Hirotada Ototake No Sakuhin No ”No One’s Perfect” Ni Okeru Kyokunteki Kyokumen No Bunseki

(1)

NILAI-NILAI DIDAKTIS YANG TERDAPAT DIDALAM NOVEL NO ONE’S PERFECT KARYA HIROTADA OTOTAKE

HIROTADA OTOTAKE NO SAKUHIN NO ” NO ONE’S PERFECT” NI OKERU KYOKUNTEKI KYOKUMEN NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Untuk Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang.

OLEH :

YUYUN HANDAYANI NIM : 050708029

Dosen Pembimbing I Dosen pembimbing II

Drs. Eman Kusdiyana, M.hum prof Drs. HamzonSitumorang,M.s,Ph.D 19600919 1988 03 1 001 19580704 1984 12 1 001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG MEDAN


(2)

Disetujui Oleh,

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Program Studi Sastra Jepang Ketua Program Studi

prof Drs. HamzonSitumorang,M.s,Ph.D 19580704 1984 12 1 001


(3)

Pengesahan Diterima oleh :

Panitia ujian fakultas sastra Departemen sastra jepang universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat dalam bidang studi sastra Jepang pada fakultas sastra Universitas Sumatera Utara

Tanggal : 30 JUNI 2010 Hari : selasa

Fakultas Sastra

Universitas sumatera Utara

Prof. drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D

Panitia Ujian tanda tangan

1. Drs. Eman Kusdiyana, M.hum ( ) 2. Prof Drs. HamzonSitumorang,M.s,Ph.D ( ) 3. drs. Pujiono, M.Hum ( )


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat ALLAH SWT, karena berkat rahmat dan Hidayah-NYA penulis diberikan kesehatan selama mengikuti perkuliahan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Tiada kata yang pantas penulis ucapkan pertama sekali sebagai tanda terimakasih atas selesainya skripsi ini selain ucapan puji dan syukur kepada ALLAH SWT yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang. Selanjutnya Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah mengangkat manusia dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, dorongan serta bantuan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak yang penulis terima, skripsi ini tidak akan dapt selesai. Oleh karena itu penulis menyampaikan rasa terimaksih yang sedalamnya kepada :

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A. Ph.D. selaku Dekan fakultas sastra USU.

2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.s, Ph.D. selaku ketua jurusan sastra Jepang sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan bagi penulis sampai selesainya skripsi ini.

3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum selaku pembimbing I terimakasih atas bimbingannya yang telah memberikan masukan bagi penulis dan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran demi selesainya skripsi ini.


(5)

4.Terimakasih pada dosen dan staff pegawai fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. 5. Kepada Orangtuaku, Ayahanda ( Yulius Bambang) dan Ibunda ( Idawati Matondang) tercinta sebagai orang teristimewa di dalam hidup penulis yang telah memberikan segalanya kepada penulis kasih sayang, perhatian, bimbingan serta tidak pernah mengeluh dalam membiayai pendidikan penulis. Serta selalu memberikan motivasi dan semangat yang sangat besar agar penulis menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari.

6. terimakasih juga buat semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang juga telah memberikan dukungan buat penulis.

walaupun penulis sudah berupaya semaksimal mungkin, namun penulis menyadari bahwa penulisan ini masih belum sempurna. Hal ini disebabkan karena terbatasnya waktu, kemampuan, dan pengalaman yang dimiliki penulis. Oleh karen itu, penulis dengan segala kerendahan hati membuka diri untuk menerima saran dan kritik dari semua pihak yang menaruh perhatian demi penyempurnaan tulisan ini. Dan semoga skripsi yang sangat sederhana ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Penulis mengucapkan terimakasih atas saran dan kritiknya.

Medan


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………. i

DAFTAR ISI……… iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah………. 1

1.2 Perumusan Masalah……….. 4

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan……….. 5

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………. 6

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 12

1.6 Metode Penelitian ……….... ………… 12

BAB II : TINJAUAN UMUM TERHADAP NILAI DIDAKTIS DI DALAM NOVEL 2.1 Konsep Didaktis secara umum……… 14

2.2 Nilai-nilai didaktis yang umum terdapat di dalam karya sastra…… 19

2.3 Setting cerita novel No One’s Perfect……… 29

BAB III : ANALISIS NILAI-NILAI DIDAKTIS DIDALAM NOVEL NO ONE’S PERFECT 3.1 Sinopsis Cerita Novel No One’s Perfect……… 33

3.2 Analisis nilai Didaktis Pada Novel No One’s Perfect………. 42

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan………. 57


(7)

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK


(8)

ABSTRAK

Nilai nilai didaktis yang terdapat di dalam novel ini terdiri dari nilai religius, nilai moral, nilai budaya, nilai estetik dan nilai motivasi. Nilai religius yang ditampilkan dalam novel ini tergambar jelas dengan seringnya tokoh utama yaitu Ototake mengunjungi kuil untuk memohon kapada Dewa agar usaha yang telah dilakukannya berjalan sukses dan berhasil. Walaupun Jepang merupakan negara yang mayoritas penduduknya menjalankan ritual beberapa agama sekaligus di dalam hidupnya, tetapi negara ini merupakan negara yang sangat kuat memegang tradisi kepercayaan kepada Dewa. Hal ini terbukti dengan banyaknya festival-festival pemujaan kepada dewa yang dilaksakan sepanjang tahun.

Nilai moral merupakan nilai didaktis yang paling banyak terdapat di dalam novel ini. Nilai moral itu secara garis besar penulis bagi menjadi 3 bagian penting yaitu percaya diri, perduli terhadap lingkungan dan kaih sayang. Alenia-alenia yang ditampilkan dalam novel ini kebanyakan memberikan gambaran bahwa Oto adalah sosok yang sangat percaya diri ditengah keterbatasan fisik yang dia miliki, Oto berusaha dengan gigih untuk dapat melakukan apapun yang dapat dilakukan oleh orang normal dengan tekniknya sendiri tanpa pernah merasa bahwa dia adalah seorang penyandang cacat ganda. Perduli terhadap lingkungan dibuktikan Oto dengan aktif terlibat dalam usaha mendaur ulang sampah, sedangkan nilai didaktis dalam bentuk kasih sayang ditunjukkan oleh orangtua Oto dari mulai Oto lahir hingga membesarkan Oto. Semua dilakukan dengan rasa penerimaan yang tulus dengan kasih sayang yang tanpa batas.

Nilai estetik juga tersirat didalam novel ini melalui rasa ketertarikan Oto yang sangat besar terhadap dunia fashion. Oto merupakan contoh kecil dari penyandang cacat yang selalu


(9)

ingin tampil menarik di berbagai kesempatan, termasuk di sekolah sekalipun. Oto tak ingin menjadi penyandang cacat yang berpakain lusuh dan semakin menambah kesan ”kasihan” bagi orang-orang yang melihat penyandang cacat. Oto ingin merubah image penyandang cacat di mata masyarakat lewat cara berpakaiannya.

Nilai budaya juga sangat jelas tergambar didalam novel ini. Nilai budaya merupakan nilai yang sangat dijunjung tinggi di Jepang. Didalam novel tergambar jelas bahwa Oto dan masyarakat Jepang sepanjang tahun selalu menyambut festival-festival dengan penuh semangat dan membuat perayaan yang meriah.

Nilai motivasi merupakan nilai didaktis yang paling banyak tersirat didalam novel ini. Setiap alenia mengandung nilai motivasi bagi para pembacanya untuk dapat lebih berprestasi, karena lewat novel ini Oto membuktikan bahwa tidak ada cita-cita yang tidak mungkin untuk diwujudkan kalau kita memiliki tekad yang kuat dan usaha yang keras untuk mencapai cita-cita kita apapun itu.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kata sastra berasal dari bahasa sansekerta yaitu “castra” yang berarti tulisan atau bahasa; su dalam bahasa sansekerta artinya indah, bagus; susastra artinya bahasa yang indah, maksudnya hasil ciptaan bahasa yang indah ( Miskah Hanum ( 2009: 1 ) kesusastraan yakni,

“kesusastraan ialah kehidupan jiwa yang terjelma dalam tulisan atau bahasa yang menggambarkan atau mencerminkan peristiwa kehidupan masyarakat atau anggota-anggota masyarakat itu”.

Karya sastra sudah diciptakan manusia jauh sebelum manusia memikirkan apa hakikat sastra dan apa nilainya, karena sastra adalah bagian dari pengungkapan yang benar atas kejadian dalam kehidupan, baik yang direnungkan atau dirasakan berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat penulis atau pengarang di alam nyata. Hal ini disebabkan karena sastra bertujuan untuk menempatkan kodrat manusia sebagai manusia yang berbudaya, bersosial, berkesenian, sehingga dapat menampilkan tokoh-tokoh yang baik dalam kehidupan ini.

Sastra dikatakan memiliki kejiwaan tertentu, karena sastra dipandang sebagai curahan jiwa si pengarang yang memperlihatkan tentang hidup dan kehidupannya. Ini menyangkut dunia batin dan dunia realitas yaitu masyarakatnya serta curahan jiwa pengarang berdasarkan jalan pikiran pengarang.

Aminuddin ( 1987 ) berpendapat bahwa pada umumnya karya sastra memiliki karya yang bersifat fiksi dan non fiksi. Karya sastra nonfiksi berupa puisi, drama, dan lagu sedangkan karya


(11)

sastra fiksi berupa novel, cerpen, essai dan cerita rakyat. fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku dengan pemeranan, latar, serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Sesuai dengan perkembangan karya sastra, karya fiksi sudah lama dikenal dan berkembang di kehidupan masyarakat khususnya novel. Dalam perkembangannya novel banyak diminati oleh berbagai kalangan baik anak-anak, remaja, dewasa hingga manula. Menurut Van Hoeve dalam www.duniasastra.com (2005) novel adalah jenis karangan panjang yang menggambarkan tokoh-tokoh rekaan yang mengalami rangkaian peristiwa yang berkaitan satu sama lain di suatu tempat dan waktu tertentu. Menurut Jassin dalam Miskah hanum ( 2009:2 ) novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang yang luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik , suatu pertikaian yang mengalihkan jurusan nasib mereka. Novel hanya menceritakan salah satu segi kehidupan sang tokoh yang benar-benar istimewa yang mengakibatkan terjadinya perubahan nasib mereka.

Kejadian yang terjadi dalam sebuah peristiwa dalam novel digambarkan oleh seorang tokoh. Tokoh-tokoh dalam sebuah novel dilukiskan dalam karakter, pribadi, dan pencandraan diri yang kuat dan meyakinkan, keberadaan tokoh tersebut terasa hidup dan meyakinkan.

Dewasa ini jika diamati, kebanyakan novel-novel yang berkembang di Indonesia merupakan novel remaja yang sebagian besar bertemakan cinta, misteri, dan petualangan yang terkelompokkan dalam novel teenlit, chiclit, dan metropop. Tak jarang dalam pengisahannya pengarang menyisipkan unsur-unsur hedonisme, seperti kehidupan borjouisme, konsumerisme, materialistik, seks bebas, sisi negatif kehidupan malam kota metropolitan seperti clubbing dan narkoba.


(12)

Secara tidak langsung baik disadari atau tidak novel-novel yang seperti ini membawa pengaruh yang sedikit banyak mempengaruhi pola pikir remaja yang masih labil, dan tidak jarang para remaja ini mengadopsi unsur-unsur tersebut sebagai lifestyle mereka karena dianggap populer dan trend saat ini. Hal ini dikarenakan novel sebagaimana media hiburan yang lainnya tidak hanya memiliki fungsi entertaint ( hiburan ) saja bagi masyarakat penikmatnya tetapi juga memiliki fungsi persuasif ( meyakinkan ) pembacanya untuk menerima ide, gagasan, pemikiran pengarang di dalam novelnya.

Oleh karena sifatnya yang tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan akan tetapi juga sebagai media persuasif, sudah seharusnya novel-novel yang berkembang memiliki nilai “gizi batin” yang representatif bagi kalangan penikmatnya. Salah satu novel-novel yang memiliki unsur-unsur tersebut adalah novel “ No One’s Perfect” karya Hirotada Ototake. Novel ini memiliki tema spiritual dan perjuangan hidup yang sangat kuat yang dimiliki oleh seorang “tetra amelia” ( penyandang cacat ganda yang dibawa sejak lahir) yang ingin menghargai hidupnya dengan penuh kebahagiaan yang tidak pernah mendoktrin dirinya sebagai orang cacat dan melakukan apapun yang ingin ia lakukan, yang menurut kebanyakan orang mustahil dilakukan oleh orang cacat seperti ikut klub basket, berenang, dan bermain football. Keistimewaan yang menyebabkan novel ini menarik tidak hanya terletak pada keunikan tema cerita yang diangkat, tetapi juga pada setting cerita dan berbagai ekspresi penerimaan masyarakat jepang akan keberadaan para penyandang cacat disekitar mereka. Dibalik itu semua hal yang paling istimewa tentu saja alenia-alenia yang ditampilkan dalam novel ini tidak hanya bersifat entertaint saja tetapi sarat dengan nilai-nilai didaktis berupa nilai religius, nilai moral, nilai budaya, nilai estetik dan nilai motivasi.


(13)

Hal-hal diataslah yang menjadi latar belakang penulisan skripsi ini, disamping untuk memperkaya kajian terhadap karya sastra yang bermutu terutama dari segi nilai-nilai didaktisnya. Oleh karena itu di dalam skripsi ini penulis membahas tentang “Nilai-nilai Didaktis di Dalam Novel No One’s Perfect Karya Hirotada Ototake”.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam suatu penelitian perumusan masalah sangat penting artinya. Dengan adanya suatu perumusan masalah, suatu penelitian menjadi lebih terarah dan mendalam, sehingga inti permasalahan akan lebih mudah di cerna dan dipahami.

Menurut Alterbend dan Lewis (1996:14) bahwa fiksi merupakan prosa naratif yang bersifat Imajiner, dan mengandung kebenaran yang mendramatiskan hubungan-hubungan antar manusia sekaligus memasukkan unsur-unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman manusia. Salah satu karya fiksi jepang modern adalah novel “No One’s Perfect” karya Hirotada Ototake. Novel ini terkelompokkan dalam novel thrue story yaitu novel yang cerita di dalamnya diilhami dari kisah nyata yang dialami oleh penulisnya sendiri. Secara umum novel ini mnceritakan perjalanan hidup seorang penyandang cacat yang ingin mencapai cita-citanya meskipun seluruh aktivitasnya harus dilakukan di atas kursi roda.

Novel ini sangat sarat dengan nilai-nilai didaktis berupa nilai religius, nilai moral, nilai budaya, nilai estetik dan nilai motivasi yang dapat diteladani bagi pembacanya baik yang dalam kondisi fisik yang sama seperti pengarang apalagi yang dalam kondisi normal seperti manusia kebanyakan.


(14)

Bagaimana nilai-nilai didaktis yang terdapat di dalam novel No One’s Perfect karya Hirotada Ototake ?

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan

Untuk menghindari luasnya ruang lingkup permasalahan, maka dalam penelitian ini penulis akan memfokuskan pembahasan pada nilai-nilai didaktis (pengajaran/pendidikan) yang diungkapkan oleh pengarang melalui tokoh cerita di dalam novel no one’s perfect yang meliputi nilai-nilai didaktis berupa yang akan dijelaskan dengan menggunakan pendekatan pragmatis dan semiotik.

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori a. Tinjauan Pustaka

Kata didaktis berasal dari bahasa yunani yakni “didaktie” yang asal katanya adalah “didaskein” artinya mengajar. Didaktie dalam bahasa latinnya disebut didaktik atau didaktis, Djaka ( Yusmalina, 1997: 26 ).

Semi (1990:71) berpendapat bahwa didaktis adalah pendidikan dengan pengajaran yang dapat mengantarkan pembaca kepada suatu arah tertentu. Temyang, dkk ( Yusmalina, 1997:26) menyatakan bahwa pengertian didaktis adalah ilmu mengajar yang menunjukkan kepada kita bagaimana kita harus mengajar anak, lebih mudah dikatakan didaktis menetapakan cara mengajar.

Menurut Van Hoeve dalam panjang yang menggambarkan tokoh-tokoh rekaan yang mengalami rangkaian peristiwa yang berkaitan satu sama lain di suatu tempat dan waktu tertentu. Menurut Jassin dalam Miskah


(15)

hanum ( 2009 : 2 ) novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang yang luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik , suatu pertikaian yang mengalihkan jurusan nasib mereka. Novel hanya menceritakan salah satu segi kehidupan sang tokoh yang benar-benar istimewa yang mengakibatkan terjadinya perubahan nasib mereka.

Kejadian yang terjadi dalam sebuah peristiwa dalam novel digambarkan oleh seorang tokoh. Tokoh-tokoh dalam sebuah novel dilukiskan dalam karakter, pribadi, dan pencandraan diri yang kuat dan meyakinkan, keberadaan tokoh tersebut terasa hidup dan meyakinkan.

b. Kerangka Teori

Dalam penelitian yang bersifat ilmiah diperlukan suatu landasan teori yang kokoh, agar penelitian itu dapat mengarah pada tujuan seperti yang telah ditetapkan. Disamping itu, dengan adanya landasan teori yang kokoh, maka penelitian terhadap suatu objek yang bersifat ilmiah tersebut hasilnya akan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam menganalisis cerita di dalam novel ini dari segi nilai-nilai didaktisnya, penulis menggunakan pendekatan pragmatik dan pendekatan semiotik.

1. Pendekatan Pragmatik

Pragmatik erat sekali hubungannya dengan tindak ujar atau speech act. Menurut Morris (1938:6) pragmatik adalah telaah mengenai tanda-tanda dengan para penafsir. Teori pragmatik menjelaskan alasan atau pemikiran para pembicara dan para penyimak dalam menyusun korelasi dalam suatu konteks sebuah tanda kalimat dengan suatu proposisi ( rencana, atau masalah). Menurut Heatherington ( 1980: 155 ) pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dan terutama sekali memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial performansi bahasa dapat mempengaruhi tafsiran atau interpretasi.


(16)

Pada tahap tertentu pragmatis memiliki hubungan yang erat dengan sosiologi, yaitu dalam pembicaraan dengan masyarakat pembaca. Pendekatan pragmatis memiliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan dan penyebarluasanya, sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan. Dengan indikator pembaca dan karya sastra, tujuan pendekatan pragmatis memberikan manfaat terhadap pembaca. Pendekatan pragmatis secara keseluruhan berfungsi untuk menopang teori resepsi, teori sastra yang memungkinkan pemahaman hakikat karya tanpa batas.

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa karya sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya terhadap masyarakat sebagai berikut :

1. karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.

2. karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang tejadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya, juga difungsikan oleh masyarakat.

3. medium karya sastra , baik lisan ataupun tulisan, dipinjam melalui kompentensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.

4. berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-astiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.

5. sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.


(17)

Pragmatisme menjadikan manusia sebagai tolak ukur bagi segala-galanya. Manusia ditempatkan pada posisi sentral di dalam realitas, dan realitas selalu dikaitkan dengan tujuan hidup manusia. Pengetahuan, kesenian, moralitas, kebudayaan tidak dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi selalu dihubungkan dengan kegunaannya bagi manusia dalam menuju kehidupan yang lebih baik.

Menurut penulis, pragmatik adalah suatu pendekatan yang menarik karena melibatkan bagaimana orang saling memahami satu sama lain secara linguistik. Pragmatik juga merupakan ruang lingkup studi yang membuat kita untuk memahami maksud orang lain dan apa yang ada dalam pikiran mereka. Pendekatan ini juga menyelidiki bagaimana cara pendengar dapat menyimpulkan tentang apa yang dituturkan agar dapat sampai pada suatu interpretasi makna yang dimaksudkan oleh penutur. Studi ini menggali betapa banyak sesuatu yang tidak dikatakan ternyata menjadi bagian yang disampaikan.

2. Pendekatan Semiotik

Penulis menggunakan pendekatan ini karena dalam novel ini pengarang ada menggunakan ungkapan-ungkapan sebagai simbolik. Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu semion yang berarti tanda.

Menurut Morris (1946 ) semiotik adalah ilmu mengenai tanda, baik itu bersifat manusiawi maupun hewani, berhubungan dengan suatu bahasa tertentu atau tidak, mengandung unsur kebenaran atau kekeliruan, bersifat sesuai atau tidak sesuai, bersifat wajar atau mengandung unsur yang dibuat-buat. Menurut Klaus Buhr ( 1972 ) semiotik merupakan teori umum mengenai tanda-tanda bahasa. Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan semiotik tidak meneliti tanda-tanda yang bersifat konkrit dalam suatu bahasa tertentu, melainkan meneliti ilmu bahasa secara umum. Semua pengetahuan pada akhinya merupakan pengetahuan yang besifat


(18)

sosial dengan syarat media yang digunakan dalam tukar-menukar informasi, penerimaan informasi, cara pengolahan informasi dan lain sebagainya dapat di tentukan dengan bebas. Media yang di maksudkan disini adalah tanda bahasa.

Penggunaan semiotik dalam menelaah suatu karya sastra dilakukan berdasarkan anggapan karya sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya, dan medium itu sendiri merupakan tanda yang bermakna. Akan tetapi ada perbedaan bahasa sebagai tanda dengan karya sastra sebagai tanda. Lotman menyebutkan bahasa sebagai sistem tanda primer dan karya sastra sebagai sistem tanda sekunder. Sistem tanda primer digunakan untuk komunikasi, berfikir, dan menginterpretasikan segala sesuatu termasuk bahasa itu sendiri.

Sistem tanda sekunder merupakan pemanfaatan bahasa oleh sastrawan untuk merumuskan pemikirannya dalam bentuk tanda bahasa secara artistik. Semiotik dijadikan metode penelitian sastra karena semiotik sebagai ilmu tanda mengarahkan peneliti pada makna yang utuh dan menyeluruh. Hal ini karena semiotik memandang karya sastra sebagai tanda, sehingga setiap fenomena yang di tandai oleh karya sastra juga menjadi perhatian peneliti. Dengan demikian, semiotik memiliki wawasan pengetahuan yang luas, bukan hanya unsur-unsur di dalam karya sastra yang menjadi perhatiannya, tetapi juga unsur-unsur yang berada di luar karya sastra tersebut.

Menurut Made Sukada (1987:44) penjabaran model semiotik tersebut dalam analisis dapat dirumuskan dengan :

1. menjelaskan kaitan antara pengarang, realitas karya sastra dan pembaca.

2. menjelaskan karya sastra sebagai sebuah struktur, berdasarkan unsur-unsur atau elemen-elemen yang membentuknya.


(19)

Menurut Hegel biasanya tanda atau bahasa hanya disisipkan sebagai catatan dalam psikologi atau logika tanpa memeperhatikan kepentingan dan keterikatannya dalam sistem aktivitas intelegensia. Sebuah tanda seharusnya ditempatkan pada suatu posisi, dimana intelegensia menghasilkan sesuatu yang bermakna dalam meliputi unsur waktu dan unsur ruang, yang kemudian membentuk suatu gambaran mengenai suatu benda. Gambaran inilah yang kemudian direalisasikan dalam bentuk suatu benda yang nyata yang juga meliputi unsur waktu, unsur ruang, dan suatu pandangan. Dalam hal ini, tidak digunakan makna yang sebenarnya, karena suatu benda mempunyai makna tambahan dan demikian pula halnya dengan pesan yang ingin disampaikan melalui suatu tanda.

Barthes dalam Peter (2000:2-4) mengembangkan metode semiologinya untuk membaca sistem-sistem tanda kebudayaan dan juga bertujuan menemukan kandungan makna di dalam konfigurasi 9 (bentuk dan wujud ) bentuk tekstual dan membuatnya bisa dihubungkan.

Menurut penulis sesuatu yang disebut dengan tanda adalah sebuah simbol yang mewakili makna lain selain makna denotasi simbol itu sendiri, contoh : lirikan mata, gerakan mulut, pakaian yang kita kenakan, lingkungan yang kita tempati, semua hal tersebut dapat di jadikan tanda untuk menunjukkan identitas pribadi orang yang bersangkutan. Lirikan mata seorang perjaka kepada seorang gadis menandakan bahwa sang perjaka tertarik kepada sang gadis, pakaian sutra yang dikenakan seseorang menandakan berasal dari strata ekonomi atas, dan tinggal di lingkungan kumuh menandakan bahwa seseorang berasal dari keluarga strata bawah. Karya sastra baik berupa novel, puisi, cerpen, merupakan wilayah kajian semiotik karena di dalam pengisahannya pengarang sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang memiliki interpretasi lain di luar konteks kalimat itu sendiri, termasuk di dalam novel no one’s perfect. Di dalam novelnya, sang tokoh sentral Hirotada Ototake menyebut dirinya sebagai seorang “raja di


(20)

atas kursi roda, menyukai olahraga renang dan basket, dan juga sebagai seorang penggemar festival”. Ungkapan raja mengindikasikan makna superior dan rasa percaya diri yang kuat, sedangkan hobi basket dan berenang tentu saja merupakan hal yang nyaris tidak mungkin dilakukan oleh seorang penyandang cacat ganda yang tidak mempunyai tangan dan kaki, ada makna kegigihan dan pantang menyerah disana, dan penggemar festival dan ikut berpartisipasi didalamnya menandakan bahwa orang tersebut ceria dan menerima diri apa adanya, dan seterusnya yang akan di bahas secara mendalam pada BAB III dalam sripsi ini nantinya.

1.5.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam menyusun rencana penelitian. Tujuan yang jelas akan memudahkan peneliti atau pembaca untuk meneliti masalah, sehinggga dapat tercapai sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis. Adapun tujuan penulisan skripsi ini sesuai dengan masalah di atas adalah sebagai berikut: Untuk memahami dan mendeskripsikan nilai-nilai didaktis yang di ungkapkan oleh Hirotada Ototake melalui tokoh-tokoh cerita di dalam novel No One’s Perfect.

2. Manfaat penelitian

Hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk:

1. menambah informasi dan pengetahuan bagi penulis dan pembaca tentang analisis didaktis dalam sebuah karya fiksi.

2. menambah wawasan tentang kebudayaan masyarakat jepang terutama bagi mahasiswa jurusan sastra jepang.


(21)

1.6. Metode penelitian

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2000) yang dimaksud dengan metodologi adalah ilmu tentang metode. Arti metode itu sendiri ( KBBI:2000) adalah cara yang teratur dan ilmiah untuk memperoleh ilmu atau cara mendekati, mengamati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena yang harus menggunakan landasan teori.

Arti kata penelitian dalam KBBI adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan, penyajian data yang dilakukan secara sistematis serta objektif untuk memecahkan suatu persoalan.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu metode dengan mendeskripsikan semua data yang terdapat di dalam novel No One’s Perfect karya Hirotada Ototake. Menurut Sukmadinata ( 2006:72) Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan yang lainnya. Dengan cara ini maka penulis dapat mengumpulkan, memahami, dan memilih teks yang terdapat di dalam novel No One’s Perfect, sehingga dapat diketahui nilai-nilai didaktisnya yang dianalisa menggunakan pendekatan pragmatik dan semiotik.

Selain itu, dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode pendukung yakni studi kepustakaan ( Library Research). Studi kepustakaan meruapakan suatu aktivitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang bertujuan untuk menunjukkan jalan memecahkan masalah penelitian.

Beberapa aspek penting yang perlu dicari dan digali dalam studi kepustakaan yang selaras dengan kegiatan penelitian antara lain : masalah yang ada, teori-teori, konsep-konsep dan


(22)

penarikan kesimpulan serta saran ( Nasution, 2001: 14 ). Dengan kata lain, studi kepustakaan adalah pengumpulan data dengan membaca buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan tema penulisan ini. Data yang diperoleh dari referensi tersebut kemudian dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan dan saran.


(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NILAI DIDAKTIS DIDALAM NOVEL

2.1. Didaktis Secara Umum

Kata didaktis berasal dari bahsa Yunani yakni “didaktie” yang asal katanya adalah “didaskein” artiya mengajar. Didaktie dalam bahasa latinnya disebut didaktik atau didaktis, Djaka (Yusmalina,1997:26)

Semi (1990:71) berpendapat bahwa didaktis adalah pendidikan dengan pengajaran yang dapat mengantarkan pembaca kepada sesuatu arah tertentu. Temyang, dkk ( Yusmalina,1997:26) menyatakan bahwa pengertian didaktis adalah ilmu mengajar yang menunjukkan kepada kita bagaimana kita harus mengajar anak, lebih mudah dikatakan didaktis menetapkan cara mengajar.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa didaktis adalah ilmu yang mempelajari tentang nilai-nilai pengajaran dan gagasan-gagasan pengajaran yang disampaikan melalui pendidikan. Pada dasarnya pendidikan adalah laksana eksperimen yang tidak pernah selesai sampai kapanpun, sepanjang ada kehidupan manusia di dunia ini. Dikatakan demikian karena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan dan peradaban manusia yang terus berkembang. Hal ini sejalan dengan pembawaan manusia yang memiliki potensi kreatif dan inovatif dalam segala bidang kehidupannya ( Hasbullah, 2005:10).


(24)

Meskipun barangkali diantara kita mengetahui tentang apa itu pendidikan, tetapi ketika pendidikan tersebut dalam satu batasan tertentu, maka terdapatlah bermacam-macam pengertian yang diberikan.

Tentang pengertian pendidikan ini dijelaskan oleh ( Kartono, 1997:10) bahwa :

“ pendidikan merupakan proses mempengaruhi dan proses membentuk yang diorganisasi, direncanakan, diawasi, dinilai dan dikembangkan secara terus-menerus. Karena itu pedagogi ( lebih baik disebut andragogi= pendidikan/ilmu mendidik manusia: andros=manusia, ago=menuntun, membimbing) ialah ilmu membentuk manusia, agar dia bisa mandiri, dan selalu bertanggung jawab secara susila sepanjang hidupnya.”

Dari pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai didalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogi berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa, dalam arti dewasa ini disini dimaksudkan adalah dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri secara biologis, psikologis, paedagogis, dan sosiologis. Selanjutnya diartikan sebagai uasaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.

Kohstamm dan Gunning ( Kartono, 1997: 11) menyatakan bahwa : pendidikan adalah pembentukan hati nurani dan proses pembentukan diri dan penentuan diri secara etis, sesuai dengan suara hati nurani. Pengertian pendidikan menurut KBBI ( 2000: 263) :

”Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseornag atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.”


(25)

Tentang pengertian pendidikan ini juga dijelaskan pula oleh Syam ( oktober, 1993:65) yang mengemukakan :

a. pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani ( pikir, rasa, cipta, dan budi, nurani) dan jasmani ( panca indra serta ketrampilan-ketrampilan).

b. Pendidikan berarti juga lembaga yang bertanggung jawab menetapkan cita-cita ( tujuan) pendidikan, isi, sistem, dan organisasi pendidikan. Lembaga-lembaga ini meliputi keluarga, sekolah dan masyarakat (negara).

c. Pendidikan merupakan pola hasil atau prestasi yang dicapai oleh perkembangan manusia dan usaha kembaga-lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya. Pendidikan dalam arti ini merupakan tingkat kemajuan masyarakat dan kebudayaan sebagai satu kesatuan. Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah alat atau sarana untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, baik jasmani maupun rohani yang diterima secara formal serta berlangsung seumur hidup. Jadi, pendidikan bukan hanya diperoleh di sekolah saja, tetapi juga dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, sehingga pendidikan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Hal inilah yang dikenal dengan tripusat pendidikan.

Dalam hal ini Hasbullah ( 1996: 38-55) mengatakan bahwa pendidikan erat hubungannya dengan pendidikan dalam keluarga. Pendidikan dalam lingkungan sekolah dan pendidikan dalam lingkungan masyarakat.


(26)

Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Juga dikatakan lingkungan yang utama. Karena sebagian besar dari kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga.

Tugas utama dari keluarga dalam pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian besar diambil dari kedua orangtuanya dari anggota keluarga yang lain.

Dengan demikian terlihat betapa besar tanggung jawab orangtua terhadap anak. Bagi seorang anak, keluarga merupakan persekutuan hidup pada lingkungan keluarga tempat dimana ia menjadi diri pribadi atau diri sendiri. Keluarga juga merupakan wadah bagi anak dalam konteks proses belajarnya untuk mengembangkan dan membentuk diri dalam fungsi sosialnya. Disamping itu keluarga merupakan tempat belajar bagi anak dalam segala sikap untuk berbakti kepada tuhan sebagai perwujudan nilai hidup yang tertinggi.

Dengan demikian jelaslah bahwa orang pertama dan utama bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dan pendidikan anak adalah orangtua.

2. pendidikan dalam lingkungan sekolah

Pada dasarnya pendidikan di sekolah merupakan bagian dari pendidikan dalam keluarga, yang sekaligus juga lanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Disamping itu, kehidupan di sekolah adalah jembatan bagi anak yang menghubungkan kehidupan dalam keluarga dengan kehidupan dalam masyarakat.


(27)

Yang dimaksud dengan pendidikan sekolah disini adalah pendidikan yang diperoleh seseorang disekolah secara teratur, sistematis, bertingkat, dan dengan mengikuti syarat-syarat yang jelas dan ketat ( mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi).

Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah yang lahir dan berkembang secara efektif dan efisien untuk masyarakat, merupakan perangkat yang berkewajiban memberikan pelayanan kapada masyarakat dalam mendidik warga negara. Sekolah dikelola secara formal, hierarkis dan kronologis yang berhaluan pada falsafah dan tujuan pendidikan nasional.

3. pendidikan dalam lingkungan masyarakat

Masyarakat diartikan sebagai kumpulan orang yang menempati suatu daerah, diikat oleh pengalamn-pengalaman yang sama, memiliki sejumlah persesuaian dan sadar akan kesatuannya, serta dapat bertindak bersama untuk mencukupi krisis khidupannya.

masyarakat juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk tata kehidupan sosial dengan tata nilai dan tata budaya sendiri. Dalam arti ini masyarakat adalah wadah dan wahana pendidikan dan kehidupan manusia yang majemuk ( plural : suku, agama, kegiatan kerja, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebaginya). Manusia berada dalam multikompleks antarhubungan dan antaraksi di dalam masyarakat.

Dalam konteks pendidikan, masyarakat merupakan lingkungan ketiga setelah keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada diluar dari pendidikan sekolah. Dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan tersebut tampaknya lebih luas.


(28)

Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banya sekali, ini meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengertian-pengertian ( pengertahuan), sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan. 2.2. Nilai-nilai Didaktis yang terdapat di dalam Karya Sastra

Semi (1990:71) berpendapat bahwa didaktis adalah pendidikan dengan pengajaran yang dapat mengantarkan pembaca kepada sesuatu arah tertentu. Temyang, dkk ( Yusmalina,1997:26) menyatakan bahwa pengertian didaktis adalah ilmu mengajar yang menunjukkan kepada kita bagaimana kita harus mengajar anak, lebih mudah dikatakan didaktis menetapkan cara mengajar.

Semi juga mengungkapkan bahwa dalam suatu karya sastra yang bermutu biasanya memiliki nilai-nilai didaktis antara lain :

2.2.1. Nilai Religius

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2000) religi adalah kepercayaan kepada Tuhan akan adanya kekuatan di atas manusia. Sedangkan religius bersifat keagamaan yang bersangkutpaut dengan religi. Religi diartikan lebih luas dari agama, kata religi menurut asal kata berarti ikatan atau pengikatan diri ( Atmnosuwito, 1989:123) religius sastra adalah seperangkat dimensi yang muncul dari sikap ide dan pandangan hidup penulis sastra dan akhirnya terefleksi dalam karyanya. Agama menurut sastra religius bukan kekuasaan melainkan pendemokrasian ( Atmosuwito, 1989: 126).

Pada awalnya semua sastra adalah religi, istilah religi membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan bahkan dapat melebur dalam


(29)

satu kesatuan, namun sebenarnya keduanya mengarah pada makna yang berbeda. Dengan demikian religius bersifat lebih luas dari agama yang tampak formal dan resmi.

Menurut Moendjanto ( dalam Ratnawati, 2000:2), religius merupakan sesuatu yang 1) melintasi agama, 2) melintasi rasionalita, 3) menciptakan keterbukaan antar manusia, 4) tidak identik dengan sifat pasifisme. Manguwijaya ( dalam Ratnawati 2000:2) mengungkapkan :

”Religius pada dasarnya adalah bersifat mengatasi atau lebih dalam daripada agama yang tampak formal dan resmi karena ia tidak bekerja dalam pengertian (otak), tetapi dalam pengamalan dan penghayatan dan konseptualitas, sehingga religius tidak langsung berhubungan dengan ketaatan yang ritual yang hanya sebagai huruf, tetapi dengan lebih mendasar dalam diri manusia yaitu roh.”

Religius dimaksudkan sebagai pembuka jalan agar kehidupan orang yang beragama semakin intens ( Moeljanto dan Sunardi, 1990:208) menyatakan bahwa semakin orang religius, hidup orang itu akan semakin nyata atau merasa semakin ada dengan hidupnya sendiri. Bagi orang beragama, intensitas itu tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri terus menerus terhadap pusat kehidupan.

Religius sastra adalah seperangkat dimensi yang muncul dari sikap ide dan pandangan hidup penulis sastra dan akhirnya terefleksi dalam karyanya. Karya sastra merupakan wujud representasi dunia dalam bentuk lambang ( kebahasaan). Oleh karena itu, karya sastra merupakan salah satu media yang dapat menjadi satu pengalaman estetik yang mengantarkan seseorang untuk mencapai religius. Salah satu cara yang dapat dilakukan manusia untuk meraih pengalaman estetik dan itu pula yang mengarahkan atau membangkitkan religius.

Berdasarkan gambaran tentang pendekatan religiusitas sastra di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa religius itu bukan karena ketaatan seseorang tapi bagaimana seseorang itu menjaga kualitas ketaatan seseorang dilihat dari dimensi yang paling dalam dan personal yang


(30)

sering kali berada diluar kategori ajaran agama, pendekatan ini menitikberatkan misi sastra sebagai alat perjuangan meningkatkan mutu kehidupan untuk manusia dan meningkatkan budi pekerti anggota masyarakat.

2.2.2. Nilai Moral

Moralitas adalah kekuatan dalam diri manusia yang dengan ini peneliti berkata bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk, moralitas mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuataan manusia, wejangan-wejangan, khotbah, patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan baik lisan maupun tertulis bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik ( frans magnes Suseno). Pendapat diatas menunjukkan bahwa moral merupakan semua yang berhubungan dengan adat kebiasaan manusia yang dikatakan baik jika sesuai dengan adat kebiasaan adat budi pekertinya, jadi moralitas mencakup baik buruknya perbuatan seseorang.

Moral menurut Poejawijayatna (1086 :16) adalah ajaran yang berkaitan dengan kelakuan, yang hendaknya merupakan pencerminan akhlak dan budi pekerti. Secara keseluruhan ajaran moral merupakan kaidah dan pengertian yang menentukan hal-hal yang dianggap baik dan buruk. Pertimbangan baik atau buruknya suatu hal akan menghasilkan moral, moral itu suatu yang benar-benar ada dan manusia tidak dapat memungkirinya. adanya keyakinan tentang moral dan kebenarannya dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Manusia yang melakukan kebenaran akan menjadi manusia yang baik tetapi sebaliknya jika melakukan sesuatu yang salah menjadi manusia yang jahat.


(31)

Teori yang mengatakan bahwa semua moralitas itu ditentukan oleh konvensi, bahwa seluruh bentuk moralitas itu adalah resultan dari kehendak seseorang yang semau-maunya memerintahkan atau melarang perbuatan tertentu tanpa mendasarkan atas sesuatu yang instrinsik dalam perbuatan manusia sendiri atau pada hakikat menusia dikenal sebagai aliran-aliran positivisme moral. Disebut begitu karena aliran tersebut, semua moralitas bertumpu positif sebagai lawan hukum kodrat ( poespoprodjo, 1988:103).

2.2.3. Nilai Budaya

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia, ( wikipedia.com).

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan


(32)

serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan adalah : 1. sistem kepercayaan

2. Peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi) 3. sistem mata pencaharian


(33)

5. bahasa 6. kesenian

Keseluruhan aspek budaya itu saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam kehidupan.

2.2.4. Nilai Estetik

Istilah estetika pertama kali dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan. ( Encarta Encyclopedia 2001,1999) menggunakan istilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan indrawi. sedangkan menurut The Liang Gie dalam bukunya ”garis besar estetika”, menurut asal katanya, dalam bahasa Inggris keindahan itu diterjemahkan dengan kata ”beautiful” dalam bahasa Perancis ”beau”, sedangkan Italia dan Spanyol ”bello” berasal dari bahasa latin ”bellum”. Akar katanya adalah ”bonum” yang berarti kebaikan, kemudian mempunyai bentuk pengecilan menjadi ”bonellum” dan terakhir diperpendek sehingga ditulis ”bellum”. Dalam bidang filsafat istilah nilai estetik sering kali dipakai sebagi suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Dalam dictionary of sociology and related sciences diberikan perumusan tentang value yang lebih terinci lagi sebagai berikut:

”the believed capacity of any object to satisfy a human desire. The quality of any object which sauces it to be on interest an individual or a group (kemampuan yang dipercaya ada pada sesuatu benda untuk memuaskan suatu keinginan manusia. Sifat dari sesuatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau suatu golongan) ‘


(34)

Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul pada abad ke 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus dibedakan dengan pengertian estetik. Jika sebuah bentuk mencapai nilai yang betul maka bentuk tersebut dapat dinilai estetis. Sedangkan pada bentuk yang melebihi nilai betul, hingga mencapai nilai baik penuh arti, maka bentuk tersebut dinilai dengan indah. Dari penilaian tersebut maka sesuatu yang bernilai estetis belum tentu indah dalam arti sesungguhnya. Sedangkan sesuatu yang indah pasti estetis. Banyak pemikir seni yang berpendapat bahwa keindahan berhubungan dengan rasa yang menyenangkan seperti Clive Bell, George Santayana, dan R.G Collingwood (soetrisno 1993) terdapat beberapa pendapat mengenai estetika sendiri, salah satu defenisi yang cukup lengkap diberikan oleh Hospers :

"aesthetics is the branch of philosophy that is concerned with the analysis of concepts and the solutions of problems that arise when one contemplates aesthetic objects. Aesthetic objects, in turn, comprise all the objects of aesthetic experience; thus, it is only after aesthetic experience has been sufficiently characterized that one is able to delimit the class of aesthetic objects"( Sutrisno,1993. Hal 16)

Jika mengacu pada pendapat Hospers, maka diperlukan satu sikap khusus bagi seseorang agar dapat mencari pengalaman estetik, termasuk pengamatan objek estetik ataupun penciptaan objek estetik itu sendiri. Dalam kajian filsafat, pemahaman mengenai estetika dapat dibagi menjadi dua pendekatan yaitu, 1. Langsung meneliti keindahan itu dalam obyek-obyek atau benda-benda atau alam indah serta karya Seni. 2. Menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami oleh pengamat ( pengalaman keindahan yang dialami seseorang). ( Sutrisno, hal 81) Salah satu pernyataan mengenai estetika dirumuskan oleh Clive Bell, “keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya Seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan". Pada jaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolak


(35)

ukur lain seperti fungsi, efisiensi, yang memberi kepuasan, berharga untuk dirinya sendiri, pada cirinya sendiri, dan pada tahap kesadaran tertentu.

Estetika di Jepang berhubungan dengan aliran Zen dari Buddhisme yang masuk ke Jepang pada akhir abad ke-11, dan terjadi perubahaan- perubahan sesuai dengan kepribadian masyarakat setempat. Zennisme yang lebih cocok dengan kepribadian rakyat Jepang membangkitkan kecenderungan masyarakat kembali keagama aslinya, yakni Shinto. Pada tahun 1868 Shinto dijadikan Agama resmi Jepang. Tanpa meninggalkan buddhisme sama sekali, kebudayaan Jepang menjadi perkawinaan antara Agama Budha dan Shinto, disebut ”Ryobo-Shinto” yang mengandung pengaruh besar dari aliran Zen.Berdasarkan sintese ini berkembanglah estetik Jepang yang sampai masa industrialisasi moderen masih sangat

menonjolkan ciri- ciri khas sebagai berikut:

1. kesedarhanaan (pengaruh Budha). Perwujudan agar sepolos mungkin. Tidak banyak perhiasan. Kepribadian Jepang sangat mencari kesungguhan dan kebenaran dengan kehidupan dalam kesedarhanaan.

2.untuk dapat mempertahankan kesederhanaan ini manusia harus disiplin keras pada dirinya sendiri (pengaruh Shinto). Disiplin sangat menonjol daslam kehidupanya sehari-hari, menyerap dalam perwujudan kesenian, hingga merupakan unsur estetik yang khas Jepang. Disiplin dalam goresan, disipli dalam kesederhanaan. (bandingkan Pelikis Lempad di Bali). 3. Logika.Semua perwujudan seni harus memenuhi syarat penggunaan yang praktis. Sebagai akibat insur logika ini, Jepang menjadi unggul dalam _”idustrialdesign” modern dalam masa kini. Mereka berhasil mewujudkan seni juga dalam bentuk- bentuk mesin, mobil,kereta api,pesawat terbang, alat


(36)

tumbuh satu unsur estetika lagi, yakni ”compactness”, unsur”penghematan ruang”. Keterbatasan ruang dalam kehidupan hari- hari memaksa meraka menggunakan sedikit mungkin ruang. Kebiasan ini menjadi unsur kebudayaan tersendiri yang meresap dalam konsep Estetika mereka.(Tulisan Dalam JAPAN STYLE, Mitsuni Yoshida: ” Japanese Aesthetic Ideals” 1980) . 2.2.5. Nilai Motivasi

Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan.

Dalam hubungan antara motivasi dan intensitas, intensitas terkait dengan dengan seberapa giat seseorang berusaha, tetapi intensitas tinggi tidak menghasilkan prestasi kerja yang memuaskan kecuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi Sebaliknya elemen yang terakhir, ketekunan, merupakan ukuran mengenai berapa lama seseorang dapat mempertahankan usahanya.

Tahun 1950 an merupakan periode perkembangan konsep-konsep motivasi. Teori-teori yang berkembang pada masa ini adalah hierarki teori kebutuhan, teori X dan Y, dan teori dua faktor. Teori-teori kuno dikenal karena merupakan dasar berkembangnya teori yang ada hingga saat ini yang digunakan oleh manajer pelaksana di organisasi-organisasi di dunia dalam menjelaskan motivasi karyawan.

Teori motivasi yang paling terkenal adalah hierarki teori kebutuhan milik Abraham maslow. Ia membuat hipotesis bahwa dalam setiap diri manusia terdapat hierarki dari lima kebutuhan, yaitu fisiologis (rasa lapar, haus, seksual, dan kebutuhan fisik lainnya), rasa aman


(37)

(rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan emosionall), sosial (rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan), penghargaan (faktor penghargaan internal dan eksternal), dan aktualisasi diri (pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri).

Maslow memisahkan lima kebutuhan ke dalam urutan-urutan. Kebutuhan fisiologis dan rasa aman dideskripsikan sebagai kebutuhan tingkat bawah sedangkan kebutuhan social, penghargaan, dan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tingkat atas. [Perbedaan antara kedua tingkat tersebut adalah dasar pemikiran bahwa kebutuhan tingkat atas dipenuhi secara internal sementara kebutuhan tingkat rendah secara dominan dipenuhi secara eksternal.

Area motivasi manusia

Empat area utama motivasi manusia adalah makanan, cinta, seks, dan pencapaian. Tujuan-tujuan yang mendasari motivasi ditentukan sendiri oleh individu yang melakukannya, individu dianggap tergerak untuk mencapai tujuan karena motivasi intrinsik (keinginan beraktivitas atau meraih pencapaian tertentu semata-mata demi kesenangan atau kepuasan dari melakukan aktivitas tersebut), atau karena motivasi ekstrinsik, yakni keinginan untuk mengejar suatu tujuan yang diakibatkan oleh imbalan-imbalan eksternal.

2.3. Setting Cerita Novel No One’s Perfect

2.3.1. Latar Tempat

Latar tempat biasanya menjelaskan tentang lokasi kejadian peristiwa yang diceritakan di dalam kraya sastra. Dalam hal ini tempat yang dipergunakan berupa tempat-tempat dengan nama tertentu dan lokasi tertentu.


(38)

Latar tempat yang terdapat dalam cerita no one’s perfect adalah : 1. Rumah Sakit

Hal ini jelas terlihat pada kalimat di halaman 48 paragrap ke 3: ” Di rumah sakit, para perawatlah yang mengerjakan segalanya. Tidak seperti rumah sakit yang lainnya dimana para anggota boleh tinggal dan menjaga pasien yang dirawat. Bahkan ayah dan ibu hanya diizinkan antara jam 15.00 sampai jam19.00.”

2. Taman Kanak-Kanak Seibo

Hal ini jelas terlihat pada kalimat di halaman 5 paragrap ke 1 : “ketika aku berusia 4 tahun aku mulai masuk sekolah di Taman Kanak-kanak Seibo.”

3. Sekolah Dasar Yohga

Hal ini terlihat jelas pada kalimat di halaman 15 paragrap pertama : “ Berkat kebaikan hati kepala sekolah Yohga dan yang lainnya, pintu telah terbuka untukku. Hanya ada satu cara untuk membalas kebaikan mereka dan itu adalah dengan sekolah yang baik.”

4. Kolam Renang

Hal ini terlihat jelas pada kalimat di halaman 69 paragrap ke 3: “ Pada saat itu tinggiku baru sekitar 70 cm, sedangkan dasar kolam mencapai lebih 1 m, jauh melebihi tinggi tubuhku. Artinya aku tidak bisa melakukannya sendirian.”

5. Sekolah Menengah Pertama Yohga

Hal ini terlihat jelas pada kalimat di halaman 84 paragrap pertama : “Masa perpindahan ke sekolah menengah pertama berjalan lancar, ada sesuatu yang meyakinkan ketika akan memasuki sekolah menengah pertama Yohga, sebuah sekolah umum setempat yang siswa-siswanya kebanyakan berasal dari SD Yohga.”


(39)

Hal ini terlihat jelas pada kalimat di halaman 96 paragrap ke 4 : ”pada tanggal 4 Januari, kelima anggota baru organisasi siswa berkumpul bersama. Kami mengunjungi kuil Meiji untuk berdoa bagi kesuksesan kegiatan organisasi di masa yang akan datang.”

7. sekolah Menaengah atas Toyama Metropolitan

Hal ini terlihat jelas pada kalimat: “pada bulan April 1992, aku menjadi murid baru pada sekolah Menenngah Atas Toyama Metropolitan..

8. Univesitas Waseda

Hal ini terlihat jelas pada kalimat di halaman 162 paragrap ke 2 : “Universitas Waseda dikenal memiliki dua atau tiga ribu klub. Klub yang kupilih adalah English Speaking Society ( perkumpulan percakapan dalam bahasa inggris) atau ESS.

2.3.2. Latar Waktu

Menurut Burhan Nurgiyantoro ( 1995:230), latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dapat dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah.

Latar waktu pada cerita ini dimulai pada waktu yang disebutkan secara faktual yaitu pada musim semi pada tanggal 6 April 1976. ini terlihat jelas pada kalimat awal di halaman pertama novel yang berbunyi : “hari itu, tanggal 6 April 1976, sinar matahari menyinari pepohonan cherry yang bunganya sedang mekar-mekarnya”.

Latar waktu pada cerita ini juga terdapat pada musim salju. Hal ini terlihat jelas pada kalimat yang terdapat pada halaman 36 paragrap kedua yang berbunyi: “hujan salju yang


(40)

baru-baru ini turun telah meninggalkan sisa-sisa genangan salju di halaman sekolah sepanjang rute lari.”

Ada juga latar waktu pada musim panas. Hal ini terlihat jelas pada kalimat yang terdapat pada halaman 149, paragrap ketiga: “ liburan musim panas merupakan saat pengambilan keputusan bagi murid-murid sekolah prakuliah..”

Latar waktu pada cerita ini juga terdapat pada musim gugur. Ini terlihat jelas pada kalimat yang terdapat pada halaman 169, paragrap ketiga : “ suatu malam dimusim gugur, aku tidak bisa memejamkan mata. Aku berpikir tentang segala hal. Apa yang akan kulakukan dengan hidup mulai saat ini ?.”

Latar waktu yang menerangkan keadaan hari berupa siang dan malam juga terdapat dalam novel ini, ini terlihat jelas pada halaman 3 paragrap pertama yang berbunyi : “ jika malam tiba, aku tidak bisa tidur dan sering menangis sepanjang malam. Padahal di siang hari akupun tidak tidur. Entah kenapa, aku jarang sekali tidur.”

Latar waktu yang menunjukkan jam juga ada pada cerita ini. Ini terlihat jelas pada halaman 48 paragrap kedua : “ bahkan ayah dan ibu hanya diizinkan antara jam 15.00 sampai jam 19.00.”

Latar waktu yang menerangkan waktu secara faktual dan terperinci dalam bentuk penanggalan juga banyak terdapat pada novel ini. Ini terlihat jelas pada halaman 96 paragrap ke empat yang berbunyi : “pada tanggal 4 Januari, kelima anggota baru Organisasi siswa berkumpul bersama”, Pada halaman 121 paragrap pertama, yang berbunyi : “pada bulan April 1992, aku menjadi murid baru di sekolah Menengah Atas Toyama Metropolitan”, pada halaman 156 paragrap ketiga yang berbunyi: “tanggal 1 Maret. Daftar nama murid yang lulus akan segera dikeluarkan”.


(41)

Itulah latar tempat dan latar waktu yang digunakan dan terdapat di dealam novel No One’s Perfect ini.


(42)

BAB III

ANALISIS NILAI-NILAI DIDAKTIS DI DALAM NOVEL NO ONE’S PERFECT

3.1. Sinopsis Cerita No One’s Perfect

Hari itu tanggal 6 april 1976, sinar matahari lembut menyinari pepohonan cherry yang bunganya sedang mekar-mekarnya. Hari itu tidak akan pernah terulang dalam hidupnya tapi akan terus diperingatinya tiap tahun. Hari itu adalah hari yang paling indah dalam hidupnya sebagai seorang anak. Ya, itu jerit tangis yang pertama bayi laki-laki yang kuat yang lahir dari pasangan yang saling mencintai. Kecuali ada satu hal yang tidak biasa: bayi itu lahir dengan anggota tubuh yang tidak lengkap. Dia terlahir sebagai penyandang Tetra Amelia, yaitu suatu keadaan dimana seseorang dilahirkan tanpa tangan dan kaki. Selama 3 minggu setelah dilahirkan, ibu sang bayi tidak diperkenankan bertemu dengan bayinya oleh pihak Rumah Sakit dan para dokter, hal itu mereka lakukan untuk menjaga kondisi psikologis sang ibu pasca melahirkan. Sampai pada suatu hari, hari pertama dimana bayi itu dipertemukan dengan ibunya untuk yang pertama kali, reaksi yang diperkirakan kebanyakan orang ternyata bertolak belakang, ibu sang bayi tidak teriak histeris melihat bayi yang dilahirkannya, ibu sang bayi malah tersenyum tulus sambil berkata: “anakku kamu sangat tampan”. Semua orang yang menyaksikan merasa sangat terharu.

Bayi itu akhirnya diberi nama Hirotada ( ) oleh ayahnya memilih karakter Hiro ( lautan) untuk memberi arti “sebuah hati sebesar lautan pasifik” dan Tada ( benar) yang berarti “menjaga dunia di jalan yang benar”. Terlebih Tada ( ) tampak mirip dengan karakter negara ( ) yang berkaitan dengan rasa ( ) yang dikelilingi oleh pembatas-pembatas.


(43)

Tetapi dalam karakter Tada salah satu sisinya terbuka, yang berarti seorang raja yang dapat bergerak bebas dan mempunyai banyak ide membangun, dan dibelakang nama ditambah nama Ototake, mengambil nama keluarga. Jadi nama lengkap bayi tersebut adalah Hirotada Ototake.

Kehidupan mereka dimulai disebuah desa yang bernama Kasai di bagian Edogawa yang terletak dipinggir Tokyo. Oto menjalani masa balitanya di daerah tersebut sampai usianya menginjak 4 tahun. Ketika berusia genap 4 tahun, keluarga Oto memutuskan untuk pindah ke Yohga di bagian Setagaya karena orangtua Oto ingin memasukkan Oto ke taman kanak-kanak Seibo. Disinilah memori Oto kecil dimulai.

Pada hari pertama masuk sekolah Ototake selalu menjadi pusat perhatian dan pusat kerumunan anak-anak sekolahnya, mereka akan bertanya “kenapa kamu duduk di kursi ini?, kenapa tanganmu sangat kecil? Kenapa kakimu pendek sekali? Kenapa kamu tidak turun saja dari kursi ini ?, kenapa, kenapa, kenapa ?”, mereka tidak akan berhenti bertanya sebelum Ototake menjelaskan semuanya. Lama kelamaan Ototake bersyukur dan merasa beruntung telah terlahir sebagai orang cacat, karena tanpa tangan dan kaki ditambah selalu duduk di kursi roda, Ototake menjadi anak terpopuler disekolah karena selalu dikelilingi teman-teman. Sedikit demi sedikit sifat keras hati Oto kecil mulai tumbuh, Oto menganggap dirinya superior dan bersikap layaknya seorang raja diatas kursi roda, dengan barisan pengawal setia dibelakang kursi rodanya. Dia sering memerintahkan ini dan itu kepada teman-temannya. Teman yang merasa takut tersisihkan dari kelompok akan menuruti permintaan Oto.

Menamatkan sekolah di TK Seibo, orangtua Oto ingin melanjutkan pendidikan Oto ke SD negeri. Tetapi harapan orangtua Oto ternyata tidak gampang, SD negeri menolak Oto dengan alasan tidak menyediakan fasilitas untuk penyandang cacat. Mereka mulai mencoba dengan sekolah swasta., karena pernah mendengar sekolah swasta memiliki pengertian pada anak yang


(44)

cacat, tetapi semuanya sia-sia. Orangtua Oto bahkan tidak menemukan sekolah yang mengizinkan Oto menjalani tes masuk. Bisa dikatakan pintu sekolah itu dibanting di muka mereka. Tepat ketika orangtua Oto mulai menyerah dan mulai berpikir kalau Oto tidak akan mendapat pendidikan umum, suatu berita datang dan mengubah keadaan pada waktu itu. Sebuah surat pemberitahuan tentang pemeriksaan kesehatan bagi anak usia sekolah. Surat itu berasal dari sebuah SD yang sejak awal sudah dicoret dari daftar yang dibuat orangtua Oto. Tapi sepertinya pihak sekolah tidak tahu keadaan Oto yang sebenarnya. Sesuai dugaan pihak sekolah tidak mengetahui bahwa Oto adalah seorang penyandang cacat berat. Pihak sekolah berusaha menolak dengan berbagai alasan ketika ayah Oto memberi penjelasan. Tapi setelah usaha yang ulet dari orangtua Oto, pihak sekolah mengizinkan tes kesehatan untuk Oto. Tes kesehatan berjalan dengan sukses, saat sesi wawancara pun tiba, yang bertindak sebagai pewawancara pada sesi ini adalah kepala sekolah Yohga sendiri. Pada saat ini Oto bersikap sebaik mungkin dan menjawab pertanyaan kepala sekolah dengan sangat baik, pada hari berikutnya adalah sesi bertemu dengan pihak Dewan Sekolah, pada sesi ini Oto menunjukkan bahwa dia bisa melakukan apa saja yang bisa dilakukan oleh anak yang normal. Seperti menulis, makan dengan sendok dan garpu, menggunting kertas, bahkan berjalan, tentu saja itu semua memerlukan teknik khusus. Semua yang didemonstrasikan Oto itu membuat semua anggota dewan tercengang dan memberi Oto pujian, akhirnya semua perjuangn Oto dan Orangtuanya membuahkan hasil, Oto memperoleh izin untuk bersekolah disitu dengan satu syarat, yaitu ada pengawas pribadi yang mengantar Oto kesekolah, menunggunya selama belajar, lalu menemani sampai pulang kerumah. Syarat itu disetujui orangtua Oto.

Pengalaman hari pertama bersekolah di SD Yohga mirip dengan di TK Seibo , reaksi teman-teman baru ketika melihat Oto juga sama. Merasa aneh, ingin mendekat, sedikit takut, dan


(45)

ingjn mencari tahu penyebabnya. Keadaan ini menjadi perhatian seorang sensei yang bernama sensei Takagi yang mengajar di kelas Oto. Sebagai anak yang “berbeda” Oto banyak mendapat perlakuan yang istimewa dari sensei-sensei lain, tapi tidak dengan sensei Takagi. Oto malah mendapat perlakuan yang terasa memberatkannya seperti tidak boleh seorang anakpun membantu Oto mengambil perlengkapan belajar dari loker, tidak boleh mendorong kursi roda Oto, bahkan di kelas Oto tidak boleh duduk di kursi roda, dia harus berjalan seperti anak lainnya. Tindakan ini mendapat protes keras dari guru-guru lain dan murid. Tapi di balik kekejamannya itu sensei Takagi adalah seorang guru berhati suci yang memiliki tujuan untuk membiasakan Ototake dapat hidup secara normal dan tidak menggantungkan hidupnya pada orang lain. Sensei Takagi ingin Ototake kelak dapat tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan berprestasi.

Ketika SD pelajaran kesenangan Ototake adalah olahraga. Terdengar sangat bertolak belakang dengan keadaan fisiknya. Tapi itulah kenyataannya. Oto berhasil mendaftarkan dirinya di berbagai cabang olahraga sekolah, seperti lari, sepak bola dan renang. Hal tersebut membuat orang-orang disekitar Oto terkejut dan heran, tapi Oto membuktikan bahwa dia bisa melakukan hal tersebut, dengan bimbingan sensei yang selalu mendukungnya. Bahkan berkat ketekunannya berlatih dan kemajuan-kemajuan yang dicapai selama berlatih, Oto berhasil meyakinkan pihak sekolah untuk dapat mengirimnya sebagai wakil untuk ikut pertandingan lari dan renang pada hari olahraga. Oto pun berhasil masuk sebagai peserta dalam pertandingan tersebut melawan anak-anak normal, tapi fisik yang dimiliki Oto belum memungkinkan Oto untuk menang pada lomba tersebut. Tetapi Oto seolah menjadi pemenang sejati pada acara tersebut karena hampir semua penonton khususnya penonton wanita menangis terharu dan menyemangati Oto ketika pertandingan berlangsung. Oto manjadi bintang lapangan pada saat itu.


(46)

Menamatkan pendidikan dasar di SD Yohga, Oto melanjutkan pendidikan menengahnya di SMP Yohga. Kebanyakan anak yang mendaftar di sekolah ini juga berasal dari SD Yohga. Masuk di sekolah ini Oto dan keluarganya tidak mendapatkan penolakan karena pihak sekolah telah mengenal dan mengetahui kemandirian Oto di SD Yohga dulu. Tidak lama setelah masuk ke SMP Yohga Oto mengambil ekstrakurikuler basket. Hal ini menggemparkan ayah dan ibu Oto yang sebenarnya telah terbiasa dengan tingkah laku aneh anaknya. Seperti di SD Yohga dulu Oto sangat tekun dan bersungguh-sungguh ketika latihan, dia berusaha menguasai teknik-teknik basket tentunya dengan cara yang berbeda dengan yang dilakukan oleh orang normal. Berkat kegigihannya ini untuk sekali lagi oleh pihak sekolah Oto diperbolehkan untuk ikut bertanding memperkuat timnya dalam pertandingan basket antar sekolah, dan Oto melakukan tugasnya dengan sangat baik dan akhirnya tim mereka berhasil memenangkan pertandingan tersebut.

Oto adalah seorang penggemar festival dan pecinta pesta. Dia sangat menyenangi festival budaya dan berbagai pesta seperti pesta kebun, pesta ulangtahun, wisata sekolah, pesta kembang api, pesta natal, dan pesta tahun baru. Pada usia SMP ini seperti kebanyakan anak normal lainnya Oto mengalami masa puber, Oto mulai merasakan rasa ketertarikan kepada lawan jenis, pada masa ini Oto ditaksir oleh salah seorang junior melalui sepucuk surat. Momen ini membuat Oto merasa tersanjung, karena ada perempuan yang tertarik dengan seorang laki-laki berpenampilan istimewa seperti Oto.

Pada bulan April 1992, Oto masuk ke SMA Toyama Metropolitan. Di sekolah ini Oto kembali menunjukkan keeksentrikannya dengan masuk ke klub Football, tapi keinginan Oto ini pada awalnya mendapat pandangan sinis dari teman-temannya yang hanya menilai orang dari penampilan fisiknya. Oto tidak perduli dengan itu semua dan berkat keahliannya dalam meyakinkan orang-orang disekitarnya, Oto akhirnya diterima dalam tim Football sekolahnya. Di


(47)

masa SMA ini Oto juga menunjukkan bakatnya yang lain, yaitu dalam bidang seni, Oto tergabung dalam tim pembuat film yang akan dipertunjukkan dalam festival budaya Toyama. Oto bertindak sebagai asisten sutradara, dan film itu mendapat pujian yang sangat baik dari para pangamat film dan penonton.

Menamatkan pendidikan di SMA dengan nilai yang tidak terlalu baik Oto memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah, Oto mulai masuk sekolah prakuliah. Oto mencoba untuk mendaftar di bebagai sekolah prakuliah yang etrdapat di kotanya, yaitu kota Takadanobaba, tetapi tak satupun sekolah prakuliah itu bersedia menerima Oto dengan alasan mereka tak memiliki fasilitas untuk penyandang cacat seperti Oto, dan mereka tidak mau menerima resiko bila terjadi sesuatu pada Oto bila mereka menerima Oto di sekolah mereka. Akhirnya Oto mandapatkan sekolah prakuliah yang mau menerimanya, yaitu sekolah prakuliah di daerah Okubo, yang bisa dicapai dengan menggunakan Sinkansen. Seperti biasa Oto memiliki banyak teman, dan mulai belajar dengan sungguh-sungguh, sampai pada akhirnya ujian masuk perguruan tinggi pun tiba. Oto mengerjakan ujian tersebut dengan penuh konsentrasi, hingga saat pengumuman hasil ujian pun tiba. Oto diterima masuk perguruan tinggi Waseda pada 5 Jurusan yang dia pilih. Itu berarti Oto berhasil masuk ke dalam semua jurusan yang dia pilih. oto akhirnya datang sebagai mahasiswa baru di bagian ilmu Politik, fakultas Ilmu politik dan Ekonomi, universitas Waseda pada tahun 1996.

Pada masa kuliah ini Oto mulai memikirkan masa depannya, suatu malam di musim gugur Oto memikirkan cita-cita apa yang sebenarnya ingin ia capai, apa yang ingin dia lakukan agar berguna bagi orang lain dan bisa membahagiakan orang-orang disekitarnya, dan berkembang menjadi apa hal yang paling penting dalam dirinya?. Pada awalnya Oto berpikir bahwa uang dan prestise adalah prioritas utama untuk mencapai keinginannya, oto teringat akan


(48)

cita-citanya semasa SMP dan SMA yaitu menjadi pengacara, karena Oto memang memiliki keahlian yang luar biasa dalam mengolah kata dan dalam hal mempengaruhi orang-orang disekitarnya. Tetapi tujuan utama Oto tentu saja uang dan prestise. Karena dia berpikir seorang pengacara selalu berpenampilan serius dan memiliki pendapatan yang tinggi. Tapi seiring berjalannya waktu Oto kembali memikirkan arah hidup dan apa yang dicarinya dalam hidup ini. Akhirnya Oto sadar bahwa uang dan prestise bukanlah segala-segalanya. Ada hal yang lebih penting yaitu membuat diri sendiri memiliki arti penting dalam kehidupan orang lain. Membuat diri menjadi berharga bagi orang lain, membuat sesuatu untuk orang banyak, untuk masyarakat, hidup dalam lingkungan yang saling mengasihi, mengerti dan dimengerti oleh sebanyak mungkin orang.

Karena pikiran yang serius untuk mendedikasikan hidupnya untuk berbagi dengan sesama ini, pada masa kuliah Oto memlilih untuk tidak tergabung dalam satupun klub olahraga. Oto memilih klub-klub yang lebih serius seperti ESS (english Speaking Society). Pada waktu mengikuti klub ini Oto berhasil memenangkan berbagai lomba pidato berbahasa Inggris. Selesai dari ESS, Oto masuk ke AIESEC ( asosiasi internasioanal bagi pelajar dalam bidang ekonomi dan manajemen bisnis).

Pada permulaan tahun 1997, pemerintah Waseda mengadakan sebuah festival Ecosummer yang berlangsung selama 2 tahap di universitas Waseda. Tahap pertama adalah kampanye daur ulang sampah yang berakhir dengan sukses, tahap kedua adalah “ kampanye komunitas masyarakat hidup di Waseda”, disinilah Oto terlibat aktif, kampanye ini memiliki 6 tujuan yaitu : daur ulang sampah, bebas rintangan, persiapan gempa bumi, informasi, pendidikan masyarakat, dan usaha setempat. Oto didapuk sebagai ketua dalam kampanye bebas rintangan yang bertujuan untuk menghilangkan semua rintangan yang ada di jalan lingkungan kampus bagi


(49)

para penyandang cacat. Oto sangat antusias mengkoordinir kegiatan ini karena menganggap ini adalah sebuah kesempatan langka bagi seorang mahasiswa penyandang cacat berkursi roda untuk menyampaikan aspirasi pada pimpinan kampus. Oto mengerjakan proposal itu dengan baik dan membacakan proposal itu dengan penekanan emosional yang baik pula di depan Rektor Universitas Waseda. Acara tersebut diliput oleh sebuah stasiun TV nasional dan semenjak itu Oto sering diundang sebagai pembicara dalam topik “ memperjuangkan hak-hak kaum penyandang cacat” di berbagai acara Talkshow di berbagai saluran TV, Oto juga sering diundang sebagai pembicara di berbagai sekolah dari sekolah dasar hingga menengah atas.

Pada tahun yang sama di bulan Februari Oto mengadakan perjalanan liburan bersama teman-temannya semasa sekolah prakuliah ke Amerika Serikat. Kota yang pertama kali dikunjungi adalah San fransisco, kemudian mereka ke kota Barkeley, sebuah tempat yang terkenal di dunia sebagai tempat bagi para pemakai kursi roda terbesar di Amerika. Di tempat ini Oto dapat berekspresi sebebas mungkin, karena di negara liberal yang poly-etnis ini para penyandang cacat tidak dipandang sbagai “makhluk berbeda” , para penyandang cacat dipandang sebagai bagian dari keanekaragaman dan tidak menjadi pusat perhatian sebagaimana yang Oto rasakan kalau berada dikerumunan orang di kota-kota Jepang.

Kota selanjutnya adalah las Vegas, kota yang terkenal dengan kota judi di USA ini, Oto berkunjung kesebuah kasino dan mencoba-coba permainan judi disana., lalu berkeliling mengunjungi tempat-tempat wisata di Las Vegas, seperti : taman nasional Bryce canon dan Lake Powell. Kota terakhir yang dikunjungi Oto selanjutnya adalah Los Angeles, dikota ini Oto mengunjungi Hollywood, deretan rumah mewah Beverly Hills, dan pantai indah Santa Monica dan mengunjungi rumah produksi film Universal Studio.


(50)

Ketika kembali ke Jepang, orangtua oto sangat terharu atas kemandirian Oto. Karena dengan kondisi fisik seperti itu, Oto memiliki keberanian dan kemauan yang sangat kuat untuk berusaha melakukan segala sesuatunya sendiri tanpa merepotkan orang-orang disekitarnya, bahkan dia dapat melakukan liburan keluar negeri dengan kursi roda tanpa bantuan orangtuanya. Oto memuji dan sangat berterimakasih kepada teman-temannya yang mau membawa Oto berlibur bersama mereka. Walaupun mereka tahu bahwa perjalanan liburan mereka akan berjalan sedikit merepotkan karena membawa Oto yang memiliki keterbatasan fisik.

3.2. Analisis Nilai Didaktis di dalam Novel No One’s Perfect

Sebagaimana yang telah penulis jabarkan pada bab-bab sebelumnya tentang pengertian didaktis dan juga hal-hal yang meliputi nilai-nilai didaktis yaitu nilai religius, nilai moral, nilai sosial dan budaya, nilai estetik, dan nilai motivasi. Maka untuk selanjutnya penulis akan jelaskan satu persatu nilai-nilai didaktis yang terdapat dalam cerita No One’s Perfect.

Dari cerita No One’s Perfect, banyak hal yang akan disampaikan oleh penulis mengenai didaktis. Hal itu akan tampak pada analisis-analisis yang penulis lihat dari cerita ini. Secara khusus penulis melihat beberapa nilai didaktis di Jepang yang terdapat dalam cerita ini.

1. Cuplikan Cerita No One’s Perfect ( 2007, 96 )

“Pada tanggal 4 januari, kelima anggota baru Organisasi Siswa berkumpul bersama. Kami mengunjungi kuil Meiji bagi kesuksesan kegiatan Organisasi di masa mendatang. Seseorang menganjurkan agar kami datang di hari pertama di awal tahun. Tapi, karena aku menggunakan kursi roda, anggota lainnya memilih sampai kerumunan orang–orang yang


(51)

berkumpul pada 3 hari pertama permulaan bulan Januari telah berkurang. Kami adalah satu tim.

Di kuil Meiji aku berdoa: “ semoga aku bisa bisa bekerja untuk menciptakan festival yang meriah bersama dengan kelompok yang menyenangkan ini.”

Mengenai menjalankan keyakinan. Orang Jepang memiliki cara yang berbeda dalam memandang sebuah agama. Dalam kehidupannya orang Jepang menjalankan ritual-ritual beberapa agama sekaligus. Sebagian besar menjalankan ritual-ritual shinto, kristen dan budha. Ketika lahir biasanya orang Jepang akan memakai ajaran Shinto, ketika menikah mereka

Analisis

Dari cuplikan diatas terlihat makna indeksikal dari nilai didaktis berupa nilai religius. Itu terlihat jelas pada kalimat kedua yang berbunyi : “Kami mengunjungi kuil Meiji bagi kesuksesan kegiatan Organisasi di masa mendatang”. Dari pernyataan diatas terlihat jelas bahwa Ototake dan teman-temannya merupakan sosok yang taat menganut kepercayaannya, walaupun Ototake seorang penyandang cacat, Oto rela menunggu hari yang pas agar bisa berdoa di kuil Meiji demi kelancaran rencananya. Dari cuplikan di atas tersirat makna bahwa Oto sangat percaya bahwa segala usaha yang dilakukan tidak akan membuahkan hasil yang baik jika Sang Maha Pencipta tidak mengizinkan. Ada suatu usaha yang perlu dilakukan untuk meminta kepada Sang Maha Pencipta untuk mengabulkan permintaan, usaha itu disebut dengan Do’a. Dari cuplikan diatas terlihat bahwa Oto mempercayai adanya kekuatan Maha dahsyat yang mengatur seluruh alam dan isinya, kekuatan itu pula yang bisa membuat sesuatu terjadi atau tidak terjadi, kekuatan itu adalah kekuatan sang maha Pencipta. Ada semacam nilai kepasrahan yang didasarkan pada rasa keyakinan di dalam diri Oto untuk menyerahkan apapun hasil usahanya pada Sang Pencipta.


(52)

kebanyakan memilih menikah di gereja dengan pemberkatan dan pernikahan secara Kristen, sedangkan ketika meninggal orang Jepang akan memilih cara Budha dengan cara mengkremasi mayat. Orang Jepang tidak memandang agama sebagai satu kesatuan yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Oleh karena itu mereka tidak hanya menjalankan satu ajaran agam, tetapi menjalankan beberapa ajaran agama yang berbeda sekaligus.

2. Cuplikan Cerita No One’s Perfect ( 2007, 27 )

“apa aku menderita selama jam istirahat ? sama sekali tidak. Sama seperti anak-anak yang lainnya, istirahat adalah saat yang paling kutunggu-tunggu. Pasti muncul pertanyaan apa yang ditunggu-tunggu oleh anak seperti aku ? permainan macam apa yang aku mainkan ? pada kenyataannya aku memainkan jenis permainan baseball, bola kaki dan lain-lain. Mana mungkin aku bisa bermain baseball dan bola kaki ? tentu saja aku tidak dapat melakukan gerakan yang serupa dengan anak-anak yang lain. Tapi itu bukan alasan untuk tidak ikut bermain. ”

Dari kalimat diatas terlihat makna indeksikal berupa nilai moral berupa percaya diri. Hal itu terlihat jelas dalam kalimat : ”pada kenyataannya aku memainkan jenis permainan baseball, bola kaki dan lain-lain”. Dalam kalimat tersebut sangat terlihat bahwa Oto memiliki rasa percaya diri yang sangat kuat sehingga Oto merasa dapat melakukan apa saja dengan keterbatasan fisik yang dia punya. Pada kenyataannya banyak sekali penyandang cacat yang merasa tidak memeliki kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan menggunakan cacat yang mereka sandang sebagai alasan. Tetapi itu bukan alasan bagi Oto, sejak kecil Oto bahkan tidak merasa bahwa dia adalah


(53)

seorang penyandang cacat. Oto bahkan tidak menemukan makna kata cacat dalam dirinya, karena Oto merasa dia adalah manusia normal yang tidak kekurangan seseuatu apapun dari anak lainnya, dan Oto dapat melakakukan apapun yang bisa dilakukan oleh anak normal, Bahkan berolahraga seperti bermain baseball dan bola kaki. Baseball dan bola kaki merupakan olahraga yang memerlukan kekuatan dan kelincahan kaki dalam bermain, hal itu merupakan hal yang bisa dilatih bagi anak yang normal. Tapi bagaimana dengan Oto, Oto bahkan tidak memiliki kaki. ”kaki” Oto hanya berupa gumpalan daging dibawah pinggang yang bentuknya bulat menyerupai kentang. Tapi itu tidak menjadi masalah sedikitpun bagi Oto, karena sejak awal Oto memang tidak pernah mendoktrin dirinya sebagai ornag cacat. Dia menganggap dirinya sama seperti anak lainnya, hanya dia memiliki tampilan fisik yang berbeda. Oto melakukan semua yang ingin dia lakukan dengan caranya sendiri, dengan teknik-teknik khusus yang dia latih sendiri. Seperti bermain bola kaki, Oto mengejar bola dengan cara menyeret bokongnya dan menunggu umpan dari pemain lainnya. Sedangkan dalam permainan basketball, Oto terus berlatih men-dribble bola dengan serendah mungkin agar lawannya kesulitan untuk merebut bola. Oto tidak dapat melempar bola tinggi-tinggi ke arah keranjang, tetapi dapat membawa bola cukup jauh. Begitulah cara Oto bermain dengan memanfaatkan ”tangan” nya yang juga berupa sebuah bongkahan daging yang hanya sebesar kentang berukuran sedang.

Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri, alias “sakti”. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa –


(54)

karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri.

Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri bukanlah diperoleh secara instant, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini, dalam kehidupan bersama orangtua. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, namun faktor pola asuh dan interaksi di usia dini, merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri. Sikap orangtua, akan diterima oleh anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. orangtua yang menunjukkan kasih, perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang serta kelekatan emosional yang tulus dengan anak, akan membangkitkan rasa percara diri pada anak tersebut. Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata orangtuanya. Dan, meskipun ia melakukan kesalahan, dari sikap orangtua anak melihat bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Anak dicintai dan dihargai bukan tergantung pada prestasi atau perbuatan baiknya, namun karena eksisitensinya. Di kemudian hari anak tersebut akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri – seperti orangtuanya meletakkan harapan realistik terhadap dirinya. Hal tersebut juga sesuai dengan karakter orangtua Ototake yang membesarkan Ototake dengan harapan realistik, membesarkan Oto untuk menjadi anak yang kuat, dan tidak lari dari masalah, dengan tidak menggunakan kekurangan fisik sebagai alasan.

3. Cuplikan Cerita No One’s Perfect ( 2007, 97 )

”kami juga melakukan kegiatan untuk berbuat baik, sebelumnya hal itu tidak pernah kami sadari, dengan mencoba mendaur ulang kaleng-kaleng yang dibuang sembarangan di


(1)

dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri beraneka ragam seusai dengan tujuan penyelenggaraan matsuri. Matsuri yang mempunyai tujuan dan maksud yang sama dapat mempunyai makna ritual yang berbeda tergantung pada daerahnya. Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arak-arakan Mikoshi, Dashi (Danjiri) dan Yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi Kami atau objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai Chigo (anak kecil dalam prosesi), Miko (anak gadis pelaksana ritual), Tekomai (laki-laki berpakaian wanita), Hayashi (musik khas matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan pasar kaget beraneka macam makanan dan permainan.

Matsuri berasal dari kata matsuru (祀る, matsuru menyembah, memuja) yang berarti

pemujaan terhadap Kami atau ritual yang terkait. Dalam teologi agama Shinto dikenal empat unsur dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa (norito), dan pesta makan. Matsuri yang paling tua yang dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang dilakukan di depan Amano Iwato. matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam bentuk Kigansai (permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk didoakan dan Jichinsai (upacara sebelum pendirian bangunan atau konstruksi). Pembacaan doa yang dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau kelompok orang di tempat yang tidak terlihat orang lain merupakan bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jingū merupakan salah satu contoh kuil agama Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta. Oleh karena itu sesuai dengan cuplikan cerita di atas, festival di jepang selalu diadakan dengan meriah dan besar-besaran. Seluruh lapisan masyrakat Jepang ikut merayakan setiap festival yang diadakan, termasuk oleh para murid di


(2)

sekolah dari mulai TK hingga ke perguruan tinggi. Semua membuat acara untuk menyambut festival tersebut. Itulah wujud dari kecintaan masyarakat Jepang terhadap budayanya.


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN

1. Novel-novel yang berkembang saat ini kebanyakan adalah novel yang mengangkat tema remaja dan problemanya, yang dalam pengisahannya terkadang jarang sekali ditemukan nilai-nilai didaktis yang bisa diserap oleh pembacanya. Hal ini disebabkan karena pengarang terlalu fokus untuk mengekspos tema yang kebanyakan sedang menjadi trend dan kurang memasukkan unsur positif sebagai cara penyelesaiannya. Padahal karya sastra yang sangat disenangi oleh generasi muda merupakan media yang efektif untuk menyampaikan pesan moral dan motivasi kepada pembacanya di tengah banyaknya media hiburan yang sarat menyampaikan nilai negatif yang membuat degradasi moral. Salah satu novel yang sarat dengan nilai positif dan motivasi adalah novel no one’s perfect. Novel yang berisikan kisah nyata hidup pengarang novel sendiri yang merupakan seorang penyandang Tetra Amelia, yaitu sebuah kondisi dimana penderitanya terlahir tanpa memiliki tangan dan kaki.

2. Nilai-nilai didaktis yang terdapat didalam novel No One’s Perfect terdiri dari nilai religius, nilai moral, nilai budaya, estetik dan nilai motivasi.

3. Nilai religius yang ditampilkan dalam novel ini tergambar jelas dengan seringnya tokoh utama yaitu Ototake mengunjungi kuil untuk memohon kapada Dewa agar usaha yang telah dilakukannya berjalan sukses dan berhasil. Walaupun Jepang merupakan negara


(4)

yang mayoritas penduduknya menjalankan ritual beberapa agama sekaligus di dalam hidupnya, tetapi negara ini merupakan negara yang sangat kuat memegang tradisi kepercayaan kepada Dewa. Hal ini terbukti dengan banyaknya festival-festival pemujaan kepada dewa yang dilaksakan sepanjang tahun.

4. Nilai moral merupakan nilai didaktis yang paling banyak terdapat di dalam novel ini. Nilai moral itu secara garis besar penulis bagi menjadi 3 bagian penting yaitu percaya diri, perduli terhadap lingkungan dan kaih sayang. Alenia-alenia yang ditampilkan dalam novel ini kebanyakan memberikan gambaran bahwa Oto adalah sosok yang sangat percaya diri ditengah keterbatasan fisik yang dia miliki, Oto berusaha dengan gigih untuk dapat melakukan apapun yang dapat dilakukan oleh orang normal dengan tekniknya sendiri tanpa pernah merasa bahwa dia adalah seorang penyandang cacat ganda. Perduli terhadap lingkungan dibuktikan Oto dengan aktif terlibat dalam usaha mendaur ulang sampah, sedangkan nilai didaktis dalam bentuk kasih sayang ditunjukkan oleh orangtua Oto dari mulai Oto lahir hingga membesarkan Oto. Semua dilakukan dengan rasa penerimaan yang tulus dengan kasih sayang yang tanpa batas.

5. Nilai estetik juga tersirat didalam novel ini melalui rasa ketertarikan Oto yang sangat besar terhadap dunia fashion. Oto merupakan contoh kecil dari penyandang cacat yang selalu ingin tampil menarik di berbagai kesempatan, termasuk di sekolah sekalipun. Oto tak ingin menjadi penyandang cacat yang berpakain lusuh dan semakin menambah kesan ”kasihan” bagi orang-orang yang melihat penyandang cacat. Oto ingin merubah image penyandang cacat di mata masyarakat lewat cara berpakaiannya.

6. Nilai budaya juga sangat jelas tergambar didalam novel ini. Nilai budaya merupakan nilai yang sangat dijunjung tinggi di Jepang. Didalam novel tergambar jelas bahwa Oto dan


(5)

masyarakat Jepang sepanjang tahun selalu menyambut festival-festival dengan penuh semangat dan membuat perayaan yang meriah.

7. Nilai motivasi merupakan nilai didaktis yang paling banyak tersirat didalam novel ini. Setiap alenia mengandung nilai motivasi bagi para pembacanya untuk dapat lebih berprestasi, karena lewat novel ini Oto membukt ikan bahwa tidak ada cita-cita yang tidak mungkin untuk diwujudkan kalau kita memiliki tekad yang kuat dan usaha yang keras untuk mencapai cita-cita kita apapun itu.

SARAN

Berdasarkan pengamatan penulis, maka dapatlah penulis memberikan saran sebagai berikut : 1. bagi generasi muda khususnya remaja hendaklah cerdas untuk memilih bahan bacaan

yang akan dibaca. Pilihlah karya sastra yang kaya akan nilai-nilai didaktis yang bisa menjadi motivasi dan inspirasi untuk berbuat lebih baik dan lebih berprestasi, bukan membaca bacaan klise yang sekedar hiburan tapi tidak memiliki nilai positif apapun. 2. bagi para pengarang hendaknya menciptakan karya sastra yang bermutu tinggi dan kaya

akan pesan moral didalamnya. Bukan menciptakan karya sastra dengan memanfaatkan tema kontroversial dan trend negatif yang sedang berkembang demi alasan komersialitas, tanpa diakhiri dengan kritik dan pesan moral bagi pembacanya.

3. bagi para mahasiswa sastra sebaiknya memperbanyak apresisasi sastra lewat pengkajian dan kritik terhadap karya sastra yang bermutu.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad. 2002. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta : Pustaka Amani. Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang : Sinar Baru Algesindo. Ary. D. 1982. metodologi dalam pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional.

D.L. Sagala, Astri. 2006. Analisis Didaktis yang Terdapat Pada Cerita Rakyat Jepang “urashimataro” karya Keiko Fukamachi. Medan : FS USU

Endaswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian sastra ( Epistimologi, model, teori, dan Aplikasi). Yogyakarta : Media Pressindo.

Furchan, A. 2004. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hasbullah. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta : PT. Pradanya Paramita.

Hanum, Miskah. 2009. Analisis Sosiologis Tokoh dalam Novel Kisah Klan Otori. Skripsi sarjana. Medan. FS USU

Sukmadinata.2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda karya.

Sumardjo, Jacob, dan Sauni, K.M. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : Gramedia. Suryabrata, Sumadi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Jakarta: raja grafindo persada. Trisna jayawati, Maini.1997. analisis struktur dan nilai budaya cerita rakyat sumatera utara Medan. USU .

Depdikbud.UM. 2005. pedoman penulisan karya ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, artikel. Jakarta : pusat pembinaan dan pengembangan bahasa.