BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian Bab ini menjelaskan uraian hasil penelitian tentang supervisi kepala
ruangan melalui kuesioner yang diberikan kepada perawat pelaksana yang bersedia menjadi responden, pelaksanaan five moments hand hygiene perawat
melalui observasi yang dilakukan oleh peneliti dan hubungan supervisi kepala ruangan dengan pelaksanaan five moments hand hygiene perawat.
5.1.1. Karakteristik Responden
Karakteristik perawat dilihat dari umur, jenis kelamin, pendidikan, dan lama kerja. Berdasarkan pada tabel 5.1. dapat dilihat bahwa sebagian
besar perawat pelaksana adalah perempuan dengan umur pada kategori 34-44 tahun sebesar 41,2, tingkat pendidikan D3 58,8 dan lama kerja
10 tahun sebesar 52,9.
32
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Perawat Karakteristik
Frekuensi n Persentasi
Umur 23-33
8 23,5
34-44 14
41,2 45-54
12 35,3
Jenis kelamin Laki-laki
2 5,9
Perempuan 32
94,1 Pendidikan
SPK 1
2,9 D3
20 58,8
S1 13
38,2 Lama Kerja
5 Tahun 11
32,4 5-10 Tahun
5 14,7
10 Tahun 18
52,9
5.1.2. Supervisi Kepala Ruangan
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.2. diperoleh bahwa frekuensi perawat berdasarkan supervisi kepala ruangan pada kategori
cukup sebesar 8,8 dan mayoritas perawat menyatakan bahwa supervisi kepala ruangan pada kategori baik sebesar 91,2.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.2. Distribusi frekuensi gambaran supervisi kepala ruangan dalam pelaksanaan five moments hand hygiene perawat
Kategori Frekuensi n
Persentasi
Baik 31
91,2 Cukup
3 8,8
Total 34
100
5.1.3. Pelaksanaan Five Moments Hand Hygiene Perawat
Berdasarkan pada tabel 5.3. dapat dilihat bahwa sebagian besar perawat tidak melaksanakan five moments hand hygiene 64,7
sedangkan perawat yang melaksanakan five moments hand hygiene sebesar 35,3.
Tabel 5.3. Distribusi frekuensi pelaksanaan five moments hand hygiene perawat Pelaksanaan Five Moments Hand
Hygiene Frekuensi n
Persentasi
Dilaksanakan 12
35,3 Tidak Dilaksanakan
22 64,7
Total 34
100
Berdasarkan pada tabel 5.4. dapat dilihat bahwa pelaksanaan hand hygiene perawat tertinggi terdapat pada moment ketiga yaitu setelah menyentuh cairan
tubuh pasien sebesar 82,4 sedangkan pelaksanaan hand hygiene perawat
Universitas Sumatera Utara
terendah terdapat pada moment kelima yaitu setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien sebesar 44,1.
Tabel 5.4. Distribusi frekuensi perawat dalam pelaksanaan five moments hand hygiene berdasarkan setiap moment
Tindakan Hand Hygiene Dilaksanakan
Tidak Dilaksanakan Frekuensi
n Persentasi
Frekuensi n
Persentasi
Sebelum kontak dengan pasien Moment 1
16 47,1
18 52,9
Sebelum tindakan asepsis Moment 2
21 61,8
13 38,2
Setelah terkena cairan tubuh pasien Moment 3
28 82,4
6 17,6
Setelah kontak dengan pasien Moment 4
24 70,6
10 29,4
Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien
Moment 5 15
44,1 19
55,9
5.1.4. Hubungan Supervisi Kepala Ruangan Dengan Pelaksanaan Five
Moments Hand Hygiene Perawat Berdasarkan pada tabel 5.5. menunjukkan hasil penelitian tentang
hubungan supervisi kepala ruangan dengan pelaksanaan five moments hand hygiene perawat yaitu, nilai p = 0.191. Hasil ini menunjukkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
tidak terdapat hubungan antara supervisi kepala ruangan dengan pelaksanaan five moments hand hygiene perawat.
Tabel 5.5. Hubungan Supervisi Kepala Ruangan Dengan Pelaksanaan Five Moments Hand Hygiene Perawat
Supervisi Hand Hygiene
Supervisi Kepala
Ruangan Correlation Coefficient
Sig. 2-tailed N
1.000 .
34 .230
.191 34
Five Moments Hand Hygiene
Correlation Coefficient Sig. 2-tailed
N .230
.191 34
1.000 .
34
5.2.Pembahasan 5.2.1.
Supervisi Kepala Ruangan Dalam melakukan SPO pencegahan infeksi, perlu adanya fungsi
pengawasan perawat dari kepala ruangan. Tujuan pengawasan ialah untuk mencegah
atau memperbaiki
kesalahan, penyimpangan,
dan ketidaksesuaian yang dapat mengakibatkan tujuan atau sasaran organisasi
tidak tercapai dengan baik karena pelaksanaan pekerjaan atau kegiatan tidak efesien dan efektif Suarli Bahtiar, 2012.
Hasil penelitian diperoleh bahwa pelaksanaan supervisi kepala ruangan di RSUP HAM mayoritas pada kategori baik yaitu sebesar 91,2.
Hal ini sejalan dengan penelitian Rumampuk, Budu Nontji 2013 yang menyatakan bahwa perawat yang menyatakan supervisi kepala ruangan
efektif sebesar 95,2.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian Simarmata 2015 di RSUD Pirngadi Medan menyatakan bahwa pelaksanaan supervisi kepala ruangan pada kategori
baik yaitu sebesar 73. Hal ini sejalan dengan penelitian Tampilang, Tuda, dan Warouw 2013 yang menunjukkan bahwa 72 pelaksanaan
supervisi sudah baik. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan supervisi yang dilakukan
oleh kepala ruangan yaitu berupa kegiatan-kegiatan yang terencana seorang kepala ruangan melalui aktifitas bimbingan, pengarahan,
observasi, motivasi dan evaluasi pada stafnya dalam melaksanakan kegiatan atau tugas sehari-hari sudah terlaksana dengan baik Nainggolan,
2010. Berdasarkan item kuesioner supervisi, nilai tertinggi didapatkan
pada nomor 1 yaitu kepala ruangan mengajarkan tentang prosedur hand hygiene yang benar kepada perawat pelaksana. Apabila perawat pelaksana
melakukan tindakan cuci tangan yang kurang sesuai, kepala ruangan langsung membimbing, membantu dan memberi petunjuk cara yang benar
serta memperagakan prosedur cuci tangan yang sesuai menurut WHO. Kepala ruangan membimbing, memberi contoh, mengarahkan dan
membantu pada saat perawat pelaksana membutuhkan bantuan dari kepala ruangan Rumampuk, Budu Nontji, 2013. Hal ini sejalan
dengan penelitian Gue 2014 yang menunjukkan bahwa supervisi yang dilakukan kepala ruangan sudah baik terlihat dari para perawat pelaksana
sering mendiskusikan tentang pelaksanaan asuhan keperawatan dengan
Universitas Sumatera Utara
kepala ruangannya dan kepala ruangan sebagai supervisor terlihat memberikan pengarahan dan bimbingan kepada perawat pelaksana.
Berdasarkan item nomor 4, seluruh perawat menyatakan bahwa informasi yang disampaikan kepala ruangan menambah wawasan perawat
terutama dalam meningkatkan asuhan keperawatan. Supervisi dari kepala ruangan dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan kinerja
perawat Mulyaningsih, 2013. Kepala ruangan memberikan pujian kepada perawat pelaksana
yang melaksanakan hand hygiene dengan baik. Hal ini sejalan dengan penelitian Sitohang 2016 yang menyatakan bahwa kepala ruangan
memberikan dukungan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi perawat pelaksana dalam pemberian asuhan keperawatan. Dukungan lain
juga diberikan kepala ruangan dengan memberikan umpan balik terhadap permasalahan yang terjadi.
Kepala ruangan
juga memfasilitasi
perlengkapan untuk
melaksanakan hand hygiene. Hal ini terlihat dari tersedianya wastafel dan sabun antiseptic, serta handrub berbasis alkohol di setiap ruangan
sehingga memudahkan tenaga kesehatan dan pasien maupun keluarga untuk selalu melakukan hand hygiene.
Perawat juga menyatakan bahwa akan mendapatkan teguran jika tidak melakukan hand hygiene sebelum atau sesudah melakukan tindakan
dan kontak dengan pasien maupun lingkungannya. Hal ini sejalan dengan penelitian Simarmata 2015 yang menyatakan bahwa kepala ruangan
Universitas Sumatera Utara
selalu menegur perawat jika pemberian obat yang dikerjakan tidak benar dan selalu memberikan motivasi pada perawat untuk melakukan
pemberian obat sesuai dengan prinsip enam benar pemberian obat. Dengan adanya teguran serta motivasi yang kuat dari kepala ruangan akan
mempengaruhi kepatuhan perawat dalam penerapan pengendalian infeksi nosokomial Saragih, Rahayu Alvionia, 2015.
5.2.2. Pelaksanaan Five Moments Hand Hygiene Perawat
Mencuci tangan Hand hygiene adalah istilah yang digunakan pada tindakan membersihkan tangan dari mikroorganisme dengan
menggunakan air dan sabun antiseptic ataupun menggunakan alcohol handrub WHO, 2009. Mencuci tangan merupakan salah satu langkah
penting untuk mengurangi penularan mikrooganisme dan mencegah infeksi yang terjadi Tietjen, Bossemeyer McIntosh, 2004.
Berdasarkan hasil observasi, diperoleh data bahwa perawat yang melaksanakan five moments hand hygiene sebesar 35,3. Sebagian besar
perawat tidak melaksanakan five moments hand hygiene walaupun poster pengingat petunjuk waktu dan cara benar dalam melakukan cuci tangan
sudah tersedia hampir di setiap ruangan dan lingkungan rumah sakit. Penelitian Nurjannah 2012 menunjukkan bahwa jumlah perawat
yang melaksanakan five moments hand hygiene sebesar 9,3. Hasil penelitian Shinde dan Mohite 2014 juga menyatakan bahwa kepatuhan
Universitas Sumatera Utara
perawat melakukan five moments hand hygiene masih rendah yaitu sebesar 12.
Pelaksanaan five moments hand hygiene perawat didapatkan pada moment pertama sebesar 47,1, moment ke 2 sebesar 61,8, moment ke
3 sebesar 82,4, moment ke 4 sebesar 70,6, dan moment ke 5 sebesar 44,1. Pelaksanaan hand hygiene paling tinggi terdapat pada moment ke
3 yaitu setelah menyentuh cairan tubuh pasien. Hal ini sejalan dengan penelitian Andaruni, Manik Natalia 2014 yang menyatakan bahwa
kepatuhan perawat melakukan hand hygiene paling tinggi pada moment ke 3 sebesar 86,4. Hal ini dapat terjadi karena tangan perawat terlihat
kotor dan pada umumnya perawat lebih memproteksi diri sendiri apabila terpapar dengan cairan tubuh pasien seperti darah dan urin.
Kepatuhan cuci tangan yang ditetapkan WHO harus lebih dari 50 Jamaluddin, 2012. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan hand
hygiene yang masih berada dibawah standar WHO terdapat pada moment pertama dan kelima. Hal ini sejalan dengan penelitian Ernawati, Tri dan
Wiyanto 2014 yang menyatakan bahwa kepatuhan hand hygiene perawat lebih banyak dilakukan sesudah perawat melakukan tindakan
invasif, dan paling sedikit dilakukan sebelum perawat kontak dengan pasien. Hal ini dapat disebabkan karena perawat kurang menyadari bahwa
tangan mereka dapat membuat pasien terkontaminasi kuman dari tindakan sebelumnya setelah menyentuh pasien atau barang disekitar pasien.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian Zulpahiyana 2013 menyatakan bahwa banyak perawat yang tidak menyadari keharusan mencuci tangan sebelum
bersentuhan dengan pasien. Terlebih ketika perawat akan melakukan tindakan yang mengharuskan untuk menggunakan handscoon. Perawat
merasa aman jika sudah menggunakan handscoon, sehingga dianggap tidak perlu untuk melakukan hand hygiene lagi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi minimnya kesadaran akan kebersihan tangan yaitu mencuci tangan memerlukan banyak waktu dan
penggunaan sarung tangan sudah menggantikan pentingnya cuci tangan WHO 2009. Hal ini sejalan dengan teori Potter dan Perry 2005 yang
menyatakan bahwa perawat sering mengabaikan cuci tangan sebelum menggunakan sarung tangan serta pemakaian sarung tangan yang
berulang dari satu pasien ke pasien yang lain. Kepatuhan perawat melakukan hand hygiene yang paling rendah
terdapat pada moment ke lima yaitu setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien 44,1. Hal ini sejalan dengan penelitian Napitupulu 2014 yang
menyatakan bahwa kepatuhan perawat melakukan hand hygiene setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien sebesar 32,37. Penelitian
Andaruni, Manik dan Natalia 2014 juga menyatakan bahwa pada moment ke 5 hasil implementasi perawat dalam melakukan hand hygiene
jauh dibawah persentase moment lainnya dan standart WHO yaitu sebesar 36,4.
Universitas Sumatera Utara
Umumnya perawat tidak terlalu memperhitungkan situasi sekeliling pasien sebagai sumber atau media berkembangnya kuman yang
menjadi penyebab infeksi, sehingga banyak perawat yang lalai dalam mengimplementasikan hand hygiene setelah kontak dengan lingkungan
sekitar pasien seperti meja pasien, tempat tidur, dsb Andaruni, Manik Natalia, 2014.
Cuci tangan harus dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan meskipun memakai sarung tangan atau
alat pelindung
lain untuk
menghilangkan atau
mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran penyakit dapat
dikurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi Fauziah, Ansyori Hariyanto, 2014.
Perilaku cuci tangan yang masih buruk, dapat dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran perawat untuk melakukan prosedur cuci tangan
Saragih Rumapea, 2012.
5.2.3. Hubungan Supervisi Kepala Ruangan Dengan Pelaksanaan Five
Moments Hand Hygiene Perawat Berdasarkan uji analisis
Sperman’s didapatkan bahwa nilai significancy p sebesar 0,191 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan supervisi kepala ruang dengan pelaksanaan five moments hand hygiene perawat. Berdasarkan kuesioner supervisi,
didapatkan bahwa 91,2 perawat menyatakan pelaksanaan supervisi
Universitas Sumatera Utara
kepala ruangan sudah baik, namun tidak sejalan dengan hasil observasi pelaksanaan five moments hand hygiene perawat yang masih rendah yaitu
35,3. Hasil ini didukung oleh penelitian Aprilia 2011 yang
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara tingkat perilaku penerapan IPSG dengan tingkat supervisi pada perawat. Perawat
dengan tingkat supervisi apapun, perilaku penerapan IPSG-nya tidak akan terpengaruh terhadap tinggi rendahnya penerapan. Hal ini sejalan dengan
penelitian Saragih, Rahayu dan Alvionia 2015 yang didapatkan pvalue 0,285 0,05, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara efektivitas
fungsi pengawasan kepala ruangan dengan kepatuhan perawat dalam penerapan pengendalian infeksi nosokomial.
Hasil penelitian Damanik, Susilaningsih Amrullah 2011 juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengawasan terhadap
praktik hand hygiene dengan kepatuhan melakukan hand hygiene. Hal ini juga didukung oleh penelitian Sitohang 2016 dengan hasil analisis Chi
Square Person Chi Square diperoleh nilai Asimp.Sig 0,763 0,05, menunjukkan secara statistik bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara pengawasan kepala ruangan dengan tindakan cuci tangan perawat.
Pihak rumah sakit RSUP Haji Adam Malik sendiri telah menghimbau petugas kesehatan untuk melakukan praktek kebersihan
tangan dengan poster yang ada di setiap pintu masuk ruangan pasien,
Universitas Sumatera Utara
lingkungan rumah sakit dan di setiap wastafel yang ada di ruangan. Berdasarkan hasil observasi, kelengkapan fasilitas yang disediakan di
ruangan Rb 2A dan Rb 2B bagi petugas kesehatan tersedia dengan baik, sehingga memudahkan bagi siapa saja yang ingin melakukan cuci tangan
setiap akan masuk maupun keluar ruangan. Fasilitas yang disediakan meliputi masing-masing ruangan yang dilengkapi dengan sabun antiseptic,
wastafel, dan alcohol hand rub. Walaupun sudah dilakukan pengawasan kepala ruangan tentang
tindakan cuci tangan dan tersedianya fasilitas untuk mencuci tangan, namun tetap saja masih terdapat perawat yang tidak melakukan five
moments hand hygiene. Perilaku cuci tangan yang masih rendah, dapat dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran perawat untuk melakukan prosedur
cuci tangan Saragih Rumapea, 2012. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun perawat sudah mendapatkan
supervisi hand hygiene yang baik dari kepala ruangan, namun kesadaran perawat untuk melakukan hand hygiene masih rendah. Berdasarkan hasil
analisa data diatas peneliti berasumsi bahwa walaupun tidak ada hubungan yang signifikan, supervisi kepala ruangan harus tetap dilakukan untuk
terus meningkatkan
kinerja perawat dalam
melakukan asuhan keperawatan.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN