Simulasi propagasi impuls pada sel saraf terkopel menggunakan model FitzHugh-Nagumo

(1)

ABSTRAK

Subiyanto.

Simulasi Propagasi Impuls pada Sel Saraf Terkopel Menggunakan Model

FitzHugh-Nagumo. Dibimbing oleh

Dr. Agus Kartono

dan

Dr.Ir. Irzaman, M.Si

.

Skripsi ini membuat sebuah model matematika untuk sel saraf terkopel. Model ini

merupakan modifikasi dari model FitzHugh-Nagumo. Hasil simulasi model ini dapat

menjelaskan perilaku sel saraf dalam menghantarkan impuls. Hasil simulasi dua sel saraf

terkopel menunjukan bahwa arus minimal agar impuls dapat direspon oleh tubuh yaitu

0,41

μA

, untuk model tiga sel saraf 0,47

μA

, model empat sel saraf 0,54

μA

, model

delapan sel saraf 0,81

μA

, dan model delapan belas sel saraf 1,4

μA

. Dari hasil simulasi

sel saraf ini didapatkan bahwa setiap penambahan satu sel saraf akan menambah arus

minimal yang dapat direspon oleh tubuh itu sekitar 0,06

μA

. Oleh karena itu, dengan

menganggap bahwa jumlah sel saraf dalam tubuh yang berperan dalam penghantaran

impuls itu sekitar satu juta sel saraf maka dapat diprediksi arus minimal yang dapat

direspon oleh tubuh dalam penjalaran impuls sekitar 0,06

A

, sedangkan arus yang kurang

dari itu tidak akan mendapat respon dari tubuh.


(2)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem saraf merupakan salah satu sistem koordinasi yang berfungsi untuk menyampaikan rangsangan yang dideteksi dan direspon oleh tubuh. Sistem saraf memungkinkan makhluk hidup tanggap dengan cepat terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan luar maupun dalam. Sistem saraf terdiri atas banyak sel saraf, yang biasa disebut dengan neuron. Sel saraf berfungsi mengirimkan pesan yang berupa rangsangan atau tanggapan dari badan sel menuju ke dendrit. Setelah menerima berjuta-juta rangsangan informasi yang berasal baik dari luar maupun dari

dalam tubuh, rangsangan tersebut

diintegrasikan dan kemudian digunakan untuk menentukan respon apa yang akan

diberikan oleh tubuh.1 Penjalaran atau

propagasi serta proses integrasi impuls sel saraf merupakan hal yang menarik untuk dipelajari.

Model matematika dinamika impuls pada satu sel saraf pertama kali dinyatakan oleh model Hodgkin-Huxley dan model

FitzHugh-Nagumo.2,3,4 Model

Hogkin-Huxley berbentuk sistem persamaan

diferensial biasa nonlinear dengan empat variabel yang menggambarkan dinamika dari sel saraf, sedangkan model FitzHugh-Nagumo mempunyai bentuk yang lebih sederhana, yaitu dalam bentuk sistem persamaan diferensial biasa dengan dua

variabel yang otonom (autonomous).5,6

Pada tugas akhir ini akan dibuat sebuah model matematika untuk sel saraf terkopel dengan cara memodifikasi model sel saraf dari FitzHugh-Nagumo. Untuk mengetahui model sel saraf terkopel yang dibuat tersebut memiliki perilaku yang mendekati perilaku sel saraf sebenarnya, maka terlebih dahulu dibuat simulasi model

satu sel saraf FitzHugh-Nagumo.

Selanjutnya dibuat simulasi model sel saraf terkopel untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Hasil simulasi satu sel saraf FitzHugh-Nagumo dengan sel saraf terkopel tersebut dibandingkan. Apabila perilakunya sudah

sesuai, maka dilanjutkan dengan

menganalisis arti fisis dari model sel saraf terkopel tersebut.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Membuat model matematika untuk sel saraf terkopel.

2. Membuat simulasi dari model sel saraf terkopel yang telah dibuat.

3. Mempelajari dan menganalisis

penjalaran atau propagasi impuls pada model sel saraf terkopel yang telah dibuat.

1.3 Perumusan Masalah

1. Bagaimana hasil simulasi dari model sel saraf terkopel yang telah dibuat ? 2. Apakah manfaat dari model tersebut ?

1.4 Hipotesis

1. Hasil simulasi dari model sel saraf terkopel lebih mendekati perilaku sel saraf sebenarnya dibandingkan dengan hasil simulasi satu sel saraf.

2. Model ini dapat digunakan untuk

memperkirakan arus eksternal minimal

yang dapat direspon oleh sel saraf terkopel.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Saraf

Sistem saraf tersusun oleh berjuta-juta sel saraf yang mempunyai bentuk bervariasi. Sistem ini meliputi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Dalam kegiatannya, saraf mempunyai hubungan kerja seperti mata rantai (berurutan) antara

receptor dan efector. Receptor adalah satu

atau sekelompok sel saraf dan sel lainnya

yang berfungsi mengenali rangsangan

tertentu yang berasal dari luar atau dari dalam tubuh. Efector adalah sel atau organ yang menghasilkan tanggapan terhadap rangsangan, sebagai contoh: otot dan kelenjar.5 Sistem saraf terdiri dari jutaan sel saraf. Fungsi sel saraf adalah mengirimkan pesan (impuls) yang berupa rangsang atau tanggapan. Setiap sel saraf terdiri dari satu badan sel yang di dalamnya terdapat sitoplasma dan inti sel seperti pada Gambar 1. Dari badan sel keluar dua macam serabut saraf, yaitu dendrit dan akson (neurit). Setiap sel saraf hanya mempunyai satu akson dan minimal satu dendrit. Kedua serabut saraf ini berisi plasma sel.


(3)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem saraf merupakan salah satu sistem koordinasi yang berfungsi untuk menyampaikan rangsangan yang dideteksi dan direspon oleh tubuh. Sistem saraf memungkinkan makhluk hidup tanggap dengan cepat terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan luar maupun dalam. Sistem saraf terdiri atas banyak sel saraf, yang biasa disebut dengan neuron. Sel saraf berfungsi mengirimkan pesan yang berupa rangsangan atau tanggapan dari badan sel menuju ke dendrit. Setelah menerima berjuta-juta rangsangan informasi yang berasal baik dari luar maupun dari

dalam tubuh, rangsangan tersebut

diintegrasikan dan kemudian digunakan untuk menentukan respon apa yang akan

diberikan oleh tubuh.1 Penjalaran atau

propagasi serta proses integrasi impuls sel saraf merupakan hal yang menarik untuk dipelajari.

Model matematika dinamika impuls pada satu sel saraf pertama kali dinyatakan oleh model Hodgkin-Huxley dan model

FitzHugh-Nagumo.2,3,4 Model

Hogkin-Huxley berbentuk sistem persamaan

diferensial biasa nonlinear dengan empat variabel yang menggambarkan dinamika dari sel saraf, sedangkan model FitzHugh-Nagumo mempunyai bentuk yang lebih sederhana, yaitu dalam bentuk sistem persamaan diferensial biasa dengan dua

variabel yang otonom (autonomous).5,6

Pada tugas akhir ini akan dibuat sebuah model matematika untuk sel saraf terkopel dengan cara memodifikasi model sel saraf dari FitzHugh-Nagumo. Untuk mengetahui model sel saraf terkopel yang dibuat tersebut memiliki perilaku yang mendekati perilaku sel saraf sebenarnya, maka terlebih dahulu dibuat simulasi model

satu sel saraf FitzHugh-Nagumo.

Selanjutnya dibuat simulasi model sel saraf terkopel untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Hasil simulasi satu sel saraf FitzHugh-Nagumo dengan sel saraf terkopel tersebut dibandingkan. Apabila perilakunya sudah

sesuai, maka dilanjutkan dengan

menganalisis arti fisis dari model sel saraf terkopel tersebut.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Membuat model matematika untuk sel saraf terkopel.

2. Membuat simulasi dari model sel saraf terkopel yang telah dibuat.

3. Mempelajari dan menganalisis

penjalaran atau propagasi impuls pada model sel saraf terkopel yang telah dibuat.

1.3 Perumusan Masalah

1. Bagaimana hasil simulasi dari model sel saraf terkopel yang telah dibuat ? 2. Apakah manfaat dari model tersebut ?

1.4 Hipotesis

1. Hasil simulasi dari model sel saraf terkopel lebih mendekati perilaku sel saraf sebenarnya dibandingkan dengan hasil simulasi satu sel saraf.

2. Model ini dapat digunakan untuk

memperkirakan arus eksternal minimal

yang dapat direspon oleh sel saraf terkopel.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Saraf

Sistem saraf tersusun oleh berjuta-juta sel saraf yang mempunyai bentuk bervariasi. Sistem ini meliputi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Dalam kegiatannya, saraf mempunyai hubungan kerja seperti mata rantai (berurutan) antara

receptor dan efector. Receptor adalah satu

atau sekelompok sel saraf dan sel lainnya

yang berfungsi mengenali rangsangan

tertentu yang berasal dari luar atau dari dalam tubuh. Efector adalah sel atau organ yang menghasilkan tanggapan terhadap rangsangan, sebagai contoh: otot dan kelenjar.5 Sistem saraf terdiri dari jutaan sel saraf. Fungsi sel saraf adalah mengirimkan pesan (impuls) yang berupa rangsang atau tanggapan. Setiap sel saraf terdiri dari satu badan sel yang di dalamnya terdapat sitoplasma dan inti sel seperti pada Gambar 1. Dari badan sel keluar dua macam serabut saraf, yaitu dendrit dan akson (neurit). Setiap sel saraf hanya mempunyai satu akson dan minimal satu dendrit. Kedua serabut saraf ini berisi plasma sel.


(4)

Gambar 1. Bagian sel saraf 7

Pada bagian luar akson terdapat

lapisan lemak disebut myelin yang

merupakan kumpulan sel schwann yang

menempel pada akson. Sel schwann adalah

sel yang membentuk selubung lemak di

seluruh serabut saraf myelin. Membran

plasma sel schwann disebut neurilemma.

Fungsi myelin adalah melindungi dan

memberi nutrisi pada akson. Bagian dari akson yang tidak terbungkus mielin disebut

nodus ranvier.1

2.2 Model Hodgkin-Huxley

Alan Lloyd Hodgkin dan Andrew Fielding Huxley 2,8,9 melakukan percobaan yang bertujuan untuk menghitung fluks ionik dan perubahan permeabilitas membran pada mekanisme molekuler. Kemudian pada percobaan tersebut dikembangkan sebuah model deskripsi kinetik empiris yang cukup sederhana untuk membuat perhitungan praktis dari respon elektrik, namun cukup sesuai untuk memprediksi konduksi dari suatu rangsangan. Model tersebut tidak hanya terdiri dari persamaan matematika tetapi juga menunjukkan fitur utama dari

mekanisme gerbang membran. Model

tersebut kemudian disebut sebagai model Hodgkin-Huxley (model HH).

Model HH menjelaskan bahwa pada membran terdapat saluran-saluran khusus

yang hanya dapat dimasuki oleh ion tertentu. Dua saluran utama membran yaitu saluran potasium (ion K+) dan saluran sodium (ion

Na+) yang bisa menyebabkan potensial aksi,

seperti yang terlihat pada Gambar 2. Kedua saluran tersebut secara hipotesis dipengaruhi oleh tiga variabel yaitu m, h dan n. Variabel m merupakan peluang terbukanya satu rapidly activating channels untuk natrium, sedangkan h adalah peluang terbukanya satu slowly activating channels untuk kalium dan

variabel n yang merupakan peluang

terbukanya satu slowly activating channels untuk natrium.

Gambar 2. Skema potensial aksi 10

Dari grafik hasil simulasi parameter

Hodgkin-Huxley 11 diketahui bahwa m

berubah secara cepat sehingga berpengaruh

terhadap terjadinya depolarisasi

(depolarization) potensial aksi. Kemudian diikuti dengan variabel n yang menyebabkan potensial aksi mencapai puncak, Pada saat

ini, potensial aksi mengalami

hyper-polarization. Variabel h merupakan variabel

yang paling lambat berubah, Variable ini

memiliki peranan sebagai penyebab

potensial aksi turun melebihi batas potensial istirahat.

Sistem persamaan empat variabel dari

Hodgkin-Huxley 2,8,12 adalah sebagai

berikut:

m hg E E n g E E g E E I

dt dV

L L

K K

Na

Na      

 3 4

3 1

... (1)

n

n dt

dn

n

n

 

 1 ... (2)

m

m

dt

dm

m

m

1

... (3)

h

h

dt

dh

h

h


(5)

Keterangan :

V adalah potensial membran.

I adalah arus ionik total yang melewati membran.

m adalah probabilitas salah satu dari tiga partikel aktivasi yang diperlukan untuk berkontribusi dalam aktivasi gerbang Na.

m3 adalah probabilitas ketiga partikel

aktivasi yang telah menghasilkan sebuah channel terbuka.

h adalah probabilitas satu partikel yang tidak aktif yang tidak menyebabkan gerbang Na menutup.

adalah konduktansi sodium maksimal.

E adalah potensial membran total.

ENa adalah potensial membran Na.

n adalah probabilitas salah satu dari empat

partikel aktivasi yang telah

mempengaruhi keadaan dari gerbang K.

adalah konduktansi potassium maksimal.

EK adalah potensial membran K.

adalah maksimal leakage conductance.

EL adalah potensial membran leakage.

αm adalah kontanta untuk partikel yang tidak

mengaktifkan gerbang.

βm adalah konstanta untuk partikel yang

mengaktifkan gerbang.

2.3 Model FitzHugh-Nagumo

Richard FitzHugh dan Nagumo

membuat suatu model dengan cara

menyederhanakan sistem empat variabel model HH tersebut menjadi sistem dua variabel sehingga lebih mudah untuk dianalisa. Sifat model ini mirip dengan model Hodgkin-Huxley secara kualitatif.

Model FitzHugh-Nagumo dapat

diaproksimasikan secara kualitatif. Bentuk persamaannya adalah sebagai berikut:

 

x

y

I

f

dt

dx

... (5)

y

bx

dt

dy

... (6)

  

x

x

a

x



x

1

f

... (7)

dengan 0 < a <1 dan b, adalah konstanta

positif.5 Berdasarkan aproksimasi ini

FitzHugh 3 membuat persamaan yang

berasal dari persamaan umum osilasi teredam, yaitu:

0

2 2

 

x

dt dx k dt

x

d ... (8)

k merupakan konstanta redaman

FitzHugh menggunakan persamaan Van der

Pool 13 yaitu merubah konstanta damping

dengan fungsi kuadrat:

2

1

0

2 2

x

dt

dx

x

c

dt

x

d

... (9) c merupakan konstanta positif.

Untuk mendapatkan sistem dua variabel dilakukan transformasi dengan metode

Lienard 14, dan didapatkan model

FitzHug-Nagumo sebagai berikut :

    

 

c y x x I

dt dx

3 3

... (10)

x

a

by

c

dt

dy

... (11) Keterangan :

a dan b merupakan konstanta positif.

Variabel x berperan sebagai potensial

membran V pada model HH

Variabel y berperan sebagai variabel m, n, dan h pada model HH

2.4 Model Matematika Sel Saraf Terkopel

Model saraf terkopel yang penulis gunakan ini berdasarkan model matematika

dari Hindmarsh-Rose 15, dimana pada model

Hindmarsh-Rose menambahkan fungsi

kopel pada salah satu sistem persamaan diferensialnya, seperti terlihat di bawah ini:

 

n

j

j ij s s i j

i

x

x

V

g

c

x

x

h

1

,

... (12)

Dimana

merupakan kopel dari sinapsis

yang dimodelkan dengan fungsi sigmoid

dengan memiliki ambang batas potensial aksi di setiap sel saraf.

 

s j j

x

x

exp

1

1

... (13) adalah batas ambang yang dicapai setiap potensial aksi sel saraf. Sel saraf seharusnya identik dan sinapsis yang cepat. Pada model

Hindmarsh-Rose parameter = 0.17 sesuai

dengan kekuatan kopling dari sinapsis.

Karena sinapsis merupakan exitatory maka

potensial pembalik ( ) harus lebih besar

daripada untuk semua nilai i dan t.

Dari pengetahuan ini, model matematika yang akan dibuat adalah sebagai berikut:


(6)

 

 

     

  

  

n

j

j ij s s i i

i i

i c y x x I x V g c x

dt dx

1 3

3

... (14)

x a by

c

dt dy

i i

i ... (15)

 

j s j

x

x

exp

1

1

... (16)

adalah matrik penghubung yang

elemennya memenuhi syarat sebagai berikut:

jika i dan j saling terhubung

jika i dan j tidak saling terhubung

i = 1,2,3...,n, j = 1,2,3....,n

Pada model ini diasumsikan arah

perambatan impuls itu bidirection yaitu

impuls bisa merambat dua arah. Misalkan rangsangan terjadi pada bagian tengah kumpulan sel saraf, maka arah impuls bisa ke kanan dan ke kiri. Tetapi fokus perambatan yang dipelajari dalam model ini hanya dari efector menuju receptor. Seperti perambatan dari ujung garis (dalam hal ini efector) yang tersusun dari kumpulan beberapa sel saraf ke ujung satunya (receptor ).

2.5 Mekanisme Penghantar Impuls 2.5.1 Penghantaran Impuls Melalui Sel

Saraf

Penghantaran impuls yang berupa rangsangan atau tanggapan melalui serabut saraf dapat terjadi karena adanya perbedaan potensial listrik antara bagian luar dan bagian dalam sel saraf. Pada waktu sel saraf beristirahat, kutub positif terdapat di bagian luar dan kutub negatif terdapat di bagian dalam sel saraf. Rangsangan pada indra

manusia menyebabkan terjadinya

pembalikan perbedaan potensial listrik sesaat, perubahan potensial ini terjadi berurutan sepanjang serabut saraf. Bila impuls telah lewat maka untuk sementara serabut sel saraf tidak dapat dilalui oleh impuls lagi, karena terjadi perubahan potensial kembali seperti semula (potensial istirahat). Untuk dapat berfungsi kembali diperlukan waktu sekitar 0,001 sampai 0,002 detik.16

Rangsangan yang kurang kuat atau dibawah batas ambang (threshold) tidak akan menghasilkan impuls yang dapat merubah potensial listrik, atau dengan kata lain tubuh tidak merespon rangsangan tersebut. Tetapi bila kekuatan rangsangan

tersebut di atas threshold maka impuls akan dihantarkan sampai ke ujung sel saraf.

2.5.2 Penghantaran Impuls Melalui

Sinapsis

Titik pertemuan antara terminal akson salah satu sel saraf dengan sel saraf

lain dinamakan sinapsis. Setiap terminal

akson membengkak membentuk tonjolan sinapsis. Di dalam sitoplasma tonjolan

sinapsis terdapat struktur kumpulan

membran kecil berisi neurotransmitter yang

disebut vesikula sinapsis. Sel saraf yang

berakhir pada tonjolan sinapsis disebut

neuron pra-sinapsis. Membran ujung dendrit dari sel berikutnya yang membentuk

sinapsis disebut post-sinapsis. Bila impuls

sampai pada ujung sel saraf, maka vesikula bergerak dan melebur dengan membran

pra-sinapsis. Kemudian vesikula akan

melepaskan neurotransmitter berupa

asetilkolin. Neurontransmitter adalah suatu zat kimia yang dapat menyeberangkan

impuls dari neuron pra-sinapsis ke

post-sinapsis. Neurontransmitter ada

bermacam-macam misalnya asetilkolin yang terdapat di seluruh tubuh, noradrenalin terdapat di sistem saraf simpatik, dan dopamin serta serotonin yang terdapat di otak. Asetilkolin

berdifusi melewati celah sinapsis dan

menempel pada receptor yang terdapat pada

membran post- sinapsis. Penempelan

asetilkolin pada receptor menimbulkan

impuls pada sel saraf berikutnya. Bila asetilkolin sudah melaksanakan tugasnya

maka akan diuraikan oleh enzim

asetilkolinesterase yang dihasilkan oleh

membran post-sinapsis.16

2.6 Metode Ode45

Persamaan diferensial biasa pada MATLAB bisa diselesaikan dengan metode ode45. Metode ini merupakan implementasi dari Runge-Kutta dengan variabel waktu sebagai iterasi.

Metode Runge-Kutta 17 secara umum


(7)

... (17) Pendekatan solusi dengan menggunakan metode Runge-Kutta orde-4 adalah :

... (18)

Sedangkan untuk mendapatkan nilai yang lebih baik untuk solusi tersebut digunakan metode Runge-Kutta orde 5 sebagai berikut:

... (19)

Sedangkan untuk metode ode45 18 sintak

umum pada MATLAB sebagai berikut :

[t, y] = ode45(„fname‟, tspan, y0);

Keterangan :

Fname : Nama fungsi dari Mfile yang digunakan, biasanya didefinisikan sebagai berikut : function dydt = fname(t, y)

tspan : dua elemen vektor yang

mendefinisikan rentang dari

waktu awal dan waktu akhir.

y0 : vektor dari kondisi awal untuk

variabel y

Simpan dengan nama file

subinagumo.m, untuk mejalankan program tersebut ketik pada command window :

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di

Laboratorium Fisika Teori dan Komputasi, Departemen Fisika, FMIPA, IPB dari bulan September 2010 sampai Januari 2011.

[t, s] = ode45(„subinagumo‟, [1 30], [0 0]); Plot (t, s(:,1));

Hasil simulasinya adalah sebagai berikut :

0 5 10 15 20 25 30

-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

Waktu(ms)

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)

Contoh program model satu sel saraf sebagai berikut :

function dsdt =subinagumo(t,s)

dsdt = zeros(size(s));

% parameter

a = 0.7; b = 0.8; c = 3; I = -0.35;

x = s(1); % kondisi awal x

y = s(2); % kondisi awal y % persamaan diferensialnya

dsdt(1) = c*(x+y-x^3/3+I); % pers 22


(8)

... (17) Pendekatan solusi dengan menggunakan metode Runge-Kutta orde-4 adalah :

... (18)

Sedangkan untuk mendapatkan nilai yang lebih baik untuk solusi tersebut digunakan metode Runge-Kutta orde 5 sebagai berikut:

... (19)

Sedangkan untuk metode ode45 18 sintak

umum pada MATLAB sebagai berikut :

[t, y] = ode45(„fname‟, tspan, y0);

Keterangan :

Fname : Nama fungsi dari Mfile yang digunakan, biasanya didefinisikan sebagai berikut : function dydt = fname(t, y)

tspan : dua elemen vektor yang

mendefinisikan rentang dari

waktu awal dan waktu akhir.

y0 : vektor dari kondisi awal untuk

variabel y

Simpan dengan nama file

subinagumo.m, untuk mejalankan program tersebut ketik pada command window :

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di

Laboratorium Fisika Teori dan Komputasi, Departemen Fisika, FMIPA, IPB dari bulan September 2010 sampai Januari 2011.

[t, s] = ode45(„subinagumo‟, [1 30], [0 0]); Plot (t, s(:,1));

Hasil simulasinya adalah sebagai berikut :

0 5 10 15 20 25 30

-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

Waktu(ms)

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)

Contoh program model satu sel saraf sebagai berikut :

function dsdt =subinagumo(t,s)

dsdt = zeros(size(s));

% parameter

a = 0.7; b = 0.8; c = 3; I = -0.35;

x = s(1); % kondisi awal x

y = s(2); % kondisi awal y % persamaan diferensialnya

dsdt(1) = c*(x+y-x^3/3+I); % pers 22


(9)

3.2 Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah laptop dengan

processor AMD Turion X-2 (2.2 GHz), 3

GB RAM. Software yang digunakan dalam

penelitian ini adalah MS. Office 2007 dan MATLAB R2010b. Pada penelitian ini

penulis menggunakan sumber pustaka

berupa jurnal-jurnal ilmiah neuron dan

buku-buku tentang neuron.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian ini adalah

pembuatan sebuah program simulasi

sederhana dari model satu sel saraf FitzHugh-Nagumo (persamaan 10 dan 11)

menggunakan software MATLAB R2010b.

Selanjutnya membuat model matematika sel saraf terkopel beserta simulasinya. Setelah itu simulasi ini dibandingkan dengan simulasi satu sel saraf FitzHugh-Nagumo, apabila perilakunya sudah sama selanjutnya dianalisis sifat fisis dari penjalaran impuls pada sel saraf terkopel tersebut.

3.3.1 Studi pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk

memahami proses dinamika impuls dalam sel saraf sehingga memudahkan perancangan program simulasinya. Kemudian melihat hubungan antara grafik-grafik yang akan dihasilkan dalam simulasi dengan sifat fisis dari sel saraf itu sendiri. Adanya studi pustaka ini akan membantu penulis dalam menganalisa hasil yang di dapat dalam simulsi sel saraf tersebut.

3.3.2 Analisa numerik

Analisa ini dilakukan karena model yang didapatkan pada perancangan model sel saraf ini merupakan sistem dua

persamaan diferensial autonomous, dimana

pada persamaan ini sangat sulit untuk diselesaikan secara analitik. Model yang dibuat berbentuk persamaan diferensial biasa, sehingga metode numerik yang akurat adalah Runge Kutta orde 45 atau ode45.

3.3.3 Analisa sifat fisis model yang telah dibuat

Analisa ini dilakukan dengan melihat hasil simulasi yang diperoleh dari model yang telah dibuat tersebut. Ini dilakukan untuk mengetahui penjalaran impuls yang sebenarnya. Selain itu juga digunakan untuk

memperkirakan arus eksternal yang dapat

direspon oleh tubuh.

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Simulasi Model Satu Sel Saraf

Hasil simulasi model satu sel saraf dari Fitzhugh-Nagumo untuk I = 0 samapai

0,35 μA dapat dilihat pada Gambar 3 sampai

7. Nilai parameter a = 0,7; b = 0,8; dan c =

3, nilai parameter ini dipilih sama dengan

nilai pada simulasi yang dilakukan

Fitzhugh.3

Gambar 3. Hasil simulasi model satu sel saraf FitzHugh-Nagumo dengan I = 0 μA.

Gambar 3 menunjukan simulasi sebelum ada arus eskternal, terlihat tidak ada impuls yang menjalar sehingga berakibat potensial aksi dari sel saraf lama-kelamaan akan menuju ke keadaan istirahat atau sering di sebut potensial istirahat. Hal ini dapat dijelaskan seperti tubuh manusia yang tidak mendapatkan rangsang dari luar maka tubuh juga tidak akan melakukan respon apapun. Oleh karena itu, simulasi ini sudah bisa menjelaskan keadaan normal dari tubuh manusia yang belum mendapatkan rangsang dari luar.

Gambar 4. Hasil simulasi model satu sel saraf FitzHugh-Nagumo dengan I = 0,2 μA.

0 5 10 15 20 25 30

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8

Waktu(ms)

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)

0 5 10 15 20 25 30

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)


(10)

3.2 Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah laptop dengan

processor AMD Turion X-2 (2.2 GHz), 3

GB RAM. Software yang digunakan dalam

penelitian ini adalah MS. Office 2007 dan MATLAB R2010b. Pada penelitian ini

penulis menggunakan sumber pustaka

berupa jurnal-jurnal ilmiah neuron dan

buku-buku tentang neuron.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian ini adalah

pembuatan sebuah program simulasi

sederhana dari model satu sel saraf FitzHugh-Nagumo (persamaan 10 dan 11)

menggunakan software MATLAB R2010b.

Selanjutnya membuat model matematika sel saraf terkopel beserta simulasinya. Setelah itu simulasi ini dibandingkan dengan simulasi satu sel saraf FitzHugh-Nagumo, apabila perilakunya sudah sama selanjutnya dianalisis sifat fisis dari penjalaran impuls pada sel saraf terkopel tersebut.

3.3.1 Studi pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk

memahami proses dinamika impuls dalam sel saraf sehingga memudahkan perancangan program simulasinya. Kemudian melihat hubungan antara grafik-grafik yang akan dihasilkan dalam simulasi dengan sifat fisis dari sel saraf itu sendiri. Adanya studi pustaka ini akan membantu penulis dalam menganalisa hasil yang di dapat dalam simulsi sel saraf tersebut.

3.3.2 Analisa numerik

Analisa ini dilakukan karena model yang didapatkan pada perancangan model sel saraf ini merupakan sistem dua

persamaan diferensial autonomous, dimana

pada persamaan ini sangat sulit untuk diselesaikan secara analitik. Model yang dibuat berbentuk persamaan diferensial biasa, sehingga metode numerik yang akurat adalah Runge Kutta orde 45 atau ode45.

3.3.3 Analisa sifat fisis model yang telah dibuat

Analisa ini dilakukan dengan melihat hasil simulasi yang diperoleh dari model yang telah dibuat tersebut. Ini dilakukan untuk mengetahui penjalaran impuls yang sebenarnya. Selain itu juga digunakan untuk

memperkirakan arus eksternal yang dapat

direspon oleh tubuh.

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Simulasi Model Satu Sel Saraf

Hasil simulasi model satu sel saraf dari Fitzhugh-Nagumo untuk I = 0 samapai

0,35 μA dapat dilihat pada Gambar 3 sampai

7. Nilai parameter a = 0,7; b = 0,8; dan c =

3, nilai parameter ini dipilih sama dengan

nilai pada simulasi yang dilakukan

Fitzhugh.3

Gambar 3. Hasil simulasi model satu sel saraf FitzHugh-Nagumo dengan I = 0 μA.

Gambar 3 menunjukan simulasi sebelum ada arus eskternal, terlihat tidak ada impuls yang menjalar sehingga berakibat potensial aksi dari sel saraf lama-kelamaan akan menuju ke keadaan istirahat atau sering di sebut potensial istirahat. Hal ini dapat dijelaskan seperti tubuh manusia yang tidak mendapatkan rangsang dari luar maka tubuh juga tidak akan melakukan respon apapun. Oleh karena itu, simulasi ini sudah bisa menjelaskan keadaan normal dari tubuh manusia yang belum mendapatkan rangsang dari luar.

Gambar 4. Hasil simulasi model satu sel saraf FitzHugh-Nagumo dengan I = 0,2 μA.

0 5 10 15 20 25 30

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8

Waktu(ms)

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)

0 5 10 15 20 25 30

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)


(11)

Gambar 5. Hasil simulasi model satu sel saraf FitzHugh-Nagumo dengan I = 0,3 μA.

Gambar 6. Hasil simulasi model satu sel saraf FitzHugh-Nagumo dengan I = 0,35 μA.

Ketika arus eksternal diterapkan ke dalam sel saraf tubuh, impuls (rangsangan) tersebut akan direspon oleh sel saraf tubuh atau tidak direspon oleh sel saraf tubuh, tergantung dari berapa besar arus yang diterapkan. Seperti seseorang yang dipukul sangat keras pasti akan memberikan respon

pada rangsangan itu, tetapi lain halnya jika orang yang tertepa angin yang sangat pelan belum tentu orang tersebut merespon rangsangan tersebut. Atau dengan kata lain ada batas minimal dari arus yang dapat direspon oleh seseorang. Berdasarkan hasil simulasi ini terlihat bahwa ketika arus yang

diterapkan itu sebesar 0.2 μA maka

penjalaran impuls itu belum terjadi seperti pada Gambar 4. Ketika arus yang diterapkan itu 0.3 μA sudah ada sedikit osilasi tapi masih dalam bentuk osilasi teredam seperti Gambar 5, artinya rangsangan ini belum mendapat respon dari tubuh. Tetapi ketika arusnya sebesar 0.35 μA mulai terjadi osilasi yang tidak teredam, hal ini menunjukan impuls itu mulai menjalar dan rangsangan sebesar ini dapat direspon oleh tubuh. Tetapi sebenarnya yang mempengaruhi respon terhadap rangsang itu tidak hanya arus dari luar tubuh saja, kondisi tubuh juga sangat berpengaruh, misalkan orang yang sakit dengan yang sehat akan mengalami respon yang berbeda, tetapi dalam simulasi ini hanya dibahas pengaruh arus saja. Mungkin

untuk penelitian lebih lanjut bisa

ditambahkan faktor-faktor tersebut.

4.2 Model Matematika Sel Saraf Terkopel

4.2.1 Model Dua Sel Saraf Terkopel

Matriks

0

1

1

0

2

C

Sistem persamaan diferensial terkopel yang terbentuk:



2 1

3 1 1 1 1

exp 1

1 17

. 0

3 I x V x

x x y c dt dx

s

s

     

 

   

x a by

c

dt dy

1 1

1   



1 2

3 2 2 2 2

exp 1

1 17

. 0

3 I x V x

x x y c dt dx

s

s

     

 

   

x a by

c dt

dy

2 2

2    ... (20)

0 5 10 15 20 25 30

-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

Waktu(ms)

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)

0 5 10 15 20 25 30

-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)


(12)

4.2.2 Model Tiga Sel Saraf Terkopel Matriks

0

1

1

1

0

1

1

1

0

3

C

Sistem persamaan diferensial terkopel yang terbentuk :



                         3 2 1 3 1 1 1 1 exp 1 1 exp 1 1 17 . 0

3 I x V x x

x x y c dt dx s s s

x a by

c

dt dy

1 1

1    



                           3 1 2 3 2 2 2 2 exp 1 1 exp 1 1 17 . 0

3 I x V x x

x x y c dt dx s s s

x a by

c

dt dy

2 2

2    



                           2 1 3 3 3 3 3 3 exp 1 1 exp 1 1 17 . 0

3 I x V x x

x x y c dt dx s s s

x a by

c dt

dy

3 3

3    ... (21)

4.2.3 Model Empat Sel Saraf Terkopel

Matriks

0

1

1

1

1

0

1

1

1

1

0

1

1

1

1

0

4

C

Sistem persamaan diferensial terkopel yang terbentuk :



                               4 3 2 1 3 1 1 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 17 . 0

3 I x V x x x

x x y c dt dx s s s s

x a by

c dt

dy

1 1

1    



                               4 3 1 2 3 2 2 2 2 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 17 . 0

3 I x V x x x

x x y c dt dx s s s s

x a by

c dt

dy

2 2


(13)



                               4 2 1 3 3 3 3 3 3 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 17 . 0

3 I x V x x x

x x y c dt dx s s s s

x a by

c dt

dy

3 3

3   



                               3 2 1 4 3 4 4 4 4 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 17 . 0

3 I x V x x x

x x y c dt dx s s s s

x a by

c

dt dy

4 4

4   

... (22)

4.2.4 Model Delapan Sel Saraf Terkopel

Matriks

0

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

0

8

C

Sistem persamaan diferensial terkopel yang terbentuk :



                                                           8 7 6 5 4 3 2 1 3 1 1 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 17 . 0 3 x x x x x x x V x I x x y c dt dx s s s s s s s s

x a by

c dt

dy

1 1

1   



                                                           8 7 6 5 4 3 1 2 3 2 2 2 2 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 17 . 0 3 x x x x x x x V x I x x y c dt dx s s s s s s s s

x a by

c

dt dy

2 2


(14)



                                                            s s s s s s s s s x x x x x x x V x I x x y c dt dx 8 7 6 5 4 2 1 3 3 3 3 3 3 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 17 . 0 3

x a by

c dt

dy

3 3

3   



                                                           7 6 5 4 3 2 1 8 3 8 8 8 8 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 17 . 0 3 x x x x x x x V x I x x y c dt dx s s s s s s s s

x a by

c dt

dy

8 8

8

... (23)

4.2.5 Model Enam Belas Sel Saraf Terkopel

Matriks C16 adalah sebagai berikut :

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

16

C


(15)

Sistem persamaan diferensial terkopel yang terbentuk :                                                                                                                                        16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 3 1 1 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 17 . 0 3 x x x x x x x x x x x x x x x V x I x x y c dt dx s s s s s s s s s s s s s s s s

x a by

c

dt dy

1 1

1    



                                                                                                        16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 1 2 3 2 2 2 2 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 17 . 0 3 x x x x x x x x x x x x x x x V x I x x y c dt dx s s s s s s s s s s s s s s s s

x a by

c

dt dy

2 2

2   

                                                                                                                                       16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 2 1 3 3 3 3 3 3 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 17 . 0 3 x x x x x x x x x x x x x x x V x I x x y c dt dx s s s s s s s s s s s s s s s s

x a by

c

dt dy

3 3

3    



                                                                                     15 14 13 12 11 10 9 8 4 3 2 1 16 3 16 16 16 16 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 exp 1 1 17 . 0 3 x x x x x x x x x x x x V x I x x y c dt dx s s s s s s s s s s s s s

x a by

c

dt dy

16 16

16   


(16)

4.3 Hasil Simulasi Model Sel Saraf Terkopel

Hasil simulasi model sel saraf terkopel ( Persamaan 20 sampai 24 ) dapat dilihat pada Gambar 7 sampai 9 untuk model dua sel saraf terkopel, Gambar 10 sampai 12 untuk model tiga sel saraf terkopel, Gambar 13 sampai 15 untuk model empat sel saraf terkopel, Gambar 16 sampai 18 untuk model delapan sel saraf terkopel, Gambar 19 sampai 21 untuk model enam belas sel saraf terkopel. Nilai parameter a=0,7; b=0,8; c =

3; =2 mV; dan =-0,25 mV, nilai

parameter ini diambil berdasarkan simulasi yang dilakukan Fitzhugh 3 dan Belykh.17

4.3.1 Hasil simulasi dua sel saraf terkopel

Gambar 7. Hasil simulasi model dua sel saraf terkopel dengan I = 0 μA.

Gambar 8. Hasil simulasi model dua sel saraf terkopel dengan I = 0,4 μA.

Gambar 9. Hasil simulasi model dua sel saraf terkopel dengan I = 0,41 μA.

Hasil simulasi dua sel saraf terkopel yang telah dibuat memiliki bentuk grafik yang sama dengan model satu sel saraf FitzHugh-Nagumo. Hal ini menunjukkan bahwa model yang dibuat sudah bisa memenuhi perilaku sel saraf. Oleh karena itu, selanjutnya dilakukan analisa hasil simulasinya. Hasil simulasi model dua sel saraf terkopel ini dapat dilihat pada Gambar 7 sampai 9, dimana ketika tidak ada arus eksternal impuls tidak menjalar seperti pada Gambar 7. Ketika arus yang diterapkan 0,4

μA, impuls sudah terjadi sedikit osilasi teredam. Artinya rangsangan dengan arus sebesar ini belum mendapatkan respon dari tubuh. Ketika arus yang diterapkan 0,41 μA

impuls mulai menjalar dan hal ini

menunjukan bahwa rangsangan dengan arus sebesar itu telah direspon oleh tubuh.

4.3.2 Hasil Simulasi Tiga Sel Saraf Terkopel

Gambar 10. Hasil simulasi model tiga sel saraf terkopel dengan I = 0 μA.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 -2

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

Waktu(ms)

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0

0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)

Waktu(ms)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 -2

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)

Waktu(ms)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0

0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8

Waktu(ms)

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V


(17)

Gambar 11. Hasil simulasi model tiga sel saraf terkopel dengan I = 0,4 μA.

Gambar 12. Hasil simulasi model tiga sel saraf terkopel dengan I = 0,47 μA.

Gambar 10 menunjukan tidak ada arus eksternal dan impuls belum menjalar. Ketika arus yang diterapkan 0,4 μA, impuls belum menjalar. Artinya rangsangan dengan arus sebesar ini belum mendapatkan respon dari tubuh.Ketika arus yang diterapkan 0,47

μA impuls mulai menjalar seperti Gambar

12. Hal ini menunjukan bahwa rangsangan dengan arus sebesar itu telah direspon oleh tubuh.

4.3.3 Hasil Simulasi Empat Sel Saraf Terkopel

Gambar 13. Hasil simulasi model empat sel saraf terkopel dengan I = 0 μA.

Gambar 14. Hasil simulasi model empat sel saraf terkopel dengan I = 0,5 μA

Gambar 15. Hasil simulasi model empat sel saraf terkopel dengan I = 0,54 μA.

Gambar 13 menunjukan tidak ada arus eksternal dan impuls belum menjalar. Ketika arus yang diterapkan 0,5 μA, impuls belum menjalar.Ketika arus yang diterapkan

0,54 μA impuls mulai menjalar seperti

Gambar 15. Hal ini menunjukan bahwa rangsangan dengan arus sebesar itu telah direspon oleh tubuh.

4.3.4 Hasil Simulasi Delapan Sel Saraf Terkopel

Gambar 16. Hasil simulasi model delapan sel saraf terkopel dengan I = 0 μA.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 -2

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

Waktu(ms)

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 -2

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)

Waktu(ms)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0

0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8

Waktu(ms)

P

ot

en

si

al

a

ks

i(m

V

)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 -2

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

Waktu(ms)

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 -2

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)

Waktu(ms)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0

0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8

Waktu(ms)

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V


(18)

Gambar 17. Hasil simulasi model delapan sel saraf terkopel dengan I = 0,55 μA.

Gambar 18. Hasil simulasi model delapan sel saraf terkopel dengan I = 0,81 μA.

Gambar 16 menunjukan tidak ada arus eksternal dan impuls belum menjalar. Ketika arus yang diterapkan 0,55μA, impuls belum menjalar. Ketika arus yang diterapkan

0,81 μA impuls mulai menjalar seperti

Gambar 18. Hal ini menunjukan bahwa arus minimal yang dapat direspon oleh tubuh adalah 0,81 μA.

4.3.5 Hasil Simulasi Enam Belas Sel Saraf Terkopel

Gambar 19. Hasil simulasi model enam belas sel saraf terkopel dengan I = 0 μA.

Gambar 20. Hasil simulasi model enam belas sel saraf terkopel dengan I = 1 μA.

Gambar 21. Hasil simulasi model enam belas sel saraf terkopel dengan I = 1,4 μA.

Gambar 19 menunjukan tidak ada arus eksternal dan impuls belum menjalar. Ketika arus yang diterapkan 1 μA, impuls belum menjalar.Ketika arus yang diterapkan

1,4 μA impuls mulai menjalar seperti

Gambar 21. Hal ini menunjukan bahwa rangsangan dengan arus sebesar itu telah direspon oleh tubuh.

4.4 Analisa Model Sel Saraf Terkopel

Berdasarkan simulasi sel saraf

terkopel yang diperoleh terlihat bahwa semakin banyak sel saraf terkopel maka arus minimal yang dapat direspon tubuh juga semakin bertambah besar. Dari model yang telah dibuat didapatkan hasil simulasi untuk menentukan arus minimal yang dapat direspon oleh tubuh. Dari hasil simulasi dua sel saraf terkopel sampai enam belas sel saraf terkopel terlihat kenaikan arus minimal yang dapat direspon tubuh itu sekitar 0,06

μA. Hal ini bisa digunakan untuk

memperkirakan arus minimal yang dapat direspon tubuh pada sel saraf sebenarnya. Misalkan pada tubuh jumlah sel saraf yang bekerja pada penghataran impuls ada satu juta, maka dapat dicari arus minimalnya agar dapat direspon oleh tubuh. Hal ini dapat

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 -1.5

-1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)

Waktu(ms)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 -2

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)

Waktu(ms)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0

0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8

Waktu(ms)

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 -0.2

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V

)

Waktu(ms)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 -2

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

Waktu(ms)

P

o

te

n

s

ia

l

a

k

s

i(

m

V


(19)

dianalogikan jika untuk satu sel saraf arus minimalnya 0,06 μA, maka untuk satu juta sel saraf sekitar 0,06 A. Jadi rangsangan yang datang dari luar tubuh yang memiliki

arus sebesar 0,06 A akan direspon oleh

tubuh, sedangkan rangsangan yang arusnya kurang dari itu tidak akan direspon oleh tubuh.

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Model matematika untuk sel saraf terkopel yang dibuat telah sesuai dengan perilaku sel saraf. Hal ini dapat dilihat dari hasil simulasi model sel saraf terkopel tersebut memiliki hasil simulasi yang sama dengan model satu sel saraf FitzHugh-Nagumo. Model FitzHugh-Nagumo ini yang menjadi acuan model yang dibuat pada skripsi ini, karena model FitzHugh-Nagumo ini telah diakui oleh banyak ilmuwan.

Simulasi satu sel saraf ini hanya bisa menjelaskan perilaku satu sel saraf, karena di dalam tubuh yang berperan dalam penjalaran impuls itu tidak hanya satu sel saraf saja, melainkan banyak sel saraf. Oleh karena itu, model sel saraf terkopel yang dibuat lebih bisa menjelaskan perilaku sel

saraf sebenarnya dalam merespon

rangsangan.

Hasil simulasi satu sel saraf terkopel menunjukan bahwa arus minimal agar

impuls dapat direspon yaitu 0,35 μA.

Sedangkan hasil simulasi untuk sel saraf terkopel menujukan hasil arus yang semakin besar dengan semakin banyak model sel saraf yang digunakan. Untuk model dua sel saraf terkopel arus minimal agar impuls dapat direspon yaitu 0,41 μA, untuk model tiga sel saraf terkopel arus minimalnya yaitu

0,47 μA, untuk model empat sel saraf

terkopel arus minimalnya yaitu 0,54 μA,

untuk model delapan sel saraf terkopel

membutuhkan arus minimal 0,81 μA agar

bisa merespon impuls tersebut, sedangkan untuk model enam belas sel saraf terkopel

membutuhkan arus minimal 1,4 μA untuk

meresponnya.

Hasil simulasi sel saraf terkopel ini menunjukan peningkatan arus minimal agar bisa merespon impuls tersebut. Dimana peningkatan arus ini sekitar 0,06 μA setiap

penambahan satu sel saraf. Oleh karena itu dengan menganggap bahwa jumlah sel saraf

dalam tubuh yang berperan dalam

penghantaran impuls itu sekitar satu juta sel saraf maka dapat diprediksi arus minimal agar impuls dapat direspon oleh tubuh sekitar 0,06 A, sedangkan arus yang kurang dari itu tidak akan mendapat respon dari tubuh.

5.2 Saran

Simulasi ini hanya membahas mekanisme respon saraf secara umum, yaitu dalam merespon rangsang dari luar sel saraf dalam kondisi sama untuk semua tubuh

manusia. Pada simulasi ini tidak

memperhitungkan kondisi tubuh manusia itu, misalkan tubuh dalam keadaan sehat atau tidak. Karena kondisi tubuh dalam keadaan sehat dan kurang sehat akan merespon rangsang secara berbeda. Untuk

penelitian selanjutnya bisa membuat

simulasi model saraf dengan memperhatikan

faktor-faktor tersebut. Sehingga akan

didapatkan sebuah simulasi yang lebih komplek dan banyak mewakili peristiwa yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk melakukan simulasi ini

minimal digunakan komputer dengan

processor pentium 4, 1GB RAM. Untuk mendapatkan grafik yang lebih bagus pada

MATLAB R2010b disarankan

menggunakan komputer dengan processor

diatas pentium 4, 2GB RAM. Hal ini selain bisa mendapatkan grafik yang lebih bagus juga memepercepat running program.

DAFTAR PUSTAKA

1. Oswari, S. (2008). Model

Matematika Penjalaran Impuls Saraf pada Satu Sel Saraf di Subthalamik Nukleus. Bandung, 1-3.

2. Hodgkin, A. L. & Huxley, A. F.

(1952). A Quantitative Description Of Membranecurrent and Application to Conduction and Excitation in Nerve. J. Physiol, 117, 500-544.

3. FitzHugh, R. (1961). Impuls and

Physiology States in Theoritical

Models of Nerve Membran.

Biophysical, 1, 445-447.

4. Izhikevich, E. M. (2002). Dynamical

System in Neuroscience : The


(20)

SIMULASI PROPAGASI IMPULS PADA SEL SARAF

TERKOPEL MENGGUNAKAN MODEL

FITZHUGH-NAGUMO

SUBIYANTO

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(21)

dianalogikan jika untuk satu sel saraf arus minimalnya 0,06 μA, maka untuk satu juta sel saraf sekitar 0,06 A. Jadi rangsangan yang datang dari luar tubuh yang memiliki

arus sebesar 0,06 A akan direspon oleh

tubuh, sedangkan rangsangan yang arusnya kurang dari itu tidak akan direspon oleh tubuh.

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Model matematika untuk sel saraf terkopel yang dibuat telah sesuai dengan perilaku sel saraf. Hal ini dapat dilihat dari hasil simulasi model sel saraf terkopel tersebut memiliki hasil simulasi yang sama dengan model satu sel saraf FitzHugh-Nagumo. Model FitzHugh-Nagumo ini yang menjadi acuan model yang dibuat pada skripsi ini, karena model FitzHugh-Nagumo ini telah diakui oleh banyak ilmuwan.

Simulasi satu sel saraf ini hanya bisa menjelaskan perilaku satu sel saraf, karena di dalam tubuh yang berperan dalam penjalaran impuls itu tidak hanya satu sel saraf saja, melainkan banyak sel saraf. Oleh karena itu, model sel saraf terkopel yang dibuat lebih bisa menjelaskan perilaku sel

saraf sebenarnya dalam merespon

rangsangan.

Hasil simulasi satu sel saraf terkopel menunjukan bahwa arus minimal agar

impuls dapat direspon yaitu 0,35 μA.

Sedangkan hasil simulasi untuk sel saraf terkopel menujukan hasil arus yang semakin besar dengan semakin banyak model sel saraf yang digunakan. Untuk model dua sel saraf terkopel arus minimal agar impuls dapat direspon yaitu 0,41 μA, untuk model tiga sel saraf terkopel arus minimalnya yaitu

0,47 μA, untuk model empat sel saraf

terkopel arus minimalnya yaitu 0,54 μA,

untuk model delapan sel saraf terkopel

membutuhkan arus minimal 0,81 μA agar

bisa merespon impuls tersebut, sedangkan untuk model enam belas sel saraf terkopel

membutuhkan arus minimal 1,4 μA untuk

meresponnya.

Hasil simulasi sel saraf terkopel ini menunjukan peningkatan arus minimal agar bisa merespon impuls tersebut. Dimana peningkatan arus ini sekitar 0,06 μA setiap

penambahan satu sel saraf. Oleh karena itu dengan menganggap bahwa jumlah sel saraf

dalam tubuh yang berperan dalam

penghantaran impuls itu sekitar satu juta sel saraf maka dapat diprediksi arus minimal agar impuls dapat direspon oleh tubuh sekitar 0,06 A, sedangkan arus yang kurang dari itu tidak akan mendapat respon dari tubuh.

5.2 Saran

Simulasi ini hanya membahas mekanisme respon saraf secara umum, yaitu dalam merespon rangsang dari luar sel saraf dalam kondisi sama untuk semua tubuh

manusia. Pada simulasi ini tidak

memperhitungkan kondisi tubuh manusia itu, misalkan tubuh dalam keadaan sehat atau tidak. Karena kondisi tubuh dalam keadaan sehat dan kurang sehat akan merespon rangsang secara berbeda. Untuk

penelitian selanjutnya bisa membuat

simulasi model saraf dengan memperhatikan

faktor-faktor tersebut. Sehingga akan

didapatkan sebuah simulasi yang lebih komplek dan banyak mewakili peristiwa yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk melakukan simulasi ini

minimal digunakan komputer dengan

processor pentium 4, 1GB RAM. Untuk mendapatkan grafik yang lebih bagus pada

MATLAB R2010b disarankan

menggunakan komputer dengan processor

diatas pentium 4, 2GB RAM. Hal ini selain bisa mendapatkan grafik yang lebih bagus juga memepercepat running program.

DAFTAR PUSTAKA

1. Oswari, S. (2008). Model

Matematika Penjalaran Impuls Saraf pada Satu Sel Saraf di Subthalamik Nukleus. Bandung, 1-3.

2. Hodgkin, A. L. & Huxley, A. F.

(1952). A Quantitative Description Of Membranecurrent and Application to Conduction and Excitation in Nerve. J. Physiol, 117, 500-544.

3. FitzHugh, R. (1961). Impuls and

Physiology States in Theoritical

Models of Nerve Membran.

Biophysical, 1, 445-447.

4. Izhikevich, E. M. (2002). Dynamical

System in Neuroscience : The


(1)

Lampiran 2. Rencana Kegiatan Penelitian

Kegiatan

Bulan september 2010-Januari 2011

Sep

Okt

Nov

Des

Jan

Penelusuran litertur

Penyusunan proposal usulan penelitian dan

kolokium

Pembuatan program simulasi satu sel saraf

Pembuatan program simulasi sel saraf

terkopel

Analisa akhir

Penyusunan laporan

Lampiran 3. Rencana Anggaran Penelitian

No

Penggunaan

Biaya (Rupiah)

1.

Penelusuran literatur

200.000,00

2.

Alat dan bahan penelitian

300.000,00

3.

Kolokium dan seminar hasil

500.000,00

4.

Penyusunan laporan

500.000,00

Total

1.500.000,00

Lampiran 4.

Source Code

dengan

software

Matlab

Satu sel saraf

function dsdt =subinagumo(t,s) dsdt = zeros(size(s));

% parameter a = 0.7; b = 0.8; c = 3; I = -0.35; x = s(1); y = s(2);

% persamaan diferensialnya dsdt(1) = c*(x+y-x^3/3+I); dsdt(2) = -(x-a+b*y)/c;

Dua sel saraf terkopel

function dsdt =subinagumocouple2(t,s) dsdt = zeros(size(s));

% parameter a = 0.7; b = 0.8; c = 3;


(2)

I =-0.45;%-1.45 Ts= -0.25; Vs= 2; k = 1; gs= 0.17; x1 = s(1); y1 = s(2); x2 = s(3); y2 = s(4);

% persamaan diferensialnya

dsdt(1) = c*(x1+y1-x1^3/3+I)-(x1-Vs)*gs*(1+exp(-k*(x2-Ts)))^(-1); dsdt(2) = -(x1-a+b*y1)/c;

dsdt(3) = c*(x2+y2-x2^3/3+I)-(x2-Vs)*gs*(1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1); dsdt(4) = -(x2-a+b*y2)/c;

Tiga sel saraf terkopel

function dsdt =subinagumocouple3(t,s) dsdt = zeros(size(s));

% parameter a = 0.7; b = 0.8; c = 3;

I =-0.5;%-1.5 Ts= -0.25; Vs= 2; k = 1; gs=0.17;

x1 = s(1); y1 = s(2); x2 = s(3); y2 = s(4); x3 = s(5); y3 = s(6);

% persamaan diferensialnya

dsdt(1) = c*(x1+y1-x1^3/3+I)-(x1-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x2-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x3-Ts)))^(-1));

dsdt(2) = -(x1-a+b*y1)/c;

dsdt(3) = c*(x2+y2-x2^3/3+I)-(x2-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x3-Ts)))^(-1));

dsdt(4) = -(x2-a+b*y2)/c;

dsdt(5) = c*(x3+y3-x3^3/3+I)-(x3-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x2-Ts)))^(-1));

dsdt(6) = -(x3-a+b*y3)/c;

Empat sel saraf terkopel

function dsdt =subinagumocouple4(t,s) dsdt = zeros(size(s));

% parameter a = 0.7; b = 0.8; c = 3;

I =-0.55;%-1.6 Ts= -0.25; Vs= 2; k = 1; gs=0.17; x1 = s(1); y1 = s(2); x2 = s(3); y2 = s(4); x3 = s(5); y3 = s(6);


(3)

x4 = s(7); y4 = s(8);

% persamaan diferensialnya

dsdt(1) = c*(x1+y1-x1^3/3+I)-(x1-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x2-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x3-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1));

dsdt(2) = -(x1-a+b*y1)/c;

dsdt(3) = c*(x2+y2-x2^3/3+I)-(x2-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x3-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1));

dsdt(4) = -(x2-a+b*y2)/c;

dsdt(5) = c*(x3+y3-x3^3/3+I)-(x3-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x2-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1));

dsdt(6) = -(x3-a+b*y3)/c;

dsdt(7) = c*(x4+y4-x4^3/3+I)-(x4-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x2-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x3-Ts)))^(-1));

dsdt(8) = -(x4-a+b*y4)/c;

Delapan sel saraf terkopel

function dsdt =subinagumocouple8(t,s) dsdt = zeros(size(s));

% parameter a = 0.7; b = 0.8; c = 3; I =-0.81; Ts= -0.25; Vs= 2; k = 1; gs= 0.17; x1 = s(1); y1 = s(2); x2 = s(3); y2 = s(4); x3 = s(5); y3 = s(6); x4 = s(7); y4 = s(8); x5 = s(9); y5 = s(10); x6 = s(11); y6 = s(12); x7 = s(13); y7 = s(14); x8 = s(15); y8 = s(16); x9 = s(17); y9 = s(18);

% persamaan diferensialnya

dsdt(1) = c*(x1+y1-x1^3/3+I)-(x1-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x2-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x3- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8-Ts)))^(-1));

dsdt(2) = -(x1-a+b*y1)/c;

dsdt(3) = c*(x2+y2-x2^3/3+I)-(x2-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x3- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8-Ts)))^(-1));

dsdt(4) = -(x2-a+b*y2)/c;

dsdt(5) = c*(x3+y3-x3^3/3+I)-(x3-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x2- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8-Ts)))^(-1));

dsdt(6) = -(x3-a+b*y3)/c;

dsdt(7) = c*(x4+y4-x4^3/3+I)-(x4-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x2- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x3-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8-Ts)))^(-1));

dsdt(8) = -(x4-a+b*y4)/c;

dsdt(9) = c*(x5+y5-x5^3/3+I)-(x5-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x2- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8-Ts)))^(-1));


(4)

dsdt(11) = c*(x6+y6-x6^3/3+I)-(x6-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x2- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8-Ts)))^(-1));

dsdt(12) = -(x6-a+b*y6)/c;

dsdt(13) = c*(x7+y7-x7^3/3+I)-(x7-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x2- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8-Ts)))^(-1));

dsdt(14) = -(x7-a+b*y7)/c;

dsdt(15) = c*(x8+y8-x8^3/3+I)-(x8-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x2- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1));

dsdt(16) = -(x8-a+b*y8)/c;

Enam belas sel saraf terkopel

function dsdt =subinagumocouple16(t,s) dsdt = zeros(size(s));

% parameter a = 0.7; b = 0.8; c = 3; I =-1.4; Ts= -0.25; Vs= 2; k = 1; gs= 0.17; x1 = s(1); y1 = s(2); x2 = s(3); y2 = s(4); x3 = s(5); y3 = s(6); x4 = s(7); y4 = s(8); x5 = s(9); y5 = s(10); x6 = s(11); y6 = s(12); x7 = s(13); y7 = s(14); x8 = s(15); y8 = s(16); x9 = s(17); y9 = s(18); x10 = s(19); y10 = s(20); x11 = s(21); y11 = s(22); x12 = s(23); y12 = s(24); x13 = s(25); y13 = s(26); x14 = s(27); y14 = s(28); x15 = s(29); y15 = s(30); x16 = s(31); y16 = s(32);

% persamaan diferensialnya

dsdt(1) = c*(x1+y1-x1^3/3+I)-(x1-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x2-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x3- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x9- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x10-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x11-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x12- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x13-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x14-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x15-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x16-Ts)))^(-1));

dsdt(2) = -(x1-a+b*y1)/c;

dsdt(3) = c*(x2+y2-x2^3/3+I)-(x2-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x3- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x9- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x10-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x11-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x12- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x13-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x14-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x15-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x16-Ts)))^(-1));


(5)

dsdt(5) = c*(x3+y3-x3^3/3+I)-(x3-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x2- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x9- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x10-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x11-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x12- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x13-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x14-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x15-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x16-Ts)))^(-1));

dsdt(6) = -(x3-a+b*y3)/c;

dsdt(7) = c*(x4+y4-x4^3/3+I)-(x4-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x2- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x3-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x9- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x10-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x11-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x12- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x13-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x14-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x15-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x16-Ts)))^(-1));

dsdt(8) = -(x4-a+b*y4)/c;

dsdt(9) = c*(x5+y5-x5^3/3+I)-(x5-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x2- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x9- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x10-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x11-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x12- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x13-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x14-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x15-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x16-Ts)))^(-1));

dsdt(10) = -(x5-a+b*y5)/c;

dsdt(11) = c*(x6+y6-x6^3/3+I)-(x6-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x2- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x9- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x10-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x11-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x12- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x13-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x14-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x15-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x16-Ts)))^(-1));

dsdt(12) = -(x6-a+b*y6)/c;

dsdt(13) = c*(x7+y7-x7^3/3+I)-(x7-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x2- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x9- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x10-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x11-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x12- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x13-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x14-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x15-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x16-Ts)))^(-1));

dsdt(14) = -(x7-a+b*y7)/c;

dsdt(15) = c*(x8+y8-x8^3/3+I)-(x8-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x2- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x9- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x10-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x11-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x12- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x13-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x14-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x15-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x16-Ts)))^(-1));

dsdt(16) = -(x8-a+b*y8)/c;

dsdt(17) = c*(x9+y9-x9^3/3+I)-(x9-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x2- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x10-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x11-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x12- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x13-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x14-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x15-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x16-Ts)))^(-1));

dsdt(18) = -(x9-a+b*y9)/c;

dsdt(19) = c*(x10+y10-x10^3/3+I)-(x10-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(- k*(x2-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x9-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x11-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x12- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x13-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x14-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x15-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x16-Ts)))^(-1));

dsdt(20) = -(x10-a+b*y10)/c;

dsdt(21) = c*(x11+y11-x11^3/3+I)-(x11-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(- k*(x2-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x9-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x10-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x12- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x13-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x14-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x15-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x16-Ts)))^(-1));

dsdt(22) = -(x11-a+b*y11)/c;

dsdt(23) = c*(x12+y12-x12^3/3+I)-(x12-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(- k*(x2-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x9-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x10-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x11- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x13-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x14-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x15-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x16-Ts)))^(-1));

dsdt(24) = -(x12-a+b*y12)/c;

dsdt(25) = c*(x13+y13-x13^3/3+I)-(x13-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(- k*(x2-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8-


(6)

Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x9-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x10-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x11- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x12-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x14-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x15-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x16-Ts)))^(-1));

dsdt(26) = -(x13-a+b*y13)/c;

dsdt(27) = c*(x14+y14-x14^3/3+I)-(x14-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(- k*(x2-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x9-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x10-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x11- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x12-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x13-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x15-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x16-Ts)))^(-1));

dsdt(28) = -(x14-a+b*y14)/c;

dsdt(29) = c*(x15+y15-x15^3/3+I)-(x15-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(- k*(x2-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x9-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x10-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x11- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x12-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x13-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x14-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x16-Ts)))^(-1));

dsdt(30) = -(x15-a+b*y15)/c;

dsdt(31) = c*(x16+y16-x16^3/3+I)-(x16-Vs)*gs*((1+exp(-k*(x1-Ts)))^(-1)+(1+exp(- k*(x2-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x4-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x5- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x6-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x7-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x8- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x9-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x10-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x11- Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x12-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x13-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x14-Ts)))^(-1)+(1+exp(-k*(x15-Ts)))^(-1));