Analisis Hubungan Kewenangan Pemerintah. pdf

Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa

Tim Peneliti Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara 2016

Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

© Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2016

Editor: Rusman Nurjaman

Tim Penulis: Riyadi, Ani Suprihartini, Rusman Nurjaman, Suryanto, Widhi Novi- anto, Edy Sutrisno, Maria Dika, Rico Hermawan, Tony Murdianto Hidayat

Tim Pendukung: Tri Murwaningsih, Nurlina, Dewi Prakarti Utami.

Desain Sampul: Mustofa Layout: Maria Dika, Tony Murdianto Hidayat

Diterbitkan oleh: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara Jalan Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110 Telp. 021 3868201-05 Ext. 112-116, Fax. 021 3866857 Email: [email protected] Website: dkk.lan.go.id

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Rusman Nurjaman (Editor).

Cetakan I, Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah LAN RI, Jakarta ISBN: 978-979-1301-35-0

Ukuran buku : 17,6 x 25 cm

Sambutan Kepala Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia

Distribusi uang negara (APBN) untuk desa, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 6/2014 tentang Desa (Undang-Undang Desa), me- rupakan stimulus untuk membangun desa yang kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Tugas pemerintah desa adalah bagaimana me nempatkan Dana Desa tersebut sebagai instumen untuk mewujudkan cita-cita di atas. Tentunya sebagai bagian dari hak keuangan desa, sebagaimana diatur dalam undang-undang, pengelolaan Dana Desa bertumpu pada akunta- bilitas lokal. Dengan memperhatikan kondisi desa yang beragam, penge- lolaan Dana Desa harus disesuaikan juga dengan kapasitas pemerintah (perangkat) desa berdasarkan tipologi desa, baik antara desa-desa di Jawa maupun di luar Jawa. Tantangannya adalah bagaimana menciptakan sistem pengelolaan keuangan desa, termasuk Dana Desa, yang sederhana namun menjamin akuntabilitas dan transparansi dalam proses pengelo- laannya.

Terkait dengan peran supradesa dalam pengelolaan Dana Desa, Un- dang-Undang Desa sudah memberikan suatu pedoman umum. Namun menjadi penting untuk memeriksa kembali seluruh peraturan teknis pelaksanaan Undang-Undang tersebut, terlebih ketika hendak melihat bagaimana hubungan kewenangan antara pemerintah supradesa dan peme rin tah desa dalam pengelolaan Dana Desa. Dan, inilah yang menjadi sumbangan dari kajian ini.

Setelah tiga tahun, implementasi Undang-Undang Desa memang per- lu ditengok kembali dan direleksikan ulang. Berbagai capaian penting tentu harus menjadi inspirasi dalam merumuskan kebijakan yang lebih baik di masa depan. Sebaliknya, berbagai hambatan yang muncul karena satu dan lain hal, seperti fragmentasi regulasi, misal nya, maka jelas hal ini membutuhkan perbaikan segera agar pengelolaan Dana Desa dapat ber- jalan efektif-eisien, transparan dan akuntabel sehingga dapat mengakse- lerasi terwujudnya cita-cita undang-undang. Semangat dan orientasi se- Setelah tiga tahun, implementasi Undang-Undang Desa memang per- lu ditengok kembali dan direleksikan ulang. Berbagai capaian penting tentu harus menjadi inspirasi dalam merumuskan kebijakan yang lebih baik di masa depan. Sebaliknya, berbagai hambatan yang muncul karena satu dan lain hal, seperti fragmentasi regulasi, misal nya, maka jelas hal ini membutuhkan perbaikan segera agar pengelolaan Dana Desa dapat ber- jalan efektif-eisien, transparan dan akuntabel sehingga dapat mengakse- lerasi terwujudnya cita-cita undang-undang. Semangat dan orientasi se-

Daerah berusaha memberikan suatu rekomendasi kebijakan kepada Pe- merintah dan pemerintah daerah, serta para pihak terkait, untuk mem- perkuat pelaksanaan implementasi Undang-Undang Desa, terutama da- lam pengelolaan Dana Desa. Semoga hasil kajian ini dapat bermanfaat dan turut memberikan kontribusi positif bagi pemerintah dan seluruh para pihak pemangku kepentingan lainnya.

Jakarta, Desember 2016

Dr. Adi Suryanto, M.Si

Kata Pengantar

Bismillahirrohmaanirrahiim. Assalamu’alakium warhmatullahi wabarakaatu.

Genap dua tahun sudah implementasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa berjalan. Dalam rentang waktu tersebut, telah banyak pen- capaian penting yang berharga terkait praktik-praktik implementasi Un- dang-Undang Desa dari seluruh pelosok tanah air. Undang-Undang No. 6/2014 tentang Desa menegaskan tentang eksistensi desa dan desa adat, sistem pemerintahan dan tatakelola desa, kewenangan, aset desa, keuang- an desa, pembangunan, perencanaan dan penganggaran.

Dari sekian banyak permasalahan tentang Desa, masalah keuangan Desa menjad salah satu hal yang sangat penting, mengingat Pemerintah saat ini memiliki perhatian yang sangat besar terhadap Desa, salah satunya

de ngan diberikannya Dana Desa secara signiikan. Karena itulah, maka fokus kajian PKDOD LAN kali ini menyangkut keuangan desa, khusus- nya yang berasal dari redistribusi uang negara melalui skema transfer langsung dari APBN untuk desa atau yang disebut Dana Desa sebagai salah satu amanat Undang-Undang Desa.

Dana Desa merupakan salah satu instrumen atau stimulan dari misi besar Undang-Undang Desa untuk membangun desa yang kuat, maju, mandi- ri dan demokratis sebagai landasan yang kokoh untuk pencapaian kes- ejahteraan rakyat. Meskipun bersifat transfer dari APBN, namun Dana Desa bukan bersifat bantuan namun merupakan hak desa, yang diang- garkan ke dalam APBDes (“Rezim Desa”) untuk membiayai kewenangan asal-usul dan kewenangan lokal desa, baik di bidang pemerintahan, pem- bangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa.

Kajian ini menaruh perhatian pada pengelolaan Dana Desa, peran peme- rintah supradesa (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota), dan pengaturan teprkait pengelolaan dana tersebut, terutama dari sisi hubungan kewena- ngan antar level pemerintahan. Memang menjadi penting untuk melihat sejauhmana berbagai peraturan yang ada saat ini telah sejalan dengan se- mangat Undang-Undang Desa yang bertumpu pada asas rekognisi dan subsidiaritas.

Kajian ini juga berangkat dari adanya kesangsian publik tentang efekti- vitas pengelolaan Dana Desa (DD). Jika merujuk pada Undang-Undang Desa, pengelolaan Dana Desa bertumpu pada akuntabilitas lokal. Oleh karena itu, dari sisi regulasi, menjadi penting untuk menelisik lebih jauh bagaimana konsistensi antara undang-undang dan regulasi turunannya, baik di level Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, hingga Peraturan Daerah/Kepala Daerah.

Adapun dari sisi kelembagaan, kajian ini menelisik bagaimana peluang untuk mengoptimalkan perangkat kecamatan dalam menjambatani relasi pemerintah kabupaten dengan pemerintah desa, khususnya dalam penge- lolaan Dana Desa. Untuk itu, penting dilihat sejauhmana mata rantai pera- turan yang ada dari pusat hingga daerah dalam menempatkan dan meng- optimalkan peran kecamatan tersebut.

Sebagai upaya dalam memberi rekomendasi kebijakan kepada Pemerin- tah dan para pihak terkait isu di atas, Pusat Kajian Desentralisasi dan Oto- nomi Daerah (PKDOD), pada tahun ini melakukan kajian tentang hubu- ngan kewenangan antara pemerintah desa dan pemerintah supradesa dalam pengelolaan Dana Desa. Kajian ini mengembangkan analisis yang bertumpu pada berbagai konsepsi yang relevan, pemetaan regulasi, dan kondisi faktual hubungan kewenangan dalam pengelolaan dana desa. Untuk menjawab berbagai persoalan yang ada, baik di level substansi maupun implementasi kebijakan, kajian ini juga menawarkan suatu mo- del ideal dalam pengelolaan Dana Desa berdasarkan perspektif hubungan kewenangan antar level pemerintahan, beserta instrumentasi kebijakan untuk mewujudkan model tersebut. Sebagai bagian dari komitmen PK- DOD dalam mengawal implementasi Undang-Undang Desa, kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para pihak terkait dalam pelaksanaan Undang-Undang Desa.

Sehubungan dengan hal tersebut, kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besar nya kepada Kepala LAN, yang telah memberikan dukung an dan support kebijakannya dengan memberikan kesempatan kepada kami untuk mengkaji permasalahan ini. Seluruh anggota Tim Kajian yang te lah berupaya keras untuk mewujudkan dan melaksanakan kegiatan secara optimal, saya sampaikan penghargaan dan apresiasinya.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan pula kepada seluruh narasumber, lembaga mitra (lembaga pemerintah dan organisasi masya- rakat sipil), dan para pihak lainnya yang, dengan caranya masing-ma sing, telah ikut berkontribusi dan membantu proses penyusunan laporan ka- jian ini. Semoga hasil kajian ini dapat memberikan manfaat bagi upaya pencarian solusi atas berbagai isu dan tantangan dalam pelaksanaan Un- Terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan pula kepada seluruh narasumber, lembaga mitra (lembaga pemerintah dan organisasi masya- rakat sipil), dan para pihak lainnya yang, dengan caranya masing-ma sing, telah ikut berkontribusi dan membantu proses penyusunan laporan ka- jian ini. Semoga hasil kajian ini dapat memberikan manfaat bagi upaya pencarian solusi atas berbagai isu dan tantangan dalam pelaksanaan Un-

Jakarta, Desember 2016 Deputi Bidang Kajian Kebijakan Lembaga Administrasi Negara

Dr. MuhammadTauiq, DEA

Daftar Isi

Sambutan Kepala LAN iii Kata Pengantar

v Daftar Isi

ix Daftar Tabel dan Bagan

xi Ringkasan Eksekutif

xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Pertanyaan Penelitian

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat dan Hasil Kajian

E. Ruang Lingkup Kajian

BAB II TINJAUAN KONSEPTUAL

A. Kerangka Konseptual

1. Kedudukan dan Kewenangan Desa

2. Jenis-jenis Kewenangan

3. Sistem Rumah Tangga Otonom (RTO)

4. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (Good

19 Village Gov er nance )

5. Kebijakan Publik

6. Pemerintahan Desa dalam Perspektif Kebijakan 23 Pu blik

7. Tipologi Desa

B. Kerangka Pikir Kajian

C. Penelitian Terdahulu

BAB III METODOLOGI

A. Jenis Penelitian

B. Metode Pengumpulan Data

1. Kajian Literatur dan Pemetaan Kebijakan

2. Diskusi Terbatas

3. Wawancara Mendalam

4. Informan Kunci

C. Lokus dan Waktu Pelaksanaan

D. Teknik Analisis Data

E. Deinisi Operasional

BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN DAN DATA LAPANGAN

A. Analisis Kebijakan

B. Analisis Data Lapangan

1. Hubungan Kewenangan Pemerintah Supradesa 63 dan Pemerintah Desa dalam Pengelolaan Dana Desa pada Desa Mandiri

2. Hubungan Kewenangan Pemerintah Supradesa 76 dan Pemerintah Desa dalam Pengelolaan Dana Desa pada Desa Pra Mandiri

BAB V MODEL DAN INSTRUMENTASI KEBIJAKAN HU­ 89

BUNGAN KEWENANGAN PEMERINTAH DE SA DENGAN PEMERINTAH SUPRADESA DALAM PE­ NGELOLAAN DANA DESA

A. Arah Pengembangan Model Pengelo la an Dana Desa 89

1. Desa Mandiri

2. Desa Pra-Mandiri

B. Instrumentasi Kebijakan

1. Harmonisasi Kebijakan

2. Usulan Kebijakan (Policy Making Process) 102

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan 105

B. USULAN REKOMENDASI 109

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Tabel dan Bagan

Tabel 1.1 Prinsip dan Kewenangan Desa berdasarkan Periode

5 undang-undang

Tabel 3.1 Lokus Kajian

38 Tabel 3.2 Tahapan Penelitian

38 Tabel 4.1 Peran Pemerintah Supradesa dalam Pengelolaan Ke- 50

uangan Desa Menurut UU 6/2014 tentang Desa Tabel 4.2 Tipologi Desa yang Menjadi Lokus Kajian

62 Tabel 4.3 Laporan Penggunaan Jalan Desa Ciburial

73 Tabel 4.4 Penggunaan Dana Desa tahun 2016 di 3 Kabupaten 83

yang Menjadi Lokus Tabel 4.5 Penggunaan Dana Desa Rangkasbitung Timur-Lebak, 87

Banten Tahun 2016 Tabel 5.1 Peran Pemerintah Supradesa dalam Pengelolaan Dana

93 Desa (Mandiri)

Tabel 5.2 Peran Pemerintah Supradesa dalam Pengelolaan Dana

97 Desa (Pra-Mandiri)

Tabel 5.3 Matriks Harmonisasi Kebijakan tentang Pengelolaan 100 Dana Desa

Bagan 1.1 Peta Jalan (Road Map) Dana Desa 2015-2019

3 Bagan 2.1 Hierarki Proses Kebijakan (The Policy Process as a Hier- 21

archy) Bagan 2.2 Kerangka Pikir Kajian

27 Bagan 4.1 Skema Analisis Kebijakan Hubungan Pemerintah Desa 54

dan Supradesa dalam Pengelolaan Dana Desa Bagan 5.1 Konstruksi Model Ideal Pengelolaan Dana Desa

Executive Summary

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) mengusung misi besar membangun desa yang kuat, maju, mandiri dan demokratis sebagai lan- dasan yang kokoh untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Amanat UU Desa kepada Pemerintah untuk memberikan alokasi dana dari APBN atau Dana Desa merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan misi itu. Jenis transfer dari APBN tersebut kemudian menjadi hak dan kewajiban desa, yang dianggarkan dan diintegrasikan bersama jenis pendapatan desa lainnya ke dalam APBDes. Dengan demikian, Dana Desa digunakan un- tuk membiayai kewenangan asal-usul dan kewenangan lokal desa dalam

4 bidang, yaitu pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyaraka- tan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Sebagai bagian dari rezim desa, pengelolaan Dana Desa seharusnya bertumpu pada akuntabilitas lokal desa sebagaimana ditegaskan dalam Desa juga (Pasal 18 dan Pasal 71 (1) b).

Namun, berdasarkan telaah lebih lanjut atas pengaturan pengelolaan Dana Desa, terdapat ketidakselarasan (inkonsistensi) antara UU dan re- gulasi turunannya sehingga menimbulkan ambiguitas dalam pengelolaan Dana Desa itu sendiri. Pertama, PP No. 60/2014 tentang Dana Desa meng- atur prioritas penggunaan DD hanya untuk pembangunan dan pember- dayaan. Kedua, peran dan kewenangan kecamatan dalam pengelolaan Dana Desa diatur secara berbeda antara PP No. 43/2014 tentang Pera- turan Pelaksanaan Undang-Undang Desa dan Permendagri No. 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.

Selain itu, muncul kerisauan publik terhadap efektivitas pengelolaan Dana Desa, yang sesungguhnya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah desa saja melainkan juga tanggung jawab pemerintah supra desa (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota). UU Desa menegaskan tang- gung jawab dan peran pemerintah supradesa dalam pembinaan dan pen- gawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa, termasuk dalam pengelolaan Dana Desa. Salah satu pembelajaran penting dari pengala- man pengelolaan Alokasi Dana Desa, berdasarkan studi yang pernah ada sebelumnya, adalah bahwa efektivitas dan eisiensi pengelolaan Dana Desa akan sangat bergantung pada pola hubungan kewenangan yang ter- bangun antara pemerintah desa dan pemerintah supradesa.

UU Desa menegaskan bahwa dana desa menjadi salah satu sumber pendapatan desa, sekaligus menjadi hak dan kewajiban desa (“Rezim Desa”). UU Desa tidak memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerin- tah yang secara khusus mengatur Dana Desa. Kehadiran PP No. 60/2014 jo PP No. 22/2015 yang secara khusus (eksklusif) mengatur hal ihwal ten- tang dana desa menyebabkan tidak terlaksananya mandat UU. Melalui PP 60/2014 dan Permendesa No 5/2015 dan Permendesa No. 21/2015, Pemerintah menentukan prioritas penggunaan Dana Desa hanya untuk pembangunan dan pemberdayaan. Padahal, menurut UU Desa, mandat kewenangan desa tidak hanya di bidang pembangunan dan pember- dayaan saja, melainkan juga menjalankan pemerintahan dan pembinaan kemasyarakatan desa. Dengan demikian, pengaturan pengelolaan Dana desa telah mendistorsi kewenangan desa. Hal ini karena penggunaan Dana Desa yang seharusnya ditentukan melalui proses deliberatif dalam musyawarah desa, telah ditentukan secara sepihak oleh Pemerintah Pusat melalui Kemente rian Desa PDTT. Selain itu, juga terjadi perubahan para- digma pengelolaan dana desa dari “rezim desa” menjadi “rezim keuang- an”. Dana Desa kemudian dikonstruksi menjadi proyek pemerintah ma- suk ke desa, dengan cara mengefektifkan (mengintegrasikan) seluruh pro gram dan dana yang berbasis desa.

Analisis terhadap hubungan kewenangan antara pemerintah suprade- sa dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa dilihat dari tiga aspek, yaitu kebijakan (regulasi), organisasi, dan operasional (empirik). Di tataran regulasi, selain peraturan yang sudah disebutkan di atas, juga muncul persoalan terkait pengaturan tentang kewenangan desa. Pertama, kewenangan desa belum berjalan optimal karena adanya dualisme peng- aturan dari dua kementerian yang mengurusi desa, yaitu Permendesa PDTT No. 1 Tahun 2015 tentang Kewenang an berdasarkan hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa dengan Permendagri No. 44 Tahun 2015 tentang Kewenangan Desa.

Pada tataran organisasi, terdapat dualisme pengaturan tentang penggu- naan dana desa. Selain mengacu pada RPJMDes dan APBDes dari hasil musyawarah desa yang bertumpu pada semangat self governing communi- ty , juga harus mengacu pada ketetapan Menteri Desa PDTT tentang Pene- tapan Prioritas Penggunaan Dana Desa. Prioritas penggunaan dana desa dibu at oleh Kemendes PDTT dan menjadi acuan utama pemdes dalam mengelola Dana Desa. Secara kelembagaan, pengaturan peran kecamatan dalam proses bisnis pengelolaan Dana Desa hanya pada aspek perenca- naan dan pertanggungjawaban. Sedangkan, pada aspek pelaksanaan, pe- natausahaan, dan pelaporan tidak diatur.

Kesemua fragmentasi itu kemudian bermuara pada tataran operasional/ empiris. Rencana yang telah disusun oleh pemerintah desa tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena harus mengacu pada ketetapan Menteri Desa PDTT. Pemerintah Kabupaten/Kota dan Desa mengalami kesulitan dalam menyusun peraturan tentang daftar kewenangan desa, sehingga implementasi UU Desa terhambat. Alhasil, terdapat potensi penyimpang- an pada perencanaan dan tahap pengelolaan Dana Desa selanjutnya (pelaksanaan, penatausahaan, dan pelaporan).

Ke depan, perlu dikembangkan suatu model yang memberi keleluasaan pada pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa sesuai dengan kewenangan, tantangan, dan kondisi empiris yang ada di desa. Hal ini seturut dengan asas UU Desa itu sendiri, yaitu rekognisi dan subsidiari- tas, berdasarkan tipologi desa. Khusus untuk desa mandiri, pembinaan dan pengawasan (binwas) pemerintah supradesa diberikan secara propor- sional. Sedangkan untuk desa pra mandiri, pembinaan dan pengawasan dari kabupaten/kota harus diberikan secara intensif. Selain itu, perlu juga untuk memperkuat peran kecamatan dalam menjalankan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan Dana Desa. Oleh karena itu, pendele- gasian kewenangan kabupaten/kota kepada kecamatan seharusnya juga diimbangi dengan penguatan kapasitas kecamatan itu sendiri, baik dalam aspek kelembagaan, anggaran, dan SDM.

Sebagai instrumentasi kebijakan untuk mewujudkan model ideal terse- but, perlu adanya penyelarasan atas sejumlah regulasi yang bermasalah sebagaimana dikemukakan di atas. Kemudian, perlu mendorong suatu kebijakan yang memberi keleluasaan pada pemerintah desa untuk mem- prioritaskan penggunaan Dana Desa berdasarkan prakarsa dan kondisi empiris di desa.[]

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu misi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) adalah memperkuat keuangan desa. Hal ini dilakukan antara lain melalui adanya kebijakan alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk desa, atau yang disebut Dana Desa. Oleh karena itu, Dana Desa me- rupakan salah satu mandat UU sebagaimana tertuang dalam Pasal 72 yang berisi sumber-sumber pendapatan desa. Pasal 72 (1) menyebutkan tujuh sumber pendapatan desa, yaitu: 1) pendapatan asli desa; 2) alokasi APBN untuk desa atau Dana Desa; 3) bagian dari hasil pajak dan retribusi dae- rah Kabupaten/Kota ; 4) alokasi Dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota ; 5) bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota ; 6) hibah dan sumbang- an yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan; 7) lain-lain pendapatan desa yang sah. Lebih lanjut, dalam penjelasan Pasal 72 (1) huruf b dise- butkan bahwa Dana Desa diperuntukkan bagi “desa dan desa adat yang ditransfer melalui anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota yang digunakan untuk desa secara merata dan berkeadilan”. Mekanisme penyaluran Dana Desa tersebut, sejalan dengan logika peraturan perundang-undangan yang mengatur soal keuangan negara yang tidak memungkinkan Pusat melakukan transfer langsung ke desa, kecuali melalui penitipan pada APBD Kabupaten/Kota.

Sementara itu, besaran alokasi anggaran Dana Desa tersebut ditentukan 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah secara bertahap. Sayangnya dalam ketentuan lebih lanjut tentang Dana Desa, yaitu Peraturan Pemerin- tah No. 60/2014, tahapan besar an anggaran Dana Desa hingga mencapai 10% belum terakomodir. Namun, dalam dua tahun implementasi UU Desa memang besaran anggaran Dana Desa terus me ngalami peningka- tan signiikan. Pada tahun 2015, besaran Dana Desa mencapai Rp 20,7 tri- liun (3,23 %) yang disalurkan ke 74.093 desa di seluruh Indonesia. Pada 2016, besaran Dana Desa adalah Rp 47,6 triliun (6,5 %). Sedangkan dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2017, pagu Dana Desa tahun 2017 mencapai Rp 60 triliun, naik 27,7% dari pagu tahun 2016. Sehingga, rata-rata tiap desa pada tahun 2017 akan mendapat Rp 800 juta, meleset dari roadmap awal yang disusun oleh Kementerian Keuangan yang mengestimasi alo- Sementara itu, besaran alokasi anggaran Dana Desa tersebut ditentukan 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah secara bertahap. Sayangnya dalam ketentuan lebih lanjut tentang Dana Desa, yaitu Peraturan Pemerin- tah No. 60/2014, tahapan besar an anggaran Dana Desa hingga mencapai 10% belum terakomodir. Namun, dalam dua tahun implementasi UU Desa memang besaran anggaran Dana Desa terus me ngalami peningka- tan signiikan. Pada tahun 2015, besaran Dana Desa mencapai Rp 20,7 tri- liun (3,23 %) yang disalurkan ke 74.093 desa di seluruh Indonesia. Pada 2016, besaran Dana Desa adalah Rp 47,6 triliun (6,5 %). Sedangkan dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2017, pagu Dana Desa tahun 2017 mencapai Rp 60 triliun, naik 27,7% dari pagu tahun 2016. Sehingga, rata-rata tiap desa pada tahun 2017 akan mendapat Rp 800 juta, meleset dari roadmap awal yang disusun oleh Kementerian Keuangan yang mengestimasi alo-

Jika merunut ke belakang, masuknya dana yang berasal dari APBN ke desa sesungguhnya bukan hal baru. Hanya saja, sebelumnya dana dari pusat masuk ke desa melalui berbagai macam saluran yang terfragmenta- si dalam berbagai program K/L, sehingga menyulitkan baik pengawasan penggunaannya oleh masyarakat desa maupun mekanisme pengu kuran efektivitasnya (Zakaria, 2016; Sutoro Eko, 2015). Oleh karena itu, sebagai wujud komitmen negara dalam mensejahterakan desa, upaya mem- perkuat keuangan desa melalui Dana Desa setidaknya mengandung dua pengertian (Zakaria, 2016: 56). Pertama, selain memperbanyak sekaligus mengintegrasikan dana pembangunan yang masuk ke desa, Dana Desa di- maksudkan sebagai jawaban atas langka nya sumber-sumber pendanaan di desa sehingga menjadi sulit untuk meningkatkan kesejahteraan di desa. Tanpa akses pendanaan (baca: permodalan) yang memadai, ma syarakat desa kesulitan untuk mengembangkan berbagai potensi ekonomi yang ada desa. Kedua, kebijakan Dana Desa dapat dimaknai sebagai bentuk kepercayaan kepada desa untuk mengelola sumber daya inansialnya se- cara lebih mandiri. Pertanyaan yang muncul kemudian, seberapa besar kewenangan desa dalam mengelola sumber-sumber inansialnya secara mandiri?

Terkait kewenangan desa, UU Desa berhasil membalikkan relasi desa dengan nega ra, termasuk di dalamnya aktor-aktor pemerintah supradesa (pemerintah pusat, provinsi dan Kabupaten/Kota). Desa kini bukan lagi bagian dari rezim otonomi daerah sebagaimana diatur dalam regulasi se- belumnya mengenai pemerintahan daerah. Dalam UU Desa, desa meru- pakan sebuah pemerintahan masyarakat yang bisa diatur melalui sistem yang beragam, termasuk desa adat (Shohibuddin, 2016). UU Desa mem- posisikan desa sebagai pemerintahan campuran (hibrid) dengan mema- dukan semangat pemerintahan masyarakat (self governing community) dan pemerintahan lokal (local self government). Hal ini berbeda dengan peng- aturan sebelumnya yang menempatkan kedudukan desa menurut prin- sip local state government dimana desa secara hierarkis berada di bawah Kabupaten/Kota. Sehingga, karena desa tidak lagi berkedudukan di bawah Kabupaten/Kota, penugasan pemerintah supradesa kepada desa didasarkan pada asas kedudukan desa dalam sistem pemerintahan NKRI (FPPD, 2014). Selain itu, desa kini menyandang kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Dengan kedudukan dan kewenangan baru yang diturunkan berdasarkan prinsip rekognisi dan subsidiaritas tersebut, kini ada pengakuan dan penguatan terhadap eksistensi desa dan desa adat, serta penguatan kewenangan desa. Hal ini berarti terdapat kejelasan terkait status dan kedudukan desa yang perlu

Dana Desa:

Rp. 85.369,49 M

Dana Desa:

ADD:

Rp. 80.556,27 M

Rp. 63.849,42 M

Bagi Hasil PDRB:

Dana Desa:

ADD:

Rp. 60.445,20 M

24.640,47 M

Rp. 73.854,52 M

ADD:

Bagi Hasil PDRB:

TOTAL : 173.859,38 M

Rp. 54.882,03 M

22.617,67 M

Rata­rata Per desa::

TOTAL : 163.629,14 M

2.383,246 Jt

Dana Desa:

Bagi Hasil PDRB:

20.594,88 M

Rata­rata Per desa::

Rp. 47.654,25 M

ADD:

TOTAL : 149.331,44 M

2.243,23 Jt

Rp. 50..291,90 M

Rata­rata Per desa::

Bagi Hasil PDRB:

2.047,21 Jt

18.572,09 M

Dana Desa: TOTAL : 116.518,24 M

Prioritas Penggunaan: • Infrastruktur desa Rp. 29.293,88 M

Prioritas Penggunaan:

Rata­rata Per desa:: 1.597,37 Jt

Prioritas Penggunaan:

• Energi perdesaan

• Pemberdayaan

ADD:

• Energi perdesaan

• Perpustakaan desa

Masyarakat

Rp. 48.058,04 M

• Sanitasi desa

• Sanggar seni dan

• Penyediaan air

belajar

• Pertanian

Bagi Hasil PDRB:

16.549,29 M

Prioritas

TOTAL : 93.901,21 M

Perencanaan: • APBDes

Rata­rata Per desa::

• Jalan desa

• Saluran irigasi

• APBDes

• RKP Des

• RPJM Des

• Posyandu • Pasar desa

• RKP Des

• RPJM Des

• RPJM Des

Perencanaan:

Prioritas Penggunaan:

• APBDes

• Jalan desa

• RKP Des

Jumlah Desa:

• Saluran irigasi

• RPJM Des

• Posyandu Perencanaan:

• APB Des • RKP Des • Pedoman Pelaksanaan • Pendampingan • Database perhitungan • Target keberhasilan

Bagan 1.1 Peta Jalan (Road Map) Dana Desa 2015-2019 Sumber: Kementerian Keuangan RI, 2015 Bagan 1.1 Peta Jalan (Road Map) Dana Desa 2015-2019 Sumber: Kementerian Keuangan RI, 2015

Konstruksi pengaturan mengenai kedudukan dan kewenangan baru ini tentunya sangat berbeda dengan konstruksi peraturan perundang- undang an sebelumnya. Terhitung sejak UU No. 1 Tahun 1945 hingga UU No. 32 Tahun 2004 (PP No. 72 Tahun 2005), desa tidak memiliki posisi yang kuat. Hal ini karena fondasi yang mendasari kedudukan desa itu sendiri tidak kuat atau bahkan kabur. Sementara itu, pengaturan tentang desa memang tidak diatur secara eksplisit dalam UUD 1945. Menurut Didik G. Suharto (2016: 252), implikasi dari ketidakjelasan kedudukan desa terse- but kemudian berpengaruh terhadap aspek-aspek lain, seperti kewenang- an desa, hubungan desa dengan supradesa, susunan pemerintahan desa, maupun akses terhadap sumber keuangan desa dan sumber-sumber daya lainnya. Dalam UU No. 32/2004, kedudukan desa berada dalam kesatu- an hierarkis di bawah daerah, sebab desentralisasi hanya berhenti di Ka- bupaten/Kota. Dengan konstruksi residualitas yang menempatkannya sebagai bagian dari daerah, desa hanya menerima pelimpahan sebagian kewenangan dari Kabupaten/Kota. Konstruksi serupa ini bersifat residu- alitas karena hanya menempatkan desa sebagai penerima “sisa-sisanya” daerah, baik sisa kewenangan maupun sisa keuangan dalam bentuk Alo- kasi Dana Desa.

Sebaliknya, UU No. 6/2014 tentang Desa mengatur kewenangan desa se- cara berbeda. Perbedaan itu dapat dilihat dalam dua hal pokok. Perta- ma, UU No. 32/2004 menyatakan urusan pemerintahan desa berdasarkan hak asal-usul desa, sedangkan UU No. 6/2014 menyatakan kewenangan desa berdasarkan hak asal usul. Sekilas tampak bahwa kedua pengaturan tersebut mengandung substansi yang sama, hanya saja UU No. 32/2004 secara eksplisit membatasi keuangan desa pada urusan pemerintahan saja. Kedua, UU No. 32/2004 menyatakan urusan pemerintahan yang menjadi kewena ngan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, sedangkan UU No. 6/2014 menegaskan kewenangan lokal berskala desa. Selain itu, dalam UU No. 6/2014, desa juga mempunyai ke- wenangan yang ditugaskan pemerintah dan peme rintah supradesa, dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah dan peme rintah su- pradesa sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku, serta kewenangan atributif. Dengan demikian, dari dua jenis kewenangan tersebut, dua kewenangan pertamalah yang membedakan secara jelas dan tegas antara kedua UU tersebut. (Selengkapnya lihat Tabel 1.1)

Alokasi APBN untuk desa sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari kewenangan desa yang diakui dan ditetapkan dalam UU Desa dan dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah. Dengan demikian, sejalan de- ngan asas rekognisi dan subsidi aritas, UU Desa juga melakukan redis-

Tabel 1.1 Perbedaan Prinsip dan Kewenangan Desa berdasarkan Periode undang-undang

Periode undang­undang

Substansi UU No. 5/1979

UU No. 22/1999

UU No. 32/2004

UU No. 6/2014

Prinsip penga- Memperkuat pemer-

Rekognisi, subsidiaritas, turan tentang

Keanekaragam an,

Keanekaragam an, partisipasi,

keberagaman, kebersa- desa.

intahan desa agar

partisipasi, otonomi

otonomi asli, demokratisasi, dan

maan, kegotongroyo ngan, partisipasi masyarakat

mampu menggerakkan

asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masya r a kat

kekelu argaan, musyawarah, dalam pembangunan

pemberdayaan masya-

demokrasi, kemandirian dan menyelenggarakan

rakat

partisipasi, ke setaraan, administrasi yang meluas

pemberdayaan, dan keber- dan efektif

lanjutan Kewenangan

Kewenangan berdasarkan desa

Urusan di desa yang bu- Kewenangan yang

Urusan pemerintahan yang

kan urusan peme rintah

hak asal usul; di atas nya dan tidak ber- hak asal usul desa;

sudah ada berdasarkan sudah ada berdasarkan hak asal

Kewenangan lokal berskala tentangan dengan kepen- kewena ngan yang

usul desa;

Urusan pemerintahan yang men- desa;

tingan umum. Melak-

Kewenangan yang ditu- sanakan urusan-urusan

oleh peraturan perun-

jadi kewenangan kabupaten/

gaskan oleh Pemerintah, penugasan/ pendele-

dang-undangan yang

kota yang diserahkan pengatur-

Pemerintah Daerah Provinsi, gasian dari pemerintah

berlaku belum dilak-

annya kepada desa;

atau Peme rintah Kabupa- di atasnya.

sanakan oleh daerah

Tugas pembantuan dari Pemer-

dan pemerintah; dan

intah, pemerintah provinsi, dan/ ten/kota;

Tugas pembantuan dari atau pemerintah kabupaten/

Kewenang an lain yang

pemerintah, pemerin-

kota;

ditugaskan oleh Pemerintah,

tah provinsi, dan/atau

Urusan peme rintahan lainnya

Pemerintah Daerah Provin-

pemerintah kabupaten

yang oleh peraturan perun-

si, atau Peme rintah Daerah

dang-undangan diserahkan

Kabupaten/Kota sesuai

kepada desa

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sumber: PKDOD LAN RI, 2016.

tribusi ekonomi dalam bentuk alokasi dana dari APBN dan APBD. Re- distribusi uang negara kepada desa merupakan resolusi untuk menjawab ketidakadilan sosial-ekonomi karena intervensi dan eksploitasi dan mar- ginalisasi yang dilakukan negara terhadap desa selama ini (Sutoro Eko, 2015:41). Dilihat dari segi ini, keberadaan Dana Desa juga bukan bersifat “bantuan” melainkan mandat UU berupa distribusi uang negara untuk menjalankan kewenangan desa yang meliputi 4 bidang, yaitu: pemerin- tahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan desa, tidak bisa dipung- kiri bahwa pe ru bahan tentang status, prinsip atau asas, kedudukan, dan kewenangan desa, memun culkan persoalan: bagaimana kita harus men- deinisikan kembali hubungan pemerintah desa dan pemerintah suprade- sa (Kabupaten/Kota, provinsi, dan Pusat/K/L) dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, khususnya dalam pengelolaan Dana Desa? Bagaima- na peran dari pemerintah pusat dan daerah dalam mendukung efektivitas pengelolaan Dana Desa? Dari sini tampak jelas adanya tuntutan untuk mereposisi kembali peran masing-masing aktor peme rintah supradesa dalam mendukung efektivitas pemerintahan desa, termasuk dalam pe- ngelolaan Dana Desa. Kecuali kecamatan yang kini status kelembagaan- ya berubah menjadi SKPD, peran masing-masing level pemerintahan supradesa sebenarnya telah jelas diatur dalam UU No. 6/2014. Namun bagaimana hal tersebut kemudian dijabarkan dalam ketentuan lebih lan- jut yang mengatur pelaksanaannya di lapangan? Apakah pengaturan hubungan desa-supradesa dalam pengelolaan Dana Desa tersebut sudah ideal?

Persis pada titik inilah hubungan pemerintah desa dengan supradesa per- lu ditengok kembali, terutama terkait aspek kewenangan dalam pengelo- laan Dana Desa. Hal ini karena hubungan kewenangan pemerintah desa dan pemerintah supradesa akan berimplikasi pada beberapa hal. Perta­ ma, kejelasan terkait hubungan kewenangan tersebut akan memudahkan proses perumusan regulasi yang lebih baik dalam penge lolaan Dana Desa. Kedua, pada tataran regulasi, pengaturan tentang peran ma sing-masing aktor pemerintah supradesa dapat menggambarkan sejauh mana regulasi tersebut sejalan dengan amanat UU Desa.

Terkait dengan hal itu, merebaknya kekhawatiran publik terhadap efekti- vitas pengelolaan Dana Desa merupakan hal wajar mengingat minimnya kapasitas pemerintah desa. Untuk menjawab pesimisme publik tersebut, penguatan kapasitas pemerintah desa merupakan agenda mendesak yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Namun kekhawatiran ini bukan hanya menja- di tanggung jawab pemerintah desa, melainkan juga pemerintah suprade- sa. Sebab, jika ditelisik lebih jauh, kondisi keterpurukan desa ini tidak le- pas dari relasi yang terbangun antara desa dengan pemerintah supra desa Terkait dengan hal itu, merebaknya kekhawatiran publik terhadap efekti- vitas pengelolaan Dana Desa merupakan hal wajar mengingat minimnya kapasitas pemerintah desa. Untuk menjawab pesimisme publik tersebut, penguatan kapasitas pemerintah desa merupakan agenda mendesak yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Namun kekhawatiran ini bukan hanya menja- di tanggung jawab pemerintah desa, melainkan juga pemerintah suprade- sa. Sebab, jika ditelisik lebih jauh, kondisi keterpurukan desa ini tidak le- pas dari relasi yang terbangun antara desa dengan pemerintah supra desa

Survei data mikro tentang besaran uang masuk ke desa yang dilakukan para pegiat desa (STPMD, FPPD, IRE, dan ACCESS) berikut menarik un- tuk dicermati. Survei ini menemukan bahwa umumnya desa mengelola dana sekitar Rp 1,1 M per tahun dari berbagai sumber (PAD, ADD, bantu- an provinsi, bantuan pusat, bantuan CSR, dan lain-lain). Sebelum lahir UU Desa, Alokasi Dana Desa merupakan dana utama yang dikelola oleh desa. Berdasarkan monitoring yang dilakukan oleh FPPD Yogyakarta, ditemu- kan variasi dalam kapasitas dan efektivitas pengelolaan dana tersebut (Sutoro Eko, 2015: 64). Pertama, desa yang tidak memperoleh pelatihan dan pendampingan secara memadai, kemampuan dan efektivitasnya da- lam mengelola Alokasi Dana Desa sa ngat rendah. Kedua, desa yang mem- peroleh pelatihan dan pendampingan, baik dari pemerintah Kabupaten/ Kota maupun organisasi non pemerintah, kemampuan dan efektivitasnya dalam mengelola dana relatif baik. Ketiga, desa-desa yang memiliki kepala desa progresif dan perangkat desa dedikatif secara mandiri mampu me- nge lola dana dengan kapasitas dan efektivitas yang memadai. Memang terdapat sejumlah kasus korupsi Dana Desa yang dilakukan oleh kepala desa. Akan tetapi tahun 2007, APDESI menunjukkan data bahwa angka korupsi kepala desa hanya sebesar 7,8%, dan sebagian besar terjadi karena maladministrasi yang disebabkan oleh kurangnya kemampuan adminis- tratif pemerintah desa. Kurangnya fasilitasi dan supervisi dari pemerin- tah Kabupaten/Kota tentunya menjadi penyebab rendahnya kapasitas pemerintah desa.

Dengan demikian, inti dari kekhawatiran terhadap efektivitas pengelo- laan Dana Desa, sesungguhnya berpusat pada masalah SDM dan sistem yang tidak bekerja dengan baik. Tidak optimalnya sistem pembinaan pe- merintah desa (fasilitasi, asistensi, dan supervisi) yang menjadi kewenan- gan pemerintah supradesa pada gilirannya bermuara pada keterpurukan perangkat desa. Kasus di atas menegaskan bahwa keri sauan publik terha- dap efektivitas pengelolaan Dana Desa tidak semata-mata terkait dengan kapasitas pemerintah desa, melainkan juga terkait dengan peran tang- gung jawab pemerintah supradesa (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota) dalam menjalankan kewenangan untuk memberikan pembinaan.

Lalu, bagaimana sesungguhnya konstelasi hubungan kewenangan pemerintah desa dan pemerintah supradesa dalam pengelolaan Dana Desa? Apakah berbagai pengaturan yang ada terkait dengan pengelo­

laan Dana Desa telah sejalan dengan semangat UU Desa yang bertumpu pada asas rekognisi dan subsidiaritas dan menekankan akuntabilitas lokal desa? Pertanyaan di atas bukan tanpa alasan. Dari segi regulasi, misal nya, laan Dana Desa telah sejalan dengan semangat UU Desa yang bertumpu pada asas rekognisi dan subsidiaritas dan menekankan akuntabilitas lokal desa? Pertanyaan di atas bukan tanpa alasan. Dari segi regulasi, misal nya,

Sinyal ketidaksinkronan regulasi juga terjadi pada pengaturan tentang kewenangan desa yang diatur oleh dua kementerian berbeda, yakni: Ke- menterian Dalam Negeri melalui Permendagri No. 44/2016 di satu sisi, dan Kementerian Desa PDTT melalui Permendesa No. 1/2015. Kendati kedua regulasi tersebut mengatur substansi yang sama, namun masalah muncul manakala pemerintah Kabupaten/Kota hendak menindaklanjuti peraturan tersebut. Muncul kebingungan ihwal peraturan menteri mana yang harus dirujuk ketika akan menyusun regulasi tingkat lokal (peratur- an bupati) tentang daftar kewenangan desa. Terbukti, hingga medio No- vember 2015, berdasarkan data Kementerian Koordinator PMK/World Bank Diagnostic Survey (2015), jumlah pemerintah Kabupaten/Kota yang sudah menerbitkan regulasi terkait daftar kewenangan desa tidak lebih dari 15 % saja. Lalu bagaimana dengan peraturan pelaksanaan lainnya?

Di sinilah letak urgensi kajian terkait hubungan kewenangan pemerintah desa dan pemerintah supradesa dalam pengelolaan Dana Desa. Efekti- vitas dan eisiensi pengelolaan Dana Desa akan sangat bergantung pada pola hubungan kewenangan yang terbangun antara pemerintah desa dan pemerintah supradesa dalam pengelolaan Dana Desa.

Dengan berpijak pada urgensi dan nilai strategis hubungan kewenangan pemerintah desa dengan pemerintah supradesa seperti yang dipaparkan di atas, Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah (PKDOD) LAN memandang perlu untuk melakukan kajian tentang model dan instrumen- tasi kebijakan hubungan pemerintah desa dengan pemerintah supradesa (pusat, provinsi, dan Kabupaten/Kota) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, khususnya terkait dengan pengelolaan Dana Desa. Hubungan kewenangan antara pemerintah supradesa dan pemerintah desa, sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 6/2014, memang menyang- kut banyak aspek. Namun, kajian ini hanya akan memfokuskan diri pada aspek pengelolaan Dana Desa sebagai salah satu isu krusial dalam penye- lenggaraan pemerintahan desa.

B. PERTANYAAN PENELITIAN

Pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan kewenangan pemerintah supradesa (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) dengan pemerintah desa dalam

pengelolaan Dana Desa?

2. Bagaimana model ideal hubungan kewenangan antara pemerin- tah supradesa dengan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa?

3. Instrumen kebijakan apa saja yang perlu diharmonisasikan dalam rangka mengatur hubungan kewenangan antara pemerintah su-

pradesa dengan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa?

C. TUJUAN

1. Menganalisis hubungan kewenangan pemerintah supradesa (pu- sat, provinsi, dan kabupaten/kota) dengan pemerintah desa da- lam pengelolaan Dana Desa.

2. Menyusun model ideal hubungan kewenangan pemerintah su- pradesa dengan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa.

3. Menganalisis instrumen kebijakan yang perlu diharmonisasikan dalam rangka mengatur hubungan kewenangan dan kelembagaan

pemerintah supradesa dengan pemerintah desa dalam pengelo- laan Dana Desa.

D. MANFAAT DAN HASIL KAJIAN

Dengan dilaksanakannya kajian ini maka akan diperoleh manfaat sebagai berikut:

1. Memperjelas hubungan kewenangan pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa.

2. Menghasilkan model ideal hubungan kewenangan pemerintah su- pradesa dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa.

3. Mewujudkan harmonisasi kebijakan terkait hubungan kewenang- an pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa.

Adapun hasil (output) kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Analisis hubungan kewenangan antara pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa.

2. Model ideal hubungan kewenangan pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa.

3. Rekomendasi kebijakan yang perlu diharmonisasikan terkait hubungan kewenangan pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa.

E. RUANG LINGKUP KAJIAN MANFAAT DAN HASIL KAJIAN

Ruang lingkup kajian ini meliputi:

1. Hubungan kewenangan antar level pemerintahan

2. Pengelolaan keuangan desa, khususnya terkait Dana Desa

BAB II TINJAUAN KONSEPTUAL

A. TINJAUAN KONSEPTUAL

1. Kedudukan dan Kewenangan Desa

Lahirnya UU No. 6/2014 tentang Desa berimplikasi pada perubah- an kedudukan dan kewenangan desa dalam bangunan tata negara Indonesia dan relasinya dengan negara dan warga. UU No. 6/2014 telah memastikan kedudukan dan wewenang desa jauh lebih jelas dan kuat daripada pengaturan dalam UU No. 32/2004. Dalam UU ini, kedudukan dan kewenangan desa dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan NKRI diturunkan dari dua asas pengaturan desa, yai- tu rekognisi dan subsidiaritas. Konstruksi mengenai kedudukan dan kewenangan desa ini tentunya sangat berbeda dengan konstruksi se- belumnya. Dalam konstruksi awal, sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72/2005 tentang Desa, kedudukan desa merupakan bagian dari daerah, sebab desentralisasi hanya berhenti di Kabupaten/Kota. Dengan konstruksi residualitas yang menempatkannya sebagai ba- gian dari daerah tersebut, desa hanya menerima pelimpahan sebagian kewenangan dari Kabupaten/Kota. Konstruksi serupa ini bersifat residualitas karena hanya menempatkan desa sebagai penerima “si- sa-sisanya” kewenangan daerah, baik sisa kewenangan maupun sisa keuangan dalam bentuk alokasi Dana Desa (Sutoro Eko, 2014: 23).

Menurut Sutoro Eko (2014: 28), ditetapkannya konsep rekognisi se- bagai asas pertama bagi kedudukan desa dalam UU Desa berdasar- kan sejumlah alasan. Pertama, desa atau yang disebut dengan nama lain, sebagai kesatuan masyarakat hukum adat merupakan entitas yang berbeda dengan kesatuan masyarakat hukum yang disebut daerah. Kedua, desa atau yang disebut dengan nama lain merupakan entitas yang sudah ada sebelum NKRI lahir pada tahun 1945, dan su- dah mempunyai susunan asli maupun membawa hak asal usul. Keti-

ga , desa merupakan bagian dari keberagaman atau multikulturalisme Indonesia yang tidak bisa serta merta diseragamkan. Keempat, dalam ga , desa merupakan bagian dari keberagaman atau multikulturalisme Indonesia yang tidak bisa serta merta diseragamkan. Keempat, dalam

da negara untuk mengakui dan menghormati desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Asas rekognisi berarti negara mengakui dan menghormati keragaman desa, kedudukan, kewenangan, dan hak asal-usul maupun susunan pemerintahan. Namun sesungguhnya rekognisi tidak hanya dilaku- kan melalui upaya-upaya yang mendorong pengakuan dan peng- hormatan terhadap keragaman desa dalam mewujudkan keadilan politik dan keadilan budaya tersebut, melainkan juga, sebagaimana diamanatkan dalam UU Desa, negara melakukan redistribusi sum- ber daya ekonomi melalui bentuk alokasi dana dari APBN maupun APBD. Redistribusi uang merupakan resolusi untuk menjawab keti- dakadilan sosial-ekonomi karena intervensi, eksploitasi dan marjinal- isasi yang dilakukan oleh negara selama ini terhadap desa. Dengan mengacu pada asas rekognisi, UU Desa juga melindungi desa dari berbagai bentuk imposisi (pemaksaan) dan mutilasi yang dilakukan oleh aktor-aktor supradesa, politisi, dan investor.

Sedangkan asas subsidiaritas atau kewenangan lokal berskala desa ber- arti bahwa urusan lokal atau kepentingan masyarakat setempat ber- skala lokal lebih baik ditangani organisasi lokal, dalam hal ini desa, yang paling dekat dengan masyarakat. Sebagaimana ditegaskan oleh Sutoro Eko (2014: 31), dalam penjelasan UU No. 6/2014 subsidiaritas mengandung makna penetapan lokal berskala desa menjadi kewena- ngan desa. Dalam hal ini, asas subsidiaritas hadir untuk mengkorek- si dan menggantikan asas residualitas yang selama ini diterapkan dalam UU No. 32/2004, yang menempatkan desa sebagai hanya se- bagai penerima sisa-sisa kewenangan yang dilimpahkan pemerintah supradesa (Kabupaten/Kota). Hal ini juga sekaligus meluruskan pe- mahaman keliru dari sebagian kelompok yang menganggap UU No. 6/2014 tentang Desa mempunyai kesamaan dengan PP No. 72/2005, yang merupakan regulasi turunan dari UU No. 32/2004.

Sebaliknya, menurut Sutoro Eko, sebagaimana asas rekognisi yang menghormati dan mengakui kewenangan asal usul desa, penjaba- ran subsidiaritas sebagai penetapan kewenangan lokal berskala desa berarti bahwa UU secara langsung menetapkan sekaligus memberi batas-batas yang jelas tentang kewenangan desa tanpa melalui me- kanisme penyerahan dari Kabupaten/Kota. Pemerintah juga tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan campur tangan (interven- Sebaliknya, menurut Sutoro Eko, sebagaimana asas rekognisi yang menghormati dan mengakui kewenangan asal usul desa, penjaba- ran subsidiaritas sebagai penetapan kewenangan lokal berskala desa berarti bahwa UU secara langsung menetapkan sekaligus memberi batas-batas yang jelas tentang kewenangan desa tanpa melalui me- kanisme penyerahan dari Kabupaten/Kota. Pemerintah juga tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan campur tangan (interven-

Dalam konteks mendorong keadilan ekonomi dan politik (distribu- si sumberdaya), skema alokasi keuangan dari APBN untuk desa juga merupakan salah satu wujud konkret dari pengakuan negara terha- dap kewenangan berdasarkan hak asal usul (asas rekognisi) dan ke- wenangan lokal berskala desa (asas subsidiaritas) (Sudjatmiko dan Zakaria: 2014: 6).

Dengan demikian, perlu ditegaskan kembali bahwa adanya perubah- an asas ini tidak hanya berimplikasi besar pada bentuk dan jenis ke- wenangan desa, melainkan juga pada (pembesaran) keuangan desa. Hal lain yang tak kalah penting adalah berubahnya kedudukan desa (Zakaria, 2014; Eko, 2014b: 15). Kini desa tidak berkedudukan sebagai pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan Kabupa- ten/Kota sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 200 UU No. 32/2004. Menurut UU No.6/2014, desa berkedudukan dalam wilayah Kabu- paten/Kota. Hal ini sama dan sebangun dengan keberadaan Kabupa- ten/Kota dalam wilayah provinsi.

2. Jenis­jenis Kewenangan

Dalam UU Desa, desa mempunyai empat jenis kewenangan, yaitu kewenangan berdasarkan hak asal-usul, kewenangan lokal berskala desa, kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah supradesa, dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah supradesa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu, apa sejati- nya arti kewenangan itu?

Terdapat sejumlah konsepsi dari para ahli tentang kewenangan. Phili- pus M. Hadjon (1997), seorang teoritisi hukum tata negara dan hu- kum administrasi pemerintahan, mendeinisikan kewenangan sebagai kekuasaan hukum. Kewenangan mempunyai kesejajaran makna de- ngan istilah bovoegdheid dalam konteks hukum Belanda. Namun ber- beda dengan konsep bovoegdheid yang sering digunakan dalam ranah hukum publik maupun hukum privat, kewenangan selalu digunakan dalam ranah hukum publik kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi, da- lam konsep hukum publik, wewenang selalu berkaitan dengan kekua- saan, atau malah justru kekuasaan itu sendiri.

Sedangkan Tonner (dalam Ridwan HR, 2006: 100) berpendapat bahwa kewenangan pemerintah adalah kemampuan untuk melaksanakan Sedangkan Tonner (dalam Ridwan HR, 2006: 100) berpendapat bahwa kewenangan pemerintah adalah kemampuan untuk melaksanakan

Sedangkan menurut Sutoro Eko, ahli tentang desa: Kewenangan (authority) adalah kekuasaan dan hak seseorang

atau lembaga untuk melakukan sesuatu, atau mengambil keputu- san, atau memerintah orang lain untuk mencapai tujuan tertentu. Karena itu, kewenangan selalu merupakan kekuasaan resmi atau kekuasaan legal yang diformalkan oleh peraturan perundang-un- dangan. Namun ada perbedaan tipis antara kekuasaan dan ke- wenangan. Kewenangan adalah hak untuk melakukan sesuatu, sedangkan kekuasaan adalah kemampuan untuk melakukan hak tersebut. Kewenangan bisa juga disebut sebagai kekuasaan yang memiliki keabsahan (legalitas), sedangkan kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan. ( Sutoro Eko, 2014: 16)

Senada dengan konsepsi dari para ahli tersebut, Undang-Undang No.

39 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mendeinisikan ke- wenangan sebagai “kekuasaan badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hu- kum publik”. Lebih lanjut, UU ini menyebutkan adanya tiga bentuk kewenangan. Pertama, kewenangan atribusi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahuan 1945 atau undang-undang kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Kedua, kewenangan delegasi, yaitu kewenangan yang bersumber dari pelimpahan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi. Ketiga, kewenangan mandat, yaitu kewenangan yang bersumber dari pelimpahan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pe- jabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Hubungan Antara Kepercayaan Diri DenganMotivasi Berprestasi Remaja Panti Asuhan

17 116 2

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5