Pengaruh Modernisasi Administrasi Perpajakan terhadap Efektivitas Penerimaan Pajak (Studi Kasus pada KPP Pratama Jakarta Tanjung Priok).
This research is aimed to determine and analyze the influence of modernization of tax against tax revenue, which is done by the goverment to improve national taxes, has positive significant on the tax revenue official of tax pratama jakarta tanjung priok.The variables used in this research are the effects of modernitation administration tax as independent variable (X) and the effectiveness of tax revenue as dependent variable.
This research was descriptive by using survey research and by using the questionnaire as a research instrument, in the research sample is taken by Random Sampling. The object of research is the modernization of the Tax Administration and the effectiveness of tax revenue. Testing is done to test the validity of the research instruments used, which has the result of 0.772 and reliability, which has the result of 0.8019. For the processing of the data, analyzed by using statistical parametric regression analysis technique which has Y = 2,596 results + 0, 430X, and simple correlation with the results of 0,662, where data are obtained in the form of ordinal interval form converted into, as well as significant trial – t which has $ 1,701 results, research results show that there is a positive influence significantly the modernization of Tax Administration among The effectiveness of tax revenue, as retrieved that Ho is rejected. While the hypothesis presented in this research is the application of the modernization of the administration of Taxation has a significant positive influence on the modernization of tax administration to the effectiveness of the tax at Tax Official of Pratama Tanjung Priok, Jakarta.
(2)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis apakah Modernisasi Administrasi Perpajakan yaang dilakukan pemerintah dengan maksud untuk membenahi perpajakan negara berpengaruh positif signifikan terhadap Efektivitas Penerimaan Pajak pada Kantor Pelayanan Perpajakan Pratama Jakarta Tanjumg Priok. Variabel – variabel dalam penelitian ini adalah Pengaruh Modernisasi Administrasi Perpajakan sebagai variabel independent (X) dan Efektivitas Penerimaan Pajak sebagai variabel dependent (Y).
Penelitian ini bersifat deskriptif menggunakan bentuk penelitian survei dengan menggunakan kuesioner sebagai alat penelitian, sample dalam penelitian diambil secara Random Sampling. Objek penelitian adalah Modernisasi Administrasi Perpajakan dan Efektivitas Penerimaan Pajak. Pengujian yang dilakukan terhadap instrumen penelitian menggunakan uji Validitas,yang memiliki hasil sebesar 0,772 dan reliabilitas, yang memiliki hasil sebesar 0.8019. Untuk pengolahan data, dianalisis dengan menggunakan statistik parametrik dengan teknik analisis regresi yang memiliki hasil Y = 2,596 + 0,430X, dan korelasi sederhana yang memiliki hasil sebesar 0,662, dimana data yang diperoleh dalam bentuk ordinal dikonversi menjadi bentuk interval, serta uji signifikan –t yang memiliki hasil sebesar 1,701, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif signifikan antara Modernisasi Administrasi Perpajakan Terhadap Efektivitas Penerimaan Pajak, karena diperoleh bahwa Ho ditolak. Sedangkan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah penerapan Modernisasi Administrasi Perpajakan memiliki pengaruh positif yang signifikan Terhadap EfektivitasPenerimaan Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanjung Priok.
(3)
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRACT ... vii
ABSTRAK ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 9
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Kegunaan Penelitian ... 10
1.5Lokasi Penelitian ... 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS ... 12
2.1 Pengertian Pajak... 12
2.1.1 Definisi Pajak ... 12
2.1.2 Ciri-ciri Pajak ... 13
(4)
2.3.2 Menurut Sifatnya ... 20
2.3.3 Menurut Lembaga Pemungutnya ... 21
2.4Tata Cara Pemungutan Pajak ... 23
2.4.1 Kebijakan pajak(Tax Policies) ... 25
2.4.2 Undang – undang perpajakan (Tax Laws) ... 26
2.4.3 Administrasi pajak ( Tax Administration) ... 26
2.5 Reformasi perpajakan Indonesia ... 27
2.5.1 Reformasi Perpajakan ... 29
2.5.2 Modernisasi Administrasi Perpajakan ... 31
2.6 Struktur Organisasi dan Sistem Kerja ... 34
2.7 Perubahan Implementasi Pelayanan ... 36
2.7.1 Fasilitas Pelayanan yang Memanfaatkan Teknologi Informasi .. 37
2.7.2 Kode Etik DJP ... 38
2.7.3 Pelayanan ... 39
2.7.4 Standar Pelayanan Publik ... 40
2.7.5 Pelayanan Prima ... 41
2.7.6 Pelayanan Prima dan Pelayanan Publik ... 41
2.7.7 Strategi Pelayanan Direktorat Jenderal Pajak ... 42
2.8 Penerimaan Pajak ... 44
(5)
BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN ... 50
3.1 Objek Penelitian ... 50
3.1.1 Sejarah Singkat Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Jakarta Tanjung Priok ... 50
3.1.2Struktur Organisasi dan Susunan Organisasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP)Pratama Jakarta Tanjung Priok ... 55
3.1.3.Kedudukan dan Fungsi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Tanjung Priok ... 58
3.1.4 Produk yang dihasilkan Perusahaan ... 59
3.1.5 Masalah yang dihadapi ... 60
3.1.6 Kebijakan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanjung Priok ... 61
3.2 Metode Penelitian ... 62
3.2.1 Operasionalisasi Variabel ... 63
3.2.2 Penetapan Hipotesis ... 65
3.2.3 Penetapan Populasi ... 66
3.2.4 Penetapan Sampel ... 66
3.2.5 Teknik Pengumpulan Data ... 67
3.2.6Pengujian Instrumen ... 68
3.2.6.1 Uji Validitas ... 68
(6)
3.2.8.1 Analisis Regresi dan Korelasi Sederhana (Analisis
Regresi, Korelasi, Determinasi) ... 73
3.2.8.2 Pengujian Persamaan Regresi Berdasarkan Asumsi Klasik (Uji Normalitas) ... 76
3.2.9 Pengujian Hipotesis (Uji t, Penetapan Tingkat Signifikansi) ... 77
3.2.10 Penarikan Kesimpulan ... 78
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 79
4.1 Pelaksanaan Modernisasi Administrasi Perpajakan ... 79
4.2 Pengaruh Modernisasi Perpajakan Terhadap Efektivitas Penerimaan Pajak ... 80
4.2.1 Pengujian Reliabilitas ... 86
4.2.2 Analisis Data Tanggapan Responden ... 87
4.2.2.1 Gambaran Modernisasi Administrasi Perpajakan ... 89
4.2.2.2 Ringkasan Data Tanggapan Responden ... 97
4.2.3 Gambaran Efektivitas Penerimaan Pajak ... 99
4.2.3.1 Ringkasan Data Tanggapan Responden ... 103
4.3 Karakteristik Responden Pegawai Pajak ... 104
4.4Pengujian Hipotesa ... 106
(7)
DAFTAR PUSTAKA ... 116
LAMPIRAN ... 118
(8)
Tabel I Penerimaan Pajak dan Total Penerimaan Pajak ... 3
Tabel II Struktur Organisasi KPP Pratama Jakarta Tanjung Priok ... 56
Tabel III Pemberian Kode/skor untuk Alternatif jawaban ... 64
Tabel IV Operasionalisasi Variabel ... 65
Tabel V Standar Penilaian Koefisien Validitas dan Reliabilitas ... 71
Tabel VI Derajat Tingkat Hubungan Antar Variabel ... 75
Tabel VII Hasil Uji Validitas Kuesioner Modernisasi Administrasi Perpajakan 83 Tabel VIII Hasil Uji Validitas Kuesioner Efektivitas Penerimaan Pajak ... 85
Tabel IX Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner Penelitian ... 87
Tabel X Kriteria Skor Jawaban Responden Berdasarkan Nilai Rata-rata Skor ... 88
Tabel XI Sistem dan Struktur Organisasi Kantor Pelayanan Pajak ... 90
Tabel XII Implementasi Pelayanan Kantor Pelayanan Pajak... 92
Tabel XIII Fasilitas Pelayanan yang Memanfaatkan Teknologi Informasi ... 94
Tabel XIV Kode Etik Pegawai ... 96
Tabel XV Rekapitulasi Rata-Rata Skor Tanggapan Responden Mengenai Modernisasi administrasi perpajakan Yang Dilakukan ... 98
Tabel XVI Optimalisasi Penerimaan Pajak ... 99
Tabel XVII Rekapitulasi Rata-rata Skor Tanggapan Responden Mengenai Efektivitas Penerimaan Pajak ... 103
(9)
(10)
(11)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pajak merupakan sumber penerimaan utama negara yang digunakan untuk
membiayai pengeluaran pemerintah dan pembangunan. Hal ini tertuang dalam
Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dimana penerimaan pajak
merupakan penerimaan dalam negeri yang terbesar diantara bentuk-bentuk
penerimaan Negara. Semakin besarnya pengeluaran pemerintah dalam rangka
pembiayaan negara menuntut peningkatan penerimaan Negara. Tugas mulia
administrasi perpajakan, terutama administrasi pajak pusat, diemban oleh Direktorat
Jenderal Pajak sebagai salah satu instansi pemerintah yang secara struktural berada di
bawah Departemen Keuangan. Dengan visi menjadi model pelayanan masyarakat
yang menyelenggarakan sistem dan manajemen perpajakan kelas dunia yang
dipercaya dan dibanggakan masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak menetapkan salah
satu misinya, yaitu misi fiskal, adalah untuk menghimpun penerimaan dalam negeri
dari sektor pajak yang mampu menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah
berdasarkan undang-undang perpajakan dengan tingkat efektifitas dan efisiensi yang
tinggi.
Definisi pajak menurut Adriana yang dikutip dan dialihbahasakan oleh Waluyo dalam buku Perpajakan Indonesia (2007:2) adalah sebagai berikut:
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib pajak membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan
(12)
tifak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan”. Definisi pajak menurut Seligman yang dikutip dan dialih bahasakan oleh Wiratni Ahmadi dalam buku Perlindungan Hukum Bagi Wajib pajak dalam
Penyelesaian Sengketa Pajak (2006:6). adalah sebagai berikut:
“Pajak adalah suatu sumbangan suatu paksaan dari perorangan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran yang bertalian dengan
kepentingan orang banyak (umum) tanpa dapat ditunjukan adanya keuntungan khusus terhadapnya“.
Pajak terbagi atas 2 :
1. Pajak Negara:
- Pajak penghasilan,
- Pajak pertambahan nilai,
- Pajak Penjualan barang Mewah,
- Pajak Bumi dan Bangunan,
- Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan bangunan,
- Pajak Bea Masuk dan Cukai.
- Pajak Bea Materai.
2. Pajak Daerah:
- Pajak Kendaraan Bermotor,
(13)
Dalam perkembangan penerimaan pajak dan peranannya bagi penerimaan
dalam negeri di APBN sejak tahun 2002 dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1
Penerimaan Pajak dan Total Penerimaan Pajak Selama Periode 2002-2008
Sumber : Nota Keuangan APBN Perubahan 2008 (dalam milyarn rupiah)
Tahun Anggaran Penerimaan
Perpajakan (Rp)
Penerimaan
DalamNegeri (Rp)
% Penerimaan
Pajak
2002 210.087,5 298.527,5 70,37
2003 242.048,1 340.928,3 71,00
2004 280.558,8 403.104,6 69,60
2005 347.031,1 493.919,4 70,26
2006 409.203,0 636.153,1 64,32
2007 492.000,0 690.000,0 71,30
2008 583.675,6 759.324,7 76,87
Berdasarkan data diatas, dapat terlihat bahwa penerimaan pajak selama tahun
2002-2008 mengalami kenaikan. Pencapaian yang sangat menggembirakan ini
jangan sampai membuat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) lengah dalam pencapaian
target penerimaan pajak tahun-tahun berikutnya. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal
Pajak harus segera mengambil langkah-langkah strategis agar penerimaan pajak
selalu meningkat dari tahun ke tahun. Penerapan langkah-langkah strategis yang
dilakukan Direktorat Jenderal Pajak belum berjalan sesuai dengan harapan yang
diinginkan, seperti penegakan hukum serta peraturan perpajakan yang masih belum
(14)
pembaharuan yang paling mendasar adalah perubahan sistem pemungutan pajak dari
yang semula official assesment system menjadi self assesment system. Pada official
assesment system, besarnya pajak terutang wajib pajak ditentukan sepenuhnya oleh
fiskus selaku pemungut pajak, sedangkan self assesment system adalah suatu sistem
perpajakan yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk memenuhi dan
melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. Hal ini tentu saja
memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam mengurus masalah pajak. (Liberti Pandiangan,www.infopajak.com).
Dalam pelaksanaannya, pajak yang dijadikan tolak ukur pembangunan dalam
rangka mensejahterakan rakyat memuat kebijakan-kebijakan yang mendasari
pemungutannya, dimana wajib pajak dapat menikmati fasilitas kebijakan yang ada
dalam perpajakan. Salah satunya kebijakan pengampunan pajak (Sunset Policy)
dalam bentuk pengurangan dan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga bagi
wajib pajak yang membetulkan Surat Pemberitahuan (SPT) sebelum tahun 2007 dan
penghapusan sanksi administrasi berupa bunga bagi wajib pajak yang mendaftarkan
sebagai wajib pajak untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak. Perpanjangan
program sunset policy menyebabkan permohonan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) turun sekitar 84% dibandingkan dengan Desember 2008, karena
permohonan Nomor Pokok Wajib Pajak pada awal Januari 2009 lebih banyak untuk
kepentingan bebas fiskal ke luar negeri. (Hartoyo,www.pajak.go.id).
Sehubungan dengan pelaksanaan self assesment system, penerbitan Nomor
Pokok wajib Pajak tidak dapat berlangsung secara maksimal. Hal ini dikarenakan
(15)
penerbitan Nomor Pokok wajib Pajak baru. Wajib pajak yang telah memenuhi syarat
untuk mendaftarkan diri dan bagi yang tidak mendaftarkan diri dapat dikenakan
penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan oleh DJP. Yang dimaksud
dengan pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak (PKP) secara jabatan adalah pemberian NPWP dan atau pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak yang dilakukan terhadap wajib pajak atau Pengusaha Kena
Pajak yang memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak memenuhi kewajiban untuk
mendaftarkan diri dan atau melaporkan usahanya berdasarkan data yang diperoleh
dan dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Hal ini menunjukkan dengan jumlah Wajib Pajak terdaftar yang tercermin
dalam jumlah Nomor Pokok Wajib Pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal
Pajak selama puluhan tahun hanya mencapai sekitar 3,6 juta. Dengan jumlah Wajib
Pajak sebanyak itu, tax ratio pajak di Indonesia sangat kecil bila dibandingkan
dengan negara tetangga. Dari jumlah 3,6 jutapun hanya sebagian kecil yang
membayar pajak. Dari yang membayar pajakpun hanya sebagian kecil yang
menghitung dan melapor pajaknya secara benar.
Tugas pokok Kantor Pelayanan Pajak (KPP) adalah memberikan pelayanan
kepada masyarakat secara profersional dan terintegrasi, untuk mewujudkan hal
tersebut Kantor Pelayanan Pajak memerlukan SDM yang bermutu dan produktif.
Peningkatan kinerja aparat Kantor Pelayanan Pajak (KPP) merupakan salah satu isu
penting dalam reformasi kantor pajak. Peningkatan kinerja perlu dilakukan oleh KPP
mengingat pajak tersebut bersifat dinamik dan mengikuti perkembangan kehidupan
(16)
penerimaan, perbaikan-perbaikan dan perubahan mendasar dalam segala aspek
perpajakan menjadi alasan dilakukannya reformasi perpajakan dari waktu ke waktu,
yang berupa penyempurnaan terhadap kebijakan perpajakan dan sistem administrasi
perpajakan, agar basis pajak dapat semakin diperluas, sehingga potensi penerimaan
pajak yang tersedia dapat dipungut secara optimal dengan menjunjung asas keadilan
sosial dan memberikan pelayanan prima kepada Wajib Pajak. Diharapkan dengan
adanya peningkatan kinerja Kantor Pelayanan Pajak, dapat mewujudkan tujuan
straregis dari Kantor Pelayanan Pajak yaitu peningkatan pelayanan kepada Wajib
Pajak dan peningkatan kepatuhan dalam membayar pajak, sehingga Wajib Pajak
lebih taat dalam membayar pajak, dengan demikian penerimaan pajak juga akan
mengalami peningkatan.
Wujud nyata reformasi administrasi perpajakan tersebut diantaranya dapat
dilihat sejak akhir tahun 2003, dimulai perubahan mendasar pada sistem administrasi
perpajakan di lingkungan Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jendral Pajak (DJP)
jakarta khusus. Dengan perubahan tersebut, masyarakat wajib pajak didorong
menjadi warga negara yang patuh dan sadar dalam pemenuhan kewajiban
perpajakannya.
Administrasi Perpajakan merupakan prioritas tertinggi karena kemampuan
pemerintah untuk menjalankan fungsinya secara efektif bergantung kepada jumlah
uang yang dapat diperolehnya melalui pemungutan pajak.
Modernisasi perpajakan yang dilakukan merupakan bagian dari reformasi
perpajakan secara komprehensif sebagai satu kesatuan dilakukan terhadap 3 bidang
(17)
perpajakan, diharapkan terbangun pilar-pilar pengelolaan pajak yang kokoh sebagai
fundamental penerimaan pajak yang baik dan berkesinambungan.
Modernisasi sistem perpajakan dilingkungan Direktorat Jenderal Pajak
bertujuan untuk menerapkan Good Governance. Good governance merupakan
penerapan sistem administrasi perpajakan yang transparan dan akuntabel, dengan
memanfaatkan sistem informasi teknologi yang handal dan terkini. Strategi yang
ditempuh adalah pemberian pelayanan prima sekaligus pengawasan intensif kepada
para wajib pajak. Selain itu untuk mencapai tingkat kepatuhan pajak yang tinggi,
meningkatkan kepercayaan administrasi perpajakan dan mencapai tingkat
produktivitas pegawai yang tinggi. Pengelolaan pajak mengalami perubahan besar
yang terus dikembangkan ke arah modernisasi. Dengan demikian optimalisasi
penerimaan pajak dapat terlaksana dengan baik, efektif, dan efisien.
Salah satu contoh sulitnya administrasi pajak di negara kita ini yang
menjadikan wajib pajak menjadi tidak patuh adalah dimana seorang calon wajib
pajak yang ingin mendaftarkan usahanya dan sudah mengumpulkan data-data
pendukung yang harus dilampirkannya, akan tetapi setelah sesampainya di Kantor
Pelayanan Pajak yang dituju, ternyata ada data-data yang kurang. Data yang kurang
tersebut tidak tercantum dalam peraturan per-44/PJ/2008 pada formulir permohonan
pembuatan Nomor Pokok Wajib Pajak yang telah dibuat sebelumnya, sehingga calon
wajib pajak tersebut harus kembali dan melengkapi syarat-syarat yang telah
ditentukan. (http:/PajakOnline.com/Firman 2009:2).
Pelayanan perpajakan akses atau perolehan informasi perpajakan di suatu
kantor dilakukan di beberapa seksi terkadang terasa sulit, sehingga kondisi ini
(18)
Salah satu keterbatasan yang menjadi kendala adalah pembayaran pajak di Bank
banyak masyarakat yang mengeluh, karena terkadang jam kerja untuk melayani
pajak sangat terbatas.
Dari kondisi di atas, dapat di lihat hal yang melatarbelakangi dilakukannya
modernisasi perpajakan pada awal dekade 2000, yaitu:
1. Citra DJP yang dinilai harus diperbaiki dan ditingkatkan,
2. Tingkat kepercayaan terhadap administrasi perpajakan harus ditingkatkan,
3. Integritas dan produktifitas sebagai pegawai yang masih harus ditingkatkan.
Biaya remunerasi diberikan kepada pegawai untuk meningkatkan
kesejahteraan para pegawai. Diharapkan akan ada peningkatan kinerja dari para
pegawai, dan yang paling utama, untuk mencegah terjadinya korupsi dan
suapmenyuap. Untuk para pegawai Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai, jumlah
remunerasi yang akan mereka terima akan jauh lebih tinggi dibandingkan direktorat
yang lain. Alasannya, karena mereka bertanggung jawab menghimpun sebagian
besar penerimaan negara.
Dengan adanya sistem administrasi modern maka Direktorat Jenderal Pajak
dapat mengetahui jumlah wajib pajak melalui Surat Ketetapan Pajak yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Berikut ini disajikan data mengenai
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagai gambaran bahwa wajib
pajak tidak melakukan kewajiban perpajakannya. Sistem administrasi memegang
peran penting. Unit-unit penting sebagai kunci strategis dalam organisasi
pengadministrasian (Kantor Pelayanan Pajak) sebagai operating arms dari
(19)
konfirmasi antar unit kunci strategis (KPP) dan juga memudahkan Wajib Pajak yang
melakukan restitusi, dalam hal penerimaan jawaban konfirmasi.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa administrasi perpajakan
berperan penting dalam sistem perpajakan di suatu negara dapat dengan sukses
mencapai sasaran yang diharapkan dalam menghasilkan penerimaan pajak yang
optimal karena administrasi perpajaknnya mampu dengan efektif melaksanakan
sistem perpajakan di suatu negara yang terpillih. Oleh karena itu penulis merasa
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Modernisasi Administrasi Perpajakan Terhadap Efektivitas Penerimaan Pajak Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanjung Priok ”.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka peneliti
merumuskan beberapa masalah yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah KPP Pratama Jakarta Tanjung Priok menerapkan
Modernisasi Administrasi Perpajakan.
2. Sejauh mana pengaruh Modernisasi Administrasi Perpajakan terhadap
Efektivitas Penerimaan Pajak.
1.3 Maksud dan Tujuan penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data dan informasi dari
objek penelitian Modernisasi Administrasi Perpajakan Terhadap Efektivitas
(20)
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan sistem Modernisasi Administrasi Perpajakan
pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanjung Priok.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pelaksanaan sistem Modernisasi
Administrasi Perpajakan Terhadap Efektivitas Penerimaan Pajak pada
kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanjung Priok.
1.4 Kegunaan penelitian
Berdasarkan tujuan yang diungkapkan di atas, maka penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi Peneliti
Dapat menambah wawasan yang lebih luas dan dalam mengenai Modernisasi
Administrasi Perpajakan.
2. Bagi Direktorat Jenderal Pajak
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna untuk
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan
kebijakan-kebijakan selanjutnya yang berkaitan langsung dengan pelayanan kepada
wajib pajak.
3. Bagi KPP Pratama Jakarta Tanjung Priok.
Dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan memperolehgambaran
langsung bagaimana modernisasi administrasi perpajakan mempengaruhi
penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanjung
(21)
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat dijadikan sumber informasi dan referensi dalam penelitian sejenis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan sebagai
tambahan pengetahuan di bidang modernisasi administrasi perpajakan terhadap
efektivitas penerimaan pajak.
1.5 Lokasi Penelitian
Penelitian dan pengumpulan data dilakukan pada Kantor Wilayah Direktorat
(22)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1 Pengertian Pajak
Pajak merupakan Iuran yang dipungut oleh pemerintah kepada rakyat yang
sifatnya dipaksakan, tanpa memandang kaya atau miskin. Iuran pajak yang dipungut
oleh pemerintah ini akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
Negara.
2.1.1 Definisi Pajak
Pajak merupakan salah satu penghasilan yang sangat penting bagi pemerintah
untuk mencapai tujuan Ekonomi, Sosial dan Politik.
Definisi pajak menurut Seligman yang dikutip dan dialih bahasakan oleh Wiratni Ahmadi dalam buku Perlindungan Hukum Bagi Wajib pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak (2006:6) adalah sebagai berikut:
“Pajak adalah suatu sumbangan suatu pakasan dari perorangan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran yang bertalian dengan
kepentingan orang banyak (umum) tanpa dapat ditunjukkan adanya keuntungan khusus terhadapnya“.
(23)
Sedangkan definisi pajak menurut Adriana yang dikutip dan dialihbahasakan oleh Waluyo dalam buku Perpajakan Indonesia (2007:2) adalah sebagai berikut:
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib pajak membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan
tifak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan”. Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa yang berhak memungut pajak dari
rakyat adalah negara, pajak dipungut berdasarkan undang-undang tanpa timbal jasa
dari negara secara langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai
rumah tangga negara, yakni pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat.
2.1.2 Ciri-Ciri Pajak
Setelah kita mengetahui definisi tentang pajak, maka kita perlu juga
mengetahui ciri-ciri pajak yang melekat pada definisi tersebut. Berikut ini penulis
akan memberikan pendapat dari beberapa ahli perpajakan tentang ciri-ciri pajak.
Ciri-ciri pajak menurut Mohammad Zain dalam buku Manajemen Perpajakan (2005:12) adalah sebagai berikut:
1. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
(24)
2. Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana (sumber daya) dari
sektor swasta (Wajib Pajak membayar pajak) ke sektor negara (pemungut
pajak/administrasi pajak).
3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin
maupun pembangunan.
4. Tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan (kontraprestasi) individu oleh
pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para Wajib
Pajak.
5. Selain fungsi budgetair (anggaran) yaitu fungsi mengisi kas negara atau
anggaran negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan
penyelenggaraaan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan
sosial (fungsi mengatur/regulatif).
Sedangkan ciri-ciri pajak menurut Mardiasmo dalam buku Perpajakan (2003:1) adalah sebagai berikut:
1. Iuran rakyat kepada negara.
2. Berdasarkan undang-undang.
3. Tanpa jasa imbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat
ditunjukkan.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni
(25)
Dari penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa definisi pajak
tidak terlepas dari karakteristik atau ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang yang sifatnya dapat dipaksakan. 2. Tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah.
4. Pajak diperuntukan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam
rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
2.2 Fungsi Pajak
Fungsi pajak tidak terlepas dari tujuan pajak, sementara tujuan pajak tidak
terlepas dari tujuan negara. Dengan demikian, tujuan pajak itu harus diselaraskan
dengan tujuan negara yang menjadi landasan tujuan pemerintah.
Tujuan pemerintah, baik tujuan pajak maupun tujuan negara semuanya
berakar pada tujuan masyarakat. Tujuan masyarakat inilah yang menjadi falsafah
bangsa dan negara. Oleh karena itu, tujuan dan fungsi pajak tidak terlepas dari tujuan
dan fungsi negara yang mendasarinya.
Berdasarkan definisi-definisi dan ciri-ciri pajak yang telah dijelaskan di atas,
terlihat seolah-olah pemerintah memungut pajak semata-mata hanya untuk mengisi
kas negara. Namun tidak demikian, karena pemungutan pajak mempunyai fungsi
(26)
Fungsi pajak menurut Mardiasmo dalam buku Perpajakan (2003:1) adalah sebagai berikut:
“Ada dua fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair dan fungsi mengatur (regulerend)”.
Sedangkan fungsi pajak menurut Siti Resmi dalam buku Perpajakan Teori dan Kasus (2003:2) adalah sebagai berikut:
“Terdapat dua fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair (sumber keuangan negara) dan fungsi regulerend (mengatur)”.
Berdasarkan pengertian di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pajak
mempunyai dua fungsi yaitu fungsi budgetair dan fungsi mengatur (regulerend).
Uraian mengenai fungsi pajak tersebut adalah sebagai berikut:
A. Fungsi budgetair atau fungsi Penerimaan.
Penerimaan pajak yang bersumber dari masyarakat digunakan oleh
pemerintah sebagai sumber dana untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya atau
yang sering disebut sebagai fungsi budgetair atau fungsi penerimaan.
Fungsi budgetair menurut Mardiasmo dalam buku Perpajakan (2003:1) adalah sebagai berikut:
“Fungsi budgetair artinya pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya”.
Sedangkan fungsi budgetair menurut Siti Resmi dalam buku Perpajakan Teori dan Kasus (2003:2) adalah sebagai berikut:
(27)
“Pajak mempunyai fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun
pembangunan. Sebagai sumber keuangan kas negara, pemerintah berupaya
memasukan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut
ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan
pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain-lain”
Dari kedua definisi tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam fungsi
budgetair ini, pajak berfungsi sebagai salah satu sumber penerimaan negara dengan
mengukur sampai sejauhmana kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak yang
hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara.
B. Fungsi regulerend atau Fungsi Mengatur.
Tetapi, dengan adanya perkembangan waktu dan tingkat pendidikan
masyarakat dan sistem pemrintahan, maka pemungutan pajak mulai dibicarakan
ditingkat para wakil rakyat dan mincul tujuan serta fungsi tambahan diluar fungsi
budgetair, yaitu regulerend atau fungsi mengatur.
Fungsi regulerend menurut Mardiasmo dalam buku Perpajakan (2003:1) adalah sebagai berikut:
“Fungsi mengatur (regulerend) artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi”.
Sedangkan fungsi regulerend menurut Waluyo dan Wirawan B.Ilyas dalam buku Perpajakan Indonesia (2003:8) adalah sebagai berikut:
(28)
“Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang Sosial dan Ekonomi”.
Dalam hal ini, pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur dan
mengerahkan masyarakat kearah yang dikehendaki pemerintah. Oleh karena itu,
fungsi mengatur ini menggunakan pajak untuk mendorong dan mengendalikan
kegiatan masyarakat agar sejalan dengan rencana dan keinginan pemerintah. Dengan
adanya fungsi mengatur, kadang-kadang dari sisi penerimaan (fungsi budgetair)
justru tidak menguntungkan terhadap kegiatan masyarakat yang bersifat negatif, bila
fungsi regulerend itu dikedepankan, maka pemerintah justru dipandang berhasil
apabila pemasukan pajaknya kecil. Sebagai contoh minuman keras dikenakan pajak
yang tinggi agar konsumsi minuman keras dapat ditekan.
Dari kedua definisi tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa fungsi
regulerend sangat erat kaitannya dengan keinginan pemerintah untuk mengatur
penerimaan pajaknya agar dapat digunakan secara efisien untuk menciptakan
kesejahteraan masyarakat.
2.3 Pengelompokan pajak
Berdasarkan definisi dan fungsi pajak, pajak yang dipungut oleh negara kita
beranekaragam. Daya beli masyarakat kita pun berbeda-beda atau bervariasi. Ada
yang penghasilannya tinggi sehingga daya belinya pun tinggi, ada yang daya belinya
rendah, karena penghasilannya rendah dan ada pula penghasilan menengah sehingga
(29)
pemahaman masyarakat tentang jenis pajak, misalnya jenis pajak apa yang harus
masyarakat bayar dan berapa jumlahnya. Oleh karena itu, untuk mempermudah
pemahaman tentang pembagian jenis pajak, maka pajak harus dikelompokkan.
Pajak dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis dilihat dari berbagi segi,
yaitu misalnya dilihat dari segi golongannya, dari segi sifatnya, dan pembagian pajak
menurut lembaga pemungutnya.
2.3.1 Menurut Golongannya
Pengelompokkan pajak menurut golongannya, seperti yang ditulis oleh
Waluyo dan Wirawan B.Ilyas dalam buku Perpajakan Indonesia (2003:13)
adalah sebagai berikut:
Menurut Golongannya:
a) Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan
kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang
bersangkutan. Sebagai contoh : Pajak Penghasilan.
b) Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan
ke pihak lain. Sebagai contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
Sedangkan pengelompokkan pajak menurut golongannya, seperti yang ditulis
oleh Mardiasmo dalam buku Perpajakan (2003:5) adalah sebagai berikut:
(30)
a) Pajak langsung yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan
tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak
Penghasilan.
b) Pajak tidak langsung yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
Dari kedua definisi diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pembagian
pajak menurut golongannya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pajak langsung
dan pajak tidak langsung. Pajak langsung merupakan pajak yang tidak dapat
dilimpahkan kepada orang lain dan harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak,
sedangkan pajak tidak langsung merupakan pajak yang dapat dilimpahkan kepada
orang lain.
2.3.2 Menurut Sifatnya
Pengelompokkan pajak menurut sifatnya seperti yang ditulis oleh Waluyo dan Wirawan B.Ilyas dalam buku Perpajakan Indonesia (2003:13) adalah sebagai berikut:
Menurut Sifatnya:
a) Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti
memperhatikan keadaaan diri Wajib Pajak. Contoh Pajak Penghasilan.
b) Pajak objektif yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai
(31)
Sedangkan pengelompokkan pajak menurut sifatnya juga diungkapkan oleh
Mardiasmo dalam buku Perpajakan (2003:5) adalah sebagai berikut:
a) Pajak subjektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya,
dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak
Penghasilan.
b) Pajak objektif yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Dari kedua definisi tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa pengelompokkan
pajak menurut sifatnya dapat digolongkan menjadi dua yaitu pajak subjektif dan
pajak objektif. Pajak subjektif yaitu pajak yang dalam pengenaannya disesuaikan
dengan keadaan dan kondisi Wajib Pajak. Jika penghasilan Wajib Pajak besar maka
pajaknya pun akan besar begitu pula sebaliknya. Jadi tarif pajak disesuaikan dengan
kondisi Wajib Pajak. Sedangkan pajak objektif yaitu tarif pajak ditentukan
berdasarkan nilai dari objek pajak tersebut dan tidak memperhatikan keadaan dan
kondisi Wajib Pajak.
2.3.3 Menurut Lembaga Pemungutnya
Pengelompokkan pajak menurut lembaga pemungutnya seperti yang ditulis
oleh Mardiasmo dalam buku Perpajakan (2003:6) adalah sebagai berikut:
Pengelompokkan pajak menurut lembaga pemungutnya:
a) Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan
(32)
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan
Bangunan, dan Pajak Bea Materai.
b) Pajak daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak daerah terdiri dari :
1. Pajak Provinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di
atas air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
2. Pajak Kabupaten atau Kota, contoh: Pajak Restoran, Pajak Hiburan,
Pajak Reklame dan pajak Penerangan jalan.
Sedangkan pengelompokan pajak menurut lembaga pemungutnya, dinyatakan
oleh Waluyo dan Wirawan B.Ilyas dalam buku Perpajakan Indonesia (2003:13) adalah sebagai berikut:
Menurut lembaga pemungutnya:
a) Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Bea Materai.
b) Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak
Reklame, Pajak Hiburan, dal lain-lain.
Dari kedua definisi diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
(33)
pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah
pusat yang akan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Sedangkan pajak
daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yang akan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah.
2.4 Tata Cara Pemungutan Pajak 1. Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel
1) Stelsel nyata (riel stalsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehinnga
pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah
penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan
atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang
dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahan-kelemahannya adalah pajak
baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
2) Stelsel anggaran ( Fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang ditur oleh
undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun
sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya
pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah
pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir
tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan
(34)
3) Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan,
kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan
sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak
menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih
kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
2. Asas Pemungutan Pajak
1) Asas domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang
bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam
amupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.
2) Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
3) Asas kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya
pajak bangsa asing di Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini
berlaku untuk Wajib Pajak Luar Negeri.
3. Sistem Pemungutan Pajak 1) Official Assessment System
(35)
Dalam sistem ini wewenang pemungutan pajak pada fiskus. Fiskus berhak
menentukan besarnya utang pajak orang pribadi maupun badan dengan
mengeluarkan surat ketetapan pajak, yang merupakan bukti timbulnya suatu
utang pajak. Dalam sistem ini Wajib Pajak bersifat pasif dan menunggu
ketetapan fiskus mengenai utang pajaknya.
2) Semi Self Assessment System dan With holding System
self assessment system adalah sistem pemungutan pajak dimana untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada kedua
belah pihak yaitu Wajib Pajak dan fiskus. Di Indonesia sistem semi self
assessment ditetapkan dengan withholding system. Withholding system adalah
suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh pihak ketiga.
3) Full Self Assessment Sytem
Sistem yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri besarnya
pajak yang harus disetorkan. Konsekuensi dari sistem ini adalah masyarakat
harus mengetahui tata cara penghitungan pajak, cara pelunasan pajak serta
untuk meningkatkan kesadaran dan peran aktif masyarakat.
2.4.1 Kebijakan pajak(Tax Policies)
Kebijakan pajak adalah kebijakan fiskal dalam arti yang sempit. Kebijakan
fiskal dalam arti yang luas adalah kebijakan untuk mempengaruhi produksi
(36)
pemungutan pajak dan pengeluaran belanja negara. Sementara itu, pengertian
kebijakan fiskal dalam arti sempit adalah kebijakan yang berhubungan dengan
penentuan apa yang akan dijadikan sebagai tax base, siapa-siapa yang dikenakan
pajak, siapa-siapa yang dikecualikan, apa-apa yang akan dijadikan sebagai objek
pajak, apa-apa saja yang dikecualikan, bagaimana menentukan besarnya pajak yang
terutang dan bagaimana menentukan prosedur pelaksanaan kewajiban pajak .
2.4.2 Undang – undang perpajakan (Tax Laws)
Undang-undang pajak menyangkut peraturan perpajakan yang sangat penting
dan fundamental dalam sistem perpajakan nasional yang baik dan kokoh.
Undang-undang perpajakan diatur dan ditetapkan langsung dalam UUD 1945 pasal 23A.
Undang-undang perpajakan meliputi Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (KUP), undang Pajak Penghasilan (UU PPh),
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN
dan PPnBM), Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (UU PBB dan BPHTB), Undang-undang Bea Materai (UU
BM), Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Undang-undang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-undang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
diganti dengan Pengadilan Pajak.
2.4.3 Administrasi pajak ( Tax Administration)
Administrasi pajak dalam arti luas meliputi fungsi, sistem dan
(37)
manusia juga merupakan salah satu tolak ukur kinerja admnistrasi pajak.
Administrasi perpajakan memegang peranan yang sangat penting karena seharusnya
bukan saja sebagai perangkat laws enforcemen, tetapi lebih penting daripada itu
sebagai service point yang memberikan pelayanan prima kepada masyarakat
sekaligus pusat informasi perpajakan. Pelayanan seharusnya tidak boleh lagi
dilakukannya ala kadarnya karena akan membentuk citra yang kurang baik, yang
pada akhirnya akan merugikan pemerintah jika image tersebut ternyata membentuk sikap ”taxphobia”.
2.5 Reformasi Perpajakan Indonesia
Reformasi perpajakan di Indonesia pertama kali diluncurkan pada tahun
1983, dengan perombakan sistem perpajakan paling mendasar, yaitu digantikannya
sistem official assessment menjadi self assessment. Abdul Asri Harahap dalam buku “Paradigma Baru Perpajakan” (2004:33) mengungkapkan bahwa embrio sistem ini sebenarnya sudah mulai diterapkan tahun 1967 melalui Undang-undang No. 8
Tahun 1967 jo. PP No. 11 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak atas
Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan dan Pajak Kekayaan, yang lebih dikenal dengan
sistem Menghitung Pajak Sendiri/Menghitung Pajak Orang (MPS/MPO). Akan tetapi
pada saat itu, sistem ini gagal karena tidak didukung oleh kesiapan aparat perpajakan
maupun masyarakat Wajib Pajak.
Melalui reformasi perpajakan 1983, diluncurkanlah Undang-undang No.
6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU No. 7/1983
(38)
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM). Pada tahun 1985,
diluncurkan pula UU No. 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan UU
No. 13/1985 tentang Bea Meterai.
Pada tahun 1994, pemerintah merilis reformasi perpajakan kedua untuk
merespon berkembangnya perekonomian nasional dan pengaruh globalisasi dunia
yang semakin kuat. Saat itu, Pemerintah dengan persetujuan DPR mengundangkan 4
(empat) UU, yaitu UU No. 9/1994 tentang perubahan atas UU No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU No. 10/1994 tentang
perubahan atas UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), UU No. 11/1994
tentang perubahan atas UU No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM), UU No. 12/1994 tentang
perubahan atas UU No. 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Reformasi perpajakan tahun 1994 banyak mengadopsi perkembangan baru di bidang
perpajakan, khususnya secara teknis perpajakan yang semakin mengurangi
kesenjangannya dengan praktik akuntansi. Namun, kritik banyak dikemukakan oleh
para pakar, khususnya diberikannya banyak fasilitas perpajakan yang sebelumnya
melalui reformasi perpajakan 1983 telah dihapuskan. Reformasi perpajakan tahun
1994 diikuti pula dengan pengundangan 4 (empat) UU baru di bidang perpajakan,
yaitu UU No. 17/1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), UU No.
18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), UU No. 19/1997
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP), dan UU No. 21/1997 tentang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB). Dari sini bisa dilihat
(39)
hukum yang lebih baik.
Tahun 2000, kembali Pemerintah menyusun reformasi perpajakan, ditandai
oleh 5 (lima) undang-undang baru, yaitu UU No. 16/2000 tentang perubahan kedua
atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU
No. 17/2000 tentang perubahan ketiga atas UU No. 7/1983 tentang Pajak
Penghasilan, UU No. 18/2000 tentang perubahan kedua atas UU No. 8/1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, UU No. 19/2000
tentang perubahan atas UU No. 19/1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa (PPSP), dan UU No. 20/2000 tentang perubahan atas UU No. 21/1997 tentang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB).
Mengiringi reformasi perpajakan tahun 2000, pada tahun 2002 pemerintah
juga meluncurkan UU No. 14/2002 tentang Pengadilan Pajak (PP) untuk
menggantikan UU No. 17/1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP).
Perubahan ini cukup kruisial karena merombak struktur badan peradilan pajak yang
sebelumnya dikendalikan penuh oleh Direktorat Jenderal Pajak menjadi suatu badan
peradilan independen yang tunduk pada struktur peradilan di bawah Mahkamah
Agung. Tahun 2007 pemerintah mengeluarkan UU No. 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
2.5.1 Reformasi Perpajakan
Menurut Gunadi dalam bukunya “Rasionalisasi Reformasi Administrasi Perpajakan” (2004), “Pajak ini mengikuti fenomena kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Di setiap perubahan kehidupan sosial perekonomian masyarakat maka
(40)
sudah sepantasnyalah bahwa pajak harus mengadakan reformasi”. Sedangkan menurut Williamson dalam “Mas’oed” (1994:60) menyatakan bahwa reformasi perpajakan meliputi perluasan basis perpajakan, perbaikan administrasi perpajakan,
mengurangi terjadinya penghindaran dan manipulasi pajak, serta mengatur
pengenaan pada asset yang berada di luar negeri. Aviliani dalam buku “Reformasi Perpajakan Indonesia” (2003:27) berpendapat bahwa tujuan utama reformasi perpajakan adalah untuk menegakkan
Kemandirian ekonomi dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan
lebih mengerahkan kemampuan sendiri. Secara bertahap, pajak diharapkan bisa
mengurangi ketergantungan utang luar negeri. Dalam hal ini, reformasi perpajakan
akan menjadikan sistem yang berlaku menjadi lebih sederhana, yang mencakup
penyederhanaan jenis pajak, tarif pajak dan pembayaran pajak. Meliputi pula
pembenahan aparatur perpajakan yang menyangkut prosedur, tata kerja, disiplin dan
mental. Dengan reformasi perpajakan secara menyeluruh, diharapkan jumlah Wajib
Pajak akan semakin luas serta beban pajak akan semakin adil dan wajar, sehingga
mendorong Wajib Pajak untuk merasa puas atas sistem perpajakan Indonesia dan
membayar kewajibannya serta menghindarkan diri dari aparat pajak yang mengambil
keuntungan untuk kepentingan pribadi.
Dalam bidang kebijakan, reformasi perpajakan dilakukan dengan melakukan
penyempurnaan dalam Undang-Undang (UU) KUP, UU PPh, dan UU PPN.
Semangat yang hendak dicapai dalam reformasi Undang-undang ini adalah untuk
meningkatkan daya saing sistem perpajakan Indonesia, menyederhanakan prosedur,
(41)
Dalam bidang reformasi administrasi, program yang lebih luas yang sedang
dilaksanakan mencakup semua segi administrasi perpajakan, termasuk
penyederhanaan prosedur perpajakan, peningkatan kesadaran dan kepedulian
masyarakat melalui kampanye sadar dan peduli pajak, penegakan hukum melalui
pemeriksaan dan penagihan aktif, serta pembenahan sumber daya manusia melalui
reformasi moral dan etika.
Reformasi ini diharapkan mampu menjawab tantangan pelaksanaan tata
organisasi dan tata kerja yang baik di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak,
Departemen Keuangan. Untuk Kantor Pelayanan Perpajakan (KPP) juga dilakukan
reformasi dengan menerapkan administrasi perpajakan modern dengan
memanfaatkan teknologi terkini, seperti on-line payment, electronic filing, dan
sistem informasi terpadu sehingga transparansi pekerjaan, efisiensi pelaksanaan
tugas, dan pelayanan ke masyarakat dapat ditingkatkan.
Reformasi perpajakan yang sekarang menjadi prioritas adalah reformasi
administrasi perpajakan menyangkut modernisasi administrasi perpajakan jangka
menengah (3-5 tahun) dengan tujuan tercapainya tingkat kepatuhan dan kepuasan
Wajib Pajak, kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi dan
produktivitas aparat perpajakan yang tinggi.
2.5.2 Modernisasi Administrasi Perpajakan
Menurut Direktorat Jenderal Pajak, modernisasi administrasi perpajakan
dilaksanakan untuk mencapai visi dan misi Direktorat Jenderal Pajak, yaitu: Visi Direktorat Jenderal Pajak:
(42)
Menjadi model pelayanan masyarakat yang menyelenggarakan sistem dan
manajemen perpajakan kelas dunia yang dipercaya dan dibanggakan masyarakat. Misi Direktorat Jenderal Pajak
Menghimpun penerimaan dalam negeri dari sektor pajak yang mampu
menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah berdasarkan undang-undang
perpajakan dengan tingkat efektifitas dan efisiensi yang tinggi.
Penerapan sistem modernisasi administrasi perpajakan dilakukan untuk
mengoptimalkan pelayanan kepada Wajib Pajak. Penerapan sistem tersebut
mencakup aspek-aspek: (www.kppmb.depkeu.go.id) Perubahan struktur organisasi dan sistem kerja
Perubahan implementasi pelayanan kepada Wajib Pajak Fasilitas pelayanan yang memanfaatkan teknologi informasi Kode Etik Pegawai
Menurut Liberty Pandiangan dalam buku “Modernisasi & Pelayanan Perpajakan” (2008), konsep umum dari modernisasi administrasi perpajakan yang dilakukan pada dasarnya meliputi:
1. Restrukturisasi organisasi,
2. Penyempurnaan proses bisnis melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan
informasi, dan
3. Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia.
Dalam penyempurnaan proses bisnis, hal ini dilakukan dengan konsep:
Berbasis teknologi komunikasi dan informasi, efisien dan customer oriented,
(43)
Sedangkan untuk penyempurnaan atas sistem manajemen sumber daya
manusia, konsepnya adalah berbasis kompetensi, optimalisasi teknologi komunikasi
dan informasi, costomer driven, dan continious improvement.
Berdasarkan konsep umum modernisasi perpajakan tersebut di atas, sebagai
outcome yang diharapkan adalah:
a. Terjadinya perubahan paradigama, pola pikir dan nilai organisasi yang tercermin pada perilaku setiap pegawai.
b. Terciptanya proses bisnis dari setiap jenis pekerjaan yang lebih efisien, dan
c. Mampu menjalankan tata kelola pemerintah yang baik dan benar (good governance). Menurut Liberty Pandiangan dalam buku “Modernisasi & Pelayanan Perpajakan” (2008) tujuan modernisasi perpajakan adalah untuk menjawab latar belakang dilakukannya modernisasi perpajakan yaitu:
1. Tercapainya tingkat kepatuhan pajak (tax compliance) yang tinggi
2. Tercapaianya tingkat kepercayaan (trust) terhadap administrasi perpajakan,
dan
3. Tercapainya tingkat priduktivitas pegawai pajak yang tinggi.
Guna melaksanakan dam mewujudkan tujuan modernisasi perpajakan
tersebut, dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor 85/KMK.03/2003 dibentuk
Tim Modernisasi Jangka Menengah. Tugas atau kegiatan pokok Tim tersebut adalah:
1. Memodernisasi kelembagaan termasuk struktur organisasi, sistem dan
prosedur, dan kebijakan di bidang sumber daya manusia.
2. Memodernisasi peraturan yang terjadi dari penyederhanaan prosedur
administratif dan ketentuan pajak lainnya, dan
(44)
informasi untuk mempermudah Wajib Pajak dan administrasi perpajakan.
Sasaran yang ingin dicapai Direktorat Jenderal Pajak dalam melaksanakan
modernisasi administrasi perpajakan, yaitu:
1. Maksimasi penerimaan pajak;
2. Kualitas pelayanan mendukung kepatuhan Wajib Pajak;
3. Memberikan jaminan kepada publik bahwa Direktorat Jenderal Pajak
mempunyai tingkat integritas dan keadilan yang tinggi;
4. Menjaga rasa keadilan dan persamaan perlakuan dalam proses pemungutan
pajak.;
5. Karyawan Direktorat Jenderal Pajak bermotivasi tinggi, kompeten, dan
profesional;
6. Peningkatan produktivitas yang berkesinambungan;
7. Wajib Pajak memiliki alat dan mekanisme untuk mengakses informasi
yang diperlukan dari Direktorat Jenderal Pajak;
8. Optimalisasi pencegahan penggelap pajak.
2.6 Struktur Organisasi dan Sistem Kerja
Untuk melaksanakan perubahan secara lebih efektif dan efisien, sekaligus
mencapai tujuan organisasi yang diinginkan, penyesuaian struktur organisasi DJP
merupakan suatu langkah yang harus dilakukan dan sifatnya cukup strategis. Organisasi berubah dari berdasarkan “jenis pajak” menjadi berdasarkan “fungsi” dalam rangka customer oriented. Sistem dan proses kerja, berubah dari “manual” menjadi berdasarkan “sistem” yaitu Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak
(45)
(SIDJP) dengan manajemen kasus. Penyempurnaan proses kerja melalui
penyederhanaan proses untuk efisiensi dan pemisahan tugas yang jelas.
Untuk mengimplementasikan konsep administrasi perpajakan modern yang
berorientasi pada pelayanan dan pengawasan, maka struktur organisasi DJP perlu
diubah, baik di level kantor pusat sebagai pembuat kebijakan maupun di level kantor
operasional sebagai pelaksana implementasi kebijakan. Sebagai langkah pertama,
untuk memudahkan Wajib Pajak, ke tiga jenis kantor pajak yang ada, yaitu Kantor
Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB),
serta Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa), dilebur menjadi Kantor
Pelayanan Pajak (KPP). Dengan demikian Wajib Pajak cukup datang ke satu kantor
saja untuk menyelesaikan seluruh masalah perpajakannya. Struktur berbasis fungsi
diterapkan pada KPP dengan sistem administrasi modern untuk dapat merealisasikan
debirokratisasi pelayanan sekaligus melaksanakan pengawasan terhadap Wajib Pajak
secara lebih sistematis berdasarkan analisis resiko. Unit vertikal DJP dibedakan
berdasarkan segmentasi Wajib Pajak, yaitu KPP Wajib Pajak Besar (LTO - Large
Taxpayers Office), KPP Madya (MTO - Medium Taxpayers Office), dan KPP
Pratama (STO - Small Taxpayers Office). Dengan pembagian seperti ini, diharapkan
strategi dan pendekatan terhadap wajib pajak dapat disesuaikan dengan karakteristik
Wajib Pajak yang ditangani, sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih optimal.
Untuk lebih memberikan rasa keadilan bagi Wajib Pajak, seluruh penanganan
keberatan dilakukan oleh Kantor Wilayah yang merupakan unit vertikal di atas KPP
(46)
Struktur Kantor Pusat DJP (KP DJP) ikut disesuaikan berdasarkan fungsi
agar sesuai dengan unit vertikal di bawahnya. Ke depannya Kantor puasat DJP
dirancang sebagai pusat analisis dan perumusan kebijakan (Center of Policy Making
and Analysis) atau hanya menjalankan tugas dan pekerjaan yang sifatnya
non-operasional. Untuk mengantisipasi perkembangan dunia bisnis yang begitu cepat,
maka dibentuk direktorat transformasi yang bertugas untuk selalu melakukan
pemikiran dan perbaikan di bidang business process, pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi, serta penyempurnaan organisasi dan sumber daya
manusia.
2.7 Perubahan Implementasi Pelayanan
Perubahan implementasi pelayanan sehubungan dengan reformasi
administrasi perpajakan modern adalah perbaikan pelayanan melalui pembentukan
account representative (AR) dan compliant center untuk menampung keberatan
Wajib Pajak. Selain itu juga merangkul kemajuan teknologi terbaru memanfaatkan
pelayanan dengan sistem digitalisasi (e-SPT,e-filing, e-payment, e-registration) yang
diharapkan meningkatkan mekanisme kontrol yang lebih efektif. Konsep One Stop
Service melalui pembentukan Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) untuk penerimaan
dokumen atau laporan perpajakan (SPT, SSP, dan sebagainya) yang terintegrasi di
KPP dengan menggunakan komputer. Kemudian bimbingan dan penyuluhan yang
dilakukan oleh DJP untuk memberikan pelayanan dan informasi mengenai
(47)
2.7.1 Fasilitas Pelayanan yang Memanfaatkan Teknologi Informasi 1) e-Sytem Perpajakan
a) e-Registration
Adalah sistem pendaftaran, perubahan data Wajib Pajak dan atau pengukuhan
maupun pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) melalui
sistem yang terhubung langsung secara online dengan DJP.
b) e-SPT
Adalah penyampaian SPT dalam bentuk digital ke KPP secara elektronik atau
dengan menggunakan media komputer.
c) e-Filing
Adalah suatu cara penyampaian dan atau melaporkan SPT yang dilakukan
melalui sistem online dan real time dengan syarat harus memiliki e-FIN
(Electronic Filing Identification Number).
d) e-Payment
Adalah pembayaran pajak dengan cara elektronik atau online.
2) Website
Dalam rangka mempermudah akses informasi perpajakan kepada masyarakat
dalam iklim yang mengglobal dibuatlah website perpajakan yang dikelola DJP.
Contoh : http://www.pajak.go.id
http://www.kanwilpajakkhusus.go.id
3) Media Informasi Pajak
Sarana atau media dalam bentuk touch screen yang berisikan peraturan
(48)
4) Call Center
Fungsi utama yang ditangani menyangkut pelayanan (konfirmasi, prosedur,
peraturan, material perpajakan, dan lainnya) dan penanganan keluhan Wajib Pajak.
5) Complaint Center
Complaint Center yang tersedia di Kantor Pusat DJP dan Kantor Wilayah
berfungsi untuk menampung keluhan-keluhan Wajib Pajak yang terdaftar di KPP
wilayah kerjanya.
Kanwil DJP Jakarta Khusus SMS Center : 081 888 4636.
email : pelayanan.kanwilkhusus@pajak.go.id.
6) Help Desk
Merupakan sarana informasi dengan teknologi tax knowledge base yang ada
disetiap KPP atau TPT yang berfungsi untuk menyediakan segala informasi yang
dibutuhkan oleh Wajib Pajak mengenai perpajakan.
7) Pojok Pajak
Adalah sarana penyuluhan dan pelayanan perpajakan bagi masyarakat
maupun Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, yang
ditempatkan di pusat-pusat perbelanjaan, pusat-pusat bisnis ataupun tempat-tempat
tertentu.
2.7.2 Kode Etik DJP
Salah satu bagian penting dari reformasi administrasi perpajakan modern
adalah perubahan sikap dan perilaku sumber daya manusianya. Hal ini didukung oleh
(49)
perbuatan yang mengikat pegawai dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya
serta dalam kehidupan sehari-hari.
Diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 222/KMK.03/2002 dan
perubahan terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan N0. 1/PMK.3/2007. Kode
etik bertujuan untuk meningkatkan disiplin pegawai, menjamin terpeliharanya tata
tertib, menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan iklim kerja yang kondusif,
menciptakan dan memelihara kondisi kerja serta perilaku yang profesional, serta
meningkatkan citra dan kinerja pegawai.
2.7.3 Pelayanan
Sesuai dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
63/Kep/M.Pan/7/2003 Tahun 2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik dijelaskan bahwa pelayanan publik adalah
“Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di
pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan
Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka
upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan” (Keputusan MENPAN Nomor 63/2003)
Perpajakan termasuk pelayanan umum, karena dilaksanakan oleh instansi
pemerintah, bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka
(50)
2.7.4 Standar Pelayanan Publik
Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau
penerima pelayanan. Standar pelayanan, sekurang-kurangnya meliputi:
a) Prosedur Pelayanan
Prosedur pelayanan yang dibekukan termasuk pengaduan;
b) Waktu penyelesaian
Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai
dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan;
c) Biaya pelayanan
Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses
pemberian pelayanan;
d) Produk pelayanan
Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan;
e) Sarana dan Prasarana
Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggara
pelayanan publik;
f) Kompetensi petugas pemberi pelayanan
Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat
berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang
(51)
2.7.5 Pelayanan Prima
Pada umumnya masyarakat akan puas apabila memperoleh pelayanan sesuai
dengan standar (biaya, waktu, prosedur) yang telah disepakati, apalagi bila pada
prakteknya pemberian pelayanan tersebut akan lebih cepat serta efisien dibandingkan
dengan standar yang ditetapkan (beyond expectation) yang pada akhirnya
menimbulkan persepsi positif masyarakat bahwa pelayanan yang diberikan tersebut
adalah pelayanan prima. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada
Wajib Pajak dan seluruh stackholders perpajakan, maka dibentuklah peraturan
mengenai pelayanan prima perpajakan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
No. SE-45/PJ/2007.
2.7.6 Pelayanan Prima dalam Pelayanan Publik
Dalam Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 58
Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Penilaian dan Penghargaan Citra
Pelayanan Prima sebagai Unit Pelayanan Percontohan disebutkan kriteria penilaian
pelayanan prima, yang mencakup indikator-indikator sebagai berikut:
Kesederhanaan prosedur pelayanan, yang terdiri dari variabel prosedur tetap dan persyaratan pelayanan;
Keterbukaan informasi pelayanan, yang terdiri dari variabel informasi pelayanan, media atau petugas, serta media pengaduan & saran;
Kepastian pelaksanaan pelayanan, mencakup variabel waktu pelaksanaan pelayanan dan biaya pelayanan;
(52)
barang dan jasa serta keluhan terhadap mutu produk pelayanan;
Tingkat profesional petugas, mencakup praktek kepemimpinan dan pengendalian serta sikap para petugas dalam memberikan pelayanan;
Tertib pengelolaan administrasi dan manajemen pelayanan, mencakup tertib administrasi pelayanan, penggunaan sarana kerja pelayanan, visi, misi dan motto,
pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab;
Kelengkapan sarana dan fasilitas pelayanan meliputi sarana pendukung pelayanan dan fasilitas penunjang lingkungan serta ruang kerja pelayanan;
Prestasi lain yang menonjol dan langkah-langkah inovatif dalam rangka efisiensi yang bermanfaat bagi masyarakat.
2.7.7 Strategi Pelayanan Direktorat Jenderal Pajak
Strategi pelayanan yang dijalankan oleh DJP dalam rangka menciptakan
terwujudnya good governance adalah dengan mewujudkan beberapa hal:
Konsep One Stop Service yang ditunjang dengan adanya Account Representative (AR), sebagai liaison officier dari Wajib Pajak;
Pemanfaatan Information Technology secara optimal; SDM yang profesional dan terikat dengan kode etik;
Pemeriksaan yang lebih terbuka, dan profesional dengan konsep spesialisasi; Pelaksanaan Good Governance di semua lini sehingga KKN terminimalisir.
DJP telah menunjukkan kesungguhan dalam mewujudkan praktik-praktik
Good Governance yang telah dilakukan di lingkungan DJP antara lain:
(53)
pengawasan yang melekat pada tugas-tugas pelayanan. Sistem ini akan
mendorong proses pekerjaan menjadi lebih lancar dan tepat waktu;
b) Penerapan kode etik pegawai DJP yang menjadi standar perilaku pegawai yang
secara jelas mengatur kewajiban dan larangan bagi pegawai serta sanksi atas
pelanggaran kode etik tersebut;
c) Membentuk komite kode etik yang berkedudukan di luar struktur DJP dan
bertanggung jawab langsung kepada Menteri Keuangan;
DJP merancang pembentukan kantor modern dengan tujuan strategis sesuai
visi dan misi DJP dalam mewujudkan good governance sebagai berikut:
1) Optimalisasi penerimaan pajak;
2) Pelayanan untuk pemenuhan tujuan;
3) Menjamin kepercayaan publik dalam hal integritas dan kewajaran administrasi
perpajakan;
4) Penerapan kewajaran, keadilan, dan prinsip persamaan;
5) Meningkatkan produktivitas;
6) Optimalisasi pencegahan terhadap kecurangan pajak;
7) Mendorong pegawai yang mempunyai motivasi, berkompeten, dan terlatih.
Strategi pelayanan yang dirancang oleh DJP dalam rangka mencapai tujuan
diatas antara lain sebagai berikut:
1) Peningkatan kepatuhan;
2) Membina hubungan baik dengan klien;
3) Meningkatkan eksistensi DJP dimata masyarakat;
(54)
5) Menyediakan beragam pilihan pelayanan;
6) Memberikan informasi yang akurat dan tepat waktu.
Keberhasilan administrasi perpajakan modern tidak hanya tergantung pada
kepuasan Wajib Pajak, tetapi juga tergantung dari kualitas dan motivasi sumber daya
manusianya. Kinerja yang tinggi dapat dicapai apabila terdapat tiga komponen yang
harus dipenuhi yaitu kepuasan Wajib Pajak, kepuasan pegawai dan hasilnya
benar-benar dipertimbangkan pada saat penyusunan tujuan, penetapan hasil kerja dan
penilaian kinerja per individu.
Alasan inilah yang membuat KPP modern telah memperkenalkan alat ukur
kinerja manajemen. Alat ukur kinerja ini dirancang untuk kegiatan operasional dan
kegiatan pengembangan sumber daya manusia. Ukuran-ukuran itu akan
dikembangkan dari faktor-faktor penting (critical success factor/CSF) yang
diperoleh dari penjabaran visi dan misi DJP dan dirumuskan dalam tugas
administrasi DJP.
2.8 Penerimaan Pajak
Penerimaan pajak merupakan salah satu pilar penerimaan dalam APBN, hal
ini sejalan dengan amanat undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan
Negara pasal 8 huruf e. Amanat tersebut mengimplikasikan bahwa sebagai salah satu
unsur pengemban tugas pelaksanaan dalam pemungutan pendapatan negara,
penerimaan pajak harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan negara sesuai dengan kemampuan dalam menghimpun pendapatan
(55)
2.8.1 Penerimaan Pusat
Merupakan objek penerimaan pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat,
pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat ini bertujuan untuk pemerataan
penghasilan bagi pemerintah daerah di Indonesia. Bagi hasil pajak diperlukan dalam
rangka menjaga kelangsungan negara kesatuan Republik Indonesia sebagai wujud
keseimbangan penerimaan antara pusat dengan dan daerah atas pajak yang dipungut
oleh pusat dan daerah atas pajak yang dipungut oleh pusat yang sumbernya berada di
daerah.
Menurut Siti (2010:8) dalam bukunya Perpajakan Teori dan Teknis Perhitungan, dengan dikumpulkannya pajak atas penghasilan maupun pajak lainnya pusat dipusat diharapkan disetiap daerah di Indonesia akan mendapatkan perolehan
penerimaan APBD melalui prosedur yang telah ditetapkan pada perundang-undangan
mengenai otonomi daerah. Dana yang didistribusikan oleh pemerintah pusat untuk
pemerintah daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
(DAK) akan sangat membantu pendanaan daerah yang memiliki pos penerimaan
APBD yang rendah. Dan jika itu ditinjau dari organisasi pengelolaannya dapat dibagi
menjadi:
1. Direktorat Jenderal Pajak
DJP mengelola objek pajak penghasilan yang dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, berkenaan dengan objek pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPn). Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Bea Perolehan Hak Atas Bumi dan Bangunan (BPHTB), dan Bea Materai.
2. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
(56)
pertambahan nilai impor. 3. Direktorat Jenderal Moneter
Dipisahkan menjadi dua yaitu Ditjen Moneter Dalam Negeri mengelola Pajak Ekspor dan Penerimaan Bukan Pajak, dan Ditjen Moneter Luar Negeri yang mengelola Penerimaan atau Penghasilan Minyak termasuk Penerimaan Minyak lainnya.
2.8.2 Penerimaan Daerah
Merupakan objek penerimaan pajak yang dikelola oleh pemerintahan daerah
sebagai suatu pendapatan suatu daerah. Dan pajak daerah merupakan pungutan wajib
atas orang pribadi atau badan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tanpa
kontraprestasi secara langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraaan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Salah satu pos
penerimaaan asli daerah (PAD) dalam APBD adalah pajak daerah. Pemungutan
pajak daerah oleh pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota diatur oleh
undang-undang No 34 Tahun 2000. Ruang lingkup pajak daerah terbatas pada obyek
yang belum dikenakan pajak pusat. Pemerintah indonesia telah melakukan
streamlining, melakukan penyederhanaan jumlah jenis pajak daerah dan retribusi
daerah, dalam rangka melakukan reformasi perpajakan daerah dan retribusi daerah
dengan mengimplementasikan peraturan tersebut.
2.9 Kerangka Pemikiran
(57)
Penerimaan pajak dapat menunjang kebutuhan pemerintah dalam pembiayaan
APBN.
Menurut Pandiangan (2007:67) bahwa penerimaan pajak sangat besar
perannya dalam mengamankan anggaran negara dalam APBN setiap tahun. Harga
minyak bumi yang berfluktuasi di pasar internasional menyebabkan struktur
penerimaan negara yang mengandalkan penerimaan dari minyak bumi dan gas alam
(migas) tidak dapat diandalkan lagi kesinambungannya.
Survei terhadap KPP modern merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan.
Akan dapat diketahui apakah Modernisasi Administrasi Perpajakan pada KPP dapat
meningkatkan efektivitas Penerimaan Pajak, atau jangan-jangan sama saja dengan
sebelumnya. Sebagus apapun organisasinya, secanggih apapun administrasi dan
teknologi yang digunakan, atau sebaik apapun kualitas SDM-nya, yang dilihat dan
dinilai pada akhirnya adalah output yang dihasilkan. Apalagi dalam perpajakan
sangat krusial, karena langsung menyangkut apa yang dirasakan Wajib Pajak sebagai
pembayar pajak ketika berhubungan dengan KPP. Apakah pelayanan yang diberikan
sudah memuaskan.
Evaluasi atas proses reformasi administrasi perpajakan modern yang
dilakukan ditetapkan indikator sebagai alat ukurnya. Ada dua variabel sebagai
indikatornya:
1) Variabel Kualitatif
a) Pertumbuhan penerimaan (Tax Ratio);
b) Cost of tax collection ratio;
(58)
d) Tingkat kepatuhan formal;
e) Tingkat pencairan tunggakan pajak.
2) Variabel Kuantitatif
a) Hasil survey optimalisasi penerimaan pajak
b) realisasai penerimaan pajak
Menurut Liberti Pandiangan dalam buku “Modernisasi & Pelayanan Perpajakan” (2008) untuk mengetahui besaran indikator tersebut, harus dilakukan survei terhadap KPP Modern. Dari hasilya akan dapat diketahui, apakah modernisasi
KPP dapat meningkatkan efektivitas penerimaan pajak, atau jangan- jangan sama
saja dengan sebelumnya. Tingkat efektivitas penerimaan Pajak atas reformasi
administrasi perpajakan yang menyangkut modernisasi diperoleh dari:
1) Optimalisasi penerimaan pajak.
2) Realisasi Penerimaan Pajak
Tingkat kepuasan yang tinggi terjadi diseluruh faktor yang menurut Wajib
Pajak menentukan tingkat kepuasan mereka. Hal ini dapat berhubungan dengan
persepsi bahwa telah terjadi pembaharuan terhadap praktik masa lalu.
Jadi, jika kinerja pelayanan (pelayanan perpajakan) berada di bawah harapan,
maka tingkat penerimaan pajak akan tidak meningkat. Jika kinerja memenuhi
harapan, maka penerimaan pajak akan meningkat.
3.0 Pengembangan Hipotesis
Dengan tercapainya tingkat efektivitas penerimaan pajak sebagai
(59)
positif terhadap penerimaan pajak.
Berdasarkan keterangan diatas dapat ditarik hipotesis sebagai berikut:
Ho : ≤ 0 Modernisasi Administrasi Perpajakan tidak memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap Efektivitas Penerimaan Pajak.
Ha : ≥ 0 Modernisasi Administrasi Perpajakan memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap Efektivitas Penerimaan Pajak.
(1)
Universitas Kristen Maranatha Untuk membuktikan Apakah Modernisasi Administrasi Perpajakan berpengaruh positif yang signifikan untuk meningkatkan Efektivitas Penerimaan Pajak maka dilakukan pengujian dengan hipotesis statistik sebagai berikut:
Ho : β ≤ 0 Mordernisasi Administrasi Perpajakan (X) tidak memiliki pengaruh positif yang signifikan Terhadap Efektivitas Penerimaan Pajak (Y) pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanjung Priok.
Ha : β ≥ 0 Mordernisasi Administrasi Perpajakan (X) memiliki pengaruh positif yang signifikan Terhadap Efektivitas Penerimaan Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanjung Priok.
Hasil Uji Regresi
Hubungan tersebut dinyatakan dalam bentuk persamaan matematik yang mempunyai hubungan fungsional antara kedua variabel tersebut yang dirumuskan sebagai berikut:
Y = a + bX
Uji Regresi ini dilakukan dengan bantuan software SPSS 15, rangkuman hasil uji validitas yang diperoleh disajikan pada tabel berikut.
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
T Sig. B Std. Error Beta
(2)
Universitas Kristen Maranatha
1 (Constant) 2.596 4.200 .618 .542 X .430 .092 .662 4.672 .000 a. Dependent Variable: Y
Dari hasil tersebut dapat diketahui besarnya kontribusi variabel X (independent) terhadap variabel Y (dependent) adalah sebagai berikut :
Y = 2,596 + 0,430X.
Hasil Uji Korelasi
Perhitungan koefisien korelasi dapat dilakukan sebagai berikut:
r
xy
N
XY
X
Y
N
X
2
X
2
N
Y
2
Y
2
= 1082,609 – ( 0 x 0)
2.519,286 – (0)² x 1.062,124 – ( 0 )² = 1082,609
2.519,286 x 1.062,124 = 1082,609
2675795
= 1082,609 1635,78548 = 0,662
(3)
Universitas Kristen Maranatha Uji Korelasi Pearson’s product moment ini dilakukan dengan bantuan software SPSS 15, rangkuman hasil uji Korelasi Pearson’s product moment yang diperoleh disajikan pada tabel berikut:
Dari hasil rangkuman uji korelasi pearson’s product moment dapat dilihat
bahwa hubungan antara variabel independen terhadap dependen adalah sebesar positif 0,662 yang artinya masuk dalam kategori korelasi kuat.
Koefisien determinasi
Perhitungan koefisien determinasi dapat dilakukan sebagai berikut: KD = r² x 100 %
Model Summary
Model R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate 1 .662a .438 .418 4.617018
Correlations
X Y X Pearson Correlation 1 .662**
Sig. (2-tailed) .000
N 30 30
Y Pearson Correlation .662** 1 Sig. (2-tailed) .000
N 30 30
(4)
Universitas Kristen Maranatha
Model Summary
Model R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate 1 .662a .438 .418 4.617018 a. Predictors: (Constant), X
KD = 0,438 X 100% = 43,8%
Artinya sebesar 43,8%, efektivitas penerimaan pajak dipengaruhi oleh modernisasi perpajakan. Sedangkan sisanya (100% - 43,8% = 56,2%) sebesar 56,2%, efektivitas penerimaan pajak dipengaruhi oleh faktor yang lain (selain modernisasi perpajakan).
Uji Normalitas Kolomogorov-Smirnov
Jika probabilitas > 0,05 maka distribusi dari model adalah normal. Jika probabilitas < 0,05 maka model tidak berdistribusi secara normal
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
X Y
N 30 30
Normal Parametersa,,b Mean 44.73280 21.81897 Std. Deviation 9.320440 6.051823 Most Extreme Differences Absolute .101 .135 Positive .094 .135 Negative -.101 -.102 Kolmogorov-Smirnov Z .556 .738 Asymp. Sig. (2-tailed) .917 .647 a. Test distribution is Normal.
(5)
Universitas Kristen Maranatha Dari hasil tabel uji Normalitas dapat dilihat bahwa Data berdistribusi normal karena nilai asymp. Sig. (2-tailed) lebih besar dari 0,05.
Uji t
Alat uji yang digunakan dalam perhitungan uji t adalah sebagai berikut:
t
X
Y
n n
1
ˆ
X
1
Y
ˆ
1
u1
n
2t = ( 63,8 – 30,6 ) 2 ( 2 – 1 ) 1102,24 t = ( 33,2 ) x 0,001814
t = ( 33,2 ) x 0,0426 t = 1,4140
Uji parameter (uji regresi) dilakukan untuk membuktikan apakah terdapat pengaruh positif yang signifikan antara variabel Modernisasi Administrasi Perpajakan terhadap variabel Efektivitas Penerimaan Pajak. Uji regresi ini dilakukan dengan menggunakan uji statistik t, berdasarkan hasil penghitungan dapat diketahui bahwa untuk variabel modernisasi t-hitung adalah sebesar 4.672. Sedangkan t-tabel pada tingkat signifikansi 5% ( = 0,05) dan derajat kebebasan (dk) = 28 pada pengujian satu arah adalah 1,701. Kriteria dalam uji t ini adalah jika t-hitung ≥ t-tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima. Dari hasil analisis didapatkan bahwa t-hitung 4.672 ≥ t-tabel 1,701, maka Ho ditolak dan Ha diterima yaitu terdapat pengaruh
(6)
Universitas Kristen Maranatha positif yang signifikan dari variabel Modernisasi Administrasi Perpajakan terhadap Efektivitas Penerimaan Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanjung Priok, Oleh karena itu, terbukti bahwa hasil pengujian adalah signifikan atau dengan kata lain Modernisasi Administrasi Perpajakan berpengaruh positif yang signifikan terhadap Efektivitas Penerimaan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanjung Priok.