Pemodelan Sebaran Nutrien dengan Pendekatan Model Perata-rataan terhadap Kedalaman (Depth Averaged) di Teluk Jakarta.

(1)

In this research simulation of ecosystem model was done to study the

influence of physical and chemical processes to biological processes in Jakarta Bay. The physical model used for this study is based on Princeton Ocean Model (POM) as well as the ecosystem model is the modification result of the POM. The modelled current patterns tend to move from west then out of the northern open boundary or the eastern part of the bay. The currents are relative stronger near the western boundary and along the northern open boundary of the bay, with magnitudes of 19 cm s-1. Then, the currents slow down at the middle part of the bay to along the coast area because of bottom friction effect. The modelled distribution patterns of ammonium and nitrate results agree well with the observed, showed that the concentrations of ammonium and nitrate tend to decrease significantly towards the northern open boundary and intensified near river mouths of the bay. For the concentration ammonium, the model result is different with the observed, especially along river mouths of the bay. On the other hand, the obtained values of the modelled

concentrations of ammonium and nitrate are higher than the obtained values of the observed. It is likely induced by the model input and the assumptions of the ecosystem model.

Keywords: ecosystem model, physical model, Jakarta Bay, Princeton Ocean Model (POM), ammonium, nitrate.


(2)

1 1.1. Latar Belakang

Pencemaran lingkungan merupakan topik yang banyak mendapat perhatian baik peneliti, pemerintah, maupun masyarakat umum. Pencemaran adalah proses perusakan lingkungan akibat adanya kontaminasi dengan komponen organik maupun anorganik serta komponen-komponen lain yang sebagian besar

bersumber dari kegiatan manusia (antropogenik) secara berlebih atau melampaui daya dukung lingkungan sehingga menyebabkan lingkungan tersebut tidak dapat berfungsi sesuai peruntukkannya.

Badan air yang mengandung bahan unsur hara (nutrien) berlebih dapat menyebabkan pertumbuhan dan biomassa fitoplankton/mikroalga tidak terkendali, sehingga mengakibatkan ledakan populasi fitoplankton atau blooming algal. Selanjutnya proses penguraiannya dapat menurunkan kualitas perairan terutama oksigen terlarut di lapisan bawah (hypoxia) yang dapat mengakibatkan kematian massal ikan secara mendadak. Blooming algal juga berpotensi besar memicu toxic algal blooms (HAB) yaitu munculnya populasi fitoplankton beracun seperti beberapa kelompok dinoflagellata yang memiliki sel-sel vegetatif beracun dan sista karena memproduksi neurotoksin (Livingston, 2001). Racun tersebut berbahaya bagi biota laut khususnya ikan secara langsung dan manusia secara tidak langsung (biomagnifikasi) karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang memangsa mikroalga tersebut.


(3)

Teluk Jakarta merupakan kawasan di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (JABODETABEK) yang padat berbagai macam aktifitas dan dewasa ini telah berkembang pesat seperti kegiatan pelabuhan, pemukiman skala besar, rekreasi, wisata bahari, perdagangan, perkantoran, perindustrian skala besar, dan pertanian. Kondisi tersebut telah membawa dampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keseimbangan ekosistem perairan seperti pencemaran, degradasi lingkungan, dan mengancam kesehatan manusia.

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian secara komprehensif dan kontinu dalam memahami dinamika ekologis yang terjadi di Teluk Jakarta. Studi ini menggunakan pendekatan numerik (model) karena memiliki beberapa

keunggulan, di antaranya waktu yang dibutuhkan relatif lebih singkat, dapat memprediksi proses-proses yang akan terjadi di masa mendatang, dan merupakan sebuah upaya awal dalam pengambilan suatu keputusan dalam memodelkan dinamika ekosistem perairan di Teluk Jakarta.

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah memprediksi pola sebaran nitrat dan amonium di Teluk Jakarta dengan menggunakan model hidrodinamika-ekosistem 2-dimensi (perata-rataan terhadap kedalaman).


(4)

3

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Umum Teluk Jakarta

Teluk Jakarta merupakan perairan dangkal yang memiliki kedalaman laut kurang lebih 30 meter dan terletak pada garis bujur 106043’ 00’’BT – 106059’

30’’BT dan garis lintang 5056’ 15’’LS –

6055’ 30’’LS (Setyapermana dan Nontji, 1980). Teluk Jakarta memiliki kedalaman rata-rata sekitar 15 meter, panjang pantai sekitar 72 km, dan luas perairan sekitar 490 km2 (Arifin, 2004). Teluk Jakarta mendapat masukan material dari daratan melalui 13 sungai kecil, yaitu Sungai Angke, Bekasi, Cakung, Pesanggrahan, Cidurian, Ciliwung, Cikarang, Cimancuri, Ciranjang, Cisadane, Citarum, Karawang Krukut, dan Sunter kemudian disalurkan menuju 3 muara sungai besar (Citarum, Ciliwung, dan Cisadane) dengan total rata-rata riverinedischarge mencapai 112.7m3 s-1 (Damar, 2003).

Hadikusumah (2008) menyimpulkan bahwa arah arus pada bulan Maret dan bulan Mei (Masa Peralihan Satu) cenderung dipengaruhi oleh musim barat dan tergantung pada pasang surut dan kekuatan angin musim. BPHLD (2006) menunjukkan arah arus pada bulan Juni (musim timur) bervariasi yaitu antara Barat Daya sampai Timur Laut, sedangkan pada bulan Desember (musim barat) bervariasi antara Timur Laut sampai dengan Barat Daya.

Koropitan dan Ikeda (2008) menyatakan kondisi pasang surut di Teluk Jakarta memiliki ratio amplitudo

O1K1/M2S2

sebesar 3.72 dan

digolongkan pada pasang surut tunggal (diurnal) dengan komponen K1 dominan. Amplitudo tertinggi sebesar 25.17 cm diantara amplitudo komponen lain dan


(5)

kelajuan arus pasang surut bervariasi antara 13 - 16 cm s-1 dengan arus pasut komponen K1 paling kuat diantara arus pasut komponen lain.

Struktur komunitas plankton di perairan Teluk Jakarta terus-menerus mengalami perubahan menurut indeks komunitas seperti, keanekaragaman jenis, keseragaman jenis, dan kekayaan jenis. Secara kuantitatif kelimpahan

fitoplankton di Teluk Jakarta relatif tinggi namun secara kualitatif mengalami penurunan (Sidabutar, 2008). Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh

perubahan kondisi perairan Teluk Jakarta karena besarnya beban masuk atau input zat-zat hara seperti fosfat, nitrat, dan amonium (eutrofikasi). Zat-zat tersebut dapat dikonsumsi secara langsung oleh fitoplankton untuk pertumbuhan dan biomassa melalui proses fotosintesis (Effendi, 2003; Sanusi, 2006). Sidabutar (2008) menyimpulkan rata-rata kelimpahan fitoplankton pada bulan Maret lebih tinggi daripada bulan Mei. Perbedaan tersebut diduga ada keterkaitan antara ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Sidabutar (2008) juga menemukan fitoplankton yang bersifat dominan, yaitu genus Skeletonema dan Chaetoceros dari kelompok diatom. Pada musim hujan, genus Chaetoceros cenderung mendominasi, sedangkan pada musim panas genus Skeletonema cenderung mendominasi. Sutomo et al. (1993) menunjukkan Noctilucamiliaris ditemukan pada seluruh kolom air dan kepadatannya secara vertikal bervariasi serta di beberapa lapisan dalam mempunyai kepadatan yang tinggi. Populasi zooplankton yang umum ditemukan di perairan laut adalah kelompok kopepod. Kelompok krustasea holoplanktonik ini berperan sebagai mata rantai yang sangat penting antara fitoplankton dengan para karnivor besar dan kecil (Nybakken, 1982). BPLHD (2006) melaporkan, zooplankton di perairan Teluk Jakarta pada


(6)

bulan Juni ditemukan sebanyak 22 jenis yang sebagian besar didominasi oleh kelompok kopepod.

Kualitas pencemaran telah dan sedang terjadi di Teluk Jakarta yang disebabkan/berasal dari tumpahan minyak, logam berat, air ballast kapal berupa limbah padat dan cair, buangan limbah air panas dari PLTGU, limbah domestik seperti deterjen, limbah pertanian dan perkebunan seperti pestisida, serta limbah industri. Arifin (2008) menyimpulkan bahwa kadar logam berat yang tinggi dan pola sebarannya di perairan Teluk Jakarta berhubungan erat dengan aktifitas sekitar seperti industri dan pelabuhan. Muchtar (1996) menunjukkan bahwa, kandungan fosfat dan nitrat pada bulan November lebih tinggi bila dibandingkan dengan bulan September dan Oktober. Hal ini disebabkan oleh sumbangan daratan secara signifikan melalui sungai-sungai yang mengalir ke perairan tersebut.

2.2. Model Hidrodinamika Laut

Sirkulasi massa air laut dapat dijelaskan dengan model hidrodinamika. Model hidrodinamika didasarkan pada Hukum Newton II. Hukum ini

menyatakan bila resultan gaya bekerja pada suatu massa fluida maka fluida tersebut akan mengalami perubahan momentum atau mengalami perubahan kecepatan (percepatan).

Secara umum terdapat empat jenis gaya yang bekerja pada massa air laut, yaitu gaya gradien tekanan, gaya coriolis, gaya gravitasi, dan gaya friksi per unit massa (Ramming dan Kowalik, 1980; Pond dan Pickard, 1983; Bishop, 1984; Stewart, 2002). Princeton Ocean Model (POM) mengekspresikan model


(7)

hidrodinamika 2-dimensi perata-rataan terhadap kedalaman sebagai berikut (Mellor, 2004) :

 Komponen-x

2

(0) ( 1)

x UD U D UVD

F fVD gD wu wu

t x y x

   

            

     (1)

 Komponen-y

2

(0) ( 1)

y VD UVD V D

F fUD gD wv wv

t x y y

       

     .. (2)

Persamaan kontinuitas :

0

UD

VD

t

x

y

……….. (3) dimana, U dan V adalah komponen kecepatan arus rata-rata terhadap kedalaman

masing-masing pada sumbu-x dan sumbu-y dengan

0

1

1

U Ud

D

dan

0

1

1

V Vd

D

; DH, H adalah kedalaman perairan dari MSL dan  adalah elevasi permukaan laut, f adalah parameter coriolis ( f  2 sin , adalah sudut lintang dan  adalah vektor kecepatan rotasi bumi yaitu 7.292 x 10-5 radians det-1), wu(0) , wv(0) adalah fluks momentum di permukaan,

( 1) , ( 1)

wu wv

     adalah fluks momentum di dasar, Fx dan Fy adalah suku

difusivitas horisontal masing-masing pada sumbu-x dan sumbu-y yang diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Mellor, 2004) :


(8)

 Komponen-x

2

x M M

U U V

F H A HA

x x y y x

  

 

    

 

 ……… (4)

 Komponen-y

2

y M M

V U V

F H A HA

y y x y x

 

   

    

 

 ………. (5)

dimana, AM adalah koefisien viskos turbulen horisontal.

2.3. Model Adveksi-Difusi

Di dalam suatu perairan banyak terjadi fenomena perpindahan, pengangkutan, dan penyebaran (dispersi) suatu material. Perpindahan, pengangkutan, dan penyebaran (dispersi) material ini dapat disebabkan oleh perbedaan densitas massa air, keseimbangan coriolis dan gradien tekanan, pasang surut, gravitasi, energi angin, gradien konsentrasi, dan turbulensi. Mekanisme pengangkutan material di dalam suatu medium (air) akibat pergerakan medium itu sendiri tanpa mengalami perubahan konsentrasi disebut adveksi. Mekanisme pengangkutan material di dalam suatu medium (air) akibat adanya gradien

konsentrasi material dalam medium dan pergerakannya berupa gerak acak disebut difusi molekuler (James, 1993; Chapra, 1997; Jorgensen dan Bendoricchio, 2001). Namun apabila gerak acak tersebut terjadi pada skala yang lebih besar karena adanya eddies disebut difusi turbulen atau difusi eddy (Chapra, 1997; Yanagi, 1999). Baik difusi molekuler maupun difusi turbulen keduanya memiliki kecenderungan untuk meminimalisir gradien konsentrasi melalui pergerakan material dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah (Chapra, 1997; Jorgensen


(9)

dan Bendoricchio, 2001). Proses transpor material akibat adveksi dan difusi diilustrasikan secara sederhana pada Gambar 1.

Princeton Ocean Model (POM) mengekspresikan model adveksi difusi 2-dimensi perata-rataan terhadap kedalaman sebagai berikut (Mellor, 2004) :

T

TD TUD TVD

F

t x y

   ……….. (6)

dimana, T adalah konsentrasi material dan FT adalah suku difusivitas horisontal yang diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Mellor, 2004) :

 

T x y

F Hq Hq

x y

 

 

  ………... (7)

dimana, qx AH T x  

 dan y H

T

q A

y  

 ; AH adalah koefisien difusi horisontal.

Sumber : Chapra (1997).

Gambar 1. Transpor material terhadap ruang dan waktu akibat (a) adveksi dan (b) difusi.


(10)

2.4. Model Ekosistem Laut

Odum (1971) menyatakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam model ekosistem adalah pendekatan sistem kompartemen (the compartemental system approach) dimana pendekatan ini menegaskan kuantitas dari energi dan material di dalam kompartemen-kompartemen ekosistem. Pendekatan lain adalah pendekatan komponen-komponen eksperimen dimana pendekatan ini menegaskan analisis yang mendetail dari proses-proses ekologi seperti pemangsaan/predasi, persaingan/kompetisi, dan sebagainya.

Model ekosistem laut yang telah ada dan telah berkembang, di antaranya model ekosistem Kamamiya et al. (1995), Yanagi et al. (1997), Aita et al. (2003), Yamanaka et al. (2005), dan model ekosistem Koropitan et al. (2009). Model ekosistem Kawamiya et al. (1995) terdiri dari 6 kompartemen, yaitu fitoplankton (chl-), zooplankton (umum), nitrat (NO3), amonium (NH4), Particulate Organic Nitrogen (PON), dan Dissolved Organic Nitrogen (DON) serta memperhitungkan pengaruh oksigen terlarut (DO). Model ini diaplikasikan di perairan laut lepas. Model ekosistem Yanagi et al. (1997) terdiri dari 5

kompartemen, yaitu fitoplankton (Skeletonema sp.), zooplankton (kopepod), Dissolved Inorganic Nitrogen (DIN), Dissolved Inorganic Fosfor (DIP), dan detritus serta juga memperhitungkan pengaruh DO. Model ini diaplikasikan di perairan semi tertutup (Teluk Dokai, Jepang). Model ekosistem Aita et al. (2003) terdiri dari 11 kompartemen, yaitu fitoplankton kecil (kokolitofor), fitoplankton besar (diatom), zooplankton kecil (foraminifera), zooplankton besar (kopepod), zooplankton predator (krill/jellyfish), nitrat (NO3), amonium (NH4), silikat

(

4


(11)

model ekosistem yang diterapkan di perairan Pasifik Utara. Model ekosistem Yamanaka et al. (2005) terdiri dari 15 kompartemen. Model ini merupakan hasil modifikasi dari NEMURO dengan menambahkan total karbondioksida (TCO2), total alkalinitas (TALK), unsur kalsium (Ca), dan senyawa kalsium karbonat (CaCO3).

Selanjutnya model ekosistem Koropitan et al. (2009), membagi ekosistem numerik struktur trofik minimum menjadi enam kompartemen, yaitu nitrat (NO3), amonium (NH4), fitoplankton (F), zooplankton (Z), detritus pelagik (PD), dan detritus bentik (BD). Model ini diaplikasikan di perairan semi tertutup (Teluk Jakarta). Diagram konsep model ekosistem tersebut diilustrasikan pada Gambar 2. Secara umum model tersebut (Gambar 2.) menunjukkan aliran nitrogen yang mengalami proses transformasi di dalam tiap kompartemen ekosistem. Tanda panah disertai dengan simbol (huruf dan angka) mengandung informasi mengenai proses fisika (E5), biokimia (E1, E2, E4, E8, dan E9), predasi (E3), dan

alami/natural (E6 dan E7).

Simbol E1 adalah proses oksidasi amonium menjadi nitrat yang

melibatkan mikroorganisme kemosintetik seperti bakteri genus Nitrosomonas dan genus Nitrobacter dalam kondisi aerob (membutuhkan oksigen terlarut) atau dikenal dengan nitrifikasi. Persamaan reaksi kimia sederhana nitrifikasi diekspresikan sebagai berikut (Riley dan Chester, 1971) :

4 1.5 2 2 2 2

NH OH OHNO H O

dan

2 0.5 2 3

NO ONO


(12)

E1

E2

E7

E8 E9 E3

E6

E4

E5

Gambar 2. Diagram konsep model ekosistem (Koropitan et al., 2009).

berikut (Koropitan et al., 2009) :

2

1 N 4

ER NH ………... (8) dimana

2

N

R adalah laju oksidasi amonium dan NH4 adalah konsentrasi amonium. Simbol E2 adalah proses asimilasi senyawa sederhana/anorganik (nitrat dan amonium) menghasilkan senyawa kompleks/organik (biomassa) oleh organisme autotrof seperti fitoplankton yang menggunakan cahaya matahari sebagai sumber energi atau dikenal dengan fotosintesis. Proses ini berkaitan erat dengan produktifitas primer perairan. Produktifitas primer merupakan laju

Riverine input Precipitation Riverine input

Nitrate (NO3)

Ammonium (NH4)

Phytoplankton

Zooplankton

Pelagic detritus


(13)

sintesis komponen organik dari komponen anorganik yang sebagian besar dihasilkan melalui fotosintesis dan sebagian kecil melalui kemosintesis (Valiela, 1995). Produktifitas primer umumnya dinyatakan dalam jumlah gram karbon anorganik yang terikat per satuan luas area permukaan laut atau volume air laut per interval waktu (Riley dan Chester, 1971; Nybakken, 1982; Nontji, 2008). Mann dan Lazier (1996) serta Miller (2004) menyatakan produksi primer yang dihasilkan dari pemanfaatan nitrat (NO3) disebut new production, sedangkan produksi primer yang dihasilkan dari pemanfaatan amonium (NH4) hasil hidrolisis amoniak (NH3) dengan air (H O2 ) yang bersumber dari ekskresi organisme heterotrof disebut regenerated/recycled production. Valiela (1995) menyebutkan terdapat empat sumber-sumber nitrogen baru (new nitrogen) di perairan laut, yaitu melalui fiksasi nitrogen, pengadukan vertikal (vertical mixing), transpor horisontal (horizontal transport), dan presipitasi (precipitation). Selain itu, Alongi (1998) menambahkan senyawa nitrat yang berasal dari daratan khususnya dari aktifitas pertanian juga secara signifikan memberikan sumber nitrogen baru (new nitrogen) melalui run off sungai terutama di perairan semi tertutup seperti teluk. Di dalam perairan laut, proses pertumbuhan fitoplankton dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, dan salinitas sebagaimana diekspresikan dengan persamaan berikut (Yanagi et al., 1997) :

2 m . 1( i), 1( a) 2( ) 3( ) 4( )

EV Min V N V N V I V T V S ………... (9)

dimana Vm merupakan laju maksimum uptake fitoplankton, V N1( i) dan V N1( a) merupakan fungsi keterbatasan nutrien (limiting nutrients) yang diekspresikan


(14)

dengan persamaan Michaelis-Menten sebagai berikut (Lung, 1993; Valiela, 1995; Chapra, 1997; Yanagi et al., 1997) :

 

1 i i i sN i N V N K N

 dan 1

 

a a a sN a N V N K N  

dimana Ni dan Na masing-masing adalah konsentrasi nitrat dan amonium serta

i sN

K dan a sN

K masing-masing adalah konstanta paruh jenuh pengambilan nitrat dan amonium bagi fitoplankton. Suatu kondisi dimana pemanfaatan nitrat dan amonium oleh fitoplankton dilakukan secara bersama-sama maka beberapa kelompok fitoplankton akan cenderung lebih menyukai amonium daripada nitrat (Raymont, 1963; Riley dan Chester, 1971; Ricklefs, 1980; Alongi, 1998;

Andersen dan Heibig, 1998; Effendi 2003) sehingga pemanfaatan nitrat akan negatif dengan keberadaan amonium. Pernyataan tersebut diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Koropitan et al., 2009) :

 

1 exp 4

i i i

sN i N

V N NH

K N

 

dimana  adalah parameter inhibition amonium. Kemudian V I2( ) merupakan fungsi cahaya yang diekspresikan dengan persamaan Steele sebagai berikut (Yanagi et al., 1997; Fennel dan Neumann, 2004) :

2( ) exp 1

z z opt opt I I V I I I        

dimana Iopt adalah intensitas cahaya optimal bagi pertumbuhan fitoplankton dan

z

I adalah intensitas cahaya pada kedalaman Z yang diekspresikan berdasarkan Hukum Lambert-Beer sebagai berikut (Lung, 1993; Valiela, 1995; Chapra, 1997) :

0exp( )

z e


(15)

dimana I0 adalah intensitas cahaya di permukaan dan ke adalah koefisien ekstingsi cahaya yang diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Koropitan et al., 2009) :

dimana 1 adalah koefisien disipasi cahaya pada air laut dan 2 adalah koefisien self-shading pada fitoplankton. Cahaya yang dibutuhkan oleh fitoplankton untuk fotosintesis dengan panjang gelombang berkisar antara 370 sampai 720 nm (Riley dan Chester, 1971) dikenal dengan Photosynthetically Available Radiation (PAR) dimana mencapai puncak fotosintesis mendekati panjang gelombang 465 nm (Miller, 2004). Selanjutnya V T3

 

dan V4

 

S masing-masing merupakan fungsi suhu dan salinitas yang diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Yanagi et al., 1997) :

 

3 exp 1

opt opt T T V T T T      

  dan 4

 

opt exp 1 opt

S S V S S S        

dimana T dan S masing-masing adalah suhu dan salinitas air laut serta Topt dan

opt

S masing-masing adalah suhu dan salinitas optimal bagi pertumbuhan fitoplankton.

Simbol E3 adalah proses pemangsaan yang dilakukan oleh herbivora perairan seperti zooplankton terhadap produser perairan seperti fitoplankton untuk pemenuhan kebutuhan energi bagi pertumbuhan, respirasi, biomassa, dan

reproduksi atau dikenal dengan grazing. Menurut Fennel dan Neumann (2004), zooplankton dianggap penting dalam mengontrol kepadatan fitoplankton dan ikut bertanggung jawab terhadap kematian atau hilangnya fitoplankton di perairan.

1 2


(16)

Laju grazing diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Yanagi et al., 1997; Miller, 2004) :

*

3 max 1 exp

ER    F F ……….. (10)

dimana Rmax adalah laju maksimum grazing,  adalah konstanta Ivlev, dan F* adalah batas potensi konsentrasi fitoplankton terhadap grazing zooplankton. Ketika *

F lebih kecil atau kurang dari F maka E30.

Simbol E4 adalah proses egestion atau produksi faecal pellets (feses) oleh zooplankton yang diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Yanagi et al., 1997; Miller, 2004) :

*

4 max 1 exp

E R    F F ………... (11)

dimana  adalah ratio produksi faecal pellets terhadap predasi (grazing). Simbol E5adalah interaksi fisik antara detritus pelagik dengan detritus bentik di kolom perairan hingga lapisan dasar berdasarkan proses sedimen kohesif. Proses fisik yang dimaksud adalah sedimentasi/deposisi (S) dan resuspensi/erosi (E). Apabila diasumsikan kecepatan partikel air di

dasar/tegangan geser dasar (b) lebih kecil daripada tegangan kritis deposisi (cd) maka detritus pelagik mengalami sedimentasi/deposisi. Sedangkan apabila tegangan geser dasar (b) lebih besar daripada tegangan kritis resuspensi (ce) maka detritus bentik mengalami resuspensi/erosi. Penghitungan

sedimentasi/deposisi (S) dan resuspensi/erosi (E) masing-masing diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Koropitan et al., 2009) :

1 b

d

cd

S W PD

 

  dan 1

b BD

ce

E R BD

 


(17)

d

W adalah laju penenggelaman/sinking detritus danRBD adalah laju remineralisasi detritus bentik serta PD dan BD masing-masing adalah konsentrasi detritus pelagik dan konsentrasi detritus bentik. Selanjutnya dalam kondisi netral diekspresikan sebagai berikut (Koropitan et al., 2009) :

0

S  E untuk cd  bce

Simbol E6 dan E7 masing-masing adalah proses kematian fitoplankton dan zooplankton yang terjadi secara alami (bukan disebabkan oleh predator) di perairan. Fitoplankton dan zooplankton yang mati akan menjadi partikel-partikel detritus (particulate organic detritus) kemudian akan mengalami

penghancuran/teragregrasi oleh organisme pemakan bangkai (scavenger) secara biofisik menjadi detritus terlarut (dissolved organic detritus) dan sebagian lain mengalami pengendapan, selanjutnya mengalami penguraian oleh bakteri dekomposer secara biokimia. Laju kematian fitoplankton dan zooplankton

masing-masing diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Koropitan et al., 2009) :

6 F

Em F dan E7m ZZ ………. (13) dimana mF dan mZ masing-masing adalah laju kematian fitoplankton dan laju kematian/ekskresi zooplankton serta F dan Z masing-masing adalah konsentrasi fitoplankton dan konsentrasi zooplankton.

Simbol E8 dan E9 adalah proses penguraian komponen-komponen

organik mati seperti detritus menjadi komponen-komponen anorganik oleh bakteri kemosintetik melalui pemanfaatan molekul oksigen terlarut (O2) atau dikenal dengan dekomposisi aerob. Sedangkan apabila tanpa menggunakan oksigen


(18)

melainkan melalui pemanfaatan senyawa anorganik-oksida seperti NO3, HCO3,

3 4

PO , 2

4

SO , dll maka disebut dekomposisi anaerob. Perbedaan mendasar antara dekomposisi aerob dengan dekomposisi anaerob terletak pada senyawa yang berperan sebagai akseptor (penerima) ion hidrogen. Pada kondisi

dekomposisi aerob yang berperan sebagai akseptor ion hidrogen adalah molekul oksigen sedangkan pada dekomposisi anaerob yang berperan sebagai akseptor adalah senyawa anorganik-oksida (Effendi, 2003). Produk akhir yang dihasilkan pun berbeda, dekomposisi aerob menghasilkan karbondioksida (CO2), air (H O2 ), nitrat (NO3), fosfat (PO4), dan nutrien lain bagi fitoplankton. Sedangkan

dekomposisi anaerob sebagian besar menghasilkan senyawa-senyawa berbahaya seperti metana (CH4), amoniak (NH3), dan hidrogen sulfida (H S2 ) (Effendi, 2003; Sanusi, 2006). Laju dekomposisi detritus pelagik dan detritus bentik

masing-masing diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Koropitan et al., 2009) :

8 PD

ER PD dan E9R BDBD ………... (14) dimana RPD dan RBD masing-masing adalah laju dekomposisi detritus pelagik dan laju dekomposisi detritus bentik serta PD dan BD masing-masing adalah


(19)

18

3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2010 hingga November 2011. Penelitian ini dilakukan melalui dua tahapan kegiatan, yaitu tahapan pertama kegiatan survei lapangan meliputi pengambilan contoh air laut dan pengukuran kualitas air laut. Tahapan kedua kegiatan pemodelan dan simulasi model. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3, dimana dokumentasi kegiatan survei

lapangan disajikan pada lampiran 1.

Survei lapangan dilaksanakan pada tanggal 20 hingga 27 Maret 2010 yang merupakan salah satu bagian proyek penelitian ‘Kajian fenomena algae blooms (HAB) dalam kaitannya dengan Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) di perairan Teluk Jakarta’, Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI). Tahapan kedua dilaksanakan pada bulan Januari hingga November 2011 berupa pemodelan dan simulasi model dilakukan di Laboratorium Data Processing, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

3.2. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam studi ini meliputi :

1. Alat-alat laboratorium kimia untuk pengukuran kualitas air laut seperti buret, erlenmeyer 100 ml, pipet tetes, pipet otomatis 5 ml, botol BOD 100 ml, botol polyetilen, kolom reduksi, gelas beker, kertas saring 0.45 µm, tabung polyetilen, vacuum pump, dan spektrofotometer.


(20)

Gambar 3. Lokasi kajian penelitian di Teluk Jakarta.

2. Perangkat keras (hardware) seperti,

 Perangkat komputer (PC) berbasis Intel dengan sistem operasi Windows untuk simulasi model.


(21)

Hard disk eksternal sebagai media penyimpan data.

 Printer sebagai media pencetak data. 3. Perangkat lunak (software) seperti,

 Microsoft Developer Studio yang ditulis dengan bahasa pemograman Fortran 77 untuk simulasi model dengan output file berekstensi *.for/*.f90.

 Transform versi 3.3 untuk visualisasi hasil model.

 Surfer versi 9 untuk visualisasi data pengamatan lapangan dan peta batimetri Teluk Jakarta.

Bahan yang digunakan dalam studi ini meliputi :

1. Data primer, yaitu contoh air laut untuk memperoleh hasil pengukuran kualitas air laut berupa data pengamatan lapangan bulan Maret 2010. 2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari literatur seperti data

batimetri, data pasang surut, data kecepatan angin, data parameter

biokimia, data input sungai dan atmosfer untuk keperluan simulasi model (selengkapnya dijelaskan pada subbab 3.4).

3.3. Pengumpulan Data

3.3.1. Penentuan Stasiun Pengamatan

Jumlah stasiun pengamatan lapangan yang diambil sebanyak 38 stasiun yang terdiri dari 11 stasiun (stasiun 34, 33, 26, 25, 13, 12, 1, 2, 4, 5, dan 6) mewakili area sekitar muara sungai di sepanjang pantai Teluk Jakarta, 21 stasiun (stasiun 8, 9, 10, 11, 14, 15, 16, 17, 20, 21, 22, 23, 24, 27, 28, 29, 30, 31, 35, 36, dan 37) mewakili bagian tengah badan Teluk Jakarta, dan 5 stasiun (stasiun 38,


(22)

32, 19, 18, dan 7) mewakili area di sekitar tepi laut terbuka. Hal ini dilakukan untuk mempermudah teknik interpolasi antar data. Metode interpolasi yang digunakan adalah interpolasi kriging.

3.3.2. Parameter yang diamati

Kualitas air laut yang diukur berupa parameter kimia, yaitu oksigen terlarut (dissolved oxygen), nitrat (NO3), amonium (NH4), dan fosfat (PO4) sebagai data pengamatan lapangan bulan Maret 2010. Namun parameter yang dimodelkan adalah nitrat (NO3) dan amonium (NH4).

3.3.3. Teknik Sampling

Pengambilan contoh air laut menggunakan botol Nansen yang diturunkan secara vertikal. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir pengaruh difusi udara terhadap contoh air laut. Contoh air laut yang diambil hanya pada lapisan permukaan laut. Hal ini dilakukan karena studi ini hanya melihat distribusi material (nutrien) yang terjadi di permukaan laut (horisontal).

Penyimpanan contoh air laut menggunakan botol berbahan polyetilen (nitrat, amonium, fosfat). Hal ini dilakukan untuk meminimalisir pengaruh reaksi kimia pada dinding botol terhadap senyawa anorganik (nitrat, amonium, fosfat) yang terkandung dalam contoh air laut. Khusus untuk perlakuan oksigen terlarut dan amonium, penambahan larutan (MnCl2) dan larutan (NaOHKI ) untuk oksigen terlarut serta larutan fenol nitropusside dan larutan hipoklorit alkalin untuk amonium ke dalam contoh air laut perlu dilakukan dengan segera. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir pengaruh difusi udara saat perjalanan.

Penyaringan contoh air laut menggunakan kertas saring berukuran 0.45 µm berbahan serat kaca (GF/F) sebelum dilakukan pengukuran. Hal ini dilakukan


(23)

untuk meminimalisir pengaruh bahan-bahan tersuspensi (seston) yang terkandung dalam contoh air laut.

3.3.4. Analisis Laboratorium

Pengukuran konsentrasi nitrat (NO3), amonium (NH4), dan fosfat (PO4) menggunakan metode spektrofotometrik masing-masing pada panjang gelombang 543 nm, 630 nm, dan 885 nm, sedangkan oksigen terlarut menggunakan metode titrasi modifikasi Winkler (Prinsip pengukuran masing-masing parameter dijelaskan pada lampiran 2). Hasil pengukuran parameter-parameter tersebut (data primer) akan digunakan beberapa untuk input model (input laut) dan keperluan verifikasi/validasi model.

Data batimetri Teluk Jakarta merupakan hasil digitasi yang bersumber dari DISHIDROS-TNI AL tahun 1992 menggunakan software Surfer 9. Data pasut diperoleh dari ORI tide, sedangkan data kecepatan angin, parameter biokimia, input darat, input atmosfer diperoleh dari literatur (selengkapnya dijelaskan pada subbab 3.4). Selanjutnya konsep diagram alir analisis data diilustrasikan pada Gambar 4.

3.4. Desain Model

Luas daerah model adalah 36 km x 23.6 km dengan ukuran grid (lebar grid) yang digunakan 250 m x 250 m sehingga model ini terbagi ke dalam 144 x 94 sel yang berbentuk matriks. Hasil diskretisasi daerah model disajikan pada Gambar 5. Sesuai dengan syarat kestabilan CFL(Courant-Friedrichs-Levy),


(24)

Contoh Air Laut Nitrat Amonium Oksigen Terlarut Fosfat Titrasi Absorbansi Pola Sebaran Pengamatan Lapangan Konsentrasi Surfer 9 Nitrat Amonium Validasi Microsoft Developer Studio Simulasi Model Input Model : Batimetri, pasut, angin,

difusi, parameter biokim, input laut, input

darat, atmosfer.

Transform 3.3

Pola Sebaran Hasil Model

Gambar 4. Konsep diagram alir analisis data

dimana (Mellor, 2004) :

 

1/ 2

1/ 2 2 2

max

1 1 1

2 E t x y gH U      


(25)

Sumber : DISHIDROS, 1992

y Keterangan :

M1 = Muara Angke

y M2 = Muara Tanjung Priok M3 = Muara Marunda x x M4 = Muara Citarum

Gambar 5. Hasil diskretisasi daerah model.

E t

 adalah langkah waktu eksternal, Umax adalah kecepatan maksimum dugaan,

H adalah kedalaman maksimum, g adalah percepatan gravitasi, serta x dan

y

 masing-masing adalah ukuran grid pada sumbu-x dan sumbu-y maka Teluk

Jakarta yang memiliki kedalaman maksimum 27 m dan ukuran grid 250 m x 250 m menggunakan langkah waktu selama 3 detik.

x

= 250 meter

y


(26)

Model hidrodinamika dalam studi ini menggunakan Princeton Ocean Model (POM). POM dibuat dan dikembangkan oleh Alan Blumberg dan George. L. Mellor sekitar tahun 1977. Model tersebut menggunakan koordinat sigma (koordinat vertikal yang terskala oleh kedalaman perairan) dan langkah waktu split yang terdiri dari mode eksternal dan mode internal (Mellor, 2004). Mode internal digunakan untuk model hidrodinamika 3-dimensi (barotropik dan baroklinik) dengan langkah waktu panjang berdasarkan kondisi CFL. Mode eksternal digunakan untuk model hidrodinamika 2-dimensi yang diintegrasikan secara vertikal (perata-rataan terhadap kedalaman) dengan langkah waktu pendek berdasarkan kondisi CFL. Oleh karena model hidrodinamika yang digunakan adalah model hidrodinamika dua dimensi yang diintegrasikan secara vertikal atau perata-rataan terhadap kedalaman maka menggunakan mode eksternal dengan langkah waktu pendek berdasarkan kondisi CFL.

Model ekosistem yang digunakan adalah penyederhanaan model ekosistem Koropitan et al. (2009) yang merupakan hasil modifikasi dari POM. Model ini tersusun atas lima kompartemen, yaitu nitrat (NO3), amonium (NH4),

fitoplankton (F), zooplankton (Z), dan detritus (D). Diagram konsep model ekosistem diilustrasikan pada Gambar 6.

Untuk keperluan penyamaan satuan digunakan red-field ratio 106 : 16 : 1 masing- masing adalah unsur karbon, nitrogen, dan fosfor. Kemudian penyamaan satuan klorofil- digunakan perbandingan 1 : 50 untuk klorofil- : karbon

(Koropitan et al., 2009), sedangkan zooplankton menggunakan hasil penelitian Lizuka dan Uye (1989 dalam Yanagi, 1999), yaitu 1 berat kering individu zooplankton setara dengan 1gC. Seluruh komponen ekosistem termasuk


(27)

Oksidasi

Fotosintesis

Grazing

Egestion

Gambar 6. Diagram konsep model ekosistem (modifikasi dari Koropitan et al., 2009)

nutrien (nitrat dan amonium) dilakukan penyamaan satuan yang disesuaikan dengan keperluan model, yaitu dalam bentuk mmol N m-3 (proses konversi satuan dijelaskan pada lampiran 3.).

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam model hidrodinamika di antaranya :

 Perairan diasumsikan mengalami percampuran sempurna secara vertikal sehingga tidak terbentuk stratifikasi densitas atau perairan bersifat homogen.

 Tidak ada gaya-gaya luar lain yang bekerja pada daerah model seperti tekanan atmosfer (Pa konstan), seismik, dan gerakan kapal. Serta tidak memperhitungkan gaya gesek/viskos turbulen vertikal.

Input sungai

Nitrat (NO3)

Amonium (NH4)

Fitoplankton

Zooplankton

Detritus


(28)

 Pengaruh gaya coriolis pada daerah model diabaikan. Efek coriolis dapat diestimasi dengan menentukan nilai radius deformasi Rossby pada daerah model yang diteliti (Pond dan Pickard, 1983), yaitu :

max

5

10 27

1092.3864334 1,5042 10

Rb

gH x

km

f x

  

dengan melihat dimensi lateral (lebar mulut teluk) Teluk Jakarta sebesar 40 km (Setyapermana dan Nontji, 1980) yang jauh lebih kecil dari panjang gelombang Rossby maka efek coriolis terhadap gerak massa air pada daerah model yang diteliti dapat diabaikan.

 Koefisien gesek/viskos turbulen horisontal yang digunakan berdasarkan formulasi Smagonrisky sebesar 0.2 (Koropitan dan Ikeda, 2008). Asumsi-asumsi yang digunakan dalam model ekosistem di antaranya :

 Sumber nutrien (nitrat dan amonium) yang dimasukkan ke dalam model berasal dari presipitasi (air hujan), laut terbuka, dan empat muara sungai yaitu muara Angke, muara Tanjung Priok, muara Marunda, dan muara Citarum.

 Nilai masukan/input komponen-komponen ekosistem diasumsikan konstan sepanjang tahun di Teluk Jakarta.

 Tidak mempertimbangkan proses fiksasi nitrogen, respirasi fitoplankton dan zooplankton, denitrifikasi, laju penenggelaman/sinking dan ekskresi

fitoplankton, laju penenggelaman/sinking detritus, migrasi vertikal zooplankton, serta pengaruh oksigen terlarut.

 Koefisien difusi horisontal yang digunakan berdasarkan formulasi Smagonrisky sebesar 2 (Koropitan et al., 2009).


(29)

Proses simulasi model diawali dengan mensimulasikan model

hidrodinamika hingga menghasilkan daya tampil atau daya guna (performance) yang baik. Dalam model ini menggunakan tiga gaya pembangkit arus, yaitu gradien tekanan mendatar (perbedaan tinggi muka/elevasi air laut), angin, dan debit air sungai (riverine discharge), serta memperhitungkan gaya pengusik yaitu gesekan dasar. Simulasi model hidrodinamika akan menghasilkan kecepatan arus komponen U dan V masing-masing arah sumbu-x dan sumbu-y, kemudian simulasi model ekosistem dilakukan untuk menghitung konsentrasi komponen-komponen ekosistem. Setelah hasil validasi model hidrodinamika menunjukkan performance yang baik, maka digabung dengan model transpor (adveksi-difusi) dan model ekosistem menghasilkan pola sebaran konsentrasi

komponen-komponen ekosistem. Hasil sebaran model transpor ekosistem dibandingkan dengan data lapangan. Apabila model belum menunjukkan pola yang mirip maka dilakukan modifikasi parameter ekosistem (parameterisasi) yang mungkin hingga mendekati pola sebaran pengamatan lapangan. Waktu simulasi atau lama iterasi dalam mencapai kondisi stabil (steady state)untuk keperluan verifikasi model dilakukan selama 90 hari pada musim peralihan I, yaitu bulan Maret hingga Mei. Selanjutnya konsep diagram alir pemodelan ekosistem perairan di Teluk Jakarta diilustrasikan pada Gambar 7.

3.4.1. Data Masukan Model

Dalam studi ini data pasang surut diperoleh dari ORI tide, yaitu data model pasang surut global yang dikembangkan oleh Ocean Research Institute (ORI), University of Tokyo, Jepang yang bekerja sama dengan National


(30)

Astronomical Observatory (NAO) berdasarkan data tinggi muka air laut dari pengamatan satelit Topex/Posseidon. Elevasi ORI tide adalah gabungan 8 komponen pasut utama (Q1, P1, O1, K1, N2, M2, S2, K2) namun dalam model ini hanya menggunakan pasut komponen K1 sebagai komponen pasut dominan di Teluk Jakarta sesuai dengan pengamatan yang telah dilakukan oleh Koropitan dan Ikeda (2008). Hasil prediksi elevasi pasut pada model ini adalah perata-rataan satu siklus K1 (23.93 jam) maka untuk mendapatkan prediksi amplitudo dan fasa K1 selama 90 hari menggunakan analisis harmonik kuadrat terkecil (least square). Kecepatan angin diperoleh dari Koropitan et al. (2009) adalah kecepatan angin global rata-rata bulanan yang diasumsikan merepresentasikan nilai pertengahan bulan dimana nilai di antara nilai pertengahan bulan awal dan pertengahan bulan berikutnya merupakan hasil interpolasi di antara keduanya dan seterusnya. Data kedalaman (batimetri) perairan Teluk Jakarta diperoleh dari peta batimetri hasil pemetaan Dinas Hidro-Oseanografi (DISHIDROS) TNI-AL tahun 1992 pada skala 1:50000.

Dengan demikian, arus yang dihasilkan dalam model ini berupa aliran residu yang dipengaruhi oleh arus residu komponen pasut K1 dan gesekan angin. Aliran residu diperhitungkan karena dianggap memegang peranan penting dalam pertukaran massa air dan transpor material di perairan pantai dalam jangka waktu yang panjang (Ramming dan Kowalik, 1980; Yanagi, 1999).

Data komponen-komponen ekosistem yang bersumber dari daratan (muara sungai) sebagian besar diperoleh dari pengamatan yang telah dilakukan oleh Damar (2003) sedangkan sumber dari perairan sekitar (syarat batas terbuka) menggunakan data pengamatan lapangan bulan Maret 2010. Nilai konsentrasi


(31)

Tidak Mirip Mirip Tidak Stabil Stabil Tidak Mirip

Gambar 7. Konsep diagram alir pemodelan ekosistem perairan di Teluk Jakarta. Penghitungan model hidrodinamika dan model

ekosistem

Validasi

Konsentrasi komponen

ekosistem U dan V

U dan V mirip dengan pola pengamatan lapangan

Model transpor (adveksi-difusi) untuk komponen ekosistem

Validasi

Pola sebaran konsentrasi komponen-komponen ekosistem mirip dengan

pola pengamatan lapangan Mulai

Pendefinisian variabel dan harga konstanta : Langkah waktu, ukuran grid, lama iterasi,

kecepatan angin, konstanta pasut, koefisien difusi, parameter biokimia (ekosistem)

Baca data kedalaman

Inisialisasi syarat awal (t=0) : 0

U  V  dan pemberian nilai minimum untuk komponen-komponen ekosistem

CFL Courant-Friedrichs-Levy

Pemberian nilai input/sumber komponen-komponen ekosistem

Perlakuan syarat batas terbuka : Syarat batas radiasi untuk komponen arus dan komponen ekosistem (Utara dan Barat) Pemberian nilai elevasi pasut (Utara)


(32)

klorofil- dan zooplankton adalah nilai minimum pengamatan yang telah

dilakukan oleh Damar (2003) sepanjang tahun 2001. Sementara nilai konsentrasi detritus menggunakan nilai yang sama dengan fitoplankton dan zooplankton karena data konsentrasi detritus tidak tersedia baik dari pengamatan lapangan maupun literatur. Intensitas cahaya (solar radiation) di permukaan dan debit sungai adalah nilai rata-rata bulanan tahun 2001. Selengkapnya data masukan model ekosistem disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.

3.4.2. Nilai Awal

Proses awal simulasi model adalah perlakuan kondisi awal model dengan memberikan nilai awal pada setiap variabel-variabel model. Awal simulasi (t0) perairan diasumsikan dalam keadaan tenang dan belum tercemar dengan memberikan nilai 0 pada kecepatan dan elevasi. Pernyataan tersebut

diekspresikan sebagai berikut (Pond dan Pickard, 1983) : 0

U   V  saat t0 ………. (16)

Komponen-komponen ekosistem seperti nitrat, amonium, fitoplankton, zooplankton, dan detritus diberikan nilai minimum pengamatan lapangan. Nitrat dan amonium menggunakan konsentrasi minimum pengamatan lapangan bulan Maret 2010 sedangkan fitoplankton dan zooplankton menggunakan konsentrasi minimum pengamatan yang telah dilakukan oleh Damar (2003) sepanjang tahun 2001. Sementara detritus diberikan nilai awal sama dengan fitpolankton dan zooplankton karena data konsentrasi detritus tidak tersedia baik dari pengamatan lapangan maupun literatur. Konsentrasi nilai awal komponen-komponen


(33)

Tabel 1. Data masukan model ekosistem.

Parameter Waktu Nilai Sumber

Debit sungai Angke (m3 s-1) Maret 2001 22.34 Koropitan et al. (2009) Debit sungai Priok (m3 s-1) Maret 2001 11.98 Koropitan et al. (2009) Debit sungai Marunda (m3 s-1) Maret 2001 9.23 Koropitan et al. (2009) Debit sungai Citarum (m3 s-1) Maret 2001 157.45 Koropitan et al. (2009) Air hujan (mm) Maret 2001 182.5 Koropitan et al. (2009) Intensitas cahaya (W m-2) Maret 2001 187.45 Koropitan et al. (2009) Konsentrasi amonium di muara

Angke (mmol N m-3)

Maret 2001

40 Damar (2003) Konsentrasi amonium di muara

Priok (mmol N m-3)

Maret 2001

70.4 Damar (2003) Konsentrasi amonium di muara

Marunda (mmol N m-3)

Maret 2001

54.6 Damar (2003) Konsentrasi amonium di muara

Citarum (mmol N m-3)

Maret 2001

34.9 Koropitan et al. (2009) Konsentrasi nitrat di muara

Angke (mmol N m-3)

Maret 2001

12.9 Damar (2003) Konsentrasi nitrat di muara

Priok (mmol N m-3)

Maret 2001

9.3 Damar (2003) Konsentrasi nitrat di muara

Marunda (mmol N m-3)

Maret 2001

12.9 Damar (2003) Konsentrasi nitrat di muara

Citarum (mmol N m-3)

Maret 2001

27.3 Koropitan et al. (2009) Konsentrasi amonium dalam air

hujan (meq m-3)

Maret 2001

37.2 Koropitan et al. (2009) Konsentrasi nitrat dalam air

hujan (meq m-3)

Maret 2001

23.5 Koropitan et al. (2009) Konsentrasi fitoplankton di tepi

laut terbuka (mmol N m-3)

Sepanjang

tahun 2001 0.17

Damar (2003) Konsentrasi zooplankton di tepi

laut terbuka (mmol N m-3)

Sepanjang

tahun 2001 0.17

Damar (2003) Konsentrasi detritus di tepi laut

terbuka (mmol N m-3) - 0.17 -


(34)

Tabel 2. Data masukan model ekosistem dari pengamatan lapangan bulan Maret 2010 sebagai syarat batas terbuka.

Stasiun Parameter

Nitrat (mmol N m-3) Amonium (mmol N m-3)

38 0.421 1.626

32 1.077 1.583

19 0.473 1.635

18 0.264 1.679

7 0.345 1.361

Tabel 3. Nilai awal komponen-komponen ekosistem.

Parameter Waktu Nilai

awal Sumber

Nitrat (mmol N m-3) Maret 2010 0.22 Nilai minimum pengamatan lapangan Amonium (mmol N m-3) Maret 2010 0.96 Nilai minimum

pengamatan lapangan Fitoplankton (mmol N m-3) Sepanjang

tahun 2001 0.17 Damar (2003) Zooplankton (mmol N m-3) Sepanjang

tahun 2001 0.17 Damar (2003)

Detritus (mmol N m-3) - 0.17 Damar (2003)

komponen ekosistem akan memenuhi seluruh grid pada badan air saat awal simulasi (t0) yang dimulai dari grid pada batas terbuka. Nilai-nilai pada batas terbuka tersebut digunakan untuk menentukan nilai kecepatan, elevasi, dan komponen-komponen ekosistem pada grid berikutnya.

3.4.3. Syarat Batas

Syarat batas daerah model meliputi : syarat batas tertutup dan syarat batas terbuka. Syarat batas tertutup mengasumsikan massa air tidak akan menembus dan melewati garis pantai/daratan. Baik komponen kecepatan (U, V ), elevasi


(35)

( ), maupun komponen-komponen ekosistem seperti nitrat (NO3), amonium (NH4), fitoplankton (F), zooplankton (Z), dan detritus (D) akan diberikan nilai 0 pada syarat batas tertutup yang diekspresikan sebagai berikut :

3 4

( , , ,U VNO NH F Z D, , , , )0 ………. (17) Batas terbuka daerah model adalah daerah laut model yang berbatasan dengan laut terbuka. Model ini menggunakan dua batas terbuka, yaitu batas terbuka Utara dan batas terbuka Barat. Batas terbuka Utara bagian Barat laut (Northwest) dan Timur laut (Northeast) diberikan nilai elevasi pasut komponen K1 yang diinterpolasi secara linier untuk memperoleh nilai elevasi dalam interval waktu 3 detik selama simulasi. Hal ini dilakukan karena data pasut ORI tide memiliki interval waktu 1 jam dalam proses perekaman data.

Selain itu diterapkan syarat batas radiasi Orlanski sepanjang batas terbuka Utara dan batas terbuka Barat. Syarat batas ini diformulasikan untuk

menghantarkan suatu sinyal ke luar daerah batas terbuka tanpa adanya refleksi (Kowalik dan Murty, 1993). Sinyal yang dimaksud dalam model ini adalah kecepatan arus dan konsentrasi komponen-komponen ekosistem seperti nitrat (NO3), amonium (NH4), fitoplankton, zooplankton, dan detritus. Persamaan syarat batas radiasi Orlanski diekspresikan sebagai berikut (Kowalik dan Murty, 1993) :

 Syarat batas radiasi Orlanski untuk kecepatan arus,

0 p

U U

c

t x


(36)

 Syarat batas radiasi Orlanski untuk komponen ekosistem,

0 p

C C

c

t x

 

 

  ………... (19)

dimana, U adalah komponen kecepatan arus (U dan V ), cp adalah kecepatan

gelombang panjang (cp

 

gH 1/ 2), C adalah konsentrasi komponen-komponen ekosistem, dan tanda  menunjukkan pola aliran masuk () dan pola aliran keluar (). Untuk pola arus yang masuk ke dalam daerah model, maka syarat batas untuk komponen ekosistem menggunakan nilai pada Tabel 2, sedangkan pola arus yang keluar daerah model menggunakan syarat batas Orlanski.


(37)

36

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar 8, 9, 10, dan Gambar 11. Kisaran konsentrasi nitrat, amonium, fosfat, dan DO di perairan Teluk Jakarta masing-masing berturut-turut berkisar antara 0.96 - 28.71 µgA N-NO3 l-1, 3.13 - 14.63 µgA N-NH4 l-1, 0.009 - 0.38 µgA P-PO4 l-1, dan 3.16 - 6.93 mg l-1. Konsentrasi nitrat, amonium, dan fosfat maksimum masing-masing berturut-turut terdapat di area dekat muara Cikarang Bekasi Laut (CBL) (28.71 µgA N-NO3 l-1), dekat muara Goba (14.63 µgA N-NH4 l-1), muara Citarum (0.38 µgA P-PO4 l-1),

sedangkan konsentrasi DO minimum terdapat di sekitar muara Goba (3.16 mg l-1). Secara umum pola konsentrasi nitrat, amonium, dan fosfat cenderung menurun signifikan ke arah laut lepas dan relatif tinggi di beberapa muara sekitar pantai Teluk Jakarta. Sebaliknya terlihat relatif homogen di area sekitar bagian tengah badan teluk hingga laut lepas. Khusus untuk pola konsentrasi fosfat terlihat relatif heterogen di bagian Barat teluk. Pola konsentrasi DO cenderung bertambah secara signifikan semakin ke arah laut lepas dan relatif rendah di sepanjang pantai Teluk Jakarta, serta terlihat relatif homogen dan cenderung tinggi di area sekitar bagian tengah badan teluk hingga laut lepas bagian Utara teluk selanjutnya relatif heterogen dan cenderung rendah di bagian Barat teluk.

Jumlah penduduk DKI Jakarta dan sekitarnya yang semakin bertambah dari tahun ke tahun memacu tingginya aktifitas/kegiatan manusia di daerah ini


(38)

Gambar 8. Distribusi nitrat di perairan Teluk Jakarta bulan Maret 2010 menggunakan Software Surfer 9.

Gambar 9. Distribusi amonium di perairan Teluk Jakarta bulan Maret 2010 menggunakan Software Surfer 9.


(39)

Gambar 10. Distribusi fosfat di perairan Teluk Jakarta bulan Maret 2010 menggunakan Software Surfer 9.

Gambar 11. Distribusi DO di perairan Teluk Jakarta bulan Maret 2010 menggunakan Software Surfer 9.


(40)

seperti kegiatan industri, perkantoran, pertanian, perkebunan, dan domestik (rumah tangga) tanpa adanya pengawasan yang ketat dari pemerintah. Dugaan ini yang menyebabkan pengaruh daratan sangat dominan dalam menyumbangkan nutrien seperti nitrat, amonium, dan fosfat dari limbah industri, perkantoran, pertanian, perkebunan, dan domestik (rumah tangga) sebagian besar melalui run off sungai di Teluk Jakarta. Kegiatan budidaya kerang hijau dan udang di sekitar pantai bagian Timur, bagian Tengah dan bagian Barat Teluk Jakarta diduga ikut meningkatkan konsentrasi nitrat, amonium, dan fosfat di beberapa area sepanjang pantai Teluk Jakarta. Kegiatan reklamasi pantai, pengerukan pasir, dan

pembalakan pepohonan secara liar yang dapat mengakibatkan abrasi dan erosi tanah juga diduga meningkatkan konsentrasi nutrien di beberapa muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta. Limbah industri seperti hasil kegiatan industri obat-obatan, industri pupuk urea, industri tekstil, dan limbah domestik (rumah tangga) seperti deterjen, sampo, sabun, tinja cair (urin) serta limbah pertanian seperti pemakaian pestisida, pupuk urea juga diduga ikut berkontribusi secara signifikan meningkatkan konsentrasi nutrien di beberapa area dekat muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta seperti yang terlihat dalam Gambar 8, Gambar 9, dan Gambar 10. Damar (2003) menegaskan limbah domestik yang diproduksi oleh aktifitas manusia di perkotaan sebagian besar menyumbangkan limbah anorganik dalam bentuk amonium sedangkan aktifitas pertanian sebagian besar menyumbangkan limbah anorganik dalam bentuk nitrat secara signifikan masuk melalui sungai-sungai yang mengalir menuju Teluk Jakarta. Selain itu Muchtar (1996) menambahkan tingginya konsentrasi fosfat dan nitrat pada musim tertentu


(41)

di perairan Teluk Jakarta disebabkan karena adanya sumbangan dari daratan secara signifikan melalui sungai-sungai yang mengalir menuju perairan tersebut.

Faktor luar (allocthoneous) selain daratan yang diduga cukup signifikan meningkatkan konsentrasi nutrien di perairan pantai Teluk Jakarta, yaitu faktor atmosfer, seperti presipitasi oleh air hujan akan meningkatkan debit sungai (riverine discharge) sehingga memperbesar beban masuk nutrien (nutrient loads) ke muara-muara sungai menuju Teluk Jakarta serta kandungan nutrien dalam air hujan itu sendiri. Menurut Effendi (2003) air hujan menyumbangkan nitrogen berupa nitrat ke perairan sekitar 0.2 mg l-1 atau setara dengan 14.286 µgA N-NO3 l-1. Selain itu, Damar (2003) mengatakan bahwa terdapat hubungan/korelasi positif antara beban masuk nutrien (nutrient loads) dengan konsentrasi nutrien di muara-muara sungai Teluk Jakarta. Pengaruh presipitasi dipertimbangkan karena pada saat pengamatan lapangan masih turun hujan sehingga cenderung masih dipengaruhi oleh musim penghujan (musim Barat). Kemudian faktor berikutnya adalah adanya pengaruh aliran dari perairan sekitar, hal ini terlihat adanya gradien konsentrasi nutrien (Gambar 8, Gambar 9, dan Gambar 10.) terutama fosfat di bagian Barat Teluk Jakarta.

Selain faktor luar (allocthoneous), faktor dari dalam perairan (autothoneous) diduga cukup signifikan meningkatkan kembali konsentrasi nutrien di permukaan laut. Kegiatan heterotrofik seperti aktifitas bakteri dekomposer yang menguraikan komponen-komponen organik mati menjadi komponen-komponen anorganik dalam kondisi aerob di zona eufotik diduga ikut meningkatkan konsentrasi nitrat, amonium, dan fosfat namun menurunkan


(42)

konsentrasi oksigen di beberapa area dekat muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta.

Konsentrasi nutrien; nitrat, amonium, dan fosfat yang relatif homogen di bagian Tengah badan teluk sampai laut lepas bagian Utara teluk serta nilai

konsentrasi yang cenderung berkurang signifikan ke arah laut lepas diduga adanya transpor massa air dari perairan sekitar. Massa air tersebut mengalir sepanjang tahun ke Samudera Hindia akibat pengaruh gradien muka air laut antara Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia (Wyrtki, 1961) masuk ke Teluk Jakarta

cenderung melalui laut Jawa membawa massa air yang memiliki konsentrasi nutrien relatif lebih rendah lalu bertemu dengan massa air di dalam teluk yang memiliki konsentrasi nutrien relatif lebih tinggi kemudian mengalami

pengenceran (dilution) dan cenderung terdispersi. Koropitan et al. (2009) menyatakan influks dari laut terbuka memegang peranan penting dalam mengontrol dissolved inorganic nitrogen (DIN) di Teluk Jakarta. Selain itu, dugaan lain adalah adanya pemanfaatan nutrien oleh fitoplankton melalui proses fotosintesis.

Konsentrasi nitrat yang cenderung rendah di beberapa area dekat muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta diduga adanya kegiatan autotrofik seperti aktifitas fotosintesis oleh fitoplankton. Kemudian konsentrasi amonium yang cenderung rendah di beberapa area dekat muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta selain dari aktifitas fotosintesis juga diduga ada kegiatan autotrofik lain seperti aktifitas bakteri nitrifikasi yang mengubah amonium menjadi nitrat untuk kebutuhan energi dalam kondisi aerob. Konsentrasi fosfat yang cenderung rendah di beberapa area dekat muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta selain dari


(43)

aktifitas fotosintesis juga diduga adanya sumbangan limbah domestik dan pertanian berupa organik deterjen dan pupuk dalam bentuk polifosfat (Sanusi, 2006) yang cukup signifikan dimana senyawa ini dipengaruhi oleh suhu dan pH dalam proses hidrolisis menjadi ortofosfat (Effendi, 2003). Selain itu, konsentrasi nutrien (nitrat, amonium, fosfat) yang cenderung rendah juga dapat disebabkan oleh adanya proses adsorbsi oleh bahan-bahan tersuspensi kemudian terendapkan di dasar perairan.

Faktor fisik seperti adveksi (arus), pasut, pengadukan vertikal (vertical mixing), dan angin memegang peranan penting dalam proses tranpor nutrien dan pertukaran nutrien permukaan dengan nutrien dasar laut. Karakteristik perairan Teluk Jakarta yang relatif sempit dan relatif dangkal akan cenderung

menimbulkan pengadukan vertikal secara intensif yang dipengaruhi kuat oleh arus pasut (Mann dan Lazier, 1996). Peningkatan konsentrasi nutrien di area dekat muara sungai (perairan relatif lebih landai) Teluk Jakarta juga dapat diduga karena adanya pengadukan vertikal yang intensif mengangkut nutrien dasar laut menuju permukaan laut akibat pengaruh angin dan arus pasut. Dugaan ini diperkuat dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Koropitan dan Ikeda (2008)

menyatakan pengadukan vertikal (vertical mixing) di Teluk Jakarta dipengaruhi kuat oleh pengadukan pasut (tidal mixing) dengan arus pasut komponen K1 bersifat dominan dibawah pengaruh angin muson.

Secara umum konsentrasi oksigen terlarut (DO) pengamatan lapangan terlihat cenderung rendah terutama di sepanjang pantai Teluk Jakarta, hal ini diduga adanya kegiatan respirasi yang intensif oleh hewan-hewan laut dan


(44)

kemungkinan ada kaitannya dengan fluktuasi harian (diurnal) oksigen terlarut dimana pada saat pengamatan lapangan dilakukan pagi hari sekitar pukul 08.00 sampai pukul 12.00. Konsentrasi oksigen terlarut cenderung tinggi pada sore hari dan cenderung rendah pada pagi hari (Effendi, 2003). Selain itu juga konsentrasi oksigen terlarut (DO) yang cenderung rendah di sepanjang pantai Teluk Jakarta diduga adanya intensifikasi bahan organik sehingga memacu kegiatan autotrofik dan heterotrofik seperti aktifitas bakteri nitrifikasi dan bakteri dekomposer yang memanfaatkan oksigen terlarut (DO) di permukaan laut dalam kondisi aerob. Kondisi ini kemungkinan didukung oleh sirkulasi massa air horisontal di sekitar muara sungai yang relatif lambat, diduga arus permukaan di sekitar area tersebut cenderung kecil pada saat itu sehingga menghambat pertukaran oksigen terlarut melalui proses adveksi dan difusi dengan faktor fisik lain seperti suhu dan salinitas dianggap relatif konstan. Mengenai konsentrasi oksigen terlarut yang relatif homogen dan cenderung tinggi di bagian Tengah badan teluk sampai laut lepas bagian Utara teluk diduga ada hubungannya dengan kelimpahan

fitoplankton dan arus permukaan yang cenderung relatif lebih cepat sehingga menyebabkan peningkatan laju pertukaran oksigen terlarut secara adveksi dan difusi dengan faktor fisik lain seperti suhu dan salinitas dianggap relatif konstan. Konsentrasi oksigen terlarut yang relatif heterogen dan cenderung rendah di bagian Barat teluk diduga adanya sumbangan komponen organik mati dari perairan sekitar sehingga memacu kegiatan autotrofik dan heterotrofik seperti aktifitas bakteri nitrifikasi dan bakteri dekomposer di zona eufotik dalam kondisi aerob.


(45)

4.2. Perbandingan Hasil Model dan Data Pengamatan Lapangan 4.2.1. Arus

Hasil model arus 2 dimensi (perata-rataan terhadap kedalaman) bulan Maret sampai Mei disajikan pada Gambar 12. Secara umum pola arus terlihat bergerak masuk dari arah Barat kemudian keluar pada batas laut terbuka Utara atau di bagian Timur Teluk Jakarta. Kecepatan arus relatif besar (lebih cepat) pada batas laut terbuka Barat dan sepanjang batas laut terbuka Utara teluk dengan kecepatan arus maksimum sebesar 19 cm s-1. Kemudian cenderung mengecil (lebih lambat) pada bagian tengah teluk hingga sepanjang pantai teluk mengikuti kondisi batimetri yang ada.

Pola arus yang bergerak menuju Timur, hal ini karena pengaruh kuat angin muson yang bertiup dari arah Barat Laut dominan membawa massa air masuk ke batas laut terbuka Barat dan mengalir sepanjang batas laut terbuka Utara teluk kemudian sebagian cenderung menyebar ke tengah sampai sepanjang pantai teluk selanjutnya keluar menuju batas laut terbuka Utara sekitar bagian Timur teluk. Selain itu, hasil model ini menunjukkan bahwa musim peralihan I ( bulan Maret sampai bulan Mei) masih dipengaruhi kuat oleh angin Barat Laut (musim Barat). Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hadikusumah (2008) yang menyimpulkan bahwa arah arus pada bulan Maret dan bulan Mei (Masa Peralihan Satu) cenderung masih dipengaruhi oleh musim Barat.

Kecepatan arus yang relatif besar (lebih cepat) pada batas laut terbuka Barat dan sepanjang batas laut terbuka Utara , hal ini karena adanya pengaruh perbedaan elevasi/tinggi muka air yang signifikan pada area batas terbuka Barat dan Utara dengan laut lepas. Perbedaan elevasi/tinggi muka air laut ini


(46)

Gambar 12. Pola arus 2 dimensi (perata-rataan kedalaman) hasil model bulan Maret sampai Mei dengan Transform 3.3.

disebabkan oleh pengaruh gesekan dasar yang diperhitungkan dalam model. Gelombang panjang permukaan yang menjalar dari perairan laut sekitar

(kedalaman perairan relatif lebih dalam/curam) sebagian energinya tereduksi oleh efek gesekan dasar ketika masuk ke Teluk Jakarta (kedalaman perairan relatif lebih dangkal/landai) melalui batas laut terbuka Barat dan batas laut terbuka Utara sehingga elevasi/tinggi muka air laut pada area batas laut terbuka teluk akan cenderung membesar (lebih tinggi) dan menimbulkan perbedaan tekanan

hidrostatik yang signifikan. Hal inilah yang menyebabkan arus pada batas terbuka Barat dan Utara teluk relatif lebih cepat.


(47)

Kecepatan arus yang cenderung mengecil (lebih lambat) pada bagian tengah teluk dan sepanjang pantai teluk, hal ini disebabkan oleh pengaruh gesekan dasar yang diperhitungkan dalam model. Efek gesekan dasar terlihat

mempengaruhi besarnya kecepatan arus pada perairan laut dangkal/landai khususnya di perairan Teluk Jakarta.

Pada penelitian ini, pola arus hasil model tidak divalidasi dengan data lapangan karena model yang digunakan merupakan simplifikasi yaitu

menggunakan pendekatan perata-rataan terhadap kedalaman. Namun, pada penelitian Koropitan et al. (2009), model yang sama diaplikasikan berdasarkan pendekatan 3-dimensi sehingga hasil validasi arus pasut yang diukur di lapangan memberikan hasil yang baik.

4.2.2. Pola Sebaran Nutrien

Hasil model dan pengamatan lapangan amonium dan nitrat dalam bentuk satuan mmol N m-3/µM bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar 12. dan Gambar 13. Secara umum pola sebaran amonium dan nitrat hasil model mendekati pola sebaran pengamatan lapangan, yaitu cenderung berkurang

ke arah laut lepas dan cenderung tinggi di beberapa titik dekat muara sungai Teluk Jakarta. Namun hasil model amonium agak berbeda terutama pada nilai

konsentrasi amonium sepanjang muara sungai Teluk Jakarta. Nilai konsentrasi amonium dan nitrat hasil model yang diperoleh relatif lebih tinggi daripada pengamatan lapangan.

Konsentrasi amonium prediksi (model) cenderung tinggi pada enam titik di muara sungai bagian Timur, bagian Tengah, dan bagian Barat Teluk Jakarta sebesar 7.27 mmol N m-3 masing-masing, yaitu muara Citarum, muara Mati,


(48)

(a)

(b)

Gambar 13. Pola sebaran amonium. (a) hasil model dengan Transform 3.3 dan (b) hasil pengamatan lapangan bulan Maret 2010 dengan Surfer 9.


(49)

(a)

(b)

Gambar 14. Pola sebaran nitrat. (a) hasil model dengan Transform 3.3 dan (b) hasil pengamatan lapangan bulan Maret 2010 dengan Surfer 9.


(50)

muara CBL (Cikarang Bekasi Laut), muara Marunda (Timur), muara Sunter, muara Tanjung Priok (Tengah), dan muara Angke (Barat). Nilai konsentrasi amonium prediksi (model) berkurang signifikan sebesar 2.80, 1.68, 1.66, 1.65, dan 1.63 mmol N m-3 ke arah batas laut Utara teluk. Pola konsentrasi amonium prediksi (model) terlihat cenderung dominan mengarah ke bagian Timur Teluk Jakarta.

Konsentrasi nitrat prediksi (model) cenderung tinggi pada lima titik di muara sungai bagian Timur dan bagian Tengah Teluk Jakarta sebesar 8.26 mmol N m-3 masing-masing, yaitu muara Citarum, muara Mati, muara CBL (Cikarang Bekasi Laut), muara Marunda (Timur), muara Sunter, dan muara Tanjung Priok (Tengah). Nilai konsentrasi nitrat prediksi (model) berkurang signifikan sebesar 3.65, 0.93, 0.51, 0.46, dan 0.43 mmol N m-3 ke arah batas laut Utara teluk. Pola konsentrasi nitrat prediksi (model) terlihat cenderung dominan mengarah ke bagian Timur Teluk Jakarta.

Konsentrasi amonium dan nitrat prediksi (model) yang cenderung tinggi di sepanjang pantai dan muara sungai Teluk Jakarta menunjukkan bahwa debit sungai (riverine discharge) adalah sumber utama penyuplai nutrien. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Damar (2003) menyatakan beban nutrien (nutrient loads) memiliki hubungan/korelasi positif dengan konsentrasi nutrien di muara sungai Teluk Jakarta.

Konsentrasi amonium dan nitrat prediksi (model) berkurang signifikan ke arah batas laut Utara teluk. Hal ini menunjukkan pengaruh batas laut Utara lebih dominan dalam mengontrol transpor nutrien (amonium dan nitrat) daripada batas laut Barat di Teluk Jakarta. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh input


(51)

nutrien pengamatan lapangan yang diberikan pada batas terbuka Utara lebih representatif daripada batas terbuka Barat, yaitu sebanyak lima data pengamatan masing-masing dari stasiun 38, 32, 19, 18, 7 (lihat Gambar 3) yang diasumsikan mewakili masukan nutrien dari laut sepanjang batas terbuka Utara sedangkan pada batas terbuka Barat hanya diberikan satu data pengamatan lapangan, yaitu pada stasiun 38 (lihat Gambar 3). Hal ini dilakukan karena kurang representatifnya data pengamatan lapangan pada batas terbuka Barat. Sehingga pengaruh transpor nutrien (amonium dan nitrat) dari batas terbuka Barat dalam model ini belum terlihat signifikan terhadap pola sebaran nutrien (amonium dan nitrat) di Teluk Jakarta. Koropitan et al. (2009) menyatakan influks dari laut terbuka memegang peranan penting dalam mengontrol DIN (dissolved inorganic nitrogen) di Teluk Jakarta dan Damar (2003) menyimpulkan influks dari laut terbuka memegang peranan penting dalam mengontrol ekosistem di Teluk Jakarta.

Pola konsentrasi amonium dan nitrat prediksi (model) yang cenderung dominan mengarah ke bagian Timur Teluk Jakarta karena pengaruh kuat angin Barat Laut membawa nutrien dari laut terbuka ke bagian Timur Teluk Jakarta sehingga memicu intensifikasi konsentrasi nutrien di sekitar muara sungai bagian Timur Teluk Jakarta. Kecuali pada muara Citarum, konsentrasi nutrien secara langsung keluar ke laut terbuka.

Pola sebaran konsentrasi amonium prediksi (model) agak berbeda dengan pola sebaran pengamatan lapangan terutama pada konsentrasi muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurang representatifnya data pengamatan lapangan di sekitar muara sungai. Nilai


(52)

konsentrasi pengamatan lapangan, hal ini kemungkinan disebabkan oleh input amonium dan nitrat pada model menggunakan data pengamatan tahun 2001 sedangkan data pengamatan lapangan tahun 2010, serta asumsi yang diterapkan dalam model ekosistem. Salah satu kemungkinan yang paling berpengaruh adalah debit sungai (riverine discharge) yang diasumsikan mengalir konstan sepanjang tahun di Teluk Jakarta.


(53)

52

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Pola arus hasil model menunjukkan bahwa pengaruh angin sangat dominan mempengaruhi arah arus dan arah arus pada musim peralihan I, yaitu bulan Maret sampai bulan Mei masih dipengaruhi kuat oleh angin Barat Laut (musim Barat). Pada tinjauan lain, efek gesekan dasar yang diperhitungkan dalam model mempengaruhi kecepatan arus di perairan dangkal khususnya di Teluk Jakarta.

Secara umum pola sebaran amonium dan nitrat hasil model mendekati pola sebaran pengamatan lapangan, yaitu cenderung berkurang ke arah laut lepas dan cenderung tinggi di beberapa muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta. Namun hasil model amonium agak berbeda terutama di muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta karena kemungkinan kurang representatifnya data

pengamatan lapangan. Selain itu, nilai konsentrasi amonium dan nitrat hasil model yang diperoleh relatif lebih tinggi daripada pengamatan lapangan karena kemungkinan input yang dimasukkan dalam model dan asumsi yang diterapkan dalam model ekosistem.

Pengaruh daratan terlihat mempengaruhi pola konsentrasi nutrien di sepanjang pantai Teluk Jakarta baik hasil model maupun pengamatan lapangan. Namun pengaruh dari perairan sekitar juga ikut mempengaruhi pola konsentrasi nutrien di Teluk Jakarta.


(54)

5.2. Saran

Untuk penelitian selanjutnya, dalam membangun model ekosistem beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu penerapan asumsi terhadap model yang dibangun, input data yang dimasukkan dalam model, serta pemilihan nilai-nilai koefisien proses biokimiawi yang cocok untuk perairan Indonesia khususnya Teluk Jakarta agar menghasilkan model yang lebih relevan, reasonable, dan reliable.

Selain itu perlu menyiapkan data pengamatan lapangan yang memadai agar dapat dilakukan penghitungan neraca/budget kompartemen ekosistem sehingga dapat mengestimasi kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta serta model dapat dilakukan validasi sehingga model tersebut dapat diuji


(55)

PEMODELAN SEBARAN NUTRIEN

DENGAN PENDEKATAN MODEL PERATA-RATAAN

TERHADAP KEDALAMAN (DEPTH AVERAGED)

DI TELUK JAKARTA

ERLAN NURCAHYA PUTRA

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(56)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

PEMODELAN SEBARAN NUTRIEN DENGAN PENDEKATAN

MODEL PERATA-RATAAN TERHADAP KEDALAMAN

(DEPTH AVERAGED) DI TELUK JAKARTA

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, November 2011

Erlan Nurcahya Putra C54061411


(57)

In this research simulation of ecosystem model was done to study the

influence of physical and chemical processes to biological processes in Jakarta Bay. The physical model used for this study is based on Princeton Ocean Model (POM) as well as the ecosystem model is the modification result of the POM. The modelled current patterns tend to move from west then out of the northern open boundary or the eastern part of the bay. The currents are relative stronger near the western boundary and along the northern open boundary of the bay, with magnitudes of 19 cm s-1. Then, the currents slow down at the middle part of the bay to along the coast area because of bottom friction effect. The modelled distribution patterns of ammonium and nitrate results agree well with the observed, showed that the concentrations of ammonium and nitrate tend to decrease significantly towards the northern open boundary and intensified near river mouths of the bay. For the concentration ammonium, the model result is different with the observed, especially along river mouths of the bay. On the other hand, the obtained values of the modelled

concentrations of ammonium and nitrate are higher than the obtained values of the observed. It is likely induced by the model input and the assumptions of the ecosystem model.

Keywords: ecosystem model, physical model, Jakarta Bay, Princeton Ocean Model (POM), ammonium, nitrate.


(1)

lanjutan lampiran 2

berdasarkan metode spektrofotometrik dengan panjang gelombang 630 nm. Prinsipnya didasarkan pada pembentukan senyawa indofenol berwarna biru. Dalam suasana basa, amoniak dalam contoh air laut bereaksi dengan fenol dan hipoklorit membentuk senyawa indofenol berwarna biru. Untuk mempercepat reaksi pembentukan senyawa indofenol biru dan

meningkatkan sensitifitasnya ditambahkan katalisator ion nitropusside. Absorbansi senyawa indofenol berbanding lurus dengan kadar amoniak dalam contoh air. Metode ini menghasilkan kandungan total amoniak, dimana mengandung NH4 dan NH3. Penghitungan kadar amonium dalam contoh air laut dapat diekspresikan sebagai berikut :

NH4

= (absorbansi contoh – absorbansi blanko) x 5 (absorbansi contoh + absorbansi standar) – absorbansi contoh


(2)

66 Lampiran 3. Pengkonversian satuan

Komponen-komponen ekosistem baik diperoleh dari pengamatan lapangan maupun literatur terlebih dahulu dilakukan konversi satuan kedalam bentuk mmol N m-3 sebelum dimasukkan ke dalam model sebagai data masukan/input. Proses konversi satuan tiap komponen-komponen ekosistem dijelaskan sebagai berikut : 1. Nutrien (nitrat, amonium, fosfat)

Data nutrien yang diperoleh dari pengamatan lapangan dalam bentuk satuan

gAt.N-NO3 l-1 maka perlu dikonversi menjadi mmol N m-3.

 Nitrat

12.11 gAt.N-NO3 l-1 = …... mmol N m-3

Pertama dikonversi kedalam bentuk g N-NO3 l-1 dengan mengalikan berat atom/atom relatif nitrogen, yaitu 14

12.11 gAt.N-NO3 l-1 x 14 = 169.54 g N-NO3 l-1

kemudian dikonversi kedalam bentuk mol N l-1 dengan membagi berat molekul/massa relatif NO3, yaitu 62

169.54 gN-NO3 l-1 : 62 = 2.73 mol N l-1 setara dengan 2.73 mmol N m-3 Cara yang sama dilakukan untuk amonium dan fosfat.

2. Fitoplankton

Data fitoplankton yang diperoleh dari literatur dalam bentuk satuan

g Chl- l-1 maka perlu dikonversi menjadi mmol N m-3. 0.27 g Chl- l-1= ……... mmol N m-3

Pertama dikonversi kedalam bentuk g C l-1 dengan mengalikan 50 (lihat subbab 3.4)


(3)

lanjutan lampiran 3

0.27 g Chl- l-1 x 50 = 13.5 g C l-1

kemudian dikonversi kedalam bentuk mol C l-1 dengan membagi berat atom/atom relatif karbon, yaitu 12

13.5 g C l-1 : 12 = 1.125 mol C l-1

selanjutnya dikonversi kedalam bentuk mol N l-1 dengan mengalikan 16

106

(lihat subbab 3.4) 1.125 mol C l-1 x 16

106 = 0.17 mol N l -1

setara dengan 0.17 mmol N m-3 3. Zooplankton

Zooplankton yang diperoleh dari literatur dalam bentuk ind. m-3 maka perlu dikonversi menjadi mmol N m-3.

13200 ind. m-3 setara dengan 13200 g C m-3 (lihat subbab 3.4) 13200 g C m-3 = ……... mmol N m-3

Pertama dikonversi kedalam bentuk mol C m-3 dengan membagi berat atom/atom relatif karbon, yaitu 12

13200 g C m-3 : 12 = 1100 mol C m-3

kemudian dikonversi kedalam bentuk mol N m-3 dengan mengalikan 16

106

(lihat subbab 3.4)

1100 mol C m-3 x 16

106 = 166.04 mol N m

-3

selanjutnya dikonversi kedalam bentuk mmol N m-3 dengan mengalikan 10-3 166.04 mol N m-3 x 10-3 = 0.17 mmol N m-3


(4)

68 Lampiran 4. Data pengamatan lapangan

Tabel 1. Data hasil pengukuran nitrat, amonium, fosfat, dan oksigen terlarut (DO) pada bulan Maret (musim peralihan I) 2010 di Teluk Jakarta.

Tanggal Jam Bujur Lintang Stasiun Fosfat Nitrat Amonium DO (µg at./l) (µg at./l) (µg at./l) ml/l 20 Maret 2010 10.00 106.775 -6.100 26 0.144 12.11 5.02 3.16 20 Maret 2010 10.18 106.775 -6.075 27 0.216 14.22 4.68 2.77 20 Maret 2010 10.50 106.725 -6.075 33 0.264 1.40 12.00 2.49 20 Maret 2010 11.17 106.725 -6.050 34 0.144 0.96 14.63 3.05 20 Maret 2010 11.40 106.725 -6.025 35 0.048 1.53 10.00 2.26 20 Maret 2010 11.55 106.725 -6.000 36 0.072 1.80 3.84 3.28 20 Maret 2010 12.25 106.725 -5.975 37 0.120 3.98 3.13 3.39 20 Maret 2010 12.45 106.725 -5.950 38 0.048 1.88 5.28 3.73 22 Maret 2010 7.45 106.775 -5.950 32 0.028 4.81 5.14 4.24 22 Maret 2010 8.10 106.825 -5.950 19 0.042 2.11 5.31 4.07 22 Maret 2010 8.40 106.875 -5.950 18 0.014 1.18 5.45 4.19 22 Maret 2010 9.03 106.925 -5.950 7 0.014 1.54 4.42 3.99 22 Maret 2010 9.30 106.975 -5.950 6 0.014 20.18 4.92 4.27 22 Maret 2010 9.50 106.975 -5.975 5 0.056 6.86 4.89 4.41 22 Maret 2010 10.10 106.925 -5.975 8 0.028 2.65 4.41 4.02 22 Maret 2010 10.40 106.875 -5.975 17 0.042 1.99 4.03 4.19 22 Maret 2010 11.10 106.825 -5.975 20 0.014 2.74 4.10 3.91 22 Maret 2010 11.35 106.775 -5.975 31 0.069 2.05 4.15 3.62 24 Maret 2010 8.13 106.775 -6.000 30 0.011 3.98 4.54 4.7 24 Maret 2010 8.44 106.825 -6.000 21 0.034 2.51 4.55 4.41 24 Maret 2010 9.00 106.825 -6.025 22 0.042 4.07 4.90 4.38 24 Maret 2010 9.20 106.775 -6.025 29 0.034 1.99 5.00 4.48 24 Maret 2010 9.45 106.775 -6.050 28 0.011 2.85 5.28 4.5 24 Maret 2010 10.07 106.825 -6.050 23 0.011 1.33 5.17 4.64 24 Maret 2010 10.24 106.825 -6.075 24 0.046 1.93 12.00 4.47 24 Maret 2010 10.38 106.825 -6.100 25 0.092 2.11 14.43 4.29 26 Maret 2010 8.45 106.875 -6.000 16 0.009 10.52 5.00 4.75 26 Maret 2010 9.25 106.875 -6.025 15 0.009 8.05 3.59 4.50 26 Maret 2010 9.50 106.925 -6.000 9 0.017 6.39 4.90 4.24 26 Maret 2010 10.12 106.975 -6.000 4 0.052 10.65 4.97 4.30 26 Maret 2010 10.40 106.925 -6.025 10 0.035 9.46 5.03 4.55 26 Maret 2010 10.58 106.925 -6.050 11 0.035 10.15 5.15 4.42 26 Maret 2010 11.20 106.975 -6.050 2 0.017 28.71 4.98 2.57 26 Maret 2010 11.42 106.975 -6.075 1 0.009 12.57 4.69 4.75 26 Maret 2010 12.07 106.925 -6.075 12 0.017 12.71 4.67 4.48 26 Maret 2010 12.32 106.875 -6.075 13 0.009 6.29 6.16 4.32 26 Maret 2010 12.48 106.875 -6.050 14 0.017 6.69 5.00 4.41 Mei 2010 9.28 106.980 -5.938 - 0.38 7.00 4.97 2.44


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Sukabumi tanggal 10 Oktober 1988 dari pasangan Bapak Kusnadi dan Ibu Yani Rohayani. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Pada tahun 2006, penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 97 (SMAN 97) Ciganjur, Jakarta Selatan. Pada tahun yang sama, penulis meneruskan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan

memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif mengajar selama tiga tahun sebagai asisten beberapa mata kuliah, yaitu asisten mata kuliah Dasar-Dasar Instrumentasi Kelautan tahun 2008-2009, asisten luar biasa mata kuliah Oseanografi Kimia tahun 2009-2011, dan asisten mata kuliah Oseanografi Terapan tahun 2010-2011. Selain itu, penulis pernah menjadi anggota klub Marine Instrument and Telemetry (MIT) tahun 2008-2009, ketua panitia lapangan (fieldtrip) mata kuliah Pemetaan Sumber Daya Hayati Laut tahun 2009, dan koordinator asisten praktikum mata kuliah Oseanografi Kimia tahun 2010-2011.

Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pemodelan Sebaran Nutrien dengan Pendekatan Model Perata-rataan terhadap Kedalaman (Depth Averaged)

di Teluk Jakarta” sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu

Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.


(6)

iii

RINGKASAN

ERLAN NURCAHYA PUTRA. Pemodelan Sebaran Nutrien dengan Pendekatan Model Perata-rataan terhadap Kedalaman (Depth Averaged) di Teluk Jakarta. Dibimbing oleh ALAN FRENDY KOROPITAN dan

MUSWERRY MUCHTAR.

Kawasan JABODETABEK (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) dikenal memiliki berbagai macam aktifitas dan dewasa ini telah berkembang pesat seperti kegiatan pelabuhan, pemukiman skala besar, rekreasi, wisata bahari, perdagangan, perkantoran, perindustrian skala besar, dan pertanian. Hal ini tentunya dikhawatirkan akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem perairan di Teluk Jakarta secara khusus dan kehidupan masyarakat sekitar secara umum. Studi ini bertujuan melakukan simulasi model ekosistem untuk mempelajari pengaruh proses fisik dan kimia terhadap proses biologi di perairan Teluk Jakarta. Lokasi Teluk Jakarta secara astronomis terletak pada koordinat 5.167o sampai 6.167o LS dan 106.333o sampai 107.050o BT, namun daerah model yang diambil adalah 5.917o sampai 6.122o LS dan 106.679o sampai 107.022o BT. Model hidrodinamika 2-dimensi menggunakan Princeton Ocean Model (POM), demikian juga dengan model ekosistem adalah hasil modifikasi dari POM. Simulasi model dilakukan selama 90 hari (Maret sampai Mei) dalam mencapai kondisi stabil (steady state) dengan langkah waktu (time step) 3 detik dan lebar grid 250 m x 250 m.

Secara umum pola arus model bergerak dari arah Barat kemudian keluar pada batas laut terbuka Utara sekitar bagian Timur Teluk Jakarta. Kecepatan arus relatif besar (lebih cepat) pada batas laut terbuka Barat dan sepanjang batas laut terbuka Utara teluk dengan kecepatan arus maksimum sebesar 19 cm s-1. Kemudian, arus mengalami perlambatan pada bagian tengah teluk hingga

sepanjang pantai teluk mengikuti kondisi batimetri yang ada. Hal ini disebabkan adanya efek gesekan dasar yang diperhitungkan dalam model.

Secara umum pola sebaran amonium dan nitrat hasil model mendekati pola sebaran pengamatan lapangan, yaitu cenderung berkurang signifikan ke arah laut lepas dan cenderung tinggi di beberapa titik dekat muara sungai Teluk Jakarta. Namun, hasil model untuk nilai konsentrasi amonium agak berbeda terutama di sepanjang muara sungai Teluk Jakarta. Selain itu, nilai konsentrasi hasil model amonium dan nitrat yang diperoleh relatif lebih tinggi daripada pengamatan lapangan. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh input model dan asumsi-asumsi yang diterapkan dalam model ekosistem.