6 marasmus dan kwashiorkor. Penanganan yang terlambat akan mengakibatkan
mudah terkena infeksi yang dapat berakhir dengan kematian. Sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan
disebut sebagai kebutuhan gizi. Konsumsi yang berlebih maupun kekurangan dan berlangsung dalam jangka waktu lama akan berbahaya bagi kesehatan
Hardinsyah dan Martianto 1989. Kebutuhan gizi didefinisikan pula sebagai kebutuhan minimal zat gizi agar dapat hidup sehat, sedagkan kecukupan gizi
adalah jumlah masing-masing zat gizi yang sebaiknya dipenuhi seseorang agar hampir semua orang sekitar 97.5 populasi hidup sehat.
Angka kecukupan energi dan protein berguna untuk mengukur tingkat konsumsi, perencanaan konsumsi dan ketersediaan pangan. Menurut hasil WNPG
tahun 2004, Angka Kecukupan Energi AKE rata-rata orang Indonesia untuk tingkat konsumsi sebesar 2
. 000 kalori dan sebesar 2
. 200 kalori untuk tingkat
ketersediaan. Angka Kecukupan Protein AKP pada tingkat konsumsi sebesar 52 gram sedangkan pada tingkat ketersediaan sebesar 57 gram.
b. Kualitas Konsumsi Pangan
Keanekaragaman konsumsi
pangan merupakan
pencerminan dari
mutukualitas pangan. Penilaian kualitas pangan berdasarkan keragaman dan keseimbangan komposisi energi dapat dilakukan dengan pendekatan Pola Pangan
Harapan. Pola Pangan Harapan PPH pertama kali diperkenalkan oleh FAO- RAPA pada tahun 1989, dan selanjutnya dikembangkan oleh Departemen
Pertanian untuk menjabarkan penganekaragaman pangan melalui Workshop yang diselenggarakan bersama dengan FAO. Penjabaran ini dikenal dengan suatu
pendekatan ”Desirable Dietary Pattern” dan pada saat ini lebih dikenal dengan Pola Panga Harapan.
Pola Pangan Harapan merupakan kumpulan beragam jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan
zat gizi pada komposisi yang seimbang. Pola pangan ini dapat digunakan sebagai ukuran keseimbangan dan keanekaragaman gizi Hardinsyah et al. 2001.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, secara implisit kebutuhan zat gizi juga
7 terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan.
Oleh karena itu, skor PPH mencerminkan mutu gizi konsumsi dan keragaman konsumsi pangan. Disamping itu dalam pembobotan setiap kelompok pangan
telah mempertimbangkan kepadatan energi, zat gizi esensial, zat gizi mikro, kandungan serat, volume pangan dan tingkat kelezatan Riyadi 1996.
Penelitian oleh Martianto dan Ariani 2004 terhadap konsumsi pangan yang dianalisa dari Susenas, menunjukkan bahwa selama 10 tahun terakhir 1993 –
2002 telah terjadi peningkatan mutu gizi konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Skor mutu gizi pangan yang dicerminkan oleh skor PPH bergerak dari 55.2 1993
menjadi 71.8 2002. Namun seiring dengan krisis ekonomi yang terjadi telah menurunkan mutu gizi konsumsi pangan masyarakat dari skor 69.8 1996
menjadi 62.4 1999. Rendahnya mutu gizi terjadi akibat rendahnya tingkat kecukupan energi di satu sisi dan ketidakseimbangan komposisi pangan yang
dikonsumsi. Selanjutnya disampaikan pula upaya-upaya yang diperlukan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan untuk mencapai pola
konsumsi pangan yang ideal PPH. Upaya tersebut diantaranya adalah: upaya yang secara langsung dapat mempengaruhi perbaikan mutu gizi, seperti
peningkatan pendapatan dan daya beli yang diiringi dengan perbaikan pengetahuan gizi. Peningkatan pengetahuan gizi memungkinkan pengelolaan
sumberdaya secara lebih baik, sehingga masyarakat akan mampu memilih jenis pangan bermutu gizi tinggi dengan harga yang terjangkau.
Dalam rangka pembangunan ketahanan pangan, sesuai dengan Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009, disebutkan bahwa pada kurun waktu
tersebut kualitas konsumsi pangan mencapai skor PPH minimal 80 padi-padian 275 gr, umbi-umbian 100 gr, pangan hewani 150 gr, kacang-kacangan 35 gr,
sayuran dan buah 250 gr. Diharapkan pula pada periode yang sama konsumsi pangan per kapita dapat memenuhi kecukupan energi minimal 2
. 000 kkalhari dan
protein sebesar 52 gramhari Dewan Ketahanan Pangan 2006. Komposisi protein yang dianjurkan adalah 80 nabati dan 20 hewani.
Martianto 2004 menyarankan besarnya komposisi pangan hewani untuk tingkat konsumsi per kapita per hari adalah sebagai berikut: 65 gram pangan hewani asal
ruminansia dan unggas dan 85 gram berasal dari ikan. Komposisi yang dianjurkan
8 dari pangan ruminansia dan unggas adalah: daging ruminansia 12 gram, daging
unggas 22 gram, telur 17 gram, dan susu 14 gram BKP 2006b. Berdasarkan data Susenas yang telah diolah Badan Ketahanan Pangan,
diperoleh skor PPH dari penduduk Indonesia tahun 1999-2005 mengalami peningkatan, adalah sebagai berikut: 66.3 1999, 72.6 2002, 77.5 2003, 76.8
2004, dan 79.1 pada tahun 2005 BKP 2006b. Namun demikian komposisi pangan yang ada masih didominasi oleh kelompok padi-padian. Komposisi yang
ideal sesuai dengan PPH, kelompok pangan ini seharusnya tidak lebih dari 50 dari total Angka Kecukuan Energi. Kelompok padi-padian pada periode tersebut
menyumbang lebih
dari 60.
Hal ini
sangat memprihatinkan
karena dikhawatirkan akan terjadi ketergantungan pada satu jenis pangan saja, yaitu
beras. Ketergantungan pada salah satu jenis pangan akan mengakibatkan sistem
ketahanan pangan yang rapuh. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya diversifikasi pangan untuk meningkatkan ketahanan pangan tersebut. Sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 68 tahun 2002, diversifikasi atau penganekaragaman pangan dilakukan dengan cara meningkatkan keanekaragaman pangan, meningkatkan
teknologi pengolahan dan produk pangan, serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi
seimbang. Upaya sosialisasi diversifikasi diarahkan pada diversifikasi konsumsi pangan beragam, bergizi dan berimbang berbasis sumberdaya pangan lokal sesuai
potensi daerah Husodo dan Muchtadi 2004.
Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan a.
Pengetahuan Gizi
Menurut Hardinsyah 2007, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keragaman konsumsi pangan keluarga, yaitu bila keluarga memiliki cukup akses
secara ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pangan, serta pengetahuan gizi orang tua yang baik. Selanjutnya tingkat pengetahuan gizi yang baik dapat mewujudkan
perilaku atau kebiasaan makan yang baik pula. Beberapa hasil penelitian sebagaimana disebutkan dalam review Hardinsyah 2007, dijelaskan bahwa
tingkat pengetahuan gizi yang baik tidak selalu terwujud dalam perilaku makan
9 yang baik. Karena adanya faktor daya beli pangan yang rendah, keterbatasan
waktu untuk mengolah makanan atau mempersiapkan makanan. Keluarga masyarakat miskin tidak dapat mengkonsumsi beraneka ragam pangan, meskipun
mereka dekat dengan pasar yang menyediakan kebutuhan pangan dan memiliki pengetahuan gizi yang baik pula.
Pengetahuan gizi dapat mempengaruhi keragaman konsumsi pangan penduduk. Namun demikian pengaruh positif ini dapat ditiadakanberubah oleh
beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah daya beli atau ekonomi, ketersediaan waktu untuk membeli, mengolah dan menyiapkan makanan,
preferensi atau kesukaan pangan, kepercayaan terhadap jenis pangan, dan ketersediaan
pangan. Selain
faktor tersebut,
review Hardinsyah
2007 menyebutkan ada faktor lain yang berpengaruh terhadap keragaman konsumsi
pangan, yaitu pendidikan gizi, paparan media masa dan pengalaman gizi, usia kedua orang tua, dan partisipasi ibu dalam kegiatan sosial.
b. Pendapatan