Peran hakim dalam penanganan sengketa ekonomi syariah pasca undang--undang no.3 Tahun 2006; studi pada Pengadilan Agama Jakarta pusat

(1)

(Studi Pada Pengadilan Agama Jakarta Pusat)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh:

ANGGI NOVITA SARI

NIM: 107044201968

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

PERAN HAKIM DALAM PENANGANAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH PASCA UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2006

(Studi Pada Pengadilan Agama Jakarta Pusat)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

ANGGI NOVITA SARI

NIM: 107044201968

Dibawah Bimbingan: Pembimbing

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA NIP : 195003061976031001

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

EKONOMI SYARIAH PASCA UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2006 (Studi Pada Pengadilan Agama Jakarta Pusat)” Telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 Mei 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program studi Ahwal Al Syakhshiyyah.

Jakarta, 24 Mei 2011

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. M. Amin Suma, S.H., M.A., M.M.

NIP. 195505051982031012

PANITIA SIDANG

Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA (...) NIP : 195003061976031001

Sekretaris : Hj. Rosdiana, MA (...) NIP : 196906102003122001

Penguji I : Dr. H. A. Juaini Syukri, Lsc, MA (...) NIP : 195507061992031001

Penguji II : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag (...) NIP. 19651119 1998031002


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 29 April 2011


(5)

i

KATA PENGANTAR











Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillāhi Rabbil ‘ālamīn tiada henti karena dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini. Shalawat seiring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan pilihan Tuhan khātamul anbiyā’i walmursalīn Muhammad SAW.

Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini. Sehingga skripsi ini dapat selesai dengan maksimal.

Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

ii

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, selaku Ketua Program Studi Ahwal Syakhsiyyah dan Hj. Rosdiana, MA selaku Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah.

3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA selaku pembimbing yang telah membimbing, memberikan arahan dan meluangkan waktu dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.

4. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang selama tiga setengah tahun memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu yang diajarkan bermanfaat serta menjadi keberkahan penulis dalam mengarungi samudera kehidupan.

5. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Para Staf Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang telah meluangkan waktu disela-sela kesibukannya untuk memberikan arahan dan informasi kepada penulis.

7. Kedua orang tua tercinta yang sejak kecil mendidik dan memberikan kasih sayang dan cintanya yang tulus untuk ananda. Terutama ibunda tercinta Titin Sumiyatin yang telah memberikan semangat tiada henti. Teruntuk adikku tersayang Yudi Fransisca Andriyani, terima kasih telah memberikan semangat serta dukungan moril yang begitu berharga.


(7)

iii

8. Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini sehingga dapat selesai dengan maksimal, semoga hasil skripsi ini bisa bermanfaat untuk penulis pribadi khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.

Akhirnya, atas bantuan dan support dari semua pihak baik berupa moril maupun materiil, sampai detik ini penulis panjatkan do’a semoga Allah memberikan balasan yang berlipat dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir hingga yaum al-akhir. Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan bagi kita semua dalam menjalani hari esok, amin.

Jakarta, 25 Jumadil Awal 1432 H

28 April 2011 M


(8)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 11

D. Review Studi Terdahulu ... 12

E. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan ... 14

F. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II EKSISTENSI HAKIM A. Pengertian Hakim ... 19

B. Syarat Menjadi Hakim ... 21

C. Kode Etik Hakim... 26

D. Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim... 29

E. Peran dan Fungsi Hakim ... 32

BAB III KONSEP EKONOMI SYARIAH A. Pengertian Ekonomi Syariah ... 38

B. Prinsip Ekonomi Syariah ... 41

C. Akad Ekonomi Syariah ... 47

D. Tujuan Ekonomi Syariah... 49


(9)

v

BAB IV PERAN HAKIM DAN KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA DALAM PENANGANAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 62

B. Kompetensi Peradilan Agama dalam Perkara Ekonomi Syariah Perspektif Yuridis ... 64

C. Latar Belakang Masuknya Perkara Ekonomi Syariah Dalam Kewenangan Peradilan Agama... 70

D. Problematika Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah ... 75

E. Analisis ... 84

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 89

B. Saran-saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92

LAMPIRAN – LAMPIRAN Pedoman dan Hasil Wawancara ... 99

Permohonan Data dan Wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 102

Keterangan Melakukan Wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 103

Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ... 104


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di masa sekarang ini hukum sedang berkembang, dan terus menerus dibangun, sementara pembangunan hukum tidak bisa meninggalkan rasa hukum masyarakatnya, tentu saja hukum Islam menjadi begitu penting peranannya dalam pembinaan Hukum Nasional Indonesia, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Indonesia yang termasuk negara yang sedang berkembang, mengawali kehidupannya dengan hasrat yang kuat untuk melaksanakan pembangunan untuk melakukan perubahan terhadap situasi kehidupan yang lebih baik, membina agar lebih maju teratur.

Pembangunan, sebagaimana dikonsepsikan di atas, mengisyaratkan adanya perubahan terhadap dasar-dasar kemasyarakatan, baik bersifat struktural maupun kultural. Dasar-dasar kemasyarakatan tersebut, menurut Soerjono Seokanto,1 paling sedikit mencakup: (1) agama, (2) filsafat, (3) ideologi, (4) ilmu pengetahuan, dan (5) teknologi. Dengan demikian, pembangunan Hukum Islam di Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Penjabaran Hukum Islam ke dalam Sistem Hukum Indonesia. 2. Penciptaan serta menyusun kembali lembaga-lembaga hukum baru.

1

Soerjono soekanto, "Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum," Analisis Pendidikan. No.02, Tahun ke-IV (1983), h. 37.


(11)

3. Mengupayakan tentang bagaimana hukum tadi dapat dijalankan dengan efektif.2

Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka upaya pembangunan Hukum Islam akan melibatkan tiga komponen yang mesti diperhitungkan dengan

matang dan cermat, biasa dikenal dengan istilah “Tri Darma Hukum”, yaitu: (1)

komponen perangkat hukum, (2) komponen penegak hukum, dan (3) komponen kesadaran hukum.3Perangkat hukum, secara intrinsik, merupakan refleksi pembuatnya, yaitu mereka yang mempunyai peluang untuk melaksanakan serta mengawasi kekuasaan, “rulling-class”.4 Di satu sisi, Hakim Pengadilan Agama harus memegang teguh perangkat hukum yang berlaku dan diberlakukan. Sedangkan di sisi lain, harus memperhitungkan tingkat kesadaran masyarakat terhadap perangkat hukum tersebut.

Keterlibatan hakim Pengadilan Agama terhadap salah satu ekstrema yang dilaksanakan secara berlebihan dapat mengakibatkan penyimpangan terhadap tujuan

hukum itu sendiri, “keadilan”.Dengan demikian, langsung atau tidak langsung, permasalahan sosial tersebut berhubungan dengan peran yang dimainkan oleh hakim Pengadilan Agama. Hakim Pengadilan Agama memberi dan menentukan prosedur yang harus ditempuh dalam mencapai tujuan yang diharapkan oleh masyarakat. Oleh

2

Deden Effendi, Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama, (Jakarta : Departemen Agama R.I., 1985), h. 2.

3

Daniel S. Lev, Peradilan Agama di Indonesia: Studi tentang Landasan Politik Lembaga-Lembaga Hukum, alih bahasa H. Zaini Ahmad Noeh, (Jakarta: PT Intermasa, 1980), h. 16.

4

Soerjono Soekanto, "Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan hukum," Analisis Pendidikan, h. 40.


(12)

3

karena itu, peranan hakim pengadilan Agama adalah untuk memelihara keselarasan fungsional dari komponen-komponen hukum lainnya. Istilah Peranandalam hal ini, hakim Pengadilan Agama adalah termasuk pelaku dan mempunyai tingkat kebebasan tertentu dalam menyatakan hasrat untuk diakui serta diperhitungkan pengaruhnya sebagai sesuatu hal yang penting dalam masyarakat.5Tugas adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan atau sesuatu yang wajib dikerjakan. Tugas seorang hakim agama adalah memeriksa, mengadili dan memutus perkara, dan fungsinya adalah menegakkan kebenaran dan keadilan. Sedangkan peran hakim adalah menjalankan semua tugas, fungsi dan tanggung jawab yang diembannya.

Sebagaimana halnya profesi advokat, profesi hakim secara konseptual adalah suatu pekerjaan hukum berdasarkan keahlian untuk melayani masyarakat secara independen dengan berdasarkan kode etik dari komunitasnya.6 Profesi hakim sebagai figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Putusan pengadilan yang adil menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara.7 Hukum merupakan salah satu sarana dalam kehidupan bermasyarakat yang bertujuan untuk menciptakan keadilan, ketertiban dan

5

Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam Di Indonesia: Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, h. 15-22.

6

Luhut, M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan Oleh Advokat, (Jakarta: Djambatan, 2005), h. 5.

7Yustanto, “

Pedoman Perilaku Hakim,” artikel diakses 31 Agustus 2007 dari


(13)

ketentraman dalam masyarakat dimana hukum itu berada.8 Sebagaimana kita ketahui bersama profesi hakim sesungguhnya syarat dengan idealisme karena ia dijuluki sebagai officium nobile (profesi yang mulia) yakni yang mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat dan bukan kepada kepentingan sendiri.9 Sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil tidak hanya selalu berkutat pada kepentingan profesi melainkan kepada kepentingan masyarakat.10 Dan paling ideal menjembatani komunikasi antara profesi advokat dengan masyarakat.

Semenjak tumbangnya rezim orde baru pada tahun 1998, perubahan-perubahan mengalami kemajuan yang berarti terutama dibidang ekonomi. Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh kondisi hukum yang ada pada saat sekarang ini11. Ekonomi Islam atau lebih dikenal dengan Ekonomi Syariah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang membantu mewujudkan kesejahteraan manusia melalui alokasi distribusi dan perilaku muslim dengan mengikuti Al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Lembaga keuangan yang melakukan aktivitas ekonomi syariah ini diantaranya ialah perbankan syariah.12

8

Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung, Penerbit alumni, 1997), cet. Ke 4, h. 20.

9

Frens Hendra Winata, Advokat Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), cet. Ke 1,h. 14.

10

Binzaid Kadafi, dkk., Pembentukan Organisasi Advokat Indonesia, Keharusan dan Tantangan, (Jakarta, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2004), cet. Ke 1, h. 12.

11Abdul Gani Abdullah, “

Politik Hukum di Bidang Ekonomi Syariah dan Agenda Legislasi,”

(Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, 2006), h.144.

12

Nadratuzzaman Hosen dan Hasan Ali, Tanya Jawab Ekonomi Syariah, (Jakarta : PKES, April 2007), h. 1-2.


(14)

5

Pada tahun 2003, perbankan syariah diperkirakan akan tumbuh pesat seperti tahun-tahun sebelumnya. Terdapat beberapa faktor yang mengindikasikan hal tersebut. Dari sisi penawaran, adanya rencana penambahan modal dan rencana pembukaan kantor cabang ataupun kantor dibawah kantor cabang dari bank syariah yang beroperasi, diperkirakan akan meningkatkan ekspansi pembiayaan.13 Ada keyakinan yang kuat dikalangan masyarakat Islam bahwa perbankan konvensional mengandung unsur riba yang dilarang agama, sebagaimana rekomendasi hasil lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan yang ditujukan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI), kepada pemerintah dan kepada seluruh umat Islam.14

Disamping itu sejak krisis ekonomi mendera Indonesia pada tahun 1997 hingga sekarang, banyak bank syariah dianggap sebagai bagian dari ekonomi syariah yang tetap sehat. Saat bank-bank konvensional bertumbangan dan tengah dijangkiti virus negative spread15sedangkan bank-bank yang menerapkan prinsip bagi hasil melenggang tanpa beban.

Lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara No.22/2006 dan TLN No. 4611) dan diberlakukan pada tanggal 20 Maret 2006,

13

M. Luthfi Hamidi, Jejak-Jejak Ekonomi Syariah, (Jakarta : Senayan Abadi Publishing, 2003), h. 19.

14

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Deskripsi dan Ilustrasi), (Yogyakarta : ekonisia, 2004), h. 32.

15

Virus negative spread adalah penderitaan kerugian akibat bunga simpanan lebih tinggi dari bunga kredit sehingga Bank Indonesia menerapkan tight money policy (kebijakan uang ketat) dengan menetapkan bunga simpanan mencapai 70 %.


(15)

kewenangan (kompetensi) absolut Peradilan Agama semakin luassesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat muslim Indonesia pada saat ini.16 Hal ini merupakan suatu konsekuensi logis dari pemberlakuan konsep “satu atap

dalam pembinaan lembaga Peradilan di bawah Mahkamah Agung RI”, sebagaimana

diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung RI.

Dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tersebut, di samping merubah ketentuan pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan financial pengadilan oleh Mahkamah Agung seperti diatur pada Pasal 5 (dalam UU No. 7 Tahun 1989 Pasal 5 pembinaan teknis dilakukan oleh Mahkamah Agung RI sedangkan pembinaan non teknis (organisasi, perlengkapan, kepegawaian dan keuangan) dilakukan oleh Departemen Agama), juga yang penting adalah mengatur mengenai penambahan kewenangan lembaga Pengadilan Agama. Hal ini memberikan implikasi positif terhadap pengembangan lembaga Pengadilan Agama di Indonesia. Dalam Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 ditegaskan : “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidangPerkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf,Zakat, Infaq, Shadaqah, danEkonomi Syari’ah."17

16

M. Luthfi Hamidi, Jejak-Jejak Ekonomi Syariah, h. 59.

17


(16)

7

Dalam pasal 49 sampai pasal 53 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dijelaskan tentang kewenangan dan kekuasaan mengadili yang menjadi beban tugas Pengadilan Agama.18

Reformasi hukum tersebut membawa atmosfir baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini dalam praktiknya, sebelum amandemen UU No. 7 Tahun 1989, penegakan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang merupakan terjemahan dari Burgelijk Wetboek (BW). Kitab Undang-undang hukum sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di tanah jajahan Hindia-Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga konsep perikatan dalam hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktik formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku adalah BW19.

Dengan adanya tambahan kewenangan memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah bagi lembaga Peradilan Agama, di samping

merupakan peluang, namun juga sekaligus tantangan. Peluangnya adalah “undang -undang telah memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk menangani

perkara ekonomi syari’ah”, yang mendapat dukungan dari para ulama, cendekiawan

dan masyarakat Islam pada umumnya yang menghendaki sekaligus menaruh harapan

18

A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), h. 142.

19Agustianto, “

Urgensi Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam,” Artikel diakses 31 Agustus 2009 dari http://www.pesantrenvirtual.com/index.php.


(17)

besar agar sengketa ekonomi syari’ah dapat ditangani oleh Pengadilan Agama dengan baik. Sedangkan tantangannya adalah mampukah para hakim Pengadilan Agama

menangani perkara ekonomi syari’ah secara cepat, sederhana dan biaya ringan serta

adil sesuai dengan amanat undang-undang.

Dalam kaitan inilah penerapan sengketa hak milik versi Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama harus proporsional sesuai dengan asas Lex Postriori Derogat Lex Priori.20 Adapun bunyi pasal 50 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut :

Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana yang dimaksud dalam pasal (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan bersama-sama perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49.21

Kompetensi lemabaga Peradilan Agama dalam perkara ekonomi syariah kemudian diperteguh oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah (UUPS) yang memberikan kompetensi kepada lembaga Peradilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah. Pada dasarnya, Undang-Undang Perbankan Syariah tersebut memiliki orientasi dan tujuan untuk mewadahi kehendak masyarakat beragama, terutama masyarakat Islam di Indonesia agar mau menggunakan akses perbankan. Sebelum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan

20

M. Luthfi Hamidi, Jejak-Jejak Ekonomi Syariah, h. 136.

21


(18)

9

Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 diberlakukan, arbitrase syariah merupakan salah satu lembaga penyelesaian perkara antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi syariah diluar jalur pengadilan untuk mencapai penyelesaian terbaik ketika upaya musyawarah tidak menghasilkan mufakat. Hal ini mengacu pada ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Dengan latar belakang masalah tersebut, penulis ingin mengenal lebih jauh mengenai pelaksanaan secara praktis yang dilakukan oleh profesi hakim di lingkungan Peradilan Agama. Selain itu juga hal-hal apa saja ingin mempengaruhi praktiknya serta bagaimana gambaran nyata penanganan sengketa ekonomi syariah yang dilakukan oleh praktisi hakim, terutama peranannya dalam beracara di lingkungan Peradilan Agama demi menegakkan prinsip bahwa setiap orang yang berkedudukan sama didepan hukum (equal before the law). Bermula dari persoalan diatas maka penulis bermaksud menuangkannya dalam skripsi yang berjudul :

PERAN HAKIM DALAM PENANGANAN SENGKETA EKONOMI

SYARIAH PASCA UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2006 (Studi Pada Pengadilan Agama Jakarta Pusat).

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penelusuran ini agar penelitian tidak meluas dan menjaga kemungkinan penyimpangan, maka penulis memfokuskan dan membatasi


(19)

masalahperan hakim dalam penanganan sengketa ekonomi syariah pasca lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 di lingkungan Pengadilan Agama. Penulis mengkolaborasikan dan menganalisa peran hakim dalam menangani sengketa ekonomi syariah. Pembatasan masalah tentang hakim yang penulis analisis adalah hakim yang ada dalam ruang lingkup Pengadilan Agama yang menangani dan memutuskan serta berhubungan secara langsung terhadap sengketa ekonomi syariah. Sedangkan perkara ekonomi syariah yang penulis teliti adalah sengketa ekonomi yang penyelesaiannya melalui jalur litigasi atau persidangan yaitu melalui lembaga Peradilan Agama.

2. Perumusan Masalah

Dengan diberlakukan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka Pengadilan Agama berhak memutus dan memeriksa sengketa ekonomi syariah, namun pada realitanya banyak perkara-perkara ekonomi syariah yang harus diselesaikan di lembaga non litigasi seperti halnya BASYARNAS.

Untuk mengungkapkan permasalahan tersebut, maka penulis merinci permasalahan diatas dalam bentuk beberapa pertanyaan sebagai berikut :

a. Bagaimana kedudukan dan kewenangan absolut Pengadilan Agama sebelum dan pasca lahinya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006dalam perkara ekonomi syariah perspektif yuridis?

b. Bagaimana latar belakang masuknya bidang ekonomi syariah dalam kewenangan Peradilan Agama?


(20)

11

c. Problematika apa yang di hadapi Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah?

d. Usaha-usaha apakah yang harus dilakukan agar hakim Pengadilan Agama mampu mengoptimalkan peranannya dalam penanganan sengketa ekonomi syariah?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penelitian

Penelitian dimaksudkan untuk mengungkap realita yang ada dalam lingkungan Pengadilan Agama pasca lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, khususnya dalam lingkup peran hakim dalam penanganan sengketa ekonomi syariah. Secara lebih rinci penelitian ini di harapkan dapat menemukan jawaban untuk hal – hal berikut :

a. Untuk menjelaskankedudukan dan kewenangan absolut Pengadilan Agama sebelum dan pasca lahinya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006dalam perkara ekonomi syariah perspektif yuridis.

b. Untuk mengetahui latar belakang masuknya bidang ekonomi syariah dalam kewenangan Peradilan Agama.

c. Untuk mengetahui problematika yang di hadapi Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah.

d. Untuk mengetahui usaha-usaha yang harus dilakukan agar hakim Pengadilan Agama mampu mengoptimalkan peranannya dalam penanganan sengketa ekonomi syariah.


(21)

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat secara akademis dari penelitian ini adalah :

a. Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana syariah. b. Penelitian ini bermanfaat untuk menambah ilmu dan memperluas wawasan

intelektualitas bagi mahasiswa atau masyarakat yang membaca hasil penelitian ini, khususnya bagi penulis sendiri.

c. Untuk memperkaya khazanah keilmuan khususnya dilingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selain manfaat secara akademik penulisan ini memiliki manfaat secara praktis yakni :

Untuk menyumbangkan hasil pemikiran hakim Pengadilan Agama terutama dalam kaitannya dengan peranannya dalam hukum positif, dan usaha-usaha untuk memantapkan peranannya sebagai penegak hukum.

D. Review Kajian Terdahulu

Dalam penulisan ini, penulis memerlukan data yang berhubungan dengan peran hakim dalam penanganan sengketa ekonomi syariah pasca Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 di Pengadilan Agama, antara lain :

Judul Skripsi “Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama

Purbalingga”Oleh Sulistiani, NIM 105044201468, Konsentrasi Administrasi

Keperdataan Islam, tahun 2009. Dalam skripsi ini hanya membahas penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama Purbalingga, yaitu dengan


(22)

13

menguraikan metode ijtihad hakim dalam memutuskan perkara tersebut. Perbedaan yang mendasar dengan skripsi penulis yakni penulis selain membahas mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama, juga membahas kompetensi Peradilan Agama dan peran hakim pasca UU No. 3 Tahun 2006.

Judul skripsi “Kewengan Peradilan Agama Terhadap Sengketa Hak Milik Pasca Diundangkannya UU N0. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama” oleh Ahmad Baqi,NIM 105044101355, Konsentrasi Peradilan Agama tahun 2009. Dalam skripisi ini membahas mengenai analisis yuridis UU N0. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Penulis dalam hal ini membahas tentang bagaimana peran hakim, tidak hanya membahas analisis yuridis atas UU Peradilan Agama.

Judul Skripsi “Persepsi Advokat Dan Hakim Terhadap Kewenangan Absolut Peradilan Agama Di Bidang Ekonomi Syariah”Oleh Budi Susilo , NIM 103044228105, Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, tahun 2007. Dalam skripisi ini pembahasan hanya mengeksplor bagaimana persepsi Avokat dan hakim terhadap kewenangan Absolut Peradilan Agama. Dalam hal ini, Penulis memfokuskan pada peran hakim dalam penanganan sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama dan bagaimana penyelesaiannya melalui jalur persidangan (litigasi). Selain itu penulis juga membahas mengenai latar belakang masuknya bidang ekonomi syariah sebagai kewenangan baru di Pengadilan Agama, dan problem yuridis yang harus dihadapi Pengadilan Agama dalam menangani kewenangan baru tersebut.


(23)

E. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan

Dalam penyusunan ini, penulis akan menguraikan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan mengkolaborasikannya dengan pendekatan diskriptif analisis22yaitu dengan melakukan analisa dengan cara menguraikan dan mendiskripsikan realita yang terjadi di Pengadilan Agama tersebut kemudian menghubungkannya dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki.

Deskriptif adalah metode yang menggunakan pencarian fakta dengan intrepretasi yang tepat, sedang analisis adalah menguraikan sesuatu dengan cermat dan terarah.23Dilihat dari segi data yang diperlukan, maka penelitian ini termasuk pada penelitian lapangan (field reseacrh) yang menggambarkan data dan informasi dilapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam.Dan dari segi data sekunder, penelitian ini juga termasuk jenis penelitian kepustakaan (Library Research), penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan buku-buku, kitab-kitab fiqih, perundang-undanganan, dan Yurisprudensi yang berhubungan dengan skripsi ini.

22

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosada Karya, 2000), h. 178.

23


(24)

15

2. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiridari data primer dan data sekunder, yaitu :

a. Data Primer

Dalam hal ini data primer diperoleh dari wawancara mendalam (indept interview) terhadap majelis hakim, selain itu penulis juga mengambil data-data dari dokumentasi yang ada di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Kemudian menguraikan data tersebut dan di analisa dengan cara menghubungkan dan menguraikan dengan masalah yang dikaji.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi pustaka atas dokumen – dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, baik itu buku – buku yang berkenaan dengan permasalahan tersebut maupun artikel – artikel dari surat kabar dan media elektronik. Studi Pustaka (Library Reseach) untuk memahami teori- teori dan konsep yang berkaitan dengan objek penelitian.

3. Analisa Data

Penelitian bertujuan untuk mendiskripsikan secara sistematis mengenai peran hakim dalam penanganan sengketa ekonomi syariah dalam ruang lingkup Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mennggunakan analisis isi (content analisys) dan mengidentifikasi apa yang menjadi perhatian (cornerns) penulis yaitu peran hakim dalam penyelesaian


(25)

sengketa ekonomi syariah pasca Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 di Pengadilan Agama,serta menghubungkan apa yang menjadi persoalan (issue).

Dalam melakukan identifikasi permasalahan ini, proses yang akan penulis lakukan antara lain :

1) Proses kategorisasi, yaitu proses penyusunan kembali catatan dari hasil observasi atau wawancara menjadi bentuk yang lebih sistematis.

2) Proses prioritas, yaitu dengan memilih mana yang merupakan katagori yang dapat di tampilkan dan mana yang tidak perlu untuk di tampilkan.

3) Proses penentuan kelengkapan, yaitu untuk mengetahui apakah katagori yang di hasilkan sudah cukup atau belum.

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah:

a. Dokumentasi, yaitu cara memperoleh data dengan menelusuri dan mempelajari dataprimer dari dokumen-dokumen. Di samping itu dilakukan penelusuran dan pengkajian terhadap berbagai tulisan yang berkaitan dengan pembahasan ini, dalam aspek hukum untuk mempertajam analisis terhadap objek penelitian. Studi dokumentasi berupa telaah buku dan dokumen lain yang mendukung sehingga pembahasan dalam skripsi ini mempunyai landasan ilmiah yang kuat.


(26)

17

b. Wawancara24 (interview) yaitu metode pengumpulan data dengan menggunakan pedoman wawancara. Adapun pihak yang diwawancarai adalah hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang memutus perkara ini. Metode ini dipakai untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang pertimbangan hukum dan upaya majelis hakim untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan masalah tersebut, sehingga dapat membantu proses analisis data.

5. Teknik Penulisan

Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan ini adalah buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

F. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan pembahasan dan sistematis, maka penulis mengklasifikasikan permasalah dan beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab pertama, berisi pendahuluan yang memberikan gambaran secara umumdan menyeluruh tentang penelitian ini dengan menguraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, signifikasi masalah, metode penelitian dan teknik penulisan serta sistematika penelitian.

24

J.R. Raco, Metode Penelitian Kulitatif Jenis, Karakter dan Keunggulannya, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 62.


(27)

Bab kedua, penulis berusaha menjelaskan tentang tinjauan umum tentang hakim dalam ruang lingkup Peradilan Agama dengan menguraikan pengertian dan syarat menjadi hakim, hak dan kewajiban hakim, kode etik hakim, serta peran dan fungsi hakim.

Bab ketiga, menjelaskan tentang konsep ekonomi syariah dengan menjelaskan pengertian ekonomi syariah, prinsip-prinsip dan akad ekonomi syariah, tujuan ekonomi syariah, dan sistem ekonomi syariah.

Bab keempat, penulis berusaha menjelaskan tentang gambaran umum Pengadilan Agama Jakarta Pusat,kompetensi Peradilan Agama dalam perkara ekonomi syariah perspektif yuridis, latar belakang masuknya perkara ekonomi syariah dalam kewenangan Peradilan Agama, problematika dalam penanganan sengketa ekonomi syariah dan analisis.


(28)

19

BAB II

EKSISTENSI HAKIM A. Pengertian Hakim

Diantara aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum ialah hakim. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap nilai-nilai keadilan. Jabatan hakim merupakan jabatan yang penting karena padanyalah sesuatu kehakiman itu diadili dan menetapkan hukum.

Dalam historiografi Islam, peran hakim memang tidak sepopuler fuqaha, baik dalam penemuan hukum (istinbath al-hukum) maupun penerapan hukum (tathbiq al-hukum). Kalaupun hakim memiliki otoritas yang cukup kuat dalam melahirkan keputusan hukum di pengadilan (qadha) karena bersentuhan langsung dengan kasus-kasus (cases) putusan itu sangat dipengaruhi oleh otoritas politik dan otoritas mazhab yang dianut. Secara etimologi hakim mempunyai 2 pengertian: a. Pembuat hukum, yang menetapkan hukum, yang memunculkan hukum, yang

menjadi sumber hukum, yang menerbitkan hukum

b. Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan dan menyingkapkan hukum1

Dalam pengertian lain, secara terminologi hakim merujuk pada seseorang yang

ditunjuk oleh pemerintah (wali al-amr) untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum yang terjadi di antara manusia (judge).

1

Agustianto, ”Buku III Ushul Fiqh”, Berita ini diakses pada tanggal 6 Mei 2011 dari http://esharianomics.com/esharianomics/fikih-hukum/ushul-fikih/definisi-hakim/.


(29)

Dengan demikian yang dimaksud hakim dalam hal ini adalah seseorang yang menetapkan dan menemukan hukum atas berbagai permasalahan yang terjadi pada masyarakat sehingga membutuhkan penyelesainnya.

Hakim yaitu orang yang diangkat oleh Kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan maupun perselisihan-perselisihan dalam bidang perdata dan pidana, oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan.2 Hakim adalah orang yang ditugasi dan berwenang menyelesaikan perkara di Pengadilan.3 Dalam pasal 11 ayat (1) menetukan bahwa hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman, memeriksa, dan memutuskan perkara.4 Hakim merupakan salah satu ruang lingkup perangkat penegak hukum baik itu hakim agung maupun hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah konstitusi.

Perlu diketahui definisi hakim adalah rechter (Belanda), petugas Pengadilan yang mengadili perkara, dalam ilmu pengetahuan diakui sebagai salah satu sumber hukum. Dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana dalam pasal 1, definisi hakim disebutkan:

“Pejabat peradilan negeri yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk

mengadili.”5

2

Teuku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang : PT. PustakaRizky Putra, 1997). H. 34.

3

A. Rahmat Rosyadi, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), h. 28.

4

Sulasikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), h. 87.

5


(30)

21

Dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pengertian hakim pun disinggung dalam pasal 31, bahwa :

“Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur

dalam UU”.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan kehakiman adalah proses mengadili suatu perkara individual konkrit antara dua pihak dengan maksud untuk diberi suatu keputusan tentang bagaimana ketentuan hukum positif dalam rumusannya yang konkrit dan harus menguasai sengketa yang dihadapi.6 Menurut Denny Indrayana, direktur Eksekutif Indonesia Court Training, hakim adalah pejabat, baik itu hakim di semua tingkat peradilan yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu sebuah kekuasaan yang ditujukan untuk menyelenggarakan proses peradilan yang penyelenggaraan kekuasaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya.7 Hakim merupakan perangkat hukum yang melalui kekuasaannya dapat menangani perkara-perkara yang menjadi wewenang dari lembaga peradilan yang ada di Indonesia.

B. Syarat-Syarat Menjadi Hakim

Dalam masyarakat tentu perlu adanya aturan-aturan yang bisa membuat masyarakat terutama hak-haknya tidak terlangkahi oleh orang lain apalagi mengambil hak mereka. Dalam menjamin akan dilaksanakannya aturan-aturan tersebut ialah tentu dengan memberikan sanksi. Akan tetapi dalam pemberian sanksi ini haruslah juga mempertimbangkan hak-hak terdakwa atau yang bersalah dalam membela

6

Taufiq, “Praktik Penyelenggaraan Kekuasaan kehakiman di Negara Republik Indonesia sebagai Kekuasaan Negara yang mandiri, “ Suara Uldilag II, no. 5 (September 2004): h. 7.

7

Rahman, “Tafsir Hakim dan Ruang Lingkup Pengawasannya, “ Berita diakses 14 September


(31)

dirinya sendiri yang diharapkan tentunya nanti dalam keputusan final tidak ada pihak yang merasa dirugikan, maka untuk menjamin akan tercipta suasana seperti yang diharapkan diatas perlu adanya seseorang hakim yang benar-benar kredibel dan bisa dipertanggungjawabkan segala keputusannya. Hakim dalam lembaga peradilan harus memiliki kualifikasi yang baik sehingga dapat menghasilkan putusan yang terbaik untuk para pihak yang sedang bersengketa. Hakim juga harus memiliki kredibilitas yang tinggi untuk menjaga nama baik dan tugas serta tanggung jawab yang harus diemban oleh seorang hakim.

Maka dalam rangka itu perlu adanya syarat-syarat yang diperlukan bagi seorang hakim berikut tata cara pengangkatan dan tata cara pemecatan yang bisa dijadikan pedoman dalam menjamin kekredibelan terhadap segala keputusan hakim maupun tindak-tanduknya dalam perjalanannya sebagai hakim.8 Adapun syarat-syarat seseorang itu bisa diangkat menjadi hakim terjadi perbedaan pendapat diantara fuqaha ada yang mengatakan 15 syarat, ada yang 7 dan ada yang 3.9 Jika diteliti syarat-syarat yang dikemukakan oleh fuqaha hukum Islam ini ternyata tidak mempunyai perbedaan bahkan saling mlengkapi satu sama liannya.10 Adapun secara global ialah sebagai berikut:

1. Islam

Seorang hakim hendaklah seorang Islam karena kehakiman itu merupakan kuasa sedangkan orang bukan Islam (kafir) tidak harus sama sekali

8

Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah (Hukum-Hukum Penyelenggaan Negara dalam Syari’at Islam), (Jakarta: Darul Falah, 2006), h.tt.

9

Muhammad Salam Madzkur, Peradilan dalam Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 2003), h.tt.

10

Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan : Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta : Kencana, 2007), h. 21.


(32)

23

menguasai orang Islam.11 Allah telah menegaskan dalam surat An-Nisa: 141 sebagai berikut :

...









Artinya : “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”(QS:4 (an-nisa): 141) Menurut Ibnu Rusy,12 mengatakan bahwa para ulama ahli hukum Islam sepakat bahwa orang kafir tidak boleh diangkat menjadi hakim untuk mengadili orang Islam.

2. Laki-Laki

Menurut madzhab Imam Abu Hanifah bahwa perempuan boleh diangkat menjadi hakim selain urusan had dan qishash karena ke dalam dua hal tersebut kesaksian perempuan tidak diterima. Akan tetapi Ibnu Jarir mengatakan At-thabari mengatakan boleh perempuan itu menjadi hakim tanpa terkecuali.13 Imam

Hambali, Syafi‟i dan Maliki mengatakan bahwa laki-laki merupakan syarat untuk dapat diangkat sebagai seorang hakim, perempuan itu tidak boleh menjadi hakim. 3. Baligh dan Berakal

Hukum Islam tidak menetapkan dengan pasti berapa umur minimal seorang dapat diangkat sebagai hakim, tetapi Islam hanya menentukan baligh

11

Moh. Ilham Bin Haji Jaafar, Sistem Kehakiman Islam, (Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid, 2000), h. 25.

12

Muhammad Bin Ahmad Ibnu Rusy al-Qurthubi, Bidayatul Mujtahid, (Kairo: Mesir,

Mathba‟ah Musthafa al-Babi al-Halabi, tt.), j. 2, h. 46.

13

Firman, “Syarat-Syarat Menjadi Hakim”, Artikel ini diakses 18 November 2010, dari http://anggijuve.blogspot.com/2009/03/syarat-syarat-menjadi-hakim.html.


(33)

sebagai syarat minimum untuk diangkat menjadi hakim. Orang yang diangkat menjadi hakim hendaklah orang yang berakal, dan tidak dibenarkan mengangkat orang gila meskipun kadang-kadang sembuh.

4. Adil

Adil memilki pengertian yaitu benar dalam perkataan, dapat dipercaya, menjaga kehormatan diri dari segala yang dilarang, jujur dalam keadaan tidak suka atau suka, maka tidak boleh mengangkat hakim yang fasik. Karena orang fasik itu tidak amanah sehingga apabila ia dihadapkan pada suatu perkara maka ia tidak dapat dipercaya. Hal ini sebagaimana firman Allah :









Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu

itu”.(QS:49 (Al-Hujuraat): 06 5. Berpengetahuan Luas

Para ahli hukum dikalangan mazhab Hambali, Syafi‟i, dan sebagian dari

mazhab Hanafi mensyaratkan dalam pengangkatan hakim hendaknya berpengetahuan luas dalam bidang hukum Islam dan kepandaiannya itu harus bertaraf mujtahid.14

14

Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2007, h. 29.


(34)

25

6. Sehat pendengaran, penglihatan dan ucapan (Sempurna panca indra)

Telah terjadi perbedaan pendapat diantar fuqaha tentang kebolehan mengangkat orang yang buta huruf menjadi hakim. Sebagian fuqaha membolehkannya dengan mengqiyaskan pada keadaan pada zaman Rasulullah SAW yang tidak bisa membaca akan tetapi ia mau menjadi hakim diantara manusia. Sebagian fuqaha yang lain berpendapat sebaliknya dengan alasan bahwa orang yang buta huruf selain Rasulullah itu lemah.15 Imam Al-Mawardi mengemukakan bahwa seorang hakim hendaknya bisa melihat dan mendengar sehingga ia dapat menetapkan hak-hak manusia dengan baik, ia juga dapat membedakan pihak yang benar dan pihak yang salah. Hal ini sesuai dengan hadis sebagai berikut :

َ َق ع ها يضر ََدْيَرب ْ َع

:

َ ََسَ ِ ْيََع ها ََص ِ َ َا سَر َ َق

:

َث ََث َضقَْا

:

ِر َ َا يِف ِ َْثِا

,

ِ ََجَْا يِف دِحاَ َ

.

ََّحَْا َفَرَع جَر

,

ِ ِب َضَقَف

,

ِ ََجَْا يِف َ َف

.

ََّحَْا َفَرَع جَرَ

,

ِ ِب ِضْقَي ْ ََف

,

ِ ْ حَْا يِف َر َجَ

,

ِر َ َا يِف َ َف

.

ْ َ جَرَ

ََّحَْا ِفِرْعَي

,

ْ َج ََع ِس َ ِ َضَقَف

,

ِر َ َا يِف َ َف

)

با ج با ا ر

ا

(

16

Artinya : “Dan dari Buraidah R.A. berkata bahwa Nabi s.a.w telah bersabda,

“Hakim-hakim itu ada tiga golongan, yang dua orang di dalam neraka dan yang seorang di dalam syurga. Adapun hakim yang di dalam syurga, adalah orang yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara dengan kebenaran. Hakim yang mengetahui kebenaran tetapi berlaku curang dalam putusannya, maka dia didalam neraka. Dan

15

Mahmud Al-Syarbini, Qadha Islamiyah : Al-Qadha fi Al-Islam, (Beirut : Muthabi‟ Al

-Hai‟ah Al-Mishriyah al-„Ammah Li al-Kitab, 1987), h. 24.

16

Imam Abi al-Fadhil Ahmad bin 'Ali bin Hajar al-'Asqalani, Bulughul Maram, (Surabaya: Darul Ilmi, 1352), hlm. 287, hadis nomor 1410. "Kitab al-Qadla". Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah.


(35)

hakim yang memutuskan perkara karena kebodohannya juga didalam

neraka. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)”.

7. Merdeka (Bukan budak)

Para pakar hukum Islam dalam berbagai mazhab sepakat bahwa pengangkatan hakim tidak diperbolehkan dari kalangan budak secara mutlak. Hal ini di sebabkan karena seorang hamba, dianggap tidak mampu untuk memiliki kemampuan dirinya sendiri. Juga karena statusnya sebagai budak, maka ia tidak dapat memberikan kesaksian dalam berbagai kasus, oleh karenanya ia tidak dapat dijadikan sebagai hakim. Jika ia sudah merdeka, maka ia boleh saja diangkat sebagai hakim, meskipun ia tetap menanggung wala’ (keterkaitan dengan bekas tuannya).17 Pendapat ini adalah pendapat dikalangan mazhab syafi‟i dan maliki yang tidak memperbolehkan seorang budak menjadi hakim.

C. Kode Etik Hakim

Tugas hakim adalah melaksanakan keadilan. Oleh karena itu seorang hakim harus menjaga segala tingkah lakunya sebagai hakim. Untuk jabatan hakim, Kode Etik Hakim disebut Kode Kehormatan Hakim berbeda dengan notaris dan advokat. Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Oleh karena itu Kode Kehormatan Hakim memuat 3 jenis etika, yaitu :

1. Etika kedinasan pegawai negeri sipil

2. Etika kedinasan hakim sebagai pejabat fungsional penegak hukum.

17


(36)

27

3. Etika hakim sebagai manusia pribadi manusia pribadi anggota masyarakat.18 Etika pengawasan terhadap hakim19 di dalam urusan Kode Kehormatan Hakim tidak terdapat rumusan mengenai pengawasan dan sanksi ini. Ini berarti pengawasan dan sanksi akibat pelanggaran Kode Kehormatan Hakim dan pelanggaran undang-undang. Pengawasan terhadap hakim dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim. Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang dapat disimpulkan bahwa sanksi undang-undang adalah juga sanksi Kode Kehormatan Hakim yang dapat dikenakan kepada pelanggarnya. Dalam hal ini, Kode Kehormatan Hakim juga menganut prinsip penundukan pada undang-undang.20

Etika profesi hakim (Adabul qhadi) menurut pandangan Islam adalah tingkah laku yang baik dan terpuji yang harus dilaksanakan oleh seorang hakim dalam berinteraksi dengan sesama manusia dalam menjalankan tugasnya. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa adabul qhadi adalah perbuatan yang patut dilaksanakan oleh seorang hakim baik di dalam mahkamah maupun diluar mahkamah. Diluar mahkamah seorang hakim (qadhi) tidak seharusnya ia bergaul bebas dengan masyarakat sekelililngnya, atau berjalan-jalan dengan mereka melainkan hanya sekedar perlunya saja. Seorang hakim juga tidak dibenarkan

18

Abdul Manan, Etika Dalam Penyelenggaraan Peradilan, h. 32.

19

Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, (Yogyakarta : Kanisius, 1995), h.175-177.

20

Kansil, C.S.T., Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK), (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986), h. 18-19.


(37)

bersenda gurau secara berlebihan, hal ini akan berakibat pada jatuhnya martabat dan wibawanya dari seorang hakim.21

Dijelaskan oleh Muhammad salam Madzkur, diterangkan bahwa apabila hakim duduk mengadili suatu perkara, maka ia haruslah bersikap tidak memihak, tidak ada perhatiannya kecuali memeriksa perkara itu dengan sungguh-sungguh. Dalam melaksanakan persidangan, hakim harus menyamakan kedudukan para pihak sama dengan lainnya dalam majelis persidangan. Tidak diperkenankan melebihkan salah satu dengan lainnya, baik mengenai sikap, pertanyaan yang diajukan para pihak, tempat duduk para pihak, dan mendengar keterangan para pihak, pelayanan ketika masuk, selama dalam persidangan dan ketika keluar persidangan.

Konsep kehakiman dalam peradilan Islam sangat mengutamakan asas equality before the law dan asas audi et alteram partem. Kedudukan para pihak adalah sama dimuka hukum dan memutuskan perkara hakim harus menghadirkan ke dalam majelis pihak-pihak yang berperkara dan hakim dilarang memutus perkara sebelum mendengar semua pihak-pihak yang terkait dengan perkara yang disidangkan itu.22 Hal ini akan membuat konsep pengadilan dalam memutuskan sebuah perkara akan terkesan lebih adil dengan menghadirkan keduabelah pihak yang sedang berperkara. Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Waaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya

21

Abdul Manan, Etika Dalam Penyelenggaraan Peradilan, h. 33-34.

22


(38)

29

tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.

D. Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim 1. Kewajiban/Tugas Hakim

Hakim merupakan unsur yang penting dalam melaksankan hukum syara‟ dan

penadribannya.23 Sehingga hakim sebagai penegak hukum dan keadilan mempunyai kewajiban yaitu:

a. Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan. Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Hakim merupakan orang yang bertanggung jawab

sepenuhnya menjaga dan mempertahankan hukum syara‟ dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan.24

b. Hakim wajib memperhatikan sifat-sifat baik dan buruk dari tertuduh dalam menentukan dan mempertimbangkan berat ringannya suatu hukuman. Sifat-sifat

23

Abdul Manan, Etika Dalam Penyelenggaraan Peradilan, h. 21.

24


(39)

yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan Hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.

Beberapa tugas hakim dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman antara lain :

1. Tugas pokok dalam bidang peradilan (teknis yudisial) diantaranya adalah :

a. Menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

b. Mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang (pasal 5 ayat 1). c. Membantu para pencari keadilan dan berusaha keras mengatasi segala

hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (pasal 5 ayat 2).

d. Tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya (pasal 16 ayat 1).

2. Tugas yuridis, yaitu memberi keterangan, pertimbangan, dan nasehat tentang soal-soal hukum kepada lembaga negara lainnya apabila diminta (pasal 27).


(40)

31

3. Tugas akademis atau ilmiah dalam melaksanakan tugas pokoknya yaitu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang berkembang dan hidup di masyarakat.25

Adapun tugas hakim dalam mengadili suatu perkara melalui 3 tindakan yaitu :

1. Mengkontratir yaitu mengakui dan membenarkan telah terjadinya suatu peristiwa yang telah para pihak dimuka persidangan dengan syarat peristiwa itu harus dibuktikan terlebih dahulu.

2. Mengkualifisir yaitu menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang amanah.

3. Mengkonstitur yaitu hakim menetapkan hukumnya dan member keadilan kepada yang bersangkutan.26

2. Tanggung Jawab Hakim

Tugas dan Tanggung jawab dalam bidang peradilan dalam Islam merupakan tugas dan tanggung jawab yang sangat mulia, sebab tugas-tugas dalam bidang ini merupakan tugas yang sangat berat dan dituntut tanggung jawab yang besar dalam melaksanakannya.27

25

Abdul Manan, Etika Dalam Penyelenggaraan Peradilan, h. 21.

26

Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspita Sari, Aspek-Aspek Kekusaan Kehakiman di Indonesia, (Yogyakarta : UII Press, 2005), h. 126.

27


(41)

1. Tanggung Jawab Hakim Kepada Penguasa

Tanggung jawab hakim kepada penguasa (negara) artinya telah melaksanakan peradilan dengan baik, menghasilkan keputusan bermutu, dan berdampak positif bagi bangsa dan negara. Hakim juga harus menghasilkan keputusan yang adil untuk para pihak yang berperkara sehingga tidak boleh memihak salah satu pihak dengan atas dasar apapun.

a. Melaksanakan peradilan dengan baik. Peradilan dilaksanakan sesuai dengan undang-undang, nilai-nilai hukum yang hidup dalam masayarakat, dan kepatutan (equity).

b. Keputusan bermutu. Keadilan yang ditetapkan oleh hakim merupakan perwujudan nilai-nilai undang-undang, hasil penghayatan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, etika moral masyarakat, dan tidak melanggar hak orang lain.

c. Berdampak positif bagi masyarakat dan negara. Keputusan hakim memberi manfaat kepada masyarakat sebagai keputusan yang dapat dijadikan panutan dan yurisprudensi serta masukan bagi pengembangan hukum nasional.

2. Tanggung Jawab Kepada Tuhan

Tanggung jawab hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa artinya telah melaksanakan peradilan sesuai dengan amanat Tuhan yang diberikan kepada manusia, menurut hukum kodrat manusia yang telah ditetapkan oleh Tuhan melalui suara hati nuraninya.


(42)

33

E. Peran dan Fungsi Hakim

Peradilan Agama merupakan salah satu wahana penunjang keberhasilan pembangunan nasional dalam bidang hukum, sehingga peranan hakim Pengadilan Agama akan sangat menentukan efektif tidaknya wahana penunjang tersebut.28 Pada hakikatnya, sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas badan penegak hukum dan keadilan tersebut, baik atau buruknya tergantung dari manusia-manusia pelaksananya, in casu para hakim.29 Wahyu Affandi S.H. dalam bukunya Hakim dan Penegakkan Hukum, menjelaskan bahwa penegak hukum tidak hanya harus mampu mengatur hukum, melainkan dituntut pula untuk mendisplinkan diri supaya mematuhi hukum, dan sulit untuk dibayangkan berhasilnya usaha untuk menegakkan hukum serta untuk menciptakan kepastian hukum dan menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat apabila penegak hukum itu sendiri baik dalam tindakannya maupun tingkah lakunya sehari-hari selalu mengabaikan hukum.30

Sebagaimana di ketahui di Indonesia merupakan negara berprinsip hukum yang menuntut adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum tanpa memandang dari mana suku, agama, ras ideologi dan warna kulitnya. Oleh karena itu, konstitusi telah menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

28

Kadi S, "Pengadaan Hakim Pengadilan Agama," Pembimbing, No. 61 Tahun. XIV. (1986), h. 16.

29

Penjelasan Undang-Undang nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kahakiman I, Umum, butir 6. In Casu, adalah bahasa latin yang berarti dalam perkara ini, dalam hal ini.

30


(43)

Ahkyar, S.H. mengemukakan pendapat dalam tulisannya yang berjudul Implementasi Kekuasaan Kehakiman Dalam Era Reformasi, bahwa selain adanya berbagai kebebasan, juga ditambah aturan tentang tingkah laku dan kegiatan para hakim, yaitu semacam code of conduct. Aturan tentang tingkah laku atau code conduct itu penting, sebab merupakan aturan yang mengatur tingkah laku para hakim supaya memungkinkan para hakim bersifat responsif terhadap harapan dari masyarakat dan melaksanakan secara konkrit pengaturan yang tela ditetapkan.31

Hakim merupakan unsur utama di dalam pengadilan. Demikian yang dikatakan Drs. Cik Hasan Bisri, MS. Di satu pihak ia dituntut untuk mencerminkan sifat-sifat ke-kyai-an atau ke-ulama-an sebagai tokoh yang arif, yang diharapkan untuk menyelesaikan perkara keluarga yang sangat peka dan mengutamakan perdamaian. Namun di pihak lain ia dituntut untuk menerapkan teknologi pengambilan keputusan hukum, dalam upaya menempatkan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sebagai court of law.32

Dalam hal ini hukum merupakan hasil konkritisasi manusia atas nilai-nilai agama dalam mengatur kehidupan manusia itu sendiri.33 Istilah "Peranan" (role)34 dipilih karena menyatakan bahwa setiap orang adalah pelaku di dalam masyarakat di

31

Ahyar, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Dalam Era Reformasi: Himpunan Karya Tulis Bidang Hukum (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Dept. Kehakiman RI, 1999), h. 295.

32

Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia. Cet. II (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1998). h. 185.

33

T. M. Hasbi Ash Shiddiqi, Peradilan Hukum Acara Islam (Bandung: PT Al-Maarif, 1964), h. 30.

34

Menurut Bambang Marhijanto, Kata peranan berarti juga sebagai bagian dari tugas yang harus dilaksanakan. Lihat Bambang Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer, (Surabaya: CV. Bintang Timur, 1996), h. 476.


(44)

35

mana dia hidup. Dan maksud konsep "peranan" adalah untuk membuat garis batas antara masyarakat dan individu. Dalam batas peranan sosialnya, seorang mempunyai batas kebebasan tertentu.35 Peradilan Agama didasarkan pada hukum Islam, sedangkan dalam perkembangannya, hukum Islam merupakan hukum yang berdiri sendiri dan telah lama dianut oleh pemeluk agama Islam di Indonesia.36

Untuk mengembangkan Peradilan Agama, tentunya diperlukan penyempurnaan-penyempurnaan di berbagai aspek dan sarana, dan sarana kesempurnaan yang paling utama adalah para hakim. Dengan demikian, upaya penegakkan dan pembangunan Hukum Islam diharapkan dapat berhasil secara optimal. Dalam hukum Islam, para ulama sepakat bahwa seorang hakim boleh menangani kasus yang berkaitan baik itu menyangkut haqqul lillah (hak-hak yang menyangkut urusan langsung dengan Allah) maupun haqqul adami' (hak-hak yang menyangkut urusan dengan manusia). Mereka juga sepakat bahwa keputusan dari seorang hakim tidak dapat menghalalkan sesuatu yang haram dan sebaliknya, mengharamkan sesuatu yang halal.37

Konsep mengenai keputusan hakim dalam Islam juga telah ditentukan dalam berbagai literatur baik dalam Al-Qur‟an maupun As-sunah. Islam menghendaki

35

Maurice Duverger, Sosiologi Politik, alih bahasa Daniel Dhakidae, (Jakarta: CV Rajawali, 1981), h. 103.

36

Anwar Harjona dan Ramli Hutabarat, Prospek Peradilan Agama Sebagai Peradilan Keluarga dalam Sistem Politik Indonesia, dalam Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 217.

37

Ibnu Rusyd Al Hafid, Bidayah al- Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), h. 378.


(45)

kemaslahatan bagi semua umat Islam. Sehingga keadilan yang diharapkan oleh seseorang akan diperolehnya dengan putusan hakim yang adil.

Berbagai penjelesan tersebut diatas sesuai dengan hadis Nabi sebagai berikut :

ْتَ َق َ َْع َ َا َيِضَر َ َ ََس ِأ ْ َعَ

:

َِسَ ِ ْيََع ها ََص ِ َ َا سَر َ َق

:

ْ َِإ

َيَِإ َ ِصَتْ َت

,

ضْعَب ْ ِ ِ ِتَجحِب َ َحَْأ َ َي ْ َأ ْ َضْعَب َ َعََ

,

ْحَ ََع َ َيِضْقَأَف

عَ ْسَأ َ ِ

,

ْيَش ِ يِخَأ َِّح ْ ِ َ تْعَطَق ْ َ َف ِْ

,

ِر َ َا َ ِ َعْطِق َ عَطْقَأ َ َِإَف

)

س ر ا

(

38

Artinya: “Dari Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya engkau sekalian selalu mengadukan persengketaan kepadaku. Bisa jadi sebagian darimu lebih pandai mengemukakan alasan daripada yang lainnya, lalu aku memutuskan untuknya seperti yang aku dengar darinya. Maka barangsiapa yang aku berikan kepadanya sesuatu yang menjadi hak saudaranya, sebenarnya aku telah mengambil sepotong api neraka untuknya." (H. R Bukhori Muslim).

Di samping itu, dari berbagai literatur fikih dapat disimpulkan bahwa tugas pokok seorang hakim adalah menetapkan hukum syara' pada suatu perkara secara mengikat untuk menyelesaikan sengketa. Dalam sejarah peradilan Islam, tugas hakim dalam perkembangannya di samping tugas pokok tersebut, selain itu hakim juga akan mendapatkan tugas tambahan diluar dari tugas pokoknya.39

Hakim Pengadilan Agama memberi bentuk terhadap hubungan-hubungan sosial dan menentukan prosedur yang harus ditempuh dalam mencapai tujuan-tujuan

38

Imam Abi al-Fadhil Ahmad bin 'Ali bin Hajar al-'Asqalani, Bulughul Maram , (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 290, hadis nomor 1418. "Kitab al-Qadla". Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Umi Salamah R.A.

39

Satria Efendi M. Zein, "Ijtihad dan Hakim Pengadilan Agama." Mimbar Hukum:


(1)

“ akad Al-Murabahah No. 53/2005 sebagai produk perbuatan hukum dihadapan Notaris adalah sah sebagaiakta notariel kecuali dapat dibuktikan sebaliknya “ ;-

Menimbang, bahwa oleh karena akad Al-Murabahah No. 53/2005 tersebut telah dianggap sah secara hukum maka nasabah yaitu Iwan setiawan alias Iwan Soetiawan, dahulu bernama So (Souw) Wie See dan Indra Cahya, bertindak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas PT.ATRIUMASTA SAKTI sebagai Direktur & Wakil Direktur, dan pihak Bank yaitu Intan Pribadi sebagai Kepala Divisi pembiayaan Korporasi Dua (II) Perseroan Terbatas PT. Bank Syari‟ah Mandiri, yang terlibat dalam akad Al-Murabahah itu dituntut harus melaksanakan prestasi dan kontra prestasi sebagaimana isi dari pada akad itu, dimana pihak perbankan berkewajiban untuk menyediakan pasilitas pembiayaan Al-Murabahah sebesar Rp. 35.000.000.000 (tiga puluh lima milyar rupiah) untuk digunakan pembelian bahan material dan jasa guna pembangunan proyek Rukan Soho Carbela Square , sedangkan nasabah sebagai pihak berhutang berkewajiban untuk membayar utangnya sekaligus dengan margin sebagai Ceiling Price yang sesuai perjanjian mereka.

Menimbang, bahwa penarikan pembiayaan sesuai ketentuan pasal 3 akad Al-Murabahah, dilakukan secara bertahap sesuai dengan proses penyelesaian proyek yaitu kesemuanya setelah nasabah memenuhi persyaratan, antara lain sebagai berikut:

Pasal 3 ayat (4) Nasabah telah menyetor dana untuk pembayaran biaya administrasi, notaris, dan biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan pasilitas pembiayan yang diberikan .

Pasal 3 ayat (10) Nasabah telah menunjukkan seluruh dokumen asli serta foto copynya yang berhubungan dengan perizinan pembangunan Rukan Soho Carbela Square.

Pasal 3 ayat (23) Nasabah telah menyetor Self Financing secara bertahap sejumlah porsi Nasabah yang sesuai dengan Cash How yang telah dibuat oleh Bank, yaitu sebesar Rp. 11.804.848.915 (sebelas milyar delapan ratus empat juta delapan ratus empat puluh delapan ribu Sembilan ratus lima belas rupiah).

Menimbang, bahwa oleh karena antara Pemohon dan Termohon II sebagai pihak Bank & Nasabah sudah saling berjanji sebagaimana akad Al-Murabahah No. 53/2005 tersebut diatas maka mereka berkewajiban untuk menunaikan janji-janji mereka tersebut. Sebab perjanjian yang dibuat oleh mereka berlaku sebagai aturan yang mengikat kepada mereka yang membuatnya sehingga hal itu tidak bisa dilanggar oleh kedua belah (Vacta Sunservanda) secara syar‟I hal ini dipertegas oleh Rasulullah SAW.

س لا ع

ط ش اإ

اط ش ّح اح ا أ ّلحأ ا ا ح ) ا تلا (

Artinya : Syarat-syarat (perjanjian) yang dibuat oleh sesama muslim adalah mengikat mereka, kecuali mereka membuat syarat/perjanjian yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal ( HR. Tirmidzi). (Ashshon‟ani/Au Bakar Muhammad (Terjemahan), Subulussalam, Juz III, Al-Ikhlas, Surabaya 1995:

207/208) ;-

Menimbang, bahwa ternyata terdapat fakta bahwa pihak-pihak telah tidak melaksanakan prestasi sebagai kewajibannya sesuai kesepakatan mereka sebagaimana tertuang dalam akad Al-Murabahah No.53/2005 itu;-


(2)

Menimbang, bahwa selintas, sesuai bukti P-1 yang bermaterai cukup tetapi tidak dileges, namun hal itu dikuatkan dengan bukti yang sama yang diajukan Termohon II, yaitu bukti T.II.1, Majelis Hakim menilai bahwa Pemohon telah terlebih dahulu melanggar kesepakatan itu karena tidak melaksanakan prestasi berupa pencairan pembiayaan tahap kedua dan seterusnya disaat Termohon II memerlukan pembiayaan itu untuk melanjutkan konstruksi gedung Rukan yang digarap Termohon II (Nasabah), dan Majelis Hakim semula memberikan penilaian yang sama seperti majelis BASYARNAS (Termohon I) bahwa Pemohon telah berbuat zholim kepada Termohon II bahkan sebagai khianat; namun ternyata setelah dicermati lebih jauh dengan melakukan penelaahan terhadap bukti P-1 dan bukti T.II.1 dihubungkan dengan bukti P-3 terdapat fakta lain bahwa Pemohon tidak melaksanakan prestasi lanjutan sebagai implementasi dari akad Al-Murobahah No. 53/2005 itu dikarenakan Termohon II sebagai Nasabah tidak melaksanakan kontra prestasi sebagaimana disyaratkan di pasal 3 ayat (4), ayat (10) dan ayat (23) akad Al-Murobahah itu ;-

Menimbang, bahwa dengan tidak bermaksud mengenyampingkan syaratsyarat lainnya yang harus dipenuhi Termohon II sebagaimana akad Al- Murobahah, Majelis Hakim menilai bahwa IMB merupakan dokumen yang sangat penting dan strategis untuk sebuah bangunan di pusat kota, terlebih untuk sebuah Rukan seperti Rukan Soho Carbela Square yang didirikan dipusat ibu kota Jakarta, sebab jika hal ini menyalahi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), bisa saja karena ketiadaan IMB pihak Pemkot/Pemprop membongkar bangunan tersebut karena dianggap liar, sehingga berakibat kerugian di pihak perbankan, oleh karenanya Majelis Hakim berpendapat bahwa dokumen IMB sebagai sebuah persyaratan itu sangat prinsip dan tidak bisa dianggap sepele apalagi hal ini termasuk dalam perjanjian pokok yang termuat dalam akad Al-Murobahah pasal 3 ayat (10) yang diperkuat surat pernyataan Termohon II tanggal 2 Maret 2005 (P- 4) ;-

Menimbang, bahwa persyaratan yang diwajibkan berupa IMB tersebut rupanya tidak secara palid dan cermat dipertimbangkan oleh Majelis Arbitrase (Termohon I) sebab ketika mempertimbangkan bukti pada pertimbangan hukumnya di point huruf K tentang bukti-bukti, Termohon I menganggap bahwa IMB merupakan syarat susulan ;-

Menimbang, bahwa untuk lebih jelasnya pertimbangan Majelis Arbitrase mengenai IMB ini dapat dikemukakan pertimbangannya pada huruf K angka 22,23,24,25 dan 27, yang lengkapnya adalah sbb : 22. Sehubungan dengan pencairan pertama senilai Rp. 2.200.000.000,- (dua miliar dua ratus juta

rupiah) (Bukti surat P-19E) No. 7/031/SP/DPK2 tanggal 2 Maret 2005 Perihal: Persetujuan Pencairan Pembiayaan, surat mana tidak ditandatangani Termohon, akan tetapi telah disetujui Pemohon, timbul pertanyaan mengapa Bank tidak sejak semula mensyaratkan dalam akad no. 53 adanya 1MB, namun persyaratan tersebut baru muncul ketika akan dilakukan pencairan kedua; Dengan demikian, sejalan dengan pendapat Bank sendiri, berarti Bank telah tidak melaksanakan prinsip kehati-hatian pada saat pencairan ~ pertama dan baru melaksanakan prinsip kehati-hatian itu padapencairan kedua;

23. Benar oleh Pemohon telah dibuat SURAT PERNYATAAN tertanggal 02 Maret 2005 yakni setelah pencairan biaya pertama tanggal 02 Maret 2005 dimana Pemohon dituntut membuat surat penyataan, tetapi tidak ditandatangani Pemohon dengan alasan bahwa perlengkapan dokumen perijinan Pembangunan Rukan Soho Carbella Square dianggap berlebihan 17, P-18A) dan (P-18B); Majelis Arbiter berpendapat bahwa Surat Pernyataan yang dibuat setelah akad al-Murabahah ditandatangani bertcntangan dengan Prinsip Syariah;


(3)

24. Dengan permintaan Termohon kepada Pemohon untuk membuat surat pernyataan tersebut diajukan oleh Termohon setelah akad al-Murabahah ditandatangani, Majelis Arbiter berpendapat bahwa Termohon telah berlakusewenang-wenang terhadap Pemohon di samping berdasarkan sifat akad al-Murabahah persyaratan yang ditambahkan setelah akad al-Murabahah ditandatangani adalah dilarang (haram) karena itu tidak berlaku;

25. Sehubungan dengan sikap Termohon yang demikian itu terhadap Pemohon, maka benarlah pendapat Pemohon bahwa Termohon telah bertindak yang bersifat penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden);

27. Dari pernyataan kesanggupan tanpa syarat tersebut bagaimana mungkin Pemohon dapat memenuhi janji tanpa syarat, bila dalam kenyataan fasilitas pembiayaan tidak berjalan sebagaimana mestinya, sebagai akibat Termohon menunda pencairan pembiayaan susulan dengan alasan karena Pemohon tidak dapat menyerahkan 1MB d.1.1. sebagaimana dipersyaratkan oleh Termohon belakangan setelah Akad No,53 ditandatangani sebagaimana dikemukakan di atas; Berkenaan dengan itu, Majelis Arbiter berpendapat bahwa Termohon telah bertindak zalim terhadap Pemohon yang sangat dilarang dalam Islam;

Menimbang, bahwa dalam pertimbangan tersebut diatas Majelis Arbitrasi mengulang, paling tidak tiga kali, mengemukakan kata-kata bahwa IMB merupakan persyaratan yang yang ditambahkan atau dipersyaratkan belakangan setelah Akad No. 53/2005 ditandatangani, untuk jelasnya hal ini dapat dilihat dan dikemukakan pertimbangn tersebut pada hurup K sebagai berikut:

- 22. .....mengapa bank tidak sejak semula mensyaratkan dalam akad No.53/2005 adanya IMB... ;- - 23. ...perlengkapan dokumen perizinan pembangunan rukansoho carbilla square dianggap berlebihan...;-

- 24. ...persyaratan yang ditambahkan setelah akad al murabahah ditandatangani risalah dilarang (haram)...;-

- 27. ...Pemohon tidak dapat menyerahkan IMB dll sebagaimana dipersyaratkan oleh Termohon I belakangan setelah akad No 53/2005 ditandatangani...

;-Menimbang, bahwa oleh karena persyaratan IMB telah nyata terdapat dalam materi pokok akad Al-Murobahah No. 53/2005 yaitu pasal 3 ayat 10 yang bukan persyaratan susulan sebagaimana anggapan Majelis Arbitrase, walaupun harus diakui memang benar ada pernyataan dari Termohon II pada tanggal 2 Maret 2005 untuk mempertegas persyaratan yang ada dalam akad Al-Murobahah mengenai IMB itu, sehingga Majelis Hakim menganggap bahwa Majelis Arbritrase ( Termohon I ) telah luput mencermati persyaratan yang terdapat dalam akad almurabahah pasal 3 ayat 10 sebagai kontra prestasi yang semestinya wajibdipenuhi oleh Termohon II.

Menimbang, bahwa bahwa oleh karena Termohon II telah tidak memenuhi perjanjian sebagaimana yang disyaratkan dalam akad al-murabahah No.53/2005, maka menurut pendapat Majelis Hakim sudah sewajarnya apabila Pemohon tidak mencairkan pembiayaan pada tahap kedua kepada Termohon II, hal ini sebagai konsekwensi atas kelalaian Termohon II memnuhi kontra prestasi yang menjadi kewajibannya ;-

Menimbang, bahwa fakta lain yang menjadi catatan Majelis Hakim adalah pengurusan IMB oleh Termohon II dengan biaya diatas 3 Milyar melalui jasa konsultan/kontraktor H.Jayadi Kusumah, SH yang memakan waktu bertahuntahun namun tidak kunjung selesai, padahal sebelumnya dijanjikan dalam hitungan bulan IMB tersebut selesai, akan tetapi hal ini oleh Termohon I tidak dipertimbangkan sama


(4)

sekali dengan dalih bahwa IMB merupakan perjanjian tambahan, dan persyaratan yang ditambahkan setelah akd al-murbahah ditandatangani, menurut Termohon ,I adalah dilarang ( haram ) sehingga Pemohon dianggap telah bertindak yang bersifat penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) ;-

Menimbang, bahwa menurut pendapat Majelis Hakim suatu perjanjian yang ditambahkan dari perjanjian pokok selama disepakati oleh para pihak adalah dibenarkan secara syar‟i kecuali memperjanjikan yang halal menjadi haram atau sebaliknya, terlebih lagi terhadap akad No.53/2005 terjembatani dengan pasal addendum yang ada di pasal 18 penutup, dan terhadap hal itu majelis hakim menganggap bukanlah penambahan akan tetapi sebagai penegasan terhadap sesuatu yang telah ada dan telah diperjanjikan sebelumnya;

Menimbang, bahwa selain fakta tersebut diatas, Termohon II ternyata telah mengabaikan persyaratan lainnya, yaitu yang terdapat di pasal 3 ayat (4) dan pasal 3 ayat (23) akta al-murabahah No.53/2005 yaitu tidak membayar biaya notaries dan tidak menyerahkan self financing, dimana hal inipun luput di pertimbangkan Termohon I dalam putusannya ;-

Menimbang, bahwa bukti bantahan T. II terutama T.II.1 berupa fotokopi Putusan Arbritrase bukalnah kontra bukti yang melemahkan fakta , sedangkan bukti T.II.2 dan bhukti T.II.3 tidak pula mampu mengkanter bukti, dalil-dalil dan alasan Pemohon ;-

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas dihubungkan dengan bukti persangkaan hakim, maka telah ternyata bahwa Termohon II telah melakukan perbuatan yang mengindikasikan ketidakjujuran dalam bertransaksi ;-

Menimbang, bahwa indikator-indikator ketidakjujuran dari Termohon II dalam bertransaksi dapat dilihat dan simpulkan dari hal-hal sebagai berikut :

฀ Termohon II telah ternyata tidak memenuhi persyaratan yang dijanjikan dalam akta al-murabahah No.53/2005 pasal 3 ayat (10) yakni berupa IMB yang merupakan dokumen penting, yang dijanjikan sebelumnya selesai dalam hitungan bulan sejak tahun 2004 sampai dengan sekarang belum juga diselesaikan ;-

฀ Termohon II telah ternyata mengabaikan persyaratan pasal 3 ayat (4) dan pasal 3 ayat ( 23 ) akta al-murabahah, yaitu berupa pembayaran biaya notaries dan tidak menyerahkan self financing.

฀ Termohon II tidak beriktikad baik untuk menetralisir kegundahan Pemohon mengenai syarat-syarat yang diajnjikan itu terutama yang berkaitan dengan IMB dengan mencoba menghadirkan pelaksana jasa kontraktor H. Jayadi Kusumah, SH untuk hadir sebagai saksi dipersidangan BASYARNAS dalam upaya konfirmasi dan klarifikasi dari yang bersangkutan ;-

฀ Bahwa ternyata terhadap apa yang telah disimpulkan diatas oleh Termohon I sebagai Majelis Arbritrase tidak dipertimbangkan. Menimbang, bahwa oleh karena Termohon II telah melakukan perbuatan tidak jujur, maka Majelis Hakim dapat menetapkan bahwa perbuatan tidak jujur yang dilakukan oleh Termohon II patut dikategorikan sebagai perbuatan “ tipu muslihat “ , sebagaimana didefisikan dalam pertimbangan sebelumnya ;-

Menimbang, bahwa oleh karena perbuatan Termohon II dikategorikan sebagai perbuatan tipu muslihat, maka dalam kontek ini Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Putusan Termohon I sebagai Majelis Arbritrase diambil dari hasli tipu muslihat yang dilakukan oleh Termohon II ;-


(5)

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas tanpa mempertimbangkan bukti lain yang diajukan Pemohon dan Termohon II, Majelis Hakim berpendapat bahwa Pemohon telah berhasil membuktikan dalil permohonannya secara sah dan meyakinkan, sehingga olehkarenanya sesuai dengan ketentuan pasal 70 huruf c, Permohonan Pemohon harus dikabulkan ;-

Menimbang, bahwa karena apa yang dipertimbangkan oleh Majelis Hakim dalam putusan ini lebih mengarah kepada pembatalan karena putusan arbritrase diduga mengandung unsur-unsur antara lain putusan diambil dari hasil tipu muslihat dan tidak mengarah kemana-mana termasuk kepada isi amar putusan BASYARNAS, oleh karenanya petitum No. 2 agar Majelis Hakim menyatakan cacat karena dalam putusan BASYARNAS isi amarnya saling bertentangan satu sama lain harus dikesampingkan dan tidak perlu dipertimbangkan lagi ;-

Menimbang, bahwa terhadap petitum No. 3 oleh karena telah terbukti T. II telah melakukan perbuatan tipu muslihat “, maka permohonan Pemohon agar Majelis Hakim membatalkan putusan BASYARNAS No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak yang diputuskan pada tanggal 16 September 2009 dan telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat sesuai akta pendaftaran No.01/BASYARNAS/2009/PAJP tanggal 12 Oktober 2009,

adalah dapat dikabulkan ;-

Menimbang, bahwa oleh karena putusan BASYARNAS akan dibatalkan, maka sebagai akibat pembatalan putusan tersebut harus dinyatakan bahwa putusan tersebut tidak berkekuatan hukum, sehingga oleh karenanya dengan mempertimbangkan petitum subsider Majelis Hakim perlu menambahkan diktum dalam putusan ini bahwa putusan BASYARNAS tidak mempunyai kekuatan hukum.

Menimbang, bahwa oleh karena Termohon I dan Termohon II sebagai pihak yang kalah dalam perkara ini seharusnya sesuai pasal 181 HIR keduanya harus dihukum untuk membayar biaya perkara, akan tetapi sesuai ketentuan pasal 21 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 bahwa kepada Termohon I sebagai arbrirter harus dibebaskan dari tanggung jawab hukum, sehingga dengan demikian biaya perkara ini harus dibebankan sepenuhnya kepada Termohon II;-

Menimbang, bahwa hal-hal yang tidak dipertimbangkan dalam putusan ini dinyatakan dikesampingkan;- Mengingat, segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan dalil

syar'i yang bersangkutan dengan perkara ini; MENGADILI

DALAM EKSEPSI:-

฀ Menolak eksepsi Termohon I dan T ermohon II seluruhnya ;- DALAM POKOK PERKARA:-

1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;-

2. Membatalkan Putusan BASYARNAS No. 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak yang diputuskan pada tanggal 16 September 2009 dan yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakatrta Pusat sesuai akta Pendaftaran No. 01/BASYARNAS/2009/PAJP tanggal 12 Oktober 2009 ;-


(6)

3. Menyatakan Putusan BASYARNAS No. 16/tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak tanggal 16 September 2009 tersebut diatas tidak mempunyai kekuatan hukum;-

4. Membebankan biaya perkara kepada Termohon II yang hingga kini diperhitungkan sebesar Rp. 306.000,- ( tiga ratus enam ribu rupiah ) ;-

Demikian diputuskan dalam permusyarawaratan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada hari Kamis tanggal 10 Desember 2009 Masehi bertepatan dengan tanggal 22 Dzulhijjah 1430, yang terdiri dari Drs. H. Masrum, MH. sebagai Ketua Majelis dan Drs. H. Uyun Kamiluddin, SH, MH,Drs. H. Ujang Soleh, SH, Drs. Yusran, MH dan Drs. Subuki, MH masing-masing sebagai hakim-hakim Anggota, putusan mana oleh Ketua Majelis Hakim tersebut pada hari itu juga diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan didampingi oleh Hakim Anggota yang sama dan di bantu oleh Drs. Ach. Jufri, SH sebagai Panitera dan dihadiri oleh Kuasa Hukum Pemohon, Kuasa Hukum Termohon I dan Kuasa Hukum Termohon II;

Ketua Majelis, Ttd.

Drs. H. Masrum, MH. Hakim Anggota, Ttd.

Drs. H. Uyun Kamiluddin, SH, MH, Ttd.

Drs. H. Ujang Soleh, SH, Ttd.+

de

Drs. Yusran, MH Ttd.

Drs. Subuki, MH Panitera Ttd.

Drs. Ach. Jufri, SH

Perincian Biaya Perkara :

1. Biaya Pendaftaran : Rp. 30.000,- 2. Biaya Panggilan : Rp. 265.000,- 3. Biaya Redaksi : Rp. 5.000,- 4. Materai : Rp. 6.000,- + Jumlah : Rp. 306.000,-


Dokumen yang terkait

Peran Hakim Mediator Dalam Menyelesaikan Perkara Perdata Menurut Perma Nomor 1 Tahun 2008

0 69 114

Penyelesaian Sengketa Pada Perbankan Syariah Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama

3 73 116

Pengangkatan Anak Bagi Warga Muslim Di Pengadilan Negeri Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

0 8 103

Peran Hakim Mediasi Dalam Perkara Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)

1 51 0

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA (STUDI PELAKSANAAN UNDANG – UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENGADILAN AGAMA OLEH PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA)

0 24 125

LANDASAN KEPUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEBELUM DAN SESUDAH UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 jo UNDANG UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006

0 4 65

DAMPAK PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG UUPA TERHADAP KEWENANGAN PENYELESAIAN DAMPAK PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG UUPA TERHADAP KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH.

0 1 14

PENDAHULUAN DAMPAK PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG UUPA TERHADAP KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH.

0 2 16

PERANAN BADAN ARBITRASE NASIONAL (BASYARNAS) SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH.

0 0 8

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH (BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006) - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR) LISTYO BUDI SANTOSO

0 0 160