Sistem Rumah Tangga Otonom (RTO)
3. Sistem Rumah Tangga Otonom (RTO)
Meskipun dalam UU No. 6/2014 tentang Desa tidak disebutkan secara eksplisit tentang otonomi desa, akan tetapi beleid ini mengamanatkan kewenangan yang besar terhadap desa, beserta hak-hak keuangan- nya. Berpijak pada asas rekognisi dan subsidiaritas yang menjadi dua asas utama UU No. 6/2014, desa kini mempunyai kewenangan yang lebih bersifat substantif, yaitu kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Dengan demikian, desa mem- punyai wewenang untuk berinisiatif dan mengambil keputusan da- lam mengatur dan mengelola rumah tangganya sendiri bagi kepenti- ngan masyarakatnya. Oleh karena itu, desa mempunyai kewenangan untuk menyusun regulasi internalnya sendiri selama tidak bertenta- ngan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi. Begitu pula dengan daerah yang lebih dulu mendapat kewenangan dalam beberapa urusan pemerintahan di daerah seiring dengan berlakunya kebijakan desentralisasi melalui UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diper- baharui melalui UU No. 32/2004, dan yang terakhir UU No. 23/2014. Berdasarkan undang-undang yang mengaturnya, baik desa maupun daerah, tentunya mempunyai bentuk, ruang lingkup, skala dan dera- jat kewenangan yang berbeda satu sama lain, sesuai dengan karakte- ristik desa dan daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-un- dangan yang berlaku.
Terkait dengan bentuk-bentuk kewenangan, dalam semesta teori desentralisasi dalam konteks otonomi daerah yang juga relevan dalam Terkait dengan bentuk-bentuk kewenangan, dalam semesta teori desentralisasi dalam konteks otonomi daerah yang juga relevan dalam
a. Ajaran rumah tangga materiil
Rumah tangga materiil merupakan suatu sistem dalam penyerah- an urusan rumah tangga pemerintahan yang bersifat terbatas dan kaku. Sistem ini mensyaratkan adanya pembagian tugas yang rinci dan tegas antara pemerintah pusat dan daerah dalam un- dang-undang. Oleh karena itu, kewenangan setiap daerah yang meliputi tugas-tugas ditentukan satu per satu secara nominatif. Hal ini berarti urusan yang tidak termasuk dalam rincian tersebut maka tidak termasuk pula ke dalam urusan rumah tangga dae- rah. Daerah yang bersangkutan tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur kegiatan di luar urusan yang sudah diperinci atau ditetapkan dalam undang-undang.
Pembagian tugas demikian didasarkan pada suatu pandangan bahwa ada suatu perbedaan tugas yang mendasar antara nega- ra dan daerah-daerah otonom dalam menjalankan pemerintahan dan memajukan kesejahteraan masyarakat. Sebagai masyarakat hukum yang lebih kecil daerah otonom mempunyai urusan-uru- san sendiri yang secara prinsipil berbeda dengan dengan urusan negara sebagai kesatuan masyarakat hukum yang lebih besar dan berada di atasnya. Negara dan daerah-daerah otonom ma sing- masing mempunyai urusan sendiri yang spesiik.
Singkatnya, setiap langkah daerah tidak dapat keluar dari apa yang sudah tercantum dalam undang-undang. Oleh karena itu, sistem berdasarkan ajaran ini menjadi terkesan kaku karena menyebabkan daerah tidak mempunyai ruang yang memberi keleluasaan untuk mengembangan inisiatifnya sendiri, kecuali yang terkait dengan urusan-urusan yang ditetapkan menjadi uru- san rumah tangganya, sesuai dengan tingkatan dan ruang ling- kup pemerintahannya. Umumnya kritik yang muncul terhadap sistem ini didasarkan pada argumen bahwa sistem ini tidak me- ngajarkan kepada daerah untuk berani berinisiatif dan mengem- bangkan potensi wilayah di luar urusan yang tercantum di dalam undang-undang pembentukannya. Padahal, prinsip dan tujuan utama otonomi daerah adalah untuk mewujudkan kebebasan dan berprakarsa dalam memilih alternatif pengambilan keputus- an suatu kebijakan di daerah.
b. Ajaran rumah tangga formil
Berbeda dengan rumah tangga materiil, menurut ajaran rumah tangga formil tidak ada pembedaan sifat dalam pembagian uru- san atau kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah-dae- rah otonom. Hal ini berdasarkan pada satu asumsi bahwa seti- ap urusan yang dapat dikerjakan oleh suatu masyarakat hukum, pada prinsipnya juga dapat dilakukan oleh masyarakat hukum yang lain. Pembagian urusan lebih didasarkan atas pertimbang- an-pertimbangan yang rasional dan praktis. Alih-alih karena ma- teri yang diatur berbeda sifatnya, menurut ajaran rumah tangga formil, kepentingan daerah akan lebih efektif dan eisien bila diurus sendiri oleh setiap daerah dari pada oleh pemerintah pu- sat. Oleh karena itu, urusan yang menjadi kewenangan daerah tidak ditetapkan secara apriori melainkan sepenuhnya tergan- tung pada pada inisiatif dan prakarsa daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, urusan rumah tangga daerah tidak diperinci se- cara nominatif di dalam undang-undang pembentukannya, teta- pi ditentukan dalam suatu rumusan umum yang memuat prin- sip-prinsipnya saja. Sedangkan, ketentuan lebih lanjut diserahkan kepada inisiatif daerah yang bersangkutan.
Dari segi ini, tampak bahwa bentuk otonomi atau kewenangan da- lam sistem rumah tangga formil memberi keleluasaan kepada pe- merintah daerah untuk mengelola dan mengambil inisiatif, serta mengembangkan berbagai alternatif terkait pengambilan keputu- san dalam segala bidang yang menjadi kepentingan daerah yang bersangkutan. Hanya saja, keleluasaan pemerintah daerah dalam sistem ini tetap ada pembatasan. Pertama, pemerintah daerah ha- nya boleh mengatur urusan yang tidak atau belum diatur dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Kedua, bila kemudian negara atau pemerintah daerah yang le- bih tinggi mengatur suatu urusan yang semula sudah diatur oleh daerah yang lebih rendah, peraturan daerah yang lebih rendah tersebut dinyatakan gugur.
Selain itu, meski memberi keleluasaan kepada daerah untuk berprakarsa mengembangkan potensj daerahnya, sistem model ini tetap tidak luput dari kelemahan. Kelemahan tersebut justru karena sistem ini tidak atau kurang memberi kesempatan kepada pemerintah pusat untuk mengambil inisiatif guna menyeimbang- kan pertumbuhan dan kemajuan antar daerah yang kondisi dan
potensi ekonomi dan sosiograisnya beragam. Asumsi liberal dan sikap lepas tangan pemerintah dalam berhubungan dengan dae- rah ini pada gilirannya membawa bumerang. Sebab, alih-alih men- potensi ekonomi dan sosiograisnya beragam. Asumsi liberal dan sikap lepas tangan pemerintah dalam berhubungan dengan dae- rah ini pada gilirannya membawa bumerang. Sebab, alih-alih men-
c. Ajaran rumah tangga riil
Sistem ini merupakan sintesa antara ajaran rumah tangga materiil dan ajaran rumah tangga formiil. Konsep rumah tangga riil berpi- jak pada satu pandangan atau pemikiran yang mendasarkan diri pada kondisi dan faktor-faktor nyata di lapangan untuk mencapai keseimbangan antara tugas dengan kemampuan dan kekuatan, baik yang ada pada daerah maupun pusat. Dalam sistem ini, pe- merintah pusat memperlakukan pemerintah daerah sebagai ba- gian dari pusat. Namun, meskipun pemerintah pusat mempunyai tanggung jawab yang besar, ia lebih cenderung memberikan ke- percayaan teknis kepada masyarakat. Oleh karena itu, menurut sistem ini, derajat intervensi pemerintah pusat terhadap daerah sangat tergantung kepada seberapa besar kemampuan daerah itu sendiri dalam mengemban suatu tugas. Dalam sejarah evolusi pe- merintah daerah, penerapan sistem yang menyerupai sistem ru- mah tangga riil udah dilakukan melalui UU No. 1 Tahun 1957 dan UU No. 18 Tahun 1965.
Secara umum, menurut Koswara Kertapraja (2012), terdapat be- berapa peluang dari sistem rumah tangga riil ini, yaitu:
1) Sistem rumah tangga riil memberikan kesempatan kepada daerah yang beragam untuk menyesuaikan pelaksanaan otonomi atau kewenangan yang dimilikinya dengan kondi- si dan potensi daerahnya masing-masing.
2) Sistem ini berlandaskan kepada faktor-faktor yang nyata di daerah dan memperhatikan keadaan khusus ( local spesiic) daerah.
3) Sistem ini mengandung leksibilitas tanpa mengurangi ke- pastian, sehingga daerah bebas berprakarsa mengembang- kan modal pangkal yang sudah ada, dengan memperoleh bimbingan/pembinaan tanpa melepaskan pengawasan pu- sat.
4) Derajat pembinaan dan intervensi pemerintah pusat tergan- tung kepada kemampuan pemerintah daerah sendiri.
5) Prakarsa untuk mengembangkan di luar modal pangkal bisa dilakukan selama tidak bertentangan dengan atau be- lum/tidak diatur oleh pusat atau daerah yang tingkatannya lebih tinggi.
6) Sistem ini memperhatikan pemerataan dan memelihara keseimbang a n laju pertumbuhan antar daerah.
Berdasarkan ketiga konsepsi bentuk-bentuk hubungan kewenang- an di atas, untuk keperluan penelitian ini disederhanakan menja- di dua bentuk hubungan kewenangan saja, yaitu hubungan ke- wenangan berdasarkan sistem RTO materiil dan sistem RTO riil. Hal ini berdasarkan analisis yang menunjukkan bahwa kedua bentuk sistem RTO tersebut merupakan yang paling relevan un- tuk mengkerangkai atau memberi bingkai pada konstelasi hubu- ngan kewenangan pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam konteks sistem ketatanegaraan yang berlaku di republik ini pada masa sekarang.