BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sifat Anatomi Kayu
a. Kayu Teras dan Kayu Gubal
Pembentukan  kayu  teras  merupakan  proses  yang  terjadi  di  dalam pohon dan tidak dapat diamati secara langsung. Persentase kayu teras dan
kayu gubal ditentukan berdasarkan perbedaan warna antara kayu teras dan kayu gubal. Berdasarkan pengamatan terhadap warna kayu yang dilakukan
secara  subjektif,  diperoleh  hasil  bahwa  terdapat  perbedaan  warna  antara kayu teras dan kayu gubal pada kayu sengon maupun gmelina.  Kayu teras
pada sengon dan gmelina  memiliki warna  yang  lebih gelap dibandingkan kayu  gubalnya  dan  terletak  pada  bagian  pusat  atau  bagian  dalam  pohon.
Sedangkan  kayu  gubal  memperlihatkan  warna  yang  lebih  terang  dan terdapat pada bagian luar batang pohon. Dengan adanya perbedaan warna
tersebut,  maka  pengamatan  terhadap  potongan  melintang  batang  kayu sengon dan gmelina lebih mudah dilakukan, serta luas kayu teras dan kayu
gubal dapat diketahui.  Kayu teras pada sengon berwarna coklat kemerah- merahanan  dan  kayu  gubalnya  berwarna  coklat  keputih-putihan.
Sedangkan kayu teras pada gmelina berwarna coklat kekuningan dan kayu gubalnya  berwarna kuning kecoklatan Perbedaan  warna antara kayu teras
dan kayu gubal pada kayu sengon dan gmelina disajikan pada Gambar 6.
A B
Gambar  6  Perbedaan  warna  kayu  teras  dan  kayu  gubal  pada  penampang lintang kayu. Ket: A. Sengon; B. Gmelina.
Pandit  dan  Kurniawan  2008  menyatakan  bahwa  perubahan  dari kayu  gubal  menjadi  kayu  teras  disertai  oleh  pembentukan  substansi
organik  yang  bermacam-macam  yang  dikenal  sebagai  zat  ekstraktif. Selanjutnya perkembangan komponen bahan kimia di dalam sel xylem ini
biasanya  ditandai  dengan  perubahan  warna  jaringan  sehingga  kayu  teras berwarna  lebih  gelap  dibandingkan  kayu  gubal.  Perbedaan  warna  kayu
teras  dan  kayu  gubal  ini  tergantung  dari  warna  zat  ekstraktif  yang diendapkan Pandit dan Kurniawan 2008.
Berdasarkan perbedaan warna tersebut, luas permukaan kayu teras dan kayu gubal pada  kayu sengon dan gmelina dapat diketahui. Rata-rata
luas  kayu  teras  pada  sengon  adalah  sebesar  6.228,8  mm²  dan  luas  kayu gubalnya sebesar 27.355,2 mm². Sedangkan pada kayu gmelina, luas kayu
terasnya  adalah  sebesar  3.072,2  mm²  dan  16.545  mm²  untuk  kayu gubalnya.  Dari  pengukuran  persentase  kayu  teras  dan  kayu  gubal,
diperoleh hasil rata-rata persentase kayu teras pada sengon adalah sebesar 18,6 dan persentase kayu gubalnya sebesar 81,4. Sedangkan pada kayu
gmelina, persentase kayu terasnya adalah sebesar 15,6 dan 84,4 untuk kayu  gubalnya.  Persentase  kayu  teras  dan  kayu  gubal  pada  sengon  dan
gmelina disajikan pada Gambar 7.
Gambar  7    Persentase  kayu  teras  dan  kayu  gubal  pada  kayu  sengon  dan gmelina.
Jumlah  relatif  kayu  teras  dan  kayu  gubal  pada  batang  pohon berbeda-beda  menurut jenis pohon, umur dan keadaan  lingkungan tempat
tumbuh. Perbedaan antara kayu teras dan kayu gubal terletak pada fungsi jaringannya.  Dengan  bertambahnya  diameter  pohon  akibat  dari
pertambahan riap tumbuh, maka sel yang tertua tidak lagi ikut serta dalam proses  fisiologis.  Hal  ini  berarti  sel  tersebut  telah  berubah  menjadi  kayu
teras,  tidak  lagi  ikut  dalam  proses  penyaluran  dan  penyimpanan  bahan makanan  tetapi  hanya  berfungsi  sebagai  pemberi  tenaga  mekanik  yang
menjamin berdiri tegaknya batang Pandit dan Kurniawan 2008. Perubahan  yang  utama  kayu  gubal  menjadi  kayu  teras  adalah
adanya  ekstraktif-ekstraktif  kimia  di  dalamnya.  Perbedaan  antara keduanya  hampir  seluruhnya  bersifat  kimia.  Perubahan  kayu  gubal
menjadi  kayu  teras  akan  membuat  kayu  teras  memiliki  corak  yang  lebih menarik,  memiliki  keawetan  alami  yang  lebih  tinggi,  sifat  permeabilitas
yang  lebih  rendah,  persentase  kandungan  air  yang  lebih  rendah  dan meningkatnya  stabilitas  dimensi  Bowyer  et  al.  2003.  Panshin  de  Zeuw
1964  menyatakan  bahwa  perbedaan  kayu  teras  dan  kayu  gubal  tidak hanya  dalam  hal  warna  dan  zat-zat  ekstraktif  saja  tetapi  biasanya  juga
berbeda  dalam  hal  berat  dan  terkadang  mempunyai  korelasi  terhadap keawetan  dan  permeabilitasnya.  Kayu  teras  umumnya  lebih  awet  atau
lebih  tahan  terhadap  serangan  jamur  dan  serangga  perusak  kayu.  Hal  ini dikarenakan  adanya zat-zat ekstraktif  yang terdapat pada kayu teras  yang
bersifat  racun  terhadap  jamur  dan  serangga  perusak  tersebut.  Sifat  kayu teras  yang  lain  yaitu  permeabilitasnya  yang  rendah.  Permeabilitas  kayu
teras yang rendah ini merupakan akibat adanya ekstraktif minyak, lilin dan getah yang dapat menyumbat dinding sel.
Persentase  kayu  teras  small  diameter  log  pada  kayu  sengon maupun  gmelina  lebih  rendah  daripada  kayu  gubal.  Hal  ini
mengindikasikan bahwa kedua kayu tersebut memiliki kualitas yang lebih rendah  dalam  hal  keawetan  dan  permeabilitasnya.  Oleh  karena  itu,  kayu
sengon  dan  gmelina  small  diameter  log  diperkirakan  memiliki  keawetan
alami  dan  stabilitas  dimensi  yang  lebih  rendah  dibandingkan  kayu berdiameter konvensional.
b. Tekstur
Tekstur  dari  kayu  merupakan  penampilan  permukaan  kayu  yang menunjukkan ukuran relatif dari sel-sel yang mencolok besarnya di dalam
kayu Pandit dan  Kurniawan 2008.  Tekstur suatu  kayu  berkaitan dengan kualitas  permukaan  kayu  itu  sendiri  yang  ditentukan  oleh  ukuran  relatif
sel-sel  penyusun.  Tekstur  suatu  kayu  dapat  dinyatakan  halus,  sedang  dan kasar. Tekstur kayu dikatakan halus jika sel-selnya terutama pembuluh dan
jari-jari  berukuran  kecil.  Sebaliknya  tekstur  suatu  kayu  dinyatakan  kasar jika sel-selnya berukuran besar Mandang dan Pandit 1997.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa diameter tangensial pori kayu sengon  adalah  sebesar  212-269  µ m  dan  tergolong  agak  besar  yang
menyebabkan  kayu  sengon  bertekstur  kasar.  Sedangkan  diameter tangensial  pori  kayu  gmelina  berukuran  135-212  µ m  dan  tergolong  agak
kecil  sampai  agak  besar.  Hal  ini  menyebabkan  kayu  gmelina  bertekstur sedang sampai kasar. Mandang dan Pandit 1997 menyatakan bahwa kayu
diameter  tangensial  pori  kayu  sengon  adalah  sebesar  160-340  µ m  yang menyebabkan  kayu  tersebut  bertekstur  agak  kasar  sampai  kasar.
Sedangkan  diameter  tangensial  pori  kayu  gmelina  adalah  agak  kecil sampai agak besar yang menyebabkan kayu tersebut bertekstur agak kasar
sampai  kasar.  Hasil  ini  membuktikan  bahwa  tekstur  small  diameter  log pada  kayu  sengon  dan  gmelina  lebih  kasar  daripada  kayu  berdiameter
konvensional.  Tekstur  kayu  akan  berpengaruh  dalam  pemanfaatannya. Kayu  sengon  dan  gmelina  small  diameter  log  yang  bertekstur  kasar  ini
tidak sesuai  jika digunakan  untuk  bahan pembuat mebel dan patung  yang mensyaratkan kayu dengan tekstur yang halus.
c. Dimensi Serat
Hasil  pengukuran  dimensi  serat  small  diameter  log  sengon  dan gmelina disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Dimensi serat sengon dan gmelina.
Jenis kayu Dimensi serat μm
Panjang serat Diameter serat
Tebal dinding sel
Sengon 637,7 - 1150,3
25,5 3,0
Gmelina 636,6 - 1293,7
22,6 3,4
Soerianegara  dan  Lemmens  1994  menyebutkan  bahwa  panjang serat  untuk  kayu  sengon  adalah  sebesar  1200-1500
μm  dan  untuk  kayu gmelina adalah 700-1500
μm. Hasil tersebut membuktikan bahwa panjang serat kayu sengon dan gmelina yang berasal dari  small diameter log lebih
pendek  daripada  kayu  berdiameter  konvensional.  Hal  ini  sesuai  dengan Bowyer  et  al.  2003  yang  menyatakan  bahwa  kayu  dalam  lingkaran-
lingkaran  yang  dibentuk  pertama  mempunyai  berat  jenis  terendah,  serat- serat terpendek, sudut fibril terbesar dan sebagainya.
d. Kayu Juvenil dan Kayu Dewasa
Kayu  juvenil  merupakan  xilem  sekunder  yang  dihasilkan  oleh kambium  pada  tahun  pertama  pertumbuhan  yang  dipengaruhi  oleh
kegiatan dalam meristem apikal Rendle 1970 dalam Bowyer et al. 2003. Bendtsen  1978  dalam  Bowyer  et  al.  2003  menyatakan  bahwa
perubahan  dari  kayu  juvenil  ke  kayu  dewasa  ditunjukkan  oleh  kenaikan berat jenis, panjang sel, kekuatan, tebal dinding sel, penyusutan transversal
dan  persen  kayu  akhir  yang  berangsur-angsur  mengalami  kenaikan.  Laju perubahan  sifat-sifat tersebut  sangat  cepat  pada  beberapa  lingkaran  tahun
pertama,  kemudian  berangsur-angsur  stabil  mengikuti  ciri  kayu  dewasa. Karena  perubahan  yang  berangsur-angsur  tersebut,  maka  tidak  jelas
dimana pertumbuhan kayu juvenil berakhir dan pembentukan kayu dewasa dimulai. Identifikasi kayu juvenil dapat dilihat dari kenaikan panjang serat
tiap lingkaran tumbuh yang meningkat secara progresif mulai dari empulur hingga hingga ke kulit. Apabila panjang serat tiap lingkaran tumbuh mulai
stabil, maka sudah merupakan batas antara kayu juvenil dan kayu dewasa. Hasil panjang serat rata-rata tiap segmen pada kayu sengon adalah
R1: 637,7 μm; R2: 872,6 μm; R3: 956,0 μm; R4: 973,7 μm; R5: 991,4 μm;
S6: 1022,9 μm; R7: 1065,7 μm; R8: 1150,3 μm. Sedangkan panjang serat
rata-rata tiap segmen untuk kayu gmelina  adalah R1: 636,6 μm; R2: 940,6
μm; R3: 1154,9 μm; R4: 1228,0 μm; R5: 1252,6 μm; R6: 1261,7 μm; R7: 1285,1
μm; R8: 1293,1 μm. Hasil pengukuran panjang serat rata-rata dari setiap riap  mulai dari  segmen 1  hingga 8  memiliki ukuran  yang  berbeda-
beda.  Pada  kayu  sengon,  panjang  serat  terpendek  terdapat  pada  bagian dekat  empulur  R1  yaitu  dengan  nilai  rata-rata  637,7
μm  dan  panjang serat terpanjang terdapat pada bagian yang dekat dengan kulit R8 dengan
nilai rata-rata 1150,3 μm. Begitu pula dengan kayu gmelina, panjang serat
terpendek juga terdapat pada bagian dekat empulur R1 yaitu dengan nilai rata-rata 636,6
μm dan panjang serat terpanjang terdapat pada bagian dekat dengan kulit R8 dengan nilai rata-rata 1293,7
μm. Nilai rata-rata panjang serat untuk masing-masing kayu disajikan pada Gambar 8.
Gambar  8 Hubungan panjang serat rata-rata dengan segmen dari empulur ke kulit pada kayu sengon dan gmelina.
Dari  hasil  penelitian  juga  terlihat  bahwa  panjang  serat  terpendek terdapat pada bagian yang dekat dengan empulur baik untuk kayu sengon
maupun  kayu  gmelina.  Hal  ini  dikarenakan  antara  frekuensi  pembelahan sel  inisial  fusiform  secara  antiklinal  dan  panjang  selnya  memiliki
hubungan yang negatif. Hal ini berarti  makin cepat frekuensi pembelahan maka akan menghasilkan sel-sel yang lebih pendek. Frekuensi pembelahan
antiklinal  pada  bagian  yang  dekat  dengan  empulur  awal  pertumbuhan lebih  tinggi  kemudian  berangsur-angsur  mengalami  penurunan  ke  arah
luar  batang.  Pembelahan  antiklinal  yang  pseudotransverse  membelah miring  menurut  bidang  lintang  berlangsung  lebih  cepat  pada  masa  awal
pertumbuhan  sehingga  sel-sel  kayu  yang  terbentuk  lebih  pendek. Sedangkan  sel-sel  yang  terbentuk  pada  akhir  pertumbuhan  lebih  panjang
karena pembelahan antiklinal pseudotransverse  berlangsung lebih lambat. Hal  inilah  yang  menyebabkan  panjang  serat  yang  dihasilkan  pada  bagian
dekat  empulur  merupakan  serat  yang  yang  terpendek    Pandit  dan Kurniawan 2008.
Selain  dengan  melihat  kenaikan  panjang  serat  dari  empulur hingga kulit, identifikasi kayu juvenil juga dapat dilihat dari tebal dinding
sel yang berangsur-angsur mengalami peningkatan. Hasil pengukuran rata- rata tebal  dinding  sel  pada  kayu  sengon  adalah  R1:  2,6
μm; R2: 2,9 μm; R3: 2,9
μm; R4: 3,0 μm; R5: 3,1 μm; R6: 3,1 μm; R7: 3,2 μm; R8: 3,2 μm. Sedangkan tebal dinding sel rata-rata untuk kayu gmelina  adalah R1: 3,3
μm; R2: 3,3 μm; R3: 3,3 μm; R4: 3,3 μm; R5: 3,4 μm; R6: 3,6 μm; R7: 3,6 μm; R8: 3,7 μm.
Dari  hasil  pengukuran,  terlihat  bahwa  dinding  sel  tertipis  pada kayu sengon terdapat pada bagian yang paling dekat dengan empulur R1
sebesar  2,6 μm  dan  yang  paling  tebal  terdapat  pada  bagian  yang  paling
dekat dengan kulit R8 sebesar 3,2 μm. Begitu pula dengan kayu gmelina,
dinding  sel  tertipis  pada  juga  terdapat  pada  bagian  yang  paling  dekat dengan empulur R1 sebesar 3,3
μm dan yang paling tebal terdapat pada bagian  yang  paling  dekat  dengan  kulit  R8  sebesar  3,7
μm.  Hal  ini disebabkan  oleh  adanya  persaingan  antara  pertumbuhan  panjang
internoidia, produksi jarum-jarum baru dan pertumbuhan xylem dan floem sangat  keras  pada  awal  pertumbuhan  dekat  empulur.  Akibatnya  hasil
fotosintesis yang diterima daerah kambium sangat minimum. Oleh karena itu, ketebalan dinding sekunder menjadi minimum. Setelah perkembangan
tajuk  berhenti,  maka  hasil  fotosintesi  yang  diberikan  kepada  daerah kambium  bertambah  banyak  dan  dinding  sel  menjadi  lebih  tebal  dan
menjadi  maksimum  pada  akhir  musim  tumbuh  Pandit  2006.  Hasilnya adalah  pada  kayu  dengan  tebal  dinding  sel  yang  rendah  akan  memiliki
kerapatan dan  berat  jenis  yang rendah pula.  Begitu sebaliknya pada kayu dengan  tebal  dinding  sel  yang  tinggi  akan  memiliki  kerapatan  dan  berat
jenis  yang  tinggi  pula.  Nilai  rata-rata  tebal  dinding  sel  untuk  masing- masing kayu disajikan pada Gambar 9..
Gambar  9  Hubungan  tebal  dinding  sel  rata-rata  dengan  segmen  dari empulur ke kulit pada kayu sengon dan gmelina.
Berdasarkan  uji  lanjut  Tukey  pada  selang  kepercayaan  95, diperoleh  hasil  bahwa  panjang  serat  kayu  sengon  masih  mengalami
kenaikan  panjang  serat  yang  tajam  sampai  segmen  ke-8.  Hal  ini  berarti bahwa  seluruh  bagian  kayu  sengon  merupakan  kayu  juvenil  dan  kayu
dewasa  masih  belum  terbentuk.  Sedangkan  kayu  juvenil  yang  terbentuk pada  kayu  gmelina  terjadi  sampai  segmen  ke-4  R4,  baru  pada  segmen
ke-5  R5  kayu  dewasa  mulai  terbentuk.  Batas  berakhirnya  periode  kayu juvenil  dan  terbentuknya  kayu  dewasa  ini  berbeda-beda  tergantung
spesiesnya. Hasil  pengukuran  terhadap  kedua  jenis  kayu  menunjukkan  bahwa
hasil perhitungan persentase kayu juvenil pada kayu sengon adalah sebesar 100  .  Sedangkan  persentase  kayu  juvenil  pada  kayu  gmelina  adalah
sebesar  50  .  Proporsi  kayu  juvenil  yang  terbentuk  dalam  suatu  batang berhubungan  dengan  laju  pertumbuhan  pada  umur  muda.  Batang  yang
tumbuh  cepat  selama  jangka  waktu  juvenil  akan  memiliki  proporsi  kayu juvenil yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan batang yang tumbuh
lambat pada awal daur tersebut. Kayu  juvenil  memiliki  kecenderungan  untuk  menghasilkan  serat
terpuntir  yang  lebih  besar.  Selain  itu  orientasi  sudut  mikrofibril  pada lapisan  dinding  sekunder  S-2  lebih  besar  dari  kayu  dewasa,  sehingga
penyusutan  longitudinal  kayu  juvenil  sangat  besar  dan  berkurangnya penyusutan  transversal  yang  sesuai  Bowyer  et  al.  2003.  Dengan  semua
sifat ini, kayu juvenil umumnya tidak diinginkan apabila digunakan dalam produk kayu solid. Penggunaan kayu juvenil dalam konstruksi besar akan
mengakibatkan cacat yang disebut getas atau  brashness. Cacat getas pada kayu ini merupakan kondisi abnormal pada kayu yang menyebabkan kayu
patah secara tiba-tiba tanpa memberikan peringatan pada beban yang lebih rendah dari biasanya. Kayu yang memiliki kayu juvenil di dalamnya akan
menghasilkan  sortimen  kayu  yang  memiliki  cacat  lengkung  dan  pecah yang cukup besar Panshin dan de Zeeuw 1964.
Untuk  mengurangi  proporsi  kayu  juvenil  dalam  kayu  dapat dilakukan  dengan  tidak  memberikan  pupuk,  irigasi  atau  perlakuan
silvikultur  lainnya  pada  awal  pertumbuhan  yang  merupakan  periode pembentukan  kayu  juvenil.  Hal  ini  dikarenakan  batang  yang  tumbuh
secara  cepat  selama  jangka  waktu  pertumbuhan  juvenil  akan  memiliki proporsi kayu juvenil yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan batang
yang tumbuh secara lambat pada awal daur tersebut.
B. Sifat Fisis Kayu