbuka dalam lapangan poliik baru dimulai pada tahun 1952 ketika terjadi peristiwa 17 Oktober yang
terkenal: pada tanggal 17 Oktober 1952 itu militer secara sangat terbuka melakukan konfrontasi dengan parlemen,
115
dengan mendesak kepala Negara untuk membubarkan DPRS. Menurut Yahya A. Muhaimin peristiwa 17 Oktober
yang kiranya disebut “politico-military Simptom” itu meletus karena kepemimpinan sipil dianggap selfish, tidak bertanggung jawab, tidak efektif,
penuh korupsi, dan tidak berhasil memerintah Negara yang baru merdeka ini diamana para perwira militer merasa memegang andil terbesar dalam mencapai
dan menegakkan kemerdekaan antara 1945-1950.
116
Sejak tahun 1952 militer di Indonesia tampil dipentas politik dengan selalu bergulat sengit melawan kekuatan sipil terutama melawan PKI yang mendapat
perlindungan Soekarno maka pada tahun 1966, pada saat lahirnya Orde Baru menjadi puncak dan akhirnya pegulatan itu dengan kemenangan militer. Dimana
kemenangan itu di peroleh pada tanggal 11 maret 1966 tatkala militer berhasil meraih kekuasaan dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret dari Presiden
Soekarno kepada Presiden Soeharto.
117
Pada umumnya diakui bahwa keluarnya Supersemar merupakan peristiwa besar yang telah mengantar tampilnya militer di Indonesia pada kekuasaan bidang
eksekutif. Dan pada saat tampil sebagai pemegang kekuasaan politik di tahun 1966 militer sudah mengusai perusahaan-perusahaan Negara. Dan karena itu
115
Daniel Dhakedae,” Pemilihan Umum di Indonesia, saksi pasang Naik dan surut partai politik’, Dalam Demokrasi dan proses politik.,hal.180-181.
116
Yahya Muhaimin,Op.Cit.,hal 11-12
117
Ibid.,hal 14.
Universitas Sumatera Utara
pulalh militer lama-kelamaan meletakkan dirinya di atas semua kelas yang ada, sehingga tidak ada satu kekuasaan pun yang bisa menghalanginya.
Rezim Orde Baru juga membangun opini masyarakat tentang sejarah ABRI, seakan-akan pada masa lalu ABRI, khususnya pihak TNI militer sudah
ikut menentukan nasib Negara secara politik. Katanya, tanpa campur tangan pihak militer dalam politi, maka posisi Soekarno-Hatta lemah dimata Barat, khususnya
penjajah Belanda. Tentu saja hal tersebut benar, tetapi tidak berarti militer harus ikut campur langsung dalam politik penyelenggara Negara. Disinilah Soeharto
membangun system pemerintahan yang militeristis dengan mengikut sertakan ABRI dalam politik penyelenggaraan Negara Konsep Dwifungsi.
118
Di bawah Soeharto dwifungsi ABRI dalam jaman Orde Baru membawa kekuasaan ABRI yang lebih besar dari kesempatan terjadinya peristiwa 1965 itu.
Meskipun begitu, konsep dwifungsi ABRI tidak bisa dilepaskan dari masa Soekarno sendiri, yaitu melalui konsep “ Jalan Tengah ABRI “ yang disodorkan
oleh Nasution. Dalam konsep itu Jenderal Nasution menjelaskan : “……bukan sekedar ‘alat sipil ‘seperti di negara-negara barat, juga bukan
sebuah ‘ rezim militer ‘ yang mendominasi kekuasaan Negara, melainkan menjadi salah satu dari banyak kekuatan dalam masyarakat…..”
119
Peran di luar ke-ABRI-an tersebut di perkuat melalui doktrin Tri Ubaya Cakh seminar TNI-ADI, April 1965 yang untuk pertama kalinya menegaskan
secara eksplisit tentang dwifungsi ABRI, yaitu: “…..kedudukan TNI-ADI sebagai golongan karya ABRI merupakan suatu
kekuatan politik dan kekuatan militer, adalah bagian dari kekuatan progresif revolusioner yang menetapkan sekaligus perannya sebagai alat
revolusi, alat demokarasi, serta sebagai alat kekuasaan negara, ikut mengambil bagian dalam menentukan dan melaksanakan haluan
negara…..”
118
Sri-Bintang Pamungkas.,Op.Cit.,hal 5.
119
Ini merupakan pendapat Sanego, dalam SRI Bintang Pamungkas, Ibid hal 163.
Universitas Sumatera Utara
Keikutsertaan ABRI dalam bidang politik, secara langsung juga memberi kesempatan kepada institusi dan para anggota ABRI untuk lebih besar dalm
“mengatur” konflik yang terjadi di antara kekuatan-kekuatan politik yang ada. Peran tersebut menjadikan ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator Orde Baru,
konflik politik hanya bisa “ diatasi “ melalui konsep “ mayoritas tunggal “, yaitu dengan menjadikan Golkar sekaligus wadah politik ABRI dan pegawai negeri
sipil untuk bisa selalu menang dalam pemilu, serta dengan mendudukan ABRI bersama Golkar mengusai kusi DPRMPR.
120
3.2.4 Birokrat yang Kuat
Jajaran ketiga dalam struktur kekuasaan Orde Baru yang paling dominan adalah birokrasi.
121
Kehadiran birokrasi yang sangat kuat merupakan masalah yang dirasakan oleh semua negara, tetapi kehadiran institusi ini di Indonesia
memiliki karakteristik tersendiri yaitu:
122
1. Birokrasi di Indonesia mempunyai Self Image bahwa pejabat itu sangat
tahu, sangat pintar, sementara rakyat berada pada posisi tidak tahu apa atau “bodoh”.
2. Akibat dari hal pertama seperti yang sudah disebutkan, tugas mereka
bukab lagi untuk melayani masyarakat, akan tetapi mereka yang harus dilayani.
120
Sri Bintang Pamungkas, Ibid., hal 166.
121
Affan Gaffar, Politik di Indonesia ; Transisi Menuju Demokrasi Yogyakarta : Pustaka Pelajar.2005.hal. 7-9.
122
Benny K Harman,Op.Cit.,hal 73.
Universitas Sumatera Utara
3. Fungsi pelayanan itu bukan sebagai dan kewajiban yang merupakan
timbak balik untuk masyarakat tapi pelayanan merupakan “hadiah” dari birpkrasi.
Birokrasi merupakan sinterklas yang harus disyukuri kehadirannya. Perilaku ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah yang melaksanakan
pembangunan dan bukan rakyat. Dengan demikian, birokrasi Orde Baru menjadi benevolent, sebagai lembaga yang baik, pemurah, pengayom dan oleh karena itu
sebaliknya masyarakat harus obedient terhadap pemerintah, harus taat, tunduk, patuh setia, tidak boleh macam-macam dan lain-lain ekspresinya. Menurut Afan
Gaffar ketiga hal tersebut diatas, memainkan peranan politik yang dominan.
123
Seperti diketahui, salah satu persoalan terbesar yang dihadapi pemerintah Orde Baru ialah bagaimana di samping menciptakan program-progam pemerintah
yang secara efektif tanpa diganggu birokrasi. Supaya pemerintah yang baru ini dapat menjalankan program-program pembangunan ekonomi dan menciptakan
124
stabilitas diperlukan sebuah birokrasi yang efektif dan tanggap. Tidak diragukan bahwa pemimpin Orde Baru bertekad untuk menggunakan birokrasi Negara
sebagai primum mobile dari program pembangunan. Pemerintah Orde Baru mempunyai anggapan dasar bahwa partai politik
merupakan sumber konflik dan ketidakstabilan politik. Dengan demikian, pemerintahan oleh partai mupun keikutsertaan partai dalam pemerintahan
dianggap sebagai “ masa lalu yang buruk” yang tidak perlu diulang lagi.
123
Ibid.,hal 174.
124
Mas’oed MohTar, Restrukturisasi Masyarakat oleh Pemerintah Orde Baru di Indonesia. Prisma,No.71989.,hal 20.
Universitas Sumatera Utara
Penciptaan jarak antara partai dan birokrasi merupakan indikasi kecendrungan tersebut.
125
Disamping itu
keterlibatan partai dalam birokrasi akan mengganggu bahkan menghambat tugas pelayanan birokrasi, suatu hal yang paling dihindari
oleh pemerintah yang menjalankan pembangunan ekonomi sebagai obsesi sejak awal. Diyakini bahwa tugas birokrasi sebagai pelaksana kebijaksanaan hanya
dapat berjalan dengan lancer jika mereka dijatuhkan dari politik, dalam arti kerjasama ataupun ikatan sembiosa dengan partai politik.
126
3.2.5 Pembangunan Ekonomi sebagai Prioritas
Para pendukung Orde Baru sepekat untuk memprioritaskan pemebnguanan ekonomi. Pilihan ini diambil sesuai dengan political will pemerintah untuk
mengalihkan orientasi pembangunan pada masa Orde Lama yang ideologis- politis kepada orientasi pragmatis. Pilihan ini tepat untuk mengantisipasi harapan
baru dengan datangnya Orde baru.
127
Indonesia dibawah penguasa pribadi Soeharto sedikitnya menganut system ekonomi campuran yang tidak jelas secara teori dan konseptual. Tahun-tahun awal
yang menyertai kebijana ekonomi Soeharto sudah mulai muncul ketidaksukaanya terhadap system ekonomi sosialis ala Indonesia yang tercanrum dalam UUD 45
pasal 33 yang memberikan peran sentral Negara terhadap pengelolaan ekonomi. Strategi pembangunan ekonomi yang berorientasi pada penerapan system kapitalis
dan sosialis campuran, ditujukan dengan pembentukan tim ekonomi yang akan
125
Benny K Harman,Op.Cit.,hal.,175.
126
Syamsudin Haris, Pola dan Kecendrungan Konflik Partai Masa Orde Baru. Analisa CSIS,1985.hal 257.
127
Abdul Azis Thaba,Op.Cit.,hal 200.
Universitas Sumatera Utara
merumuskan strategi pembangunan ekonomi yang beroriontasi pertumbuhan dan disertai dengan pemerataan ekonomi dan hasil-hasilnya.
128
Kebijakan Trilogi pembangunan didalamnya terkandung system ekonomi kapitalis dan sosialis yaitu pertumbuhan ekonomi kapitalis dan pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya sosialis dengan penyertaan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Trilogy pembangunan yang kedua jelas sekali
memberikan peran sentarl terhadap pemerinthan pribadi Soeharto untuk melakukan pengontrolan yang ketat terhadap distribusi ekonomi pada kawasan
industri tertentu akibat pemusatan sektor-sektor industri pada tangan-tangan tertentu yang dalam pemerintahan pribadi seperti Soeharto diwakilkan oleh
Soeharto, keluarga dan patron-patron bisnisnya.
129
Dalam bidang ekonomi masalah yang menghadamng adalah inflasi yang membubung tinggi, deficit secara pemabngunan, terkurasnya cadangan devisa
Negara, dan kesulitan membayar utang luar negeri. Antara tahun 1964-1965 tingkat inflasi mencapai 32, tahun 1965-1966 sebesara 697, sedangkan indeks
harga barang konsumsi di Jakarta 1985 = 100 indeks umum pada tahun 1965 adalah 38,34, dan tahun 1966 melonjak menjadi 267,267.
130
Pemerintah kemudian membentuk Dewan Stabilitas Ekonomi yang langsung diketua Jendral Soeharto dengan staf-staf berasal dari Universitas
Indonesia. Dr.Wijoyo Nitisastro, Dr. Muhammad Sadli, Dr. Emil Salim, Dr.Ali
128
Gregorius ,Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Jakarta : Pondok Edukasi,2004..,hal 115.
129
Ibid.,hal 151.
130
Areif Budiman, Negara dan Pembangunan,: Studi Tentang Indonesia dan korea Selatan,Jakarta:Yayasan Padi dan Kapas,1991.hal 4-48.
Universitas Sumatera Utara
Wardhana, dan Dr.Subroto,
131
Dr.Sumitro Djojohadikusumo, Radius Prawiro, dan Frans Seda diangkat menjadi Tim Penasehat Ekonomi Presiden berdasarkan
Keppres No.195 tanggal 15 Juni 1986. Para teknokrat ini sudah dikenal oleh Soeharto jauh sebelumnya, baik secara pribadi maupun melalui Seskoad. Mereka
adalah generasi pertama teknokrat Orde Baru dan kemudian didampingi oleh generasi kedua, Dr. Sumarlin, Dr.Arifin Siregar, dan Dr. Adrius Mooy.
132
Setelah Indonesia memasuki PJP atau era tinggal landas selama enam pelita, maka secara material pembangunan ekonomi Indonesia di pandang cukup
berhasil. Paling tidak dilihat dari paradigma modrenisasi neoklasik dengan teori pertumbuhan ekonomi antara tahun 1971-1981 adalah 8.
133
Pada tahun 1987, Indonesia tercatat sebagai Negara dengan jumlah utang terbesar urutan ke-empat di dunia.
134
Pada tahun 1994 total utang Luar Negeri RI menjadi US, 93 miliar denga perincian US .55 miliar utang pemerintah dan US
.38 miliar utang Swasta.
135
Implikasi aliansi militer-teknokrat bagi kehidupan politik Indonesia kurang mendukung proses demokratisasi. Teknokrat
136
adalah kaum yang dengan keahlian danpengetahuannya yang mendalam atas bidang-bidang tertentu bekerja
berdasarkan tujuan yang digariskan. Kata kuncinya adalah rasionalitas tujuan
131
Mereka sering disebut dengan “Mafia Berkeley” Karena Universitas tempat mereka mengambil gelar Phd, adalah Berkeley University USA. Dalam bresnan,hal 51-56,73-
75;RS.Milne,”Teknokrat dan Politik di Negara-Negara Asia Tenggara’,Prisma,no3Maret 1984, hal. 40. juga dalam Bruce Glassburner, Politik Ekonomi dan Pembangunan Orde Baru”, dalam H
W Arnandt ed, Pembangunan dan Pemerataan:Indonesia di masa Orde Baru Jakarta: LP3S,1988,HAL 117-118.
132
Abdul Azis Thaba, Op.Cit.,hal.201.
133
Sumber dari World Bank Report,no 5066-IND,1984, dikutip dalam Arief Budiman,Op.Cit.,hal 49.
134
Ibid.,hal 49.
135
Republika,9 Juni 1994.
136
Istilah technocracy muncul di AS pada tahun 1920an. Berasal dari suku kata tech yang berarti “ilmu’dan crach’memerintah’. Dengan demikian artinya ilmulah yang memerintah,
sedangkan ahli-ahli ilmu disebut teknokrat.
Universitas Sumatera Utara
sehingga segala tindakannya diarahkan kepada strategi pancapaian tujuan itu.
137
Bagi teknokrat, yang dipersoalkan buka “demokratis” atau “tidak demokratis”, tetapi yang dipersoalkan adalah “cocok” atau “tidak cocok”. Jika cocok, tanpa
demokrasipun mereka akan melakukanya. Pertimbangannya semata-mata pencapaian tujuan.
Sementara itu, militer yang menjadi unsur kekuatan dominan Orde Baru berkenyakinan, kesalahan system politik sebelumnya adalah terlalu berperannya
partai-partai politik yang terpolatisasi secara ideologis dan dipusatkannya perhatian pada pembangunan politik. Militer memandang perlu menekankan
pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru. Karena pembangunan ekonomi hanya bisa berlangsung apabila keadaan politik yang stabil. Oleh karena itulah
politik menjadi alat pencapaian stabilitas itu.
138
Demikianlah, dua main stream pemikiran berpadau untuk membangun Orde Baru. Penyusunan GBHN yang pertama misalnya, dikerjakan oleh para
teknokrat tanpa melibatkan wakil-wakil rakyat dalam MPRS. Memasuki PJP II, dalam kabinet Pembangunan VI, era teknokrasi mulai bergeser dengan tampilnya
para teknolog dengan tokoh Prof.Dr.Habibie. banyak pengamat yang memandang bahwa era Wijoyonomics berganti menjadi habibienomics. Indikatornya adalah
tampilnya para teknolog, seperti Habibie, Mar’ie Muhammad, J.Budiono, Ginanjar Karyasasmitha, Ssoedrajat Djiwandono, dan beberapa insinyur untuk
jabatan Menteri lainnya.
139
137
Defenisi ini diberikan oleh Ignas Kleden,” Model Rasionalisme Teknokrasi ”,prisma. No.3,Maret 1984.
138
Abdul Azis Thaba,Op.Cit.,hal.203.
139
Ibid,.hal 203.
Universitas Sumatera Utara
Pergeseran elite ini sebenarnya bukan disebabkan oleh kemampuan para teknolog menggeser para teknokrat, malainkan semata-mata karena Soeharto
mambutuhkan personil untuk mendukung strategi pembangunan yang diplotnya. Dengan diangkatnya Wijoyo sebagai penasehat ekonomi Presiden, maka dikotomi
“Wijoyonomics” dengan Habibienomics pun kehilangan relevansinya.
140
Pergeseran tersebut tidak terpengaruh apa-apa terhadap penciptaan iklim demokrasi. Keduanya tetap dalam satu “ideologi’, yaitu rasionalitas tujuan.
Perbedaanya, kaum teknokrat mengkehendaki pertumbuhan ekonomi secara bertahap dengan orientasi pasar bebas dan keunggulan kompratif. Strategi industri
berorientasi keluar. Sementara itu, kaum teknolog menekankan teknologi tinggi high tecnology, biaya tinggi dengan subsidi pemerintah, dan mengembangkan
industri-industri strategi yang padat modal. Prioritasnya pada subsidi impor sehingga cendrung proteksionistik.
141
Perkembangan perekonomian Indonesia dewasa ini membuktikan bahwa Habibienomics dan Wijoyonomics tidak ada. Sebab disamping tetpa mendukung
proyek ambisius Habibie, dipihak lain pemerintah juga menjalankan liberalisasi ekonomi, misalnya melalui berbagai paket deregulasi. Terakhir pemerintah
mengeluarkan PPB No.201994 yang menimbulkan kontroversi.
142
3.2.6 Stabilitas Politik
Pemabangunan ekonomi yang menjadi prioritas utama pembangunan memebutuhkan prasyarat-prasyarat tertentu. Dibidang politik, prasyarat itu adalah
stabilitas politik, yang ada pada dua decade pasca kemerdekaan merupakan barang
140
Ibid.,hal.,hal204
141
Ibid,.hal 204.
142
Ibid.,hal.204.
Universitas Sumatera Utara
mahal dan sulit tercipta.
143
Inilah yang menjadi sasaran utama pembangunan politik sehingga tekannya adalah pada pendekatan keamanan security approach,
bukan pendekatan kesejahtraan prosperity approach. “R’ason D’etrenya” adalah “keadaan kritis” yang terus dilestarikan. Unutk itu, dilakukan “pembagian tugas”.
Pihak militer menjalankan pendekatan keamanan, sedangkan teknokrat merupakan pembangunan ekonomi. Dirumuskanlah konsep AHGT Ancaman,
Hambatan, Gangguan dan Tangtangan dalam kehidupan bangsa “musuh” yang harus diatasi.
Dilihat dari kondisi objektif masyarakat Indonesia, timbulnya konflik adalah hal yang potensial. Sebagaimana diketahui, pembelaan sosial social
cleavage masyarakat Indonesia berdasarkan agama yang atas nama Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, dan Budha. Di dalam Agama Islam sendiri dikenal
dikotom santri abangan, dari ras, ada Pribumi dan non-Prbibumi. Dari segi etnis, ada suku Jawa, Bugis, Minang, Melayu, Sunda dan Sebagainya. Dari segi
kepulauan, ada Sumatera, Jawa, Sulawesi, NTT, NTB, Bali, Kalimantan dan lain- lain. Dari segi kelas ada golongan Kaya, Menengah, dan Miskin.
144
Pembelahan sosial yang demikian merupakan sumber terjadinya konflik yang mengganggu proses pembangunan bangsa nation building dalam rangka
penciptaan integrasi nasional, persatuan, dan kesatuan bangsa. Secara substansial
143
selama pemerintahan Indonesia pada tahun 1946-1967, tercatat memerintah 25 kabinet, dengan perincian: 7 kabinet bertahan selama 12-23 bulan, 12 kabinet selama 6-11 bulan, dan 6
kabinet selama 1-4 bulan. Dalam kurun waktu itu terjadi 45 aksi demonstran dan 85 huru-hara, sementara 615 orang tewas akibat kekeransan politik. Arbi sanit, Sistem Politik Indonesia, Jakarta
: Rajawali,1981.
144
Afan Gafaar, Pembangunan Kepemimpinan Masa Depan”, dalam Sofian Effendi dkk, Membangun Martabat Manusia, Peranan Ilmu-Ilmu Social Dalam Pembangunan
Yogyakarta:Gajah Mada University press,1992,hal 399.
Universitas Sumatera Utara
ikatan-ikatan primordial ini ini tidak mungkin dihilangkan karena kebudayaan nasional berdiri di atas “puncak-puncak” kebudayaan daerah.
145
Pendektan keamana adalah hal yang wajar dalam pembangunan politik suatu bangsa, termasuk di Indonesia. Namun, menjadi tidak wajar jika pendekatan
tersebut diberlakukan secara berlebihan dengan alasan yang diada-adakan, apalagi jika diterapkan untuk kepentingan suatu golongan. Konsep “musuh” hendaknya
ditempatkan sebagai “musuh Negara” bukan “di bawah Negara”.
146
Demokrasi parlementer dan Demokrasi Terpimpin, walaupun memiliki wajah berlainan, memiliki kesamaan dalam hal konflik politik yang bersifat
ideologis.
147
Konflik yang demikian sangat intens karena melibatkan ideology yang dinyakini kebenarannya secara fanatic oleh para pendukungnya. Geertz
menyimpulkan, konflik politik Indonesia sukar diselesaikan karena yang dipersoalkan adalah masalah-masalah primordial, bukan masalah politik
kekuasaan semata. Konflik terjadi antar kelompok primoldial yang berkisar pada masalah kesukuan, regionalisme, dan agama. Konflik yang berdasar pada
perbedaan ideology dan primordialisme berdifat mendalam dan sulit dipertemukan karena didalamnya terkandung nilai-nilai yang menuntut loyalitas
tanpa penawaran. Pencapaian dan pemeliharaan stabilitas nasional, dengan pengalaman
poltik sebelumnya, mengharuskan pemerintah dalam mengambil langkah-langkah sebagai berikut :
145
Abdul Azis Thaba,Op.Cit.,hal 205.
146
Ibid.,hal 205.
147
Cliffort Geertz, “The Intergative Revolution, Primordial Sentiments and Civil Politics in the New States”, dalam Cliffort Greetz ed. Old Societies and New States New York: Free Press,
1963, hal 105-157. Penilaian Geertz tersebut berdasarkan pengalaman politik dampai dengan awal tahun 1960-an.
Universitas Sumatera Utara
1. Menciptakan suatu tertib politik yang bebas dari konflik ideologis-politis.
Implementasinya adalah penyederhanaan parpol melalui fusi, sistem politik berdasarkan konsensus, penerapan asas tunggal Pancasila, dan lain-
lain. 2.
Membatasi partisipasi politik yang pluralistic. Partisipasi politik harus diarahkan pada penerapan program pembangunan yang dirancang oleh
elite politik.
3.2.7 Terbentuknya Hegemony Party System.
Seperti telah dikemukan, bahwa kekuatan politik politik Orde Baru didominasi oleh militer yang berkepentingan memperoleh basis massa guna
legitimasi rezim yang dibangunnya. Basis tersebut diperoleh melalui partai politik karena partai politik memiliki fungsi penghubung antara pemerintah dengan
masyarakat dan masyarakat dengan pemerintah
148
. Namun demikian, tidak mungkin merangkul partai politik yang ada pada saat itu. Trauma masa lalu adalah
salah satu penyebabnya. Menurut William Liddle, pemerintah Orde Baru yang didominasi oleh
militer memiliki persepsi yang khas terhadap partai politik, yaitu sebagai “pesaing dalam memperoleh kekuasaan, pemberi pandangan dunia yang lain dan penggerak
kesalahan rakyat”.
149
Alternatifnya pemerintah membesarkan Golongan Karya sambil “mengecilkan” partai-partai politik. Pilihan ini sangat wajar karena dalam
148
Mengenai fungsi-fungsi partai politik, antara lain baca Meriam Budiarjo ed. Partisipasi dan Partai Politik Jakarta : Gramedia,1981; Ichlasul Amal ed, Teori-teori Mutakhir Politik
Yogyakarta : Tiara Wacana,1983; Joseph la Palombara dan Myron Weiner, Political Paties and Political Devolepment Princenton University Press,1966; dan Maurice Duverger, Partai-partai
Politik dan Kelompok-kelompok Penekan Jakarta : Bina Aksara,1981
149
William Liddle, Partisipasi dan Partai Politik: Indonesia Pada Masa Awal Orde Baru. Jakarta : Grafiti Press,1992,hal 133.
Universitas Sumatera Utara
masa Demokrasi terpimpin, Angkatan Darat telah membangun sebuiah koalisi besar dan heterogen yang terdiri atas golongan-golongan fungsional di dalam
parlemen, yang dikordinir Sekretariat bersama Golkar sejak tanggal 22 Oktober 1964.
150
Peranan Ali Moertopo sangat besar dalam penciptaan kondisi dalam kemenangan Golkar melalui proses opsus operasi khusus, sebuah badan
intelejen di bawah Kostrad, dan Bapilu badan pengendali pemilu Golakr. Sampai-sampai Ali Moertopo menjadi simbol yang disegani dan sekaligus
ditakuti pada saat itu.
151
Pertama kali, Pemilu yang menurut rencana akan dilangsungkan pada tanggal 5 Juli 1968 sesuai dengan TAP MPRS No.XI1966
152
“terpaksa” diundurkan karena RUU yang mengatur pelaksanaannya belum dirampungkan
oleh pemerintah. Sebenarnya penundaan ini erat kaitanya dengan kekhawatiran pemerintah bahwa bila pemilu diadakan pada saat itu, partai politik akan tampil
sebagai pemenang. Di sisi lain, ada kemungkinan tamilnya kembali Bung Karno melalui PNI bila partai ini memenangkan pemilihan umum.
153
Kedua; Terciptanya konsensus nasional antara pemerintah dan partai politik.
154
Konsensus kedua ini berlangsung selama tiga tahun sejak RUU
150
Mas’oed, Op.Cit.,hal 162.
151
Mengenai peranan Ali Moertopo pada masa ini terdapat dalam Abdul Gafur, Pak Harto Pandangan dan Harapannya Jakarta : Pustaka Kartini,1987, juga dalam Tempo, 26 Mei 1984.
152
TAP MPRS No.XI1966 menetapkan bahwa pemilu yang langsung, umum,bebas, dan rahasia harus dilaksanankan selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli 1968. Untuk itu, pemerintah
bersama DPR diharuskan membuat UU tentang pemilu dan tentang susunan MPR,DPR dan DPRD selambat-lambatnya enam bulam sejak ditetapkannya TAP MPRS tersebut, tanggal 5 Juli 1968.
153
Pada tanggal 17 Agustus, Soekarno yang kekuasaannya semakin berkurang menantang Soeharto dkk, mengadakan pemilu untuk mengetahui kehendak rakyat. Pidato ini dikenal dengan
nama Jasmerah Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah.
154
Konsensus ini adalah konsensus yang kedua. Sebelumnya adalah consensus nasional berupa kedaulatan terhadap masyarakat dan pemerintah untuk melaksanankan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen. Consensus ini disebut consensus utama. Konsensusu kedau berkenaan dengan cara melaksanakan consensus utama yang telah dilembagakan melalui TAP
Universitas Sumatera Utara
disampaikan oleh pemerintah kedapa DPR-GR, November 1966 yang ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR-GR pada tanggal 16 Desember 1967
No.20PimpI67-68 yang menetapkan sebagai berikut : 1.
RUU tentang pemilu disahkan bersama-sama dengan RUU tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
2. Meteri RUU pemilu yang sudah selesai tidak akan dipersoalkan lagi.
3. 12 pokok konsensus yang telah di capai antara panitia khusus 3 RUU dan
pemerintah tetap dipegang teguh dan tidak akan dilakukan perubahan- perubahan.
Isi 12 konsensus tersebut adalah sebagai berikut : a.
Jumlah anggota DPR tidak boleh ngomro-ombro. b.
Adanya balance perimbangan yang baik antara jumlah perwakilan pulau Jawa dan luar Jawa.
c. Faktor jumlah penduduk yang diperhatikan.
d. Adanya anggota yang diangkat di samping anggota yang dipilih.
e. Setiap kabupaten dijamin minimal 1 wakil.
f. Persyaratan mengenai domisili dihapuskan.
g. Yang diangkat adalah perwakilan ABRI maupun non-ABRI : telah
disepakati bahwa untuk non-ABRI harus non-massa. h.
Jumlah anggota DPR ditetapkan 460 orang, terdiri atas 360 orang dipilih melalui pemilihan umum dan 100 orang diangkat.
i. Sistem pemilihan adalah proportional representation yang
sederhana.
MPRS No.XX1966. Periksa dalam Nuggroho Notosusanto ed, Terciptanya Konsensus Nasional 1966-1989 . Jakarta: Balai Pustaka, 1985 cetakan III,hal.32-42.
Universitas Sumatera Utara
j. Stelsel pemilihan adalah lijenstelesl.
k. Daerah pemilihan daerah tingkat I.
155
Ketiga, Penguatan Golkar 1 mula-mula angkatan Darat menempatkan orang-orangnya dalam pimpinan Sekber Golkar dan melakukan reorganisasi
dengan membuat kino-kino dalam Golkar untuk menampung kelompok independentintelektual yang ada dalam koalisi semula. 2 dikeluarkannya
peraturan Mendagri No.121969 dan PP No.6 Tahun 1970 tanggal 11 Februari 1970 tentang larangan pegawai negeri menjadi anggota parpol. 3 Menuntut
monoloyalita dengan hanya memberikan dukungan kepada Golkar, kecuali ada izin khusus dari pimpinannya bila ingin terlibat dalam Golkar Parpol. dan 4
Membangun organisasi ondrebouw melalui jaringan korporatis untuk menggalang massa, seperti Korpri untuk pegawai negeri, AMPI dalam organisasi kepemudaan,
dan GUPPI untuk ulama. Berikut adalah tujuan hegemonisme Golkar :
1 Melemahkan sistem kepartaian sambil memperbesar dominasi Negara
dengan militer sebagai faktor utama serta menghilangkan dominasi parlemen.
2 Memperkenalkan kepada masyarakat simbol-simbol pembangunan dan
modernisasi. 3
Membangun legitimasi formal untuk Negara dalam rangka mengefektifkan kontrol dan kooptasi terhadap masyarakat.
156
Keempat, Program “penggarapan” partai-partai politik yang dianggap dapat menghambat kemenangan Golkar dalam pemilu, seperti PNI
157
dan NU
158
.
155
Ibid.hal 52-53.
156
Julian M.Boileau, Golkar : Function Group Politics ini Indonesia ,Jakarta : CSIS, 1983,hal 91.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah kemudian melarang berdirinya kembali partai politik Masyumi yang banyak memperoleh dukungan massa dalam pemilu 1955 dan hanya mengizinkan
pendirian partai dengan nama Parmusi. Itu pun dengan syarat, pimpinan Masyumi yang lama tidak duduk sebagai pengurus Parmusi. Nasib yang sama menimpa
Partai Sosialis Indonesia, partai elitis yang anggotanya terdiri atas para intelektual yang berpengaruh.
Kelima, Penyederhanaan sistem kepartaian dengan melakukan fusi partai menjadi dua parpol : PPP dan PDI, ditambah dengan Golongan Karya. Nyatanya,
fusi partai inilah yang menjadi pangkal konflik internal karena unsur-unsur dalam partai selalu bersaing memperebutkan kursi dan pengaruh.
159
Selanjutnya, dibuat UU Pemilu yang menguntungkan Golkar dan merugikan parpol yaitu : UU Pemilu
tahun 1969, UU No.31975, perbaikannya UU No.51985. Dalam UU ini antara lain terdapat “konsep massa mengambang” floating mass
160
dan ditetapkannya kedudukan mendagri sebagai Pembina politik Dalam Negeri yang dapat ikut
campur tangan terhadap persoalan internal orsopol.
161
157
Unsur-unsur Soekarno dalam PNI disingkirkan dan diganti dengan orang-orang yang loyal kepada rezim yang baru. Nazaruddin Syamsudin,PNI dan Kepolitikannya. Jakarta : rajawali,
1985., juga dalam J Eliseo Ecomora, Nasionalisme Mencari Ideologi, Jakarta : Grafiti Press, 1991.
158
Dalam NU mereka yang bersimpati kepada Piagam Jakarta dalam Konstituante mulai dikurangi perannya, sedangkan KH Idham Chalid yang akomodatif dipertahankan.
159
Mengenai konflik didalam tubuh PPP terdapat dalam buku yang ditulis oleh Syamsudin Haris, PPP dan Peta Politik Orde Baru Jakarata : Grasindo.1991. untuk PDI, dan juga Adriana
Elisabet Sukamto dkk, PDI dan Prospek Pembangunan Politik Jakarta: Rajawali,1983, juga M.Rusli Karim, Perjalanan Partai-partai Politik, Sebuah Potret Pasang Surut.Jakarta : Rajawali,
1983.
160
Kebijakan massa mengambang tersebut merugikan parpol karena memangkas komunikasi politiknya dengan lapisan masyarakat terbawah. Sedangkan bagi Golkar hal ini tidak menjadi
masalah karena aparat pemerintah tingkat kelurahan desa beserta “hansip-hansipnya” adalah anggota Golkar.
161
Mengenai dampak UU No.51985 terhadap kehidupan orsospol, terdapat dalam usulan Maswadi Rauf, “ masa depan pembangunan politik Indonesia : Beberapa Masalah Organisasi
politik”, dalam Alfian dan Nazaruddin Syamsudin, Masa Depan Kehidupan Politik Indonesia. Jakarta : Rajawali, 1988. hal 37-55.
Universitas Sumatera Utara
Keenam, Manajemen pemilu yang khas dengan melibatkan birokrasi yang besar dan dominan sebagai penyelenggara pemilu, sekaligus sebagai kekuatan
politik yang tidak netral. Sementara itu, militer sebagai alat pengaman pemilu dalam waktu yang bersamaan menjadi organ kekuatan politik pendukung Golkar.
Dalam proses pencalonan anggota parlemen, para calon tersebut berusaha “mengidentifikasikan” dirinya dengan kemauan pemerintah.
162
Sejak pemilu pertama dalam Orde Baru tahun 1971 terbentuklah sistem kepartaian yang hegemonic atau Hagemonic Party System HPS. Konsep ini
pertama kali diperkenalkan oleh La Palombara dan Weiner 1966.
163
HPS tercipta jika suatu parpol mendominasi proses politik suatu Negara dalam kurun
waktu yang lama.
164
Lebih jauh Wiatr 1976, 1970, berdasarkan penelitiannya di Polandia, mengatakan bahwa HPS terletak di antara sistem partai dominan dan
sistem satu partai.
165
Di dalam HPS eksistensi partai-partai politik dan organisasi sosial diakui tetapi perannya dibuat seminimal mungkin, terutam dalam
pembentukan pendapat umum.
166
Sartori 1976 yang datang kemudian memberikan penjelasan yang lebih komprehensif :
“ Partai hegemonic tidak akan membiarkan untuk terjadinya kompetisi baik yang bersifat formal maupun aktual. Partai-partai yang lain diadakan
hanyalah sebagai partai kelas dua dan sekedar diberi lisensi, yang karena mereka tidak akan diperkenankan untuk berkompetisi yang antagonistic
dan basis yang sama. Di dalam kenyataannya perubahan tidak hanya tidak diperkenankan bahkan tidak dapat dilakukan, karena kemungkinan untuk
terjadinya rotasi kekuasaan tidak pernah terpikirkan. Implikasinya adalah partai hegemonic akan tetap berkuasa apakah ia disukai atau tidak… tak
ada sanksi yang membuat partai hegemonic menjadi responsif. Apapun
162
Riswandha Imawan, Proses Pencalonan dan Calon dalm Pemilu 1992, makalah dalam seminar Nasional IX AIPI, Surabaya,6-8 Agustus 1992.
163
Afan Gaffar, Javanese Voters,a Case Study of Election under a Hegemonic Party Sysrem, Yogyakarta: UGM Press, 1992, hal 36.
164
Ibid,hal 36.
165
Ibid,hal 36-37.
166
Ibid,hal 37
Universitas Sumatera Utara
kebijaksanaannya, dominasinya tak pernah ditantang, tidak hanya perubahan segala bentuk premise tentang kompetisi pun
dikesampingkan.”
167
Dengan landasan berfikir demikianlah, Dr. Afan Gafar menyimpulkan bahwa sistem kepartaian di Indonesia semenjak masa Orde Baru 1971 adalah
hegemonic party system HPS,
168
dengan Gokar sebagai partai politik dominan, sedangkan PPP dan PDI hanya berfungsi arti fisial. Dalam bahasa Deliar Noer,
sistem kepartaian demikian disebut “ Sistem kepartaian setengah partai “.
169
Hegemonic party system tercipta karena dukungan beberapa factor yaitu
170
1 Dibentuk aparatur keamanan yang represif dengan tugas menjaga
ketertiban dan mempertahankan aturan politik dan stabilitas Negara. Starbilitas politik telah menjadi “bahasa resmi” dalam setiap kebijakan
pemerintah dan militer sejak awal Orde Baru sampai saat ini. 2
Proses depolitisasi massa supaya Negara dapat memusatkan perhatian pada pembangunan ekonomi. Aktifitas mobilasasi massa dalam proses
politik yang biasanya dilakukan oleh parpol pada masa lalu selalu diusahakan tidak lagi terjadi. Massa “diasingkan” dari arena politik.
3 Emaskulasi dan Restrukturisasi partai-partai politik yang dominan.
Emaskulasi politik adalah pengebirian partai-partai politik, tentunya selain Golkar, terutama sebelum pemilu. Inilah yang dialami PNI dan
Masyumi ketika ingin berdiri sebagai parpol.
167
Ibid,hal 37.
168
Ibid,hal 38.
169
.
Dalam Deliar Noer, Ideology, Politik dan Pembangunan, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983, hal, 73. menurut Deliar Noer, sistem kepartaian ini ditandai oleh dominasi satu proses
orsospol Golkar, sedangkan parpol PPP dan PDI hanya sebagai pemanis.
170
Afan Gaffar., Op.Cit.,hal 37-49.
Universitas Sumatera Utara
4 Dikeluarkannya hokum-hukum pemilu dan aturan pemirintah
sedemikian rupa untuk memungkinkan partai yang didukung pemerintah militer Golkar selalu menang dalam pemilihan umum,
seperti proses seleksi calon, kampanye, dan interpensi pemerintah dalam kehidupan parpol.
Terdapat beberapa dampak Hegemonic Party System bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Pertama, Dalam sistem HPS fluktuasi suara tidak dapat
dijadikan indikator demokrasi karena perebuatan suara diantara ketiga OPP hanya mencakup sekian persen
171
dan terbatas pada daerah-daerah tertentu. Penelitian Ipong Syaiful Azar menyebutkan :
“Pola hubungan antara sistem pemilihan umum dengan sistem kepartaian yang berkembang di indonesia pada masa orde baru yang hingga sekarang
belum tergoyahkan adalah pola dimana sistem pemilihan umum dan sistem kepartaian berada dibawah subordinasi factor Z, yaitu suprastruktur
politik yang secara real menjadi kukuatan inti sistem politik.”
172
Kedua, Sebagai konsekuensinya, dinamika terjadi dalam partai politik sebenarnya bukan “faktor pengaruh” atau Independent Variable terhadap peningkatan
kualitas demokrasi, karena semua aturan main yang ada diciptakan untuk memelihara hegemonic party system. Ketiga, Golkar menjadi kekuatan mayoritas
di DPR, apalagi ditambah dari anggota ABRI yang diangkat. Dalam lima kali pemilu, komposisi keanggotaan FKP dalam parlemen selalu diatas 50 .
171
Dalm rangka memenuhi tugas mata kuliah “ perbandingan Perilaku Politik” Ipong Syaiful mengadakan penelitian tentang pemilu-pemilu Orde Baru. Salah satu simpulnya, suara yang
diperebutkan dalam setiap pemilu Orde Baru hanya 14.04 . Perhiutnganya bedasarkan suaru minimal yang diperoleh OPP dalam mlima kali pemilu dipandang sebagai pendukung setianya
yang diasumsikan tidak akan beralih. PPP 15,97hasil pemilu 1987, Golkar 62,11hasil pemilu 1971 dan PDI 7,88hasil pemilu 1982, total 85.94. sedangkan yang 14,04 itulah
yang menentukan fkultuasi suara OPP, terdiri atas pemilih-pemilih muda, pemilih yang masih mengambang suarnya, dan golpot.
172
Syaiful Azhar,Hubungan antara Sistem Pemilihan UMUM dengan Sisrem Kepartaian dan Implikasinya bagi Eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia pada Masa
Orde Baru, tesis S-2, Program Pasca Sarjana UGM Yogyakarta, 1992.
Universitas Sumatera Utara
Digabungkan dengan fraksi ABRI, maka persentasenya selalu diatas 71. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1 Prosentase Perimbangan Kekuatan di DPR RI
Hasil Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1922 Pemilu FKP FPPP FPDI FABRI
FKP+FABRI 1971 51.30 20.44 6.52 21.74 73.04
1977 50.43 21.52 6.31 21.74 72.17 1982 53.47 20.44 5.21 20.80 74.80
1987 59.80 12.20 8.00 20.00 79.80 1992 56.40 12.40 11.20 20.00 76.40
Sumber; Hasil Pengolahan Data dari lembaga Pemilihan Umum, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992.
Dengan komposisi parlemen yang tidak seimbang ini, fungsi parlemen sebagai kontrol eksekutif sebagaimana layaknya dalam sistem pemirintahan yang
demokratis, tidak berjalan. Sebab FKP dan FABRI adalah “perpanjangan tangan” DPP Golkar dan Mabes ABRI.
173
Sementar itu, kedua institusi berada dibawah subordinasi kepala Negara Presiden sebagai ketua dewan Pembina Golkar dan
panglima tertinggi ABRI, sekaligus sebagai kepala pemirintahan.
173
Sebagai akibat dari sistem pemilu proporsional, maka hanya pemilih tanda gambar sedangkan anggota-anggota parlemen ditunjuk oleh orsospolnya. Logikanya, mereka yang
ditunjuk lebih terikat kepada petunjuknya, bukan kepada massa pemilih. Tipe perwakilan yang ditunjuk lebih terikat kepada penunjuknya, tipe seperti ini disebut tipe perwakilan partisipan atau
tipe wali. Dengan adanya hak recall, hubungan ini dipelihara. Secara berseluruh, ada yang mengatakan DPR adalah ”Dewan Perwakilan Orsospol” sebab anggotanya semuanya ditunjuk oleh
orsospol, bukan pilihan rakyat. Lantas yang mana DPR? Tanda-tanda gambar, karena itulah dipilih” walaupun seloroh ini berlebihan, ia dapat menggambarkan adanya ketidak puasan rakyat
terhadap lembaga yang mewakilinya tersebut. Mengenai hal ini terdapat juga dalam Bintan R saragih, Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia,Jakarata: Perintis Press,1985
dan arbi sanit, Perwakilan Politik di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PEMBAHASAN DAN ANALISIS