BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Ciri Pengenal Tradisi Lisan
Rusyana 1981: 17 mengemukakan ciri dasar sastra lisan yaitu: 1 sastra lisan tergantung kepada penutur, pendengar, ruang dan waktu; 2 antara
penutur dan pendengar terjadi kontak fisik, sarana komunikasi dilengkapi paralinguistik; dan 3 bersifat anonim. Junus 1981: 144 mengemukakan ciri
cerita rakyat, yaitu: 1 terikat kepada lokasi tertentu; 2 berhubungan dengan masa tertentu, biasanya sudah lampau; dan 3 partisipasi seluruh masyarakat
dengan kemungkinan pengenalan kelompok umum. Lebih luasnya dalam cakupan folklor di mana sastra lisan menjadi
bagiannya, Danandjaja 1994 2-4 dengan merujuk beberapa pendapat, mengemukakan ciri pengenalnya, yaitu:
1 penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan atau
disertai gerak isyarat dan alat pembantu pengingat; 2
bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar, disebarkan di antara kolektif tertentu dalam
waktu yang cukup lama paling sedikit dua generasi; 3
berada dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda; 4
bersifat anonim; 5
biasanya mempunyai bentuk berumus dan berpola; 6
mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif; 7
bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum;
8 menjadi milik bersama kolektif tertentu, setiap anggota kolektif yang
bersangkutan merasa memilikinya; dan 9
pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali tampak kasar, dan terlalu spontan.
2.2 Cerita Rakyat
Yus Rusyana dalam himpunan makalahnya tentang cerita rakyat mengemukakan dua pengertian tentang cerita rakyat. Ia menyebutkan
pengertian cerita rakyat Nusantara dan cerita rakyat Sunda. Menurutnya, cerita rakyat Nusantara adalah cerita yang berkembang dan menyebar secara lisan
yang lahir dalam bahasa-bahasa daerah di Indonesia 1981: 19. Adapun yang dimaksud dengan cerita rakyat Sunda adalah cerita rakyat dalam ruang tradisi
lisan yang hidup di kalangan masyarakat berbahasa Sunda 981: 45. Sejalan dengan pendapat di atas, cerita rakyat Rusia pun dapat diartikan sebagai cerita
rakyat dalam ruang tradisi lisan yang hidup di kalangan masyarakat berbahasa Rusia.
Dalam kerangka penganalisisan, dengan merujuk pendapat Maranda 1971: 17, Yus Rusyana mengemukakan bahwa penganalisisan terhadap cerita
rakyat harus mempertimbangkan pendukung tradisi dan pendengarnya, tingkah laku dan reaksi masyarakatnya, serta keseluruhan budaya kelompoknya 1981:
44. William R. Bascom, menggolongkan cerita rakyat ke dalam tiga
golongan besar, yaitu: 1 mite; 2 legenda; dan 3 dongeng. Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh
empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwanya terjadi di dunia lain, atau dunia yang bukan seperti yang kita
kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Sedangkan legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap suci.
Legenda ditokohi manusia, walaupun adakalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa, dan seringkali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya
adalah di dunia yang seperti yang kita sekarang karena waktu terjadinya belum terlalu lampau Danandjaja, 50-66.
Jan Harold Brunvand membagi legenda ke dalam empat golongan, yaitu: legenda keagamaan, legenda alam gaib, legenda perseorangan, dan
legenda setempat Danandjaja, 1994: 67-75. Adapun Anti Aarne dan Stith Thompson menyebutkan dongeng sebagai bagian cerita prosa rakyat yang tidak
dianggap benar-benar terjadi oleh empunya cerita, dan tidak terikat oleh waktu maupun tempat. Selanjutnya mereka membagi dongeng ke dalam empat
golongan besar, yaitu: dongeng binatang, dongeng biasa, lelucon dan anekdot, dan dongeng berumus Danandjaja, 1994: 50-51.
2.3
Motif
dalam Perspektif Folklor
Yang dimaksud dengan
motif
dalam ilmu folklor adalah unsur-unsur suatu cerita
narrative elements
. Motif teks suatu cerita rakyat adalah unsur dari cerita yang menonjol dan tidak biasa sifatnya. Unsur-unsur itu dapat
berupa benda, hewan luar biasa, suatu konsep larangan atau tabu, suatu perbuatan, penipuan terhadap suatu tokoh, tipe orang tertentu, atau sifat
struktur tertentu Danandjaja, 1994: 53. Dongeng, sebagai bagian dari cerita rakyat, oleh Alan Dundes dipecah
menjadi bagian-bagian yang disebut
motifemes
atau rangka-rangka. Setiap dongeng terdiri dari deretan
motifeme
. Seperti sebuah kotak,
motifeme
dapat diisi dengan beraneka ragam
motif
atau
allomotif
motif pengganti. Metode analisis strukturalis Alan Dundes ini adalah berdasarkan metode analisis
strukturalis yang pernah dikembangkan Vladimir Propp.
Motifeme
dari Dundes dapat disamakan dengan
funtion
dari Propp. Istilah
motifeme
dipinjam Dundes dari Kenneth L, Pike. Empat
motifeme
yang ditunjukkan Dundes atas dongeng Indian Amerika adalah: 1
interdiction
larangan, 2
violation
pelanggaran, 3
consequence
akibat, dan 4
attempted escape
berusaha melarikan diri. Dundes menyatakan, sekurang-kurangnya dongeng-dongeng Indian Amerika
menunjukkan dua motifeme, yaitu
lack
kekurangan dan
lack liquidated
kekurangan dihilangkan. Dundes mampu menunjukkan bahwa dari isi-isi
cerita yang berbeda dapat mempunyai struktur yang identik. Danandjaja, 1994: 93-94.
Philip Frick McKean menerapkan cara penganalisisan strukturalis Alan Dundes terhadap dongeng-dongeng Kancil dari khazanah folklor Jawa. Dari
struktur dongeng-dongeng Kancil,
motifeme-motifeme
yang ditunjukkannya adalah secara beruturan dari
lack liquidates
LL ke
lack liquidates
LL kembali. Menurutnya, berdasarkan urutan
motifeme
tersebut dapat disimpulkan bahwa
ideal folk
Jawa selalu mendambakan keadaan keselarasan. Dari isi dongeng-dongeng Sang Kancil, diketahui bahwa kancil mewakili tipe
ideal orang Jawa atau melayu-Indonesia sebagai lambang kecerdikan yang tenang, yang McKean sebut sebagai
cool mintelligence
dalam menghadapi kesukaran, selalu dapat dengan cepat memecahkan masalah yang rumit tanpa
banyak ribut-ribut tanpa banyak emosi McKean, 1971-83-84 dalam Danandjaja, 1994: 96.
2.4 Teks dan Masyarakat dalam Mediasi Sosial