ACARA: BENTUK BUTIR PASIR
BAB V ACARA: BENTUK BUTIR PASIR
V. 1. Maksud dan Tujuan
Maksud dari praktikum ini adalah untuk melakukan identifikasi aspek- aspek morfologi butiran pasir yang meliputi bentuk (form), derajat kebolaan (spherecity) dan derajat kebundaran (roundness).
Sedangkan tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui proses- proses geologi yang berperanan terhadap mekanisme transportasi dan deposisi sedimen tersebut berdasarkan morfologi butir pasir.
V. 2. Dasar Teori Bentuk Butir
Bentuk butir (form atau shape) merupakan keseluruhan kenampakan partikel secara tiga dimensi yang berkaitan dengan perbandingan antara ukuran panjang sumbu panjang, menengah dan pendeknya. Ada berbagai cara untuk mendefinisikan bentuk butir. Cara yang paling sederhana dikenalkan oleh Zingg (1935) dengan cara menggunakan perbandingan b/a dan c/b untuk mengelaskan butir dalam empat bentuk yaitu oblate, prolate, bladed clan equant (Gambar II.1, Tabel II.1). Dalam hal ini, a : panjang (sumbu terpanjang), b : lebar (sumbu menengah) dan c : tebal/tinggi (sumbu terpendek). Sejauh ini penamaan butir dalam bahasa Indonesia belum dibakukan sehingga seringkali penggunaan istilah asal tersebut masih dikekalkan. Pengkelasan bentuk butir ini biasanya diperuntukkan pada butiran yang berukuran kerakal sampai berangkal (pebble) karena kisaran ukuran tersebut memungkinkan untuk dilakukan pengukuran secara tiga dimensi karena keterbatasan alat dan cara yang harus dilakukan, terutama pada bongkah dengan diameter yang mencapai puluhan sampai ratusan centimeter. Pada butir pasir yang bisa diamati secara tiga dimensi, pendekatan secara kualitatif (misalnya dengan metode visual comparison) bisa juga dilakukan untuk mendefinisikan bentuk butir meskipun tingkat akurasinya rendah.
Gambar V. 2. 1. Klasifikasi butiran berdasarkan perbandingan antar sumbu (Zingg, 1935,
diambil dari Pettijohn, 1975 dengan modifikasi)
Tabel V. 2. 1. Klasifikasi bentuk butir menurut Zingg (1935)
No. Kelas b/a
Oblate (discoidal)
Equant (Equiaxial/spherical) III
Bladed (Triaxial)
IV < 2/3
Prolate (Rod-shaped)
Sphericity
Sphericity (ψ) didefinisikan secara sederhana sebagai ukuran bagaimana suatu butiran mendekati bentuk bola. Dengan demikian, semakin butiran berbentuk menyerupai bola maka mempunyai nilai sphericity yang semakin tinggi. Wadell (1932) mendefinisikan sphericity yang sebenarnya (true sphericity) sebagai luas permukaan butir dibagi dengan luas permukaan sebuah bola yang keduanya mempunyai volume sama. Namun demikian, Lewis & McConchie (1994) mengatakan bahwa rumusan ini sangat sulit untuk dipraktekkan. sebagai pendekatan, perbandingan luas permukaan tersebut dianggap sebanding dengan perbandingan volume, sehingga rumus sphericity menurut Wadell (1932) adalah :
Dimana Vp: volume butiran yang diukur dan Vcs: volume terkecil suatu bola yang melingkupi partikel tersebut (circumscribing sphere). Krumbein (1941) kemudian menyempurnakan persamaan tersebut dengan
memberikan nilai volume bola dengan π/6D 3 , dimana D adalah diameter bola. Dengan menggunakan asumsi bahwa butiran secara tiga dimensi dapat diukur
panjang sumbu-sumbunya, maka diameter butiran dijabarkan dalam bentuk D L ,
D I , dan D S , dimana L, I, S menunjukkan sumbu panjang, menengah, dan pendek. Setelah memasukkan niali pada perhitungan Wadell, maka sphericity dapat dirumuskan sebagai berikut:
Rumus yang diajukan Krumbein (1941) ini disebut dengan intercept sphericity (ψ 1 ) yang dapat dihitung dengan mengukur sumbu-sumbu panjang, menengah dan pendek suatu partikel dan memasukkan pada rumus tersebut. Sneed & Folk (1958) menganggap bahwa intercept sphericity tidak dapat secara tepat menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran yang dapat diproyeksikan secara maksimum mestinya diendapkan lebih cepat, misalnya bentuk prolate seharusnya lebih cepat mengendap dibandingkan oblate, tetapi dengan rumus W, justru didapatkan nilai yang terbalik. Untuk itu mereka mengusulkan rumusan tersendiri pada sphericity yang dikenal dengan maximum projection sphericity (Vp) atau sphericity proyeksi maksimum. Secara matematis Wp dirumuskan sebagai perbandingan antara area proyeksi maksimum bola dengan proyeksi maksimum partikel yang mempunyai volume sama, atau secara ringkas dapat ditulis dengan:
Dalam hal ini L, I dan S adalah sumbu-sumbu panjang, menengah clan pendek sebagaimana dalam rumus Krumbein (1941). Menurut Boggs (1987), pada prinsipnya rumus yang diajukan oleh Sneed & Folk (1958) ini tidak lebih valid Dalam hal ini L, I dan S adalah sumbu-sumbu panjang, menengah clan pendek sebagaimana dalam rumus Krumbein (1941). Menurut Boggs (1987), pada prinsipnya rumus yang diajukan oleh Sneed & Folk (1958) ini tidak lebih valid
Dengan tanpa mempertimbangkan bagaimana sphericity dihitung, Boggs (1987) menyatakan bahwa hasil perhitungan sphericity yang sama terkadang dapat diperoleh pada semua bentuk butir. Partikel dengan bentuk yang berbeda bisa mempunyai nilai sphericity yang sama. Untuk mendefinisikan sphericity dari hitungan matematis, Folk (1968) mengelaskan sphericity dalam 7 kelas sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel II.2.
Bentuk butir ukuran pasir atau yang lebih besar dipengaruhi oleh bentuk asalnya dari batuan sumber, namun demikian butiran dengan ukuran ini akan lebih banyak mengalami perubahan bentuk karena abrasi dan pemecahan selama transportasi dibandingkan dengan butiran yang berukuran pasir. Untuk butiran sedimen yang berukuran pasir atau lebih kecil, bentuk butir juga lebih banyak dipengaruhi oleh bentuk asal mineralnya. Pada prakteknya, analisis bentuk butir pada sedimen yang berukuran pasir biasanya dilakukan pada mineral kuarsa. Hal ini disebabkan sifat mineral kuarsa yang keras, tahan terhadap pelapukan, clan jumlahnya yang melimpah pada batuan sedimen. Namun demikian, untuk membuat perbandingan bentuk butiran setelah mengalami transportasi, pengamatan bentuk butir pada mineral lain maupun fragmen batuan (Litik) boleh juga dilakukan.
Tabel V. 2. 2. Klasifikasi sphericity menurut Folk (1968)
Hitungan Matematis
Kelas
Very Elongate 0.60-0.63
Elongate
0.63-0.66 Subelongate 0.66-0.69
Intermediete Shape 0.69-0.72
Very Equent
Bentuk butir akan berpengaruh pada kecepatan pengendapan (settling velocity). Secara umum batuan yang bentuknya tidak spheris (tidak menyerupai bola) mempunyai kecepatan pengendapan yang lebih rendah. Dengan demikian bentuk butir akan mempengaruhi tingkat transportasinya pada sistem suspensi (Boggs, 1987). Butiran yang tidak spheris cenderung tertahan iebih lama pada media suspensi dibandingkan yang spheris. Bentuk juga berpengaruh pada transportasi sedimen secara bedload (traksi). Secara umum butiran yang spheris clan prolate lebih mudah tertransport dibandingkan bentuk blade clan disc (oblate). Lebih jauh analisis sedimen berdasarkan butiran saja sulit untuk dilakukan. Sebagai contoh, Boggs (1987) menyatakan bahwa dari pengamatan bentuk butir saja tidak aapat digunakan untuk menafsirkan suatu lingkungan pengendapan.
Roundness
Roundness merupakan morfologi butir yang berkaitan dengan ketajaman pinggir dan sudut suatu partikel sedimen klastik. Secara matematis, Wadell (1932) mendefinisikan roundness Sebagai rata-rata aritmetik roundness masing-masing sudut butiran pada bidang pengukuran. Roundness masing-masing sudut diukur dengan membandingkan jari-jari iengkungan sudut tersebut dengan jari-jari lingkaran maksimum yang dapat dimasukkan pada butiran tersebut. Dengan demikian tingkat roundness butiran menurut Wadell (1932) adalah:
RN
Dimana r adalah jari-jari kurva setiap sudut, R adalah jari-jari maksimum bola yang dapat masuk dalam butir dan N adalah banyaknya sudut yang diukur.
Gambar V. 2. 2. Ilustrasi pengukuran jari-jari lingkaran maksimum pada butiran
(Boggs, 1987 dengan modifikasi)
Menurut Folk (1968) pengukuran sudut-sudut tersebut hampir tidak mungkin bisa dipraktekkan, sedangkan Boggs (1987) menegaskan banwa cara tersebut memerlukan waktu yang banyak untuk kerja di laboratorium dengan harus dibantu slat circular protractor atau electronic particle-size analyzer. Untuk mengatasi hal tersebut, maka penentuan roundness butiran adalah dengan membandingkan kenampakan (visual comparison) antara kerakal atau butir pasir dengan tabel visual secara sketsa (Krumbein, 1941) dan/atau tabel visual foto (Powers, 1953).
Gambar V. 2. 3. Tabel visual roundness secara sketsa. (Krumbein, 1941 dengan
modifikasi)
Gambar V. 2. 4. Tabel visual foto roundness butiran. (Power, 1953)
Tabel V. 2. 3. Hubungan antara roundness Wadell (1932) dan kolerasinya pada visual roundness Power (1953).
Interval kelas
Visual kelas
Very angular
Well rounded
Roundness butiran pada endapan sedimen ditentukan oleh komposisi butiran, ukuran butir, proses transportasi clan jarak transportnya (Boggs, 1987). Butiran dengan sifat fisik keras clan resisten seperti kuarsa clan zircon lebih sulit membulat selama proses transport dibandingkan butiran yang kurang keras seperti feldspar dar piroksen. Butiran dengan ukuran kerikil sampai berangkal biasanya lebih mudah membulat dibandingkan butiran pasir. Sementara itu mineral yang resisten dengan ukuran butir lebih kecil 0.05-0.1 mm tidak menunjukkan perubahan roundness oleh semua jenis transport sedimen (Boggs, 1987). Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diperhatikan untuk melakukan pengamatan roundness pada batuan atau mineral yang sama clan kisaran butir yang sama besar.
V. 3. Alat dan Bahan
Peralatan dan Bahan Kelompok:
5. Sampel mineral berat dan ringan yang telah dipisahkan
6. Kamera
7. Jarum pentul
8. Plastik sampel kecil Peralatan dan Bahan Individu:
7. Buku panduan praktikum
8. Kertas HVS
V. 4. Langkah Kerja
Untuk tiap-tiap sampel, ambil butiran kuarsa, feldspar, litik dan mineral berat masing-masing sebanyak 25 butir
Amati aspek bentuk, roundness, dan spherecity dari tiap mineral dengan menggunakan mikroskop
Menentukan bentuk butir pasir dengan membandingkan visual kelas bentuk butir menurut T. Zingg (1935)
Menentukan sphericity butir pasir dengan membandingkan dengan visual pembanding Rittenhouse (1943)
Menentukan roundness dengan membandingkan secara visual dengan klasifikasi visual Powers (1953)
Catat hasil pengamatan pada tabel yang dibutuhkan kemudian masukkan butiran-butiran pasir pada plastik sample.
Ulangi langkag-langkah diatas pada dua LP lainnya
Analisa data dari hasil pencatatan pada tabel.
V. 5. Pembahasan
Analisis Bentuk Butir
Bentuk Butir K F MB L K F MB L K F MB L
Dari hasil perhitungan matematis melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Zing, diperoleh bentuk butir yan g sangat bervariasi, yakni mulai dari oblate hingga prolate. Pendekatan yang dikembangkan oleh Zing ini dengan cara membandingkan panjang sumbu b/a dan panjang sumbu c/b dimana sumbu a adalah sumbu terpanjang sedangkan b dan c berturut-turut adalah sumbu menengah dan sumbu terpendek. Dari hasil perhitungan penentuan bentuk butir, 25 buah pasir yang diteliti memiliki beragam bentuk, yaitu - Oblate - Equant - Bladed - Prolate. Dapat dilihat pada tabel penentuan bentuk butir didominasi oleh equent.
Analisis Sphericity
K F MB L K F MB L K F MB L very elongate
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 elongate
1 0 0 0 1 1 2 0 2 0 0 1 subelongate 1 0 0 0 1 1 2 0 2 0 0 1 subelongate
2 4 1 3 4 3 7 3 3 0 2 2 subequent
2 2 3 3 2 1 5 3 5 0 0 2 equent
3 8 3 6 4 7 3 3 3 6 7 5 very equent
17 11 18 13 13 11 6 16 11 19 16 15 Total
Derajat kebolaan atau yang sering disebut sphericity juga mempunyai nilai yang sangat bervariasi. Perhitungan derajat kebolaan menggunakan dua rumus yang berbeda yakni rumus yang dikembangkan Krumbein dan cara ditemukan oleh Sneed & Folk. Perhitungan dengan kedua rumus ini menghasilkan nilai sphericity yang beragam.
Namun untuk menentukan nilai sphericity pada butir pasir dengan cara membandingkan dengan tabel visual Rittenhuse (1943). Dari data yang dianalisis, maka sphericity yang paling banyak adalah very equent.
Analisis Roundness Roundness dapat langsung didapatkan dengan menggunakan kalsifikasi Wadell (1932) dan Powers (1953), dibandingkan kenampakannya dengan visualisasi nilai kelas dari rumus Wadell, diperoleh data:
LP 3 Roundness K
Very Angular
0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 4 0 Angular
6 0 6 2 3 1 3 0 19 15 7 4 Sub Angular
17 18 7 7 14 11 17 12 4 1 4 9 Sub Rounded
2 7 12 16 7 12 4 12 1 3 3 12 Rounded
0 0 0 0 1 1 1 1 0 3 6 0 Well Rounded
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 TOTAL
Meskipun masih ada butiran yang very angular, keseluruhan butiran kurang lebih sub angular – sub rounded. Hal ini berbanding lurus dengan lokasi pegambilan sampel yang berada di Kali Code bagian tengah.
V. 6. Interpretasi
Proses transportasi dapat diinterpretasikan dari tiga parameter yaitu, bentuk butir, roundness dan sphericity. Pada sampel yang didapat, bentuk butir pasir yang dominan adalah equent, dengan roundness berada di kisaran sub angular – sub rounded, dan dominan subangular, sedangkan sphericity dominan berada pada nilai very equent.
Dari nilai-nilai diatas, perubahan bentuk akan lebih banyak dipengaruhi oleh abrasi selama transportasi batuan. Di sampel ini dapat diinterpretasikan bahwa proses transportasi yang terjadi dikontrol oleh fluida (air) dengan mekanisme saltasi dan rolling ialah mekanisme yang dominan (karena berukuran pasir). Secara umum, makin equant bentuk suatu butir, maka semakin lambat proses transportasi-deposisi, namun jika semakin bladed bentuk butir, maka semakin cepat untuk tertransportasi-terdeposisi.
Material sedimen sampel dominan merupakan produk vulkanik, dengan roundness dominan subangular dan bentuk yang beragam, hal ini menginterpretasikan bahwa material telah mengalami proses transportasi yang cukup jauh dari asalnya.
Erupsi Gunung Merapi menjadi sumber utama material berupa produk vulkanik dengan butir-butir angular, sehingga kita mendapatkan korelasi bahwa sampel berasal dari Gunung Merapi.
Dari nilai bentuk butir, roundness dan sphericity, maka dapat diinterpretasikan bahwa material sedimen pada sampel memiliki jarak transportasi yang cukup jauh. Nilai roundness yang kecil (angular), menunjukan bahwa sedimen tertranspor tidak jauh dari sumber, dan berlaku sebaliknya.
Melalui data diketahui bahwa sampel berada pada lingkungan pengendapan fluviatil, dapat kita katakan bahwa hasil roundness yang beragam, merupakan hasil dari produk proses fluviatil dan lingkungan pengendapan fluvial, dan bila kita bandingkan dengan data primer (tempat pengambilan sampel), hal ini merupakan suatu kebenaran yang mutlak.