Potensi Sineol Dalam Minyak Atsiri Kayu Putih Sebagai Pelangsing Aromaterapi

1
 

POTENSI SINEOL DALAM MINYAK ATSIRI KAYU PUTIH
SEBAGAI PELANGSING AROMATERAPI

FIQA ANISSA RAKHMATIKA

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

 

2
 
 

POTENSI SINEOL DALAM MINYAK ATSIRI KAYU PUTIH

SEBAGAI PELANGSING AROMATERAPI

FIQA ANISSA RAKHMATIKA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

 

Judul Skripsi
Nama
NIM


Potensi Sineol Dalam Minyak Atsiri Kayu Putih Sebagai
Pelangsing Aromaterapi
Fiqa Anissa Rakhmatika

044090088

Disetujui oleh

/

Dr Irmanida Batubara, MSi
Pembimbing I

Dr dr Irma Herawati Suparto, MS
Pembimbing II

Diketahui oleh

ita MS

Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

01

a

2013

3
 

Judul Skripsi : Potensi Sineol Dalam Minyak Atsiri Kayu Putih Sebagai
Pelangsing Aromaterapi
Nama
: Fiqa Anissa Rakhmatika
NIM
: G44090088


Disetujui oleh

Dr Irmanida Batubara, MSi
Pembimbing I

Dr dr Irma Herawati Suparto, MS
Pembimbing II

 
 

Diketahui oleh

Prof Dr Dra Purwatiningsih Sugita, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

 


4
 

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Potensi Sineol dalam
Minyak Atsiri Kayu Putih sebagai Pelangsing Aromaterapi adalah karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013
Fiqa Anissa Rakhmatika
NIM G44090088

 


i
 

ABSTRAK
FIQA ANISSA RAKHMATIKA. Potensi Sineol dalam Minyak Atsiri Kayu Putih
sebagai Pelangsing Aromaterapi. Dibimbing oleh IRMANIDA BATUBARA dan
IRMA HERAWATI SUPARTO.
Kayu putih merupakan salah satu tanaman yang mengandung minyak atsiri
dengan sineol sebagai kandungan utamanya. Penelitian ini bertujuan memisahkan
sineol dalam minyak atsiri kayu putih dan menganalisis potensinya sebagai
pelangsing aromaterapi secara in vivo. Minyak atsiri kayu putih difraksionasi
menggunakan kromatografi kolom dan diperoleh 23 fraksi (F1-F23). Minyak
atsiri kayu putih, sineol, dan F9 dianalisis menggunakan kromatografi gasspektrometer massa dan potensinya sebagai pelangsing aromaterapi menggunakan
hewan uji tikus putih jantan dewasa galur Sprague-Dawley. Hasil inhalasi sineol
selama 5 minggu menunjukkan rerata bobot badan tikus setelah masa perlakuan
lebih rendah dibandingkan dengan tikus kelompok normal dan kontrol yang
mengkonsumsi pakan kolesterol tinggi. Kesimpulan penelitian ini ialah sineol
merupakan senyawa yang berpotensi sebagai pelangsing aromaterapi.
Kata kunci: fraksionasi, minyak kayu putih, pelangsing aromaterapi, sineol


ABSTRACT
FIQA ANISSA RAKHMATIKA. Potential of Cineole in Cajuput Oil as Slimming
Aromatherapy. Supervised by IRMANIDA BATUBARA and IRMA
HERAWATI SUPARTO.
Cajuput in one of plants containing essential oil with cineole as a major
component. This study aimed to separate cineole in cajuput oil and to analyze its
potency as slimming aromatherapy through in vivo assay. The essential oil was
fractionated by column chromatography resulting 23 fraction (F1-F23). Cajuput
oil, cineole, and F9 were analyzed by gas chromatograph-mass spectrometer, and
the slimming aromatherapy potency was studied on white adult male SpragueDawley rats. Inhalation result of cineole showed that the average body weight of
rats after 5 weeks treatment period was lower than that of the normal and the
control groups which consumed high cholesterol feed. In conclusion, cineole is a
compound that is potential in slimming aromatherapy.
Key words: cineole, cajuput oil, column fractionation, slimming aromatherapy

 

 


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul Potensi
Sineol dalam Minyak Atsiri Kayu Putih Sebagai Pelangsing Aromaterapi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Irmanida Batubara, MSi
selaku pembimbing pertama dan Dr dr Irma Herawati Suparto, MS selaku
pembimbing kedua atas bimbingan, arahan, dan saran selama pelaksaan penelitian
dan penulisan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih penulis berikan kepada
ayah dan ibu serta kakaku Fiqi yang selalu memberikan semangat, doa, dan kasih
sayang. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh staf laboratorium
kimia analitik, Bapak Eman, drh Aidell, dan Bapak Mul atas fasilitas dan bantuan
yang diberikan selama penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
Rahmi Nur Wahidah yang turut membantu selama penelitian berlangsung serta
memberikan semangat dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2013
Fiqa Anissa Rakhmatika

iii
 


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
METODE
Alat dan Bahan
Lingkup Kerja
Penentuan Eluen Terbaik (Houghton & Raman 1998)
Fraksionasi dengan Kromatografi Kolom (Rouessac & Rouessac 1994)
Identifikasi Senyawa dengan GC-MS
Uji Aromaterapi pada Tikus Galur Sprague-Dawley
Penentuan bobot deposit lemak dan persentase lemak pada hewan uji
Uji Statistik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Eluen Terbaik pada Kromatografi Lapis Tipis
Fraksionasi Minyak Atsiri Kayu Putih
Senyawa dalam Minyak Atsiri Kayu Putih, Fraksi 9, dan Fraksi 13
Hasil Uji Aromaterapi Secara In Vivo

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
 

iv
iv
iv
1
2
2
2
3
3
3
4
4

5
5
5
7
9
11
14
14
14
14
16
19

 
 
 

DAFTAR TABEL
1 Hasil fraksionasi minyak atsiri kayu putih dengan teknik elusi gradien
kromatografi kolom
2 Konsentrasi senyawa dominan dalam minyak atsiri kasar, F9, dan F13
3 Rerata bobot badan tikus pada awal dan akhir perlakuan
4 Rerata bobot pakan tikus per minggu (g/ekor) selama masa perlakuan
5 Rerata bobot deposit lemak tikus

7
9
12
13
13 

DAFTAR GAMBAR
1 Tanaman kayu putih
2 Minyak atsiri kayu putih
3 Kromatogram KLT dengan enam jenis pelarut tunggal
4 Kromatogram KLT dengan 3 komposisi pelarut
5 Kromatogram KLT dengan 11 komposisi pelarut
6 Kromatogram fraksi dari kromatografi kolom (F1-F23) dan minyak atsiri
7 Senyawa yang terkandung dalam minyak atsiri kayu putih
8 Kromatogram ion total hasil GC-MS minyak atsiri kasar
9 Perubahan rerata bobot badan tikus tiap kelompok selama masa perlakuan

2
5
6
6
7
8
9
10
12 

DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram alir penelitian
2 Surat persetujuan komisi etik hewan IPB
3 Komposisi pakan yang diberikan pada hewan uji

16
17
18 

1
 

PENDAHULUAN
 
 

Kelebihan berat badan adalah suatu kondisi perbandingan berat badan dan
tinggi badan melebihi standar yang ditentukan, sedangkan obesitas adalah kondisi
kelebihan lemak, baik di seluruh tubuh atau terlokalisasi pada bagian tertentu.
Obesitas merupakan peningkatan total lemak tubuh, yaitu keadaan kelebihan berat
badan karena lemak lebih dari 20% pada pria dan 25% pada wanita (Ganong
2003).
Faktor-faktor penyebab obesitas masih terus diteliti. Baik faktor lingkungan
maupun genetik berperan dalam terjadinya obesitas (Zhang 2004). Meningkatnya
obesitas tak lepas dari berubahnya gaya hidup, seperti menurunnya aktivitas fisik
dan kebiasaan menonton televisi berjam-jam. Faktor genetik menentukan
mekanisme pengaturan berat badan normal melalui pengaruh hormon dan neural.
Selain itu, faktor genetik juga menentukan banyak dan ukuran sel adiposa serta
distribusi regional lemak jenuh. Terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk
mengurangi bobot badan dan menjadikannya ideal kembali, yaitu secara alami
dan secara buatan. Penanganan secara alami dapat dilakukan dengan mengatur
kembali pola makan dan berolah raga. Mengingat penanganan ini membutuhkan
waktu yang lama, maka hanya sebagian kecil penderita obesitas yang melakukan
metode ini. Adapun cara yang kedua diantaranya dengan menggunakan obat
pelangsing (Kumanyika dan Brownson 2007).
Obat pelangsing yang banyak dikonsumsi masyarakat merupakan jenis obat
pelangsing dari tanaman herbal. Jenis obat pelangsing yang saat ini sedang
dikembangkan cara pembuatannya adalah obat pelangsing aromaterapi dari
tanaman herbal yang diklasifikasikan sebagai tumbuhan aromatik. Kandungan
tanaman herbal yang berpotensi sebagai pelangsing aromaterapinya adalah
minyak atsiri. Pengujian secara ilmiah aromaterapi terhadap hewan percobaan dan
analisis kemungkinan senyawa aktifnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti.
Wulandari (2011) menyatakan bahwa terpinen-4-ol dalam minyak atsiri bangle
berpotensi sebagai pelangsing aromaterapi. Hal serupa dilaporkan pula oleh Astuti
(2012) yang menyatakan bahwa sitral yang terkandung dalam minyak atsiri serai
dapur berpotensi sebagai pelangsing aromaterapi. Selain itu, Hermawan (2013)
juga menyatakan bahwa senyawa kamfena dalam minyak atsiri jahe berpotensi
sebagai pelangsing aromaterapi.
Minyak kayu putih merupakan salah satu minyak atsiri yang diperoleh dari
hasil penyulingan daun kayu putih. Minyak kayu putih ini memiliki manfaat yang
cukup besar, baik bagi perekonomian masyarakat sekitar hutan maupun
kegunaannya sebagai obat-obatan, bahan insektisida, dan bahan wangi-wangian
(Perum Perhutani 2004). Minyak ini juga memiliki bau dan khasiat yang khas.
Khasiat utama dari minyak kayu putih adalah untuk melancarkan peredaran darah
dengan melebarkan pori-pori kulit sehingga badan menjadi lebih hangat dan tidak
akan mengganggu pernafasan kulit karena adanya sifat dari minyak kayu putih
yang mudah menguap (Agoes 2010). Menurut Angela dan Davis (2010), minyak
atsiri kayu putih dapat meningkatkan monosit dalam darah tikus setelah 15 hari
diberi asupan oral minyak atsiri.

2
 

 

Gambar 1 Tanaman kayu putih
(Habibi 2012)
Komponen utama dari minyak kayu putih merupakan golongan terpenoid.
Komponen terbesarnya merupakan 1,8-sineol yang merupakan senyawa
monoterpena. Senyawa 1,8-sineol berperan sebagai antimikrob, antioksidan,
kekebalan tubuh, analgesik, dan spasmolitik (Angela dan Davis 2010). Selain itu,
senyawa 1,8-sineol juga berpotensi sebagai antiinflamasi (Juergens et al. 2003).
Kajian mengenai tanaman kayu putih khususnya senyawa 1,8-sineol sebagai
pelangsing aromaterapi belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
memisahkan 1,8-sineol yang terkandung dalam minyak atsiri kayu putih dan
menganalisis potensinya sebagai pelangsing aromaterapi secara in vivo.
Kandungan sineol dalam minyak atsiri kayu putih diharapkan berkhasiat sebagai
pelangsing aromaterapi.

METODE
Alat dan Bahan
 

Alat-alat yang digunakan adalah peralatan gelas, neraca analitik, oven, pipa
kapiler, bejana kromatografi, penguap putar, GC-MS (Shimadzu-QP-5050A), dan
kandang hewan uji berukuran 20 x 20 x 30 cm3 yang dilengkapi tabung inhalator.
Bahan-bahan yang digunakan adalah minyak atsiri kayu putih, pakan standar
tikus, pakan kolesterol tinggi, propylthiouracil (PTU), akuades, aseton, n-heksana,
metanol, dietil eter,etanol, etil asetat, kloroform, silika gel, dan pelat aluminium
jenis silika gel G60F254 dari Merck. Hewan uji yang akan digunakan pada
penelitian ini adalah tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang diperoleh dari
Balai Penelitian Ternak Bogor.
Lingkup Kerja
 

Metode penelitian yang dilakukan mengikuti diagram alir pada Lampiran 1
yang meliputi penentuan eluen terbaik dengan KLT, pemisahan dengan
kromatografi kolom, identifikasi senyawa dengan GC-MS. Kemudian, inhalasi
minyak atsiri, sineol, dan hasil pemisahan kromatografi kolom selama 5 minggu
terhadap hewan uji yang telah melewati masa adaptasi selama 2 minggu. Bobot
pakan tiap kelompok hewan uji ditimbang setiap hari dan bobot badan setiap
hewan uji ditimbang setiap minggu. Pada minggu ke-5 setelah masa perlakuan,

3
 

lemak hewan uji dikeluarkan dari tubuhnya untuk ditentukan bobot deposit
lemaknya. Seluruh prosedur pada hewan uji sudah disetujui oleh Komisi Etik
Hewan IPB dengan nomer 04-2013 IPB (Lampiran 2).

Penentuan Eluen Terbaik (Houghton & Raman 1998)
 

Pelat kromatografi lapis tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium
jenis silika gel G60F254 dari Merck dengan ukuran lebar 1 cm dan panjang 10 cm.
Minyak atsiri kasar kayu putih ditotolkan pada pelat KLT sebanyak 20 kali
totolan. Setelah kering, langsung dielusi dalam bejana kromatografi yang telah
dijenuhkan oleh uap eluen pengembang. Pada tahap pertama, proses elusi minyak
atsiri kasar kayu putih pada pelat KLT dilakukan dengan menggunakan eluen
tunggal dari masing-masing pelarut yang umum digunakan untuk pemisahan
senyawa dalam minyak atsiri, yaitu n-heksana, aseton, dietil eter, kloroform,
metanol, dan etil asetat. Spot yang dihasilkan dari proses elusi masing-masing
eluen diamati di bawah lampu UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm.
Eluen yang menghasilkan spot terpisah dipilih sebagai eluen terbaik. Jika lebih
dari 1 eluen menghasilkan spot terbanyak dan terpisah, maka eluen-eluen tersebut
dicampurkan dengan perbandingan 9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 5:5, dst. sehingga diperoleh
campuran eluen terbaik untuk menghasilkan spot terpisah pada pelat KLT.
Fraksionasi dengan Kromatografi Kolom (Rouessac & Rouessac 1994)
 

Fraksionasi dilakukan dengan pengemasan kolom sebanyak 40 g untuk
pemisahan 2,5 gram distilat dengan diameter 2 cm dan tinggi kolom 30 cm. Saat
pengemasan kolom, jumlah silika gel adalah 15-20 kali jumlah distilat dan
perbandingan tinggi adsorban dan diameter kolom adalah 8:1. Minyak atsiri kayu
putih dipisahkan dengan kolom kromatografi menggunakan elusi gradien
(peningkatan kepolaran), eluen yang digunakan adalah eluen terbaik hasil KLT.
Eluat ditampung setiap 3 mL dalam tabung reaksi yang telah diberi nomor
kemudian diuji dengan KLT menggunakan eluen terbaik. Spot pemisahan
dideteksi di bawah lampu UV dengan λ 254 nm dan 366 nm. Eluat yang memiliki
Rf dan pola KLT yang sama digabungkan sebagai satu fraksi.
Identifikasi Senyawa dengan GC-MS
 

Minyak atsiri kasar, fraksi 9, dan fraksi 13 yang diperoleh diinjeksikan ke
dalam injektor GC-MS (Shimadzu-QP-5050A) dengan menggunakan kolom DB5 MS (dimensi 0.25 mm x 30 m) dan gas pembawa Helium dengan laju alir 42
mL/menit. Suhu injektor dan detektor sama, yaitu 250 °C sedangkan suhu kolom
yang digunakan adalah suhu terprogram, yaitu diawali dengan 80 °C ditahan
selama 2 menit kemudian diubah perlahan-lahan dengan laju kenaikan suhu
sebesar 5 °C/menit hingga suhunya mencapai 250 °C ditahan selama 5 menit.
Kondisi spektrometer massanya adalah energi ionisasi 70 eV, mode ionisasinya
adalah Electron Impact Ionisation (EI), split ratio: 25.0, dan area deteksinya
adalah 40-500 m/z. Setiap puncak yang muncul dalam kromatogram ion total

4
 

diidentifikasi dengan menganalisis hasil spektum massa yang terdapat pada
library index MS.
 

Uji Aromaterapi pada Tikus Galur Sprague-Dawley
 

Adaptasi tikus putih jantan galur Sprague-Dawley
Penelitian ini menggunakan tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang
sehat, berumur ±2.5 bulan dengan bobot kisaran 167 g, dan berjumlah 30 ekor.
Setiap 2 ekor ditempatkan dalam satu kandang dengan ukuran 20×20×30 cm3.
Proses adaptasi kondisi fisiologis, nutrisi, dan lingkungan tikus tersebut dilakukan
selama 2 minggu. Semua kelompok tikus diberi pakan standar tikus (Lampiran 3)
dengan dosis 20 g/ekor/hari dan diberi minum akuades secara ad libitum. Masa
adaptasi dilakukan dengan tujuan untuk pengenalan lingkungan baru bagi tikus
yang akan digunakan sebagai hewan uji.
 

Inhalasi aromaterapi terhadap hewan uji
Uji inhalasi minyak atsiri kasar, sineol, dan fraksi lain yang mengandung
sineol dalam jumlah sedikit dari minyak atsiri kayu putih secara in vivo dilakukan
berdasarkan pada modifikasi metode Anggraeni (2010). Kelompok tikus yang
dijadikan kontrol negatif (kelompok I) tetap diberi pakan standar tikus dengan
dosis 20 g/ekor/hari dan diberi akuades secara ad libitum selama masa perlakuan,
yaitu 5 minggu tanpa diinhalasi. Tikus-tikus yang diberi pakan kolesterol tinggi
sebanyak 20 g/ekor/hari dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok II,
III, IV, dan V serta air minum akuades yang ditambahkan PTU 0.1% secara ad
libitum. Masing-masing kelompok tersebut terdiri atas 6 ekor tikus. Kelompok II
tidak diberikan perlakuan aromaterapi, sedangkan kelompok III, IV, dan V diberi
diberi perlakuan aromaterapi selama 5 minggu. Kelompok III diinhalasi minyak
atsiri kasar kayu putih, kelompok IV diinhalasi sineol, dan kelompok V diinhalasi
fraksi lain yang mengandung sineol dalam jumlah sedikit, masing-masing
kelompok diinhalasi dengan dosis 0.1%. Komposisi pakan standar dan pakan
kolesterol tinggi untuk tikus disajikan pada Lampiran 3. Bobot badan masingmasing tikus dari semua kelompok ditimbang seminggu sekali. Jumlah feses dan
urin dari semua kelompok tikus ditimbang setiap tiga hari sekali.
Penentuan bobot deposit lemak dan persentase lemak pada hewan uji
Pada minggu ke-5 setelah masa perlakuan, masing-masing tikus dari setiap
kelompok perlakuan, yaitu kelompok I, II, III, IV, dan V dipuasakan selama 12
jam. Tikus disedasi (pembiusan) dengan cara menyuntikkan ketamin (80 mg/kg
bobot badan) dan xilazin (10 mg/kg bobot badan) secara intraperitoneal. Setelah
tikus tidak sadarkan diri kemudian proses pembedahan dilakukan. Lemak pada
bagian perut kanan dan kiri serta bagian testis kanan dan kiri dikeluarkan.
Keadaan lemak tersebut diamati, ditimbang bobotnya, dan ditentukan
persentasenya terhadap bobot badan tikus masing-masing

5
 

Uji Statistik
 

Data bobot pakan yang dikonsumsi, bobot feses dan urin yang dihasilkan,
bobot badan serta bobot deposit lemak hewan uji yang diperoleh dianalisis dengan
metode rancangan acak lengkap (RAL) dan Analysis of Variance (ANOVA) pada
taraf kepercayaan 95% (α = 0.05) dilanjutkan dengan Duncan’s multiple range
test menggunakan SPSS 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Eluen Terbaik pada Kromatografi Lapis Tipis
 

Minyak atsiri kayu putih komersial yang digunakan berwarna kuning terang
seperti terlihat pada Gambar 2. Kadar sineol dalam minyak atsiri kayu putih ini
sebesar 67.74% dan memiliki wangi yang khas seperti minyak kayu putih. Hal ini
sesuai dengan SNI (2006) yang menyatakan bahwa minyak atsiri kayu putih
berwarna kekuningan, kadar sineol yang terkandung lebih besar dari 65% dan
memiliki wangi yang khas seperti minyak kayu putih pada umumnya.

Gambar 2 Minyak atsiri kayu putih
Penentuan eluen terbaik pada minyak atsiri kayu putih dilakukan dengan
menggunakan kromatografi lapis tipis. Fase diam yang digunakan berupa silika
G60F254 dan 6 jenis pelarut sebagai fase gerak, yaitu n-heksana, dietileter,
kloroform, etil asetat, aseton, dan metanol. Profil kromatografi yang terbentuk
dideteksi di bawah lampu UV λ 254 nm dan 366 nm. Eluen terbaik adalah eluen
yang dapat menghasilkan jumlah noda terbanyak dan terpisah (Skoog et al. 2004).
Hasil penentuan eluen terbaik dengan menggunakan 6 pelarut tunggal terlihat
pada Gambar 3.

6
 

Gambar 3 Kromatogram KLT dengan enam jenis pelarut tunggal (kiri ke kanan)
n-heksana, dietileter, etilasetat, aseton, metanol, dan kloroform.
Berdasarkan Gambar 3, noda terbanyak dihasilkan pada pelarut kloroform,
namun pada kloroform noda yang dihasilkan masih belum terpisah dengan baik.
Oleh karena itu, dilakukan pencampuran 2 pelarut antara kloroform:etil asetat,
kloroform:n-heksana, dan n-heksana:etil asetat. Pada pencampuran kloroform:etil
asetat dilakukan pada perbandingan 1:4, 3,5:1, dan 4:1. Hasil pemisahan terbaik
adalah perbandingan 4:1, namun masih terbentuk ekor pada beberapa noda.
Pencampuran antara kloroform:n-heksana hanya dilakukan pada perbandingan
1:4. Pada perbandingan tersebut noda yang dihasilkan tidak terpisah dengan baik
dan terdapat beberapa noda yang tidak muncul. Pencampuran n-heksana:etil asetat
dilakukan pada perbandingan 7:3, 8:2, dan 17:3 berdasarkan John et al. (1987).
Dari ketiga perbandingan tersebut, noda yang dihasilkan pun tidak terpisah
dengan baik. Berdasarkan hasil tersebut dilakukan pencampuran 3 pelarut dengan
metode simplex centroid design (SCD) yang disajikan pada Gambar 5.
Hasil terbaik yang didapatkan dengan pencampuran 3 pelarut didapatkan
pada perbandingan 4:1:1 (kloroform:etilasetat:n-heksana) namun, keterpisahan
yang dihasilkan masih belum baik. Oleh karena itu, dilakukan penurunan volume
n-heksana dengan perbandingan 4:1:0.5 (kloroform:etilasetat:n-heksana).
Berdasarkan hasil tersebut, noda yang dihasilkan banyak, terpisah dengan baik,
dan tidak terbentuk ekor pada noda-noda yang dihasilkan.

Gambar 4 Kromatogram KLT dengan 3 komposisi pelarut (kiri ke kanan)
kloroform:etil asetat (4:1), (3.5:1), (1:4), n-heksana:kloroform (4:1),
n-heksana:etil asetat (17:3), (8:2), (7:3)

7
 

Gambar 5 Kromatogram KLT dengan 11 komposisi pelarut antara kloroform:etil
asetat:n-heksana
Fraksionasi Minyak Atsiri Kayu Putih
 

Minyak atsiri kayu putih dipisahkan dengan kromatografi kolom
menggunakan eluen terbaik dengan sistem step gradient (peningkatan kepolaran).
Eluen yang digunakan berupa n-heksana murni, campuran antara n-heksana dan
kloroform dengan perbandingan 9:1-1:9, kloroform murni, campuran antara
kloroform dan etil asetat dengan perbandingan 9:1-1:9 serta etil asetat murni.
Total fraksi yang didapatkan sebanyak 23 fraksi seperti yang terlihat pada Tabel
1.
Tabel 1 Hasil fraksionasi minyak atsiri kayu putih dengan teknik
elusi gradien kromatografi kolom
Fraksi ke1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Jumlah noda
1
1
1
1
2
2
6
4
4
2
3
3
5
4
4
2
2
1

Bobot (g)
0.0129
0.0152
0.0138
0.0240
0.0414
0.0285
0.0442
0.0366
0.1035
0.0985
0.0981
0.0462
0.0610
0.0260
0.0200
0.0340
0.0104
0.0127

Rendemen (%)
0.56
0.66
0.59
1.04
1.79
1.23
1.91
1.58
4.46
4.25
4.23
1.99
2.63
1.12
0.86
1.47
0.45
0.55

8
 
 

Tabel 1 Hasil fraksionasi minyak atsiri kayu putih dengan
teknik elusi gradien kromatografi kolom lanjutan
Fraksi keJumlah noda
Bobot (g)
Rendemen (%)
19
2
0.0142
0.61
20
2
0.0225
0.97
21
1
0.0260
0.01
22
3
0.0223
0.96
23
3
0.0155
0.67
*Bobot minyak atsiri kasar kayu putih yang dielusi 2.3184 g

Sebanyak ± 2 g minyak atsiri kasar yang dielusi dengan kromatografi
kolom, didapatkan fraksi 9, 10 , 11, dan 13 dengan rendemen terbanyak sebesar
4.46%, 4.25%, 4.23%, dan 2.63% dengan jumlah noda pada fraksi 9 sebanyak 4
noda, fraksi 10 sebanyak 2 noda, fraksi 11 sebanyak 3 noda, dan fraksi 13
sebanyak 5 noda. Pada keempat fraksi tersebut, sineol diduga berada pada fraksi
9. Hal ini berdasarkan rendemen fraksi 9 memiliki nilai yang paling tinggi
dibandingkan dengan fraksi lainnya. Selain itu, nilai Rf fraksi 9, yaitu 0.65
memiliki nilai yang sama dengan nilai Rf standar sineol yaitu 0.65. Oleh karena
itu, fraksi 9 dianalisis lebih lanjut dengan GC-MS. Selain fraksi 9, fraksi 13 dan
minyak atsiri kasar kayu putih pun dianalisis lebih lanjut menggunakan GC-MS.
Pemilihan fraksi 13 ini berdasarkan pola yang dihasilkan pada KLT. Fraksi 13
memiliki pola yang berbeda dengan fraksi 9 sehingga diharapkan pada fraksi 13
ini tidak terdapat kandungan sineolnya. Fraksi-fraksi tersebut dianalisis lebih
lanjut dengan GC-MS untuk diindentifikasi komponen kimianya dan diuji
aktivitasnya secara in vivo.

 
 
MA F1 F2 F3 F4

F5 F6 F7

F8 F9 F10 F11 F12 F13 F14 F15 F16 F17 F18 F19 F20 F21 F22 F23

Gambar 6 Kromatogram fraksi dari kromatografi kolom (F1-F23) dan minyak
atsiri

9
 

Senyawa dalam Minyak Atsiri Kayu Putih, Fraksi 9, dan Fraksi 13
Identifikasi kandungan senyawa yang terdapat dalam minyak atsiri kayu
putih, fraksi 9, dan fraksi 13 dilakukan dengan menggunakan instrumen GC-MS.
Hasil analisis berupa kromatogram ion total yang merupakan hubungan antara
waktu retensi dengan intensitas. Puncak-puncak yang dihasilkan dalam
kromatogram diidentifikasi dengan membandingkan spektrum massa yang
diperoleh dengan spektrum massa yang terdapat pada library.
Menurut Harborne (1987) senyawa dominan yang terkandung dalam
minyak atsiri adalah golongan terpenoid. Secara kimia, terpena dalam minyak
atsiri dapat terbagi menjadi dua golongan yaitu monoterpena dan seskuiterpena
dengan jumlah C10 dan C15. Kedua jenis terpenoid tersebut berbeda dalam hal titik
didihnya. Senyawa yang termasuk dalam golongan monoterpena memiliki titik
didih antara 140°C-180°C sedangkan senyawa yang termasuk dalam golongan
seskuiterpena memiliki titik didih di atas 200°C (Harborne 1987).
Beberapa senyawa yang terkandung dalam minyak atsiri kayu putih
berdasarkan hasil GC-MS diantaranya α-pinene (7.83%), β-pinene (4.18%), msimen (2.06%), limonena (2.40%), 1,8-sineol (67.74%), dan o-cimena (7.45%)
(Gambar 7). Senyawa-senyawa tersebut termasuk ke dalam golongan
monoterpena.

α-pinena

β-pinena

m-simen

O

Limonena

1.8-sineol

o-cimena

Gambar 7 Senyawa yang terkandung dalam minyak atsiri kayu putih
Tabel 2 menunjukkan perbedaan komponen pada minyak atsiri kayu putih,
fraksi 9, dan fraksi 13. Hasil GC-MS (Gambar 8) pada minyak atsiri kasar
terdapat 12 senyawa, namun hanya 6 yang teridentifikasi. Senyawa terbesar yang
terkandung dalam minyak atsiri kayu putih yaitu 1,8-sineol dengan persentase
kadar sebesar 67.74%. Hal ini sesuai dengan Sefidkon et al. (2007) yang
menyatakan bahwa komponen utama penyusun minyak kayu putih adalah sineol.

10
 

Tabel 2 Konsentrasi senyawa dominan dalam minyak atsiri kasar, F9, dan
F13
Golongan

Senyawa

Monoterpena

Monoterpena alkohol
Seskuiterpena

Polimer

α-pinena
β-pinena
m-simen
Limonena
o-cimena
Cis-1,3,3-trimetil-2-oxabisiklo
[2.2.2] oktan-5-ol
1.8-sineol
α-terpineol
Viridiflorol
4,4,8-trimetiltrisiklo[6.3.1.0(1,5)]
dodekana-2,9-diol
Diisooktil adipat

Minyak
kayu putih
(%)
7.83
4.18
2.06
2.40
7.45
-

F9
(%)

F13
(%)

-

3.69

67.74
-

5.70
9.13
11.77
-

1.25
2.21

-

-

6.48

Prinsip pemisahan pada GC adalah komponen dalam campuran akan
dipisahkan berdasarkan titik didihnya. Pada minyak atsiri kayu putih, α-pinena
terdeteksi terlebih dahulu karena memiliki titik didih yang paling rendah
dibandingkan dengan β-pinena, m-simena, limonena, 1,8-sineol, dan o-cimena.
Selain titik didih, interaksi komponen dengan fase diam juga akan mempengaruhi
lamanya waktu retensi. Dalam hal ini fase diam yang digunakan adalah kolom
yang bersifat polar. Komponen yang memiliki sifat polar akan tertahan lebih lama
pada fase diam sedangkan yang bersifat nonpolar akan terlebih dahulu keluar.
Pada minyak atsiri kasar, o-cimena bersifat paling polar karena muncul pada
waktu retensi tertinggi yaitu sebesar 9.295 menit.
Intesitas
( x 10, 000, 000)
TI C

e

6. 5
6. 0
5. 5
5. 0
4. 5
4. 0
3. 5
3. 0
2. 5

a

2. 0
1. 5
1. 0

d
bc

f

0. 5

2. 5

5. 0

7. 5

10. 0

12. 5

15. 0

17. 5

20. 0

Waktu retensi (menit)
Gambar 8 Kromatogram ion total hasil GC-MS minyak atsiri kasar a. αpinena; b. β-pinena; c. m-simena; d. limonena; e. 1.8-sineol;
f. o-cimena
Selain minyak atsiri kayu putih, fraksi 9 dan fraksi 13 juga dianalisis
menggunakan GC-MS. Terdapat 3 komponen utama pada fraksi 9 dan 4

11
 

komponen utama pada fraksi 13 seperti yang terlihat pada Tabel 2. Hasil analisis
pada fraksi 9 dan 13 kadar 1,8-sineol yang dihasilkan hanya sebesar 5.70% dan
1.25%. Terdapatnya sineol pada fraksi 9 dan fraksi 13 ini menunjukkan bahwa
proses pemisahan sineol belum berhasil. Pada fraksi 9, komponen lain yang
teridentifikasi pada minyak atsiri kayu putih tidak ditemukan kembali, namun
terdapat komponen lain yaitu α-terpineol dan viridiflorol dengan kadar sebesar
9.13% dan 11.77%. Kadar viridiflorol pada fraksi 9 ini merupakan kadar terbesar
dibandingkan dengan 2 komponen yang lainnya atau dengan kata lain pada fraksi
9, viridiflorol merupakan senyawa dominan. Hal ini sesuai dengan Pino et al.
(2011) yang menyatakan bahwa komponen mayor pada minyak kayu putih selain
sineol adalah senyawa viridiflorol.
Hasil analisis GC-MS pada fraksi 13 menunjukkan terdapat 4 komponen
utama yang teridentifikasi yaitu sineol (1,25%), diisooktil adipat (6.48%), Cis1,3,3-trimetil-2-oxabisiklo [2.2.2] oktan-5-ol (3.69%), dan 4,4,8-trimetiltrisiklo
[6.3.1.0(1,5)] dodekana-2,9-diol (2.21%). Senyawa dominan pada fraksi 13 ini
adalah diisooktil adipat. Senyawa diisooktil adipat, Cis-1,3,3-trimetil-2-oxabisiklo
[2.2.2] oktan-5-ol, dan 4,4,8-trimetiltrisiklo [6.3.1.0(1,5)] dodekana-2,9-diol
sebelumnya belum pernah teridentifikasi pada komponen minyak atsiri kayu
putih. Terdapatnya ketiga komponen ini dapat disebabkan karena pelarut yang
digunakan pada fraksi 13 ini cenderung bersifat semi polar sehingga ketiga
komponen tersebut pada saat proses fraksionasi ketiga dapat terpisahkan.
Berdasarkan Edwich et al. (2009) dan Santoso et al. (2002) komponen yang
sering teridentifikasi pada minyak kayu putih yaitu α-pinene, β-pinene, m-simen,
limonena, 1,8-sineol, o-cimena, α-terpineol, dan viridiflorol. Hal ini disebabkan
pelarut yang sering digunakan lebih bersifat nonpolar yaitu n-heksana dan dietil
eter.
Pemisahan sineol pada fraksi 9 dan fraksi 13 belum memiliki keterpisahan
yang baik. Oleh sebab itu, dilakukan uji lebih lanjut pada fraksi yang dihasilkan
menggunakan kromatografi lapis tipis. Pemisahan ini dibandingkan dengan
standar sineol yang telah ada. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa
fraksi 7 memiliki pola spot dan nilai Rf yang hampir sama dengan standar.
Sedangkan pada fraksi 9 dan 13 memiliki pola noda yang berbeda dengan standar
akan tetapi terdapat satu spot yang memiliki nilai Rf yang hampir sama.

Hasil Uji Aromaterapi Secara In Vivo
Uji in vivo dari minyak atsiri kasar, sineol, dan fraksi 9 dilakukan terhadap
tikus putih jantan galur Sprague-Dawley selama 5 minggu dengan konsentrasi
0.1%. Bobot badan tikus diukur satu minggu sekali dan dipantau perubahannya
akibat perlakuan. Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 9.

12
 

Rerata bobot badan (g)

250
200
150
100
0

1

2

3

4

5

Perlakuan minggu keI

II

III

IV

V

 

Gambar 9 Perubahan rerata bobot badan tikus tiap kelompok selama masa
perlakuan
Peningkatan bobot badan per minggu selama masa perlakuan terlihat pada
Gambar 9. Berdasarkan gambar tersebut, diketahui bahwa semua kelompok tikus
memiliki peningkatan bobot badan di setiap minggunya, namun pada minggu ke-1
terjadi penurunan bobot badan yang dikarenakan tikus masih beradaptasi dengan
pakan kolesterol tinggi yang diberikan. Pada akhir masa perlakuan terlihat bahwa
kelompok IV memiliki rerata bobot badan dibandingkan dengan kelompok
lainnya.

Tabel 3 Rerata bobot badan tikus pada awal dan akhir perlakuan
Kelompok

Bobot Awal (g)
Bobot Akhir (g)
(p>0.05)
(p0.05) (Duncan’s multiple range test)

Tabel 3 menjelaskan rerata bobot badan tikus pada awal dan akhir
perlakuan. Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa bobot badan awal tidak
berbeda signifikan setelah uji statistika, namun pada masa perlakuan diketahui
bahwa bobot badan tikus pada akhir perlakuan berbeda signifikan. Pada tabel
terlihat bahwa kelompok IV memiliki rerata bobot badan yang berbeda signifikan
dibandingkan kelompok lainnya dengan nilai p