BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi jangka panjang tidak selalu harus diarahkan pada sektor industri. Tetapi dapat juga diarahkan pada sektor lain, salah satunya
adalah seperti sektor pertanian dan perkebunan. Sebagai negara agraris dan kaya akan sumber daya alamnya, sektor
pertanian dan perkebunan di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk terus dikembangkan. Karena lebih dari setengah penduduk Indonesia
hidup di daerah pedesaan dan mengandalkan sektor tersebut. Bank dunia world bank pun pernah menyarankan kepada pemerintah agar lebih
menitikberatkan investasi di sektor tersebut, mengingat sebagian besar penduduk miskin berada di pedesaan.
1
Sehingga secara otomatis akan mampu menekankan angka kemiskinan.
Karet adalah salah satu sektor perkebunan andalan Indonesia dan merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi dalam upaya
peningkatan devisa Indonesia. Luas area perkebunan karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari 3,2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Diantaranya 85 merupakan perkebunan karet milik rakyat, 7 perkebunan besar negara dan 8 perkebunan besar milik swasta.
1
Mohammad Nur Salim, “Nasib Petani di negeri Agraris”, SINDO, 14 Februari 2009, h. 20
Jumlah tersebut masih akan bisa ditingkatkan lagi dengan memaksimalkan lahan-lahan kosong dan melakukan peremajaan terhadap
tanaman-tanaman tua di beberapa wilayah penghasil karet di Indonesia, seperti di Sumatera dan Kalimantan.
2
Selain itu, peluang bisnis perkebunan karet semakin menggiurkan mengingat pertumbuhan ekonomi dan teknologi dunia yang cukup pesat
selama 10 tahun terakhir, terutama di Asia Pasifik dan Amerika latin. Sehingga berdampak terhadap tingginya permintaan karet alam.
Namun meningkatnya permintaan karet alam dunia belum tentu dapat diikuti oleh kemampuan para produsen dalam memenuhi kebutuhan tersebut,
karena kenaikan produksi hanya mampu berkisar 2 – 3 pertahun, sedangkan tingkat permintaan karet alam diperkirakan akan terus meningkat dari tahun ke
tahun sekitar 4 pertahunnya.
3
Tingginya defisit karet di dunia dapat menyebabkan lonjakan harga yang pesat.
Peluang-peluang tersebut yang kemudian membuat industri-industri keuangan konvensional melirik dan berlomba-lomba berburu untung dalam
bisnis perkebunan karet. Sedangkan industri keuangan syariah dengan produk murabahah pun ikut bermain dan bersaing bersama industri keuangan
konvensional dalam berburu di sektor perkebunan karet. Salah satu contoh daerah tersebut adalah usaha perkebunan karet di
kecamatan lubuk raja. Secara geografis lubuk raja merupakan salah satu
2
Chairil Anwar, “Perkembangan Pasar dan Prospek Agribisnis Karet di Indonesia”, Makalah Diakses Pada 15 Februari 2009 dari www.ipard.com
3
Efan, “Siap-Siap Meraup Untung dari Karet di Tahun 2008” Media Perkebunan, Edisi 62 Maret 2008: h. 8
kecamatan yang ada di kabupaten OKU yang memiliki prospek pengembangan perkebunan karet yang sangat potensial. Berdasarkan data dari
dinas perhutanan dan perkebunan kecamatan Lubuk Raja bahwa luas areal perkebunan karet baru di kecamatan tersebut mencapai 9.300,5 ha. Luas
tanaman menghasilkan TM mencapai 5.067,75 ha. Luas tanaman belum menghasilkan TBM mencapai 2.787,75 ha. Luas tanaman tua atau tanaman
rusak TTTR mencapai 1.445,5 ha. Sedangkan tingkat produksi mencapai 6.569,54 ton per bulan.
4
Harga lateks perkilogramnya dalam kondisi normal berkisar antara Rp 9.000 – 15.000.
Harga karet mentah sangat fluktuatif karena bergantung kepada tingkat permintaan terutama negara-negara industri. Namun pada masa krisis gobal
seperti yang terjadi pada bulan november 2008 lalu harga karet terjun bebas mencapai sekitar Rp 3.500 per kilogramnya.
5
Namun demikian, harga karet akan cepat pulih dan meningkat seiring dengan membaiknya kondisi
perekonomian dunia. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Lubuk Raja merupakan
masyarakat yang masih kental dengan tradisi keagamaan. Sehingga peranan ketokohanulama mempunyai andil yang cukup besar dalam kehidupan
mereka. Dari keterangan-keterangan di atas, maka seharusnya bank syariah dapat
berkembang pesat dan menjadi solusi dalam pemenuhan kebutuhan modal
4
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kecamatan Lubuk Raja, Rekapitulasi Luas Areal dan Produksi Tanaman Perkebunan Rakyat Kecamatan Lubuk Raja OKU, 10 Januari 2009
5
Wawancara pribadi dengan tengkulak lateks di desa Battuwinangun kecamatan Lubuk Raja Kabupaten OKU Sumsel, 10 Januari 2009
kerja bagi para pengusaha perkebunan rakyat di Lubuk Raja. Apalagi mengingat telah banyak fatwa MUI dan sosialisasi yang berkaitan dengan
perbankan syariah. Begitu juga dengan margin dan fasilitas pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan syariah pun cukup ringan dan bersaing.
Namun demikian, masih sedikit pengusaha perkebunan karet rakyat di Lubuk Raja yang menggunakan jasa keuangan syariah sebagai mitra dalam
memenuhi kebutuhan permodalan mereka masih sedikit. Hal ini sebagaimana hasil dari tanya jawab penulis dengan pihak pemerintah penyuluh pertanian
dishutbun mengenai pengusaha perkebunan rakyat yang menggunakan produk pembiayaan modal kerja bank syariah di Battuwinangun.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai kendala penerapan bank syariah di OKU
Sumatera Selatan yang ditinjau dari respon pengusaha perkebunan karet terhadap terhadap eksistensi bank syariah.
Hal menarik lain yang penulis temukan adalah berdasarkan dari penelitian yang pernah dilakukan oleh IPB yang bekerjasama dengan Bank
Indonesia tahun 2004 mengenai potensi pengembangan perbankan syariah di Sumatera Selatan menunjukkan bahwa kabupaten OKU merupakan daerah
kedua yang memiliki potensi tertinggi dalam pengembangan perbankan syariah di Sumatera Selatan. Selain itu, pemerintah melalui departemen
pertanian dan departemen kehutanan pun mulai aktif dalam mensosialisasikan program pembiayaan perkebunan yang dapat digunakan oleh para pelaku
usaha perkebunan dan prosedur pengajuannya, baik dengan sistem syariah maupun konvensional melalui berbagai media cetak dan elektronik.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah