20 bekerja atau menjalin hubungan hingga ke jenjang pernikahan. Karena itu
masa dewasa awal merupakan masa yang sangat penting karena pada masa ini seseorang perlu membuat pilihan yang tepat demi menjalin masa depannya.
Pada masa ini seseorang akan menghadapi dilemma antara kerja dan keluarga, mereka sudah mulai menerima dan memikul tanggung jawab yang lebih berat.
Masa dewasa awal disebut juga golden age dimana pada masa ini semangat hidup seorang wanita tidak dapat ditunggu lagi. Pada usia emas ini hidup
harus diputuskan saat ini demi mewujudkan citi-citanya Prasetyadi, 2008
C. Eksistensi Wanita Dalam Budaya Jawa
Menurut Handayani dan Novianto 2004 kata wanita dalam masyarakat Jawa lebih dipilih daripada perempuan, sebab berdasarkan pemaknaan, kata
“wanita” lebih dekat dengan kesadaran praktis masyarakat Jawa, dalam artian ‘Wanita” berasal dari kata wani berani dan tata diatur, artinya seorang
wanita adalah sosok yang berani ditata dan diatur. Analisis terhadap status dan peran wanita Jawa, terutama dalam
hubungannya dengan pola pembagian kerja menghasilkan dua kesimpulan yang bertolak belakang. Hal tersebut menurut Kusujiarti dalam Abdullah,
1997 disebabkan adanya perbedaan persepsi dan pendekatan yang digunakan dalam mencermati hubungan gender dan dinamika interaksi yang terjadi
dalam hubungan gender pada masyarakat Jawa. Analisis pertama mengemukakan bahwa perempuan Jawa memiliki
kekuasaan yang besar dan status yang tinggi, baik dalam masyarakat luas
21 maupun keluarga. Posisi tersebut dicapai perempuan antara lain karena adanya
struktur keluarga yang bilateral, anggapan umum yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan atau suami-istri adalah dua mahluk yang saling
melengkapi, serta sumbangan perempuan yang cukup besar dalam ekonomi keluarga yang dicapai melalui partisipasi aktif mereka dalam kegiatan
produktif Handayani dan Novianto, 2004. Menurut Koentjaraningrat 1984 peranan penting perempuan juga
ditunjukkan dengan adanya kenyataan bahwa di sebagian besar rumah tangga Jawa, perempuanlah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan pendapatan
dan pengeluaran rumah tangga. Selain itu, perempuan juga berperan penting dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini sangat berbeda dengan keadaan
dan status perempuan di negara-negara berkembang lainnya, seperti Banglades, India, dan Cina, bahkan di antara kelompok masyarakat lain di
wilayah Indonesia. Faktor-faktor itu menunjukkan bahwa perempuan mempunyai akses yang cukup besar terhadap berbagai jenis sumber daya, baik
yang ada dalam keluarga maupun masyarakat. Sedangkan kemampuan dan kesempatan untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya ekonomi, sosial,
dan kultural merupakan faktor-faktor yang sangat penting dalam menentukan status dan peranan perempuan
Analisis kedua menyangkal pendapat tersebut. Menurut analisis ini, peranan penting perempuan dalam sektor ekonomi dan pengelolaan rumah
tangga belum tentu menunjukkan tingginya status dan kekuasaan perempuan. Perempuan memiliki beban ganda karena mereka harus mencari nafkah untuk
22 keluarga dan juga dituntut untuk menyelesaikan sebagian besar pekerjaan
domestik, sehingga mereka harus membagi waktu dan sumber daya untuk memenuhi kedua kewajiban tersebut secara bersamaan Murniati, 1998.
Menurut Mukmin 1980 wanita Indonesia memiliki berbagai macam motivasi yang mendorong mereka untuk bekerja diluar rumah, antara lain
ekonomi material, misalnya untuk menambah penghasilan keluarga, motivasi mental spiritual, yaitu untuk mempraktekkan ilmu pengetahuan yang diperoleh
guna meningkatkan karier dan kepuasan mental atuapun hanya sekedar keisengan yaitu bekerja sebagai suatu hoby tanpa tujuan tertentu hanya untuk
mengisi waktu luang saja. Pada umumnya motivasi wanita Indonesia bekerja adalah karena adanya motivasi ekomoni dan spiritual. Wanita memandang
pekerjaan hanya sebagai hal sampingan sedangkan pria memandang pekerjaan sebagai hal pokok bahkan mereka mengidentifikasikan diri dengan pekerjaan.
Dalam masyarakat Jawa banyak ditemukan wanita Jawa justru dapat bertindak lebih taktis dan lebih rasional dalam situasi yang penuh tekanan
terutama secara sosial. Hal ini disebabkan karena posisi laki-laki ada di wilayah publik, biasanya kaum laki-lakilah yang paling merasa terdesak untuk
membawa diri sesuai dengan tuntutan-tuntutan tata karma yang tepat. Dengan demikian, karena dia berada di posisi publik maka laki-laki Jawa menanggung
beban publik untuk selalu bisa membawakan diri. Oleh karena itu, dalam situasi penh tekanan sosial dia akan cenderung tidak spontan dan kurang
jernih. Adapun kaum wanita jauh lebih mudah mengikuti rasa spontannya
23 mengingat posisinya di wilayah privat sehingga ia cenderung bebas dan lebih
jernih untuk mengemukakan pendapatnya . Handayani dan Novianto, 2004. Dari dua analisis tersebut dapat diketahui bahwa kondisi kekuasaan
dan peran perempuan Jawa dalam masyarakat dan keluarga merupakan kenyataan semu yang masih membutuhkan kajian yang lebih kritis. Para
penganut analisis kedua berpendapat bahwa sistem patriarki merupakan halangan terbesar bagi perempuan Jawa untuk mendapatkan status dan peran
yang setara dengan laki-laki. Sistem patriarki dengan nilai-nilai yang mengutamakan laki-laki ini, mempengaruhi cara perempuan dan laki-laki
dalam mempersepsikan status dan peranannya dalam keluarga dan masyarakat serta menentukan citra masing-masing jenis kelamin dalam tatanan
masyarakat Budiman, 1985. Dalam tatanan sosial yang dilandasi pada sistem hubungan yang
patriarkis, walaupun perempuan aktif dalam proses produksi dan tidak menghadapi hambatan kultural dan sosial yang sangat berarti dalam pola
pembagian kerja secara domestik ataupun publik, namun pada dasarnya segala aktivitas perempuan dan persepsi masyarakat terhadap status dan posisi
perempuan dilingkupi oleh nilai-nilai patriarkis yang memihak pada laki-laki. Nilai-nilai yang patriarkis tersebut diinternalisasikan dan dilanggengkan
melalui berbagai institusi sosial seperti lembaga politik, pendidikan, maupun kepercayaan-kepercayaan, sehingga subordinasi tersebut tidak dirasakan
sebagai suatu sistem yang secara langsung sangat menekan dan memojokkan perempuan Abdullah, 1997.
24 Kedua analisis tersebut, meskipun nampaknya sangat berlawanan, namun
sesungguhnya merupakan perspektif yang saling melengkapi. Di satu pihak, perempuan Jawa, khususnya perempuan Jawa yang berada di pedesaan
menempati posisi yang penting dalam keluarga dan masyarakat. Namun, di pihak lain perempuan tidak mendapatkan prestise, kesempatan, dan kekuasaan
yang sebanding dengan laki-laki. Ideologi gender yang hegemonis, ideologi familialisme, yang menekankan peranan perempuan sebagai ibu dan istri,
merasuk dan mempengaruhi cara pandang maupun persepsi perempuan dan laki-laki terhadap pengalaman kesehariannya. Kedua analisis tersebut berguna
untuk menganalisis status dan peranan perempuan Jawa dalam masyarakat dan keluarga.
Pendekatan pertama lebih menitikberatkan pada segi positif dan faktor- faktor yang menguntungkan bagi perempuan Jawa untuk berperan dalam
keluarga dan masyarakat, tanpa melihat secara kritis mekanisme dan struktur yang memojokkan serta menghambat perempuan. Pendekatan kedua
menitikberatkan pada adanya mekanisme struktural dan kultural, serta ideologi yang hegemonik yang melahirkan subordinasi terhadap perempuan. Sebagai
akibatnya, perspektif ini kurang melihat perempuan sebagai mahluk yang aktif, yang tidak begitu saja menyerah pada ketentuan struktur dan kultur.
Cara pandang ini juga kurang melihat hubungan gender sebagai suatu interaksi yang dinamis. Secara implisit paradigma ini memprapersepsikan atau
mengasumsikan bahwa setiap hubungan gender bersifat eksploitatif dan mensubordinasikan perempuan dan menganggap bahwa laki-laki secara
25 konspiratif bersepakat, serempak, dan sadar berusaha menempatkan
perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan Budiman, 1985. Hubungan gender dan analisis terhadap hubungan tersebut harus
dikaitkan dengan konteks kultural dan historis. Tanpa pertimbangan terhadap konteks budaya dan sejarah dari hubungan tersebut, analisis hubungan gender
dapat menyesatkan dan bersifat parsial. Kaitan antarbudaya serta wacana- wacana yang hegemonik serta kenyataan faktual dalam kehidupan sehari-hari
perlu dipandang sebagai dua hal yang saling berinteraksi secara dinamik dan dialektika. Praktek hubungan gender yang secara nyata dapat diamati sehari-
hari berkaitan dan mempengaruhi wacana dan ideologi yang dominan, begitu pula sebaliknya Budiman, 1985.
Ideologi yang menekankan bahwa peran perempuan yang utama adalah di sekitar rumah tangga, sebagai ibu dan istri, telah lama
disosialisasikan dan diinternalisasikan dalam masyarakat Jawa. Ideologi ini telah bersatu dan menjadi elemen dalam budaya Jawa. Dalam masyarakat
Jawa, ideologi tersebut dilestarikan dan secara terus menerus diredefinisikan melalui hukum-hukum adat yang berlaku, kepercayaan-kepercayaan, serta
negara dan pemerintah yang pernah ada dalam sejarah masyarakat Jawa. Ideologi yang menekankan pada peran rperoduksi dan domestik perempuan
sangat ditekankan pada perempuan kelas atas pada jaman kerajaan-kerajaan Jawa. Perempuan digambarkan sebagai mahluk yang anggun, halus, rapi,
tetapi tidak memiliki daya pikir yang tinggi dan kurang memiliki kemampuan serta kekuatan spiritual, sehingga ia dianggap tidak mampu menduduki
26 jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan dan masyarakat. Dengan
demikian perempuan dianggap sebagai mahluk yang sekunder atau the second sex
, sehingga perempuan dianggap perlu mendapatkan perlindungan dan pengarahan dari laki-laki Abdullah, 1997.
Status dan peran perempuan dalam masyarakat Jawa sangat ditentukan oleh status laki-laki atau suaminya, karena perempuan
mendapatkan perlindungan, pengarahan dan status dari laki-laki maka sebagai imbalannya perempuan harus tunduk dan memenuhi kebutuhan laki-
laki, serta mendukung keinginan dan kepentingan laki-laki. Dalam masyarakat feodal yang aristokratik, ideologi ini sangat penting untuk
mendukung kelestarian suatu dinasti. Kesetiaan dan ketundukan perempuan dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan keturunan dan mendapatkan
kepastian bahwa keturunan yang ada adalah pewaris yang sah dari raja yang berkuasa Abdullah, 1997.
Walaupun ideologi gender telah mengalami redefinisi dan modifikasi, namun esensi sebagian nilai yang terkandung dalam ideologi tersebut tetap
eksis dalam masyarakat Jawa masa kini. Secara ideal masih terdapat anggapan bahwa peran utama perempuan ada di sekitar rumah tangga dan
tugas-tugas domestik. Aktivitas perempuan dalam sektor lain, seperti sektor produksi dianggap sebagai tugas sekunder. “Keperempuanan” atau
“feminitas” perempuan ditentukan oleh peran mereka di sektor-sektor domestic Abdullah, 1997.
27 Konsep perempuan sebagai ibu dan istri merupakan tema sentral dalam
pembicaraan tentang perempuan. Kedua konsep tersebut seolah-olah tidak dapat dilepaskan dari kehidupan perempuan. Ideology familialisme ideology
of familialism atau ibuisme melingkupi kehidupan sosial, politik, ekonomi,
dan budaya. Ideologi tersebut disosialisasikan dan berusaha diwujudkan dalam setiap kegiatan dan institusi-institusi yang formal. Kedirian perempuan
tidak dapat dilepaskan dari peranannya sebagai ibu dan istri, perempuan dianggap sebagai mahluk sosial dan budaya yang utuh apabila telah
memainkan kedua peranan tersebut dengan baik Abdullah, 1997.
D. Aktivitas Penyanyi Wanita Solo Organ