Laporan Akhir Praktikum Sedimentologi Indonesia
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK GEOLOGI LABORATORIUM SEDIMENTOGRAFI LAPORAN RESMI PRAKTIKUM SEDIMENTOLOGI ACARA: LAPORAN AKHIR “SUNGAI CODE, DESA BLIMBINGSARI, KECAMATAN DEPOK, KABUPATEN SLEMAN, D.I. YOGYAKARTA (STA 8)”
DISUSUN OLEH: Hafizhan Abidin Setyowiyoto 12/329737/TK/39030
Kelompok: 7 Rombongan: Selasa, 14.00-15.50
ASISTEN KELOMPOK: Arkanu Andaru YOGYAKARTA JANUARI 2014
BAB I ACARA: PENGAMBILAN DATA LAPANGAN
I. 1. Lokasi
Stasiun pengamatan 8 (STA 8) berlokasi di Sungai Code, Desa Blimbingsari, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. STA ini kemudian dibagi menjadi tiga lokasi pengamatan yaitu LP 1, LP 2, dan LP 3 dengan koordinat lokasi pengamatan satu (LP 1) adalah S
7 o 46’31,2” dan E 110 22’12,2”. Lokasi pengamatan pertama ini terletak disebelah timur dari Hotel Tentrem yang berada di Jalan Monjali. Kedalaman sungai lebih
kurang 20 – 50 cm. Sedangkan kecepatan arus sungai mencapai 1,23 m/s. Kemudian lokasi pengamatan kedua (LP 2) berada pada koordinat UTM E 04030606 dan N 9140418. Kecepatan arus pada LP 2 sebesar 0,337 m/s dengan kedalaman sungai menapai 30 – 40 cm.
Lokasi pengamatan ketiga (LP 3) berada pada koordinat UTM E 0430684 dan S 9140276. Kecepatan arus pada LP 3 ini sebesar 0,7 m/s dan kedalaman 20 –
50 cm.
STA 8
Gambar I.1.1. Lokasi STA 8 di Gambar I.1.2. Lokasi LP 1 di Sungai Code, Yogyakarta.
Sungai Code, Yogyakarta.
Arah aliran sungai
Gambar I.1.3. Lokasi LP 2 di Gambar I.1.4. Lokasi LP 3 di Sungai Code, Yogyakarta.
Sungai Code, Yogyakarta.
I. 2. Morfologi
Terdapat sungai, yaitu Sungai Code yang mengalir relatif dari arah utara ke arah selatan. Stadia sungai masih termasuk muda karena bentukan lembah sungai yang berbentuk “V”. Namun pembuatan tanggul buatan / talud dan kondisi pasca- erupsi Gunung Merapi menyebabkan bentukan lembah tidak semua berbentuk “V” namun lebih berbentuk “U”. Bentuk lembah ini juga dipenagruhi oleh hasil transport material sedimen akibat erupsi Gunung Merapi. Di sebelah timur dan barat sungai terdapat tanggul buatan dan pemukiman warga. Kemudian pada bagian barat sungai juga terdapat endapan vulkanik hasil erupsi Gunung Merapi berupa point bar setebal ± 4 meter. Point bar didominasi oleh material sedimen berukuran pasir hingga kerakal. Di sebelah utara dan selatan merupakan aliran/tubuh sungai itu sendiri.
I. 3. Litologi
Material sedimen berukuran pasir halus (1/8 – 1/4 mm), berwarna hitamkeabu-abuan, komposisi mineral kuarsa, feldspar, litik, dll. Selain itu terdapat material sedimen berukuran kerikil (4 – 64 mm), berwarna hitam keabu- abuan (lapuk), berupa batuan beku tipe andesit. Secara keseluruhan litologi di lokasi ini didominasi oleh endapan pasir. Kebanyakan endapan pasir berada pada point bar . Struktur sedimen ayang ditemukan berupa normal grading, perlapisan, dan laminasi..
BAB II ACARA: UKURAN BUTIR SEDIMEN
II. 1. Maksud dan Tujuan
Maksud dari acara praktikum ini adalah untuk menganalisis distribusi ukuran butir sedimen dengan menggunakan metode-metode tertentu. Tujuan dari acara praktikum ini adalah untuk mengetahui proses-proses geologi yang berperan dalam pembentukan dan deposisi sedimen tersebut berdasarkan variasi ukuran butirnya.
II. 2. Dasar Teori
Untuk memudahkan manusia dalam mempelajari sedimentologi dan berbagai ilmu yang berkaitan dengan butiran sedimen, maka dibuatlah skala ukuran butir sedimen. Skala ukuran butir yang umum dipakai adalah skala Udden- Wentworth. Skala ini diusulkan pertama kali oleh Udden pada tahun 1898 dan dimodifikasi oleh Wentworth pada tahun 1922 (Friedman & Sanders, 1978; Blatt et al., 1980). Batas ukuran butir pada skala ini menggunakan nilai 1 mm sebagai standar dan menggunakan faktor pembagi atau pengkali 2. Krumbein (1934) dalam Blatt et al., (1980) membuat suatu transformasi logaritmik dari skala tersebut yang kemudian dikenal dengan skala phi (ø), dengan rumus:
dengan d adalah diameter partikel dalam mm. Oleh McManus (1963, lihat Blatt et al., 1980) rumus ini diperbaiki menjadi:
dengan d adalah diameter partikel dan d o adalah ukuran butir standar (1 mm).
Tabel II. 2. 1. Klasifikasi ukuran butir sedimen menurut US Standard (Pettijohn et al., 1972)
Dalam mengukur ukuran butir sedimen dapat dilakukan dengan beberapa cara, tergantung dari ukuran butirnya. Namun pada pembahasan ini digunakan metode langsung dan ayakan yang mudah dilakukan dan sederhana.
Ukuran Butir
Metode
Gravel pengukuran langsung (kaliper), ayakan Pasir
ayakan, tabung sedimentasi Lanau
ayakan (untuk butir kasar), tabung sedimentasi, pipet Lempung
pipet, mikroskop elektron Tabel II. 2. 2. Metode pengukuran butir sedimen
Pengolahan data distribusi frekuensi ukuran butir yang umum dilakukan berupa perhitungan parameter statistik secara grafis dan secara matematis. Analisa ukuran butir sedimen dilakukan untuk mengetahui nilai rata-rata suatu ukuran butir, mean, modus, sortasi, skewness dan kurtosis dengan menggunakan cara grafis maupun matematis.
Cara Grafis
Untuk melakukan perhitungan secara grafis, maka yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah melakukan plotting data, sebagai histogram dan kurva distribusi frekuensi sehingga didapat gambaran visual data. Kemudian melakukan perhitungan parameter statistik yang berupa rata-rata, standar deviasi, kurtosis, sortasi, skewness, dll, secara deskriptif dari grafik.
Perhitungan parameter secara grafis pada prinsipnya adalah menggunakan kurva frekuensi atau frekuensi kumulatif untuk menentukan nilai phi pada presentil tertentu. Rumu perhitungan yang sering dipakai adalah yang diusulkan oleh Folk & Ward (1957, lihat Friedman & Sanders, 1978; Lewis & McConchie, 1994), yaitu:
a. Median Merupakan nilai tengah dari populasi total. Dapat dilihat langsung dari kurva kumulatif, yaitu nilai phi pada titik dimana kurva kumulatif memotong nilai 50%.
b. Mode Merupakan ukuran butir sedimen yang frekuensi kemunculannya paling tinggi.
c. Mean
Merupakan nilai rata-rata ukuran butir.
d. Sortasi Merupakan nilai standar deviasi yang menunjukkan tingkat keseragaman butir.
Klasifikasi sortasi (σ 1 ):
Very well sorted
Well sorted
Moderately well sorted
Moderately sorted
Poorly sorted
Very poorly sorted
Extremely poorly sorted
e. Skewness Merupakan nilai kesimetrisan kurva frekuensi
Sk 1 =
Klasifikasi skewness (Sk 1 ):
Very fine-skewed
+0.3 - +0.1
Fine-skewed
+0.1 - -0.1
Near-symmetrical
-0.1 - -0.3
Coarse-skewed
< -0.3
Very coarse-skewed Very coarse-skewed
Klasifikasi kurtosis (K G ):
Very platykurtic
Very leptokurtic
Extremely leptokurtic
Cara Matematis
Perhitungan secara matematis pada prinsipnya menggunakan konsep moments. Pada perhitungan cara ini dibutuhkan data distribusi frekuensi yang lengkap, dimana tidak boleh adanya data pan fraction yang tidak terukur, sehingga datanya harus diekstrapolasikan sampai 100%. Perhitungan ini menggunakan asumsi bahwa kurva distribusi frekuensinya bersifat distribusi normal (Gaussian).
Rumus-rumus yang digunakan dalam perhitungan adalah:
a. Mean (xø)
b. Sortasi (σø)
c. Skewness (Skø) c. Skewness (Skø)
Dengan diperolehnya data dari perhitungan secara grafis maupun secara matematis, maka kita dapat mengetahui: - Karakteristik sedimen terutama tekstur sedimen dengan tinjauan statistik - Ketersediaan partikel dengan ukuran butir tertentu - Agen transportasi dan deposisinya - Proses deposisi akhir (suspensi, traksi, saltasi, dll.) - Lingkungan pengendapannya - Melakukan korelasi sampel yang berasal dari lingkungan pengendapan sama
II. 3. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam praktikum acara ukuran butir sedimen adalah:
Alat:
Bahan:
- Plastik sampel - Sampel sedimen (ukuran butir - Karton bersilang
pasir) dari 3 lokasi pengamatan - Saringan ayakan (18, 35, 50, 100, 270, >270 mesh) - Timbangan digital - Corong - Kuas cat - OHP marker - Alat tulis - Kertas HVS
II. 4. Langkah Kerja
Pada praktikum acara ukuran butir sedimen kali ini digunakan metode pengayakan kering. Yang dilakukan pertama kali adalah prosedur persiapan dan kemudian dilanjutkan dengan prosedur pengayakan.
Prosedur persiapan
Mengeringkan sampel di Mempersiapkan sampel dari
bawah sinar matahari lapangan hingga kering
Melakukan splitting dengan Meremas dan menumbuk metode “coning & sampel agar gumpalan- quartening” dan ditimbang gumpalan terpisah hingga 100 gram
Sampel siap untuk diayak
Prosedur pengayakan
Membersihkan saringan Mempersiapkan sampel yang
ayakan dengan kuas cat akan diayak (100gr)
Memasukkan sampel ke dalam Menyusun saringan ayakan ayakan. Setelah ditutup,
dengan urutan mesh dari kemudian menjalankan mesin
atas: 18, 35, 50, 100, 270, selama 5 menit
>270 dan bottom pan
Memindahkan butiran sedimen Menimbang partikel tiap mesh saringan ayakan ke
sedimen tiap mesh. dalam plastik sampel yang
Kehilangan berat tidak berlabel
melebihi 5% berat awal
Sampel siap untuk dianalisa
Setelah data sampel didapatkan, maka selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan pengolahan data distribusi frekuensi ukuran butir berupa:
Plotting data sebagai histogram, kurva frekuensi, kurva frekuensi kumulatif, maupun tipe grafik yang lain
Perhitungan parameter statistik (mean, sortasi, skewness, kurtosis, dll) dari grafik
Perhitungan moment statistik secara matematis dari data presentase berat fraksi ukuran butir
II. 5. Pembahasan
Dari pengolahan data ukuran butir dengan perhitungan parameter statistic secara grafis dan perhitungan parameter statistik secara matematis, maka diperoleh hasil sebagai berikut:
• Metode Grafis
Grafis
Lokasi Mean
Kurtosis Mz
Sortasi
Skewness
Ket. σ 1 Kategori Sk 1 Kategori K G Kategori
poorly
near-
LP 1 1.00 coarse sand 1.13 0.07 0.80 platykurtic
LP 2 1.33 medium sand 1.44 -0.16
very fine- LP 3 0.43 coarse sand 1.05 0.87 0.88 platykurtic
sorted
skewed
• Metode Matematis
Matematis
Lokasi Mean
Kurtosis xø
Sortasi
Skewness
Ket. σø Kategori Skø Kategori Kø Kategori
poorly
fine-
very LP 1 1.52 medium sand 1.08 0.18 2.4
LP 2 1.72 medium sand 1.56 -0.15
very fine- very LP 3 0.67 coarse sand 1.17 0.87 3
Berdasarkan hasil analisa dengan menggunakan perhitungan secara grafis dan matematis, terdapat beberapa perbedaan nilai antara perhitungan dengan cara grafis dan matematis terutama dalam penetuan nilai kurtosis. Perbedaan ini dapat terjadi akibat beberapa faktor, antara lain adalah kesalahan dalam penetuan nilai ukuran butir (phi) pada kurva frekuensi kumulatif (%) dalam perhitungan dengan metode grafis. Selain itu, rumus matematis penentuan nilai kurtosis (moment ke empat) berpangkat tinggi, sehingga berkemungkinan besar terjadi kesalahan dalam perhitungan. Untuk memperoleh hasil yang terbaik maka kita perlu membandingkan kedua metode tersebut.
a. Pada lokasi pengamatan 1 (LP 1), terdapat perbedaan nilai mean atau rata- rata ukuran butir yang ada di lokasi tersebut. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan kategori ukuran butir rata-rata. Pada perhitungan dengan metode grafis, didapatkan nilai 1.00 yang termasu ke dalam kategori coarse sand , namun pada perhitungan dengan metode matematis didapatkan nilai 1.52 sehingga kategorinya medium sand. Dengan kedua metode didapatkan sortasi yag sama yaitu poorly sorted. Perbedaan yang mencolok adalah pada nilai kurtosis, yaitu 0.8 (platykurtic) pada metode grafis, dan
2.4 (very leptokurtic) pada metode matematis. Sedangkan nilai skewness juga berbeda, yaitu near-symetrical pada metode grafis dan fine-skewed pada metode matematis.
b. Hasil perhitungan kedua metode relatif sama ditunjukkan pada lokasi pengamatan 2 (LP 2). Lokasi pengamatan ini memiliki mean ukuran butir medium sand , sortasinya poorly sorted dan memiliki nilai kesimetrian kurva b. Hasil perhitungan kedua metode relatif sama ditunjukkan pada lokasi pengamatan 2 (LP 2). Lokasi pengamatan ini memiliki mean ukuran butir medium sand , sortasinya poorly sorted dan memiliki nilai kesimetrian kurva
c. Data yang relatif sama juga terdapat pada lokasi pengamatan ke 3 (LP 3). Pada lokasi pengamatan ini rata-rata ukuran butirnya adalah coarse sand. Sortasinya poorly sorted, dan kategori skewness adalah very fine-skewed. Berbeda halnya dengan nilai kurtosis yang berjarak cukup jauh, nilai kurtosis pada metode grafis ialah 0.88 (platykurtic) sedangkan pada metode matematis ialah 3.00 (very leptokurtic).
II. 6. Interpretasi
Berdasarkan hasil perhitungan, analisa, dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat di interpretasikan bahwa pada lokasi pengamatan pertama (lokasi paling hulu dari lokasi pengamatan kelompok 7), didominasi oleh material
sedimen berukuran butir medium sand, ( , dengan sortasi buruk. Pada lokasi pengambilan sampel terdapat channel bar yang disuplai dari endapan lahar
akibat erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Sampel material sedimen yang dominan berukuran pasir sedang ini di ambil pada bagian paling atas dari point bar. Maka sebagian besar material sedimen ini berukuran relatif lebih halus dari lokasi lainnya. Kelimpahan dari material sedimen berukuran butir pasir sedang ini adalah 25.63%. Adanya kelokan sungai di lokasi ini membuat aliran sungai menjadi cepat di bagian cut-off slope dan material sedimen terdeposisikan di bagian slip- off slope. Kecepatan aliran air di lokasi ini adalah 1.23 m/s. Akibat arus yang cukup cepat ini membuat energi transportasi menjadi besar, sehingga material sedimen terutama yang dominan berukuran butir pasir kasar – pasir sedang, mengalami transportasi oleh aliran air sungai berupa saltasi. Akibat dari pengangkutan secara saltasi ini, proses sortasi berjalan tidak baik, maka didapatkan sortasi buruk pada bagian badan sungai. Sedangkan lingkungan pengendapan pada daerah ini adalah berupa point bar Pada point bar tersebut terlihat perlapisan dan laminasi yang memiliki sortasi buruk dimana terdapat fragmen litik berukuran kerikil hingga kerakal yang mengambang diantara matriksnya yang belum terkonsolidasi. Hal tersebut disebabkan oleh sifat dari akibat erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Sampel material sedimen yang dominan berukuran pasir sedang ini di ambil pada bagian paling atas dari point bar. Maka sebagian besar material sedimen ini berukuran relatif lebih halus dari lokasi lainnya. Kelimpahan dari material sedimen berukuran butir pasir sedang ini adalah 25.63%. Adanya kelokan sungai di lokasi ini membuat aliran sungai menjadi cepat di bagian cut-off slope dan material sedimen terdeposisikan di bagian slip- off slope. Kecepatan aliran air di lokasi ini adalah 1.23 m/s. Akibat arus yang cukup cepat ini membuat energi transportasi menjadi besar, sehingga material sedimen terutama yang dominan berukuran butir pasir kasar – pasir sedang, mengalami transportasi oleh aliran air sungai berupa saltasi. Akibat dari pengangkutan secara saltasi ini, proses sortasi berjalan tidak baik, maka didapatkan sortasi buruk pada bagian badan sungai. Sedangkan lingkungan pengendapan pada daerah ini adalah berupa point bar Pada point bar tersebut terlihat perlapisan dan laminasi yang memiliki sortasi buruk dimana terdapat fragmen litik berukuran kerikil hingga kerakal yang mengambang diantara matriksnya yang belum terkonsolidasi. Hal tersebut disebabkan oleh sifat dari
Pada lokasi kedua yang berjarak kurang lebih 150 meter kearah hilir dari lokasi pertama, Material sedimen yang mendominasi adalah berukuran butir pasir sedang dan sortasi yang buruk. Kecepatan aliran sungai berukurang dari lokasi pertama, yaitu sebesar 0.337 m/s. Kecepatan berkurang karena adanya pendangkalan sungai dan kecilnya debit sungai yang mengalir. Berkurangnya kecepatan ini membuat energi transportasi juga berkurang, sehingga material yang tertransportpun hanya yang berukuran butir pasir halus – lanau. Sehingga material sedimen tersebut dominan mengalami rolling dan sliding . Lingkungan pengendapan berupa dua point bar yang saling berdekatan dan relatif berhadapan. Point bar di lokasi ini dominan dibentuk oleh material sedimen berupa litik berukuran kerikil – berangkal. Dapat dipastikan bahwa material tersebut merupakan sisa hasil aliran lahar yang terdeposisi di lokasi ini.
Material sedimen berukuran pasir kasar ( – 1 mm) merupakan material dominan yang berada di lokasi pengamatan ke tiga ini. Berdasarkan data yang
didapat, kelimpahannya sebanyak 35.44% dari total sampel yang diambil di lokasi ini. Lokasi ini merupakan lokasi paling selatan dari stasiun pengamatan kelompok kami. Berdasarkan analisa dan data yang diperoleh, sortasi di lokasi ini buruk. Kecepatan aliran sungai pada saat melakukan pengambilan sampel adalah 0.7 m/s. Kecepatan ini mengahsilkan energi transportasi yang cukup untuk mentransportasikan material sedimen berukuran pasir kasar dengan cara saltasi. Lingkungan pengendapan berupa point bar yang tidak terlalu besar. Pada daerah point bar juga banyak ditemukan material sedimen berukuran butir kerikil – berangkal yang disinyalir merupakan sisa aliran lahar akibat erupsi Gunung Merapi. Dapat dikatakan secara umum bahwa lingkungan pengendapan berupa daerah fluvial dengan tipe braided stream. Karena intensitas kelokan yang kecil dan kaya akan material pasir dan intensitas aliran air yang kecil. Proses erosi dan pengendapan sedimen juga berjalan dengan cepat, karena sungai pada daerah ini memiliki sumber pasir yang melimpah. Dimana umumnya didominasi oleh pasir dengan ukuran butir yang kasar.
Sistem transportasi material sedimen dapat diinterpretasikan dari kurva frekuensi kumulatif seperti gambar berikut:
Rolling dan sliding
∅ (phi)
BAB III ACARA: ANALISIS BENTUK KERAKAL
III. 1. Maksud dan Tujuan
Maksud dari praktikum ini adalah untuk melakukan identifikasi aspek- aspek morfologi butiran kerakal yang meliputi bentuk (form), derajat kebolaan (spherecity) dan derajat kebundaran (roundness).
Sedangkan tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui proses- proses geologi yang berperanan terhadap mekanisme transportasi dan deposisi sedimen tersebut berdasarkan morfologi butir kerakal.
III. 2. Dasar Teori Bentuk Butir
Bentuk butir (form atau shape) merupakan keseluruhan kenampakan partikel secara tiga dimensi yang berkaitan dengan perbandingan antara ukuran panjang sumbu panjang, menengah dan pendeknya. Ada berbagai cara untuk mendefinisikan bentuk butir. Cara yang paling sederhana dikenalkan oleh Zingg (1935) dengan cara menggunakan perbandingan b/a dan c/b untuk mengelaskan butir dalam empat bentuk yaitu oblate, prolate, bladed clan equant (Gambar II.1, Tabel II.1). Dalam hal ini, a : panjang (sumbu terpanjang), b : lebar (sumbu menengah) dan c : tebal/tinggi (sumbu terpendek). Sejauh ini penamaan butir dalam bahasa Indonesia belum dibakukan sehingga seringkali penggunaan istilah asal tersebut masih dikekalkan. Pengkelasan bentuk butir ini biasanya diperuntukkan pada butiran yang berukuran kerakal sampai berangkal (pebble) karena kisaran ukuran tersebut memungkinkan untuk dilakukan pengukuran secara tig dimensi karena keterbatasan alat dan cara yang harus dilakukan, terutama pads bongkah dengan diameter yang mencapai puluhan sampai ratusan centimeter. Pada butir pasir yang bisa diamati secara tiga dimensi, pendekatan secara kualitatif (misalnya dengan metode visual comparison) bisa juga dilakukan untuk mendefinisikan bentuk butir meskipun tingkat akurasinya rendah.
Gambar III. 2. 1 Klasifikasi butiran pebel (kerakal — berangkal) berdasarkan perbandingan
antar sumbu (Zingg, 1935, diambil dari Pettijohn, 1975 dengan modifikasi)
Tabel III. 2. 1. Klasifikasi bentuk butir menurut Zingg (1935)
No. Kelas b/a
Oblate (discoidal)
Equant (Equiaxial/spherical) III
Bladed (Triaxial)
IV < 2/3
Prolate (Rod-shaped)
Sphericity
Sphericity (ψ) didefinisikan secara sederhana sebagai ukuran bagaimana suatu butiran mendekati bentuk bola. Dengan demikian, semakin butiran berbentuk menyerupai bola maka mempunyai nilai sphericity yang semakin tinggi. Wadell (1932) mendefinisikan sphericity yang sebenarnya (true sphericity) sebagai luas permukaan butir dibagi dengan luas permukaan sebuah bola yang keduanya mempunyai volume sama. Namun demikian, Lewis & McConchie (1994) mengatakan bahwa rumusan ini sangat sulit untuk dipraktekkan. sebagai pendekatan, perbandingan luas permukaan tersebut dianggap sebanding dengan perbandingan volume, sehingga rumus sphericity menurut Wadell (1932) adalah :
Dimana Vp: volume butiran yang diukur dan Vcs: volume terkecil suatu bola yang melingkupi partikel tersebut (circumscribing sphere). Krumbein (1941) kemudian menyempurnakan persamaan tersebut dengan
memberikan nilai volume bola dengan π/6D 3 , dimana D adalah diameter bola. Dengan menggunakan asumsi bahwa butiran secara tiga dimensi dapat diukur
panjang sumbu-sumbunya, maka diameter butiran dijabarkan dalam bentuk D L ,
D I , dan D S , dimana L, I, S menunjukkan sumbu panjang, menengah, dan pendek. Setelah memasukkan niali pada perhitungan Wadell, maka sphericity dapat dirumuskan sebagai berikut:
Rumus yang diajukan Krumbein (1941) ini disebut dengan intercept sphericity (ψ 1 ) yang dapat dihitung dengan mengukur sumbu-sumbu panjang, menengah dan pendek suatu partikel dan memasukkan pada rumus tersebut. Sneed & Folk (1958) menganggap bahwa intercept sphericity tidak dapat secara tepat menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran yang dapat diproyeksikan secara maksimum mestinya diendapkan lebih cepat, misalnya bentuk prolate seharusnya lebih cepat mengendap dibandingkan oblate, tetapi dengan rumus W, justru didapatkan nilai yang terbalik. Untuk itu mereka mengusulkan rumusan tersendiri pada sphericity yang dikenal dengan maximum projection sphericity (Vp) atau sphericity proyeksi maksimum. Secara matematis Wp dirumuskan sebagai perbandingan antara area proyeksi maksimum bola dengan proyeksi maksimum partikel yang mempunyai volume sama, atau secara ringkas dapat ditulis dengan:
Dalam hal ini L, I dan S adalah sumbu-sumbu panjang, menengah clan pendek sebagaimana dalam rumus Krumbein (1941). Menurut Boggs (1987), pada prinsipnya rumus yang diajukan oleh Sneed & Folk (1958) ini tidak lebih valid Dalam hal ini L, I dan S adalah sumbu-sumbu panjang, menengah clan pendek sebagaimana dalam rumus Krumbein (1941). Menurut Boggs (1987), pada prinsipnya rumus yang diajukan oleh Sneed & Folk (1958) ini tidak lebih valid
Dengan tanpa mempertimbangkan bagaimana sphericity dihitung, Boggs (1987) menyatakan bahwa hasil perhitungan sphericity yang sama terkadang dapat diperoleh pada semua bentuk butir. Partikel dengan bentuk yang berbeda bisa mempunyai nilai sphericity yang sama. Untuk mendefinisikan sphericity dari hitungan matematis, Folk (1968) mengelaskan sphericity dalam 7 kelas sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel II.2.
Bentuk butir ukuran kerakal atau yang lebih besar dipengaruhi oleh bentuk asalnya dari batuan cumber, namun demikian butiran dengan ukuran ini akan lebih banyak mengalami perubahan bentuk karena abrasi dan pemecahan selama transportasi dibandingkan dengan butiran yang berukuran pasir. Untuk butiran sedimen yang berukuran pasir atau lebih kecil, bentuk butir juga lebih banyak dipengaruhi oleh bentuk asal mineralnya. Pada prakteknya, analisis bentuk butir pada sedimen yang berukuran pasir biasanya dilakukan pada mineral kuarsa. Hal ini disebabkan sifat mineral kuarsa yang keras, tahan terhadap pelapukan, clan jumlahnya yang melimpah pada batuan sedimen. Namun demikian, untuk membuat perbandingan bentuk butiran setelah mengalami transportasi, pengamatan bentuk butir pada mineral lain maupun fragmen batuan (lithic) boleh juga dilakukan.
Tabel III. 2. 2. Klasifikasi sphericity menurut Folk (1968)
Hitungan Matematis
Kelas
Very Elongate 0.60-0.63
Elongate
0.63-0.66 Subelongate 0.66-0.69
Intermediete Shape 0.69-0.72
Very Equent
Bentuk butir akan berpengaruh pads kecepatan pengendapan (settling velocity). Secara umum batuan yang bentuknya tidak spheris (tidak menyerupai bola) mempunyai kecepatan pengendapan yang lebih rendah. Dengan demikian bentuk butir akan mempengaruhi tingkat transportasinya pads sistem suspensi (Boggs, 1987). Butiran yang tidak spheris cenderung tertahan iebih lama pads media suspensi dibandingkan yang spheris. Bentuk jugs berpengaruh pads transportasi sedimen secara bedlood (traksi). Secara umum butiran yang spheris clan prolate lebih mudah tertransport dibandingKan bentuk blade clan disc (oblate). Lebih jauh analisis sedimen berdasarkan butiran saja sulit untuk dilakukan. Sebagai contoh, Boggs (1987) menyatakan bahwa dari pengamatan bentuk butir saja tidak aapat digunakan untuk menafsirkan suatu lingkungan pengendapan.
Roundness
Roundness merupakan morfologi butir yang berkaitan dengan ketajaman pinggir dan sudut suatu partikel sedimen klastik. Secara matematis, Wadell (1932) mendefinisikan roundness Sebagai rata-rata aritmetik roundness masing-masing sudut butiran pads bidang pengukuran. Roundness masing-masing sudut diukur dengan membandingkan jari-jari iengkungan sudut tersebut dengan jari-jari lingkaran maksimum yang dapat dimasukkan pada butiran tersebut. Dengan demikian tingkat roundness butiran menurut Wadell (1932) adalah:
RN
Dimana r adalah jari-jari kurva setiap sudut, R adalah jari-jari maksimum bola yang dapat masuk dalam butir dan N adalah banyaknya sudut yang diukur.
Gambar III. 2. 2. Ilustrasi pengukuran jari-jari lingkaran maksimum pada
butiran (Boggs, 1987 dengan modifikasi)
Menurut Folk (1968) pengukuran sudut-sudut tersebut hampir tidak mungkin bisa dipraktekkan, sedangkan Boggs (1987) menegaskan banwa cara tersebut memerlukan waktu yang banyak untuk kerja di laboratorium dengan harus dibantu slat circular protractor atau electronic particle-size analyzer. Untuk mengatasi hal tersebut, maka penentuan roundness butiran adalah dengan membandingkan kenampakan (visual comparison) antara kerakal atau butir pasir dengan tabel visual secara sketsa (Krumbein, 1941) dan/atau tabel visual foto (Powers, 1953).
Gambar III. 2. 3. Tabel visual roundness secara sketsa. (Krumbein, 1941 dengan
modifikasi)
Gambar III. 2. 4. Tabel visual foto roundness butiran. (Power, 1953)
Tabel III. 2. 3. Hubungan antara roundness Wadell (1932) dan kolerasinya pada visual
roundness Power (1953).
Interval kelas
Visual kelas
Very angular
Well rounded
Roundness butiran pada endapan sedimen ditentukan oleh komposisi butiran, ukuran butir, proses transportasi clan jarak transportnya (Boggs, 1987). Butiran dengan sifat fisik keras clan resisten seperti kuarsa clan zircon lebih sulit membulat selama proses transport dibandingkan butiran yang kurang keras seperti feldspar dar piroksen. Butiran dengan ukuran kerikil sampai berangkal biasanya lebih mudah membulat dibandingkan butiran pasir. Sementara itu mineral yang resisten dengan ukuran butir lebih kecil 0.05-0.1 mm tidak menunjukkan perubahan roundness oleh semua jenis transport sedimen (Boggs, 1987). Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diperhatikan untuk melakukan pengamatan roundness pada batuan atau mineral yang sama clan kisaran butir yang sama besar.
III. 3. Alat dan Bahan
Peralatan Kelompok:
1. Sampel kerakal masing-masing kelompok (3 LP, masing-masing 25 butir kerakal)
2. Kamera
3. Tipe-X (minimal 3 buah per kelompok)
4. Spidol marker / OHP marker Peralatan Individu:
1. Buku panduan praktikum
2. Kertas HVS minimal 20lembar
III. 4. Langkah Kerja
Ambil 25 butir kerakal pada salah satu LP
Penggambaran butir kerakal yang disertai dengan pengukuran diameter panjang, diameter medium serta diameter pendek.
Penulisan data pada tabel yang tersedia
Melakukan analisa dengan perhitungan matematis nilai b/a serta c/b
Menentukan kelas bentuk butir kerakal menurut T. Zingg (1935)
Melakukan analisa niali sphercity berdasarkan Krumbein dan
berdasarkan Sneed dan Folk
Menentukan kelas spherecity pada klasifikasi Folk
Menentukan derajat kebundaran dengan mengkorelasikan sketsa gambar dengan klasifikasi visual Powers (1953) dan interval kelas
Wadell (1932)
Ulangi langkag-langkah diatas pada dua LP lainnya
III. 5. Pembahasan LP 1
Analisis Sphericity LP 1
ψ V. Equent Equent Subequent Int. Shape Subelongante Elongate V. Elongate Total: 25
V. Equent Equent Subequent Int. Shape Subelongante Elongate V. Elongate Total: 25
Analisis Bentuk Butir LP 1 Equant
Dari hasil perhitungan matematis melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Zing, diperoleh bentuk butir yang sangat bervariasi, yakni mulai dari oblate hingga prolate. Pendekatan yang dikembangkan oleh Zing ini dengan cara membandingkan panjang sumbu b/a dan panjang sumbu c/b dimana sumbu a Dari hasil perhitungan matematis melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Zing, diperoleh bentuk butir yang sangat bervariasi, yakni mulai dari oblate hingga prolate. Pendekatan yang dikembangkan oleh Zing ini dengan cara membandingkan panjang sumbu b/a dan panjang sumbu c/b dimana sumbu a
1. Oblate, 12 buah
2. Equant, 9 buah
3. Prolate, 4 buah
4. Bladed, tidak ada Derajat kebolaan atau yang sering disebut sphericity juga mempunyai nilai yang sangat bervariasi. Perhitungan derajat kebolaan menggunakan dua rumus yang berbeda yakni rumus yang dikembangkan Krumbein dan cara ditemukan oleh Sneed & Folk. Perhitungan dengan kedua rumus ini menghasilkan nilai sphericity yang beragam.
Berdasarkan Krumbein (1941), nilai spherecity (intercept spherecity) suatu butiran diukur dengan memperhatikan nilai diameter dari panjang (D L ), medium (D I ) dan pendek (D S ) adalah sebagai berikut:
Sneed & Folk (1958) menganggap bahwa intercept spherecity tidak menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan sehingga mereka mengusulkan maximum projection spherecity yaitu:
Perhitungan dengan rumus Sneed&Folk lebih tepat karena dapat menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran yang diproyeksikan Perhitungan dengan rumus Sneed&Folk lebih tepat karena dapat menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran yang diproyeksikan
LP 2
Analisis Sphericity LP 2
ψ V. Equent Equent Subequent Int. Shape Subelongante Elongate V. Elongate Total: 25
V. Equent Equent Subequent Int. Shape Subelongante Elongate V. Elongate Total: 25
Analisis Bentuk Butir LP 2 Equant
Dari hasil perhitungan matematis melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Zing, diperoleh bentuk butir yang sangat bervariasi, yakni mulai dari oblate hingga prolate. Pendekatan yang dikembangkan oleh Zing ini dengan cara membandingkan panjang sumbu b/a dan panjang sumbu c/b dimana sumbu a adalah sumbu terpanjang sedangkan b dan c berturut-turut adalah sumbu menengah dan sumbu terpendek. Dari hasil perhitungan penentuan bentuk butir, 25 buah kerakal yang diteliti memiliki beragam bentuk, yaitu - Oblate - Equant - Bladed - Prolate. Dapat dilihat pada tabel penentuan bentuk butir didominasi oleh Equant
1. Oblate, 7 buah
2. Equant, 10 buah
3. Prolate, 5 buah
4. Bladed, 3 buah Derajat kebolaan atau yang sering disebut sphericity juga mempunyai nilai yang sangat bervariasi. Perhitungan derajat kebolaan menggunakan dua rumus yang berbeda yakni rumus yang dikembangkan Krumbein dan cara ditemukan oleh Sneed & Folk. Perhitungan dengan kedua rumus ini menghasilkan nilai sphericity yang beragam.
Berdasarkan Krumbein (1941), nilai spherecity (intercept spherecity) suatu butiran diukur dengan memperhatikan nilai diameter dari panjang (D L ), medium (D I ) dan pendek (D S ) adalah sebagai berikut:
Sneed & Folk (1958) menganggap bahwa intercept spherecity tidak menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan sehingga mereka mengusulkan maximum projection spherecity yaitu:
Perhitungan dengan rumus Sneed&Folk lebih tepat karena dapat menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran yang diproyeksikan secara maksimum mestinya diendapkanlebih cepat, misalnya bentuk prolate seharusnya lebih cepat mengendap dibandingkan oblate, tetapi dengan rumus ψ 1 justru didapatkan nilai yang terbalik. Dari data yang dianalisi, maka sphericity yang paling bayak adalah very equant.
LP 3
Analisis Sphericity LP 3
ψ V. Equent Equent Subequent Int. Shape Subelongante Elongate V. Elongate Total: 25
V. Equent Equent Subequent Int. Shape Subelongante Elongate V. Elongate Total: 25
Analisis Bentuk Butir LP 3 Equant
Dari hasil perhitungan matematis melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Zing, diperoleh bentuk butir yang sangat bervariasi, yakni mulai dari oblate hingga prolate. Pendekatan yang dikembangkan oleh Zing ini dengan cara membandingkan panjang sumbu b/a dan panjang sumbu c/b dimana sumbu a adalah sumbu terpanjang sedangkan b dan c berturut-turut adalah sumbu menengah dan sumbu terpendek. Dari hasil perhitungan penentuan bentuk butir, 25 buah kerakal yang diteliti memiliki beragam bentuk, yaitu - Oblate - Equant - Bladed - Prolate. Dapat dilihat pada tabel penentuan bentuk butir didominasi oleh Equant
1. Oblate, 9 buah
2. Equant, 13 buah
3. Prolate, 3 buah
4. Bladed, tidak ada Derajat kebolaan atau yang sering disebut sphericity juga mempunyai nilai yang sangat bervariasi. Perhitungan derajat kebolaan menggunakan dua rumus yang berbeda yakni rumus yang dikembangkan Krumbein dan cara ditemukan oleh Sneed & Folk. Perhitungan dengan kedua rumus ini menghasilkan nilai sphericity yang beragam.
Berdasarkan Krumbein (1941), nilai spherecity (intercept spherecity) suatu butiran diukur dengan memperhatikan nilai diameter dari panjang (D L ), medium (D I ) dan pendek (D S ) adalah sebagai berikut:
Sneed & Folk (1958) menganggap bahwa intercept spherecity tidak menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan sehingga mereka mengusulkan maximum projection spherecity yaitu:
Perhitungan dengan rumus Sneed&Folk lebih tepat karena dapat menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran yang diproyeksikan secara maksimum mestinya diendapkanlebih cepat, misalnya bentuk prolate seharusnya lebih cepat mengendap dibandingkan oblate, tetapi dengan rumus ψ 1 justru didapatkan nilai yang terbalik. Dari data yang dianalisi, maka sphericity yang paling bayak adalah very equant.
III. 6. Interpretasi
Proses transportasi dapat diinterpretasikan dari tiga parameter yaitu, bentuk butir, roundness dan sphericity. Pada sampel yang didapat, bentuk butir yang dominan adalah oblate dan equent, dengan roundness berada di kisaran sub angular – rounded, dan dominan subrounded, sedangkan sphericity dominan berada pada nilai very elongate.
Dari nilai-nilai diatas, perubahan bentuk akan lebih banyak dipengaruhi oleh abrasi selama transportasi batuan. Di sampel ini dapat diinterpretasikan bahwa proses transportasi yang terjadi dikontrol oleh fluida (air) dengan mekanisme bedload ialah mekanisme yang dominan (karena berukuran kerakal).
Material sedimen sampel dominan merupakan produk vulkanik, dengan roundness dominan subrounded dan bentuk yang beragam, hal ini menginterpretasikan bahwa material telah mengalami proses transportasi yang cukup jauh dari asalnya.
Erupsi Gunung Merapi menjadi sumber utama material berupa produk vulkanik dengan butir-butir angular, sehingga kita mendapatkan korelasi bahwa sampel berasal dari Gunung Merapi.
Dari nilai bentuk butir, roundness dan sphericity, maka dapat diinterpretasikan bahwa material sedimen pada sampel memiliki jarak transportasi Dari nilai bentuk butir, roundness dan sphericity, maka dapat diinterpretasikan bahwa material sedimen pada sampel memiliki jarak transportasi
Melalui data diketahui bahwa sampel berada pada lingkungan pengendapan fluviatil, dapat kita katakan bahwa hasil roundness yang beragam, merupakan hasil dari produk proses fluviatil dan lingkungan pengendapan fluvial, dan bila kita bandingkan dengan data primer (tempat pengambilan sampel), hal ini merupakan suatu kebenaran yang mutlak.
BAB IV ACARA: KOMPOSISI PARTIKEL SEDIMEN
IV. 1. Maksud dan Tujuan
Maksud dari acara ini adalah untuk melakukan identifikasi partikel penyusun sedimen (terutama sedimen silisiklastik berukuran butir pasir). Tujuan dari acara ini adalah untuk mengetahui proses-proses geologi yang berperan terhadap pembentukan dan deposisi sedimen tersebut berdasarkan komposisi penyusunnya.
IV. 2. Dasar Teori Pendahuluan
Tucker (1991) menyatakan bahwa batuan sedimen dapat dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan proses pembentukannya. Kelompok pertama adalah sedimen siliklastik atau disebut juga terrigenous atau epiklastik yaitu sedimen yang terdiri dari fragmen-fragmen yang berasal dari batuan yang telah ada sebelumnya yang tertransportasi dan terdeposisi melalui proses fisik. Contoh batuannya adalah konglomerat, breksi, batupasir dan mudrocks. Kelompok kedua adalah sedimen hasil kegiatan biogenik, biokimia dan organik. Contoh batuannya adalah batugamping, deposit fosfat, batubara, dan chert. Kelompok ketiga adalah sedimen hasil proses kimiawi, contohnya deposit evaporit. Kelompok keempat adalah sedimen volkaniklastik, yaitu sedimen yang terbentuk oleh fragmen batuan hasil kegiatan vulkanik. Masing-masing jenis batuan sedimen tersebut di atas memiliki komposisi partikel sedimen yang berbeda-beda.
Informasi mengenai komposisi partikel sedimen antara lain dapat dimanfaatkan untuk menentukan:
a. nama sedimen /batuan sedimen
b. mekanisme/proses pembentukan dan/atau pengendapannya
c. lingkungan pengendapan
d. asal sumber batuan (provenance)
e. iklim pada saat sedimen tersebut terbentuk
Selain itu komposisi partikel sedimen juga diperlukan dalam aplikasinya untuk keperluan ekonomi seperti dalam bidang eksplorasi minyak dan gas bumi, bahan galian, dll.
Komposisi Partikel Sedimen
Tabel VI. 2. 1. Jenis partikel rombakan (detrial) dalam sedimen silisiklastik (Tucker, 1991 dengan modifikasi)
Jenis Partikel
Keterangan
Fragmen Batuan
- butir
dan metasedimen (batulempung, batulanau, sekis mika pelite, dll) - butir batuan sedimen silikan (missal : chert) - butir batuan beku / batuan metamorf
- paling umum ditemukan karena merupakan mineral yang paling stabil dalam kondisi sedimentasi
Feldspar
- memiliki stabilitas mekanis dan kimiawi yang lebih
rendah dari kuarsa - potassium feldspar, ortoklas dan mikrolin lebih umum ditemukan daripada plagioklas Mika dan Lempung - merupakan komponen utama dalam mudrocks - biotit dan muskovit bisa ditemukan dalam sedimen
halus berupa lembaran-lembaran - kelompok mineral lempung yang umum ditemukan berupa kaolonit, illite, klorit, smektit
Mineral berat
- merupakan mineral asesoris (umumnya <1% fraksi ) dengan BJ > 2.9 (BJ kuarsa dan feldspar = 2.6) - dapat berupa mineral non opak ( apatit, epidot,
garnet, rutil, staurolit, turmalin, zircon, dll ) dan mineral opak ( ilmenit, magnetit, dll)
Partikel lainnya
- dapat berupa partikel karbonat, fosil, fosfat, dll
Tabel VI. 2. 2. Beberapa ciri mineral berat (Folk, 1968 dengan modifikasi)
MINERAL
CIRI
Kelompok mineral opak Ilmenit
Hitam besi-coklat gelap, bentuk seperti lempeng- lempeng massif kadang pasiran, pecahan concoidal
Magnetit
Hitam besi, isometric, tidak ada belahan, granular dan massif, kilap, metalik
Hematit
Abu-abu-hitam besi, hexagonal, tidak ada belahan, terdapat sisik seperti mika (mendaun)
Pirit
Kuning perunggu, granular, striasi antar bidang saling tegak lurus
Kelompok ultra stabil Zircon
Kuning jernih, hijau kadang coklat/biru,prismatic, tetragonal, granular, kilap vitreous-damar, pecahan tidak rata s.d. concoidal
Turmalin
Kuning kecoklatan, prismatik memanjang, heksagonal, ada striasi memanjang, kilap vitrous-damar, translucent, pecahan tidak rata s.d. concoidal
Rutil
Coklat-coklat kemerahan, tetragonal, bipiramidal, bentuk ramping, striasi memanjang, prismatik, massif, kilap submetalik-damar, pecahan tidak rata
Kelompok meta stabil Olivin
Hijau kekuningan, granular, rombik bipiramidal, pecahan concoidal, kilap vitreous
Piroksen
Hitam kehijauan/merah kecoklatan, prismatik, belahan
2 arah, kilap vitreous, pecahan tidak rata s.d. sub- concoidal
Garnet
Kuning/coklat madu, granular, isometrik, tanpa belahan, kilap vitreous — damar, pecahan concoidal
Apatit
Putih jernih kadang kebiruan, prismatik, granular, bentuk ramping paniang, belahan 1 arah, kilap vitreous - damar, pecahan sub-concoidal
Epidot
Hijau kekuningan — hijau kecoklatan/kehitaman, prismatik, bentuk seperti papan, berserat, beiahan 1 arah, kilap vitreous - lemak, pecahan tidak rata s.d. concoidal
Zoisit
Kuning keabuan, prismatik, striasi vertikal, belahan 1 Kuning keabuan, prismatik, striasi vertikal, belahan 1
Kyanit
Putih kekuningan, tabular panjang, meniang, berserat, belahan 1 arah sempurna, kilap vitreous - mutiara, pecahan tidak rata
Andalusit
Merah rosa, prismatik, bentuk hampir persegi empat, tanpa belahan, kilap vitreous, pecahan tidak rata s.d. rata
Silimanit
Coklat, bentuk ramping, beiahan 1 arah, kilap buram, pecahan tidak rata
Interpretasi Data
Kelimpahan masing-masingjenis partikel sedimen tergantung pada: - ketersediaan jenis partikel tersebut pada batuan/daerah asalnya - durabilitas mekanik partikel (ketahanan terhadap abrasi, dipengaruhi oleh
belahan mineral clan kekerasan mineral/partikel) - stabilitas kimiawi partikel (ketahanan terhadap pelarutan balk selama
pelapukan, transportasi, deposisi maupun selama diagenesis/intrastratal) Selain itu faktor lain yang dapat berpengaruh: - Iklim: pelarutan mineral lebih intensif pada daerah dengan iklim yang bersifat panas dan humid/lembab dibandingkan pada daerah dengan iklim semi-arid atau dingin/polar.
- Relief daerah asal partikel: mineral yang tidak stabil akan tetap ditemukan pada sedimen yang partikelnya berasal dari daerah dengan relief tinggi karena selalu ada suplai mineral dari batuan segar walaupun tingkat
pelapukannya tinggi, sedangkan daerah dengan relief rendah umumnya batuan segarnya sudah tertutup batuan yang lapuk, sehingga hanya mineral yang stabil yang masih tersisa clan kemudian tertransport.
- Proses Sedimentasi: seperti adanya benturan/impact pada saat transportasi, faktor hidrolik (misalnya mineral berat akan terendapkan terlebih dahulu dibandingkan mineral ringan), dll.
Pemanfaatan informasi komposisi partikel sedimen untuk mengetahui pengaruh dari faktor-faktor seperti tersebut di atas dikenal dengan studi provenance sedimen/batuan sedimen. Pettijohn et. al., (1987) mengemukakan Pemanfaatan informasi komposisi partikel sedimen untuk mengetahui pengaruh dari faktor-faktor seperti tersebut di atas dikenal dengan studi provenance sedimen/batuan sedimen. Pettijohn et. al., (1987) mengemukakan
Berdasarkan data komposisi partikel yang dimiliki, para praktikan diharuskan mampu melakukan analisis provenance serta menjelaskan faktor- faktor yang berpengaruh terhadap proses deposisi sedimen tersebut. Beberapa contoh aplikasi dan interpretasi data komposisi partikel sedimen.
Gambar VI. 2. 1. Diagram segitiga QFL untuk menentukan sedimen asal batuan beku plutonik dan batuan metamorf yang terbetuk di bawah pengaruh iklim yang berbeda (Tucker, 1991)
Gambar VI. 2. 2. Diagram segitiga QFL untuk menentukan komposisi
pasir (laut dalam) yang berasal dari kerangka tektonik tertentu.
(Tucker, 1991)
Gambar VI. 2. 3. dan VI. 2. 4. Diagram segitiga QFLyang memperlihatkan komposisi pasir dari beberapa daerah provenance. (Tucker, 1991)
IV. 3. Alat dan Bahan
Alat:
1. Plastik sample
2. Alat tulis
3. Jarum pentul
4. Sarung tangan latex dan masker
5. Kamera
6. Corong gelas
7. Gelas kimia
8. Kertas saring
9. Pengaduk gelas
10. Mikroskop binokuler
Bahan:
1. Sample pasir tiap lokasi pengamatan (ukuran mesh 60)
2. Borang/tabel pengamatan mineral minimal.
3. Alkohol 70%
4. Tissue
5. Larutan Bromofom
IV. 4. Langkah Kerja Prosedur Pemisahan
Siapkan alat dan bahan yang diperlukan
Masukan pasir berukuran mesh 50 ke dalam gelas kimia. Lalu tuangkan cairan bromofom kedalamnya, kemuadian diaduk dan tunggu berapa saat hingga terjadinya endapan atau pemisahan
Setelah adanya pengendapan lakukan pengambilan mineral ringan terlebih dahulu dan diletakan pada kertas penyaring dan kemudian dicuci dengan
alkohol
Untuk mineral berat lakukan penyaring dengan kertas penyaring, lalu lakukan pencucian dengan alkohol kembali
Pengeringan hasil pemisahan
Lakukan pengamatan dengan teliti terhadap mineral-mineral yang telah
dikeringkan
Hasil dari pengamatan dimasukan ke dalam table kelimpahan mineral berat dan mineral ringan, lalu kemudian dilakukan perhitungan frekuensi dan simpangan bakudari presentase mineral berat dan mineral ringan yang
diperoleh.
Analisis dan Interpretasi
Interpretasi Data • Mineral ringan:
Data persentase mineral ringan kemudian diplot kedalam diagram segitiga QFL, untuk menentukan lingkungan pengendapan, iklim
pada saat sedimen terbentuk, dan setting tektonik
• Mineral berat:
Data frekuensi dan persentase mineral ringan kemudian dibuat histogramnya untuk analisa provenance.
IV. 5. Pembahasan Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan jumlah komposisi mineral sedimen yang terkandung pada endapan fluvial Kali Code pada STA 8 LP 1, 2 dan
3, mana didapatkan data sebagai berikut:
a. LP 1 Pada lokasi ini, dari 250 butir sampel mineral berat, komposisi yang di dapatkan antara lain Hornblende (11 butir), Turmalin (15 butir), Magnetit (71 butir), Hematit (26 butir), Piroksen
(30 butir), Andalusit (20 butir), Apatit (57 butir), Ilmenit (6), dan Zircon (14 butir). Sedangkan dari 250 butir sampel mineral ringan, komposisi yang di dapatkan antara lain Feldspar (57 butir), Kuarsa (102 butir), dan Litik (91 butir).
b. LP 2 Pada lokasi ini, dari 250 butir sampel mineral berat, komposisi yang di dapatkan antara lain Hornblende (33 butir), Magnetit (87 butir), Andalusi (6 butir), Apatit (51 butir), Ilmenit (12 butir), Garnet (8 butir), Olivin (29 butir), Zircon (24 butir). Sedangkan dari 250 butir sampel mineral ringan, komposisi yang di dapatkan antara lain Litik (106 butir), Kuarsa (89 butir), Feldspar (50 butir), Mika (5 butir).
c. LP 3 Pada lokasi ini, dari 250 butir sampel mineral bera,t komposisi yang di dapatkan antara lain Andalusit (3 butir), Hornblende (13 butir), Apatit (64 butir), Ilmenit (13 butir), Magnetit (82 butir), Rutil (2 butir), Garnet (6 butir), Piroksen (13 butir), Zircon (14 butir), Hematit (40 butir). Sedangkan dari 250 butir sampel mineral ringan, komposisi yang di dapatkan antara lain Kuarsa (102 butir), Litik (118 butir), Feldpsar (30 butir).
Dari analisis data tersebut menunjukkan bahwa kuarsa merupakan mineral yang mendominasi. Hal tersebut dikarenakan mineral kuarsa resisten terhadap proses pelapukan hingga terdeposisi. Resistensi kuarsa yang sangat kuat dapat
terjadi karena kuarsa terbentuk pada suhu 600 0
C menurut Reaksi Bowen. Selain itu kuarsa memiliki struktur ikatan kimia tetrahedron antara unsur Si dan O yang sangat kuat sehingga sulit lepas dan tergantikan dengan ion lain yang menyebabkan kuarsa akan bersifat sangat resisten.
Untuk mineral berat, magnetit memiliki berat jenis dan kekerasan yang tinggi karena kaya akan unsur besi. Sehingga mineral magnetit mendominasi di setiap LP pada data yang didapat. Kelimpahan jenis partikel sedimen ini sangat tergantung pada beberapa hal berikut:
a. Ketersediaan jenis partikel tersebut pada batuan asal.
b. Durabilitas mekanik partikel (ketahanan terhadap abrasi, dipengaruhi oleh belahan mineral dan kekerasan mineral.
c. Stabilitas kimiawi partikel (ketahanan terhadap pelarutan baik selama pelapukan, transportasi, deposisi maupun selama diagenesis
d. Iklim, pelarutan mineral lebih intensif pada daerah dengan iklim yang bersifat panas dan humid/lembab dibandingkan pada daerah dengan iklim semi-arid atau dingin/polar.