Latar Belakang Masalah KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN PADA SISWA LOW VISION.

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Membaca merupakan suatu kebutuhan yang fundamental bagi seorang siswa, karena kegiatan membaca merupakan prasyarat dalam menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Berbagai ilmu pengetahuan memerlukan keterampilan membaca untuk mendapatkan ilmu yang ada di dalamnya sehingga ia memiliki dan memahami ilmu. Di dalam konteks jenjang pendidikan, penguasaan ilmu dapat menyebabkan seseorang mencapai jejang pendidikan yang lebih tinggi. Itu pun dikarenakan, salah satunya, dengan keterampilan membaca, sebaliknya, ketidak mampuan membaca akan menemui kesulitan dalam menempuh jenjang pendidikannya. Oleh karena itu, menurut Lerner Abdurahman, 1999 ‘anak harus belajar membaca agar ia dapat membaca untuk belajar’. Belajar membaca bukan hanya hak seseorang tapi hak semua orang, Siapa pun berhak belajar membaca, tidak dibatasi usia, latar belakang ekonomi sosial, dan budaya serta tidak pula dibatasi oleh “kondisi cacat tidak cacat”. Begitu pula bagi siswa low vision, merka juga berhak untuk belajar membaca dan berhak memperoleh pengetahuan melalui keterampilan membaca yang dimilikinya. Hanya saja, bagi proses belajar membaca bagi siswa low vision berbeda dengan siswa lainnya. Rahardja 2006 menyatakan bahwa “pembelajaran membaca bagi siswa low vision sebenarnya berbeda 2 dengan anak pada umumnya meskipun bisa saja ia belajar membaca menggunakan huruf awas”. Pembelajaran membaca bagi siswa low vision tidak sesederhana seperti pada siswa yang memiliki indera visual normal karena gangguan pada fungsi visual yang disandang siswa low vision akan berdampak pada kemampuan di dalam membacanya serta dalam proses belajarnya pun akan berbeda.. Seperti yang dinyatakan Daugherty, 1977; Fellenius, 1999; Gompel, van Bon, Schreuder, Adriaansen, 2002, bahwa: “A substantial amount of research has indicated that the reading development of children with low vision lags behind that of children with normal vision”. Sehubungan dengan hal tersebut, pembelajaran membaca permulaan pada siswa low vision akan membutuhkan penanganan khusus seperti penggunaan alat bantu visual, media pembelajaran, aksesibilitas lingkungan, dan sebagainya. Lebih jelas lagi dijelaskan oleh Hosni 1998 mengenai beberapa hal yang berpengaruh terhadap kemampuan belajar membaca pada siswa low vision antara lain: 1 kondisi siswa low vision, 2 kondisi lingkungan belajar, 3 sarana yang digunakan dalam kegiatan membaca permulaan, 4 pelaksanaan kegiatan pembelajaran membaca permulaan itu sendiri. Kondisi-kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca siswa low vision. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan disebuah Sekolah Luar Biasa di kabupaten Kuningan yang selanjutnya disebut SLB X, dalam 3 proses pembelajaran membaca, kenyataan dilapangan kurang memperhatikan kondisi-kondisi sebagaimana dipaparkan di atas. Kondisi tersebut sering luput dari perhatian. Proses belajar membaca tersebut sangat sedikit mempertimbangkan kondisi kekhususan siswa low vision, terkadang jarang menggunakan media yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Saat studi pendahuluan dilakukan, ditemukan beberapa siswa low vision yang mengalami hambatan dalam membaca permulaan, meskipun mereka telah duduk di kelas V, bahkan diantara mereka ada yang duduk di kelas VII dan kelas VIII. Siswa tersebut diduga masih memiliki sisa penglihatan yang cukup untuk membaca dengan huruf yang diperuntukan untuk yang awas. Jika guru mempertimbangkan kondisi kemampuan yang telah dimiliki oleh siswa maka guru tidak akan memaksakan anak belajar membaca huruf Braille. Dampak dari tidak mempertimbangkan kemampuan yang sudah dimiliki, diantaranya siswa tersebut sering mogok apabila dihadapkan pada tugas yang harus dibaca. Tugas itu ditulis dengan tulisan Braille. Saat ini, dalam pembelajaran membaca bagi seluruh siswa di sekolah tersebut menggunakan media braille termasuk siswa-siswa low vision. Tidak ada media yang digunakan untuk mendukung anak-anak low vision dalam proses pembelajaran membaca permulaan, walaupun sebenarnya sekolah ini memiliki beberapa media yang bisa digunakan untuk siswa low vision, seperti CCTV Cicuit Close Tele Visi, bermacam-macam magnifier, dan beberapa alat bantu lainnya. Menurut keterangan guru-guru yang dipaparkan pada peneliti, siswa-siswa low vision yang mengalami hambatan dalam membaca 4 permulaan telah diberikan bantuan dengan menggunakan berbagai media tersebut namun siswa merasa tidak nyaman menggunakannya, dan akhirnya mereka belajar tanpa menggunakan media tetapi menggunakan media-media untuk siswa tunanetra total termasuk buku-buku pelajaran semuanya menggunakan huruf braille. Kondisi tersebut seharusnya menjadi data penting bagi guru untuk melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan belajar siswa low vision. Kondisi-kondisi keterbatasan media, kompetensi, dan lain-lain jangan hanya dijadikan bahan keluhan namun perlu dijadikan tantangan sehinga guru akan berpikir positif dan optimis. Sebagai guru yang baik tentunya ketika berpikir positif maka kondisi itu menjadi data kemampuan dan keterbatasan yang ada akan dijadikan profil atau setidaknya gambaran umum kondisi-kondisi yang mendukung pada kemampuan membaca permulaan siswa low vision. Tidak sedikit guru yang melupakan profil kemampuan awal tersebut, sehingga guru sering mengeluh merasa kesulitan mengajar membaca kepada siswa low vision. Guru juga merasa tidak ada perkembangan kemampuan membaca dari anak didiknya itu. Berdasarkan kondisi-kondisi yang telah dipaparkan di atas maka ketika siswa low vision mengalami kesulitan dalam belajar membaca permulaan diduga dikarenakan tidak terpenuhinya kondisi-kondisi yang melatar belakangi keterampilan membaca siswa low vison. Ternyata kondisi-kondisi tersebut cukup berpengaruh pada pencapaian keterampilan membaca siswa 5 low vision. Misalnya, siswa low vision yang siap belajar membaca huruf awas namun layanan pembelajaran yang diberikan adalah membaca huruf Braille maka akan ada penolakan dari siswa tersebut yang akhirnya siswa tidak berminat dan tidak mampu belajar membaca Braille. Berdasarkan paparan di atas, melalui penelitian ini, secara sistematis dan terarah, penulis merasa tertarik untuk melihat kondisi objektif mengapa tiga orang siswa ini mengalami masalah dalam membaca permulaan ditinjau dari sudut pandang kondisi yang melatar belakanginya.

B. Fokus Penelitian