Isolasi Dan Penapisan Kapang Penghasil Β-Glukosidase Dan Karakterisasi Enzim Yang Dihasilkan
ISOLASI DAN PENAPISAN KAPANG PENGHASIL
β
-GLUKOSIDASE DAN KARAKTERISASI
ENZIM YANG DIHASILKAN
OLEH :
TRIRAKHMA SOFIHIDAYATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
RINGKASAN
TRIRAKHMA SOFIHIDAYATI. Isolasi dan Penapisan Kapang Penghasil
β-Glukosidase dan Karakterisasi Enzim yang Dihasilkan. Dibimbing oleh: I MADE ARTIKA dan TRESNAWATI S. PURWADARIA.
Tumbuh-tumbuhan menghasilkan karbohidrat dalam bentuk pati dan lignoselulosa. Selulosa tidak bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi oleh ternak unggas karena hewan tersebut tidak memiliki mikroorganisme rumen yang mampu mencerna selulosa. Beberapa cara pengolahan limbah dilakukan dengan menggunakan bantuan mikrob yang dapat menghasilkan enzim selulolitik. Selain kapang, enzim selulase juga dihasilkan oleh siput dan rayap. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi kapang yang dapat menghasilkan enzim β-glukosidase, memproduksi dan
mengkarakterisasi enzim. Sebanyak 22 isolat yang menunjukkan aktivitas β-glukosidase dengan menghasilkan daerah hitam pada medium yang mengandung
eskulin, berhasil diisolasi. Kapang yang menghasilkan aktivitas β-glukosidase tertinggi (RM 3D) diidentifikasi sebagai Aspergillus foetidus (Naka.) Thom dan Raper.
Produksi enzim β-glukosidase dari Aspergillus foetidus (Naka.) (RM 3D) pada medium yang mengandung 3% polard pada suhu ruang, dan waktu inkubasi 6 hari menghasilkan aktivitas sebesar 3.56 U/ml. Aktivitas optimum enzim β-glukosidase berada pada pH 5.0 dan suhu 60 ºC. Enzim β-glukosidase relatif stabil pada pH 4.2 - 5.0. Enzim β-glukosidase juga stabil pada penyimpanan suhu 28 dan 40 ºC, tetapi tidak stabil pada suhu 80 ºC. Aktivitas β-glukosidase meningkat dengan adanya penambahan kation-kation Mg2+, Ba2+, Ca2+, Mn2+, dan Co2+ dengan konsentrasi akhir 1mM. Aktivitas β-glukosidase meningkat setelah penambahan EDTA dan ion Fe2+ dengan konsentrasi akhir 5 mM. Aktivitas β-glukosidase menurun setelah penambahan kation Cu2+ dan Zn2+, baik dengan konsentrasi akhir 1 mM maupun 5 mM. Aktivitas spesifik β-glukosidase meningkat 2 kali lipat setelah pemekatan dengan menggunakan pelarut organik aseton pada tingkat kejenuhan 80%, tetapi kadar proteinnya menurun 64%. Hasil analisis SDS-PAGE memperlihatkan adanya 4 pita protein yang terbentuk, masing-masing dengan berat molekul 134.9, 104.7, 87.1, dan 41.7 kDa. Hasil analisis zimografi menunjukkan bahwa enzim β-glukosidase Aspergillus foetidus (Naka.) (RM 3D) mempunyai berat molekul 134.9 kDa.
(3)
ABSTRACT
TRIRAKHMA SOFIHIDAYATI. Isolation and Screening β-glucosidase-producing fungi and Characterization the enzyme. Under the direction of: I MADE ARTIKA and TRESNAWATI S. PURWADARIA.
Plants are producing carbohydrate in the form of polysacharide and lignocellulose. Cellulose can not be used as a energy sources by poultry, because they do not have rumen microorganism having capability to digest cellulose. Several methods employed in waste management are using cellulolytic-producing microbacteria. Cellulolytic enzyme is produced by fungi, snails and termites. The purpose of this research is to isolate β-glucosidase- producing fungi and characterize the enzyme. Beta-glucosidase activity is indicated by the presence of black zone on medium containing esculin. The fungi having high level β-glucosidase (RM 3D) activity identified as Aspergillus foetidus (Naka.) Thom and Raper.
Beta-glucosidase enzyme production from Aspergillus foetidus (Naka.) (RM 3D) on the medium containing 3% wheat pollard, at room temperature and with incubation periode of 6 days showed activity at 3.56 U/ml. The optimum activity level of β-glucosidase was reached at pH 5.0 and temperature 60 ºC. The stable condition for
the β-glucosidaseis was observed in pH 4.2 – 5.0. The enzyme was relatively stable at 28 and 40 ºC, but very unstable at 80 ºC. The activity of β-glucosidase increased by addition of cations Mg2+, Ba2+, Ca2+, Mn2+, Co2+ and EDTA at concentration of 1 mM, and by EDTA and Fe3+ at concentration of 5 mM. On the other hand, the activity
decreased when 1 mM and 5 mM cations of Cu2+ and Zn2+ were added. The activity of
β-glucosidase increased two fold after precipitated by organic solvent acetone at 80%, but the protein level decreased 64%. Analysis on SDS-PAGE of the enzyme generated 4 protein band appeared at molecular weight of 134.9, 104.7, 87.1 and 41.7 kDa respectively. Zymografi analysis confirmed that the β-glucosidase Aspergillus foetidus
(4)
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:
ISOLASI DAN PENAPISAN KAPANG PENGHASIL β-GLUKOSIDASE DAN KARAKTERISASI ENZIM YANG DIHASILKAN
Adalah benar merupakan hasil penelitian saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya
Bogor, Maret 2007
TRIRAKHMA SOFIHIDAYATI NRP. G451030031
(5)
ISOLASI DAN PENAPISAN KAPANG PENGHASIL
β
-GLUKOSIDASE DAN KARAKTERISASI
ENZIM YANG DIHASILKAN
TRIRAKHMA SOFIHIDAYATI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Biokimia
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(6)
Judul Tesis : Isolasi dan Penapisan Kapang Penghasil β-Glukosidase dan Karakterisasi Enzim yang dihasilkan
Nama : Trirakhma Sofihidayati
NRP : G451030031
Program Studi : Biokimia
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. I Made Artika, M. App. Sc Dr. Ir. Tresnawati S. Purwadaria
Ketua Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Biokimia Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
(7)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 4 September 1963 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari Bapak H. Sundjoto Ariyosuhendro dan Ibu almarhumah Hj. Siti Arifah. Tahun 1990 penulis menikah dengan Erwanto dan mempunyai seorang anak, Anisa Fatiha Qodriyani (1999)
Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan Bogor pada tahun 1991, dan pada tahun 2003 penulis diterima di Program Studi Biokimia pada Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis bekerja sebagai pengajar Luar Biasa pada jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan Bogor.
(8)
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
Tesis yang berjudul “Isolasi dan Penapisan Kapang Penghasil β-Glukosidase dan Karakterisasi Enzim yang Dihasilkan” disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan dari bulan Juli 2005 sampai dengan Agustus 2006 di Laboratorium Pakan, Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Ir. I Made Artika, M. App. Sc. dan Ibu Dr. Ir. Tresnawati S. Purwadaria selaku pembimbing atas arahan, bimbingan,
perhatian dan kesabarannya yang telah diberikan dalam penelitian dan penulisan tesis. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Kepala Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor atas izin dan segala fasilitas yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Pak Helmi, Ibu Emi, Pak Tyas, Ibu Ema, Ibu Tuti, Ibu Susan, Nila, Eka, dan semua pegawai Laboratorium Pakan dan Analitik Balitnak Ciawi Bogor atas bantuan dan pengorbanan waktunya. Demikian pula kepada Pak Arya di Biokimia, Ibu Emmi di Mikologi dan Anggia di Bioteknologi yang rela dan siap membantu untuk menyelesaikan penelitian.
Rasa terima kasih dan sayang penulis sampaikan kepada Papa tercinta yang telah mendidik, mendoakan, memberi dorongan semangat dan kasih sayangnya. Kepada Suamiku tercinta atas pengertian dan perhatiannya selama penulis melakukan studi dan penelitian. Juga kepada kakak-kakak dan adikku yang telah memberi bantuan dan dorongan semangatnya. Rekan-rekanku Pak Rikson, Bustan, Tati, Ade dan semua pihak yang turut membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas dukungan moril dan persahabatannya. Serta kenangan yang mendalam kepada Almarhumah Mama atas doa, motivasi dan kasih sayangnya yang tulus semasa hidup.
(9)
Semoga Allah SWT yang Maha Pemurah membalas semua kebaikan yang diberikan dengan balasan yang lebih sempurna.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangannya, namun demikian semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi penelitian selanjutnya.
Bogor, Maret 2007
(10)
Halaman
DAFTAR TABEL ... .... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 3
Manfaat Penelitian... 4
Hipotesis ... 4
TINJAUAN PUSTAKA Selulosa dan Enzim Selulase ... 5
Mekanisme Penguraian Selulosa ... 9
Enzim β-glukosidase ... 10
Pemekatan dan Pemisahan Enzim... 12
Pemanfaatan Kapang ... 16
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian... 18
Bahan dan Alat ... 18
Metode Penelitian ... 18
Isolasi Kapang Selulolitik ... 18
Penapisan Kapang Penghasil β-glukosidase... 19
Pembuatan Polard NaOH ... 19
Produksi Enzim ... 19
Penentuan Aktivitas Enzim ... 20
Penentuan Aktivitas Total Selulase ... 20
Penentuan Aktivitas β-glukosidase ... 20
Penentuan Kadar Protein dan Aktivitas Spesifik.... 21
Karakterisasi Enzim β-glukosidase ... 22
Penentuan pH dan Suhu Optimum Enzim ... 22
Penentuan pH dan Suhu Stabilitas enzim ... 22
Pengendapan Protein dengan Aseton ... 22
Pengaruh EDTA dan Ion logam terhadap Aktivitas Enzim... ... 22
Penentuan Berat Molekul Enzim dengan Teknik Zimografi... 23
Pembuatan Gel Poliakrilamida SDS-PAGE ….…. 23 Preparasi Sampel Protein ….……….……. 23
(11)
x
Pewarnaan Protein ……… 24
Analisis Zimografi SDS-PAGE ... 25
Identifikasi Isolat Kapang ……….………… 25
HASIL DAN PEMBAHASAN Penapisan Kapang Secara Semi Kuantitatif ... 26
Identifikasi Isolat Kapang RM 3D... 30
Karakterisasi Enzim β-glukosidase ... 31
Pengaruh pH Dan Suhu Terhadap Aktivitas ... 31
Pengaruh pH Dan Suhu Terhadap Stabilitas …………... 34
Pengaruh Penambahan Aseton Terhadap Perolehan Kembali Protein dan Aktivitas Spesifik... 37
Pengaruh EDTA dan Kation... 38
Penentuan Bobot Molekul ... 40
SIMPULAN DAN SARAN ... 42
DAFTAR PUSTAKA ... 44
(12)
xi
Halaman
1 Hidrolisis berbagai substrat oleh enzim selulolitik……… 8
2 Metode pemurnian untuk mengisolasi β-glukosidase dari komponen
selulase... 14
3 Produk metabolit yang dihasilkan kapang... 17
(13)
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Struktur selulosa. ... 5
2 Struktur molekul selulosa ... 6
3 Mekanisme hidrolisis selulosa oleh kompleks selulase... 9
4 Model regulasi biosintesis selulase ... 11
5 Pemotongan eskulin oleh adanya aktivitas enzim β-glukosidase... 15
6 Beberapa isolat hasil isolasi. ... 28
7 Kurva produksi enzim Fpase isolat kapang... 29
8 Kurva produksi enzim β-glukosidase isolat kapang... 30
9 Isolat kapang Aspergillus foetidus (Naka.) (RM 3D)... 31
10 Aktivitas β-glukosidase terhadap variasi pH... 32
11 Aktivitas β-glukosidase terhadap variasi suhu... 33
12 Stabilitas β-glukosidase terhadap variasi pH... 35
13 Stabilitas β-glukosidase pada suhu 28 ºC ... 36
14 Stabilitas β-glukosidase pada suhu 40 ºC ……….. 36
15 Stabilitas β-glukosidase pada suhu 80 ºC ... 37
16 Pengaruh Aseton Terhadap β-glukosidase... 38
17 Pengaruh EDTA dan Kation terhadap aktivitas β-glukosidase... 39
(14)
xiii
Halaman
1 Diagram alir Penelitian……….. 51
2 Pembentukan daerah hitam Aspergillus foetidus (Naka.) (RM 3D) pada media agar Dubos... 52
3 Komposisi penambahan pelarut organik………... 53
4 Komposisi media dan pereaksi dalam 1 L larutan ……… 54
5 Standar Bobot molekul. ……….. 56
6 Kurva standar nitrofenol dalam bufer asetat pada T 50º C ……... 57
7 Kurva standar nitrofenol dalam bufer asetat pada pH 5.0………. 58
8 Kurva standard glukosa untuk penentuan aktivitas FPase pada T 50º C……… 59
9 Kurva standar protein ………... 60
(15)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi mahluk hidup. Karbohidrat terdiri dari kelompok monosakarida, disakarida dan polisakarida. Tumbuh-tumbuhan adalah penghasil karbohidrat terbesar, yaitu polisakarida dalam bentuk pati dan lignoselulosa (selulosa, hemiselulosa dan lignin). Komponen-komponen tersebut dihasilkan dari proses fotosintesis (Lea dan Leegood 1994). Selulosa belum banyak dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk ternak unggas karena sulit dicerna. Untuk ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, domba dan yang lainnya, selulosa dapat dicerna karena kelompok hewan tersebut memiliki mikroorganisme rumen yang mampu mencerna selulosa.
Hewan nonruminansia seperti unggas merupakan komoditi yang paling banyak diproduksi dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Karena itu ketersediaan pakan untuk unggas harus dapat dipenuhi dengan baik (Butarbutar 2001). Pakan unggas yang umum digunakan adalah jagung yang bertindak sebagai sumber energi, sedangkan bungkil kedelai dan tepung ikan sebagai sumber protein (Anonimus 1995).
Perkembangan peternakan di Indonesia menuntut adanya pakan yang murah, berkualitas, tersedia dalam jumlah yang cukup serta tidak bersaing dengan manusia. Murtidjo (1992) melaporkan bahwa biaya ransum dalam usaha peternakan ayam mencapai 60-70% dari total biaya produksi. Berbagai limbah pertanian dan industri seperti polard (dedak gandum) dan dedak padi, berpotensi sebagai pakan ternak alternatif untuk menggantikan pakan yang masih diimport. Limbah pertanian ini meskipun tersedia dalam jumlah yang cukup memadai dengan harga yang lebih murah, tetapi masih sangat terbatas dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Selain mengandung protein, limbah tersebut mengandung kadar serat yang cukup tinggi sehingga sulit dicerna. Polard mengandung kadar serat sekitar 30-35%, dedak padi 62% (Juliono 1996) dan serat sabut sawit 40% (Aritonang 1986). Tingginya kadar serat ini disebabkan oleh tingginya kadar selulosa, yang merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman (Lea dan Leegood 1994). Atas dasar itu perlu adanya upaya untuk
(16)
mendegradasi selulosa dengan cara atau teknologi yang dapat meningkatkan nilai nutrisi dan kecernaan limbah tersebut.
Beberapa cara pengolahan limbah yang sudah dikenal antara lain pengolahan
fisik, kimia, dan biologi (Judoamidjojo et al. 1989). Cara-cara pengolahan ini
diharapkan dapat memecah ikatan selulosa menjadi gula sederhana yang akhirnya dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh ternak sebagai sumber energi. Pengolahan secara biologi (biofermentasi) dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan mikrob yang
dapat menghasilkan enzim selulolitik, misalnya kapang. Kapang Aspergillus niger dan
Rhizopus oligosporus misalnya, diketahui mampu menghasilkan beberapa jenis enzim,
antara lain enzim selulase, amilase, laktase dan protease (Landecker 1996). Bahkan
R. oligosporus juga dapat menghasilkan vitamin B12 dan mineral yang diperlukan oleh
ternak. Dalam lingkungan yang banyak mengandung selulosa, kapang mampu
menghasilkan enzim selulase yang dapat memecah ikatan β-1,4 glikosida pada selulosa
menjadi monomer-monomer yang lebih sederhana, seperti glukosa. Enzim selulase juga dihasilkan oleh mikroorganisme lain seperti siput dan rayap. Ekstrak rayap
mengandung selulase (endoglukanase dan β-glukosidase) (Purwadaria et al. 2003c) dari
epitel usus dan kelenjar ludahnya (Brune 1998). Aktivitas endoglukanase endogen pada
Reticulitermes spp. diketahui banyak terdapat di kelenjar ludahnya, sedangkan aktivitas
eksoglukanase dan β-glukosidase pada Coptotermes formosanus, masing-masing
ditemukan 75% di usus tengah dan 24% di usus belakangnya (Itakura et al. 1997;
Asada et al. 1998). Aktivitas enzim selulase juga ditemukan pada sarang rayap yang
dihasilkan oleh aktivitas jamur termasuk kapang (Sand 1970). Nurbayti (2002) telah
berhasil memproduksi enzim selulase dari kapang Penicillium nalgiovense Laxa yang
diisolasi dari sarang rayap.
Sebagai negara tropis, Indonesia mempunyai keragaman hayati berupa mikroorganisme yang tersebar dalam berbagai media, baik tanah, air, ataupun dalam bahan pangan. Berbagai jenis kapang dapat diperoleh melalui cara isolasi. Teknik isolasi dilakukan untuk mendapatkan biakan murni yang terdiri dari satu jenis mikroorganisme. Jenis kapang yang dapat digunakan sebagai mikrob penghasil enzim selulolitik pada dasarnya harus sama dengan mikrob yang terdapat dalam bahan pangan manusia, sehingga tidak membahayakan jika dikonsumsi oleh ternak. Jenis enzim yang akan digunakan juga tergantung pada jenis bahannya (Stanbury dan Whitaker 1994).
(17)
3
Hidayat (2002) memanfaatkan enzim selulase untuk mendegradasi selulosa yang terdapat pada jerami padi. Bungkil kelapa yang mengandung manan merupakan substrat yang baik untuk memproduksi enzim mananase (Yunaeni 1998; Purwadaria
et al. 2003b). Kemampuan dan kecepatan mikrob tersebut dalam menghidrolisis
senyawa polimer menjadi senyawa monomer dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya kadar substrat, pH, suhu dan waktu inkubasi.
Beberapa enzim yang terlibat dalam proses degradasi selulosa adalah
endoglukanase, eksoglukanase, dan β-glukosidase. Dalam mendegradasi selulosa,
enzim endoglukanase dan eksoglukanase menghasilkan selobiosa yang akhirnya dapat menghambat aktivitas kerja enzim itu sendiri. Beta-glukosidase berperan sebagai penghidrolisis selobiosa menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu glukosa, yang dapat segera dimanfaatkan oleh makhluk hidup, dalam hal ini ternak unggas.
Proses biofermentasi mempunyai banyak keuntungan dibandingkan pengolahan cara fisik dan kimia. Selain aman dan sederhana, biofermentasi juga memungkinkan terjadinya peningkatan nilai nutrisi pada limbah pertanian dan industri. Namun penggunaan enzim komersial untuk proses enzimatik pada limbah pertanian dan industri tidak ekonomis, karena harganya yang mahal. Karena itu, perlu adanya teknologi yang dapat meningkatkan daya cerna limbah pertanian tersebut dengan biaya yang lebih murah. Produksi suatu enzim dapat ditingkatkan dengan penemuan strain baru yang lebih berpotensi atau dapat juga melalui induksi strain mutan agar dapat menghasilkan enzim yang diharapkan dengan jumlah yang lebih besar. Besarnya manfaat kapang dan pentingnya peran enzim dalam mengkatalisis suatu reaksi,
memberi pemikiran bagi penulis untuk melakukan penelitian tentang enzim
β-glukosidase yang dihasilkan oleh kapang dari lingkungan rayap.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengisolasi kapang dari lingkungan rayap yang mampu menghasilkan
enzim β-glukosidase
2. Memproduksi enzim β-glukosidase
(18)
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang karakter enzim
β-glukosidase agar mampu menghasilkan aktivitas yang optimal apabila digunakan
dalam campuran pakan.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa dalam lingkungan
sarang rayap terdapat kapang yang mampu menghasilkan enzim β-glukosidase dengan
(19)
TINJAUAN PUSTAKA
Selulosa dan Enzim SelulaseSelulosa merupakan komponen terbesar lignoselulosa tanaman. Selulosa berupa
polimer glukosa yang berikatan melalui ikatan β,1-4-glikosida (Gambar 1) (Landecker
1996; Alberts et al. 2000). Pada tumbuhan tingkat tinggi, selulosa merupakan
makromolekul organik dan merupakan materi penyusun dinding sel yang terdiri dari fibril-fibril yang terikat secara kuat satu dengan lainnya secara pararel. Di dalam serat, selulosa membentuk bagian kristal dengan susunan fibril yang sangat teratur, yang disebut dengan mikrofibril, dan bagian yang kurang teratur yang disebut dengan bagian amorf (Lea dan Leegood 1994).
A
Daerah kristal Daerah amorf
B
Gambar 1. Struktur selulosa. (A) Ikatan β-1,4-glikosida (B) Struktur fibril yang
membentuk selulosa kristal dan amorf (Enari 1983; Beguin dan Aubert 1994).
Bagian selulosa kristal sulit untuk dirombak karena tersusun atas mikrofibril yang saling terikat erat satu sama lain. Antara mikrofibril dihubungkan oleh ikatan hidrogen intermolekul sehingga selulosa sukar larut dalam air. Bagian amorf selulosa relatif lebih mudah ditembus air. Sebagian besar selulosa mengandung 15% bagian amorf dan 85% bagian kristal. Selulosa dapat dihidrolisis menjadi monosakarida atau oligosakarida dengan menggunakan cara kimiawi maupun cara biologi. Hidrolisis dengan cara kimiawi, dilakukan dengan menggunakan asam atau basa, sedangkan
O O O
O
O O
O
O O
OH OH
OH OH
OH
OH OH
OH
HO HO
HO HO
Selobiosa Glukosa 1 4
1
1
1 4
(20)
hidrolisis secara biologi, disebut juga dengan cara enzimatik, dapat dilakukan dengan menggunakan enzim selulase murni atau dengan mikroorganisme penghasil enzim
selulase (Hardjo et al. 1989).
Selulosa merupakan polimer yang terdiri dari 100-14.000 unit glukosa yang
berikatan melalui ikatan β,1-4-glikosida. Ikatan β ini menimbulkan rantai lurus
panjang yang membentuk serat dengan daya rentang tinggi (Alberts etal. 2000; Stryer
2000). Serat-serat selulosa pada tanaman terikat pada matrik protein dan senyawa polisakarida lainnya. Matrik ini disusun oleh dua molekul polisakarida, yaitu hemiselulosa dan pektin, yang komposisi keduanya berbeda antara spesies satu dengan spesies lainnya. Serat dan molekul matriks tersebut dihubungkan oleh ikatan hidrogen yang membentuk ikatan intermolekul dan intramolekul. Ikatan intermolekul terjadi
antara gugus OH dari atom C nomor enam dengan atom O pada ikatan β,1-4-glikosida.
Ikatan intramolekul terjadi antara gugus OH pada atom C nomor tiga dengan atom O pada cincin piranosa (Lea dan Leegood 1994) (Gambar 2).
Gambar 2. Struktur molekul selulosa (Alberts et al. 2000)
Enzim selulase adalah kelompok enzim hidrolitik yang mempunyai kemampuan menghidrolisis selulosa menjadi glukosa. Glukosa yang dihasilkan selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh manusia atau hewan, atau dapat juga digunakan untuk memproduksi bahan-bahan kimiawi. Simanjuntak (1998) telah
membuktikan bahwa penggunaan kapang A. niger untuk memfermentasi bungkil inti
CH2
CH2
CH2
CH2
O O
O O
O O H-O H-O H-O O-H O-H H-O OH OH HO OH O
O H
O
O
H O
O
O O
O O
O O-H O-H HO HO O CH2 CH2 CH2 H H H O O H H Ikatan hidrogen intramolekul Ikatan hidrogen intermolekul
(21)
7
sawit dapat meningkatkan energi metabolisme. Suatu enzim bekerja secara spesifik, dan dapat mempercepat reaksi dengan menurunkan energi aktivasi suatu reaksi kimia (Lehninger 2000; Stryer 2000).
Enzim selulase adalah enzim yang dapat memutuskan ikatan glikosida β-1,4 di
dalam selulosa, selodekstrin, selobiosa dan turunan selulosa lainnya, dan menguraikannya menjadi glukosa (Fogarty dan Kelly 1982; Landecker 1996). Enzim selulase merupakan enzim induksi yang dihasilkan sebagai tanggapan terhadap selulosa yang ada di lingkungan pertumbuhan organisme penghasilnya. Aktivitas enzim selulase merupakan hasil kerja tiga tipe enzim yang saling berkaitan dari kompleks enzim
selulase, yaitu (i) endoglukanase, (ii) eksoglukanase, (iii) dan β-glukosidase (Whitaker
1994).
Endoglukanase [1,4 (1,3;1,4)-β-D-glukan 4-glukanohidrolase; EC 3.2.1.4]
menghidrolisis ikatan β-glikosida pada selulosa secara acak menghasilkan glukosa,
selobiosa, selodekstrin dan oligomer lainnya (Hoshino et al. 1994). Pada umumnya
enzim ini bekerja pada selulosa amorf dan selulosa tersubstitusi yang mudah larut
seperti carboxy methyl cellulose (CMC) (Tabel 1) dan hidroksietil selulosa, dan tidak
aktif pada selulosa kristal seperti katun dan avisel (suatu selulosa mikrokristalin) (Whitaker 1994). Karena endoglukanase memiliki aktivitas yang sangat tinggi pada
substrat CMC (Hoshino et al. 1994) enzim ini disebut sebagai CMCase (Gong dan Tsao
1979). Tetapi Cai et al. (1999) menemukan aktivitas endoglukanase pada Volvariella
volvacea yang tinggi justru pada avisel, bukan pada CMC.
Eksoglukanase (sellobiohidrolase atau 1,4-β-D-glukan sellobiohidrolase; EC
3.2.1.91) merupakan komponen selulase yang memecah selulosa kristal dengan menghilangkan gugus selobiosa pada ujung akhir nonreduksi rantai selulosa (Hoshino
et al. 1994). Endoglukanase dan selobiohidrolase dapat bekerja secara sinergis
menghidrolisis selulosa dengan optimum (Purwadaria 1997). Selobiohidrolase menunjukkan aktivitas yang tinggi pada avisel, yang dapat mencapai 40%, tetapi menunjukkan aktivitas yang rendah pada selulosa amorf seperti CMC. Karena aktivitasnya yang tinggi pada avisel, eksoglukanase dikenal juga sebagai aviselase
(22)
Tabel 1. Hidrolisis berbagai substrat oleh enzim selulolitik (Enari 1983)
Enzim
Substrat
Selulosa CMC Selulosa Selo- Selobiosa Kristal amorf tetraosa
Endoglukanase Selobiohidrolase
β-Glukosidase
- + + + - + - + + - - - - + +
Beta-glukosidase (sellobiase atau β-D-glukosida glukohidrolase, EC 3.2.1.21)
merupakan enzim yang menghidrolisis selobiosa dan selooligomer menjadi glukosa, dan menghilangkan glukosa dari ujung akhir nonreduksi rantai selodekstrin yang
pendek (Whitaker 1994). Eksoglukohidrolase dan β-glukosidase umumnya terdapat
pada substrat yang mengandung selobiosa (dua unit glukosa), hingga seloheksaosa (enam unit glukosa). Kedua enzim tersebut dapat dibedakan berdasarkan aktivitasnya
terhadap selobiosa dan seloheksaosa. β-glukosidase lebih cepat menghidrolisis
selobiosa daripada seloheksaosa, sementara eksoglukohidrolase bertindak sebaliknya.
Enzim β-glukosidase sangat berperan sebagai penghidrolisis selobiosa, yang menjadi
penghambat aktivitas eksoglukanase dan endoglukanase (Takano 1992; Whitaker 1994).
Enzim selulase dan hemiselulase merupakan dua jenis enzim yang dihasilkan oleh sebagian besar kapang. Enzim selulase yang dihasilkan oleh kapang genus
Trichoderma sebagian besar merupakan enzim selobiohidrolase (Kim et al. 1994;
Jorgensen et al. 2003), sedangkan enzim selulase yang berasal dari genus Aspergillus,
komponen terbesarnya adalah enzim β-glukosidase (Kader dan Omar 1998; Juhăsz
et al. 2003; Purwadaria et al. 2003a). Aktivitas sinergis dari beberapa spesies dapat
menghasilkan degradasi selulosa dan hemiselulosa secara optimum. Campuran 20%
volume enzim yang berasal dari Eupinicillium javanicum (tinggi aktivitas CMCase,
β-D-mannanase dan α-D-galaktosidase) dan 80% volume enzim A. niger (tinggi
aktivitas β-glukosidase, β-D-mannosidase) dapat meningkatkan gula pereduksi pada
POME (Palm Oil Mill Effluent) sampai 55% (Purwadaria et al. 2003a). Limbah kertas
(23)
9
menghasilkan aktivitas β-glukosidase tertinggi (3.07 IU/ml) setelah 7 hari inkubasi
(Juhăsz et al. 2003).
Mekanisme Penguraian Selulosa
Dalam hidrolisis selulosa terdapat tiga komponen enzim yang terlibat, yaitu
endoglukanase, selobiohidrolase, dan β-glukosidase (Gambar 3). Penguraian selulosa
dimulai pada daerah amorf oleh endoglukanase secara acak sehingga membentuk rantai yang terbuka bagi aktivitas selobiohidrolase. Aktivitas selibiohidrolase membebaskan unit selobiosa dan selodektrin dari ujung rantai selulosa. Endoglukanase selanjutnya menyerang pada lapisan kedua dari serat selulosa dan diikuti oleh aktivitas selobiohidrolase. Akhirnya selobiosa dan selooligosakarida yang terbentuk dihidrolisis
oleh enzim β-glukosidase membentuk glukosa.
•
•
nSelobiosa dan glukosa
selooligosakarida
Gambar 3. Mekanisme hidrolisis selulosa oleh kompleks selulase (Enari 1983)
EG atau CBH
Selobiohidrolase (CBH) Endoglukanase (EG)
β-Glukosidase
(24)
Regulasi biosintesis selulase terjadi karena selobiosa dalam jumlah kecil pada substrat selulosa dan merupakan hasil hidrolisis dari selulase masuk ke dalam sel melalui sistem transport aktif (Gambar 4). Sebagian selobiosa yang masuk ini akan
dihidrolisis menjadi glukosa oleh enzim β-glukosidase konstitutif. Selobiosa
intraseluler kemudian menjadi induser aktif yang bereaksi dengan protein represor, sehingga mengakibatkan protein represor menjadi tidak aktif. Akibatnya terjadi induksi, yang kemudian diikuti dengan proses transkripsi dan translasi enzim selulase. Selulase yang disintesis didalam sel kemudian dikeluarkan melintasi membran melalui mekanisme pelepasan yang spesifik. Selulase ekstraseluler ini menghidrolisis selulosa menjadi selobiosa dan glukosa ekstraseluler. Selobiosa dan glukosa masuk kedalam sel dan terlibat dalam proses induksi dan represi. Selobiosa yang tinggi memicu aktivitas
dan sintesis enzim β-glukosidase, tetapi kadar glukosa intraseluler yang tinggi dapat
mempengaruhi sintesis selulase melalui mekanisme represi katabolit dan juga
menghambat aktivitas β-glukosidase intraseluler. Akumulasi glukosa di dalam sel
memicu aktivitas enzim glukosa oksidase, yang akan mengoksidasi glukosa menjadi
asam glukonat dan glukonolakton. Glukonolakton dapat menghambat aktivitas
β-glukosidase (Gong dan Tsao 1979; Landecker 1996).
Enzim β-glukosidase
Enzim β-glukosidase menghidrolisis dengan cepat substrat dengan bobot
molekul (BM) yang kecil. Berdasarkan substrat yang dihidrolisis, enzim β-glukosidase
dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu selobiase, aril-β-glukosidase, dan ekso-β−1,4
-glukan glukohidrolase. Selobiase menghidrolisis selobiosa. Aril-β-glukosidase
menghidrolisis p-nitrophenilglukosida (pNPG), dan ekso-β−1,4-glukan glukohidrolase
menghidrolisis selooligomer (Gong dan Tsao 1979). Selain aktif pada substrat yang
mengandung berbagai p-nitrofenilglukosida, enzim β-glukosidase diketahui juga
menghidrolisis ikatan β-D-galaktosida, β-D-fukosida dan α-L-arabinosida pada
Rhodoturulaminuta(Onishi dan Tanaka 1996; Li et al. 2001).
Enzim β-glukosidase pada Aspergillus merupakan enzim konstitutif intraseluler.
Enzim konstitutif yaitu enzim yang dapat diproduksi tanpa adanya suatu induser. Induser berfungsi untuk menginaktifkan sistem represor pada pembentukan enzim
(25)
11
Transkripsi dan Translasi
(Gong dan Tsao 1979; Stryer 2000). Aktivitas enzim β-glukosidase dapat diinduksi
secara optimum oleh substrat yang mengandung campuran filter paper dan pati
(Landecker 1996), tetapi dihambat oleh glukosa, secara kuat oleh D-δ-glukonolakton
(Chen et al. 1998; Svasti et al, 1999; Stryer 2000, Parry et al. 2001) dan oleh adanya
penambahan 0.2% (b/v) maltosa (Pandey dan Mishra 1995).
Di luar sel Membran Sitoplasma
Glukosa
Transport aktif
Selobiosa Selobiosa β-glukosidase Glukosa glukosa Glukono
Intraseluler Intraseluler oksidase lakton +
Inhibisi
Selulolisis
Induser aktif
Induser-protein repressor
Selulosa Induksi
Represi
+
Selulase Pelepasan
Ekstraseluler Selulase yang terikat pada sel
Gambar 4. Model regulasi biosintesis selulase (Gong & Tsao 1979) +
(26)
Sebaliknya aktivitas enzim β-glukosidase pada daun cassava ternyata tidak nampak dihambat oleh gula ataupun monosakarida lain seperti galaktosa dan fruktosa (Yeoh
dan Woo 1992). Bahkan Kumalasari (2003) mendapatkan aktivitas enzim
β-glukosidase yang meningkat 2 kali lipat dengan adanya penambahan glukosa 250
ppm. Sementara aktivitas β-glukosidase yang meningkat pada buah tomat diperkirakan
sebagai respon adanya infeksi jamur patogen (Georgieva et al. 2004).
Seperti halnya enzim yang lain, aktivitas enzim β-glukosidase diantaranya
dipengaruhi oleh pH, suhu, konsentrasi substrat, konsentrasi enzim dan waktu inkubasi. Suhu dapat meningkatkan aktivitas enzim hingga dua kali lipat setiap kenaikan suhu 10 ºC sampai mencapai suhu optimum, setelah itu pada suhu ekstrim protein enzim akan mengalami denaturasi hingga enzim menjadi tidak aktif lagi. Begitu pula halnya dengan pH, pada pH optimum aktivitas enzim mencapai maksimum, tetapi di luar pH optimum aktivitasnya akan menurun. Suhu optimum suatu enzim berbeda antara spesies satu dengan spesies lainnya. Sebagian besar enzim mempunyai pH optimum 4 - 8. Untuk kapang pH optimum pada umumnya berada dibawah 7 (Landecker 1996). Konsentrasi substrat dan banyaknya enzim serta waktu inkubasi yang semakin bertambah akan meningkatkan aktivitas enzim sampai tingkat tertentu, kemudian
setelah itu aktivitasnya akan tetap (Murray et al. 2000). Enzim β-glukosidase
mempunyai suhu optimum 50 ºC (Asada 1999; Purwadaria et al. 2003a) dan pH
optimum 5.0 (Asada 1999), sedangkan suhu optimum untuk mikroorganisme termofilik
antara 45 – 65 ºC (Lin et al.1999). Desrochers et al.(1981) menyatakan bahwa pH
optimum untuk β-glukosidase dari S. commune adalah 5.3 dan suhu optimum pada
30 ºC. Enzim β-glukosidase yang diekstraksi dari rayap (Glyptotermes montanus)
mempunyai pH optimum 5.8, dan suhu optimum 42 – 45 ºC (Purwadaria et al. 2003c).
Pada daun cassava β-glukosidase mempunyai pH optimum 4.7 - 4.9 (Yeoh dan Woo
1992). Aktivitas enzim β-glukosidase dari A. niger dan R. minuta IFO879
masing-masing stabil selama 230 hari pada suhu 4 ºC (Yan dan Liau 1998).
Pemekatan dan Pemisahan Enzim
Pemekatan protein merupakan tahap awal dari prosedur pemurnian enzim. Pemekatan dapat dilakukan dengan menggunakan garam amonium sulfat ataupun
(27)
13
pelarut organik seperti alkohol atau aseton. Pengendapan protein dengan menggunakan pelarut organik berdasarkan pada pengurangan kelarutan protein dan konstanta dielektrika pelarut. Semakin banyak pelarut organik yang ditambahkan, semakin berkurang daya solvasi air dan muatan pada permukaan molekul protein yang hidrofilik dan molekul-molekul pelarut organik akan mendekati daerah hidrofobik disekitar permukaan protein. Hal ini akan menurunkan kelarutan dan menyebabkan molekul-molekul protein berinteraksi satu dengan lainnya, dan akhirnya akan terjadi pengendapan. Prosedur pengendapan dengan menggunakan pelarut organik dilakukan pada suhu rendah. Pada suhu diatas 10 ºC, konformasi protein akan mengalami perubahan sehingga molekul-molekul pelarut organik dapat masuk ke bagian dalam struktur protein dan merusak interaksi hidrofobik, akibatnya protein akan mengalami denaturasi (Scopes 1987, Harris 1989).
Teknik pemisahan β-glukosidase dari kompleks selulase dilakukan sama seperti
pemurnian protein yang lainnya. Beberapa contoh metode pemurnian yang digunakan
untuk mengisolasi β-glukosidase terdapat pada Tabel 2. Berat molekul (BM) enzim
β-glukosidase dapat ditentukan dengan menggunakan metode pemisahan elektroforesis.
Elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid ditambah dengan adanya deterjen anionik, SDS, digunakan untuk memisahkan protein menjadi subunit-subunit protein dan menentukan masing-masing berat molekulnya. SDS-PAGE dengan sistim diskontinu dari Laemmli (1970) digunakan untuk menentukan homogenitas dan BM
selulase. Larutan contoh yang mempunyai aktivitas enzim β-glukosidase selanjutnya
dapat dideteksi dengan menggunakan analisis zimografi. Analisis zimografi yang digunakan untuk mengidentifikasi pita-pita protein pada gel poliakrilamid dapat dilakukan melalui tiga cara (Purwadaria 1988), yaitu :
1. Analisis Zimografi dengan metode elusi
Metode ini digunakan bila substrat tidak larut. Pita-pita protein dipisahkan dengan memotong gel menjadi strip-strip. Penentuan aktivitas enzim dilakukan dengan mengelusi enzim dari pita.
2. Analisis Zimografi dengan aktivitas pewarnaan
Metode aktivitas pewarnaan menunjukkan lokasi pita protein yang mempunyai
(28)
Tabel 2. Metode pemurnian untuk mengisolasi β-glukosidase dari komponen selulase
Organisme Metode pemurnian Komponen Enzim
Schizophyllum commune Bio-Gel P200 β-glukosidase
(Desrochers et al. 1981) SDS-PAGE (BM 97 kDa)
Ruminococcus albus DEAE Bio-Gel A β-glukosidase hasil kloning
(Takano et al. 1992)
Sephacryl S-200 HR
gel ( BM 120 kDa)
Mono Q Mono P SDS-PAGE
Pichia etchellsii PAGE β-glukosidase hasil kloning
(Pandey dan Mishra 1995) Analisis Zimogram (BM 200 kDa)
Rhodotorulaminuta IFO879 DEAE-Toyopearl β-glukosidase
(Onishi & Tanaka 1996) Butyl-Toyopearl (BM 144 kDa, dimer)
p-aminobenzyl 1-thio-
β-D-glukopiranosida
Agarose
Agarose Con A
Coptotermes formosanus
(Shiraki)
Superdex 200 DEAE-Toyopearl
β-glukosidase
(BM 68 kDa)
(Asada et al. 1998) 600M (TOSOH)
SDS PAGE
Thermomyces lanuginosus
-SSBP (Lin et al. 1999)
(NH4)2SO β-glukosidase
(BM 105 kDa, BM protein
4
S-Sepharose Q-Sepharose QAE-Sephadex
native 200 kDa) SDS-PAGE
Dalbergia cochinchinensis Pierre
Sephadex G-150
(NH4)2SO
β-glukosidase
(BM 66 kDa, BM protein
4
(Svasti et al, 1999) SDS PAGE native 330 kDa)
Thermoascus aurantiacus (NH4)2SO4 β-glukosidase
(Parry et al. 2001) Sephacryl 300 (BM 120 kDa, BM protein
SDS-PAGE Analisis Zimogram
(29)
15
poliakrilamid direaksikan dengan 4-metilumbelliferil β-D-glukosida (MUG)
setelah gel dicuci dengan bufer asetat pH 4 (Parry et al. 2001).
Metilumbelliferon yang dilepaskan akan berpendar oleh adanya sinar UV.
3. Analisis Zimografi dengan mencampurkan substrat dalam gel
Substrat p-NPG yang dicampurkan pada gel elektroforesis akan menghasilkan
pita berwarna kuning.
Identifikasi aktivitas enzim β-glukosidase secara semi kuantitatif dapat
dilakukan dengan menggunakan eskulin (6,7-dihidrocoumaric 6-glikosida) yang
ditambahkan pada medium pertumbuhan. Enzim β-glukosidase akan memotong eskulin
menjadi eskuletin (6,7-dihidroksi coumarin) yang akan membentuk senyawa kompleks
besi fenolat yang berwarna coklat atau hitam bila bereaksi dengan ion feri (Fe3+)
((James et al. 1997; Gratner 2006) (Gambar 5). Selain itu, komponen enzim
β-glukosidase dapat ditentukan aktivitasnya dengan mengukur pelepasan p-nitrofenol
(p-NP) dari hasil hidrolisis p-nitrofenil glukosida (p-NPG) (Lin et al. 1999). Satu unit
aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan untuk
mengkatalisis pembentukan satu mikromol (10-6 mol) p-nitrofenol per menit pada
kondisi assay.
Gambar 5. Pemotongan eskulin oleh adanya aktivitas enzim β-glukosidase
(James et al. 1997; Gratner 2006)
Sumber Karbon
Eskuletin β-D-Glukosa
yg dikeluarkan
Kompleks Besi Fenolat
(30)
Pemanfaatan Kapang
Sel-sel mikrob merupakan pusat penghasil berbagai enzim. Produksi enzim dari mikroorganisme mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya: lebih mudah ditumbuhkan pada lingkungan yang terkontrol, cepat beregenerasi, mudah dilakukan rekayasa genetika, dan siklus produksi yang singkat, bila dibandingkan dengan enzim yang berasal dari tumbuhan maupun hewan (Landecker 1996). Beberapa jenis mikrob dapat tumbuh pada substrat yang banyak mengandung selulosa dikarenakan kemampuannya menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi derivat selulosa dan selulosa amorf. Organisme lain penghasil enzim selulase adalah rayap, yang mampu hidup di lingkungan yang mengandung lignoselulosa seperti kayu lapuk, rumput ataupun sampah tumbuhan pada berbagai kondisi. Kapang bersimbiosis dengan rayap dalam mendegradasi selulosa yang terdapat pada kayu. Karena kemampuannya menguraikan selulosa menjadi molekul glukosa yang relatif mudah memasuki dan dimanfaatkan oleh sel, rayap berpotensi digunakan sebagai makanan tambahan untuk
ternak (Purwadaria et al. 2003c).
Kapang mempunyai aplikasi yang sangat luas sebagai media penelitian dalam genetika, biokimia, dan penelitian nutrisi. Beberapa spesies kapang menghasilkan produk metabolit yang bermanfaat secara komersial, dan menjadi pedoman untuk mikologi industri, seperti kapang yang digunakan untuk menghasilkan enzim, antibiotik, dan bermacam-macam asam organik (Tabel 3). Dalam upaya memperbaiki mutu pakan, bantuan mikrob diperlukan dalam suatu proses fermentasi. Selain proses fermentasi, keberhasilan teknik ini ditentukan oleh jenis mikrob yang digunakan. Umumnya jenis mikrob yang digunakan adalah yang mempunyai aktivitas selulolitik yang tinggi dalam mendegradasi selulosa dan derivatnya, dan mampu meningkatkan kadar protein bahan (Landecker 1996).
(31)
17
Tabel 3. Produk metabolit yang dihasilkan oleh kapang (Landecker, 1996)
Produk metabolit Jenis kapang
Asam organik
Asam sitrat Asam glukonat Asam Itakonat
Enzim
Amilase, amiloglukosidase
Invertase Laktase
Enzim-enzim pektat Protease
Rennet
Antibiotik dan Obat-obatan
Agen antihiperkolesterol Cephalosporin
Ergot alkaloid Griseofulvin Penisilin
A. niger A. niger A. terreus
A. oryzae, A. niger, Rhizopus spp.
Aspergillus spp.
A. niger dan A. oryzae
A. niger, Botrytis cinerea, Penicillium notatum
Aspergillus spp. Mucor pusillus
Cryphonectria parasitica, Mucor spp.
Cephalosporium caerulens, P. citrinum, Monascus ruber
Acremonium chrisogenum Claviceps paspali
P. griseofulum P. chrysogenum
(32)
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Pakan, Balai Penelitian Ternak, Departemen Pertanian, Ciawi, Bogor. Waktu yang dibutuhkan 13 bulan, dimulai pada bulan Juli 2005 sampai Agustus 2006.
Bahan dan Alat
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah polard dari
PT. Indofeed-Bogor, Sigmasel-20, kertas saring Whatman No.1, esculin
(6,7-dihydro-coumeric 6-glycoside), 4-metilumbelliferil β-D-glukosida (MUG), p-nitrofenil-β
-D-glukosida (p-NPG), aseton, coomassie brilliant blue (CBB), dinitrosalicylic acid
(DNS), potato dextrose agar (PDA), ekstrak khamir, bacto pepton, streptomisin,
NaN3
Alat
, D-glukosa, serum bovin albumin, HMW Marker Kit (Amersham Pharmacia Biotech). Sumber isolat diperoleh dari kayu lapuk yang menjadi sarang rayap.
Alat-alat yang digunakan adalah pipetmikro, sentrifus berpendingin Beckman
GS-15R, sentrifus Clements Model B-Universal, autoklaf (TOMY SEIKO, Jepang),
Spektrofotometer U 2000 (Double wavelength Double Beam, Hitachi 557), pH meter
Horiba, Hoefer Macro Vue UV-20 transiluminator (Hoefer Scientific Inst, USA), piranti elektroforesis Mini VE Hoefer (Amersham Pharmacia Biotech), kuvet, neraca analitik Mettler P163 (ketelitian 1.0 mg) dan H 80 (ketelitian 0.1 mg), vorteks, ose,
rotaryshaker, blender, peralatan gelas, dan alat-alat lainnya.
Metode Penelitian Isolasi Kapang Selulolitik
Kapang diisolasi dari kayu lapuk yang menjadi sarang rayap. Mula-mula kapang yang terdapat pada kayu dilarutkan dengan larutan 0.85% NaCl steril, kemudian digoreskan pada medium Mandels (Lampiran 1) yang mengandung 1% bacto agar, 0.35% ekstrak khamir dan 0.075% pepton. Selain itu dapat juga dilakukan dengan cara
(33)
19
langsung yaitu menggoreskan kapang pada medium Mandels. Medium terdiri dari dua lapisan, dimana lapisan atas mengandung Sigmasel-20 0.5% sebagai sumber karbon dan streptomisin 100 ppm yang digunakan untuk mencegah pertumbuhan bakteri.
Kultur diinkubasi pada suhu ruangan dengan kondisi aerob. Isolat yang menghasilkan selulase akan membentuk zona bening di sekitar koloni isolat. Isolat kemudian dipindahkan pada medium PDA (Lampiran 4) untuk mendapatkan satu jenis koloni yang murni. Tiap-tiap koloni dipisahkan dan disimpan pada medium agar miring PDA. Tiga isolat pembanding koleksi Balitnak diremajakan pada medium agar miring dan diinkubasi pada kondisi sama.
Penapisan Kapang Penghasil β-glukosidaseSecara Semi Kuantitatif
Penapisan dilakukan berdasarkan rasio (perbandingan) diameter daerah hitam terhadap koloni pada medium Dubos (Lampiran 4) yang ditambah 0.02% ekstrak
khamir, 0.1% eskulin, dan 0.05% Fe-NH4
Isolat yang dipilih untuk memproduksi enzim β-glukosidase ditanam pada
media agar miring PDA dan diinkubasi selama 5 hari (Haryati etal. 1997). Kemudian
-sitrat. Kapang yang mempunyai aktivitas
enzim β-glukosidase akan memotong eskulin membentuk eskuletin yang bila bereaksi
dengan ion feri membentuk endapan yang berwarna hitam (Gratner 2006). Setelah diinkubasi selama 4 hari, ratio antara diameter koloni dengan diameter zona hitam diukur. Dari hasil pengamatan ini, dipilih beberapa isolat yang mempunyai aktivitas
β-glukosidase terbaik untuk digunakan sebagai penghasil enzim.
Pembuatan Polard NaOH
Kedalam 1 liter larutan NaOH 0.5% (b/v) ditambahkan sebanyak 50 gram polard kering. Campuran dididihkan selama 60 menit dalam penangas air. Selama pemanasan dilakukan pengadukan. Setelah didinginkan sampai suhu kamar, campuran disaring dengan kain tipis dan dicuci dengan air sampai air perasan mempunyai pH netral. Polard yang telah netral kemudian diletakkan merata dalam wadah dan dikeringkan dengan blower pada suhu 40 °C selama 2 hari. Polard yang telah kering
digiling dengan blender.
(34)
spora disuspensikan dalam 5 ml larutan NaCl 0.85%. Sebanyak 2 ml inokulum diinokulasikan pada 50 ml media Mandels yang mengandung 3% polard NaOH sebagai
sumber karbon, 0.3% ekstrak khamir, dan 0.075% bactopepton. Selanjutnya diinkubasi
pada suhu 30 °C dalam inkubator bergoyang dengan kecepatan 150 rpm selama 6 hari.
Masa inkubasi dihentikan dengan menambahkan 0.2% NaN3. Filtrat enzim dipisahkan
dengan sentrifugasi pada kecepatan 7000 rpm dengan suhu 4 °C selama 20 menit. Untuk mengetahui aktivitas enzim, dilakukan pengujian pada hari ke 5, 6 dan 7.
Penentuan Aktivitas Enzim
a. Penentuan Aktivitas Total Selulase (Filter Paper-ase)
Aktivitas Filter Paper-ase (FPase) ditentukan berdasarkan metode Mandels etal.
(1976). Sebanyak 0.4 ml filtrat enzim ditambah larutan bufer asetat pH 5.5 sampai
volumenya 1.5 ml. Selanjutnya ditambahkan kertas saring Whatman No.1 (1 x 6 cm2
Aktivitas FPase (U/ml) = x fp 2 x ml enzim yang dipipet
fp = faktor pengenceran
b. Penentuan Aktivitas β-glukosidase
), divorteks dan diinkubasi pada suhu 50 °C selama 60 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 3 ml pereaksi DNS (Lampiran 4) (Miller 1959), campuran kemudian divorteks dan dipanaskan dalam air mendidih selama 15 menit, setelah pemanasan selesai campuran ditambah 5 ml akuades. Filtrat enzim dengan perlakuan yang sama tanpa inkubasi digunakan sebagai kontrol. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 540 nm. Blanko terdiri dari 1.5 larutan buffer asetat, 3 ml larutan DNS dan 5 ml akuades.
Kadar glukosa yang dihasilkan dihitung berdasarkan kurva standar dengan konsentrasi glukosa 0.0 - 0.6 mg dari larutan induk 3 mg/ml. Produksi 2 mg/ml glukosa
pada kondisi percobaan setara dengan 0.185 unit FPase/ml (Mandels etal. 1976).
0.185 x (mg glukosa sampel - mg glukosa kontrol)
Aktivitas β-glukosidase ditentukan dengan mengukur pelepasan p-nitrofenol
(35)
21
p-NPG 0.3% (b/v) diprainkubasi selama 10 menit pada suhu 50 °C. Sampel terdiri
dari 0.5 ml filtrat enzim, 0.5 ml larutan bufer asetat pH 5.0, dan 0.5 ml p-NPG 0.3%
dimasukkan dalam tabung reaksi. Kontrol terdiri dari 0.5 ml larutan buffer dan 0.5 ml
p-NPG. Sampel dan kontrol divorteks dan diinkubasi pada suhu 50 °C selama 60 menit.
Selanjutnya ditambah 1 ml Na2CO3 1 M. Untuk kontrol penambahan 0.5 ml filtrat
enzim dilakukan setelah penambahan Na2CO3. Sebagai blanko digunakan 1 ml
akuades, 0.5 ml larutan buffer asetat pH 5.0 dan 1 ml Na2CO3. Absorban diukur pada
panjang gelombang 400 nm. Kadar p-nitrofenol yang dihasilkan ditentukan berdasarkan
kurva standar dengan konsentrasi nitrofenol 0 - 24 µg/ml dari larutan induk 30 µg/ml.
Bila filtrat enzim terlalu pekat, dilakukan pengenceran hingga mencapai kadar nitrofenol standar. Satu unit aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah enzim yang
dibutuhkan untuk mengkatalisis pembentukan satu mikromol (10-6
Aktivitas (U/ml) = x fp
ß-glukosidase Waktu inkubasi (menit) x BM nitrofenol (139 µg/µmol)
c. Penentuan Kadar Protein dan Aktivitas Spesifik
Penentuan kadar protein dilakukan berdasarkan metode Bradford (1976). Sebanyak 0.2 ml filtrat enzim ditambahkan 5 ml pereaksi Bradford (analisis semimakro) kemudian divortek. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 595 nm setelah 2 menit dan sebelum 1 jam. Blanko menggunakan 0.2 ml akuades yang direaksikan dengan 5 ml pereaksi Bradford. Kadar protein ditentukan dari kurva standar larutan BSA pada kisaran 0.1 sampai 1.0 mg protein/ml. Perhitungan aktivitas spesifik
enzim β-glukosidase dapat ditentukan dengan:
1000 (µg/mg)
mol) p-nitrofenol
per-menit pada kondisi yang ditentukan.
[nitrofenol]sampel (µg/ml) - [nitrofenol]kontrol (µg/ml)
Aktivitas Spesifik (U/mg) = x Aktivitas enzim (U/ml)
(36)
Karakterisasi Enzim β-glukosidase a. Penentuan pH dan Suhu Optimum Enzim
Penentuan pH optimum dilakukan dengan menguji aktivitas enzim pada kisaran pH 4.2, 4.6, 5.0, 5.4, 5.8 dan 6.2. Sedangkan penentuan suhu optimum dilakukan
dengan menguji aktivitas enzim pada variasi suhu 40, 50, 55, 60, 65, dan 70 ºC.
b. Penentuan pH dan Suhu Stabilitas enzim
Penentuan pH stabilitas dilakukan dengan menginkubasi enzim dalam bufer asetat (pH 4.2, 4.6, 5.0, 5.4, 5.8, dan 6.2) pada suhu optimum selama 30 menit. Setelah inkubasi berakhir, aktivitas enzim ditentukan pada kondisi pH optimum dan suhu optimum.
Penentuan suhu stabilitas dilakukan dengan menginkubasi enzim dalam bufer optimum pada variasi suhu 28, 40 dan 80 ºC. Pengambilan filtrat enzim untuk setiap suhu masing-masing dilakukan setiap hari selama 4 hari, setiap 30 menit selama 180 menit dan setiap 30 detik selama 270 detik. Aktivitas enzim ditentukan pada kondisi pH optimum dan suhu optimum.
c. Pengendapan Protein dengan Aseton
Pengendapan protein dengan aseton dilakukan pada kisaran 60 sampai 90%. Aseton dingin ditambahkan sedikit demi sedikit sambil diaduk dengan stirer dan suhu campuran dijaga stabil antara -5 dan 0 ºC, lalu campuran dibiarkan selama 30 menit. Endapan yang terbentuk dipisahkan dengan sentrifus pada kecepatan 7000 rpm (suhu 4 ºC, 15 menit). Larutan didekantasi dan endapannya dilarutkan kembali ke volume semula dengan bufer asetat pH optimum. Kemudian ditentukan perolehan kembali
kadar protein dan aktivitas β-glukosidase.
d. Pengaruh EDTA dan Ion logam terhadap Aktivitas Enzim
Pengaruh EDTA dan ion logam ditentukan dengan menambahkan
masing-masing EDTA, MgCl2, ZnCl2, CuCl2, MnCl2, FeCl3, CoCl2, CaCl2, dan BaCl2 dengan
(37)
23
terdiri dari enzim, substrat p-NPG 0.3%, dan bufer asetat, selanjutnya diinkubasi
selama 1 jam pada kondisi suhu dan pH optimum.
Penentuan Bobot Molekul Enzim dengan Teknik Zimogram
Bobot molekul enzim ditentukan dengan menggunakan SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrilamida Gel Electrophoresis) (Laemmi 1970). Protein standar
HMW yang digunakan terdiri dari Myosin (BM = 212.000), α-2-makroglobulin (BM =
170.000), β-galaktosidase (BM = 116.000), Transferrin (BM = 76.000), Glutamat dehidrogenase (BM = 53.000).
a. Pembuatan Gel Poliakrilamida SDS-PAGE
Komposisi untuk separating gel (8%) dibuat dengan cara mencampurkan 5.3 ml
larutan akrilamida (30% T), 9.39 ml akuades, 5 ml bufer Tris-HCl 1 M pH 8.8, 0.2 ml
SDS 10% (b/v), 10 μl TEMED, dan 200 μl amonium persulfat 10% (b/v). Larutan
diaduk hingga homogen dan siap diisikan pada plate gel, gel akan terbentuk setelah 30 - 60 menit.
Stacking gel (5%) dibuat dengan komposisi yang terdiri dari 2.5 ml larutan akrilamida (30% T), 8.5 ml akuades, 3.75 ml bufer Tris-HCl 1 M pH 6.8, 0.12 ml SDS
10% (b/v), 8 μl TEMED, dan 75 μl amonium persulfat 10% (b/v). Larutan diaduk
hingga homogen dan siap diisikan pada plate gel.
b. Preparasi Sampel Protein
Sebanyak 720 μl sampel dimasukkan dalam vial 2 ml dan ditambahkan 30 μl
bromfenolblue 0.05% (b/v), dan 250 μl bufer sampel [(larutan sampel + BPB) : bufer sampel = 3:1 ]. Bufer sampel merupakan campuran 10 ml β-merkaptoetanol, 20 ml bufer stacking gel, 20 ml gliserol, dan 4 g SDS.
Preparasi protein standar dilakukan dengan melarutkan 175 ml μg HMW marker
dalam 1000 μl akuades, dan ditambahkan Bufer sampel. Untuk mengetahui batas
pergerakan protein ditambahkan pewarna bromfenolblue dengan perbandingan sama dengan larutan sampel. Larutan selanjutnya dipanaskan dalam penangas 100 ºC selama 4 - 5 menit, kecuali untuk analisis zimogram sampel tidak dipanaskan. Larutan sampel
(38)
dan protein standar siap diinjeksikan ke dalam sumur-sumur elektroforesis. Pengisian larutan sampel dan protein standar ke dalam sumur pada gel akrilamida masing- masing
sebanyak 5 μl dengan menggunakan syringe.
c. Elektroforesis
Gel yang telah ditempatkan pada modul elektroforesis diatur sehingga permukaan gel terendam dalam bufer elektroda. Elektroforesis dilakukan dengan mengalirkan arus listrik mula-mula 15 mA untuk tiap gel. Voltase maksimum 120 volt dan daya maksimum 30 Watt. Setelah pergerakan sampel mencapai separating gel, aliran arus listrik ditingkatkan 20 mA tiap gel, sedangkan voltase dan daya konstan. Proses pemisahan dihentikan setelah 1 jam, atau setelah marker warna biru berada sekitar 0.5 cm dari batas separating gel. Gel hasil elektroforesis dilepas dari cetakan dengan menggunakan spatula, dan gel siap untuk pewarnaan protein atau analis
zimografi β-glukosidase.
d. Pewarnaan Protein
Sebelum dilakukan pewarnaan, gel terlebih dahulu direndam dalam larutan TCA 12.5% selama 24 jam dalam lemari pendingin atau direndam dalam larutan fixative (50% v/v methanol dalam air) selama 1 jam. Gel kemudian dikeluarkan dari larutan fixative dan dicuci dengan air, selanjutnya direndam dalam larutan pewarna Coomassie blue R-250 selama 4 jam. Larutan pewarna dibuat dengan melarutkan Coomassie nlue R-250 dalam metanol : asam asetat : air = 4 : 1 : 4. Kelebihan warna dihilangkan dengan larutan destaining (10% v/v metanol, 7.5% v/v asam asetat dalam air) dengan 2 - 3 kali penggantian sampai diperoleh pita-pita protein berwarna biru dengan latar belakang jernih, kemudian dibilas dengan air. Bobot molekul sampel ditentukan dengan menghitung nilai Rf dari pita-pita yang nampak, kemudian diplotkan pada kurva standar log BM terhadap Rf protein standar.
Jarak pergerakan pita dari tempat awal (cm) Jarak pergerakan pewarna dari tempat awal (cm) Rf =
(39)
25
e. Analisis Zimografi
Pita protein yang mempunyai aktivitas β-glukosidase diidentifikasi dengan
menggunakan metode Parry et al. (2001). Setelah elektroforesis selesai, gel dilepas dari
cetakan dan jarak migrasi bromofenol biru diukur dari batas atas gel pemisah. Gel untuk analisis zimografi terlebih dahulu dicuci dengan 50 mM bufer natrium asetat pH 4.0 yang mengandung 25% isopropanol selama 15 menit dan 2 kali dalam bufer yang sama tetapi tanpa mengandung isopropanol, masing-masing selama 30 menit. Gel kemudian diinkubasi dalam 0.5 mM MUG yang dilarutkan dalam 50 mM bufer natrium asetat pH 4.0 yang telah diencerkan 10 kali pada suhu 40 - 42 ºC selama 15 menit.
Adanya aktivitas β-glukosidase dapat diketahui dengan melihat metilumbelliferon yang
akan berpendar di bawah sinar UV.
Identifikasi Isolat Kapang
Identifikasi isolat kapang dilakukan oleh IPB Culture Collection di Laboratorium Mikologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB Bogor melalui pengamatan makroskopis dan mikroskopis (Lampiran 10). Media yang digunakan untuk identifikasi adalah Malt Ekstrak Agar (MEA) (Lampiran 4).
(40)
Penapisan Kapang Secara Semi Kuantitatif
Dari proses isolasi kapang yang ditumbuhkan pada medium agar Mandels (Lampiran 4) yang mengandung 0.5% Sigmasel-20 didapat 22 jenis isolat kapang (Tabel 4). Ke 22 jenis isolat kapang tersebut kemudian diuji kemampuannya untuk membentuk daerah hitam dalam medium Dubos yang mengandung 0.1% eskulin dan
0.05% Fe-NH4
Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada hari ke 4, isolat-isolat kapang ini membentuk kisaran nisbah diameter daerah hitam terhadap diameter koloni antara 1.2 dan 2.9. Nisbah tertinggi dihasilkan oleh isolat TA 2A dan terendah oleh isolat RM 3D. Kemampuan isolat kapang membentuk daerah hitam disekitar koloni menunjukkan
bahwa kapang tersebut menghasilkan enzim β-glukosidase yang mampu memutuskan
ikatan β-1,4-glikosida pada struktur selulosa. Untuk diameter daerah hitam terbesar dihasilkan oleh isolat RM 3D, yaitu 3.15, dan terkecil oleh isolat TA 4A, yaitu 1.2. Berdasarkan hasil pengujian nisbah diameter daerah hitam terhadap diameter koloni dan diameter daerah hitam yang diperoleh, dipilih dua isolat dengan nisbah diameter daerah hitam terhadap diameter koloni yang tertinggi, yaitu TA 2A dan TA 3B, dan dua isolat dengan diameter daerah hitam yang terbesar; yaitu RM 2 dan RM 3D. Meskipun nilai nisbah diameter daerah hitam terhadap diameter koloni tinggi, namun belum tentu aktivitas enzimnya tinggi, begitu juga sebaliknya (Ardiningsih 2002). Ke 4 isolat hasil
seleksi ini kemudian diuji secara kuantitatif aktivitas enzim β-glukosidasenya. Selain ke
4 isolat hasil isolasi dari kayu yang menjadi sarang rayap tersebut, juga diamati 3 isolat kapang koleksi unggulan Balitnak, yaitu BS4, S11 dan SS240. Isolat BS4
(Eupenicillium javanicum) merupakan hasil isolasi Haryati (1997), S11 (Penicillium
nalgiovense Laxa) merupakan hasil isolasi Nurbayti (2002) dari sarang rayap,
sedangkan SS240 merupakan isolat mutan Penicillium nalgiovense S11 yang dihasilkan
Sanjaya (2003). Beberapa isolat hasil penapisan disajikan pada Gambar 6.
-sitrat pada suhu ruang dan kondisi aerob. Isolat-isolat kapang yang
mempunyai aktivitas enzim β-glukosidase akan memotong eskulin menjadi eskuletin
yang bila bereaksi dengan ion feri akan membentuk kompleks besi fenolat, yang ditandai dengan terbentuknya daerah hitam disekitar koloni.
(41)
27
Tabel 4. Hasil penapisan isolat kapang
Isolat Warna koloni Diameter (cm) Rasio
Daerah hitam Koloni
TA 2A TA 3B TA 5C LG 3C RM 6C RM 5B LG 3A TA 4B RM 1C RM 1A LG 3B TA 4A RM 5C TA 3A HJ A LG 1C TA 2B TA 1B TA 2A” RM 2 RM 2A RM 3D Hijau Hijau Putih Coklat kekuningan Abu-abu Putih Hijau keabuan Hijau keabuan Putih Hijau Coklat tua Putih kekuningan Putih Hijau keabuan Putih Merah jambu Putih Hijau keabuan Putih kekuningan Coklat Coklat kekuningan Hitam 2.00 2.03 1.84 2.30 1.83 2.33 1.80 1.33 2.20 2.00 1.80 1.20 1.30 2.10 1.90 2.60 2.50 2.07 2.70 3.14 2.93 3.15 0.70 0.80 0.73 1.00 0.80 1.03 0.80 0.60 1.00 0.95 0.90 0.60 0.68 1.10 1.00 1.40 1.40 1.20 1.80 2.41 2.30 2.55 2.9 2.5 2.5 2.3 2.3 2.3 2.2 2.2 2.2 2.1 2.0 2.0 1.9 1.9 1.9 1.9 1.8 1.7 1.5 1.3 1.3 1.2
Sebelum penyeleksian secara kuantitatif, terlebih dahulu dilakukan produksi enzim. Produksi enzim dilakukan dalam media Mandels yang disuplementasi dengan 3% polard NaOH sebagai sumber karbonnya. Selain harganya yang murah, polard mengandung serat kasar (selulosa) yang cukup tinggi (30-35%) (Hauser 1995) dan kaya akan vitamin, mineral, lemak dan protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikrob, khususnya dalam hal ini kapang. Dalam penelitian yang dilakukan Ginoga (2004),
enzim β-glukosidase pada kapang Penicillium nalgiovense Laxa baru terekspresikan
setelah hari ke 4 waktu inkubasi, maka untuk mengetahui waktu inkubasi optimum yang menghasilkan enzim dengan aktivitas maksimum dari ke 7 isolat kapang
tersebut, dilakukan pengamatan aktivitas FPase dan β-glukosidase pada hari ke 5, 6 dan
7. Pada Gambar 7 disajikan aktivitas FPase yang dihasilkan oleh ke 7 isolat yang diamati. Aktivitas FPase keempat isolat hasil seleksi rata-rata mengalami peningkatan
(42)
Gambar 6 . Beberapa isolat hasil isolasi.
sampai dengan hari ke 6 waktu inkubasi, namun setelah melewati waktu optimum mengalami penurunan yang tajam hingga mencapai 77.8% (TA 3B). Aktivitas FPase tertinggi dicapai oleh isolat TA 3B (23.6 U/ml), kemudian diikuti oleh isolat RM 3D (18.1 U/ml). Sedangkan aktivitas FPase ke 3 isolat koleksi Balitnak rata-rata mengalami penurunan setelah hari ke 5 waktu inkubasi. Penurunan yang tajam dialami oleh isolat S11(35.6%) pada hari ke 7 inkubasi. Isolat SS240 hanya mengalami penurunan sebesar 18.7%, sedangkan isolat BS4 mengalami penurunan aktivitas pada hari ke 6 waktu inkubasi tetapi kembali mengalami peningkatan pada hari ke 7
inkubasi. Dari pengamatan aktivitas β-glukosidase ke 7 isolat kapang (Gambar 8),
diperoleh 3 isolat yang memperlihatkan aktivitas yang menonjol yaitu BS4 (0.57 U/ml) dan RM 3D (2.76 U/ml) pada hari ke 6 waktu inkubasi, dan S11 (0.79 U/ml) pada hari
ke 7 waktu inkubasi, sedangkan 4 isolat yang lainnya menunjukkan aktivitas
β-glukosidase yang rendah, yaitu antara 0.02 dan 0.18 U/ml.
Kapang merupakan mikrob penghasil enzim selulase terbesar dibandingkan mikrob lainnya. Beragamnya nilai aktivitas enzim yang dihasilkan oleh ke 7 isolat
kapang disebabkan oleh jenis kapang yang berbeda-beda. Menurut Kim et al. (1994)
(43)
29
dan Jorgensen et al. (2003) kapang genus Trichoderma sebagian besar komponen
enzim selulasenya mengandung enzim selobiohidrolase, sedangkan enzim selulase yang
berasal dari genus Aspergillus, komponen terbesarnya adalah enzim β-glukosidase
(Kader dan Omar 1998; Juhasz etal. 2003; Purwadaria etal. 2003a).
0 5 10 15 20 25
A
k
tiv
it
a
s (
U
/m
l)
BS-4 SS-240 S-11 TA-2A RM -3D RM 2 TA-3B
Je nis Isolat
Hari 5 Hari 6 Hari 7
Gambar 7 . Kurva produksi enzim FPase isolat kapang
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0
A
k
tiv
it
a
s (
U
/m
l)
BS-4 SS-240 S-11 TA-2A RM -3D RM 2 TA-3B
Je nis Isolat
Hari 5 Hari 6 Hari 7
(44)
Analisis FPase merupakan analisa enzim pada selulosa kristalin. Kristalinitas selulosa merupakan penghambat utama hidrolisis selulosa secara maksimum dan menjadi faktor yang menentukan biodegradibilitas selulosa oleh enzim selulolitik. Jadi mikroorganisme yang menghasilkan FPase yang tinggi lebih berpotensi menghidrolisis bahan pakan alami seperti dedak dan polard, yang sebagian besar mengandung selulosa
kristalin (Beldman et al. 1987; Judoamidjojo 1989). Karena mekanisme kerja FPase
dapat dihambat oleh adanya selobiosa, maka untuk mendegradasi selulosa secara menyeluruh diperlukan peranan enzim yang dapat menyempurnakan hidrolisis selobiosa sehingga menghasilkan monomer-monomer glukosa yang mudah diserap dan
dimanfaatkan oleh sel. Hasil pengukuran aktivitas FPase dan β-glukosidase pada filtrat
enzim isolat-isolat kapang menunjukkan bahwa isolat RM 3D merupakan isolat terbaik dibandingkan dengan isolat yang lainnya. Selain memiliki aktivitas FPase yang cukup tinggi pada hari ke 6 waktu inkubasi (18.1 U/ml), isolat RM 3D ternyata menunjukkan
aktivitas β-glukosidase tertinggi sejak awal pengamatan. Aktivitas β-glukosidase
RM 3D pada hari ke 5, 6 dan 7 waktu inkubasi berturut-turut 1.98 U/ml, 2.76 U/ml, dan
2.07 U/ml. Enzim β-glukosidase berperan penting dalam pengaturan seluruh proses
selulolitik dengan menghilangkan penghambat aktivitas FPase maupun CMCase yang bekerja pada selulosa amorf. Jadi selain mampu menghidrolisis bahan pakan alami, RM 3D juga mampu menyempurnakan proses hidrolisis selulosa menjadi glukosa.
Identifikasi Isolat Kapang RM 3D
Hasil identifikasi isolat kapang RM 3D yang dilakukan di IPB Culture Collection di laboratorium Mikologi IPB Bogor secara makroskopis dan mikroskopis, disimpulkan bahwa isolat yang diisolasi dari kayu yang menjadi sarang rayap tersebut
adalah Aspergillus foetidus (Naka.) Thom dan Raper (Raper dan Fennell 1963)
(Lampiran 10). Hal ini sesuai dengan hasil analisis terhadap aktivitas β-glukosidase
pada RM 3D. Pada penelitian sebelumnya, adanya aktivitas β-glukosidase yang tinggi
pada kapang genus Aspergillus juga ditemukan oleh Kader dan Omar (1998) pada
kapang-kapang hasil isolasinya. Enzim-enzim selulolitik juga berhasil diisolasi dari
kapang Penicillium nalgiovense Laxa (Nurbayti 2002), T. viride, T. reesei, T. koningi,
(45)
31
Gambar 9. Isolat kapang Aspergillus foetidus (Naka.) RM3D Thom dan Raper
Karakterisasi Enzim
Pengaruh pH Dan Suhu Terhadap Aktivitas β-glukosidase
Enzim mempunyai aktivitas maksimum pada daerah pH yang terbatas.
Pengujian aktivitas enzim β-glukosidase pada berbagai kondisi pH disajikan pada
Gambar 10. Pada Gambar 10 terlihat bahwa β-glukosidase mempunyai pH optimum
5.0, dengan aktivitas sebesar 2.13 U/ml. Diatas pH optimum, yaitu 5.2, aktivitasnya turun sebesar 61% menjadi 0.81 U/ml, sedangkan pada pH dibawah pH optimum, yaitu
4.8, β-glukosidase mempunyai aktivitas sebesar 54% atau 1.15 U/ml, dan pada pH 4.2
aktivitasnya masih 41% atau 0.886 U/ml. Nilai pH optimum ini sesuai dengan yang diajukan Landecker 1996), bahwa enzim yang berasal dari kapang umumnya mempunyai pH optimum dibawah 7, dan sebagian besar enzim umumnya mempunyai pH optimum antara 4 dan 8. Pada penelitian sebelumnya, Purwadaria menyatakan pH
optimum β-glukosidase pada Aspergillus niger NRRL 337 adalah 5.4 (2003a) dan pada
(46)
Bastawde (1992) menemukan aktivitas β-glukosidase yang maksimum pada Aspergillus
terreus adalah pH 4.8. Nurbayti (2002) menemukan Penicilliun nalgiovense Laxa
mempunyai pH optimum 5.2. Okada (1999) pada T.viride, Asada (1999) pada
Coptotermes formosanus, dan Svasti (1999) pada Dalbergia cochinchinensis Pierre
menemukan pH 5.0 sebagai pH optimum untuk aktivitas β-glukosidase.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5
4.2 4.6 4.8 5 5.2 5.4 5.8 6.2
pH
A
k
tiv
it
a
s (
U
/m
l)
Gambar 10. Aktivitas β-glukosidase terhadap variasi pH
Peningkatan aktivitas enzim yang tajam, yaitu 46%, pada pH optimum berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada struktur atau muatan gugus ionik enzim yang terdapat pada sisi aktif enzim. Hal ini mengakibatkan konformasi sisi aktif enzim menjadi lebih efektif dalam mengikat substrat, yang selanjutnya akan diubah menjadi produk (Whitaker 1994). Pada pH yang rendah enzim akan mengalami protonisasi sehingga kehilangan muatan negatifnya, sedangkan pada pH yang tinggi substrat akan mengalami ionisasi dan kehilangan muatan positifnya. Dengan berubahnya muatan,
maka struktur tersier atau kuarterner akan berubah, akibatnya protein β-glukosidase
akan terbuka dan kehilangan aktivitasnya (Murray et al 2003). Perubahan pH juga
dapat mempengaruhi stabilitas dan kelarutan enzim (Chaplin & Bucke 1990; Whitaker 1994).
(47)
33
Selain pH, suhu medium juga mempengaruhi aktivitas enzim. Gambar 11
menyajikan pengaruh berbagai suhu terhadap aktivitas enzim β-glukosidase, yang
ditetapkan pada pH optimum enzim. Pada Gambar 11, terlihat bahwa β-glukosidase
mempunyai suhu optimum 60 ºC, dengan aktivitas sebesar 3.56 U/ml. Pada suhu diatas
suhu optimum, aktivitas β-glukosidase menurun tajam sebesar 68%, menjadi 1.12
U/ml, bahkan pada suhu 70 ºC, aktivitasnya tinggal 13% atau 0.45 U/ml. Namun pada
suhu dibawah suhu optimum β-glukosidase relatif stabil. Pada suhu 50 ºC aktivitasnya
turun 51%, menjadi 1.74 U/ml, bahkan pada suhu 40 ºC aktivitasnya masih 27% atau 0.95 U/ml. Nilai suhu optimum pada penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Bastawde (1992) yang menemukan suhu 60 ºC sebagai suhu maksimum aktivitas
β-glukosidase Aspergillus terreus, sedangkan Nurbayti (2002) menemukan suhu 55 ºC
sebagai suhu optimum Penicilliun nalgiovense Laxa.
0.0 0.8 1.6 2.4 3.2 4.0
40 50 55 60 65 70
Suhu (oC)
A
k
tiv
it
a
s (
U
/m
l)
Gambar 11. Aktivitas β-glukosidase terhadap variasi suhu
Peningkatan aktivitas enzim sejalan dengan peningkatan suhu sesuai dengan yang dikemukan Landecker (1996), bahwa suhu dapat meningkatkan aktivitas enzim hingga dua kali lipat setiap kenaikan suhu 10 ºC sampai mencapai suhu optimum. Selain itu menurut Whitaker (1994), enzim umumnya lebih stabil pada suhu yang rendah. Kenaikan aktivitas enzim dibawah suhu optimum disebabkan oleh kenaikan
(48)
jumlah molekul yang bereaksi, baik dengan kenaikan energi kinetiknya, penurunan rintangan energi, maupun dengan peningkatan frekuensi benturan antar molekul. Apabila suhu dinaikkan terus, maka akhirnya akan tercapai suatu suhu dimana molekul yang bereaksi menjadi tidak stabil, bahkan kehilangan aktivitas katalitiknya. Hal ini disebabkan oleh energi kinetik enzim menjadi besar sehingga melampaui rintangan energi untuk memutuskan ikatan hidrogen dan hidrofobik pada struktur enzim. Dengan
terputusnya ikatan pada struktur sekunder dan tersier protein β-glukosidase,
mengakibatkan enzim mengalami denaturasi dengan disertai kehilangan aktivitas
katalitiknya (Whitaker 1994 ; Murray et al 2003).
Penetapan pH maupun suhu optimum mutlak dilakukan karena sangat penting sebagai prasyarat penetapan aktivitas enzim. Hal ini disebabkan karena perubahan suhu dan ataupun pH, diantaranya dapat mempengaruhi stabilitas enzim, pH buffer, ataupun afinitas enzim sebagai aktivator dan inhibitor (Whitaker 1994). Selain itu, dengan diketahuinya pH dan suhu optimum enzim akan bermanfaat dalam aplikasi mikrob selulolitik untuk mendegradasi selulosa secara maksimal dan aplikasi bioteknologi enzim.
Pengaruh pH Dan Suhu Terhadap Stabilitas β-glukosidase
Hasil pengujian pengaruh variasi pH terhadap stabilitas enzim (Gambar 12)
pada penyimpanan suhu 60 ºC selama 30 menit, menunjukkan bahwa β-glukosidase
cenderung stabil dan aktif pada pH asam. Enzim relatif stabil pada selang pH 4.2 dan 5.0, dan kenaikan nilai pH menyebabkan menurunnya aktivitas enzim. Aktivitas enzim pada pH 4.2 adalah 85% dari aktivitas maksimum, sedangkan pada nilai pH mendekati netral (6.2), aktivitas enzim tinggal 12%. Sebagai perbandingan, Nurbayti (2002)
mendapatkan bahwa β-glukosidase P. nalgiovense Laxa stabil pada pH 4.8 - 5.2.
Kestabilan enzim terhadap perubahan pH dapat dimanfaatkan dalam ransum ternak, karena pH kestabilan enzim berada pada kisaran pH organ pencernaan ayam dan itik (pH 4.5–6.9), sedangkan organ ampela dan proventrikulus mempunyai pH 2.3 – 3.4 (Sturkie 1976).
Stabilitas termal β-glukosidase yang diinkubasi pada suhu 28, 40 dan 80 ºC pada pH optimum disajikan pada Gambar 13, 14, dan 15. Pada suhu ruang (28 ºC),
(49)
35
β-glukosidase menunjukkan aktivitas yang relatif stabil selama 1 hari penyimpanan.
Pada kondisi ini terjadi peningkatan aktivitas sebesar 210%, bahkan pada hari ke 4 penyimpanan, aktivitas enzim masih lebih dari 50%. Pada penelitian sebelumnya,
Desrochers et al. (1981) menemukan waktu paruh β-glukosidase pada suhu 30 ºC dan
pH 7 adalah 72 jam (3 hari). Mengingat waktu paruh β-glukosidase yang lebih dari 4 hari, hal ini memungkinkan enzim tersebut dapat digunakan sebagai campuran pakan pada suhu ruang dengan jangka tertentu.
0 30 60 90 120 150
4.2 4.6 5 5.4 5.8 6 6.2
pH
A
k
ti
v
ita
s R
e
la
ti
f (%)
Gambar 12. Stabilitas β-glukosidase terhadap variasi pH
Hasil pengamatan pada suhu 40 ºC menunjukkan bahwa aktivitas enzim
β-glukosidase relatif stabil. Aktivitas meningkat 2 kali lipat pada inkubasi 90 menit
(202%) (Gambar 14), dan masih lebih besar dari aktivitas semula (120%) pada
inkubasi 180 menit. Pengujian aktivitas β-glukosidase terdahulu pada suhu ini
dilakukan Desrochers et al. (1981). Pada kondisi tersebut dan pH 7 β-glukosidase
mempunyai waktu paruh 24 jam, tetapi kurang dari 1 jam pada suhu 50 ºC. Kestabilan
enzim β-glukosidase pada suhu 40 ºC, menyebabkan enzim tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai campuran dalam pakan unggas, karena unggas memiliki suhu tubuh berkisar 40 sampai 42 ºC.
(50)
0 50 100 150 200 250
0 1 2 3 4
Hari
A
k
ti
vi
tas
R
el
at
if (%)
Gambar 13. Stabilitas β-glukosidase pada suhu 28 ºC
-50 100 150 200 250
0 30 60 90 120 150 180
Waktu (me nit)
A
k
ti
v
ita
s R
e
la
ti
f (%)
Gambar 14. Stabilitas β-glukosidase pada suhu 40 ºC
. Pengukuran aktivitas β-glukosidase pada suhu 80 ºC menunjukkan bahwa enzim tersebut relatif stabil pada penyimpanan selama 30 detik (Gambar 15) dengan aktivitas sebesar 84%, namun kehilangan aktivitas lebih dari 77% setelah 60 detik, dan tidak
(51)
37
anaerob mempunyai waktu paruh selama 1.4 menit pada suhu 85 ºC dan pH 6.2
(Patchett et al. 1987). Penyimpanan pada suhu tinggi dilakukan apabila suatu enzim
akan digunakan sebagai pakan berbentuk pelet, dimana dibutuhkan waktu selama
1 - 2 menit untuk pemanasan. Tidak stabilnya enzim β-glukosidase pada suhu tinggi,
menyebabkan enzim ini tidak dapat digunakan dalam bentuk pelet, dan sebagai gantinya harus dicari alternatif lain untuk pemanfaatannya. Salah satu cara, antara lain dengan mencampurkan enzim ini ke dalam ransum pakan secara langsung, mengingat
enzim β-glukosidase masih relatif stabil pada suhu ruang selama 4 hari penyimpanan.
0 20 40 60 80 100 120
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270
Waktu (de tik)
A
k
ti
v
ita
s R
e
la
ti
f (%)
Gambar 15. Stabilitas β-glukosidase pada suhu 80 ºC
Pengaruh Penambahan Aseton Terhadap perolehan Kembali Protein Dan Aktivitas Spesifik Enzim
Penambahan ekstrak kasar enzim dengan menggunakan pelarut organik seperti aseton pada beberapa tingkat kejenuhan dilakukan untuk memekatkan enzim. Pemekatan dapat digunakan untuk proses pemurnian enzim ataupun untuk keperluan analisis anzim. Selain harganya murah, aseton tidak bereaksi dengan protein dan tidak terlalu berbahaya.
Pengendapan dengan aseton menunjukkan bahwa aktivitas spesifik tertinggi (1.08 U/g protein) terjadi setelah pengendapan pada tingkat kejenuhan 80%, dengan
(52)
Namun pengendapan dengan aseton pada tingkat kejenuhan 60 - 90% menyebabkan turunnya kadar protein bila dibandingkan dengan protein sebelum diendapkan. Meskipun perolehan kembali protein pada tingkat kejenuhan 70% memberikan hasil tertinggi, tetapi perolehan kembali aktivitas spesifiknya justru sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa protein yang terendapkan tersebut sebagian besar bukan enzim
β-glukosidase, melainkan protein lain atau kontaminan yang ikut terendapkan dengan
adanya pelarut organik aseton. Penggunaan aseton dengan tingkat kejenuhan 80% juga
dilakukan oleh Ardiningsih (2002). Pengendapan ekstrak enzim kasar Bacillus pumilus
dengan aseton meningkatkan 2 kali lipat aktivitas spesifik enzim xilanase.
0 50 100 150 200 250
60% 70% 80% 90%
Konsentrasi Aseton P erol eh an K em b al i P rot ei n d an A k tivi tas S p es if ik ( %)
Protein Aktv Spes
Gambar 16. Pengaruh Aseton Terhadap β- glukosidase
Pengaruh EDTA dan Kation terhadap aktivitas β-glukosidase
Aktivitas β-glukosidase dari RM 3D dikarakterisasi lebih lanjut dengan
menggunakan senyawa-senyawa divalen : MgCl2, BaCl2, MnCl2, CaCl2, ZnCl2, FeCl3,
CoCl2, CuCl2, dan senyawa pengkhelat EDTA (Gambar 17). Penambahan 1 mM dan
5 mM masing-masing senyawa EDTA dan MnCl2 dapat meningkatkan aktivitas
β-glukosidase, sedangkan penambahan 1 mM dan 5 mM senyawa ZnCl2 dan CuCl2
menurunkan aktivitas β-glukosidase. Adanya ion Cu2+ bahkan hampir menghilangkan
(53)
39
aktivitasnya dihambat oleh adanya ion-ion Zn2+ dan Cu2+ adalah β-glukosidase yang
berasal dari Ruminococcus albus (Takano 1992). Tetapi adanya ion Zn2+ justru
meningkatkan aktivitas β-glukosidase pada Dalbergia cochinchinensis Pierre (Svasti
1999). Pengaruh penambahan 1 mM masing-masing senyawa MgCl2, BaCl2, CaCl2,
dan CoCl2 meningkatkan aktivitas β-glukosidase, sedangkan penambahan 5 mM
senyawa-senyawa tersebut menurunkan aktivitas β-glukosidase. Penambahan 1 mM
senyawa FeCl3 hampir tidak mempengaruhi aktivitas β-glukosidase (turun hanya 2%),
tetapi penambahan 5 mM senyawa tersebut meningkatkan aktivitas β-glukosidase
hingga 60 %. Sedangkan penambahan 1 mM FeCl3 pada Dalbergia cochinchinensis
Pierre justru dapat meningkatkan aktivitas β-glukosidase (4%) (Svasti 1999).
Penambahan kation-kation MgCl2, BaCl2, CaCl2, dan CoCl2
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
A
k
ti
v
ita
s R
e
la
ti
f (%)
Kont EDT A Mg Ba Mn Ca Zn Fe Co Cu
Je nis kation
1 mM 5 mM
pada Rhodotorula minuta
tidak mempengaruhi aktivitas β-glukosidase (Onishi dan Tanaka 1996).
Gambar 17. Pengaruh EDTA dan Kation terhadap aktivitas β-glukosidase.
Sebagian enzim mengandung ion logam yang terikat erat atau memerlukan ion logam untuk aktivitasnya. Ion logam dapat meningkatkan pengikatan substrat dan proses katalisis dengan membentuk beberapa jenis komplek jembatan dari enzim, logam dan substrat. Tetapi kelebihan ion logam dapat menghambat aktivitas enzim karena senyawa nukleotida di- dan trifosfat dapat membentuk kompleks yang stabil dengan kation dwivalensi, dan konsentrasi intrasel nukleotida dapat mempengaruhi
(1)
Lampiran 5. Standar Bobot molekul.
y = -0,8975x + 4,8029 R2 = 0,9639
0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80
4,6 4,7 4,8 4,9 5,0 5,1 5,2 5,3 5,4
Log BM
Rf
205.000
116.000
97.000
55.000
(2)
Lampiran 6. Kurva standar nitrofenol dalam bufer asetat pada T 50º C
y = 0.053x
R2 = 0.997 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
0 5 10 15 20 25 30
Konsentrasi (ppm )
A b s o rb a n s i ( n m )
y = 0.053x
R2 = 0.998 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
0 5 10 15 20 25 30
Konsentrasi (ppm )
A b s o rb a n s i ( n m )
a. Bufer Asetat pH 4.2 b. Bufer Asetat pH 4.6
y = 0.051x
R2 = 0.991
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
0 5 10 15 20 25 30
Konsentrasi (ppm )
A b s o rb a n s i ( n m )
y = 0.053x
R2 = 0.996 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
0 5 10 15 20 25 30
Konsentrasi (ppm )
A b s o rb a n s i ( n m )
c. Bufer Asetat pH 5.0 d. Bufer Asetat pH 5.4
y = 0.045x
R2 = 0.968 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
0 5 10 15 20 25 30
Konsentrasi (ppm )
A b s o rb a n s i ( n m )
y = 0.048x
R2 = 1.000 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
0 5 10 15 20 25 30
Konsentrasi (ppm )
A b s o rb a n s i ( n m ) e. Bufer Asetat pH 5.8 f. Bufer Asetat pH 6.2
(3)
Lampiran 7. Kurva standar nitrofenol dalam bufer asetat pada pH 5.0
y = 0.038x
R2 = 0.990 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
0 5 10 15 20 25 30
Konsentrasi (ppm) A b sor b an si (n m)
y = 0.043x
R2 = 0.990 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
0 5 10 15 20 25 30
Konsentrasi (ppm) A b sor b an si (n m)
a. Standar suhu 40ºC b. Standar suhu 50ºC
y = 0.039x
R2 = 0.988 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
0 5 10 15 20 25 30
Konsentrasi (ppm) A b sor b an si (n m)
y = 0.040x
R2 = 0.992 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
0 5 10 15 20 25 30
Konsentrasi (ppm) A b sor b an si (n m)
c. Standar suhu 55ºC d. Standar suhu 60ºC
y = 0.041x R2 = 0.996 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
0 5 10 15 20 25 30
Konsentrasi (ppm) A b sor b an si (n m)
y = 0.059x
R2 = 0.992
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2
0 5 10 15 20 25
Konsentrasi (ppm) A b sor b an si (n m) e. Standar suhu 65ºC f. Standar suhu 70ºC
(4)
Lampiran 8. Kurva standar glukosa untuk penentuan aktivitas FPase pada T 50º C
y = 0,0022x - 0,0193 R2
= 0,9875
0,02 0,22 0,42 0,62 0,82
0 100 200 300 400 500
Konsentrasi (ppm)
A
b
s
o
rb
a
n
s
i (
n
m
(5)
Lampiran 9. Kurva standar protein
y = 0,0009x R2
= 0,99
0,02 0,12 0,22 0,32 0,42 0,52
0 100 200 300 400 500 600 700
Konsentrasi BSA (ug/ml)
A
b
s
o
rb
a
n
s
i (
n
m
)
a. Semi makro
(6)
Lampiran10.Identifikasi isolat kapang RM 3D a. Pengamatan koloni secara makroskopik
Koloni tumbuh subur pada media agar malt, tampak merata/datar diatas permukaan, seperti beludru, dan mempunyai banyak spora. Koloni berwarna putih pada waktu muda dan berwarna coklat kehitaman atau hitam setelah tua. Koloni tidak memperlihatkan zonasi, misellium vegetatifnya berada dibawah permukaan media, berwarna agak kekuningan. Tidak berbau dan bila cawan tempat pertumbuhannya dibalik, koloni berwarna kuning terang.
b. Pengamatan koloni secara mikroskopik
Kepala konidia (conidial heads) tampak terbagi menjadi beberapa bagian yang berbeda, dengan batang-batang tampak rapat dan teratur. Saat muda konidia berbentuk ellips dan menjadi globus saat matang (tua). Misellium basalnya berwarna kuning terang.
Kesimpulan :
Dari hasil pengamatan secara makroskopik maupun mikroskopik disimpulkan bahwa isolat kapang RM 3D adalah Aspergillusfoetidus (Naka.) Thom dan Raper.
Nama sinonim dari Aspergillus foetidus (Naka.) adalah Aspergillus aureus var. brevius,
A. awamori var. ferrugineus, A. luteo-niger, A. perniciosus Inui.