Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan Gambar 12, perubahan jumlah total eritrosit terjadi setelah 7 hari infeksi. Untuk ikan yang telah divaksin maupun ikan kontrol baik isolat 3 dan isolat 5 secara umum mengalami penurunan jumlah eritrosit. Pada hari ke 14 setelah infeksi ikan yang telah divaksin mengalami peningkatan jumlah eritrosit dibandingkan pada pengamatan hari ke7, sedangkan ikan kontrol + sebaliknya dimana jumlah eritrosit tetap lebih kecil dari pada hari ke-7. Perubahan jumlah total leukosit juga terjadi secara fluktuatif dimana trend yang ditunjukkan merupakan kebalikan dari jumlah total eritrosit. Pada hari ke-7 setelah infeksi, terjadi peningkatan jumlah total leukosit secara keseluruhan dibandingkan pada hari ke-0. Perbedaan terjadi setalah 14 hari infeksi, dimana total leukosit pada ikan yang divaksin mengalami penurunan sedangkan pada ikan kontrol + jumlah total leukosit masih tinggi dibandingkan dengan hari ke-7. Kadar hemoglobin dan kadar hematokrit juga memiliki trend yang berkebalikan untuk ikan kontrol +, penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit pada hari ke-7 dan peningkatan kembali nilai keduanya setelah hari ke-14 pada ikan yang telah divaksin tidak diikuti oleh ikan kontrol +. Pada ikan kontrol +, terus terjadi penurunan nilai hemoglobin dan kenaikan hematokrit pada hari ke-14 setelah uji tantang.

4.2 Pembahasan

Streptococcus agalactiae merupakan bakteri penyebab penyakit streptococcosis atau meningoencephalitis pada ikan nila Evans et al. 2008. Infeksi pada otak ikan menyebabkan terganggunya keseimbangan dan menimbulkan kelainan pada organ mata. Akibat dari infeksi tersebut kematian pada ikan dapat terjadi baik secara akut ataupun kronis. Dari hasil karakteristik bakteri uji, diperoleh bahwa bakteri S. agalactiae yang digunakan adalah tipe non hemolitik. ECP merupakan salah satu faktor virulensi S. agalactiae dan tipe non hemolitik diduga sebagai tipe yang lebih virulen Hardi 2011. Berdasarkan kemampuannya melisis sel darah merah, Streptococcus dibagi menjadi tiga kelompok yaitu alpha hemolitik, beta hemolitik dan non hemolitik Bullock 1981. Pada ikan, telah diisolasi tipe alpha hemolitik Minami et a1. 1979, beta hemolitik Minami et al. 1979; Boomker et a1. 1979; Robinson and Meyer 1966, and non hemo1itik Plumb et a1. 1974. Keberadaaan hemolisin yang memiliki osmolaritas lebih rendah dari pada osmolaritas eritrosit mengakibatkan eritrosit akan terlisis ketika terpapar hemolisin Dellmann 1989. Sebagai bakteri septikemia, Streptococcus agalactiae menyebar melalui pembuluh darah. Eldar et al. 1994 menemukan bakteri S. agalactiae tipe non hemolitik menyebabkan septikemia dan meningoencephalitis pada ikan nila di Israel. Sebagai bakteri patogen, S. agalactiae memiliki faktor virulensi untuk menginfeksi inang. Salah satu faktor virulensinya adalah kandungan toksin yang merupakan hasil metabolisme atau sering disebut produk ekstraselular ECP. Sebagai eksotoksin ECP bersifat imunogenik dengan target biokimia dari toksin tersebut terletak pada proses intraseluler, komponen membran ataupun neurotransmitter. Eksotoksin biasanya disekresikan oleh bakteri hidup selama fase pertumbuhan eksponensial. Umumnya, strain bakteri yang patogen menghasilkan toksin yang virulen. Toksin protein bakteri Streptococci merupakan zat antigenik yang kuat dan bekerja secara luas serta menyebabkan kematian dengan gejala yang tidak spesifik seperti nekrosis pada jaringan Woolf 2000. Berdasarkan analisa SDS-PAGE diperoleh berat molekul yang berbeda dari masing-masing isolat. Menurut Pasnik et al. 2005 kandungan protein pada ECP S. agalactiae yang digunakan sebagai vaksin pada ikan berkisar antara 47-75 KDa. Hardi 2011 menyatakan bahwa berat molekul protein S. agalactiae tipe non-hemolitik yang dibiakkan selama 72 jam pada media BHI adalah 62,3 KDa; 55,8 KDa; dan 51,8 KDa. Isolat 3 yang mengandung 7 jenis pita protein diduga bersifat imunogenik karena memiliki 3 jenis pita dengan berat molekul berkisar 47-75 KDa, begitu pula dengan isolat 5 yang memiliki 2 jenis pita protein dengan berat molekul berkisar 47-75 KDa. Berdasarkan hasil penelitian, ECP bersifat toksik pada ikan nila dengan nilai LD 50 untuk isolat 3 adalah 633,9 µgKg dan isolat 5 adalah 685,4 µgKg. Perbedaan nilai LD 50 dari kedua isolat diduga akibat konsentrasi protein ECP yang berbeda. Beberapa kajian menunjukkan ECP diduga menjadi salah satu faktor virulensi bakteri dan dapat menyebabkan timbulnya penyakit atau kematian. Kawahara et al. 1990 melakukan fraksinasi terhadap ECP Aeromonas salmonicida dan menentukan nilai LD 50 untuk salmolisin adalah 559 µgKg yang diinjeksi secara intramuscular dan intraperitoneal. Chen et al. 1997 menyatakan bahwa nilai LD 50 dari ECP Mycobacterium spp yang disuntikan pada ikan nila dan ikan rainbow trout adalah 400 µgekor. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi ECP pada ikan nila hampir sama dengan gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi langsung dari bakteri. Kelainan organ mata, kehilangan keseimbangan berenang dan penurunan nafsu makan terjadi setelah injeksi yang dilakukan secara intraperitoneal pada ikan nila. Protein ECP yang diduga mengandung toksin juga diujikan secara in vitro pada sel limfosit. Limfosit merupakan salah satu sel utama yang memediasi respon imun pada tubuh ikan Blaxhall dan Sheard 1984. Kerusakan yang terjadi pada limfosit mengindikasikan bahwa protein ECP mampu merusak mekanisme pertahanan tubuh. Hal tersebut juga menjelaskan tentang proses patogenesis pada tingkat seluler dimana ECP bekerja secara intraseluler. Mekanisme masuknya ECP ke dalam limfosit dapat terjadi melalui dua cara. Alternatif pertama yaitu secara langsung dimana subunit ECP berikatan dengan reseptor spesifik pada limfosit dan menginduksi pembentukan pori pada membran dan selanjutnya ECP masuk ke dalam sel. Alternatif kedua yaitu ECP mengikat limfosit, kemudian subunit ECP masuk ke dalam sel melalui mekanisme endositosis reseptor-mediated RME. ECP dinetralisasi di dalam sel oleh endosome, akan tetapi keberadaan H + Kerusakan yang terjadi setelah 3 jam pemaparan dengan ECP dan pola kematian ikan yang terjadi secara kronik menjelaskan bahwa pada tingkat seluler ECP mampu merusak sel dengan waktu yang singkat akan tetapi pada tingkat individu yang lebih kompleks ECP hanya menyebabkan kematian bertahap. Pada di dalam endosome membantu subunit ECP terpisah. Subunit yang terpisah tersebut bekerja sesuai fungsinya, di mana salah satu subunit tetap berada dalam limfosit dan subunit lainnya keluar ke permukaan limfosit Kenneth 2009. Walaupun persentase kerusakan yang ditimbulkan setelah 3 jam pemaparan dengan ECP berbeda antara kedua isolat, tetapi hal tersebut selaras dengan semakin meningkatnya konsentrasi protein ECP dan lama waktu pemaparan, maka kerusakan yang terjadi pada limfosit semakin tinggi. Secara visual kerusakan pertama kali terjadi pada bagian sitoplasma sel kemudian diikuti dengan pecahnya inti sel. tingkat individu, ECP yang masuk ke dalam tubuh ikan mendapatkan perlawanan imunitas baik secara humoral maupun secara seluler. Selain bersifat toksik, kajian tentang sifat imunogenik protein ECP S. agalactiae juga dilakukan. Berdasarkan pengujian imunodifusi terlihat bahwa protein ECP bersifat imunogenik dan memiliki sifat proteksi spesifik bio-tipe. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Hardi 2011 bahwa pembentukan kompleks antigen-antibodi hanya terbentuk dari isolat yang sama. Presipitasi kompleks ini terjadi bila konsentrasi antigen dan antibodi ekuivalen dan dapat memberntuk struktur besar makro molekul yang saling berkait sehingga menyebabkan kekeruhan yang lebih dibandingkan jika dalam larutan itu hanya terdapat antibodi atau antigen saja kesetimbangan antigen-antibodi. Karena memiliki sifat yang imunogenik pengembangan vaksin untuk memproteksi ikan nila dari serangan bakteri ini dapat ditindaklanjuti. Inaktifasi ECP dengan neutral buffer formalin 3 untuk dijadikan kandidat vaksin bisa diterapkan. Efikasi vaksin ECP yang memiliki nilai RPS sebesar 60 untuk isolat 3 dan 68 untuk isolat setelah diuji tantang dengan kepadatan bakteri 2 x 10 5 CFUml, menunjukkan vaksin tersebut efektif untuk diterapkan. Ellis 1988 menyatakan bahwa, suatu vaksin dikatakan efektif apabila nilai RPS pada saat pengujian efikasi vaksin memiliki nilai 50. Status kesehatan ikan yang diamati dari gambaran darah menjelaskan pada hari ke-7 setelah uji tantang kondisi fisiologi ikan terganggu akibat infeksi bakteri. Penurunan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin serta meningkatnya jumlah leukosit menunjukkan bahwa ikan sedang mengalami infeksi dan tubuh ikan mengantisipasi kondisi tersebut dengan memproduksi leukosit lebih banyak sebagai respon imunitas. Pada hari ke-14 sangat terlihat perbedaan kondisi kesehatan ikan yang divaksin dengan ikan kontrol. Tahapan pemulihan kondisi tubuh ikan sebagai upaya homeostatis dapat dilihat dari peningkatan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin serta penurunan jumlah leukosit. Sedangkan pada ikan kontrol penurunan jumlah eritrosit dan peningkatan jumlah leukosit tetap terjadi. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa vaksin ECP yang diberikan pada ikan mampu memproteksi ikan dari serangan bakteri S. agalactiae. V. SIMPULAN DAN SARA N

5.1 Simpulan