dapat pula ditetapkan di dalam perjanjian bahwa apabila dikemudian hari terjadi perselisihan atau persengketaan di antara keduabelah pihak, keduabelah pihak
telah menetapkan wasit yang diminta untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi tersebut. Dengan demikian dalam hal yang tersebut terakhir ini para pihak telah
menetapkan seseorang atau sesuatu badan “wasit” untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin terjadi di kemudian hari. Di dalam praktek maupun menurut ilmu
hukum, cara pertama disebut “akta kompromi”, sedangkan cara kedua disebut “pactum de compromittendo”.
57
3. Kesulitan-kesulitan yang Dihadapi BASYARNAS
BASYARNAS merupakan lembaga arbitrase yang merupakan lembaga arbitrase yang berperan menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak yang melakukan
akad dalam ekonomi syari’ah, di luar jalur pengadilan, untuk mencapai penyelesaian terbaik ketika upaya musyawarah tidak menghasilkan mufakat. Putusan
BASYARNAS bersifat final dan mengikat binding. Untuk melakukan eksekusi atas putusan tersebut, penetapan eksekusinya diberikan oleh pengadilan negeri setempat.
Akan tetapi dalam melaksanakan fungsinya, BASYARNAS memiliki beberapa persoalan yang cukup mengganggu kinerjanya. Persoalan-persoalan tersebut
antara lain : a.
Sumber daya manusia
57
Muhammad Syafi’i Antonio, Op. cit. hlm. 214-216. Lihat juga M. Tabroni, AZ. Mediasi dan Arbitrase, Makalah, disampaikan pada Pelatihan Kontraktual Magister Studi Islam Universitas
Islam Indonesia, 2007.
Universitas Sumatera Utara
BASYARNAS memang diawaki oleh orang-orang yang relatif sibuk. Yudho Paripurno, Ketua BASYARNAS, adalah anggota DPR dari Partai
Persatuan Pembangunan yang merangkap notaris. Jadwal resminya ke kantor BASYARNAS hanya sekali sebulan, tepatnya hari Jum’at pekan ke-3. Itu pun
belum tentu tiap bulan dia datang ke BASYARNAS. Berdasarkan keterangan sumber hukumonline, dia bahkan pernah dua bulan berturut-turut tidak
menginjakkan kakinya ke BASYARNAS. Yudho sebenarnya dibantu oleh tiga orang wakil ketua. Hanya, ketiganya
tidak jauh beda dengan Yudho. Hidayat Akhyar, Wakil Ketua I, sehari-hari sibuk sebagai pengacara. Fatimah Achyar, Wakil Ketua II, adalah mantan hakim agung
yang lebih sering menghabiskan waktunya di Departemen Kehakiman. Wakil Ketua III adalah Abdul Rahman Saleh, Jaksa Agung RI, yang nyaris tak punya
waktu menyambangi BASYARNAS. Jajaran pengurus harian BASYARNAS yang lain ternyata setali tiga uang.
“Kita ini kan bekerja lillahi ta’ala. Nggak ada gaji”, kata Ahmad Jauhari, Sekretaris BASYARNAS, yang profesi resminya adalah dosen Universitas
Muhammadiyah Jakarta. Bisa jadi faktor gaji itulah yang menyebabkan mereka malas mengurusi BASYARNAS.
Mengenai hal ini, Agustianto, Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, mengungkapkan bahwa restrukturisasi di BASYARNAS merupakan
sebuah keniscayaan. “Bahkan kalau perlu ada penambahan personil”, lanjutnya. Kesibukan para pengurus BASYARNAS ini, kata Agustiono, sedikit banyak
berpengaruh terhadap tidak maksimalnya kinerja BASYARNAS.
Universitas Sumatera Utara
b. Kesulitan dana
Meski bergelut di bidang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, nyatanya BASYARNAS tak bergelimang rupiah. Untuk menutup biaya
operasional saja, BASYARNAS harus menyodorkan proposal permohonan dana dari sejumlah Bank. Kepada Bank Indonesia BI, tahun 2006 BASYARNAS
memohon bantuan senilai Rp. 200 juta. Beruntung, Direktorat Perbankan Syari’ah BI mau mengucurkan dana senilai Rp. 100 juta.
Kecuali BI, bank-bank yang menjadi partner BASYARNAS terbilang pelit membantu operasional BASYARNAS. BTN, Bank DKI, Bank Jabar dan
beberapa bank lainnya yang punya divisi syari’ah, memang bersedia ‘menghibahkan’ dananya ke kas BASYARNAS, tapi angkanya tidak seberapa.
Berdasarkan kalkulasi sumber hukumonline, dana yang diperoleh BASYARNAS dari bank-bank itu, termasuk dari Bank Muamalat, tahun ini jumlahnya tak lebih
dari 200 juta. Yudho Paripurno tak menampik dana yang beredar di BASYARNAS
cukup minim, meski dia tidak mau menyebut angkanya. BASYARNAS sejatinya bisa memanfaatkan pemasukan dari biaya penyelesaian suatu sengketa. Tetapi
alternatif ini tidak bisa dioptimalkan lantaran sangat minimnya jumlah perkara yang masuk dan diselesaikan BASYARNAS. Lebih dari itu, perkara yang
berhasil ditangani BASYARNAS sejauh ini adalah perkara ‘remeh’ yang nominalnya tak lebih dari Rp. 1 miliar. Biaya berperkara di BASYARNAS dapat
dilihat di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1 : Biaya Perkara Di BASYARNAS
Tuntutan kurang dari Rp. 1 M
Tuntutan lebih dari Rp. 1 M
Penunjukan klausula arbitrase Rp. 20.000,-
Rp. 20.000 Pendaftaran perkara
Rp. 300.000,- Rp. 500.000
Komisi untuk arbiter 3 orang 2-6 persen
1 persen Pemanggilan saksi dan ahli
6 persen 1 persen
Soal minimnya dana ini, Agustiono menyarankan agar Depkumham dan MA turut mengulurkan tangan. “BASYARNAS kan membantu tugas pengadilan.
Wajar kalau Depkumham dan MA turut membantu”, ungkapnya. c.
Sosialisasi terhambat Tahun ini, BASYARNAS membuka empat kantor cabang di Surabaya,
Riau, Lampung dan Yogyakarta. Daerah-daerah yang lain, kata Ahmad Jauhari, juga akan menyusul. “Saya sering menagih janji ketua MUI daerah untuk segera
membentuk kantor cabang BASYARNAS di daerah”, cerita Jauhari.
Pembentukan kantor cabang BASYARNAS di daerah boleh jadi adalah solusi terbaik untuk mengimbangi berkembang-pesatnya ekonomi syari’ah.
Lembaga Keuangan Syari’ah LKS sekarang mulai bertebaran, terutama di Jawa dan Sumatera. Hanya, MUI daerah terkesan masih enggan mendirikan kantor
cabang BASYARNAS. “Saya juga heran, padahal dari segi SDM sudah cukup memadai. Di forum rakernas kemarin saya berkali-kali ngomong soal ini”, kata
Jauhari.
Menurut Jauhari, prosedur pendirian kantor cabang BASYARNAS cukup sederhana. MUI daerah menyiapkan SDM, sekretariat dan alat pendukungnya,
Ketua BASYARNAS pusat lantas menerbitkan SK Surat Keputusan. Terlepas dari masih sedikitnya kantor cabang di daerah, BASYARNAS
pusat sendiri tak begitu dikenal masyarakat. Baik Yudho maupun Jauhari mengakui hal ini dan menganggapnya sebagai persoalan utama yang perlu segera
dituntaskan. “Makanya kami sering menggelar seminar atau pertemuan lainnya
Universitas Sumatera Utara
dengan bekerja sama dengan Departemen Agama, perguruan tinggi, dan lain- lain”, tandas Yudho.
58
B. Pilihan Forum Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Pasca
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 1.
Sejarah Terbentuknya Pengadilan Agama
Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan
kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-
undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa kolonial Belanda dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah.
Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Kerajaan Islam Pasai
yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya.
Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir
utara, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan
abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia.
58
http:pmiikomfaksyahum.wordpress.com20070731mengurai-benang-kusut-badan- arbitrase-syariah-nasional-basyarnas
, diakses terakhi tanggal 25 Juni 2009.
Universitas Sumatera Utara
Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin
diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni:
a. Dalam keadaan tertentu, terutama bila tidak ada hakim di suatu wilayah tertentu,
maka dua orang yang bersengketa itu dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Tahkim menundukkan diri kepada seseorang yang
mempunyai otoritas menyelesaikan masaIah hukum hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati
putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had ketentuan hukum yang sudah positif bentuk hukumnya dan tazir kententuan
hukum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat. b.
Bila tidak ada Imam, maka penyerahan wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat dilakukan oleh ahlu al-hally wa al-aqdi lembaga yang mempunyai otoritas
menentukan hukuman, yakni para sesepuh dan ninik mamak dengan kesepakatan.
c. Tauliyah dari Imamah pada dasarnya peradilan yang didasarkan atas pelimpahan
wewenang atau delegation of authority dari kepala negara atau orang-orang yang ditugaskan olehnya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu.
Dengan mengikuti ketiga proses pembentukan peradilan tersebut di atas, dapatlah diduga bahwa perkembangan qadla al-syari peradilan agama di Indonesia
dimulai dari periode tahkim, yakni pada permulaan Islam menginjakkan kakinya di bumi Indonesia dan dalam suasana masyarakat sekeliling belum mengenal ajaran
Universitas Sumatera Utara
Islam, tentulah orang-orang Islam yang bersengketa akan bertahkim kepada ulama yang ada. Kemudian setelah terbentuk kelompok masyarakat Islam yang mampu
mengatur tata kehidupannya sendiri menurut ajaran baru tersebut atau di suatu wilayah yang pernah diperintah raja-raja Islam, tetapi kerajaan itu punah karena
penjajahan, maka peradilan Islam masuk ke dalam periode tauliyah otoritas hukum oleh ahlu al-hally wa al- aqdi.
Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak
dapat dipisahkan. Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama mengalami pasang surut. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan
agama termasuk bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan.
Pada masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri
Belanda, namun kelembagaan ini tidak dapat berjalan Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lSD
dibentuk Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946 Nomor 5SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi
dipindahkan dari Kementrian Kehakiman ke dalam Kementrian Agama. Langkah ini memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam
sebuah wadahbadan yang bersifat nasional. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud- maksud untuk mempersatukan
Universitas Sumatera Utara
administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama.
Dengan keluarnya Undang -undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan
Agama mulai nampak jelas dalam sistem peradilan di Indonesia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Pertama, Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang
Maha Esa; b.
Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Us aha
Negara; c.
Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi. d.
Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang
bersangkutan. e.
Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri.
Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilan-peradilan
lainnya di Indonesia. Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu selalu
dipegang oleh para ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal itu sudah dapat dilihat sejak dari proses pertumbuhan peradilan
Universitas Sumatera Utara
agama sebagai-mana disebut di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan Islam di lingkungan keraton yang membantu
tugas raja di bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran Islam. Demikian pula para personil yang telah banyak berkecimpung dalam penyelenggaraan peradilan
agama adalah ulama-ulama yang disegani, seperti: KH. Abdullah Sirad Penghulu Pakualaman, KH. Abu Amar Penghulu Purbalingga, K.H. Moh. Saubari Penghulu
Tegal, K.H. Mahfudl Penghulu Kutoarjo, KH. Ichsan Penghulu Temanggung, KH. Moh. Isa Penghulu Serang, KH.Mustain Penghulu T1;1ban, dan KH. Moh. Adnan
Ketua Mahkamah Islam Tinggi tiga zaman Belanda, Jepang dan RI. Namun sejak tahun 1970-an, perekrutan tenaga personil di lingkungan peradilan agama khususnya
untuk tenaga hakim dan kepaniteraan mulai diambil dati alumni IAIN dan perguruan tinggi agama.
Dari uraian singkat tentang sejarah perkembangan peradilan agama tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan agama bercita-cita untuk dapat memberikan
pengayoman dan pelayanan hukum kepada masyarakat. Agar pengayoman hukum dan pelayanan hukum tersebut dapat terselenggara dengan baik, diperlukan perangkat
sebagai berikut : a.
Kelembagaan Peradilan Agama yang mandiri sebagaimana lingkungan peradilan yang lain -
yang secara nyata - didukung dengan sarana dan prasarana serta tatalaksana yang memadai dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. Materi Hukum
Universitas Sumatera Utara
Hukum Islam sebagai hukum materiil peradilan agama yang dituangkan dalam ketentuan perundang-undangan yang jelas. Dimulai dengan Kompilasi Hukum
Islam, yang selanjutnya perlu disempurnakan dan dikembangkan, kemudian hukum mengenai shadaqah dan baitul mal segera dibentuk. Demikian pula dengan
hukum formil peradilan agama perlu dikembangkan. c.
Personil Dalam melaksanakan tugas kedinasan ia sebagai aparat penegak hukum yang
profesional, netral tidak memihak dan sebagai anggota masvarakat ia orang yang menguasai masalah keislaman, yang menjadi panutan dan pemersatu
masyarakat sekelilingnya serta punya integritas sebagai seorang muslim.
2. Kompetensi Pengadilan Agama