Tinjauan Pustaka

2.2 Pengolahan dan Analisis Data

2.2.1 Pembuatan Model Regresi untuk Estimasi Tutupan Kanopi dari Citra NDVI

Untuk memperoleh data spasial tutupan kanopi daerah penelitian, analisis regresi digunakan untuk menurunkan hubungan antara persentase tutupan kanopi hasil pengukuran lapangan dengan nilai digital NDVI. Berdasarkan penelitian- penelitian yang telah dilakukan, nilai NDVI berkorelasi kuat dengan persentase tutupan kanopi, oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa nilai digital NDVI sangat dipengaruhi oleh kerapatan tutupan kanopi. Dengan demikian penggunaan analisis regresi untuk memperoleh hubungan fungsional antara NDVI dan persentase tutupan kanopi dapat diterima. Walaupun demikian, linearitas hubungan antara persentase tutupan kanopi vegetasi dan nilai NDVI belum dapat Untuk memperoleh data spasial tutupan kanopi daerah penelitian, analisis regresi digunakan untuk menurunkan hubungan antara persentase tutupan kanopi hasil pengukuran lapangan dengan nilai digital NDVI. Berdasarkan penelitian- penelitian yang telah dilakukan, nilai NDVI berkorelasi kuat dengan persentase tutupan kanopi, oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa nilai digital NDVI sangat dipengaruhi oleh kerapatan tutupan kanopi. Dengan demikian penggunaan analisis regresi untuk memperoleh hubungan fungsional antara NDVI dan persentase tutupan kanopi dapat diterima. Walaupun demikian, linearitas hubungan antara persentase tutupan kanopi vegetasi dan nilai NDVI belum dapat

Tabel 2.2 Model Regresi Yang Digunakan Beserta Bentuk Persamaannya

Model

Persamaan

Linear y = α + βx Logaritmik y = α + βLn(x)

Polinomial orde 2 y = α+β 1 x+ β 2 x 2

Power y = β αx Eksponensial y = βx αe

Sumber: ILWIS User guide

Tujuan penelitian adalah memprediksi nilai persentase tutupan kanopi dari nilai digital NDVI, maka formula diatas diterapkan pada NDVI dan persentase tutupan kanopi dengan NDVI sebagai variabel independen (X) dan persentase tutupan kanopi sebagai variabel (Y). NDVI sebagai variabel independen karena NDVI merupakan variabel yang sudah diketahui nilainya, dan persentase tutupan kanopi (% CC) merupakan variabel yang akan diprediksi. Persamaan pada Tabel

2.2 digunakan untuk mengkalibrasi citra NDVI menjadi peta persentase tutupan kanopi. Hasil dari pemetaan kemudian diklasifikasikan untuk analisis lebih lanjut dengan berpedoman pada klasifikasi tutupan kanopi menurut Keputusan Dirjen RRL Departemen Kehutanan No. 041/Kpts/V/1998 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Kriteria penentuan dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Klasifikasi Tutupan Kanopi

Tutupan kanopi

Kelas

Sangat baik

Sangat buruk

Sumber: Departemen Kehutanan (2004)

2.2.2 Analisis Hubungan Kelas Tutupan Kanopi dengan Tingkat Erosi Tanah.

Analisis hubungan antara persentase tutupan kanopi dengan tingkat erosi tanah dilakukan menggunakan teknik tabulasi silang. Tabulasi silang lebih dipilih karena kedua variabel yang dihubungkan mempunyai sifat data ordinal. Indeks kappa (Campbell, 2002) digunakan untuk menilai derajat hubungan antara dua

variabel hasil operasi tabulasi silang secara kuantitatif. Indeks kappa ( κ ) mempunyai nilai berkisar dari -1 hingga +1 yang mengindikasikan besar dan arah hubungan antara dua variabel. Nilai indeks ditentukan dari persamaan 6. Metode

perhitungan untuk menentukan parameter observed value dan expected value dari tabel silang mengacu pada Campbell (2002). ‘

observed − exp ected κ =

1 exp ected

(Campbell, 2002)

Keterangan:

Citra SPOT-5 XS dan PAN level 1A

Input

Peta Rupabumi Indonesia

Proses skala 1:25.000

Orthorektifikasi dan koreksi radiometrik

Output

Citra terkoreksi

sementara

Data kontur

Interpolasi linier

akhir

DEM

Transformasi IHS

Transformasi NDVI

29 Interpretasi visual

Citra gabungan

Analisis korelasi dan

NDVI

regresi

Peta penggunaan lahan Peta persentase tutupan

Survei lapangan kanopi

Data hasil pengukuran

persentase tutupan kanopi

1. Pengukuran persentase tutupan kanopi di lapangan

Tabulasi silang

2. Pengukuran tingkat erosi di lapangan Informasi hubungan tingkat erosi dan

tutupan kanopi

Data tingkat erosi tanah

Gambar 2.3 Diagram Alir Penelitian

BAB III DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

3.1 Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian

DAS Tinalah terletak di Pegunungan Progo Barat (West Progo Mountains) bagian utara. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Kecamatan Samigaluh dan Kalibawang Kabupaten Kulonprogo. DAS Tinalah dibatasi:

1. Kabupaten Magelang di sebelah utara

2. Desa Kebonharjo Kecamatan Samigaluh dan Desa Purwosari Kecamatan Girimulyo di sebelah selatan.

3. Kecamatan Kalibawang di sebelah timur.

4. Kabupaten Purworejo di sebelah barat. Secara geografis daerah penelitian terletak antara 110 o 08 ’ 15’’-110 o 13 ’

00 o ’’ BT dan 07 38 ’ 45’’-07 43’ 15 ’’ LS. Peta administrasi DAS Tinalah disajikan dalam Gambar 3.1. Berdasarkan peta tersebut, DAS Tinalah terdiri dari beberapa

desa di Kecamatan Samigaluh dan satu desa di Kecamatan Kalibawang. Nama desa dan luas wilayah disajikan pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Desa yang Termasuk dalam Wilayah DAS Tinalah

Luas wilayah Luas wilayah Desa

3.73 Purwoharjo Samigaluh

Banjararum Kalibawang 163.42

21.55 Banjarsari Samigaluh

17.71 Pagerharjo Samigaluh

3.64 Gerbosari Samigaluh

24.09 Ngargosari Samigaluh

13.90 Sidoharjo Samigaluh

Luas Keseluruhan 4380.02 100.00

Sumber : Analisis Peta administrasi Kabupaten Kulonprogo

III.2 Iklim

Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi erosi. Pengaruh iklim terutama adalah pada kecepatan pelapukan batuan, pembentukan bahan induk tanah, dan parameter erosivitas hujan yang meliputi curah hujan, energi dan intensitas hujan. Parameter iklim yang penting untuk diketahui dalam kaitannya dengan erosi antara adalah curah hujan, suhu dan tipe iklim.

3.2.1 Curah Hujan

Curah hujan di daerah penelitian ditentukan berdasarkan data hujan dari stasiun hujan terdekat. Stasiun tersebut meliputi stasiun Samigaluh yang berada di dalam lokasi penelitian dan tiga stasiun di sekitarnya yang meliputi stasiun Kaligesing, Kalibawang dan Kenteng. Hasil analisis curah hujan rata – rata bulanan selama 10 tahun (1997-2006) dari keempat stasiun disajikan dalam tabel

3.2 dan grafik 3.1.

Tabel 3.2

Curah Hujan Rata-rata Bulanan Daerah Penelitian Tahun 1997-2006 (mm) Bulan

Kaligesing Kenteng Kalibawang Samigaluh

Curah hujan tahunan

Sumber : Perhitungan data sekunder, 2008

Grafik Curah Hujan Rata-rata Bulanan Stasiun Hujan Daerah Penelitian (1997-2006)

ja n 400,0

Stasiun Kaligesing

Stasiun Kenteng

300,0 ra

h hu

Stasiun kalibawang

Stasiun Samigaluh

C 200,0 100,0

Januari Maret

Sumber: Perhitungan data sekunder, 2008

Gambar 3.2

Dari tabel dan grafik diatas dapat diketahui bahwa bulan – bulan terbasah adalah sekitar november hingga april, dan bulan kering sekitar mei hingga september. Bulan dengan curah hujan tertinggi dari Desember hingga Februari dengan curah hujan terbesar 600 mm. Dalam kaitannya dengan laju erosi, bulan – bulan ini merupakan waktu dimana erosi intensif terjadi.

3.2.2 Suhu

Suhu merupakan salah satu komponen iklim yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap erosi. Gambaran fluktuasi curah hujan dan suhu di daerah penelitian dapat menjelaskan bagaimana iklim berpengaruh terhadap erosi. Pengaruh suhu terutama pada proses pelapukan batuan yang menjadi sumber bahan induk tanah. Fluktuasi suhu yang ekstrim dapat menyebabkan laju pelapukan batuan yang lebih intensif dan mempercepat pembentukan bahan induk tanah. Stasiun hujan di sekitar DAS Tinalah tidak menyediakan data suhu, oleh karena itu, data suhu rerata bulanan di daerah penelitian dihitung dengan menggunakan data dari ketinggian tempat dalam PSBA UGM (2004). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

T max

32,11 – 0,00618*h

(6) Keterangan : Tmax/min

T min

23,09 – 0,00642*h

: suhu udara maksimum/minimum : suhu udara maksimum/minimum

23,09 dan 0,00642 : tetapan untuk perhitungan suhu minimum 32,11 dan 0,00618

: tetapan untuk perhitungan suhu maksimum Rumus di atas pernah digunakan PSBA UGM (2004) untuk menentukan suhu bulanan rata-rata di kabupaten Purworejo, mengingat daerah penelitian dengan Kabupaten Purworejo masih berada pada satu jalur pegunungan, dapat diasumsikan kondisi iklimnya tidak jauh berbeda, dengan demikian maka rumus () dapat digunakan untuk menghitung suhu bulanan rata – rata di DAS Tinalah. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Suhu rata-rata bulanan di DAS Tinalah

Ketinggian o Suhu maksimum ( C) Suhu minimum ( C)

Sumber: Hasil analisis, 2008 Daerah penelitian mempunyai ketinggian antara 300 hingga 800 meter.

Berdasarkan nilai ketinggian rata-rata daerah penelitian tersebut, maka dapat diperkirakan suhu maksimum dan minimum daerah penelitian, yaitu berkisar 17

hingga 30 o C untuk suhu maksimum. Fluktuasi suhu sebesar 13

C relatif cukup untuk dapat mempercepat proses pelapukan batuan dan pembentukan bahan induk tanah. Proses pembentukan bahan induk tanah yang relatif cepat ditambah curah hujan yang tinggi dan kemiringan lereng yang terjal menyebabkan laju kehilangan tanah yang tinggi di daerah penelitian.

3.2.3 Tipe Iklim

Tipe iklim daerah penelitian dapat ditentukan dengan menggunakan klasifikasi iklim sistem Schmidt-Ferguson. Klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson mendasarkan pada banyaknya bulan basah dan bulan kering untuk menentukan tipe iklim suatu daerah. Penentuan bulan basah dan bulan kering menggunakan klasifikasi Mohr sebagai berikut: Tipe iklim daerah penelitian dapat ditentukan dengan menggunakan klasifikasi iklim sistem Schmidt-Ferguson. Klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson mendasarkan pada banyaknya bulan basah dan bulan kering untuk menentukan tipe iklim suatu daerah. Penentuan bulan basah dan bulan kering menggunakan klasifikasi Mohr sebagai berikut:

b. Bulan lembab apabila CH antara 60-100 mm per bulan.

c. Bulan kering apabila CH kurang dari 60 mm per bulan. Tipe iklim menurut sistem Schmidt-Ferguson ditentukan berdasarkan nilai Q (quotient). Nilai Q ditentukan berdasarkan rumus berikut: Rata-rata jumlah bulan kering

Q=

(7) Rata-rata jumlah bulan basah

X 100%

Tipe iklim ditentukan berdasarkan nilai Q dalam Tabel 3.3 sebagai berikut:

Tabel 3.4 Tipe Iklim Berdasarkan Nilai Q Golongan

Nilai Q

Keterangan

A 0,000 ≤ Q ≤ 0,143 Sangat basah

B 0,143 ≤ Q ≤ 0,333

Basah

C 0,333 ≤ Q ≤ 0,600 Agak basah

D 0,600 ≤ Q ≤ 1,000

Sedang

E 1,000 ≤ Q ≤ 1,670 Agak kering

F 1,670 ≤ Q ≤ 3,000

Kering

G 3,000 ≤ Q ≤ 7,000 Sangat kering

H 7,000 ≤Q Luar biasa kering

Sumber: Wisnubroto dan Aminah (1986)

Hasil perhitungan dan penentuan tipe iklim dari empat stasiun hujan di sekitar daerah penelitian terlampir dalam Tabel 3.4.

Tabel 3.5 Hasil Penentuan Tipe Iklim Daerah Penelitian Stasiun

Rata-rata

Golongan Keterangan bulan basah

Rata-rata

bulan kering

Samigaluh 8

4 0,428 C Agak basah Kalibawang 7

Sedang Kenteng 6

3 0,714 D

4 0,667 D Sedang Kaligesing 8

4 0,5 C

Agak basah

Sumber: Pengolahan data sekunder, 2008

Berdasarkan hasil perhitungan, stasiun hujan di sekitar DAS Tinalah mempunyai rasio kurang lebih 7 bulan basah dan 3 bulan kering. Oleh karena itu daerah penelitian termasuk dalam iklim agak basah hingga sedang.

3.3 Geologi

Secara geologis, DAS Tinalah termasuk dalam kawasan Perbukitan Progo Barat yang membentang sepanjang jurus utara-selatan mulai dari bagian barat Kabupaten Kulonprogo hingga bagian timur Kabupaten Purworejo. Menurut Bemmelen (1970), Perbukitan Progo Barat mempunyai struktur kubah (dome) dengan proses evolusi geologis yang cukup kompleks. Proses geologi yang membentuk perbukitan ini dimulai pada Masa Eosen. Pada masa ini Alas Nanggulan terbentuk. Pada kurun waktu Oligosen hingga Miosen Awal, aktivitas geologi di daerah ini didominasi oleh aktivitas vulkanik tiga gunung api tua, yaitu Gunungapi Gajah, Ijo dan Menoreh yang merupakan gunung api termuda di bagian utara. Material dari tiga gunung api tersebut didominasi oleh breksi andesit. Seiring dengan berakhirnya aktivitas vulkanik Gunungapi Menoreh, daerah ini mengalami proses pengangkatan (uplifting) yang pertama. Pada kurun waktu Miosen Bawah-Tengah, bagian yang terangkat mengalami penenggelaman (subsidence) hingga di bawah permukaan laut. Pada waktu ini Formasi Jonggrangan yang terdiri dari batu gamping, lignit dan marl mulai terbentuk dan diendapkan, diikuti pembentukan Formasi Sentolo di sebelah selatan pada Miosen Tengah. Masih dalam kurun waktu yang sama, proses pengangkatan dimulai lagi di bagian selatan. Bagian utara tetap berupa dataran rendah dan peneplain dengan sisa Gunungapi Menoreh membentuk igir dengan ketinggian 700 meter. Pengangkatan terakhir baru terjadi pada masa Pleistosen Tengah yang membentuk perbukitan dengan struktur kubah dengan puncak yang datar.

Dengan latar belakang geologi di atas, maka di daerah penelitian setidaknya kini terdapat empat formasi batuan utama. Deskripsi karakteristik tiap formasi batuan disajikan dalam Tabel 3.6.

Tabel 3.6 Distribusi dan Jenis Formasi Batuan di Daerah Penelitian

No. Formasi Batuan Kode

Litologi

Waktu pembentukan/pengendapan

1. Andesit Tua

Tmoa

Breksi volkanik (lahar) dengan

Oligosen Akhir – Miosen

sisipan lava andesit dan

Awal

batupasir tufan.

2. Jonggrangan

Tmj

Napal tufan, batupasir

Miosen Awal– Tengah

gampingan dengan sisipan lignit, dan ke arah atas berubah menjadi batugamping berlapis dan batugamping terumbu

3. Endapan

Material koluvial hasil rombakan Pleistosen-Holosen koluvial

Qc

formasi andesit tua

4. Endapan Merapi Qa

Pleistosen-Holosen (Kuarter) Muda

tuf, abu, breksi, aglomerat dan

leleran lava

Sumber: Peta Geologi Yogyakarta Skala 1:100.000 Direktorat Geologi Indonesia (2004)

3.4 Geomorfologi dan Bentuk Lahan

Berdasarkan Peta Bentuk lahan DAS Tinalah, secara umum, terdapat tiga proses geomorfologi yang membentuk konfigurasi bentuk lahan di daerah penelitian, yaitu proses struktural, denudasional dan fluvial. Proses struktural berupa pengangkatan (uplifting) dan penenggelaman (subsidence) yang terjadi pada masa Miosen hingga Pleistosen yang kemudian menyebabkan terbentuknya jalur patahan di beberapa tempat. Pengangkatan Kubah Progo menyebabkan Plato Jonggrangan reliefnya naik yang kemudian terdenudasi dan tersolusi kuat, sehingga sebagian besar material gampingan kini menghilang dan digantikan material dibawahnya (material volkanik tua). Sisa – sisa dari Plato Jonggrangan di daerah penelitian masih dapat ditemui di daerah hilir berupa perbukitan struktural gamping dengan tingkat pengikisan yang bervariasi. Perbukitan ini merupakan sisa dari Plato Jonggrangan di daerah penelitian yang terdenudasi sehingga morfologinya berubah menjadi perbukitan.

Proses denudasional merupakan proses dominan dan yang paling berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan kondisi bentuk lahan di daerah penelitian. Hal ini tidak lepas pula dari pengaruh iklim yang relatif basah dengan fluktuasi curah hujan dan temperatur yang tinggi, sehingga pelapukan, terutama pelapukan mekanis terjadi secara intensif. Material lapukan kemudian terdeposisi melalui mekanisme erosi dan longsoran ke daerah bawah. Proses erosi terjadi secara intensif yang dicirikan dengan kenampakan – kenampakan erosi berat seperti alur dan parit yang lebar dan dalam hingga mencapai batuan dasar. Dikarenakan bekerja pada satuan litologi yang relatif seragam (batuan andesit tua), hasil proses denudasi di daerah penelitian juga relatif seragam membentuk susunan morfoaransemen perbukitan, lereng, lembah, walaupun tingkat pengikisannya bervariasi pada setiap satuan bentuk lahan. Satuan – satuan bentuk lahan ini diklasifikasikan sebagai perbukitan dan lereng denudasional dengan tingkat pengikisan bervariasi.

Proses fluvial terjadi di daerah lembah antar perbukitan dimana disini terjadi akumulasi limpasan permukaan membentuk jaringan Sungai Tinalah. Proses fluvial yang terjadi berupa pengangkutan dan pengendapan material hasil proses denudasi di sepanjang aliran Sungai Tinalah dan membentuk dataran aluvial sungai di hilir. Di beberapa bagian DAS, material aluvium ini bercampur dengan material koluvium dari perbukitan diatasnya membentuk dataran fluvio- koluvial. Secara lebih rinci, bentuk lahan yang terdapat di DAS Tinalah dapat dilihat pada Tabel 3.7 dan Gambar 3.4.

Tabel 3.7 Distribusi Bentuk Lahan di Daerah Penelitian

Nama Bentuk Lahan

Luas (Ha)

Dataran Aluvial Endapan Vulkanik Merapi Muda 0,4 Dataran Aluvial Sungai Tinalah

2,3 Dataran Fluvio-Koluvial

2,9 Kompleks Perbukitan Denudasional Breksi Andesit Napal Tuf Terkikis Sedang

35,7 Kompleks Perbukitan Denudasional Breksi Andesit, Napal Tuf, Gamping Terkikis Kuat

53,7 Kompleks Perbukitan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Sedang

27 Lembah Antar Perbukitan

35,5 Lembah Sungai Tinalah

4,6 Lereng Atas Perbukitan Denudasional Andesit, Breksi Andesit Terkikis Kuat

16,4 Lereng Bawah Pegunungan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Kuat

11,8 Lereng Kaki Koluvial

46,8 Lereng Kaki Koluvial Gamping Koral

0,4 Lereng Kaki Koluvial Gamping Tersisip

7,4 Lereng Landai Igir Denudasional Breksi Andesit Terkikis Lemah

24 Lereng Landai Perbukitan Denudasional Breksi Andesit, Gamping Koral Terkikis Ringan

7 Lereng Tengah Pegunungan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Kuat

48,3 Lereng Terjal Igir Denudasional Breksi Andesit Terkikis Kuat

29,1 Perbukitan Denudasional Breksi Andesit Terkikis Kuat

30,5 Perbukitan Struktural Gamping Koral Terkikis Ringan

18,3 Perbukitan Struktural Gamping Koral Terkikis Sedang

7,7 Sumber: Peta Bentuk Lahan DAS Tinalah

3.5 Hidrologi

Kondisi iklim, geologi dan geomorfologi sangat menentukan kondisi hidrologi suatu DAS, baik air permukaan maupun air tanah. Kondisi iklim daerah penelitian termasuk dalam kategori agak basah menurut klasifikasi Schmidt- Ferguson. Hujan yang tersedia relatif cukup untuk mengalirkan sungai sepanjang tahun. Oleh karena itu Sungai Tinalah termasuk dalam kategori sungai perenial. Jenis pola aliran sungai di DAS Tinalah termasuk dalam tipe dentritik dengan distribusi cabang sungai yang relatif rapat. Terbentuknya pola aliran sungai dentritik di daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh struktur geologi dan litologi Pegunungan Progo Barat yang didominasi batuan breksi andesit. Pola aliran sungai yang rapat dengan beberapa anak sungai masih berupa parit alam yang Kondisi iklim, geologi dan geomorfologi sangat menentukan kondisi hidrologi suatu DAS, baik air permukaan maupun air tanah. Kondisi iklim daerah penelitian termasuk dalam kategori agak basah menurut klasifikasi Schmidt- Ferguson. Hujan yang tersedia relatif cukup untuk mengalirkan sungai sepanjang tahun. Oleh karena itu Sungai Tinalah termasuk dalam kategori sungai perenial. Jenis pola aliran sungai di DAS Tinalah termasuk dalam tipe dentritik dengan distribusi cabang sungai yang relatif rapat. Terbentuknya pola aliran sungai dentritik di daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh struktur geologi dan litologi Pegunungan Progo Barat yang didominasi batuan breksi andesit. Pola aliran sungai yang rapat dengan beberapa anak sungai masih berupa parit alam yang

Litologi yang bersifat masif berupa andesit dan gamping merupakan penyebab langkanya air tanah di daerah penelitian, terutama di daerah perbukitan. Dua jenis batuan di atas tidak mampu menyimpan air dalam jumlah besar. Terlebih perbukitan yang ada mempunyai kemiringan lereng yang relatif terjal, sehingga sebagian besar material hasil rombakan dan pelapukan langsung tererosi dan terendapkan di lereng kaki dan dataran aluvial. Dua hal diatas yang menyebabkan aquifer tidak dapat berkembang dengan baik di daerah perbukitan. Walaupun demikian, pada area dengan solum tanah yang cukup tebal, aquifer lokal dan dangkal dapat terbentuk. Lapisan ini biasanya langsung mengalami kontak dengan batuan induk yang dicirikan dengan munculnya mata air dan rembesan. Aquifer di daerah penelitian terbentuk di daerah bentuk lahan lereng kaki koluvial dan dataran aluvial yang merupakan tempat akumulasi dan pengendapan material hasil proses fluvial dan denudasional.

3.6 Tanah

Pembentukan tanah di DAS Tinalah dikontrol oleh faktor – faktor pembentukan tanah, terutama oleh iklim, topografi, batuan dan waktu. Kombinasi ketiga faktor tersebut mempengaruhi jenis tanah yang terbentuk di daerah penelitian. Bahan induk tanah di DAS Tinalah berasal dari tiga formasi batuan, yaitu Andesit Tua, Jonggrangan dan Nanggulan. Pada setiap bahan induk yang berasal dari formasi berbeda, jenis tanah yang terbentuk juga berbeda. Kondisi iklim yang fluktuatif mempercepat proses pelapukan batuan, sehingga pembentukan bahan induk tanah berlangsung cepat. Namun demikian, curah hujan yang tinggi juga membawa konsekuensi tingkat erosi dan longsoran yang tinggi sehingga sebagian besar material biasanya langsung tererosi dan terakumulasi di lereng bawah. Oleh karena itu, tanah di daerah perbukitan dan lereng atas biasanya mempunyai ciri - ciri solum tanah yang tipis. Kondisi iklim di daerah penelitian kondisinya relatif sama (sedang hingga agak basah), sehingga praktis proses pembentukan tanah di daerah penelitian ditentukan oleh topografi Pembentukan tanah di DAS Tinalah dikontrol oleh faktor – faktor pembentukan tanah, terutama oleh iklim, topografi, batuan dan waktu. Kombinasi ketiga faktor tersebut mempengaruhi jenis tanah yang terbentuk di daerah penelitian. Bahan induk tanah di DAS Tinalah berasal dari tiga formasi batuan, yaitu Andesit Tua, Jonggrangan dan Nanggulan. Pada setiap bahan induk yang berasal dari formasi berbeda, jenis tanah yang terbentuk juga berbeda. Kondisi iklim yang fluktuatif mempercepat proses pelapukan batuan, sehingga pembentukan bahan induk tanah berlangsung cepat. Namun demikian, curah hujan yang tinggi juga membawa konsekuensi tingkat erosi dan longsoran yang tinggi sehingga sebagian besar material biasanya langsung tererosi dan terakumulasi di lereng bawah. Oleh karena itu, tanah di daerah perbukitan dan lereng atas biasanya mempunyai ciri - ciri solum tanah yang tipis. Kondisi iklim di daerah penelitian kondisinya relatif sama (sedang hingga agak basah), sehingga praktis proses pembentukan tanah di daerah penelitian ditentukan oleh topografi

Berdasarkan Peta Tanah DAS Tinalah pada Gambar 3.4, ordo tanah yang berkembang di daerah penelitian adalah ordo Entisol, Inceptisol dan Alfisol. Berikut ini diuraikan karakteristik setiap ordo.

1. Entisol Ordo Entisol merupakan tanah yang paling mendominasi di daerah penelitian. Entisol merupakan ordo tanah belum berkembang. Ciri khas dari ordo ini yang juga ditemui pada tanah di daerah penelitian adalah horison-horisonnya belum terdiferensiasi secara jelas. Tanah Entisol di daerah penelitian berkembang terutama di bentuk lahan perbukitan dengan kemiringan lereng relatif terjal, oleh karena itu kepekaannya terhadap erosi juga relatif tinggi. Solum tanahnya pada umumnya tipis. Hal ini dikarenakan material hasil lapukan yang merupakan bahan induk tanah kebanyakan langsung tererosi sebelum mengalami pedogenesis. Karena belum menunjukkan kecenderungan perkembangan ke ordo lain, Tanah Entisol di daerah penelitian diklasifikasikan ke dalam subordo Orthents. Rejim kelembabannya termasuk dalam kategori tropis, sehingga termasuk dalam group Troporthents. Pada area yang solum tanahnya tipis akibat sering tererosi, Alfisol yang terbentuk diklasifikasikan lebih detil ke dalam subgroup Lithic.

2. Inceptisol Inceptisol merupakan ordo tanah yang baru berkembang yang dicirikan dengan diferensiasi antar horison yang mulai tampak. Subordo Inceptisol yang berkembang di daerah penelitian adalah eutropepts karena mempunyai karakteristik rejim tropis dengan kejenuhan basa yang tinggi. Ciri lainnya adalah kedalaman tanahnya tipis (di bawah 30 cm) sehingga termasuk dalam subgroup lithic dan sebagian lainnya mempunyai sifat yang khas sehingga termasuk dalam subgroup typic. Di lapangan, tanah ini berkembang di bentuk lahan lereng kaki perbukitan dengan kemiringan lereng 8 sampai 20%. Bahan induknya sebagian besar berasal dari material koluvium dari perbukitan di atasnya. Tingkat kesuburannya secara umum lebih baik daripada Entisol dengan kepekaan erosi yang lebih rendah.

3. Alfisol Alfisol merupakan tanah yang sedang berkembang. Salah satu penciri dari ordo ini adalah adanya horison argilik yang merupakan hasil proses iluviasi. Subordo Alfisol yang berkembang di daerah penelitian adalah udalfs karena memiliki rejim kelembaban udik. Ciri lain dari sifat Tanah Alfisol di DAS Tinalah adalah horison argilik yang ada perkembangannya belum maksimal yang dicirikan dengan tidak jelasnya perbedaan antara horison argilik dan non argilik, sehingga dimasukkan dalam group Hapludalfs. Pada umumnya, ciri khas group Hapludalfs hampir semua ditemui di Tanah Alfisol di daerah penelitian. Adanya sifat ini memungkinkan tanah Alfisol di daerah penelitian dapat diklasifikasi secara lebih rinci ke dalam subgroup Typic Hapludalfs. Tanah Alfisol di daerah penelitian berkembang di bentuk lahan lereng perbukitan dengan batuan dasar breksi andesit dan gamping. Tekstur tanahnya didominasi lempung dengan kedalaman tanah antara 50 hingga 100 cm. Sebagian dari Alfisol ini terdapat secara asosiasi dan kompleks baik dengan ordo Entisol maupun Inceptisol, terutama pada bentuk lahan dengan kemiringan lereng bervariasi.

3.7 Vegetasi dan Penggunaan Lahan

Berdasarkan hasil intepretasi citra SPOT hasil operasi penggabungan citra dan kerja lapangan, daerah penelitian didominasi penggunaan lahan kebun dan tegalan. Tanaman yang ada pada penggunaan lahan kebun antara lain jati, mahoni, akasia, sengon, cengkeh dan ketela. Sedangkan jenis tanaman yang terdapat di penggunaan lahan ladang berupa tanaman semusim seperti kacang tanah, kedelai, ketela, dan jagung. Proporsi dan jenis penggunaan lahan yang terdapat di DAS Tinalah dapat dilihat pada Tabel 3.8. Permukiman penduduk di DAS Tinalah mempunyai karakteristik distribusi yang menyebar. Konsentrasi permukiman terbesar di Desa Gerbosari dimana desa ini merupakan ibukota Kecamatan Samigaluh. Penggunaan lahan sawah tadah hujan berada pada bentuk lahan lereng kaki dan dataran aluvial.

Tabel 3.8 Jenis dan Luas Penggunaan Lahan DAS Tinalah No Penggunaan lahan

Luas (Ha)

1 Sawah irigasi

2 Sawah tadah hujan

Sumber: Hasil interpretasi Citra SPOT-5 Pan sharpened resolusi spasial 2,5 meter (2006).

Vegetasi pada setiap bentuk penggunaan lahan mempunyai karakteristik tutupan yang berbeda. Penggunaan lahan kebun didominasi vegetasi strata pohon dengan tutupan vertikal kanopi yang tebal dan ketinggiannya bisa mencapai lebih dari 5 meter. Penggunaan lahan ladang dan semak didominasi vegetasi strata pohon dan semak dengan ketinggian kanopi maksimal 5 meter. Ketebalan kanopi vegetasi di penggunaan lahan ladang pada umumnya lebih tipis dari vegetasi pada penggunaan lahan kebun. Penggunaan lahan sawah didominasi vegetasi strata herba dan rumput yang termasuk dalam kategori penutupan tanah (ground cover) dengan ketinggian di bawah 2 meter. Karakteristik vegetasi yang berbeda pada setiap bentuk penggunaan lahan menyebabkan erosi yang terjadi juga berbeda.

3.8 Kependudukan dan Sosial-Ekonomi

Kondisi lingkungan fisik berupa perbukitan sangat mempengaruhi kondisi kependudukan dan sosial ekonomi penduduk di sekitar DAS Tinalah. Berdasarkan data PODES 2005 Kabupaten Kulonprogo, jumlah penduduk di DAS Tinalah sekitar lima puluh ribu jiwa yang tersebar di beberapa desa. Desa Gerbosari yang berada di bagian tengah DAS merupakan desa dengan jumlah penduduk dan luas permukiman terbesar, sebagaimana terlihat pada Tabel 3.9. Hal ini dikarenakan Desa Gerbosari merupakan ibukota Kecamatan Samigaluh dimana segala aktivitas ekonomi terpusat di sini, sehingga penduduk banyak yang terkonsentrasi di desa ini. Permukiman di DAS Tinalah mempunyai karakteristik distribusi yang menyebar tidak teratur (random). Keberadaan permukiman biasanya di bawah lereng perbukitan dan dibangun dengan memotong lereng. Pemotongan lereng untuk pembangunan permukiman menyebabkan daerah penelitian memiliki tingkat kerawanan longsor yang tinggi. Mata pencaharian penduduk sebagian besar di sektor pertanian dan perkebunan. Ketergantungan yang tinggi pada sumber daya alam yang ada menyebabkan degradasi lahan, terutama erosi berdampak nyata terhadap kondisi perekonomian penduduk DAS. Keterbatasan kemampuan lahan daerah penelitian untuk mendukung berbagai penggunaan menyebabkan penduduk tidak dapat memanfaatkan lahan yang ada secara optimal. Oleh karena itu tidak heran apabila Kecamatan Samigaluh merupakan salah satu kecamatan termiskin di Kabupaten Kulonprogo.

Tabel 3.9 Karakteristik Demografi DAS Tinalah

Nama Desa Laki-Laki Perempuan Jumlah

Kepadatan (jiwa)

Luas

(jiwa)

permukiman penduduk pada

(ha)

permukiman (jiwa/ha)

42.8 91.6 Purwoharjo 1998 2209 4207

Banjarsari 1951 1969 3920

38.5 109.3 Sidoharjo 2601 2501 5102 61.8 82.6 Gerbosari 2857 2569 5426 63.8 85.0

Ngargosari 2018 2001 4019

38.7 103.9 Jumlah 24106 24678 48784

Sumber: Analisis data PODES 2005.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Tujuan utama dari studi ini adalah memprediksi dan memetakan tutupan kanopi vegetasi dengan menggunakan atribut spektral citra penginderaan jauh dan mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi dengan tingkat erosi kualitatif yang dinilai dari bentukan erosi yang terjadi. Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian dilaksanakan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan, mulai dari pemrosesan citra dan pembuatan peta dasar, kerja lapangan pengamatan erosi dan pengukuran persentase tutupan kanopi vegetasi. Bagian ini akan menguraikan tentang jalannya penelitian yang telah dilakukan dan hasil - hasil yang diperoleh, mulai dari pemrosesan citra hingga analisis tabulasi silang untuk melihat hubungan antara tingkat erosi dan tutupan kanopi vegetasi.

4.1 Restorasi Citra

Citra penginderaan jauh mengalami berbagai macam kesalahan baik radiometrik maupun geometrik. Agar dapat digunakan sebagai sumber informasi tematik sumber daya, kesalahan – kesalahan ini harus dikoreksi terlebih dulu. Citra SPOT 5 HRG yang digunakan dalam penelitian mempunyai tingkat pemrosesan 1A yang berarti sudah terkoreksi radiometrik sistem, namun belum terkoreksi geometrik.

4.1.1 Koreksi Geometrik Citra SPOT 5 tingkat pemrosesan 1A yang digunakan dalam penelitian masih bersifat data mentah (raw image), artinya kesalahan geometrik sistematik dan non sistematik yang diakibatkan mekanisme perekaman sebagai aspek internal sensor dan sifat-sifat bumi sebagai aspek eksternal masih belum diperbaiki, sehingga citra perlu dikoreksi geometrik. Koreksi geometrik untuk memperbaiki kesalahan geometrik dilakukan dengan menggunakan transformasi tiga dimensi atau orthorektifikasi. Orthorektifikasi citra dalam penelitian ini dilakukan menggunakan RPC dan informasi elevasi dari DEM ataupun titik 4.1.1 Koreksi Geometrik Citra SPOT 5 tingkat pemrosesan 1A yang digunakan dalam penelitian masih bersifat data mentah (raw image), artinya kesalahan geometrik sistematik dan non sistematik yang diakibatkan mekanisme perekaman sebagai aspek internal sensor dan sifat-sifat bumi sebagai aspek eksternal masih belum diperbaiki, sehingga citra perlu dikoreksi geometrik. Koreksi geometrik untuk memperbaiki kesalahan geometrik dilakukan dengan menggunakan transformasi tiga dimensi atau orthorektifikasi. Orthorektifikasi citra dalam penelitian ini dilakukan menggunakan RPC dan informasi elevasi dari DEM ataupun titik

1) hingga 39 (untuk transformasi orde3) (Harintaka dkk, 2006). Dikarenakan citra SPOT yang digunakan telah mengandung informasi RPC dalam header citranya, maka orthorektifikasi dalam penelitian ini dilakukan tanpa menggunakan titik kontrol tanah. Informasi ketinggian pada setiap piksel citra diperoleh dari DEM (digital elevation model) yang diturunkan dari data kontur Peta Rupabumi. Perbandingan citra sebelum dan sesudah koreksi geometrik dapat dilihat pada Gambar 4.1.

(a) (b)

Gambar 4.1. Citra SPOT-5 sebelum koreksi geometrik (a) dan sesudah koreksi geometrik (b)

Ketelitian posisi citra hasil koreksi dapat dinilai secara kualitatif maupun kuantitatif dengan menggunakan RMSE (root mean square error). Dalam penelitian ini, ketelitian posisi dinilai secara kualitatif dengan menggunakan data vektor dari Peta Rupabumi Indonesia Bakosurtanal Skala 1:25.000 (Harintaka,

2003). Pembandingan dilakukan dengan mentumpangsusunkan antara citra hasil koreksi dengan obyek sungai yang diturunkan dari Peta RBI. Hasil orthorektifikasi dapat dilihat pada Gambar 4.2. Dari Gambar tersebut, obyek sungai dari peta RBI ternyata dapat tepat berimpit dengan kenampakan sungai dari peta. Hasil ini menunjukkan bahwa orthorektifikasi menghasilkan ketelitian posisi yang tinggi.

Gambar 4.2 Citra hasil orthorektifikasi

4.1.2 Koreksi Radiometrik

Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian ini sudah terkoreksi radiometrik sistematik. Terkoreksi radiometrik sistematik dapat diartikan bahwa kesalahan – kesalahan radiometrik yang berkaitan dengan mekanisme internal sensor sudah dikoreksi oleh stasiun penerima, namun demikian faktor eksternal sensor seperti pengaruh hamburan atmosfer belum tentu sudah terkoreksi (Danoedoro, komunikasi pribadi). Pengaruh hamburan atmosfer dapat diidentifikasi jika terdapat obyek air yang mempunyai nilai piksel lebih dari 0 pada saluran inframerah gelombang pendek (saluran 4 pada sensor SPOT-5).

Secara teori, obyek air yang jernih, tenang dan dalam seharusnya mempunyai nilai piksel tidak jauh dari 0. Hal ini dikarenakan obyek air banyak menyerap sinyal elektromagenik matahari pada saluran inframerah gelombang pendek, sehingga respon spektral air pada saluran ini biasanya sangat lemah. Namun jika nilainya bukan 0, maka bisa dipastikan telah terjadi penambahan informasi spektral yang mencapai sensor yang tidak berasal dari obyek air di permukaan bumi, melainkan dari hamburan atmosfer (Danoedoro, 1996). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada seluruh area liputan citra, kenampakan air yang jernih dan dalam (Waduk Sermo) ternyata tidak menunjukkan nilai 0 pada saluran 4 (saluran inframerah gelombang pendek), sehingga bisa dipastikan bahwa ada pengaruh hamburan atmosfer yang menyebabkan peningkatan respon spektral.

Koreksi radiometrik citra dilakukan dengan menggunakan metode kalibrasi bayangan. Tahapan dalam koreksi diawali dengan pengambilan pasangan sampel nilai piksel yang merepresentasikan obyek penutup lahan yang sama, yang berada di daerah yang tertutup bayangan awan (Eis) dan daerah yang tidak tertutup bayangan awan (Eit). Dari pembacaan yang dilakukan, diperoleh 10 titik sampel pengamatan yang tersebar merata di seluruh area liputan citra. Informasi nilai piksel pada setiap titik sampel dapat dilihat pada lampiran 1.

Penentuan nilai bias atmosfer (D λ) dilakukan dengan menggunakan analisis regresi antara Eit dan Eis. Persamaan regresi linier yang diperoleh kemudian disubstitusikan ke persamaan 2 untuk memperoleh nilai D λ. dan nilai bias (D λ) yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 4.2. Hasil analisis regresi dan persamaan yang diperoleh serta perhitungan lengkap dapat dilihat pada lampiran

Tabel 4.1 Nilai Bias Atmosfer Setiap Saluran Citra SPOT-5 Nama Saluran

Nilai bias (D λ)

Saluran 1 (Hijau)

36 Saluran 2 (Merah)

21 Saluran 3 (Inframerah dekat/NIR)

33 Saluran 4 (Inframerah gelombang pendek/SWIR)

21 Sumber: Hasil analisis kalibrasi bayangan, 2008

Hasil koreksi radiometrik pada tabel menunjukkan saluran XS1 SPOT merupakan saluran yang paling terpengaruh oleh kondisi atmosfer berupa hamburan yang menyebabkan penambahan pantulan spektral, sehingga respon spektral yang direkam sensor tidak mencerminkan hasil interaksi obyek dengan tenaga matahari yang sebenarnya. Berdasarkan hasil analisis, nilai biasnya cukup tinggi yaitu berkisar 20 hingga 36. Semakin bertambah panjang gelombang, pengaruh hamburan seakin berkurang yang ditandai dengan penurunan nilai bias. Hasil analisis menunjukkan saluran 2, 3 dan 4 mempunyai nilai bias yang lebih rendah dari saluran 1.

Hasil yang diperoleh dari operasi restorasi citra adalah citra yang minim kesalahan baik secara radiometrik maupun geometrik untuk digunakan dalam tahapan analisis berikutnya, yaitu pembuatan citra NDVI dan ekstraksi data tutupan kanopi.

4.2 Transformasi NDVI

NDVI dirancang untuk dapat memilahkan obyek vegetasi dan bukan vegetasi secara cepat dengan menggunakan informasi karakteristik pantulan vegetasi pada saluran merah dan inframerah dekat. Pantulan vegetasi yang tinggi pada saluran inframerah dekat dan sebaliknya pada saluran merah menyebabkan obyek vegetasi mengumpul di kisaran nilai positif tinggi pada citra NDVI, sedangkan obyek tanah air yang pantulannya lebih tinggi pada saluran merah mengumpul pada nilai positif rendah hingga nol untuk obyek air, dan negatif rendah untuk obyek tanah dan lahan terbangun. Dengan karakteristik tersebut, maka obyek vegetasi, tanah dan air dapat dibedakan dengan mudah menggunakan teknik density slicing.

Berdasarkan hasil analisis, NDVI yang diperoleh mempunyai karakteristik julat nilai digital antara -0,5 hingga 0,89. Dari histogram citra pada Gambar 4.3 dapat diketahui bahwa frekuensi nilai digital kebanyakan mengumpul di julat 0,4 hingga 0,8. Hasil ini menunjukkan bahwa daerah penelitian didominasi penutup lahan vegetasi. Hasil inspeksi pada seluruh bagian citra menunjukkan nilai ambang batas (treshold) untuk membedakan obyek vegetasi dan bukan vegetasi Berdasarkan hasil analisis, NDVI yang diperoleh mempunyai karakteristik julat nilai digital antara -0,5 hingga 0,89. Dari histogram citra pada Gambar 4.3 dapat diketahui bahwa frekuensi nilai digital kebanyakan mengumpul di julat 0,4 hingga 0,8. Hasil ini menunjukkan bahwa daerah penelitian didominasi penutup lahan vegetasi. Hasil inspeksi pada seluruh bagian citra menunjukkan nilai ambang batas (treshold) untuk membedakan obyek vegetasi dan bukan vegetasi

Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah

Nilai NDVI Gambar 4.3 Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah

4.3 Penggabungan Citra dan Pemetaan Penggunaan Lahan

4.3.1 Penggabungan Citra

Pemetaan penggunaan lahan pada skala 1:50.000 memerlukan citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial sama atau lebih tinggi dari 10 meter (Richards dan Jia, 2006). Persyaratan ini menyebabkan citra SPOT-5 multispektral tidak selalu dapat digunakan untuk menurunkan informasi penggunaan lahan pada skala yang menjadi tujuan penelitian. Hambatan ini dapat diatasi dengan menggunakan citra pakromatik yang direkam pada waktu yang sama dengan citra multispektral, namun mempunyai resolusi dan detil spasial yang lebih baik (2,5 meter). Namun demikian, citra ini hanya dapat divisualisasikan secara monokromatik karena direkam pada saluran tunggal. Oleh karena itu, pembedaan obyek dari segi spektral hanya bisa dilakukan dari identifikasi perbedaan rona pada citra. Hal ini membawa kesulitan tersendiri karena saluran pankromatik SPOT hanya peka pada saluran hijau – merah (0,51- 0,73µm), sehingga obyek tertentu seperti vegetasi berdaun jarum kerapatan jarang dan tanah terbuka menunjukkan respon spektral yang hampir seragam sehingga sukar dibedakan dari ronanya. Permasalahan di atas yang mendasari dilakukannya penggabungan citra (image fusion) antara citra multispektral dan pankromatik. Dengan digabungkannya kedua citra, kelebihan –kelebihan dari citra multispektral dan pankromatik dapat diintegrasikan menjadi citra baru yang memiliki kerincian informasi spektral citra multispektral sekaligus kedetilan spasial citra pakromatik. Hasil operasi penggabungan citra dengan susunan komposit warna 432 dan perbandingannya dengan citra asal dapat dilihat pada Gambar 4.5

(a) (b) (c)

Gambar 4.5 Citra multispektral (a), Citra Pankromatik (b) dan Citra gabungan (c)

Penggunaan komposit warna 432 dan algoritma transformasi IHS (Intensity Hue Saturation) untuk menggabungkan citra multispektral dan pankromatik memberikan beberapa kelebihan dilihat dari aspek kegunaannya untuk interpretasi penggunaan lahan. Pelibatan saluran 4 (SWIR) yang peka terhadap kandungan air dalam penyusunan komposit warna memberikan keuntungan berupa kemudahan dalam membedakan obyek tanah terbuka lembab (berasosiasi dengan penggunaan lahan sawah) dan lahan terbangun. Sebaliknya, pada susunan komposit warna semu standar 321 SPOT yang biasa diterapkan pada Citra SPOT 1-3, lahan terbuka lembab dan lahan terbangun tidak dapat dibedakan dengan mudah. Hal ini disebabkan pada saluran 1 dan 2, kedua obyek tersebut mempunyai karakteristik spektral yang mirip. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.6.

Lahan terbangun

Tanah terbuka lembab

Gambar 4.6 Perbedaan Kenampakan Obyek Pada Komposit 321 dan 432

Penggunaan transformasi IHS untuk penggabungan citra memberikan kelebihan berupa hasil citra yang dapat mensimulasikan komposit warna alami (natural color composite). Efek warna alami ini dapat terjadi karena adanya perbedaan karakteristik spektral citra pankromatik yang diinjeksikan sebagai komponen intensitas dan komponen intensitas citra multispektral. Citra pankromatik kepekaan sensornya hanya mencapai spektrum merah sehingga pantulan obyek vegetasi relatif rendah namun relatif tinggi untuk obyek air, sedangkan komponen intensitas citra multispektral komposit 432 justru menunjukkan karakteristik yang sebaliknya sebagai akibat penggunaan saluran 3 dan 4. Akibat dari adanya perbedaan karakteristik spektral ini adalah ketika transformasi balik (inverse transformation) ke sistem RGB dilakukan, obyek vegetasi mengalami pengurangan intensitas menghasilkan warna yang lebih gelap dan mendekati warna alami obyek, sedangkan obyek air ditingkatkan intensitasnya menghasilkan warna biru yang lebih cerah. Citra hasil transformasi dapat dilihat pada Gambar 4.8.

(a)

(b)

Gambar 4.7 Citra SPOT Pankromatik (a) dan Komponen Intensitas dari Citra SPOT Multispektral Komposit 432 (b)

4.3.2 Pemetaan Penggunaan Lahan

Kondisi tutupan kanopi vegetasi memberikan perlindungan terhadap tanah dari proses erosi. Jenis vegetasi berbeda mempunyai efektivitas perlindungan terhadap erosi yang berbeda. Pemetaan penutup/penggunaan lahan sering dilakukan untuk menilai peran dan pengaruh vegetasi terhadap erosi (Vierling, 2006). Dalam studi ini, pemetaan penggunaan lahan dilakukan untuk melihat perbedaan pengaruh jenis dan kondisi tutupan kanopi vegetasi terhadap tingkat erosi. Asumsi yang digunakan adalah pada penggunaan lahan berbeda, jenis dan tutupan kanopi vegetasinya juga berbeda, sehingga pengaruhnya terhadap erosi juga berbeda. Dengan mendasarkan pada asumsi ini, kelas penggunaan lahan berfungsi sebagai strata dalam penentuan lokasi sampel pengukuran tutupan kanopi vegetasi dan lokasi pengamatan bentuk erosi untuk menilai tingkat erosi.

60

60

Peta penggunaan lahan dalam studi ini diturunkan dari interpretasi visual Citra SPOT-5 hasil penggabungan saluran multispektral dan pankromatik. Operasi penggabungan citra multispektral komposit 432 dan pankromatik menggunakan transformasi IHS memberikan hasil citra gabungan yang mendekati komposit warna alami. Efek warna alami dan kontras citra pankromatik yang dapat dipertahankan pada citra gabungan membuat proses interpretasi dan deduksi penggunaan lahan dapat dilakukan dengan mudah dibanding penggunaan citra multispektral dan pankromatik secara terpisah. Integrasi kerincian spektral citra multispektral dan kerincian spasial citra pankromatik memungkinkan pembedaan bentuk – bentuk penggunaan lahan yang sebelumnya sulit dibedakan pada citra multispektral menjadi lebih mudah. Penggunaan lahan tertentu seperti sawah dapat diidentifikasi dan dideliniasi dengan mudah dari bentuk penggunaan lahan lain seperti kebun dan permukiman. Berdasarkan pemetaan yang telah dilakukan, sebanyak enam kelas penggunaan lahan utama dapat diperoleh sesuai dengan skema klasifikasi yang digunakan. Penggunaan lahan kebun dengan jenis vegetasi campuran merupakan penggunaan lahan dominan di DAS Tinalah (Tabel 3.7).

Ketelitian hasil interpretasi secara keseluruhan (overall accuracy) adalah sebesar 95% sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.2. Uji akurasi dilakukan menggunakan matriks kesalahan atau error matrix (Campbell, 2002). Pengujian dilakukan dengan membandingkan data hasil interpretasi sebagai data klasifikasi dan data pengamatan penggunaan lahan di lapangan sebagai data referensi. Distribusi lokasi sampel pengamatan dapat dilihat pada Gambar 4.12. Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa kesalahan interpretasi terbesar adalah pada penggunaan lahan tegalan yang salah terklasifikasikan sebagai kebun (User Accuracy sebesar 90%). Demikian pula sebaliknya. Kesalahan ini disebabkan karena kedua jenis penggunaan lahan ini tidak dapat dibedakan dengan mudah menggunakan kunci interpretasi citra seperti pola dan tekstur, walaupun resolusi spasial citra yang digunakan sudah cukup detil (2,5 meter). Kesamaan karakteristik dan jenis vegetasi pada kedua penggunaan lahan tersebut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi. Penggunaan lahan kebun didominasi oleh tanaman berkayu dan keras seperti jati, mahoni, dan kelapa.

Tanaman – tanaman ini juga ditemui pada penggunaan lahan tegalan, walaupun frekuensinya tidak sebanyak pada penggunaan lahan kebun. Kesamaan jenis vegetasi ini yang menyebabkan batas antara penggunaan lahan kebun dan tegalan susah diidentifikasi. Karakteristik setiap kelas penggunaan lahan pada citra dan bukti kenampakan sesungguhnya di lapangan dapat dilihat pada Gambar 4.9.

Tabel 4.2 Hasil Uji Akurasi Interpretasi Penggunaan Lahan

Data Hasil Klasifikasi

Producer's Accuracy (%)

Tadah hujan

Permukiman 12 0 0 0 0 0 12 100

si n

Kebun campur 0 28 0 0 0 0 28 100

e re

ef Semak belukar 0 0 2 0 0 0 2 100 Tegalan 0 3 0 7 0 0 10 100

Data R

Sawah irigasi 0 0 0 0 2 0 2 100 Sawah tadah hujan

0 0 0 0 0 13 13 100 Total 12 31 2 7 2 13 64

96

User Accuracy (%)

Sumber : Hasil analisis (2008)

Gambar 4.9 Foto Kenampakan Penggunaan Lahan Pada Citra dan Kenampakan Sesungguhnya di Lapangan untuk Sawah (a), Tegalan (b), Kebun (c) dan

Lahan terbangun (d)

Dinamika temporal vegetasi dan penutup lahan di daerah penelitian juga merupakan salah satu faktor penyebab sulitnya pembedaan penggunaan lahan kebun dan tegalan. Dinamika ini nampak jelas terutama pada penggunaan lahan sawah dan tegalan dimana perubahannya bisa mencapai skala harian. Dengan selisih waktu yang cukup signifikan antara tanggal perekaman citra (Mei 2006) dan survei lapangan (April 2008), tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi penutup dan penggunaan lahan di daerah penelitian telah banyak berubah. Pada saat citra direkam, sebagian besar penggunaan lahan sawah berada pada kondisi pasca panen dengan penutup lahan berupa tanah terbuka lembab yang dicirikan dengan warna biru cerah pada citra, namun pada waktu survei lapangan dilakukan, kondisi penutup lahan pada penggunaan lahan sawah berada pada tahap pertumbuhan maksimum. Bukti dari uraian di atas dapat dilihat pada Gambar 4.10a dan 4.10b. Ketidaksesuaian ini menjadikan penggunaan indeks vegetasi untuk menentukan persentase tutupan kanopi pada penggunaan lahan sawah tidak dapat diaplikasikan karena nilai digital NDVI tidak mencerminkan kondisi tutupan di lapangan. Dengan adanya ketidak sesuaian ini, untuk selanjutnya analisis hubungan tutupan kanopi vegetasi dan tingkat erosi pada penggunaan lahan sawah tidak dilakukan karena bisa dipastikan hasilnya tidak akan shahih dan memuaskan.

(a)

(b)

Gambar 4.10 Foto Kondisi penutupan lahan pada penggunaan lahan sawah pada saat citra direkam (a) dan kondisi penutupan lahan pada saat survei lapangan dilakukan (b)

Faktor terakhir yang menjadi kendala dalam pemetaan penggunaan lahan daerah penelitian adalah kualitas citra. Citra SPOT-5 Pankromatik resolusi 2,5 meter yang digunakan dalam operasi penggabungan citra sebenarnya bukan merupakan citra yang direkam pada resolusi 2,5 meter murni, melainkan merupakan citra sintesis hasil penggabungan dua citra pankromatik indentik resolusi 5 meter dari sensor HRG1 dan HRG2 satelit SPOT-5 (SPOT IMAGE, 2006). Karena merupakan citra sintesis hasil proses resampling, maka kualitas dan detil spasial citra kurang begitu tajam dan citra tampak sedikit kabur (blur). Kurang tajamnya detil spasial citra berimplikasi pada sulitnya identifikasi jenis vegetasi dan pembedaan penggunaan lahan kebun dan tegalan di daerah penelitian.

4.4 Kerja Lapangan Pengukuran Persentase Tutupan Kanopi

Pengukuran persentase tutupan kanopi di lapangan dilakukan untuk memperoleh data referensi guna menurunkan model regresi. Pengukuran dilakukan secara purposive sampling pada kelas penggunaan lahan kebun campur dan tegalan. Pengukuran dan observasi lapangan dilakukan selama kurang lebih tiga minggu, yaitu pada minggu pertama hingga ketiga bulan April 2008. Selain pengukuran tutupan kanopi, pengamatan bentuk erosi dan pengumpulan data referensi untuk menilai akurasi hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra juga dilakukan pada waktu yang sama. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan teknik estimasi oskular sebagaimana telah diuraikan pada butir 2.1.5.

Berdasarkan hasil survei lapangan yang telah dilakukan, sebanyak 42 sampel dapat dikumpulkan, meliputi 29 sampel pada penggunaan lahan kebun campur, 12 sampel pada penggunaan lahan tegalan dan 1 sampel pada penggunaan lahan semak. Pengamatan pada penggunaan lahan sawah tidak dilakukan dikarenakan alasan sebagaimana telah dijelaskan pada butir 4.3.2. Sedangkan pengamatan pada penggunaan lahan permukiman tidak dilakukan karena diasumsikan pada penggunaan lahan ini tutupan kanopi vegetasinya adalah 0%. Distribusi spasial dari sampel yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 4.12. Dari pemetaan penggunaan lahan yang telah dilakukan, diketahui bahwa pengunaan lahan di daerah penelitian didominasi oleh penggunaan lahan kebun, oleh karena itu proporsi sampel pada penggunaan lahan ini lebih banyak untuk mengakomodasi variabilitas parameter pada lokasi yang berbeda. Sesuai dengan teknik pengambilan sampel yang digunakan, pengamatan dilakukan sebanyak lima kali pada setiap plot sampel. Hasil dari pengamatan di setiap plot kemudian dirata-ratakan untuk memperoleh nilai persentase tutupan kanopi pada plot yang bersangkutan. Contoh hasil estimasi pada lahan kebun dengan tutupan kanopi berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.11

Gambar 4.11 Foto Contoh Hasil Estimasi Tutupan Kanopi

4.5 Pengamatan Bentuk Erosi dan Penilaian Tingkat Erosi Kualitatif

Pengamatan bentuk erosi di lapangan bertujuan untuk menilai secara kualitatif tingkat erosi di lapangan. Bentukan erosi yang terjadi pada suatu lahan merupakan indikator intensitas laju kehilangan tanah pada area pengamatan. Dari pengamatan yang telah dilakukan selama satu bulan (April 2008), terdapat setidaknya tujuh macam bentukan yang ditemui pada lahan – lahan di DAS Tinalah. Bentukan erosi tersebut antara lain pedestal, material kasar di permukaan tanah (armour layer), gundukan tanah di bawah pohon (tree mound), singkapan akar tanaman (root exposure), endapan tanah pada saluran drainase (sedimen in drains), akumulasi endapan tanah di sisi sebelah atas tanaman pada lereng yang miring (build up against tree trunk/plant stem), alur (rill) dan parit (gully).

Pedestal merupakan bentukan yang paling sering ditemui pada sebagian besar area pengamatan di daerah penelitian. Pedestal adalah suatu kolom tanah yang menyerupai tiang, yang diatasnya ditutupi oleh material resisten (akar, batu), yang berfungsi sebagai material pelindung (capping material). Pedestal disebabkan proses pemecahan partikel tanah (soil detachment) pada lahan dengan kekasaran permukaan yang bervariasi. Ketika terjadi hujan, partikel tanah di sekitar pedestal terpecah dari agregat tanah akibat tumbukan dengan butir-butir hujan dan kemudian terangkut oleh limpasan permukaan. Partikel-partikel tanah dalam pedestal sendiri tidak terpengaruh percikan hujan karena adanya material pelindung yang menyerap kekuatan perusak dari butir – butir hujan. Di daerah penelitian, pedestal ditemui pada penggunaan lahan kebun dan tegalan dengan berbagai variasi tutupan kanopi vegetasi, kemiringan lereng, penutupan tanah, sifata tanah dan praktek konservasi tanah. Perbedaan ketinggian pedestal mencerminkan perbedaan intensitas erosi yang terjadi pada suatu area pengamatan.

(a) (b)

Gambar 4.13 Foto Kenampakan Pedestal dengan Material Pelindung Batu (a) dan Akar Tanaman (b)

Armour layer juga merupakan bentukan yang sering ditemui pada berbagai area pengamatan. Armour layer adalah konsentrasi partikel – partikel kasar di permukaan tanah yang umumnya tersebar secara acak pada tanah atas (top soil). Bentukan ini terjadi karena limpasan permukaan hanya mampu mengangkut partikel tanah yang berukuran halus, sedangkan partikel yang lebih kasar tertinggal di permukaan tanah. Di daerah penelitian, bentukan ini kebanyakan terbentuk pada penggunaan lahan tegalan dengan tutupan kanopi (canopy cover) vegetasi dan penutupan tanah (ground cover) yang jarang. Tutupan kanopi dan tutupan tanah yang jarang menyebabkan proses pemecahan partikel tanah (soil detachment) dan pengangkutan partikel tanah oleh limpasan permukaan berlangsung tanpa adanya penghalang.

Gambar 4.14 Foto Armour Layer Pada Penggunaan Lahan Tegalan dengan Tutupan Kanopi dan Tutupan Tanah Jarang

Bentukan erosi lain seperti singkapan akar, tree mound, dan sediment in drains ditemui hanya pada beberapa lokasi pengamatan. Singkapan akar disebabkan partikel tanah di sekitar batang tanaman mengalami pemecahan dan pemindahan oleh aliran batang (stemflow). Pemecahan dan pemindahan material di sekitar batang tanaman menyebabkan penurunan permukaan tanah dan selanjutnya menyebabkan akar tanaman menjadi tersingkap. Kedalaman singkapan akar menunjukkan intensitas erosi yang terjadi.

Gambar 4.15 Foto Singkapan Akar (root exposure) Pada Tanaman Jagung

Tree mound merupakan bentukan erosi berupa permukaan tanah di bawah kanopi pohon yang lebih tinggi dari permukaan di sekitarnya yang tidak tertutup kanopi. Bentukan ini terjadi karena area yang tidak terlindungi kanopi tererosi lebih intensif daripada area yang terlindungi kanopi. Ketinggian permukaan tanah pada tree mound menunjukkan permukaan tanah semula sebelum tererosi. Bentukan ini ditemui terutama pada penggunaan lahan kebun dengan vegetasi dominan berupa pohon.

Gambar 4.16 Foto Gundukan Tanah di bawah Kanopi Tanaman (tree mound)

Bentukan akumulasi tanah di sisi sebelah atas tanaman (build up against tree trunk/plant stem) merupakan bentukan erosi berupa akumulasi material hasil erosi pada sisi sebelah atas tanaman. Bentukan ini terjadi karena material hasil pemecahan partikel tanah yang terbawa oleh limpasan permukaan terhalang oleh batang tanaman, sehingga kemudian terendapkan di sisi sebelah atas dari batang tanaman. Bentukan ini terjadi pada penggunaan lahan kebun dengan kemiringan lereng lebih dari 15%. Ketebalan material mengindikasikan intensitas proses erosi yang terjadi.

Gambar 4.17 Foto Akumulasi Material Pada Sisi Sebelah Atas Batang Tanaman Pada Lereng Lebih Dari 15%

Bentukan akumulasi sedimen pada saluran drainase (sediment in drains) terjadi pada penggunaan lahan kebun yang dibuat teras, dan tegalan. Ciri khas bentukan ini berupa adanya endapan material berukuran halus di sepanjang saluran drainase. Material yang terendapkan ini berasal dari lahan di atas saluran Bentukan akumulasi sedimen pada saluran drainase (sediment in drains) terjadi pada penggunaan lahan kebun yang dibuat teras, dan tegalan. Ciri khas bentukan ini berupa adanya endapan material berukuran halus di sepanjang saluran drainase. Material yang terendapkan ini berasal dari lahan di atas saluran

Gambar 4.18 Foto Endapan Material Hasil Limpasan Permukaan di sepanjang Saluran Drainase Pada Penggunaan Lahan Tegalan.

Bentukan yang mengindikasikan erosi berat hingga sangat berat seperti alur (rill) dan parit (gully) jarang ditemui selama observasi lapangan dilakukan. Dari 42 lokasi pengamatan, hanya ditemui tiga lokasi yang terdapat erosi alur, dan tiga lokasi yang terdapat erosi parit. Penyebab jarangnya ditemukan kenampakan erosi alur di daerah penelitian disebabkan sebagian besar lahan di daerah penelitian sudah terkonservasi dalam bentuk teras. Praktek konservasi tanah berupa teras pada lereng landai hingga curam menyebabkan konsentrasi limpasan permukaan yang dapat berkembang menjadi erosi alur tidak terjadi. Selain itu, berdasarkan pengamatan oskular, sebagian besar lahan di daerah penelitian mempunyai tutupan kanopi vegetasi dan atau tutupan tanah yang rapat. Tutupan kanopi yang rapat memberikan perlindungan terhadap tanah dari daya rusak butir hujan dalam bentuk penahanan butir hujan oleh kanopi, sehingga ketika butir hujan mencapai permukaan tanah, erosivitasnya sudah berkurang dan mengurangi jumlah partikel tanah yang terlepas. Adanya penutupan tanah (ground cover) yang Bentukan yang mengindikasikan erosi berat hingga sangat berat seperti alur (rill) dan parit (gully) jarang ditemui selama observasi lapangan dilakukan. Dari 42 lokasi pengamatan, hanya ditemui tiga lokasi yang terdapat erosi alur, dan tiga lokasi yang terdapat erosi parit. Penyebab jarangnya ditemukan kenampakan erosi alur di daerah penelitian disebabkan sebagian besar lahan di daerah penelitian sudah terkonservasi dalam bentuk teras. Praktek konservasi tanah berupa teras pada lereng landai hingga curam menyebabkan konsentrasi limpasan permukaan yang dapat berkembang menjadi erosi alur tidak terjadi. Selain itu, berdasarkan pengamatan oskular, sebagian besar lahan di daerah penelitian mempunyai tutupan kanopi vegetasi dan atau tutupan tanah yang rapat. Tutupan kanopi yang rapat memberikan perlindungan terhadap tanah dari daya rusak butir hujan dalam bentuk penahanan butir hujan oleh kanopi, sehingga ketika butir hujan mencapai permukaan tanah, erosivitasnya sudah berkurang dan mengurangi jumlah partikel tanah yang terlepas. Adanya penutupan tanah (ground cover) yang

Di daerah penelitian, erosi alur terbentuk pada penggunaan lahan tegalan yang baru mengalami pembajakan tanah (tillage), sehingga belum terdapat vegetasi yang tumbuh di atasnya. Sebagai akibatnya, proses pemecahan partikel tanah dan pengangkutan material hasil pemecahan oleh limpasan permukaan terjadi secara hebat karena tanah berada dalam kondisi terbuka dan tanpa perlindungan. Erosi alur yang terbentuk di lokasi penelitian mempunyai kedalaman rata-rata 4 cm. Dengan kedalaman tersebut, maka tingkat erosi pada daerah pengamatan termasuk dalam kategori berat. Selain pada tegalan yang baru dibajak, erosi alur juga terjadi pada area-area yang baru mengalami longsor lahan. Material hasil longsoran besar yang umurnya relatif baru pada umumnya memiliki karakteristik material yang bersifat lepas, penutupan tanah yang jarang, lereng yang panjang (lebih dari 5 meter) dan kemiringan lereng lebih dari 8%. Kombinasi faktor-faktor di atas menyebabkan limpasan permukaan terkonsentrasi pada area tertentu dan membentuk depresi memanjang atau alur (rill). Proses pemecahan dan pengangkutan material terjadi sepanjang alur ini.

(a) (b)

Gambar 4.19 Foto Erosi Alur Pada Daerah Bekas Longsoran (a) dan Tegalan yang Baru Dibajak (b)

Erosi parit merupakan bentuk perkembangan dari erosi alur. Erosi alur yang tidak segera dikontrol dalam jangka waktu lama akan semakin lebar dan dalam. Jika kedalaman alur mencapai lebih dari 30 cm, maka alur ini dapat dikategorikan sebagai parit. Perkembangan parit akan semakin intensif jika lereng Erosi parit merupakan bentuk perkembangan dari erosi alur. Erosi alur yang tidak segera dikontrol dalam jangka waktu lama akan semakin lebar dan dalam. Jika kedalaman alur mencapai lebih dari 30 cm, maka alur ini dapat dikategorikan sebagai parit. Perkembangan parit akan semakin intensif jika lereng

4 meter. Erosi parit yang ditemui di daerah penelitian merupakan bentukan permanen, kompleks dan terbentuk dalam jangka waktu lama. Kompleksitas pembentukan dan perkembangan erosi parit di daerah penelitian tidak dapat dijelaskan hanya dengan mendasarkan pada hasil analisis dan pengamatan faktor- faktor pengaruh erosi pada satu waktu saja. Oleh karena itu, dalam studi ini analisis hubungan tingkat erosi kualitatif berdasarkan kenampakan erosi yang terjadi dengan kondisi tutupan kanopi vegetasi hanya dibatas sampai pada erosi alur.

Gambar 4.20 Foto Erosi Parit Pada Penggunaan Lahan Tegalan

Bentuk – bentuk erosi di atas merupakan bukti proses erosi yang terjadi di area pengamatan dan dapat dijadikan alat untuk menilai tingkat erosi area pengamatan secara kualitatif (Linden, 1980). Penilaian dilakukan dengan mendasarkan pada kriteria tingkat erosi kualitatif menurut Morgan (1995) yang Bentuk – bentuk erosi di atas merupakan bukti proses erosi yang terjadi di area pengamatan dan dapat dijadikan alat untuk menilai tingkat erosi area pengamatan secara kualitatif (Linden, 1980). Penilaian dilakukan dengan mendasarkan pada kriteria tingkat erosi kualitatif menurut Morgan (1995) yang

Hasil Penilaian Tingkat Erosi Berdasarkan Observasi Kenampakan Erosi Di Lapangan

Sangat berat

Sangat Ringan

Tingkat Erosi

Gambar 4.21 Grafik Hasil Penilaian Tingkat Erosi Pada 42 Lokasi

Pengamatan

Hasil tabulasi pada Gambar 4.21 menunjukkan bahwa sebagian besar area pengamatan mempunyai tingkat erosi sangat ringan. Tingkat erosi sangat ringan diindikasikan dengan tidak ditemukannya bentukan–bentukan yang memperlihatkan adanya erosi pada lokasi pengamatan, sedangkan erosi sangat berat diindikasikan dengan ditemukannya erosi alur yang dalam dan erosi parit.

4.6 Analisis Regresi Untuk Pemetaan Persentase Tutupan Kanopi

Berdasarkan survei lapangan yang telah dilakukan, diperoleh 42 sampel persentase tutupan kanopi pada penggunaan lahan kebun campur dan tegalan. Data persentase tutupan kanopi ini kemudian diregresikan dengan data nilai digital NDVI untuk memprediksi secara deterministik persentase tutupan kanopi vegetasi seluruh DAS untuk penggunaan lahan kebun campur dan tegalan. Analisis regresi dilakukan dengan menggunakan lima model regresi yang meliputi Berdasarkan survei lapangan yang telah dilakukan, diperoleh 42 sampel persentase tutupan kanopi pada penggunaan lahan kebun campur dan tegalan. Data persentase tutupan kanopi ini kemudian diregresikan dengan data nilai digital NDVI untuk memprediksi secara deterministik persentase tutupan kanopi vegetasi seluruh DAS untuk penggunaan lahan kebun campur dan tegalan. Analisis regresi dilakukan dengan menggunakan lima model regresi yang meliputi

dihasilkan untuk setiap kelas penggunaan lahan dapat dilihat pada tabel 4.3.a dan

4.3.b sebagai berikut.

Tabel 4.3.a. Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Kebun Campur Model 2 R r Persamaan

Linear

0,232 y = 109,39x - 5,3485 Logaritmik

0,223 y = 73,964Ln(x) + 97,884 Polinomial orde 2

0,235 y = 207,64x 2 - 175,17x + 91,354 Power 1,1494 0,473 0,224 y = 105,53x

0,226 y = 21,278e 1,6958x

Sumber: Hasil analisis (2008)

Tabel 4.3.b. Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Tegalan

Model

r 2 Persamaan

Linear

0,043 y = 106,1x - 25,463 Logaritmik

0,042 y = 64,895Ln(x) + 71,601

Polinomial orde 2 2 0,211 0,045 y = 460,76x - 465,87x + 150,6 Power

0,089 y = 143,69x 3,4591 Eksponensial 5,7209x 0,305 0,093 y = 0,7813e

Sumber: Hasil analisis (2008)

Hasil analisis regresi pada tabel 4.3.a dan 4.3.b menunjukkan bahwa model regresi non linear polinomial orde 2 merupakan model terbaik untuk memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi pada penggunaan lahan kebun yang diindikasikan dengan koefisien korelasi dan koefisien determinasi yang lebih baik dari model yang lain. Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan Purevdorj et al., (1998), yang menyimpulkan bahwa persamaan regresi polinomial orde 2 merupakan model terbaik untuk memprediksi tutupan kanopi vegetasi dari nilai indeks vegetasi. Untuk penggunaan lahan tegalan, model terbaik adalah regresi eksponensial. Diagram pencar yang menunjukkan hubungan antara nilai digital NDVI (x) dan persentase tutupan kanopi (y) pada setiap kelas penggunaan lahan Hasil analisis regresi pada tabel 4.3.a dan 4.3.b menunjukkan bahwa model regresi non linear polinomial orde 2 merupakan model terbaik untuk memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi pada penggunaan lahan kebun yang diindikasikan dengan koefisien korelasi dan koefisien determinasi yang lebih baik dari model yang lain. Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan Purevdorj et al., (1998), yang menyimpulkan bahwa persamaan regresi polinomial orde 2 merupakan model terbaik untuk memprediksi tutupan kanopi vegetasi dari nilai indeks vegetasi. Untuk penggunaan lahan tegalan, model terbaik adalah regresi eksponensial. Diagram pencar yang menunjukkan hubungan antara nilai digital NDVI (x) dan persentase tutupan kanopi (y) pada setiap kelas penggunaan lahan

(a) (b)

Gambar 4.22 Diagram Pencar Hubungan NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi Vegetasi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur (a) dan Tegalan (b)

4.7 Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Regresi dan Pemetaan Tutupan Kanopi

Hasil analisis regresi antara nilai digital NDVI SPOT dan persentase tutupan kanopi hasil pengukuran lapangan menunjukkan nilai koefisien korelasi terbaik adalah 0,485 dengan koefisien determinasi sebesar 0,235 untuk vegetasi pada penggunaan lahan kebun campur dan koefisien korelasi sebesar 0,305 dengan koefisien determinasi sebesar 0,093 untuk vegetasi pada penggunaan lahan tegalan. Jika dibandingkan dengan berbagai penelitian sebelumnya yang telah dilakukan, hasil ini menunjukkan bahwa hubungan antara nilai digital NDVI dari citra multispektral SPOT-5 dan nilai persentase tutupan kanopi hasil pengukuran lapangan tidak begitu kuat. Dengan nilai korelasi dan determinasi yang rendah, maka prediksi nilai suatu variabel menggunakan analisis regresi akan memberikan hasil yang tingkat kepercayaannya rendah. Jika hasil prediksi persentase tutupan kanopi dalam bentuk peta pada Gambar 4.23 dibandingkan dengan data persentase tutupan kanopi hasil pengukuran lapangan sebagai data referensi (grafik 4.4a dan 4.4b) dapat dilihat bahwa persamaan regresi yang dihasilkan tidak dapat memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi di daerah penelitian dengan tepat. Standar kesalahannya bahkan mencapai 13,5% untuk vegetasi pada penggunaan lahan kebun dan 33,5% untuk vegetasi pada penggunaan lahan tegalan.

Perbandingan Nilai Persentase Tutupan Kanopi Hasil Prediksi dan Nilai Hasil Pengukuran

Untuk Penggunaan Lahan Kebun Campur

Nilai referensi

Nilai prediksi

Nomor sampel

Gambar 4.24a

Perbandingan Nilai Persentase Tutupan kanopi Hasil Prediksi dan Nilai Hasil Pengukuran Untuk

Penggunaan Lahan Tegalan

Nilai referensi

40

tupa

Nilai prediksi

Nomor sampel

Gambar 4.24b

Dari hasil di atas dapat dilihat bahwa penggunaan data NDVI dari Citra SPOT-5 untuk memprediksi dan memetakan tutupan kanopi vegetasi di DAS Tinalah menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Hasil yang kurang memuaskan ini besar kemungkinan disebabkan kurang idealnya beberapa faktor dan kondisi yang sangat berpengaruh terhadap baik buruknya hasil prediksi. Faktor tersebut antara lain kualitas radiometrik citra, perbedaan temporal antara citra yang digunakan dan waktu penelitian yang cukup signifikan, serta kondisi medan yang kurang ideal.

Penggunaan nilai spektral citra penginderaan jauh untuk mengekstraksi atribut – atribut biofisik memerlukan citra dengan kualitas radiometrik yang baik. Yang dimaksud dengan kualitas radiometrik yang baik disini antara lain adalah pengaruh gangguan atmosfer dalam bentuk hamburan dan serapan yang minimal. Adanya hamburan dan serapan akibat pengaruh atmosfer dapat menyebabkan penambahan atau pengurangan intensitas radiansi yang diterima sensor, sehingga radiansi yang terekam tidak mewakili interaksi antara obyek dengan tenaga iradiansi matahari. Radiansi yang tidak mencerminkan interaksi tenaga-obyek dapat menyebabkan kesalahan dalam penggunaan nilai radiansi ini untuk mengekstrak atribut obyek. Berdasarkan inspeksi menyeluruh pada seluruh area liputan Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa

citra yang digunakan masih belum terbebas dari pengaruh atmosfer berupa adanya kabut tipis (haze), walaupun citra sudah dikoreksi radiometrik. Kabut ini nampak terutama di bagaian hilir daerah penelitian. Adanya kabut tipis menyebabkan peningkatan pantulan spektral vegetasi secara seragam pada saluran XS1 (hijau) dan XS2 (merah), sehingga nilai NDVI yang diturunkan dari salah satu dari dua saluran tersebut tidak mewakili interaksi iradiansi matahari dan respon spektral vegetasi pada area yang tertutup kabut. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis profil spektral (spectral profile) area yang dilingkari merah pada Gambar 4.25. Profil Spektral dapat dilihat pada Gambar 4.26. Dari Gambar 4.26 dapat dilihat bahwa nilai spektral pada saluran XS1 hingga XS3 untuk area A mempunyai nilai yang lebih tinggi dari yang seharusnya (area B). Nilai yang lebih tinggi ini terjadi karena ada penambahan tenaga akibat pengaruh kabut dan hamburan atmosfer yang disebut path radiance (Richards dan Jia, 2006). Implikasi dari hal di atas terhadap tujuan penelitian ini adalah nilai NDVI Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian ini menjadi tidak berkorelasi dengan persentase tutupan kanopi vegetasi.

(a) (b)

Gambar 4.25 Bukti Pengaruh Kabut Terhadap Perbedaan Nilai Pantulan Vegetasi Saluran XS2 Pada Penutup Lahan Yang Sama (a) dan Pengaruhnya

Terhadap Nilai NDVI (b).

Area A

la

Area B

Saluran Citra SPOT-5

Gambar 4.26 Profil Spektral Antara Area A dan Area B Pada Gambar 4.25 (Area A dan B Penutup Lahannya Sama)

Faktor kedua adalah perbedaan temporal ntara waktu perekaman citra dan pelaksanaan penelitian yang cukup signifikan. Sebagaimana telah diuraikan pada butir 4.3.2, waktu perekaman citra dan waktu validasi berselisih hampir dua tahun. Dalam kurun waktu dua tahun, tentunya telah terjadi perubahan besar terhadap karakteristik dan komposisi vegetasi daerah penelitian. Walaupun perubahan ini tidak terlalu nampak untuk vegetasi pada penggunaan lahan kebun campur yang didominasi tanaman keras berumur panjang, namun pada penggunaan lahan tegalan perubahan ini nampak jelas terlihat. Pengamatan pada beberapa lokasi sampel memperlihatkan adanya perbedaan komposisi vegetasi pada citra dan kondisi terkini (Gambar 4.7b pada butir 4.3.2). Bukti ini merupakan salah satu jawaban atas rendahnya korelasi antara nilai NDVI dan persentase tutupan kanopi vegetasi pada penggunaan lahan tegalan.

Faktor terakhir adalah adanya pengaruh tutupan tanah (ground cover) berupa rumput yang rapat pada area dengan tutupan kanopi jarang. Kondisi ditemui pada penggunaan lahan kebun campur dengan tutupan kanopi vegetasi yang kurang rapat (open mixed garden) dan tegalan. Adanya penutupan tanah berupa rumput pada area dengan tutupan kanopi jarang menyebabkan respon spektral dari area tersebut dipengaruhi oleh gabungan interaksi penutup tanah (ground cover) dan tutupan kanopi (canopy cover), sehingga hasil akhirnya adalah Faktor terakhir adalah adanya pengaruh tutupan tanah (ground cover) berupa rumput yang rapat pada area dengan tutupan kanopi jarang. Kondisi ditemui pada penggunaan lahan kebun campur dengan tutupan kanopi vegetasi yang kurang rapat (open mixed garden) dan tegalan. Adanya penutupan tanah berupa rumput pada area dengan tutupan kanopi jarang menyebabkan respon spektral dari area tersebut dipengaruhi oleh gabungan interaksi penutup tanah (ground cover) dan tutupan kanopi (canopy cover), sehingga hasil akhirnya adalah

Gambar 4.27 Foto Area Dengan Tutupan Kanopi Jarang Namun Tutupan Tanahnya Rapat (a), Lokasi Gambar a Pada Citra NDVI (b) dan Lokasi Gambar a Pada Citra Komposit 432 (c)

Berdasarkan uraian di atas, nampak jelas bahwa penggunaan atribut spektral citra penginderaan jauh untuk memprediksi dan memetakan kondisi tutupan kanopi masih belum optimal. Tidak idealnya beberapa faktor mulai dari kualitas citra, hingga kondisi medan yang kompleks sangat mempengaruhi akurasi hasil estimasi. Walaupun demikian, jika melihat kembali hasil pemetaan pada Gambar4.23, nampak jelas adanya kelebihan pendekatan ini dalam pemetaan tutupan kanopi vegetasi, yaitu terakomodasinya variabilitas tutupan di dalam satuan pemetaan (mapping unit). Sebagaimana nampak pada peta, variabilitas tutupan pada penggunaan lahan kebun campur yang mendominasi daerah penelitian dapat terpetakan dengan baik. Informasi variabilitas tutupan ini sangat berharga sebagai masukan dalam model erosi berbasis SIG raster untuk memprediksi laju kehilangan tanah tahunan (annual soil loss) suatu daerah aliran sungai, sebagaimana telah diuraikan oleh De Jong (1994).

4.8 Analisis Hubungan Tutupan Kanopi dan Tingkat Erosi

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah melihat bagaimana erosi terjadi pada lahan dengan kondisi tutupan vegetasi berbeda. Untuk menjawab tujuan ini, maka hasil dari observasi bentukan erosi di lapangan kemudian dikorelasikan dengan hasil prediksi kondisi tutupan kanopi vegetasi dari data NDVI SPOT-5 menggunakan teknik tabulasi silang (cross tabulation). Penggunaan citra penginderaan jauh untuk memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi memungkinkan area - area dengan tutupan kanopi berbeda dapat diidentifikasi untuk kemudian diobservasi bagaimana respon erosi yang terjadi pada area tersebut. Walaupun demikian, hasil analisis regresi memperlihatkan bahwa korelasi NDVI sebagai prediktor untuk memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi dengan data sampel hasil pengukuran persentase tutupan kanopi vegetasi di lapangan sebagai data referensi kurang memuaskan. Korelasi yang kurang signifikan menyebabkan hasil prediksi mempunyai bias yang besar, sehingga validitasnya akan meragukan jika data hasil prediksi ini dihubungkan dengan hasil analisis tingkat erosi. Sebagai alternatifnya, data hasil pengukuran persentase tutupan kanopi di lapangan digunakan untuk menilai hubungan antara tingkat erosi dan kondisi tutupan kanopi vegetasi. Derajat korelasi ditentukan dengan menggunakan indeks kappa ( κ). Hasil analisis ditunjukkan pada tabel 4.4

Tabel 4.4

Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan Kanopi Vegetasi

Tingkat erosi

sangat berat berat

sedang

ringan

sangat ringan total

sangat buruk 0 1 1 1 14

o pi n

buruk 1 1 0 0 1 3 n ka sedang 2

u tupa

T baik 3 5 2 3 4 17 sangat baik

total 6 10 7 7 12 10

Sumber: Hasil analisis (2008)

Hasil penentuan indeks kappa ( κ) dari Tabel 4.4 di atas menunjukkan tidak ada korelasi yang signifikan antara kondisi tutupan kanopi vegetasi dan tingkat erosi di lapangan. Nilai korelasi yang diperoleh sebesar 0,05. Tidak adanya korelasi antara tutupan kanopi dan tingkat erosi mengindikasikan bahwa tutupan kanopi kurang berpengaruh terhadap tingkat erosi di daerah penelitian. Untuk mengidentifikasi faktor yang lebih berpengaruh terhadap tingkat erosi di daerah penelitian, tingkat erosi dicoba dihubungkan dengan dua faktor yang juga mempengaruhi erosi, yaitu faktor topografi berupa kemiringan lereng dan faktor penutupan tanah (ground cover). Kedua jenis data tersebut dikumpulkan bersamaan dengan pengumpulan data lain pada waktu kerja lapangan dilakukan. Penutupan tanah diestimasi secara visual (oscular estimation) dengan menggunakan acuan yang sama dengan acuan untuk menentukan persentase tutupan kanopi (Gambar 2.1). Hasil estimasi kemudian diklasifikasikan menjadi 5 kelas dengan mengacu pada pedoman yang sama dengan klasifikasi tutupan kanopi vegetasi (Tabel 2.2). Kemiringan lereng area pengamatan ditentukan dengan menggunakan peta lereng yang diturunkan dari DEM SRTM yang digunakan dalam orthorektifikasi citra. Kelas kemiringan lereng yang diacu adalah kelas kemiringan lereng dalam Jamulya (1987). Hasil tabulasi silang dari kedua faktor tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan 4.6.

Tabel 4.5

Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan Tanah

Tingkat erosi

total

sangat ringan sangat buruk

sangat berat

berat Sedang

ringan

n a buruk 1 4 2 0 0 7

n ta

sedang 0 0 4 1 05

u tupa

T baik 1 0 0 4 5 10 sangat baik

total 3 7 9 10 13 20

Sumber: Hasil analisis (2008)

Tabel 4.6

Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kelas kemiringan Lereng

Tingkat erosi

total

berat sangat berat datar

sangat ringan

ringan sedang

0 0 0 1 01 landai 1

s lereng

miring 4 0 3 1 19 curam 9

kela

sangat curam 0 5 3 3 2 13

total

Sumber: Hasil analisis (2008)

Hasil pada Tabel 4.4, 4.5 dan 4.6 memperlihatkan bahwa tingkat erosi di daerah penelitian lebih berkorelasi dengan penutup tanah dari pada kemiringan lereng dan tutupan kanopi vegetasi. Indeks kappa untuk hubungan tingkat erosi dan tutupan tanah adalah sebesar 0,34, sedangkan untuk hubungan tingkat erosi dan kemiringan lereng hanya 0,03.

4.9 Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Hubungan Tutupan Kanopi Vegetasi dan Tingkat Erosi

Hasil tabulasi silang antara tingkat erosi tanah dan tutupan kanopi vegetasi menunjukkan korelasi yang lemah antara dua variabel tersebut. Korelasi yang lebih baik ditunjukkan oleh hubungan tingkat erosi dan tutupan tanah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tingkat erosi di daerah penelitian lebih dipengaruhi dan berhubungan dengan penutup tanah daripada tutupan kanopi vegetasi. Berdasarkan hasil observasi lapangan, pada dasarnya kenampakan yang mengindikasikan adanya erosi seperti pedestal, armour layer dan singkapan akar memang lebih banyak ditemui pada lahan dengan tutupan tanah jarang daripada tutupan tanah rapat, walaupun kondisi tutupan kanopi pada kedua area pengamatan tersebut sangat rapat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.27 yang menunjukkan dua area pengamatan dengan tutupan kanopi yang termasuk dalam kategori jarang namun kondisi tutupan tanahnya berbeda.

(a) (b)

Gambar 4.28 Foto Lahan Tegalan Dengan Tutupan Tanah Rapat (a) dan Jarang (b)

Gambar 4.28a menunjukkan lahan dengan kondisi penutup tanah yang rapat. Adanya tutupan tanah yang rapat menyebabkan butir hujan yang mencapai permukaan tanah ditahan oleh penutup tanah berupa rumput ataupun serasah. Penahanan butir hujan oleh penutup tanah menyebabkan proses pemecahan tanah jauh lebih kecil intensitasnya daripada ketika tanah berada dalam kondisi terbuka.

Penutupan tanah yang rapat juga mampu mencegah terjadinya limpasan permukaan dengan intensitas tinggi ketika terjadi hujan lebat. Pengurangan intensitas limpasan permukaan menyebabkan pengangkutan partikel tanah oleh limpasan permukaan jauh berkurang dan tanah menjadi lebih stabil.

Kondisi berbeda terjadi pada Gambar 4.28b yang menunjukkan lahan tegalan yang berada dalam kondisi terbuka tanpa penutup tanah. Tanah yang berada dalam kondisi terbuka menyebabkan proses pemecahan butir tanah dari agregat tanah dan pengangkutan partikel tanah hasil pemecahan oleh limpasan permukaan terjadi secara hebat dan merata pada seluruh area pengamatan. Bukti ini dapat dilihat pada Gambar 4.28b yang memperlihatkan adanya kenampakan gundukan tanah sisa permukaan awal. Kedua area pengamatan pada Gambar 4.28 berada pada lahan dengan kondisi tutupan kanopi vegetasi yang jarang. Untuk area dengan kondisi tutupan kanopi sangat rapat, selama tutupan tanahnya kurang rapat maka erosi ringan hingga sedang masih dapat terjadi yang diindikasikan dengan ditemukannya kenampakan yang mengindikasikan erosi ringan seperti pedestal, singkapan akar dan armour layer. Hal ini terjadi karena kanopi vegetasi tidak berlaku sebagai pelindung tanah yang efektif sebagaimana halnya tutupan tanah. Ketika terjadi hujan, kanopi vegetasi dapat menahan butir hujan agar tidak langsung jatuh ke tanah, namun butir - butir hujan ini akan berkumpul di ujung daun dan akhirnya jatuh ke tanah sebagai aliran daun (leafdrop) yang ukurannya bisa jadi lebih besar dari ukuran normal. Sebagai akibatnya, jika tanah dalam kondisi tanpa tutupan atau tutupannya kurang rapat, maka butir - butir hujan berukuran besar tersebut mampu memecahkan partikel tanah dalam jumlah yang signifikan.

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis di atas, dapat diketahui bahwa hubungan erosi dan faktor yang mempengaruhinya bersifat kompleks dan saling terkait satu sama lain. Kompleksitas ini menyebabkan bentuk hubungan antar faktor dan tingkat erosi yang terjadi tidak terlihat nyata. Kondisi tutupan kanopi vegetasi yang seharusnya dapat mencerminkan perlindungan terhadap tanah dari butir hujan ternyata tidak berkorelasi dengan tingkat erosi. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh tutupan tanah yang juga berperan dalam mencegah Berdasarkan hasil penelitian dan analisis di atas, dapat diketahui bahwa hubungan erosi dan faktor yang mempengaruhinya bersifat kompleks dan saling terkait satu sama lain. Kompleksitas ini menyebabkan bentuk hubungan antar faktor dan tingkat erosi yang terjadi tidak terlihat nyata. Kondisi tutupan kanopi vegetasi yang seharusnya dapat mencerminkan perlindungan terhadap tanah dari butir hujan ternyata tidak berkorelasi dengan tingkat erosi. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh tutupan tanah yang juga berperan dalam mencegah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan tahapan penelitian yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal berkaitan dengan tujuan penelitian yang telah tercapai sebagai berikut:

1. Penggunaan indeks vegetasi NDVI yang diintegrasikan dengan data lapangan untuk memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi di daerah penelitian belum memberikan hasil yang memuaskan. Hubungan terbaik diberikan oleh model regresi polinomial orde 2 untuk vegetasi pada penggunaan lahan kebun campur dengan nilai korelasi yang diperoleh sebesar 0,485. Untuk vegetasi pada penggunaan lahan tegalan, model regresi eksponensial merupakan model terbaik dengan nilai korelasi yang diperoleh sebesar 0,305.

2. Penggunaan indeks vegetasi untuk mengestimasi persentase tutupan kanopi vegetasi dapat memberikan informasi distribusi dan variabilitas spasial kondisi tutupan kanopi. Informasi ini sangat berharga sebagai masukan dalam pemodelan erosi berbasis SIG raster.

3. Berdasarkan hasil observasi kenampakan erosi dan penilaian tingkat erosi secara kualitatif di lapangan, Sebagian besar lahan di DAS Tinalah mempunyai tingkat erosi yang termasuk dalam kategori sangat ringan..

4. Analisis hubungan tingkat erosi dan kondisi tutupan kanopi vegetasi berdasarkan hasil pengukuran lapangan menggunakan tabulasi silang belum menunjukkan hubungan yang signifikan. Nilai korelasi yang diperoleh sangat rendah, yaitu sebesar 0,05. Hubungan yang lebih kuat ditunjukkan oleh hubungan tingkat erosi dan tutupan tanah dengan nilai korelasi sebesar 0,34.

5.2 Saran

Mendasarkan pada jalannya penelitian yang telah dilakukan, kendala yang dihadapi serta hasil yang diperoleh, maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut:

1. Perlu adanya penelitian lanjutan dengan menggunakan citra yang mempunyai kualitas radiometrik yang lebih baik (minim perawanan dan pengaruh kabut) dari citra yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan analisis iklim (subbab 3.2), Bulan Juni-Agustus merupakan bulan yang cukup kering dan perawanan dalam kondisi minimal, serta kondisi atmosfer biasanya cukup cerah. Citra yang direkam dalam bulan- bulan ini akan dapat memberikan informasi yang optimal untuk studi vegetasi di daerah penelitian. Citra dengan kualitas radiometrik yang baik akan dapat memberikan hubungan antara nilai digital NDVI dan persentase tutupan kanopi yang lebih nyata. Perbedaan tanggal perekaman citra dan validasi lapangan juga disarankan tidak berbeda terlalu jauh (kurang dari dua bulan), mengingat vegetasi mempunyai sifat dinamis dan kondisi fenologisnya dapat berubah dalamskala harian hingga tahunan.

2. Perlu adanya penelitian pemodelan erosi berbasis SIG raster dengan menggunakan data persentase tutupan kanopi yang diturunkan dari citra penginderaan jauh. Saran ini didasarkan pada hasil penelitian yang menunjukkan citra penginderaan jauh dapat memberikan informasi variabilitas distribusi spasial tutupan kanopi, sebagaimana variabilitas kondisi topografi yang dapat dimodelkan dengan menggunakan DEM. Kajian dan evaluasi terhadap reabilitas keluaran model berupa prediksi laju kehilangan tanah juga perlu dilakukan.

3. Memperhatikan rendahnya akurasi hasil pemetaan tutupan kanopi dengan menggunakan Citra SPOT-5 pada skala 1: 50.000, maka pemetaan tutupan kanopi menggunakan indeks vegetasi dari citra SPOT-5 disarankan dilakukan pada skala yang tidak lebih detil dari 1: 100.000.

4. Perlu adanya perhatian yang lebih baik pada kondisi penutupan tanah dalam setiap studi erosi di daerah penelitian. Hal ini dikarenakan dari hasil 4. Perlu adanya perhatian yang lebih baik pada kondisi penutupan tanah dalam setiap studi erosi di daerah penelitian. Hal ini dikarenakan dari hasil