METILKOBALAMIN SEBAGAI ANALGESIK AJUVAN MENURUNKAN SKALA NYERI NEUROPATI DIABETIK PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2.

(1)

TESIS

METILKOBALAMIN SEBAGAI ANALGESIK

AJUVAN MENURUNKAN SKALA NYERI

NEUROPATI DIABETIK PADA PENDERITA

DIABETES MELITUS TIPE 2

MADE RUDY

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

TESIS

METILKOBALAMIN SEBAGAI ANALGESIK

AJUVAN MENURUNKAN SKALA NYERI

NEUROPATI DIABETIK PADA PENDERITA

DIABETES MELITUS TIPE 2

MADE RUDY NIM 1114068104

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

ii

METILKOBALAMIN SEBAGAI ANALGESIK

AJUVAN MENURUNKAN SKALA NYERI

NEUROPATI DIABETIK PADA PENDERITA

DIABETES MELITUS TIPE 2

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

MADE RUDY NIM 1114068104

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iii


(5)

iv

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 31 Mei 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No : 2390/UN14.4/HK/2016 Tertanggal : 26 Mei 2016

Ketua : Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), FAAN Sekretaris : dr. I.G.N. Purna Putra, Sp.S(K)

Anggota :

1. dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K)

2. Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K) 3. Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K)


(6)

(7)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya akhir ini sebagai persyaratan mendapatkan tanda keahlian di bidang Neurologi dan Magister Ilmu Biomedik.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada berbagai pihak yang telah berperan sehingga penulis dapat menempuh Pendidikan Dokter Spesialis I sampai tersusunnya karya akhir ini, terutama kepada Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), FAAN selaku pembimbing utama serta kepada dr. I Gusti Ngurah Purna Putra, Sp.S(K) selaku pembimbing akademik dan pembimbing II karya akhir ini yang dengan penuh perhatian dan kesabaran memberikan bimbingan, saran, serta dorongan semangat kepada penulis selama penulis mengikuti pendidikan, khususnya dalam menyelesaikan karya akhir ini. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K) selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah saat penulis diterima sebagai peserta PPDS-1 dan kepada Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K), selaku Plt. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah.

Ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, dan kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Astawa, Sp.OT(K), M.Kes, atas ijin, kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I FK UNUD/RSUP Sanglah. Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana dan Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes., dan dr. I Wayan Sutarga, MPHM, selaku Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar saat penulis menjalani pendidikan sebagai peserta PPDS-1 Neurologi, atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan.

Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K) selaku Kepala Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar periode 2006-2014 dan kepada dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K) selaku Kepala Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar periode 2014-2019, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. I Wayan Kondra, Sp.S(K) selaku Ketua TKP PPDS-1


(8)

vii

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah saat penulis diterima sebagai peserta PPDS-1 dan dr. I Nyoman Semadi, Sp.B, Sp.BTKV, selaku Ketua TKP PPDS-1 Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah saat ini. Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD selaku Kepala Divisi Endokrin dan Penyakit Metabolik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk dilaksakannya penelitian ini, serta seluruh staf medis Divisi Endokrin dan Penyakit Metabolik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Kepada seluruh supervisor di Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah, dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K), Dr. dr. DPG. Purwa Samatra, Sp.S(K), dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), dr. I G.N. Budiarsa, Sp.S, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), dr. I G.N. Purna Putra, Sp.S(K), Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), FAAN, Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K), Dr. dr. Anna Marita Gelgel, Sp.S(K), dr. A.A.A. Meidiary, Sp.S, EEGers, dr. I.B. Kusuma Putra, Sp.S, dr. I Komang Arimbawa, Sp.S, dr. Desak Ketut Indrasari Utami, Sp.S, dr. I Putu Eka Widyadharma, M.Sc, Sp.S(K), dr. Kumara Tini, Sp.S, FINS, dr. I.A. Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp.S, dr. Ketut Widyastuti, Sp.S, dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S, dr. I.A. Sri Indrayani, Sp.S, dr. Ni Putu Witari, Sp.S, dr. Sri Yenni Trisnawati GS, M. Biomed, Sp.S, dr. I Wayan Widyantara, M. Biomed, Sp.S, dr. A.A.A. Suryapraba, M.Sc, Sp.S, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala bimbingan dan saran selama penulis mengikuti pendidikan.

Terima kasih saya ucapkan kepada dr. Deddy Andaka, M.Biomed, Sp.S, dr. Yoanes Gondowardaja, M.Biomed, Sp.S, dr. Ernesta P. Ginting, M.Biomed, Sp.S, dr. Hadi Widjaja, M.Biomed, Sp.S, dr. Ni Putu Sukarini, dr. Priska Widiastuti, dr. Gracia Meliana Tanoyo, dr. Octavianus Darmawan, dr. Agus Suryawan, dr. I Made Mahardika Yasa, dr. Ni Putu Ayu Putri Mahadewi, dan dr. Widyawati Suhendro khususnya, serta seluruh teman sejawat lainnya, peserta PPDS I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah yang telah memberikan inspirasi, dorongan, segala bantuan dan kebersamaan selama penulis menjalani pendidikan dan menyelesaikan karya akhir ini. Terima kasih kepada tenaga administrasi Bagian/SMF Neurologi Ni Putu Oka Swardani, I Wayan Shika Priantha, Kadek Ferbiyanti, S.E., Kadek Arie Ardhiani, Amd.Akun, Ni Wayan Ayu Sukyartini, S.E. serta para perawat, paramedis, dan dokter muda yang juga telah memberikan bantuan, semangat, dan inspirasi selama penulis menjalani pendidikan.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pasien DM yang telah berkenan menjadi subyek penelitian serta kepada anggota keluarga pasien atas bantuan dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian ini.

Akhirnya penulis juga menyampaikan terima kasih yang tulus disertai penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua, Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), FAAN dan Margaret Yessica Sutiono atas segala kasih sayang, perhatian, pengertian, doa, dukungan, dan bantuan dalam meraih cita-cita serta pengharapan penulis. Terima kasih juga kepada kedua mertua, dr. Eddy Hartono, Sp.OG(K) dan dr. Ni Ketut Sungowati, Sp.PA(K), serta saudara-saudari


(9)

viii

terkasih dr. Putu Ayu Elvina, Kevindrata Tjandra, Clara Valentina, S.Ked, dan Jennifer Louisa, begitupula keluarga besar penulis yang sudah memberikan dukungan doa, semangat, kasih sayang, dan segala bantuan dalam menyelesaikan penulisan karya akhir ini.

Penghargaan dan terima kasih tak terhingga kepada istri tercinta, dr. Putu Marcelina Nagariani Hartono atas segala kasih sayang, pengertian, kesabaran, pengorbanan, dorongan semangat, bantuan, dan doanya selama penulis menjalani pendidikan terutama saat menyelesaikan karya akhir ini.

Penulis telah berusaha membuat tesis ini dengan sebaik-baiknya namun tetap menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan baik dari aspek materi dan penyajiannya. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tesis ini.

Akhirnya, penulis tidak lupa memohon maaf sebesar-besarnya kepada semua pihak, apabila dalam proses pelaksanaan penelitian dan selama penyusunan karya akhir ini, maupun dalam pergaulan sehari-hari ada tutur kata dan sikap yang kurang berkenan. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang selalu melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. Amin.

Denpasar, Mei 2016 Penulis


(10)

ix ABSTRAK

METILKOBALAMIN SEBAGAI ANALGESIK AJUVAN MENURUNKAN SKALA NYERI NEUROPATI DIABETIK PADA PENDERITA

DIABETES MELITUS TIPE 2

Nyeri neuropati diabetik (NND) merupakan salah satu komplikasi tersering dari diabetes melitus (DM) pada saraf tepi. Sampai saat ini pengobatan NND sebagian besar hanya bersifat simtomatis dengan hasil yang jauh dari memuaskan. Metilkobalamin (Mekbl) selain mempunyai sifat sebagai analgesik ajuvan juga memiliki efek neuroproteksi dan neuroregenerasi sehingga memberikan harapan baru dalam terapi jangka panjang NND. Tujuan penelitian ini untuk membuktikan Mekbl dapat menurunkan skala nyeri pada penderita DM tipe 2.

Penelitian dengan rancangan uji klinis acak buta tunggal dilakukan pada 28 subyek penderita DM tipe 2 yang rawat jalan di poliklinik Saraf dan Diabetic Center RSUP Sanglah periode Februari hingga April 2016. Subyek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok intervensi (menggunakan terapi amitriptilin dan Mekbl) dan kontrol (menggunakan amitriptilin dan aquabides), masing-masing 14 subyek. Dosis obat yang diberikan yaitu amitriptilin 12,5 mg dua kali sehari selama 10 hari, dan Mekbl intravena 500 µ g setiap 2 hari selama 5 kali. Dilakukan pengukuran skala nyeri Numeric Pain Rating Scale (NPRS) pada awal dan akhir penelitian.

Pada uji student t test berpasangan didapatkan penurunan NPRS pada kelompok intervensi (5,14 ± 1,79) lebih besar secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol (2,64 ± 0,84) dengan persentase penurunan NPRS 79% berbanding 48%, p=0,001 (p<0,01).

Disimpulkan bahwa Mekbl sebagai analgesik ajuvan menurunkan skala NND pada penderita DM tipe 2. Perlu dipertimbangkan untuk memberikan Mekbl sebagai analgesik ajuvan pada penderita NND.

Kata kunci: amitriptilin, analgesik ajuvan, metilkobalamin, nyeri neuropati diabetik, skala nyeri


(11)

x ABSTRACT

METHYLCOBALAMIN AS ADJUVANT ANALGESIC REDUCED PAIN SCALE IN PAINFUL DIABETIC NEUROPATHY IN TYPE 2 DIABETES

MELLITUS PATIENTS

Painful diabetic neuropathy (PDN) is common complication of diabetes mellitus (DM) in peripheral nerves. Most PDN treatment only reduce pain with unsatisfying outcome. Methylcobalamin (MeCbl) has analgesic, neuroprotective, and neuroregeneration effects, giving a new hope in long term therapy of PDN. The purpose of this study is to prove that MeCbl can reduce pain scale in type 2 DM (T2DM) patients.

We conducted a single blind randomized controlled trial on 28 T2DM outpatients in neurology and diabetes clinic of Sanglah General Hospital from February until April 2016. Subjects were divided into 2 groups, intervention (oral amitryptiline and MeCbl) and control group (oral amitryptiline and aquabidest). We use oral amitryptiline 12,5 mg twice daily for 10 days and intravenous MeCbl 500 µg every 2 days for 5 times. Pain intensity was measured with Numeric Pain Rating Scale (NPRS) at the beginning and end of study.

We compared the mean of NPRS reduction between 2 groups with paired student t test. At end of study, there was a significant difference of NPRS reduction between intervention (5,14+ 1,79; 79% reduced compare than beginning of study) and control group (2,64 + 0,84; 48% reduced) (p<0,01).

Conclusion: MeCbl as adjuvant analgesic reduced pain scale of PDN in T2DM patients. It should be considered to give MeCbl as adjuvant analgesic in PDN patient.

Keyword: amitryptiline, adjuvant analgesic, methylcobalamin, painful diabetic neuropathy, pain scale


(12)

xi DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ……….. i

PRASYARAT GELAR... ii

LEMBAR PENGESAHAN...……….…... iii

KETETAPAN PANITIA PENGUJI... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT………... v

UCAPAN TERIMA KASIH... vi

ABSTRAK... ix

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR GAMBAR ……….. xiii

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR SINGKATAN ……… xv

DAFTAR LAMPIRAN ……… xvii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

1.1 Latar Belakang ………...……… 1

1.2 Rumusan Masalah ………...………. 4

1.3 Tujuan Penelitian ………...………… 4

1.4 Manfaat Penelitian ………...……… 4

1.4.1 Manfaat Ilmiah ……….……… 4

1.4.2 Manfaat Praktis ……...……….……… 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA ………...……….. 5

2.1 Diabetes Melitus ………..………...………… 5

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus ……….……….... 5

2.1.2 Epidemiologi Diabetes Melitus ……….………… 5

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus ……… 5

2.1.4 Diagnosis Diabetes Melitus ……….. 6

2.1.5 Penatalaksanaan Diabetes Melitus ……… 7

2.1.6 Penyulit Diabetes Melitus ………. 7

2.2 Nyeri Neuropati Diabetik ………...…... 8

2.2.1 Patofisiologi Nyeri Neuropati Diabetik ………. 9

2.2.1.1 Impuls listrik ektopik ……… 10

2.2.1.2 Perubahan mikrovaskuler ………... 11

2.2.1.3 Aktivasi mikroglia ………. 13

2.2.1.4 Hiperaktivitas jalur poliol ………. 14

2.2.1.5 Stres oksidatif ……….. 15

2.2.1.6 Metilglioksal dan nyeri ………. 16

2.2.1.7 Sensitisasi sentral ………. 17

2.2.1.8 Modulasi simpatis nyeri ……… 18

2.2.2 Diagnosis Nyeri Neuropati Diabetik ………. 18

2.2.3 Penatalaksanaan Nyeri Neuropati Diabetik... 20

2.3 Metilkobalamin …………...…..…………...……….…... 23

2.3.1 Farmakokinetik Metilkobalamin ... 24


(13)

xii

2.3.3 Dosis Metilkobalamin ……….. 27

2.3.4 Efek Samping Metilkobalamin ………. 27

2.4 Metilkobalamin sebagai Analgesik Ajuvan pada Nyeri Neuropati Diabetik ... 27

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN... 30

3.1 Kerangka Berpikir ... 30

3.2 Kerangka Konsep ... 32

3.3 Hipotesis Penelitian ... 33

BAB IV METODE PENELITIAN... 34

4.1 Rancangan Penelitian ... 34

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

4.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 35

4.4 Populasi dan Sampel Penelitian ... 35

4.4.1 Populasi Target ... 35

4.4.2 Populasi Terjangkau ... 35

4.4.3 Kriteria Sampel ... 35

4.4.3.1 Kriteria inklusi ………... 35

4.4.3.2 Kriteria eksklusi ...…...………... 36

4.4.3.3 Kriteria drop out... 37

4.4.4 Besar Sampel ... 37

4.4.5 Teknik Pengambilan Sampel ... 38

4.5 Variabel Penelitian... 38

4.6 Definisi Operasional Variabel... 39

4.7 Alat Pengumpul Data ... 45

4.8 Prosedur Penelitian ... 46

4.9 Pengolahan dan Analisis Data ... 48

BAB V HASIL PENELITIAN... 49

5.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian... 49

5.2 Efek Pemberian Metilkobalamin dengan Penurunan Skala Nyeri pada Penderita Nyeri Neuropati Diabetik... 51

5.3 Efek Samping Pemberian Terapi pada Subyek Penelitian... 52

BAB VI PEMBAHASAN... 54

6.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian... 54

6.2 Efek Pemberian Metilkobalamin dengan Penurunan Skala Nyeri pada Penderita Nyeri Neuropati Diabetik... 56

6.3 Efek Samping Pemberian Terapi pada Subyek Penelitian... 58

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN... 60

7.1 Simpulan... 60

7.2 Saran... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2 Gambar 2.3a Gambar 2.3b Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 4.1 Gambar 4.8

Impuls Ektopik oleh Neuroma... Struktur Kimia Metilkobalamin... Reaksi Metilasi, Pembentukan Timin dan Lesitin... Kerangka Berpikir... Kerangka Konsep... Bagan Rancangan Penelitian... Bagan Alur Penelitian...

11 23 26 30 32 34 47


(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.2 Perbandingan rekomendasi pedoman klinis obat NND... 22 Tabel 5.1 Karakteristik dasar subyek penelitian... 50 Tabel 5.2 Analisis bivariat uji student t berpasangan rerata penurunan

NPRS kelompok intervensi dan kontrol... 51 Tabel 5.3 Analisis bivariat uji McNemar efek samping terapi kelompok


(16)

xv

DAFTAR SINGKATAN

Adokbl : Adenosilkobalamin

AGEs : Advanced Glycation End Products BDI : Beck Depression Inventory

CBT : Cognitive Behavioral Therapy CTS : Carpal Tunnel Syndrome CRS : Cervical Root Syndrome DAG : Diasilgliserol

DM : Diabetes Melitus

DN4 : Douleur Neuropathique en 4 Questions DNA : Deoxyribonucleic Acid

GABA : Gamma-Aminobutyric Acid GRD : Ganglion Radiks Dorsalis HbA1c : Hemoglobin A1c

HIV : Human Immunodeficiency Virus

IASP : International Association for the Study of Pain IDF : International Diabetes Federation

IK : Interval Kepercayaan

IM : Intramuskular

IMT : Indeks Massa Tubuh

IV : Intravena

Hkbl : Hidroksokobalamin

HPLC : High-Performance Liquid Chromatography

LANSS : Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs MAO : Monoamine Oxidase


(17)

xvi MG : Metilglioksal

NAD+ : Nicotinamide Adenine Dinucleotide

NADPH : Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate Hydrogen ND : Neuropati Diabetik

NeuPSIG : Special Interest Group on Neuropathic Pain

NGSP : National Glycohaemoglobin Standarization Program NMDA : N-Methyl-D-Aspartate

NND : Nyeri Neuropati Diabetik NPRS : Numeric Pain Rating Scale PARP : Poly(ADP-Ribose) Polymerase PDS : Polineuropati Distal Simetris PD-Q : Pain Disability Quetionnaire PKC : Protein Kinase C

Snkbl : Sianokobalamin

SSRI : Selective Serotonin Reuptake Inhibitor

SNRI : Serotonin and Norepinephrine Reuptake Inhibitor TCA : Tricyclic Antidepressant

TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral TNF-α : Tumor Necrosis Factor-α VAS : Visual Analog Scale


(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Keterangan Kelaikan Etik. ... 69

Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian dari RSUP Sanglah... 70

Lampiran 3 Penjelasan dan Form Persetujuan Penelitian... 71

Lampiran 4 Lembar Pengumpulan Data... 74

Lampiran 5 Kuesioner untuk Mendiagnosis Nyeri Neuropati... 76

Lampiran 6 Beck Depression Inventory... 77

Lampiran 7 Data Subyek Penelitian... 81


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit metabolik menahun yang banyak diderita di dunia, dengan kecenderungan yang semakin meningkat bersamaan dengan epidemi obesitas global. Penyakit ini mengakibatkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, baik sebagai akibat langsung ataupun karena komplikasi. Mengenal diabetes berarti mengenal komplikasinya. Nyeri neuropati diabetik (NND) merupakan komplikasi diabetes yang sering terjadi, mengganggu kualitas hidup, dan menambah beban finansial penderita. Selama ini NND sering dianggap remeh para klinisi dan tidak terdiagnosis, sehingga penatalaksanaannya tidaklah optimal, yang akhirnya menimbulkan morbiditas jangka panjang serta penurunan kualitas hidup penderitanya.

Diabetes diderita oleh 382 juta orang di seluruh dunia, dan akan semakin meningkat tiap tahunnya, dengan perkiraan penderitanya sebanyak 592 juta orang pada tahun 2035 (IDF, 2013). World Health Organization memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus (DM) tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (PERKENI, 2015).

Diabetes merupakan penyebab neuropati perifer tersering di dunia dengan sekitar setengah dari pasien diabetes menderita neuropati, dan 20% pasien dengan neuropati diabetik mengalami nyeri yang hebat (Smith dan Singleton, 2012; Javed dkk., 2015). Prevalensi populasi dengan NND diperkirakan sekitar 0.8% dengan


(20)

2

insiden berkisar dari 15.3 sampai 72.3 per 100.000 orang per tahun (Dieleman dkk., 2008; Hall dkk., 2008; Hecke dkk., 2014). Biaya perawatan neuropati diabetik di Amerika kira-kira sebesar 10,9 miliar dolar, sedangkan pada pasien dengan nyeri hebat menggunakan biaya 80% lebih besar (DiBonaventura dkk., 2011).

Terdapat berbagai macam agen terapi untuk mengatasi nyeri neuropatik yang sudah terbukti secara klinis dan dijadikan pedoman (guideline), seperti kelompok analog asam gamma-aminobutirik (GABA), antidepresan trisiklik, penghambat reuptake serotonin norepinefrin (SNRI), opioid, ataupun agen topikal dengan mekanisme kerja dan efek samping yang spesifik untuk masing-masing terapi (Javed dkk., 2015). Penggunaan agen terapi tersebut bertujuan untuk mengurangi keluhan nyeri yang terjadi, tanpa memberikan proteksi ataupun regenerasi terhadap saraf. Dalam praktek klinis, penanganan NND masih menjadi suatu tantangan. Tidak semua agen yang telah disebutkan mampu menghilangkan gejala-gejala ini seperti penelitian dasarnya (Zhang dkk., 2013).

Metilkobalamin (Mekbl) merupakan analog vitamin B12 dalam bentuk aktif yang paling efektif diserap oleh organel subselular neuron, memberikan harapan untuk menangani nyeri neuropatik. Selama ini Mekbl telah digunakan sebagai agen tambahan untuk menangani beberapa penyakit yang berkaitan dengan nutrisi dan penyakit klinis seperti penyakit Alzheimer, anemia megaloblastik, dan artritis rematoid (MacCaddon dan Hudson, 2010; Zhang dkk., 2013). Metilkobalamin memberikan proteksi neuronal dengan mendorong regenerasi saraf yang cedera dan melawan neurotoksisitas yang dipicu oleh glutamat, serta memiliki efek


(21)

3

analgesik (Zhang dkk., 2013). Metilkobalamin juga dapat meningkatkan konduksi saraf dan menghambat cetusan ektopik spontan neuron sensorik primer yang cedera. Efek samping terapi Mekbl tidak terlalu banyak dibandingkan agen terapi nyeri neuropatik lainnya, dengan yang paling serius terjadi adalah reaksi anafilaktoid (insiden kurang dari 0,1%) (Meliala dan Barus, 2008).

Berdasarkan penelitian terbaru mengenai efek analgesik Mekbl, baik sebagai obat tunggal ataupun kombinasi, disebutkan bahwa secara klinis dan eksperimental Mekbl memiliki efek menguntungkan pada beberapa jenis nyeri, seperti nyeri pinggang, nyeri leher, neuralgia trigeminal, neuralgia pascaherpetik, ataupun NND (Zhang dkk., 2013). Metilkobalamin menunjukkan efek terapeutik pada NND, diduga melalui mekanisme kerja neurosintesis dan neuroprotektif (Sun dkk., 2005). Bukti morfologi dan histologi mengkonfirmasi bahwa pemberian Mekbl jangka panjang merangsang terjadinya sintesis dan regenerasi mielin dan dapat meningkatkan kecepatan konduksi saraf dan fungsi neuronal pada neuropati perifer (Okada dkk., 2010).

Berdasarkan data mengenai insiden NND yang semakin lama semakin meningkat sedangkan penatalaksanaannya belum optimal, maka diperlukan agen terapi yang dapat digunakan tidak hanya sebagai terapi simtomatik, tetapi juga memiliki efek neuroproteksi dan neuroregenerasi. Metilkobalamin adalah salah satu agen yang berpotensi memenuhi kriteria tersebut di atas. Penelitian mengenai Mekbl sebagai analgesik ajuvan NND secara intravena belum banyak dilakukan di dalam dan luar negeri sebelumnya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini.


(22)

4

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : Apakah Mekbl sebagai analgesik ajuvan menurunkan skala NND pada penderita DM tipe 2?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberian Mekbl sebagai analgesik ajuvan menurunkan skala NND pada penderita DM tipe 2.

1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan bahwa pemberian Mekbl sebagai analgesik ajuvan dapat menurunkan skala NND pada penderita DM tipe 2 sehingga dapat digunakan untuk pengembangan penelitian di masa yang akan datang tentang peran Mekbl sebagai analgesik dalam NND, serta untuk menguatkan penelitian yang sudah ada.

1.4.2 Manfaat Praktis

Mengetahui bahwa pemberian Mekbl sebagai analgesik ajuvan menurunkan skala NND pada penderita DM tipe 2 dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk terapi kausal, tidak hanya simtomatis saja, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pada penderitanya.


(23)

5 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (PERKENI, 2015).

2.1.2 Epidemiologi Diabetes Melitus

Menurut International Diabetes Federation (2013), sekitar 382 juta orang di seluruh dunia menderita diabetes dengan kecenderungan yang makin meningkat tiap tahunnya, dan diperkirakan dalam 20 tahun mendatang jumlah penderitanya mencapai 592 juta orang. Sedangkan di Indonesia pada tahun 2003 diperkirakan terdapat 13,7 juta penderita diabetes dengan perkiraan akan meningkat sebanyak 20,1 juta orang pada tahun 2030 (PERKENI, 2015).

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

Diabetes melitus dapat diklasifikasi menjadi 4 tipe, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe lain, dan DM gestasional (PERKENI, 2015). Diabetes tipe 1 disebabkan oleh penghancuran sel β pankreas karena proses autoimun ataupun idiopatik, yang akhirnya menjurus ke defisiensi insulin absolut. Diabetes tipe 2 diakibatkan oleh resistensi terhadap insulin disertai defisiensi insulin. Diabetes tipe lain disebabkan oleh cacat genetik sel β pankreas ataupun kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (misalnya fibrosis kistik), endokrinopati, infeksi,


(24)

6

imunologi, dan tipe yang diinduksi oleh obat maupun zat kimia (Smith dan Singleton, 2012; PERKENI, 2015).

2.1.4 Diagnosis Diabetes Melitus

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan bila terdapat keluhan klasik seperti poliuria, polidipsia, polifagia, serta penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, dapat disertai dengan keluhan lain berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita (PERKENI, 2015). Diagnosis DM secara sederhana ditentukan oleh pemeriksaan glukosa darah puasa dan uji toleransi glukosa oral, meskipun kriteria terbaru juga menggunakan pengukuran hemoglobin A1c (HbA1c) (Smith dan Singleton, 2012).

Kriteria diagnosis DM yaitu (PERKENI, 2015):

1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam, atau

2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dL 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan beban 75 gram, atau

3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL dengan keluhan klasik, atau 4. Pemeriksaan HbA1c >6,5 mg/dL dengan menggunakan metode

High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP). Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standar NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan HbA1c.


(25)

7

2.1.5 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Tujuan penatalaksanaan DM secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang, dapat dibagi 2 yaitu jangka pendek dan jangka panjang. 1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM,

mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.

2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.

Tujuan tersebut di atas memiliki tujuan akhir pengelolaan berupa turunnya morbiditas dan mortalitas DM (PERKENI, 2015).

Berdasarkan PERKENI (2015), terdapat 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, serta intervensi farmakologis yang semuanya dilakukan bersamaan untuk mencapai tujuan penatalaksanaan yang sudah dijabarkan di atas.

2.1.6 Penyulit Diabetes Melitus

Penyulit DM dapat dibagi menjadi 2, yaitu penyulit akut (hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, dan status hiperglikemi hiperosmolar) dan penyulit menahun (makroangiopati, mikroangiopati, neuropati, dislipidemia, hipertensi, obesitas, dan gangguan koagulasi) (PERKENI, 2015). Untuk mencegah terjadinya penyulit kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik. Diabetes terkendali baik bila kadar glukosa darah, lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan demikian pula status gizi dan tekanan darah (Cheung dkk., 2009).


(26)

8

2.2 Nyeri Neuropati Diabetik

Neuropati diabetik (ND) merupakan gangguan saraf berkaitan dengan diabetes, disebabkan oleh kerusakan serabut saraf di seluruh tubuh (Yagihasi dkk., 2011). Diabetes merupakan penyebab neuropati perifer tersering dengan sekitar 50% penderita menderita neuropati, dan 20% mengalami nyeri hebat, dikenal sebagai NND, yang seringkali tidak dilaporkan (12.5%) dan lebih sering lagi tidak diobati (39%) (Smith dan Singleton, 2012; Javed dkk., 2015). Prevalensi populasi dengan NND diperkirakan sekitar 0.8% dengan insiden berkisar dari 15.3 sampai 72.3 per 100.000 orang per tahun (Dieleman dkk., 2008; Hall dkk., 2008; Hecke dkk., 2014).

Polineuropati distal simetris (PDS) merupakan bentuk klinis ND tersering yang mengenai 90% penderita (Tesfaye dkk., 2013). Secara umum, PDS mengenai ujung-ujung jari kaki tetapi akan berkembang perlahan ke arah proksimal sampai ke tungkai dengan distribusi seperti stocking (Aslam dkk., 2014; Schreiber dkk., 2015). Ulkus pedis dan NND merupakan konsekuensi klinis utama PDS yang dikaitkan dengan morbiditas serta mortalitas yang lebih tinggi (Schreiber dkk., 2015).

Definisi NND berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP) adalah suatu nyeri yang timbul sebagai akibat langsung dari abnormalitas sistem somatosensorik pada penderita diabetes (Treede dkk., 2008). Nyeri neuropati diabetik merupakan salah satu bentuk nyeri kronik yang sulit ditangani, ditandai dengan rasa kesemutan, terbakar, tertusuk, tertembak, tersayat, atau bahkan rasa tersetrum (Tesfaye dkk., 2013; Aslam dkk., 2014). Nyeri yang terjadi


(27)

9

bersifat konstan, disertai alodinia kutaneus, berintensitas sedang sampai berat, sering memburuk saat malam hari dan menganggu tidur, menyebabkan depresi sehingga menurunkan kualitas hidup penderita (Schreiber dkk., 2015).

2.2.1 Patofisiologi Nyeri Neuropati Diabetik

Penyebab nyeri pada ND masih belum sepenuhnya dimengerti (Aslam dkk., 2014). Para ahli sudah berusaha mengidentifikasi kemungkinan abnormalitas struktural dan fungsional ataupun mekanisme terkait diabetes yang dapat membuat pasien cenderung mengalami NND (Haanpää dan Hietaharju, 2015). Mekanisme nyeri pada ND sangat kompleks. Walaupun terdapat kemajuan besar dalam memahami mekanisme patofisiologi timbulnya komplikasi diabetes, tetapi sampai saat ini belum terdapat hipotesis yang dapat menjelaskan kenapa ada penderita yang mengalami NND dan ada yang tidak (Schreiber dkk., 2015). Meski gangguan fungsi serabut saraf kecil dianggap sebagai prasyarat bagi terbentuknya NND, bukti ilmiah yang tersedia tidak mendukung adanya hubungan antara nyeri dan neuropati murni pada serabut kecil (Spallone dan Greco, 2013).

Kelainan pada sistem saraf pusat ataupun tepi dapat berhubungan dengan hiperglikemia, yang merupakan kunci abnormalitas metabolik dari diabetes (Aslam dkk., 2014). Beberapa teori diusulkan untuk menjelaskan nyeri terkait ND, seperti perubahan pembuluh darah yang menyuplai saraf perifer, gangguan metabolik dan autoimun disertai aktivasi sel glia, perubahan ekspresi saluran natrium dan kalsium, tingkat sitokin proinflamasi dan tumor necrosis factor-α (TNF-α), serta teori yang lebih baru yaitu mekanisme nyeri sentral, seperti peningkatan vaskularisasi talamus dan ketidakseimbangan jalur inhibisi desenden


(28)

10

(Purwata, 2011; Calvo dkk., 2012; Tesfaye dkk., 2013). Meskipun demikian, bukti-bukti yang sudah ada belum mampu memberikan kesimpulan pasti tentang mengenai inflamasi pada NND (Spallone dan Greco, 2013).

Hiperglikemia diperkirakan memiliki efek hiperalgesik langsung yang independen terhadap kerusakan struktural saraf (Haanpää dan Hietaharju, 2015), namun bukan berarti faktor selain hiperglikemia tidak berperan dalam patofisiologi NND (Schreiber dkk., 2015).

2.2.1.1 Impuls listrik ektopik

Diabetes akan menyebabkan disfungsi atau lesi pada serabut saraf tepi dan menyebabkan terjadinya remodeling dan hipereksitabilitas membran (Purwata, 2011). Sprouting adalah pertumbuhan cabang akson yang baru, berasal dari akson induk yang masih berhubungan dengan badan sel dan merupakan hubungan antara serabut saraf yang rusak dengan yang normal, serta merupakan tanda kerusakan akson (Mutiawati, 2015). Kerusakan saraf akibat hiperglikemia kronis dapat menyebabkan sprouting yang tidak terhubung dengan organ target, dan akhirnya membentuk benjolan pada ujung tunas yang disebut neuroma. Tumbuhnya saraf baru ke segala arah menyebabkan kerusakan kolateral pada saraf yang sehat dan memperluas wilayah yang tersensitisasi (Aslam dkk., 2014). Pada neuroma akan terjadi akumulasi saluran natrium yang menyebabkan peningkatan eksitabilitas ataupun hipersensitivitas, serta berperan sebagai generator ektopik yang menghasilkan impuls ektopik dan akhirnya mempengaruhi saraf aferen sekitarnya serta badan sel ganglion radiks dorsalis (GRD) (Meliala, 2008; Aslam dkk., 2014). Hal ini menyebabkan respon hipereksitasi abnormal, spontan, dan


(29)

11

berlebihan, bersamaan dengan adanya peningkatan sensitivitas terhadap stimulus yang diberikan, dikenal sebagai sensitisasi perifer. Impuls listrik dari akson berserabut kecil pada kornu dorsalis medulla spinalis akan meningkat, mengubah "gerbang" serta menyebabkan pelepasan substansi P dan glutamat, mengakibatkan penghantaran impuls ke traktus asenden, yang dipersepsi sebagai nyeri (Aslam dkk., 2014).

Gambar 2.2 Impuls Ektopik oleh Neuroma (Stahl, 2008) 2.2.1.2 Perubahan mikrovaskular

Perubahan mikrovaskular pada NND sering dikaitkan dengan kerusakan mikrovaskular. Pada studi klinis dan praklinis, didapatkan penurunan perfusi perifer, tidak hanya di jaringan saraf, namun juga di kulit, sehingga menjadi bukti


(30)

12

fisiologis penting dari perubahan mikrovaskular (Doupis dkk., 2009). Penebalan dinding dan hialinisasi dari lamina basalis pembuluh darah serta penyempitan lumen yang menyuplai saraf perifer yang terjadi bersamaan mengakibatkan iskemia pada saraf (Pavy-Le Traon dkk., 2010). Perubahan ini disebabkan oleh keluarnya protein plasma dari membran kapiler menuju endoneurium yang menyebabkan pembengkakan, ditambah tekanan interstisial dalam saraf, tekanan kapiler yang lebih tinggi, deposisi fibrin dan pembentukan trombus (Schreiber dkk., 2015).

Hiperglikemia dapat menimbulkan hipoksia saraf, terutama saraf sensorik, dan mengubah stabilitas listrik. Iskemia saraf dapat menyebabkan hilangnya saraf secara progresif pada segmen proksimal dan distal, sehingga kepadatan serabut saraf intraepidermal berkurang, mengakibatkan degenerasi dan regenerasi aksonal (Jelicic dkk., 2014; Schreiber dkk., 2015). Modifikasi struktural lain yang berhubungan dengan hiperglikemia adalah perubahan selubung mielin. Demielinisasi yang terjadi dikaitkan dengan perubahan kapasitas sel Schwann untuk mendukung selubung mielin yang normal.

Hal penting lain adalah terjadi perubahan fungsi endotel pada pasien NND. Seperti halnya ND, pada patofisiologi NND juga terlibat mekanisme yang serupa yaitu dengan berkurangnya vasodilatasi yang diinduksi asetilkolin serta terganggunya vasokonstriksi yang dimediasi oleh sistem saraf simpatis (Quattrini, 2007).


(31)

13

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa salah satu kemungkinan penyebab perubahan mikrovaskular adalah suatu stres oksidatif, oleh karena pengobatan dengan agen antioksidan dapat mempertahankan perfusi normal, dan memulihkan transmisi sensorik dalam model diabetes tipe 1 (Inkster dkk., 2007).

2.2.1.3 Aktivasi mikroglia

Sel glia diketahui memiliki peran penting dalam patogenesis dari banyak penyakit sistem saraf, termasuk pada kondisi nyeri kronik. Sel glia meliputi makroglia (seperti astrosit, sel radial, dan oligodendrosit) serta sel mikroglia, yang bertanggung jawab untuk mempertahankan homeostasis, membentuk mielin, menyokong serta memberi perlindungan terhadap neuron pada sistem saraf pusat ataupun tepi (Mika dkk., 2013). Selama 10 tahun terakhir, para peneliti telah mengakui bahwa hubungan antara mikroglia, serta neuron berperan penting dalam berkembangnya nyeri neuropatik (Calvo dkk., 2012).

Normalnya, sel mikroglia menyusun kurang dari 20% sel glia medulla spinalis, namun saat terjadi cedera pada saraf di tingkat GRD dan medulla spinalis, maka sel mikroglia akan mengalami proliferasi hebat pada tingkat spinal (Kettenmann dan Verkhratsky, 2008). Aktivasi mikroglia terjadi sesaat setelah cedera saraf tepi, berlangsung kurang dari 3 bulan, serta bertanggung jawab terhadap produksi beberapa mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, dan subtans sitotoksik seperti oksida nitrit dan radikal bebas yang mendorong lingkungan pro inflamasi (Schreiber dkk., 2015). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mikroglia di medulla spinalis menjadi aktif dalam kondisi


(32)

14

hiperglikemia, dari 4 minggu sampai 8 bulan. Aktivasi mikroglia ini dikaitkan dengan peningkatan pelepasan sitokin proinflamasi, perubahan sensorik dan regulasi naik saluran natrium Nav1.3 pada GRD sehingga menimbulkan dan mempertahankan nyeri neuropatik (Cheng dkk., 2014; Haanpää dan Hietaharju, 2015). Sebaliknya, diabetes dihubungkan dengan berkurangnya sifat imunoreaktif protein asam glia di medulla spinalis yang dapat mempengaruhi dukungan fungsional dan peran dari sel astrosit pada jaringan saraf, seperti pembersihan neurotransmiter di dalam celah sinaps (Schreiber dkk., 2015).

2.2.1.4 Hiperaktivitas jalur poliol

Kelainan metabolik merupakan penyebab primer ND. Menurut Schreiber dkk. (2015), hiperglikemia yang ditimbulkan melalui penurunan sekresi insulin ataupun resistensi insulin, bertanggung jawab untuk meningkatnya aktivitas jalur poliol. Enzim awal untuk jalur ini, aldose reduktase mengkatalisasi pembentukan sorbitol dari glukosa, kemudian sorbitol dioksidasi menjadi fruktosa oleh sorbitol dehidrogenase (Oates, 2002). Selama kondisi hiperglikemia, afinitas aldose reduktase untuk glukosa menjadi lebih tinggi, membuat suatu keadaan stres osmotik intraselular akibat penumpukan sorbitol yang tidak dapat melewati membran sel. Menariknya, kerusakan saraf yang mengikuti kondisi diabetes nampaknya tidak disebabkan oleh stres osmotik ini karena terdapat laporan mengenai konsentrasi sorbitol yang tidak bermakna pada saraf pasien diabetes (Schreiber dkk., 2015).

Selain meningkatkan produksi sorbitol, aktivasi jalur poliol dapat menyebabkan kerusakan sel Schwann, dan defisiensi mio-inositol dalam saraf


(33)

15

(Oates, 2002; Zychowska dkk., 2013). Menurunnya konsentrasi mio-inositol menyebabkan disfungsi enzim ATP-ase Na+/ K+ renal yang diperlukan untuk depolarisasi saraf (Haanpää dan Hietaharju, 2015). Semua perubahan tersebut di atas dapat menyebabkan perubahan struktural dalam saraf, seperti degenerasi Wallerian dan demielinasi segmental, mengakibatkan kerusakan saraf dan hilangnya serabut saraf (Zychowska dkk., 2013).

Hipotesis yang diterima saat ini menyatakan bahwa hiperaktivitas jalur poliol merupakan suatu kelainan primer dengan meningkatnya perubahan kofaktor seperti nicotinamide adenine dinucleotide phosphate hydrogen (NADPH) dan nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+), yang menyebabkan berkurangnya reduksi dan regenerasi glutation, begitu pula peningkatan produksi advanced glycation end products (AGEs) dan aktivasi diasilgliserol (DAG) serta protein kinase C (PKC) (Schreiber dkk., 2015). Deplesi glutation kemungkinan menjadi penyebab primer stres oksidatif dan berhubungan dengan akumulasi toksik (Oates, 2002).

2.2.1.5 Stres oksidatif

Hiperglikemia dapat menginduksi peningkatan produksi radikal bebas di mitokondria (Haanpää dan Hietaharju, 2015). Bersamaan dengan melemahnya pertahanan antioksidan, radikal bebas mengaktifkan jalur ataupun enzim perusak tambahan seperti jalur poliol, enzim poly(ADP-ribose) polymerase (PARP), dan glikasi non-enzimatik dari protein, menyebabkan peningkatan pembentukan AGEs yang terlibat dalam pembentukan radikal bebas (Zychowska dkk., 2013; Haanpää dan Hietaharju, 2015).


(34)

16

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, aktivasi jalur poliol merupakan penyebab primer stres oksidatif terkait diabetes. Stres oksidatif dapat memulai autooksidasi glukosa dan metabolitnya, meningkatkan pembentukan AGEs intraselular, meningkatkan ekspresi reseptor AGEs dan ligan yang mengaktifkannya, mengubah fungsi mitokondrial, aktivasi isoform PKC dan overaktivitas jalur heksosamin (Giacco dan Brownlee, 2010). Penelitian sebelumnya mendapatkan stres oksidatif disebabkan oleh pembentukan radikal bebas yang meningkat akibat metabolisme glukosa itu sendiri dan/atau defisit pada pertahanan antioksidan serta mungkin berperan penting pada mekanisme patogenik ND (Schreiber dkk., 2015).

2.2.1.6 Metilglioksal dan nyeri

Metilglioksal (MG) merupakan produk sampingan intraselular reaktif dari beberapa jalur metabolik, dengan sumber terpenting adalah glikolisis dan hiperglikemia, mampu mengaktifkan saraf tepi dan memodifikasi saluran natrium yang spesifik terhadap nosiseptor, yaitu Nav1.8 (Bierhaus dkk., 2012; Tesfaye dkk., 2013; Aslam dkk., 2014). Konsentrasi MG dalam plasma meningkat secara bermakna pada pasien NND dibandingkan kontrol orang sehat ataupun pasien diabetes tanpa nyeri (Bierhaus dkk., 2012). Sedangkan penelitian pada hewan menunjukkan bahwa MG dapat memperlambat konduksi saraf dan menyebabkan hiperalgesia termal dan mekanik. Hasil ini menunjukkan bahwa modifikasi MG pada Nav1.8 berperan dalam hiperalgesia terkait NND yang dihubungkan dengan peningkatan eksitabilitas listrik dan memfasilitasi firing neuron nosiseptif. (Bierhaus dkk., 2012; Spallone dan Greco, 2013; Tesfaye dkk., 2013).


(35)

17

2.2.1.7 Sensitisasi sentral

Nyeri neuropati diabetik merupakan konsekuensi perubahan sistem saraf pusat dan tepi. Selama terjadi NND, serabut aferen primer mengalami sensitisasi, menyebabkan hiperaktivitas kornu dorsalis dan perubahan neuroplastik pada neuron sensorik sentral (Schreiber dkk., 2015). Sensitisasi perifer dan impuls berlebih yang berkelanjutan di kornu dorsalis menyebabkan peningkatan respon terhadap rangsangan noksius maupun non noksius. Kejadian alodinia yang sering dialami pasien NND mendukung teori bahwa proses nyeri pada sistem saraf pusat mengalami perubahan, yang kemungkinan disebabkan oleh plastisitas struktural tunas serabut A-beta, yang mengarah ke pembentukan serabut kembali dari lamina kornu dorsalis dalam sistem saraf pusat (Aslam dkk., 2014).

Faktor yang dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron spinal pada ND adalah peningkatan glutamat yang lepas dari aferen primer medulla spinalis (Wang dkk., 2007). Lebih jauh lagi, ekspresi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) spinal akan bertambah dalam kondisi ini, menyebabkan pelepasan glutamat dan eksitasi pascasinaps yang lebih sering dan meningkat (Wang dkk., 2007; Bai dkk., 2014). Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan ekspresi NMDA dan pelepasan glutamat dapat berkontribusi terhadap hiperaktivitas medulla spinalis.

Di sisi lain, reseptor GABA-B mengalami regulasi turun di medulla spinalis pada pasien ND (Bai dkk., 2014). Aktivasi reseptor GABA-B menyebabkan inhibisi aktivitas reseptor NMDA melalui inhibisi langsung saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan serta pembukaan saluran kalium, serta meregulasi turun


(36)

18

reseptor NMDA di tingkat spinal pada tikus diabetes (Bai dkk., 2014; Schreiber dkk., 2015).

2.2.1.8 Modulasi simpatis nyeri

Serabut nosiseptif A-delta dan C normalnya tidak langsung terhubung ke sistem saraf simpatis. Teori yang sudah diterima secara luas yaitu sistem saraf simpatis tidak mengaktifkan sistem saraf sensorik dalam kondisi normal (Aslam dkk. 2014).

Neuropati menyebabkan hipersensitivitas pada saraf sebagai akibat transmisi abnormal yang dimediasi oleh epinefrin dari satu akson yang lain, disebut dengan transmisi epaptik (Aslam dkk., 2014). Saraf yang rusak di perifer juga menyebabkan pembentukan keranjang, disebut sprout simpatik di GRD, yang menghasilkan pelepasan noradrenalin, dan pada akhirnya menyebabkan hubungan saraf simpatik-sensorik (Kanno dkk., 2010). Hal ini menyebabkan peningkatan ektopik dan firing spontan, disebut sebagai nyeri yang dipertahankan secara simpatik (symphatetically maintained pain) (Aslam dkk., 2014).

2.2.2 Diagnosis Nyeri Neuropati Diabetik

Diagnosis NND merupakan diagnosis klinis yang berdasarkan deskripsi nyeri oleh pasien dengan penyebab nyeri neuropatik lainnya harus disingkirkan (Tesfaye dkk., 2010). Gejalanya dirasakan pada bagian tubuh distal, simetris, sering dihubungkan dengan perburukan nokturnal, dan seringkali dideskripsikan seperti tertusuk-tusuk, sakit di bagian dalam, tajam, seperti tersetrum, dan terbakar, serta sering ditemukan hiperalgesia dan alodinia pada pemeriksaan (Tesfaye dkk., 2013; Aslam dkk., 2014; Schreiber dkk., 2015). Sejumlah skala


(37)

19

penilaian numerik sederhana dapat digunakan untuk menilai frekuensi dan derajat nyeri. Derajat nyeri dapat dinilai dengan skala analog visual (VAS) ataupun skala penilaian nyeri numerik (NPRS) yang sudah banyak digunakan pada penelitian-penelitian mengenai nyeri. Sedangkan untuk menilai nyeri neuropatik, terdapat beberapa alat penapis yang dapat digunakan dengan mayoritas penelitian menggunakan Douleur Neuropathique en 4 Questions (DN4), Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs (LANSS), dan Pain Disability Quetionnaire (PD-Q). Setiap alat penapis memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri. Berdasarkan suatu ulasan oleh CDTH (2015) dari 14 penelitian mengenai akurasi diagnostik alat penapis, DN4 merupakan alat penapis yang paling baik dengan sensitivitas 76 sampai 100% dan spesifisitas 45 sampai 92% pada semua pasien dewasa dengan nyeri, lebih unggul dari LANSS, PD-Q, dan Neuropathic Pain Quetionnaire dalam mendeteksi suatu nyeri neuropatik.

Kuesioner DN4 pertama kali dikembangkan oleh kelompok nyeri neuropatik Perancis pada tahun 2005 untuk membedakan nyeri neuropatik dan non-neuropatik, berisi 10 komponen gabungan antara wawancara dan pemeriksaan fisik (Bouhassira dkk., 2005). Uji validasi DN4 sebagai alat penapis untuk NND oleh Spallone dkk. (2012) menunjukkan bahwa DN4 memiliki akurasi diagnostik yang tinggi dengan sensitivitas 80%, spesifisitas 92%, nilai prediktif positif 82%, dan nilai prediktif negatif sebesar 91%. Uji reliabilitas DN4 dalam Bahasa Indonesia telah dilakukan oleh Lestari dkk. (2013) dengan nilai kesepakatan antar pemeriksa sangat baik (κ=0,86).


(38)

20

2.2.3 Penatalaksanaan Nyeri Neuropati Diabetik

Penatalaksanaan NND didasarkan pada tiga pendekatan utama: kontrol glikemik intensif dan manajemen faktor risiko, pengobatan berdasarkan mekanisme patogenesis, dan terapi nyeri (Javed dkk., 2015). Memaksimalkan kontrol glukosa adalah tujuan utama pada pasien yang sudah menderita NND dan pada mereka yang memiliki risiko terkena NND (Haanpää dan Hietaharju, 2015). Meskipun bukti uji coba terkontrol masih kurang, beberapa penelitian observasional menunjukkan bahwa gejala neuropati membaik tidak hanya dengan kontrol glukosa optimal, tetapi juga dengan menghindari fluktuasi glukosa darah yang ekstrim (American Diabetes Association, 2012). Selain kontrol glukosa darah yang ketat, modifikasi gaya hidup dan penanganan faktor risiko kardiovaskular adalah cara penting untuk mencegah perkembangan NND (Haanpää dan Hietaharju, 2015).

Pengobatan berdasarkan patogenesis yang diusulkan meliputi asam α-lipoic (mencegah pembentukan spesies oksigen reaktif), benfotiamin (mencegah kerusakan vaskular pada diabetes) dan penghambat aldose reduktase (mengurangi fluks melalui jalur poliol) (Tesfaye dkk., 2013; Javed dkk., 2015; Schreiber dkk., 2015). Obat-obat tersebut masih dalam penelitian dan belum dijadikan sebagai acuan terapi dalam pedoman klinis untuk penanganan NND.

Pengobatan simtomatik NND tetap menjadi tantangan utama bagi para dokter karena patofisiologi yang masih belum dimengerti sepenuhnya serta perbaikan gejala nyeri belum memuaskan (Haanpää dan Hietaharju, 2015; Schreiber dkk., 2015). Secara umum pada uji klinis, penanganan NND dikatakan berhasil apabila


(39)

21

pasien mengalami perbaikan nyeri sebesar 50% (Schreiber dkk., 2015). Berbagai jenis obat, baik yang digunakan secara tunggal ataupun kombinasi menunjukkan perbaikan terhadap NND secara bermakna pada banyak uji klinis acak terkontrol, namun perbaikan nyeri tetap tidak memuaskan bagi sebagian besar pasien. Sejumlah pedoman klinis telah berkembang untuk menentukan perawatan yang paling efektif pada pasien NND. Keamanan dan efikasi obat NND biasanya dibandingkan melalui NNT (number needed to treat, jumlah yang dibutuhkan untuk mengobati) dan NNH (number needed to harm, jumlah yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek buruk) untuk mencapai perbaikan nyeri. Pemilihan agen lini pertama dan kedua berbeda antar pedoman karena perbedaan metodologi intrinsik dalam kriteria yang digunakan untuk menentukan efikasi (Javed dkk., 2015). Sebagian besar pedoman menyarankan penggunaan agen TCA, SNRI, ataupun analog GABA (gabapentin atau pregabalin) sebagai agen lini pertama diikuti oleh opioid dan obat topikal.

Sebuah tinjauan sistematis dan meta-analisis yang dihasilkan oleh Special Interest Group on Neuropathic Pain (NeuPSIG) IASP menyimpulkan bukti terkini mengenai farmakoterapi dan rekomendasi pengobatan obat lini pertama, kedua, dan ketiga untuk penanganan NND. Number needed to treat TCA adalah 3,6 (95% interval kepercayaan [IK] 3,0-4,4), SNRI 6,4 (5,2-8,4); pregabalin 7,7 (6,5-9,4), dan gabapentin 7.2 (5,9-9,21) (Finnerup dkk., 2015). Lidokain tempel dan tramadol direkomendasikan sebagai lini kedua, sedangkan opioid kuat seperti oksikodon dan morfin direkomendasikan sebagai lini ketiga. Rekomendasi untuk tapentadol, antiepilepsi, krim kapsaisin, klonidin topikal, antidepresan


(40)

22

penghambat reuptake serotonin seletif (SSRI, selective serotonin reuptake inhibitor), antagonis NMDA, dan terapi kombinasi belum dapat disimpulkan, terutama karena hasil temuan yang berbeda-beda (Finnerup dkk., 2015). Tabel 2.2 menunjukkan perbandingan rekomendasi pedoman klinis obat-obat yang digunakan mengatasi NND. Walaupun demikian, tidak semua agen yang telah disebutkan di atas mampu menghilangkan gejala NND seperti penelitian dasarnya (Zhang dkk., 2013).

Tabel 2.2

Perbandingan rekomendasi pedoman klinis obat NND (Javed dkk., 2015)

Selain farmakoterapi, pilihan pengobatan nonfarmakologi juga harus dipertimbangkan untuk mengatasi NND. Terapi kognitif-perilaku (CBT, cognitive behavioral therapy) mengurangi keparahan nyeri dan gangguan pada pasien dengan NND, menunjukkan bahwa CBT dapat membantu mereka memperoleh keterampilan untuk menjadi lebih aktif dan mengurangi nyeri (Otis dkk., 2013).


(41)

23

2.3 Metilkobalamin

Vitamin B12 merupakan vitamin yang terlibat dalam beberapa metabolisme seperti sintesis dan regulasi DNA, sintesis asam lemak, dan produksi energi (Zhang dkk., 2013). Vitamin B12 memiliki beberapa analog, tergantung gugus yang terikat dengan molekul utamanya, meliputi sianokobalamin (Snkbl), metilkobalamin (Mekbl), hidroksokobalamin (Hkbl), dan adenosilkobalamin (Adokbl) (McDowell, 2008; Mutiawati, 2012; Zhang dkk., 2013). Sianokobalamin dan hidroksokobalamin merupakan bentuk inaktif sehingga tidak dapat digunakan secara langsung dalam tubuh manusia dan harus diubah menjadi bentuk aktif seperti Mekbl atau Adokbl (Zhang dkk., 2013).

Gambar 2.3a Struktur Kimia Metilkobalamin (Zhang dkk., 2013)

Metilkobalamin merupakan bentuk aktif dari vitamin B12 yang sering digunakan sebagai nutrisi olahraga, mengatasi anemia pada orang lanjut usia, serta dapat digunakan sebagai terapi neuropati (Mutiawati, 2012; Zhang dkk., 2013). Metilkobalamin berbeda dari vitamin B12 karena gugus sianida digantikan oleh


(42)

24

kelompok metil (McDowell, 2008). Dibandingkan dengan analog lainnya, Mekbl adalah bentuk paling efektif yang diserap oleh organel subselular neuron, sehingga dapat menyediakan pengobatan yang lebih baik untuk gangguan saraf melalui efek sistemik ataupun lokal (Zhang dkk., 2013).

Sebagai agen tambahan, Mekbl telah digunakan untuk menangani banyak penyakit seperti defisiensi B12 dan penyakit Alzheimer (McCaddon dan Hudson, 2010). Metilkobalamin juga memiliki proteksi neuronal antara lain mendorong terjadinya regenerasi dan pemeliharaan fungsi saraf yang cedera sehingga dapat mengurangi impuls ektopik (Zhang dan Ning, 2008). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Mekbl dapat memperbaiki keluhan neuropati perifer, mengurangi nyeri neuropati pada penderita DM, meningkatkan konduksi saraf tanpa disertai adanya efek samping yang berarti pada penderita (Hai-yan dkk., 2005; Thanon dkk., 2005; Dongre dan Swami, 2013; Mutiawati dkk., 2015). 2.3.1 Farmakokinetik Metilkobalamin

Absorpsi Mekbl secara oral dibatasi oleh jumlah tempat pengikat faktor intrinsik-vitamin B12 pada mukosa ileum, sehingga tidak lebih dari 1500 mcg dosis oral tunggal yang dapat diabsorbsi, dengan puncak konsentrasi total vitamin B12 serum dicapai dalam 3 jam dan waktu paruh 12,5 jam (McDowell, 2008; Mutiawati, 2012). Pemberian Mekbl secara intramuskular (IM) dan intravena (IV) dengan dosis 500 mcg akan mencapai konsentrasi puncak 0,9 jam setelah pemberian secara IM dan 3 menit pada IV, dengan kenaikan puncak total konsentrasi vitamin B12 serum adalah 22,4 ng/mL (IM) dan 85,0 ng/mL (IV) (Eisai Co., Ltd., 2005).


(43)

25

Pada orang normal, sebagian besar (90%) vitamin B12 disimpan pada hepar dengan jumlah rata-rata 1,5 mg, sedangkan pada ginjal, jantung, lien, dan otak masing-masing mengandung sekitar 20-30 mcg (McDowell, 2008; Kaushansky dan Kipps, 2011). Penyimpanan vitamin B12 di dalam tubuh dapat melebihi seribu kali lipat dari kebutuhan harian (McDowell, 2008).

Ekskresi vitamin B12 yang berkisar antara 2 sampai 5 mcg per hari sebagian besar melalui empedu dan feses, dan sedikit melalui urin (McDowell, 2008; Kaushansky dan Kipps, 2011).

2.3.2 Farmakodinamik Metilkobalamin

Vitamin B12 berperan penting pada berbagai organ dan sistem tubuh, termasuk sistem saraf perifer dan sentral, yaitu dalam sintesis deoxyribonucleic acid (asam deoksiribonukleat, DNA) serta efek imunomodulator dan neurotropik berupa regenerasi saraf (Meliala dan Barus, 2008; Mutiawati, 2012). Dibandingkan dengan semua bentuk kobalamin lainnya, Mekbl merupakan yang terbaik (Meliala dan Barus, 2008; Zhang dkk., 2013) oleh karena diserap lebih baik oleh organel sel saraf, terlibat dalam sintesis timidin dari deoksiuridin, mendorong penggunaan asam folat yang tersimpan, serta mendorong terjadinya sintesis asam nukleat dan protein (Eisai Co. Ltd., 2014). Penelitian menunjukkan bahwa Mekbl mempunyai kemampuan unik untuk memicu regenerasi saraf tanpa efek samping yang membahayakan (Meliala dan Barus, 2008; Mutiawati dkk., 2015). Hal ini karena Mekbl memfasilitasi zat kimiawi pada saraf dan otak, juga berkaitan dengan sintesis DNA dan fosfolipid, terutama lesitin, yang pada


(44)

26

akhirnya mengaktifkan transpor aksonal dalam saraf serta mempercepat regenerasi selubung mielin (Meliala dan Barus, 2008; Mizukami dkk., 2011).

Gambar 2.3b Reaksi Metilasi, Pembentukan Timin dan Lesitin (Meliala dan Barus, 2008 dengan beberapa penyesuaian)

Sebagai koenzim dari metionin sintase, Mekbl diperlukan untuk pembentukan metionin dari homosistein dalam siklus metilasi yang meliputi metilasi DNA atau protein (Toohey, 2006; Mutiawati, 2012). Pada kondisi keseimbangan negatif metionin, homosistein diubah menjadi metionin dengan menerima gugus metil dari 5-metiltetrahidrofolat melalui kerja dari metionin sintase, menghasilkan timin, asam nukleat untuk sintesis protein yang dibutuhkan dalam pembentukan protein struktural neuron pada proses regenerasi saraf (Gambar 2.3b) (Zhang dan Ning, 2008).

Timin, protein DNA

Metionin Homosistein

Metilkobalamin 5-metil

tetrahidrofolat Tetrahidrofolat

S-adenosil-homosistein

S-adenosil metionin


(45)

27

2.3.3 Dosis Metilkobalamin

Dosis Mekbl untuk orang dewasa adalah 500 mcg setiap hari secara IM atau 3 kali seminggu secara IV dan 1500 mcg secara oral terbagi dalam 3 dosis, dapat disesuaikan tergantung pada usia dan gejala pasien (Eisai Co., Ltd., 2005; Andradi dkk., 2011).

2.3.4 Efek Samping Metilkobalamin

Metilkobalamin ditoleransi oleh tubuh dengan baik, dengan kejadian efek samping yang pernah dilaporkan pada sekitar 0,45% pasien yang mendapatkan injeksi Mekbl (Eisai Co. Ltd., 2005). Efek samping termasuk nyeri kepala dan sensasi rasa panas (kurang dari 1%), gejala saluran cerna seperti anoreksia, mual atau muntah, dan diare (kurang dari 1%), serta reaksi anafilaksis dan ruam hipersensitivitas (kurang dari 0,1%) (Meliala dan Barus, 2008).

2.4 Metilkobalamin sebagai Analgesik Ajuvan pada Nyeri Neuropati Diabetik

Analgesik ajuvan atau ko-analgesik merupakan obat dengan karakteristik farmakologi yang fungsi utamanya bukan sebagai analgesik tetapi pada praktek klinis ditemukan memiliki efek analgesik baik independen ataupun sebagai tambahan terhadap analgesik lainnya (Khan dkk., 2011). Selama bertahun-tahun, kelompok vitamin B12 telah digunakan dan dikategorikan sebagai obat analgesik pada beberapa negara. Penelitian-penelitian mengenai terapi Mekbl menunjukkan efek menguntungkan pada penderita NND berupa perbaikan gejala klinis seperti parestesia, nyeri terbakar, dan nyeri spontan secara bermakna (Sun dkk., 2005;


(46)

28

Zhang dkk., 2013). Suatu metaanalisis oleh Sun dkk. (2005) melaporkan bahwa pemberian Mekbl pada kasus ND memberikan efek yang menguntungkan berupa penurunan intensitas nyeri, perbaikan gejala otonom, serta perbaikan kecepatan hantar saraf pada pemeriksaan elektrofisiologi.

Beberapa kemungkinan mekanisme analgesik Mekbl telah diperkirakan oleh para ahli, seperti meningkatkan kecepatan konduksi saraf, mendorong regenerasi saraf yang cedera, dan menghambat cetusan ektopik spontan (Andradi dkk., 2011; Zhang dkk., 2013). Selain itu, Mekbl juga diketahui dapat meningkatkan availabilitas dan efektivitas noradrenalin dan 5-hidroksitriptamin pada sistem inhibisi nosiseptif desenden (Zhang dkk., 2013). Walaupun demikian, mekanisme pasti efek analgesik preparat tersebut masih tetap sulit dipahami sepenuhnya sampai saat ini.

Terdapat bukti penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian Mekbl dosis tinggi meningkatkan konduksi saraf pada pasien dengan ND. Bukti morfologi dan histologi mengkonfirmasi bahwa pemberian Mekbl jangka panjang mendorong terjadinya sintesis dan regenerasi mielin (Okada dkk., 2010). Perbaikan morfologi dan histologi mielin dapat meningkatkan kecepatan konduksi saraf dan fungsi neuronal pada neuropati perifer.

Metilkobalamin juga berperan dalam regenerasi saraf yang cedera, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya mengenai peran Mekbl dalam sintesis DNA, lesitin, dan timin. Metilkobalamin dapat mempercepat regenerasi saraf, terutama selubung mielin, sehingga tidak menyebabkan terjadinya remodeling dan hipereksitabilitas pada saraf sebagai sumber nyeri neuropatik (Meliala dan Barus,


(47)

29

2008; Zhang dan Ning, 2008; Andradi dkk., 2011; Mizukami dkk., 2011). Penelitian oleh Mutiawati dkk. (2015) juga menunjukkan bahwa terapi Mekbl berhasil menurunkan sprouting, menunjukkan bahwa terdapat proses regenerasi sel saraf pada tikus coba yang diberikan Mekbl.

Pada penderita DM, terbentuk neuroma yang merupakan tempat berakumulasinya saluran natrium dan saluran ion lainnya sebagai pemicu cetusan ektopik (Meliala dan Barus, 2008). Suatu cetusan ektopik spontan dapat memulai nyeri spontan, hiperalgesia, ataupun alodinia yang kerap dialami penderita NND. Metilkobalamin dapat memberikan efek proteksi terhadap neuron dan dapat mengurangi impuls ektopik (Zhang dan Ning, 2008). Menurut Zhang dkk. (2013), pemberian Mekbl pada hewan coba secara bermakna menghambat cetusan ektopik spontan pada GRD sehingga disimpulkan bahwa Mekbl memiliki efek anti alodinia dengan menghambat sinyal nyeri perifer. Begitupula menurut Andradi dkk. (2011) dalam konsensus nasional diagnostik dan penatalaksanaan nyeri neuropatik, Mekbl termasuk ke dalam terapi analgesik nyeri neuropatik sebagai obat anti ektopik karena memiliki efek mencegah cetusan ektopik serta mengurangi durasi nyeri pada nyeri neuropatik.


(1)

kelompok metil (McDowell, 2008). Dibandingkan dengan analog lainnya, Mekbl adalah bentuk paling efektif yang diserap oleh organel subselular neuron, sehingga dapat menyediakan pengobatan yang lebih baik untuk gangguan saraf melalui efek sistemik ataupun lokal (Zhang dkk., 2013).

Sebagai agen tambahan, Mekbl telah digunakan untuk menangani banyak penyakit seperti defisiensi B12 dan penyakit Alzheimer (McCaddon dan Hudson, 2010). Metilkobalamin juga memiliki proteksi neuronal antara lain mendorong terjadinya regenerasi dan pemeliharaan fungsi saraf yang cedera sehingga dapat mengurangi impuls ektopik (Zhang dan Ning, 2008). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Mekbl dapat memperbaiki keluhan neuropati perifer, mengurangi nyeri neuropati pada penderita DM, meningkatkan konduksi saraf tanpa disertai adanya efek samping yang berarti pada penderita (Hai-yan dkk., 2005; Thanon dkk., 2005; Dongre dan Swami, 2013; Mutiawati dkk., 2015). 2.3.1 Farmakokinetik Metilkobalamin

Absorpsi Mekbl secara oral dibatasi oleh jumlah tempat pengikat faktor intrinsik-vitamin B12 pada mukosa ileum, sehingga tidak lebih dari 1500 mcg dosis oral tunggal yang dapat diabsorbsi, dengan puncak konsentrasi total vitamin B12 serum dicapai dalam 3 jam dan waktu paruh 12,5 jam (McDowell, 2008; Mutiawati, 2012). Pemberian Mekbl secara intramuskular (IM) dan intravena (IV) dengan dosis 500 mcg akan mencapai konsentrasi puncak 0,9 jam setelah pemberian secara IM dan 3 menit pada IV, dengan kenaikan puncak total konsentrasi vitamin B12 serum adalah 22,4 ng/mL (IM) dan 85,0 ng/mL (IV) (Eisai Co., Ltd., 2005).


(2)

Pada orang normal, sebagian besar (90%) vitamin B12 disimpan pada hepar dengan jumlah rata-rata 1,5 mg, sedangkan pada ginjal, jantung, lien, dan otak masing-masing mengandung sekitar 20-30 mcg (McDowell, 2008; Kaushansky dan Kipps, 2011). Penyimpanan vitamin B12 di dalam tubuh dapat melebihi seribu kali lipat dari kebutuhan harian (McDowell, 2008).

Ekskresi vitamin B12 yang berkisar antara 2 sampai 5 mcg per hari sebagian besar melalui empedu dan feses, dan sedikit melalui urin (McDowell, 2008; Kaushansky dan Kipps, 2011).

2.3.2 Farmakodinamik Metilkobalamin

Vitamin B12 berperan penting pada berbagai organ dan sistem tubuh, termasuk sistem saraf perifer dan sentral, yaitu dalam sintesis deoxyribonucleic acid (asam deoksiribonukleat, DNA) serta efek imunomodulator dan neurotropik berupa regenerasi saraf (Meliala dan Barus, 2008; Mutiawati, 2012). Dibandingkan dengan semua bentuk kobalamin lainnya, Mekbl merupakan yang terbaik (Meliala dan Barus, 2008; Zhang dkk., 2013) oleh karena diserap lebih baik oleh organel sel saraf, terlibat dalam sintesis timidin dari deoksiuridin, mendorong penggunaan asam folat yang tersimpan, serta mendorong terjadinya sintesis asam nukleat dan protein (Eisai Co. Ltd., 2014). Penelitian menunjukkan bahwa Mekbl mempunyai kemampuan unik untuk memicu regenerasi saraf tanpa efek samping yang membahayakan (Meliala dan Barus, 2008; Mutiawati dkk., 2015). Hal ini karena Mekbl memfasilitasi zat kimiawi pada saraf dan otak, juga berkaitan dengan sintesis DNA dan fosfolipid, terutama lesitin, yang pada


(3)

akhirnya mengaktifkan transpor aksonal dalam saraf serta mempercepat regenerasi selubung mielin (Meliala dan Barus, 2008; Mizukami dkk., 2011).

Gambar 2.3b Reaksi Metilasi, Pembentukan Timin dan Lesitin (Meliala dan Barus, 2008 dengan beberapa penyesuaian)

Sebagai koenzim dari metionin sintase, Mekbl diperlukan untuk pembentukan metionin dari homosistein dalam siklus metilasi yang meliputi metilasi DNA atau protein (Toohey, 2006; Mutiawati, 2012). Pada kondisi keseimbangan negatif metionin, homosistein diubah menjadi metionin dengan menerima gugus metil dari 5-metiltetrahidrofolat melalui kerja dari metionin sintase, menghasilkan timin, asam nukleat untuk sintesis protein yang dibutuhkan dalam pembentukan protein struktural neuron pada proses regenerasi saraf (Gambar 2.3b) (Zhang dan Ning, 2008).

Timin, protein DNA

Metionin Homosistein

Metilkobalamin 5-metil

tetrahidrofolat Tetrahidrofolat

S-adenosil-homosistein

S-adenosil metionin


(4)

2.3.3 Dosis Metilkobalamin

Dosis Mekbl untuk orang dewasa adalah 500 mcg setiap hari secara IM atau 3 kali seminggu secara IV dan 1500 mcg secara oral terbagi dalam 3 dosis, dapat disesuaikan tergantung pada usia dan gejala pasien (Eisai Co., Ltd., 2005; Andradi dkk., 2011).

2.3.4 Efek Samping Metilkobalamin

Metilkobalamin ditoleransi oleh tubuh dengan baik, dengan kejadian efek samping yang pernah dilaporkan pada sekitar 0,45% pasien yang mendapatkan injeksi Mekbl (Eisai Co. Ltd., 2005). Efek samping termasuk nyeri kepala dan sensasi rasa panas (kurang dari 1%), gejala saluran cerna seperti anoreksia, mual atau muntah, dan diare (kurang dari 1%), serta reaksi anafilaksis dan ruam hipersensitivitas (kurang dari 0,1%) (Meliala dan Barus, 2008).

2.4 Metilkobalamin sebagai Analgesik Ajuvan pada Nyeri Neuropati

Diabetik

Analgesik ajuvan atau ko-analgesik merupakan obat dengan karakteristik farmakologi yang fungsi utamanya bukan sebagai analgesik tetapi pada praktek klinis ditemukan memiliki efek analgesik baik independen ataupun sebagai tambahan terhadap analgesik lainnya (Khan dkk., 2011). Selama bertahun-tahun, kelompok vitamin B12 telah digunakan dan dikategorikan sebagai obat analgesik pada beberapa negara. Penelitian-penelitian mengenai terapi Mekbl menunjukkan efek menguntungkan pada penderita NND berupa perbaikan gejala klinis seperti parestesia, nyeri terbakar, dan nyeri spontan secara bermakna (Sun dkk., 2005;


(5)

Zhang dkk., 2013). Suatu metaanalisis oleh Sun dkk. (2005) melaporkan bahwa pemberian Mekbl pada kasus ND memberikan efek yang menguntungkan berupa penurunan intensitas nyeri, perbaikan gejala otonom, serta perbaikan kecepatan hantar saraf pada pemeriksaan elektrofisiologi.

Beberapa kemungkinan mekanisme analgesik Mekbl telah diperkirakan oleh para ahli, seperti meningkatkan kecepatan konduksi saraf, mendorong regenerasi saraf yang cedera, dan menghambat cetusan ektopik spontan (Andradi dkk., 2011; Zhang dkk., 2013). Selain itu, Mekbl juga diketahui dapat meningkatkan availabilitas dan efektivitas noradrenalin dan 5-hidroksitriptamin pada sistem inhibisi nosiseptif desenden (Zhang dkk., 2013). Walaupun demikian, mekanisme pasti efek analgesik preparat tersebut masih tetap sulit dipahami sepenuhnya sampai saat ini.

Terdapat bukti penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian Mekbl dosis tinggi meningkatkan konduksi saraf pada pasien dengan ND. Bukti morfologi dan histologi mengkonfirmasi bahwa pemberian Mekbl jangka panjang mendorong terjadinya sintesis dan regenerasi mielin (Okada dkk., 2010). Perbaikan morfologi dan histologi mielin dapat meningkatkan kecepatan konduksi saraf dan fungsi neuronal pada neuropati perifer.

Metilkobalamin juga berperan dalam regenerasi saraf yang cedera, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya mengenai peran Mekbl dalam sintesis DNA, lesitin, dan timin. Metilkobalamin dapat mempercepat regenerasi saraf, terutama selubung mielin, sehingga tidak menyebabkan terjadinya remodeling dan hipereksitabilitas pada saraf sebagai sumber nyeri neuropatik (Meliala dan Barus,


(6)

2008; Zhang dan Ning, 2008; Andradi dkk., 2011; Mizukami dkk., 2011). Penelitian oleh Mutiawati dkk. (2015) juga menunjukkan bahwa terapi Mekbl berhasil menurunkan sprouting, menunjukkan bahwa terdapat proses regenerasi sel saraf pada tikus coba yang diberikan Mekbl.

Pada penderita DM, terbentuk neuroma yang merupakan tempat berakumulasinya saluran natrium dan saluran ion lainnya sebagai pemicu cetusan ektopik (Meliala dan Barus, 2008). Suatu cetusan ektopik spontan dapat memulai nyeri spontan, hiperalgesia, ataupun alodinia yang kerap dialami penderita NND. Metilkobalamin dapat memberikan efek proteksi terhadap neuron dan dapat mengurangi impuls ektopik (Zhang dan Ning, 2008). Menurut Zhang dkk. (2013), pemberian Mekbl pada hewan coba secara bermakna menghambat cetusan ektopik spontan pada GRD sehingga disimpulkan bahwa Mekbl memiliki efek anti alodinia dengan menghambat sinyal nyeri perifer. Begitupula menurut Andradi dkk. (2011) dalam konsensus nasional diagnostik dan penatalaksanaan nyeri neuropatik, Mekbl termasuk ke dalam terapi analgesik nyeri neuropatik sebagai obat anti ektopik karena memiliki efek mencegah cetusan ektopik serta mengurangi durasi nyeri pada nyeri neuropatik.