Implan diletakkan baik simultan dengan cangkok antrostomi lateral tahap 1 atau setelah periode tertunda hingga 12 bulan untuk memberikan kematangan cangkok
antrostomi lateral tahap 2. Ketebalan tulang awal pada tepi alveolar terlihat dapat menjadi indikator yang dipercaya dalam menentukan antara kedua metode ini. Jika
ketebalan tulang 4 mm atau kurang, stabilitas implan awal akan terganggu. Oleh karena itu, antrostomi lateral tahap 2 sebaiknya yang dilakukan. Kebalikan dalam
prosedur tahap 1, prosedur ini dapat memakan waktu lebih singkat baik bagi klinisi maupun pasien. Akan tetapi teknik ini lebih sensitif dan kesuksesannya berdasarkan
jumlah tulang residual.
17
3.2. Pendekatan krista Crestal Approach
Satu kelemahan dari antrostomi lateral adalah membutuhkan pembukaan flep besar dalam akses bedahnya. Summers mengusulkan pendekatan krista konservatif
menggunakan osteotom pada elevasi dasar sinus maksila pada 1994.
17
Pada mulanya teknik yang diperkenalkan Summers ini digunakan untuk pengisian jaringan lunak
tulang pada rahang atas. Cara tersebut dapat menambah stabilitas implan. Hal yang merupakan garansi kesuksesan yang baik. Kemudian menggunakan kelenturan tulang,
Summers mulai mendilatasi dasar sinus untuk menambah panjang implannya yang tertanam di tulang.
11,17
Universitas Sumatera Utara
Gambar 7. Sinus lift dengan dilatasi, tanpa mengganggu integritas dari sinus. Abadzhiev M. Alternative sinus lift techniques literature review. Journal of IMAB.
2009: 23 – 27.
Summers mengembangkan tekniknya menggunakan fraktur dasar sinus sebagai osteotom dan meletakkan bahan cangkok melalui lubang tersebut.
11
Gambar 8. Teknik osteotomi dari Summers. Abadzhiev M. Alternative sinus lift techniques literature review. Journal of IMAB. 2009: 23 – 27.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 9. Osteotom Summers. Abadzhiev M. Alternative sinus lift techniques literature review. Journal of IMAB.
2009: 23 – 27.
Teknik ini dimulai dengan insisi krista. Flep ketebalan penuh dinaikkan untuk menunjukkan tepi alveolar. Setelah dibur, osteotom dimasukkan dari ukuran yang
paling kecil hingga yang besar. Tinggi tulang preoperasi dalam sinus diukur untuk menentukan kedalaman perluasan osteotom yang diharapkan. Tujuannya adalah agar
dalam perluasan dengan osteotom, instrumen hanya menyentuh membran sinus dan tidak menembusnya. Osteotom dari ukuran yang terus ditingkatkan dimasukkan
bertahap untuk memperluas alveolus. Dengan tiap insersi dari tulang osteotom yang besar, tulang ditekan, didorong apikal dan lateral.
17
Summers menyatakan bahwa teknik ini paling alami mengembangkan ketebalan tulang maksila posterior. Sekali osteotom besar telah meluas ke daerah
implan, campuran tulang yang dipreparasi ditambahkan ke osteotom sebagai bahan cangkok. Summers menyarankan 25 tulang autogenus dan 75 campuran
Universitas Sumatera Utara
hidroksiapatit. Tahap akhir elevasi dasar sinus diselesaikan dengan memasukkan kembali osteotom terbesar ke daerah implan dengan bahan cangkok pada tempat
tersebut. Ini menyebabkan campuran tulang tambahan dapat mengerahkan tekanan ke dalam membran sinus dan menaikkannya.
11,17
Penambahan bahan cangkok kemudian ditambahkan dan diratakan untuk mendapatkan jumlah elevasi yang diinginkan. Sekali tinggi didapatkan, implan
dimasukkan. Implan tetap sebaiknya lebih besar diameternya dibandingkan daerah osteotomi yang dibuat dengan osteotomi besar. Ini akan menjadi osteotomi akhir,
“mendirikan” membran sinus maksila yang terelevasi.
17
Keuntungan utama teknik osteotomi krista adalah prosedurnya kurang invasif. Ini menyediakan ketebalan tulang maksila, dimana memberikan stabilitas awal lebih
besar untuk implan. Ini juga memiliki potensi dalam menggunakan bahan cangkok autogenus lebih sedikit. Summers menyarankan insisi krista diperluas ke distal ke
daerah tuberositas dimana tulang autogenus dapat diperoleh. Kekurangan cara ini adalah stabilitas implan awal tidak terbukti jika tinggi tulang residual kurang dari 6
mm. Kesempatan elevasi tinggi yang cukup dengan teknik osteotomi ini terbatas. Dengan pendekatan ini, dapat juga menjadi kesempatan lebih tinggi dalam
ketidaksejajaran panjang aksis osteotom selama oseteotomi bertahap.
17
Universitas Sumatera Utara
BAB 4 EVALUASI PASCAOPERASI