Pengaruh Pendidikan Kesehatan Dengan Media Puzzle Terhadap Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun Anak Prasekolah (5-6 Tahun).

(1)

SKRIPSI

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN DENGAN MEDIA

PUZZLE TERHADAP PERILAKU CUCI TANGAN PAKAI

SABUN ANAK PRASEKOLAH (5-6 TAHUN)

Studi Dilakukan di PAUD Widya Kusuma & PAUD Bina Mekar

OLEH :

NI WAYAN YATI AGUSTIAN DEWI

NIM. 1102105061

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN DENGAN MEDIA

PUZZLE TERHADAP PERILAKU CUCI TANGAN PAKAI

SABUN ANAK PRASEKOLAH (5-6 TAHUN)

Studi Dilakukan di PAUD Widya Kusuma & PAUD Bina Mekar

Untuk memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH :

NI WAYAN YATI AGUSTIAN DEWI

NIM. 1102105061

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Ni Wayan Yati Agustian Dewi

NIM : 1102105061

Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana Program Studi : Ilmu Keperawatan

menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Denpasar, Januari 2015 Yang membuat pernyataan,

(Ni Wayan Yati Agustian Dewi) Materai 6000


(4)

(5)

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Pengaruh Pendidikan Kesehatan Dengan Media Puzzle Terhadap Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun Anak Prasekolah (5-6 Tahun).

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terimakasih penulis berikan kepada:

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes, sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS., AIF, sebagai ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

3. Ns. Francisca Shanti K., M.Kep, Sp. Kep. An, sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

4. Ns. N.L.P Yunianti Suntari C., S.Kep, M.Pd, sebagai pendamping yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

5. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, oleh karena iu penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan masukan yang membangun.

Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Denpasar, Januari 2015


(7)

vii ABSTRAK

(1) Dewi, N. W. Y. A. Mahasiswa PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, (2) Ns. Francisca Shanti K., M.Kep, Sp. Kep. An. Dosen PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, (3) Ns. N.L.P Yunianti Suntari C., S.Kep, M.Pd. Poltekkes Denpasar.2015. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Dengan Media Puzzle Terhadap Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun Anak Prasekolah(5-6 Tahun).

Anak prasekolah berada pada fase golden age yang rentan menderita penyakit terutama berhubungan dengan hygiene. Penyakit ini dapat dicegah dengan membiasakan perilaku cuci tangan pakai sabun pada anak. Anak perlu diberikan pendidikan kesehatan cuci tangan dengan salah satu media yaitu puzzle. Penelitian bertujuan menganalisa perbedaan perilaku cuci tangan pakai sabun anak antara kelompok kontrol dan perlakuan setelah diberikan penkes melalui media puzzle. Penelitian ini merupakan Quasy eksperimental yang dilakukan di PAUD Widya Kusuma sebagai kelompok perlakuan dan PAUD Bina Mekar sebagai kelompok kontrol. Sampel dari penelitian adalah 24 dari masing-masing kelompok. Teknik sampling yang digunakan Probability Sampling dengan Cluster/Area Sampling. Penelitian dilakukan 6 kali intervensi pada 11 April hingga 2 Mei 2015. Pada kedua kelompok dilakukan pre test dan post test dengan pedoman lembar observasi. Hasil pretest menunjukkan 24 anak dari masing-masing kelompok berada pada kategori perilaku cuci tangan yang kurang. Hasil post test menunjukkan 24 anak pada kelompok kontrol tetap berada pada perilaku kurang, sedangkan pada kelompok perlakuan 24 anak meningkat menjadi perilaku cukup baik setelah diberikan penkes dengan media puzzle. Hasil uji Mann-Whitney memperoleh nilai p=0,000 (p < 0,05) berarti ada perbedaan perilaku cuci tangan pakai sabun antara kelompok kontrol dan perlakuan setelah diberikan penkes dengan media puzzle.

Kata Kunci: Anak Prasekolah, Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun, Penkes dengan Puzzle.


(8)

viii ABSTRACT

(1) Dewi, N. W. Y. A. Student of Nursing Departement Faculty of Medicine Udayana University, (2) Ns. Francisca Shanti K., M.Kep, Sp. Kep. An. Nursing Departement Faculty of Medicine Udayana University, (3) Ns. N.L.P Yunianti Suntari C., S.Kep, M.Pd. Poltekkes Denpasar.2015. The Influence Of Health Education With Puzzle Media To Handwashing Preschool Children Behaviour With Soap (5-6 years old).

Preschool children are easy to suffer disease related hygiene. This disease can be prevented by forming the habit of handwashing with soap. Children need to be given handwashing health education with puzzle media in this study. This study aims to analyze the differences of handwashing children behaviour with soap between the control group and the treatment group given after health education through puzzle media. This study was a Quasy experimental which be performed in two places, PAUD Widya Kusuma as a treatment group and PAUD Bina Mekar as a control group. Samples from this study were 24 of each group. Sampling technique was Probability Sampling with Cluster/Area Sampling. This study was conducted over six times intervention on April 11 to May 2, 2015. In both groups performed pre-test and post test with guidelines observation sheet. The pretest result was 24 of each group are in less category of handwashing behaviour with soap. After intervention, the post test result was 24 children from control group were in less category but not for treatment group, 24 children were in rather good category of handwashing behaviour with soap. Mann-Whitney Test results value was p = 0.000, p < 0.05 means that there was difference in the handwashing behaviour with soap between control and treatment groups after intervention.

Keywords: Preschool Children, Handwashing With Soap Behavior, Health Education With Puzzle Media


(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

PERNYATAAN LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 7

1.3Tujuan Penelitian ... 7

1.4Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Usia Prasekolah ... 10

2.1.1 Pengertian Anak Usia Prasekolah ... 10

2.1.2 Ciri-ciri Anak Usia Prasekolah ... 11

2.1.3 Tugas Perkembangan ... 11

2.1.4 Tahap Perkembangan ... 12

2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan ... 13

2.2 Perilaku ……….. 17

2.2.1 Pengertian Perilaku ……….. 17

2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku ... 18


(10)

x

2.2.4 Upaya Perubahan Perilaku ... 22

2.2.5 Proses Adopsi Perilaku ... 23

2.2.6 Cara Mengukur Perilaku Kesehatan ... 24

2.3 Cuci Tangan ………... 25

2.3.1 Pengertian Cuci Tangan ... 25

2.3.2 Tujuan Cuci Tangan ... 26

2.3.3 Manfaat Cuci Tangan ... 27

2.3.4 Macam Cuci Tangan ... 27

2.3.5 Prosedur Cuci Tangan ... 30

2.3.6 Faktor yang mempengaruhi ... 31

2.4 Pendidikan Kesehatan ……….……….. 32

2.4.1 Pengertian Penkes ... 32

2.4.2 Proses Pendidikan Kesehatan ... 32

2.4.3 Media Pendidikan Kesehatan ... 33

2.5 Puzzle ……….... 34

2.5.1 Pengertian Puzzle ... 34

2.5.2 Tujuan Puzzle ... 34

2.5.3 Manfaat Puzzle ... 35

2.5.4 Jenis Potongan Puzzle ... 36

2.5.5 Cara memainkan puzzle ... 37

2.6 Pengaruh puzzle terhadap perilaku cuci tangan …... 38

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1Kerangka Konsep ………..… . 42

3.2Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ……..… . 43

3.2.1 Variabel Penelitian ... . 43

3.2.2 Definisi Operasional ... . 43

3.3Hipotesis ………... 44

BAB IV METODE PENETILIAN 4.1 Jenis Penelitian ………. 45


(11)

xi

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian ………. . 47

4.3.1 Tempat Penelitian ... 47

4.3.2 Waktu Penelitian ... 47

4.4 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ………. 47

4.4.1 Populasi ... 47

4.4.2 Teknik Sampling Penelitian ... 48

4.4.3 Sampel ... 49

4.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ……… 49

4.5.1 Jenis Data yang dikumpulkan ... 49

4.5.2 Cara Pengumpulan data ... 49

4.5.3 Instrumen Pengumpul Data ... 51

4.5.4 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 53

4.5.5 Etika Penelitian ... 55

4.6 Pengolahan dan Analisa Data ……….... 56

4.6.1 Teknik Pengolahan data ... 56

4.6.2 Teknik Analisis Data ... 57

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ... 58

5.1.1 Kondisi Lokasi Penelitian ... 58

5.1.2 Karakteristik Subjek Penelitian ... 60

5.1.3 Hasil Pengamatan Terhadap Objek Penelitian Sesuai Variabel Penelitian ... 62

5.1.4 Hasil Analisa Data ... 64

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 65

5.2.1 Perilaku Cuci Tangan Sebelum Diberikan Penkes ... 65

5.2.2 Perilaku Cuci Tangan Setelah Diberikan Penkes ... 67

5.2.3 Perbedaan Perilaku Cuci Tangan Pada Kelompok Kontrol Dan Perlakuan Setelah Diberikan Penkes ... 68

5.3 Keterbatasan Dan Hambatan Penelitian ... 71


(12)

xii

5.3.2 Hambatan Penelitian ... 71 BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan ... 72 6.2 Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA Lampiran


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

TABEL 1 Definisi Operasional Variabel ………... 42

TABEL 2 Hasil Uji Kappa Terhadap Asisten Peneliti ... 54

TABEL 3 Karakteristik Anak Berdasarkan Jenis Kelamin ... 61

TABEL 4 Karakteristik Anak Berdasarkan Usia ... 62

TABEL 5 Hasil Pre Test Kelompok Kontrol & Perlakuan ... 63

TABEL 6 Hasil Post Test Kelompok Kontrol & Perlakuan ... 63


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Langkah Cuci Tangan Pakai Sabun…..………... 30

Gambar 2 Kerangka Konsep Penelitian ……….. 42

Gambar 3 Desain Penelitian ……… 45


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Jadwal Penelitian

Lampiran 2: Anggaran Biaya Penelitian Lampiran 3: Penjelasan Penelitian

Lampiran 4: Surat Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 5: Panduan Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan Dengan Media Puzzle Lampiran 6: Lembar Observasi Sebelum Content Validity

Lampiran 7: Lembar Observasi Setelah Content Validity Lampiran 8: Master Tabel

Lampiran 9: Hasil Uji Numerator Penelitian Lampiran 10: Hasil Uji Wilcoxon

Lampiran 11: Hasil Mann-Whitney U Test Lampiran 12: Dokumentasi Penelitian

Lampiran 13: Surat Permohonan Ijin Melakukan Studi Pendahuluan

Lampiran 14: Surat Ijin Melakukan Penelitian Dari Badan Penanaman Modal Dan Perizinan Prov. Bali

Lampiran 15: Surat Ijin Melakukan Penelitian Dari Kesbang Pol & Linmas Kab. Gianyar

Lampiran 16: Surat Bukti Telah Melakukan Penelitian Lampiran 17: Lembar Bimbingan Skripsi


(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

BPS : Badan Pusat Statistik CTPS : Cuci Tangan Pakai Sabun ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Atas PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini Penkes : Pendidikan Kesehatan WHO : World Health Organization


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Anak merupakan individu yang berada dalam rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja (Departemen Kesehatan RI, 2008). Derajat kesehatan anak mencerminkan derajat kesehatan bangsa, karena anak sebagai generasi penerus dalam meneruskan pembangunan bangsa. Kesehatan anak merupakan salah satu indikator pencapaian dari upaya pembangunan kesehatan di Indonesia (Yunias, 2006). Sehat dalam keperawatan anak adalah keadaan kesejahteraan yang optimal antara fisik, mental, dan sosial yang dicapai sepanjang kehidupan anak dalam rangka mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang optimal sesuai usianya (Supartini, 2004).

Jumlah anak meningkat setiap tahunnya dilihat dari populasi anak di dunia saat ini berjumlah 1,9 miliar anak dari 27% populasi penduduk dunia (Hansroling, 2014). Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia mencapai 1,49% atau 4,5 juta jiwa per tahun yang berimplikasi pada peningkatan jumlah anak usia prasekolah di Indonesia (Departemen Kesehatan RI, 2010). Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 adalah 234.181.400 jiwa, dimana 8.269.856 jiwa adalah anak usia prasekolah. Di Bali, anak usia prasekolah tahun 2010 berjumlah 113.051 jiwa (BPS, 2010).

Anak usia lima sampai enam tahun digolongkan sebagai anak usia prasekolah. Pada masa ini dikatakan sebagai masa emas (golden age) perkembangan. Seorang


(18)

2

individu pada masa ini akan mengalami tumbuh kembang yang sangat pesat baik dari segi fisik motorik, emosi, kognitif, maupun psikososial, juga perkembangan anak berlangsung secara holistik atau menyeluruh (Martuti, 2008).

Anak usia lima sampai enam tahun memiliki rentang usia yang sangat berharga dibandingkan usia-usia selanjutnya karena perkembangan kecerdasan yang sangat pesat. Usia prasekolah ini merupakan fase kehidupan yang unik, dan berada pada masa proses perubahan berupa pertumbuhan, perkembangan, pematangan dan penyempurnaan, baik pada aspek jasmani maupun rohaninya yang berlangsung seumur hidup, bertahap, dan berkesinambungan (Mulyasa, 2012).

Masa prasekolah adalah masa yang paling penting dalam proses pembentukan dan pengembangan kepribadian baik dalam aspek fisik, psikis, spiritual, maupun etika-moral, sehingga menjadi orang yang bertanggung jawab untuk diri sendiri maupun sosial masyarakat (Zain, 2010). Anak mulai mengkoordinasikan otot-otot untuk berlari, berguling, maupun melompat. Pada fase ini rasa ingin tahu dan minat anak bereksplorasi terhadap lingkungan semakin meningkat sehingga anak rentan menderita penyakit yang berhubungan dengan hygiene (Potter & Perry, 2006).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa ISPA dan diare masih ditemukan dengan presentase tinggi pada anak usia lima hingga enam tahun yaitu 43% dan 16%. Bali adalah provinsi yang menduduki peringkat keenam kejadian diare di Indonesia (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2012 diperoleh kasus penyakit yang paling tinggi


(19)

3

adalah diare dan menyerang anak usia prasekolah yaitu 7.975 anak. Gianyar berada di peringkat pertama kejadian ISPA dengan jumlah 83.207 jiwa dan angka kejadian diare di Gianyar juga besar yaitu 10.758 jiwa (Dinkes, 2013).

Penyakit pada dasarnya ditimbulkan oleh empat faktor, yaitu lingkungan (30%), perilaku (40%), genetic (20%), akses pada tempat pelayanan kesehatan (10%) (Bararah, 2011). Berdasarkan data tersebut perilaku adalah penyebab terbesar timbulnya suatu penyakit, sehingga penting untuk meningkatkan perilaku kesehatan anak. Salah satu program penting yang berkaitan dengan menurunkan kasus penyakit menular adalah dengan cuci tangan pakai sabun. Anak usia lima hingga enam tahun sudah mulai dapat diajarkan untuk menggunakan aturan-aturan untuk memahami penyebab, seperti sebelum makan agar anak tidak sakit perut, anak dapat diajarkan perilaku cuci tangan pakai sabun (Potter & Perry, 2006).

Cuci tangan pakai sabun terbukti merupakan hal yang paling mudah untuk mencegah penyakit dan merupakan strategi Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang tertuang dalam surat keputusan Menteri kesehatan RI No. 852/SK/Menkes/IX/2008. Perilaku cuci tangan pakai sabun (CTPS) khususnya setelah kontak dengan feses ketika ke jamban dan membantu anak ke jamban, dapat menurunkan insiden diare hingga 42-47% dan menurunkan transmisi ISPA hingga lebih dari 30% (Lyer, 2005).

Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku cuci tangan anak (Potter & Perry, 2006). Pengetahuan yang dimiliki akan mempengaruhi sikap dan tindakan perilaku cuci tangan anak. Anak akan mampu


(20)

4

mengadopsi tindakan cuci tangan yang benar sehingga diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan terjadi perubahan perilaku kesehatan pada anak. Hal ini disebabkan karena adanya interaksi antara rangsangan dengan individu yang saling mempengaruhi satu sama lainnya (Walgito dalam Sunaryo, 2004).

Pengetahuan mengenai cuci tangan disampaikan melalui pendidikan kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Zain (2010) berjudul “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Mencuci Tangan terhadap Perilaku Mencuci Tangan pada Anak Usia Sekolah di SD Negeri Sinoman Pati”. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV-VI sebanyak 57 orang berdasarkan teknik total sampling. Penelitian ini merupakan penelitian jenis Eksperimen Semu dengan desain Non Equivalent Control Group Design yang mendapatkan hasil yang signifikan bahwa ada pengaruh pendidikan kesehatan mencuci tangan terhadap perilaku mencuci tangan pada anak usia sekolah.

Untuk mempermudah penyampaian informasi tersebut, diperlukan media sebagai alat bantu penyampaiannya (Fitriani, 2011). Peran media dalam pembelajaran khususnya dalam pendidikan anak usia prasekolah semakin penting mengingat pemikiran anak didasari oleh apa yang mereka lihat, dengar, ataupun alami (Wong, 2009). Salah satu media pembelajaran yang bisa dipakai adalah puzzle. Puzzle merupakan media yang berbentuk potongan-potongan gambar yang digunakan untuk menyalurkan pesan pembelajaran, sehingga dapat menstimulus perhatian, minat, pikiran dan perasaan anak selama proses pembelajaran (Santyasa, 2007).


(21)

5

Penelitian yang dilakukan oleh Paino (2014) di Kelompok B PAUD Al-Falah Ibmangga Kecamatan Tabongo Kabupaten Gorontalo dengan judul “Meningkatkan Perilaku Kooperatif melalui Teknik Bermain Puzzle pada anak kelompok B PAUD Al-Falah Kecamatan Tabongo Kabupaten Gorontalo”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas (PTK) dengan jumlah sample 20 orang. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa bermain puzzle terbukti dapat meningkatkan perilaku kooperatif pada anak kelompok B PAUD Al-Falah Kecamatan Tabongo Kabupaten Gorontalo.

Penelitian yang dilakukan Afida (2014) di Kelompok Bermain Buah Hati Kita Jember pada tahun 2013 berjudul “Hubungan antara Permainan Puzzle dengan Kemampuan Kognitif Anak Usia Dini di Kelompok Bermain Buah Hati Kita Jember Tahun 2013”. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan jumlah objek penelitian 30 anak. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara permainan puzzle dengan kemampuan kognitif anak usia dini di Kelompok Bermain Buah Hati Kita Jember. Penelitian lain yang dilakukan oleh Fitriyani, Ta’suah, dan Adiarti (2014) berjudul “Penggunaan Media Puzzle Tiga Dimensi Untuk Meningkatkan Kecerdasan Visual Spasial Anak Usia 5-6 Tahun (Studi Deskriptif Kuantitatif di TK PGRI 25 Karangrejo Semarang)” mendapatkan hasil bahwa penggunaan media puzzle tiga dimensi memberikan peningkatan terhadap kecerdasan visual spasial anak usia 5-6 tahun.


(22)

6

Penelitian yang dilakukan oleh Juhaeti (2012) berjudul “Meningkatkan Kemampuan Mengingat dan Membaca Anak Usia Dini Melalui Bermain Puzzle” mendapatkan hasil bahwa penggunaan puzzle mampu meningkatkan daya ingat dan membaca anak usia dini. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan penggunaan media puzzle dalam memberikan pendidikan kesehatan cuci tangan akan memberikan stimulus kepada anak sehingga anak tertarik untuk menerapkan apa yang dilihat kemudian anak akan mengingat dan mengadopsi dalam kehidupan sehari-harinya.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 10 Desember 2014, PAUD Bina Mekar merupakan salah satu PAUD yang ada di Kabupaten Gianyar dimana setiap tahunnya merupakan PAUD dengan jumlah siswa terbanyak di Gianyar. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala PAUD Bina Mekar, dikatakan bahwa setiap sebelum makan anak diajak untuk mencuci tangan namun anak hanya mencuci tangan sekilas. Pihak PAUD sudah menyediakan sarana sabun, namun anak-anak tidak memanfaatkan sarana tersebut. Hasil observasi yang dilakukan pada hari itu juga, dari 24 anak di kelas B1 terlihat semua anak tidak mencuci tangan pakai sabun saat jam makan, dan belum ada upaya khusus dari pihak PAUD dalam mempengaruhi cuci tangan pakai sabun pada anak-anak.

Studi pendahuluan juga dilakukan di PAUD Widya Kusuma dimana terdapat 24 anak yang berumur lima sampai enam tahun. Berdasarkan hasil dari observasi 24 orang anak di PAUD tersebut, ditemukan bahwa seluruh anak hanya mencuci tangan sekedar dan dengan teknik yang kurang bahkan jarang memakai sabun.


(23)

7

Pihak PAUD telah menyediakan sabun cair sebagai sarana cuci tangan namun karena kurangnya informasi tentang pentingnya pemakaian sabun dan langkah cuci tangan yang benar, anak-anak tidak memanfaatkan sarana yang ada dan tidak mampu menerapkan langkah mencuci tangan yang benar.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Pendidikan Kesehatan dengan Media Puzzle terhadap Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun Anak Usia Prasekolah (5-6 tahun)”.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, masalah yang dapat peneliti rumuskan adalah Adakah Pengaruh Pendidikan Kesehatan dengan Media Puzzle terhadap Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun Anak Usia Prasekolah?”

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah pengaruh pendidikan kesehatan dengan media puzzle terhadap perilaku cuci tangan pakai sabun anak usia prasekolah (5-6 tahun).

1.3.2Tujuan Khusus

1) Mengetahui perilaku cuci tangan pakai sabun anak usia prasekolah di kelompok kontrol dan perlakuan sebelum diberikan pendidikan kesehatan dengan media puzzle.


(24)

8

2) Mengetahui perilaku cuci tangan pakai sabun anak usia prasekolah di kelompok kontrol dan perlakuan setelah diberikan pendidikan kesehatan dengan media puzzle.

3) Menganalisis perbedaan perilaku cuci tangan pakai sabun anak usia prasekolah antara kelompok kontrol dan perlakuan sesudah diberikan penkes melalui media puzzle.

1.4Manfaat Penelitian

Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat. Manfaat yang peneliti harapkan adalah :

1.4.1Teoritis

Sebagai informasi ilmiah di bidang keperawatan anak dan menambah konsep teori tentang pendidikan kesehatan dengan media puzzle dalam pemberian informasi tentang cuci tangan pakai sabun anak usia prasekolah untuk mengubah perilaku cuci tangan pakai sabun.

1.4.2Praktis

1) Hasil penelitian ini dapat dijadikan literatur di keperawatan anak dan menjadi tambahan informasi tentang pengaruh pendidikan kesehatan dengan media puzzle terhadap perilaku cuci tangan anak usia prasekolah di PAUD serta memberikan pengetahuan mengenai cara baru yang dapat mengubah perilaku anak usia prasekolah untuk mencuci tangan.


(25)

9

2) Hasil penelitian ini bermanfaat untuk mencegah penyakit infeksi yang sering ditemukan pada anak usia prasekolah serta mengurangi angka kematian akibat penyakit menular akibat kurangnya kesadaran mencuci tangan.


(26)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Anak Usia Prasekolah 2.1.1Pengertian

Anak merupakan individu yang unik karena faktor bawaan dan lingkungan yang berbeda, maka pertumbuhan dan pencapaian kemampuan perkembangan juga berbeda (Soetjiningsih, 2010). Anak usia tiga sampai enam tahun digolongkan sebagai anak usia prasekolah. Usia prasekolah merupakan suatu fase yang sangat penting dan berharga yang merupakan masa pembentukan dalam periode kehidupan manusia. Masa anak dipandang sebagai masa emas (golden age) bagi penyelenggara pendidikan yang merupakan fase yang penting bagi perkembangan individu, karena fase ini terjadi peluang yang sangat besar untuk pembentukan dan pengembangan pribadi seseorang (Sembiring, 2012). Anak memiliki rentang usia yang sangat berharga dibandingkan usia-usia selanjutnya dan berada pada masa proses perubahan berupa pertumbuhan, perkembangan, pematangan dan penyempurnaan, baik pada aspek jasmani maupun rohaninya yang berlangsung seumur hidup, bertahap, dan berkesinambungan (Mulyasa, 2012).

Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat, ukuran panjang dan ukuran tulang (Soetjningsih, 2010). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses


(27)

11

pematangan yang menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa, sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsih, 2010).

2.1.2 Ciri-ciri anak usia prasekolah

Ciri-ciri anak usia prasekolah menurut Hurlock (2005) meliputi :

1) Secara fisik, otot-otot lebih kuat dan pertumbuhan tulang menjadi besar dan keras.

2) Secara motorik, anak mampu memanipulasi objek kecil menggunakan balok-balok dalam berbagai ukuran dan bentuk.

3) Secara intelektual, anak mempunyai rasa ingin tahu, rasa emosi, iri dan cemburu. Hal ini timbul karena anak memiliki hal-hal yang dimiliki oleh teman sebayanya.

4) Secara sosial, anak mampu menjalin kontak sosial dengan orang-orang yang ada di luar rumah, sehingga anak mempunyai minat yang lebih untuk bermain pada temannya, orang-orang dewasa, saudara kandung di dalam keluarga.

2.1.3 Tugas perkembangan

Tugas perkembangan yang harus dicapai anak usia prasekolah menurut Santrock (2007) adalah :


(28)

12

2) Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk biologis.

3) Belajar bergaul dengan teman sebaya.

4) Belajar memainkan peranannya sesuai jenis kelamin.

5) Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis dan berhitung. 6) Belajar mengembangkan konsep-konsep sehari-hari.

7) Mengembangkan kata hati.

8) Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi.

9) Mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial.

2.1.4 Tahap Perkembangan

Menurut Supartini (2004), tahap perkembangan anak meliputi sebagai berikut: 1) Perkembangan psikososial

Berdasarkan dengan tahap perkembangan psikososial, anak prasekolah berada pada tahap inisiatif melawan rasa bersalah. Perkembangan inisiatif anak dapat diperoleh dengan melakukan pengkajian lingkungan melalui kemampuan inderanya.

2) Perkembangan kognitif

Perkembangan kognitif dibahas berdasarkan tahap sensorik dan motorik praoperasional. Sesuai dengan tahap perkembangan kognitif, anak usia empat sampai lima tahun berada pada tahap praoperasional. Karakteristik utama perkembangan praoperasional didasari oleh adanya sifat egosentris.


(29)

13

3) Perkembangan fisik

Perkembangan fisik meliputi perkembangan gerakan motorik kasar dan gerakan motorik halus.

2.1.5 Faktor yang mempengaruhi perkembangan

Menurut Adriana (2011), secara umum terdapat dua factor utama yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, yaitu factor internal dan eksternal. Adapun faktor internal yang mempengaruhi tumbuh kembang anak antara lain : 1) Ras

Anak yang dilahirkan dari ras/bangsa Amerika tidak memiliki faktor herediter ras/bangsa Indonesia atau sebaliknya.

2) Keluarga

Ada kecenderungan keluarga yang memiliki postur tubuh tinggi, pendek, gemuk, atau kurus.

3) Umur

Kecepatan pertumbuhan yang pesat adalah pada masa prenatal, tahun pertama kehidupan, dan masa remaja.

4) Jenis Kelamin

Fungsi reproduksi pada anak perempuan berkembang lebih cepat daripada laki. Akan tetapi setelah melewati masa pubertas, pertumbuhan anak laki-laki akan lebih cepat.


(30)

14

5) Genetik

Genetik adalah bawaan anak yaitu potensi anak yang akan menjadi ciri khasnya. Ada beberapa kelainan genetik yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak, contohnya seperti kerdil.

6) Kelainan Kromosom

Kelainan kromosom umumnya disertai dengan kegagalan pertumbuhan seperti pada sindroma Down’s dan sindroma Turner’s.

Berikut adalah faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pada tumbuh kembang anak :

1) Faktor Prenatal a. Gizi

Nutrisi ibu hamil terutama pada trimester akhir kehamilan akan mempengaruhi pertumbuhan janin.

b. Mekanis

Posisi fetus yang abnormal dapat menyebabkan kelainan kongenital seperti club foot.

c. Toksin/zat kimia

Beberapa obat-obatan seperti Aminopetrin atau thalidomide dapat menyebabkan kelainan kongenital seperti palatoskisis.

d. Endokrin

Diabetes mellitus dapat menyebabkan makrosomia, kardiomegali dan hyperplasia adrenal.


(31)

15

e. Radiasi

Paparan radiasi dan sinar rontgen dapat menyebabkan kelainan pada janin seperti mikrosefali, spina bifida, retardasi mental dan deformitas anggota gerak, kelainan congenital mata, serta kelainan jantung.

f. Infeksi

Infeksi pada trimester pertama dan kedua oleh TORCH (Toksoplasma, Rubella, Citomegalo virus, Herpes simpleks) dapat menyebabkan kelainan pada janin seperti katarak, bisu tuli, mikrosefali, retardasi mental, dan kelainan jantung congenital.

g. Kelainan Imunologi

Eritoblastosis fetalis timbul akibat perbedaan golongan darah antara ibu dan janin sehingga ibu membentuk antibody terhadap sel darah merah janin, kemudian melalui plasenta masuk ke dalam peredaran darah janin dan akan menyebabkan hemolisis yang selanjutnya mengakibatkan hiperbilirubinemia dan kernikikterus yang akan menyebabkan kerusakan jaringan otak.

h. Anoreksia Embrio

Anoreksia embrio yang disebabkan oleh gangguan fungsi plasenta menyebabkan pertumbuhan terganggu.

i. Psikologi Ibu

Kondisi seperti kehamilan yang tidak diinginkan serta perlakuan salah atau kekerasan mental pada ibu hamil dan lain-lain.


(32)

16

2) Faktor Persalinan

Komplikasi persalinan pada bayi seperti trauma kepala, asfiksia, dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak.

3) Faktor Pasca Persalinan a. Gizi

Untuk tumbuh kembang bayi, diperlukan zat makanan yang adekuat. b. Penyakit kronis atau kelainan congenital

Penyakit seperti TBC, anemia, dan kelainan jantung bawaan dapat menyebabkan anak mengalami retardasi pertumbuhan anak secara jasmani. c. Lingkungan fisik dan kimia

Sanitasi lingkungan yang kurang baik, kurangnya sinar matahari, paparan sinar radioaktif dan zat kimia tertentu (merkuri, rokok) mempunyai dampak yang negative terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.

d. Psikologis

Anak yang selalu merasa tertekan secara psikologis, akan mengalami hambatan di dalam pertumbuhan dan perkembangan.

e. Endokrin

Gangguan hormone, misalnya pada penyakit hipotiroid, akan menyebabkan anak mengalami hambatan pertumbuhan.

f. Sosio ekonomi

Kemiskinan selalu berkaitan dengan kekurangan makanan serta kesehatan lingkungan yang kurang baik dapat berkontribusi dalam menghambat pertumbuhan anak.


(33)

17

g. Lingkungan pengasuhan

Pada lingkungan pengasuhan, interaksi ibu dan anak sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak.

h. Stimulasi

Perkembangan memerlukan rangsangan atau stimulasi, khususnya dalam keluarga, misalnya penyediaan mainan, sosialisasi anak, serta keterlibatan ibu dan anggota keluarga lain terhadap kegiatan anak.

i. Obat-obatan

Pemakaian kortikosteroid jangka panjang dapat menghambat pertumbuhan, demikian halnya dengan pemakaian obat perangsang terhadap susunan saraf yang menyebabkan terhambatnya produksi hormon pertumbuhan.

2.2Perilaku 2.2.1Pengertian

Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan (Fitriani, 2011). Aktivitas-aktivitas tersebut dikelompokkan menjadi aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain seperti : berjalan, tertawa, bernyanyi, dan aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain seperti : berpikir, berfantasi dan bersikap. Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar) dan terdapat teori SOR (Stimulus-Organisme-Respon) yang merupakan stimulus terhadap organism kemudian organism meresponnya (Notoatmodjo, 2010).


(34)

18

Teori SOR dalam Notoatmodjo (2010), membagi perilaku menjadi dua jenis, yaitu:

1) Perilaku tertutup/covert behavior merupakan respon terhadap stimulus dimana hanya dalam batas persepsi, perhatian, pengetahuan/kesadaran, tanpa dapat diamati.

2) Perilaku terbuka/overt behavior yaitu respon terhadap stimulus dimana telah ditunjukkan dalam bentuk nyata atau terbuka sehingga dapat diamati oleh orang lain.

Teori Skinner dalam Notoatmodjo (2010) menjelaskan ada dua jenis respon: a. Respondent respons, yaitu respon yang timbul bersifat menetap akibat

rangsangan yang disebut eleciting stimuli.

b. Operant respons, yaitu repson yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh rangsangan lain yang disebut reinforcing stimuli.

2.2.2Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2010) menganalisis faktor-faktor utama yang mempengaruhi perilaku yaitu :

1) Faktor Predisposisi yaitu faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya. Seorang anak mau mencuci tangan dengan sabun sebelum makan karena tahu bahwa cuci tangan dapat menghilangkan kuman sehingga dapat mencegah penyakit. Tanpa adanya pengetahuan, anak akan malas mencuci tangan.


(35)

19

2) Faktor Pemungkin adalah faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor pemungkin merupakan sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya penyediaan sabun dan air yang bersih untuk mencuci tangan.

3) Faktor Penguat adalah faktor pendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Faktor pendorong ini mencakup sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, serta sikap dan perilaku petugas kesehatan. Contohnya adalah seorang anak akan terbiasa mencuci tangan apabila ibunya mempunyai kebiasaan mencuci tangan.

2.2.3 Aspek perilaku

Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2010) membagi perilaku manusia ke dalam tiga kawasan yakni :

1) Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera penglihatan dan pendengaran. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Fitriani, 2011). Secara garis besar dibagi menjadi enam tingkat pengetahuan, yaitu :

a. Tahu (know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Contohnya dapat menyebutkan manfaat dari cuci tangan.


(36)

20

b. Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi secara benar sehingga dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan makanan yang bergizi.

c. Aplikasi (application), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang sudah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Misalnya dapat menggunakan rencana keperawatan yang telah ia pahami sebelumnya.

d. Analisis (analysis), diartikan sebagai kemampuan untuk menjabarkan materi kemudian mencari hubungan suatu objek ke dalam komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah. Misalnya dapat membuat bagan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis), diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk merangkum dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimilikinya. Misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation), diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian tersebut berdasarkan criteria yang ditentukan sendiri maupun yang sudah ada. Misalnya anak dapat menilai anak yang menderita gizi buruk dan yang tidak.


(37)

21

2) Sikap

Sikap merupakan respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek yang sudah melibatkan factor pendapat dan emosi yang bersangkutan. Newcomb dalam Notoatmodjo (2010) menyatakan sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Berdasarkan intensitasnya, sikap dapat dibagi menjadi :

a. Menerima (Receiving)

Seseorang atau subjek mau dan memperhatikan menerima stimulus yang diberikan. Misalnya dapat dilihat dari kesediaan anak untuk mendengarkan penyuluhan.

b. Menanggapi (Responding)

Memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.

c. Menghargai (Valuing)

Subjek memberikan nilai yang positif terhadap stimulus kemudian membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merepsons.

d. Bertanggung jawab (Responsible)

Sikap yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya harus bersedia mengambil risiko dan merupakan paling tinggi tingkatannya.


(38)

22

3) Praktik atau tindakan

Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan diperlukan fasilitas atau sarana dan prasarana. Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan :

a. Respon terpimpin

Apabila subjek telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan. Misalnya anak mencuci tangan masih harus diingatkan oleh ibunya. b. Mekanisme

Apabila subjek telah melaksanakan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis. Misalnya anak mencuci tangan setelah buang air tanpa perlu diingatkan oleh ibunya.

c. Adopsi

Adopsi merupakan suatu tindakan yang sudah berkembang sehingga dilakukan tidak sekedar rutinitas tetapi sudah dilakukan modifikasi yang berkualitas. Misalnya anak dapat mencuci tangan sesuai langkah-langkah cuci tangan yang benar.

2.2.4 Upaya Perubahan Perilaku

Menurut Effendi dan Makhfudli (2009), beberapa strategi untuk memperoleh perubahan perilaku bisa dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:


(39)

23

1) Menggunakan kekuasaan atau dorongan

Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran sehingga mau melakukan perilaku yang diharapkan. Misalnya dengan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat.

2) Pemberian informasi

Adanya informasi tentang cara mencapai hidup sehat, pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit akan meningkatkan pengetahuan masyarakat. Selanjutnya dengan pengetahuan tersebut akan timbul kesadaran sehingga seseorang akan berperilaku sesuai pengetahuan yang dimilikinya.

3) Diskusi partisipatif

Cara ini merupakan pengembangan dari cara kedua dimana penyampaian informasi kesehatan bukan hanya searah tetapi secara partisipatif. Hal ini berarti bahwa seseorang tidak hanya menerima secara pasif tetapi juga ikut aktif dalam diskusi tentang informasi yang diterima.

2.2.5 Proses Adopsi Perilaku

Menurut Rogers (1974) dalam Effendi dan Makhfudli (2009) mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku yang baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni sebagai berikut : 1) Timbul kesadaran (awareness), yakni orang tersebut menyadari (mengetahui)

stimulus terlebih dahulu.

2) Ketertarikan (interest), yakni orang tersebut mulai tertarik kepada stimulus. 3) Mempertimbangkan baik tidaknya stimulus (evaluation), yakni sikap orang


(40)

24

4) Mulai mencoba (trial), yakni orang tersebut memutuskan untuk mulai mencoba perilaku baru.

5) Mengadaptasi (adoption), yakni orang tersebut telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Untuk membuat seseorang mengadopsi perilaku yang baru, terlebih dahulu harus mengetahui arti maupun manfaat perilaku tersebut bagi dirinya dan keluarga. Dalam hal ini dapat dikelompokkan menjadi pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi pengetahuan tentang sakit dan penyakit, pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat, dan pengetahuan tentang kesehatan lingkungan. Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau objek kesehatan tersebut. Indikatornya antara lain sikap terhadap sakit dan penyakit, sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat, dan sikap terhadap kesehatan lingkungan. Proses selanjutnya diharapkan akan melaksanakan atau mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapinya antara lain tindakan sehubungan dengan penyakit, baik pencegahan maupun penyembuhan, tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, dan tindakan kesehatan lingkungan (Fitriani, 2011).

2.2.6 Cara mengukur perilaku kesehatan

Menurut Green (1980) dalam Maulana (2009), pendidikan kesehatan mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengubah perilaku seseorang. Perubahan perilaku memerlukan waktu dan dievaluasi dalam waktu tiga minggu (Lally,


(41)

25

2011). Menurut Kuswandari (2012) cara mengukur perilaku kesehatan dapat dilakukan dengan cara pengamatan langsung (observasi).

2.3 Cuci Tangan 2.3.1 Pengertian

Cuci tangan adalah kegiatan membersihkan kotoran yang melekat pada kulit dengan memakai sabun dan air yang mengalir (Depkes, 2007). Pernyataan ini selaras dengan Potter (2006) yang menjelaskan bahwa cuci tangan adalah aktifitas membersihkan tangan dengan cara menggosok dan menggunakan sabun serta membilasnya pada air yang mengalir. Mencuci tangan adalah proses menggosok kedua permukaan tangan dengan kuat secara bersamaan menggunakan zat yang sesuai dan dibilas dengan air dengan tujuan menghilangkan mikroorganisme sebanyak mungkin (Jonshon, 2005).

Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari-jemari menggunakan air dan sabun untuk menjadi bersih. Mencuci tangan dengan sabun merupakan salah satu upaya pencegahan penyakit. Hal ini dilakukan karena tangan seringkali menjadi agen yang membawa kuman dan menyebabkan patogen berpindah dari satu orang ke orang lain, baik dengan kontak langsung ataupun kontak tidak langsung (menggunakan permukaan-permukaan lain seperti handuk, gelas). Tangan yang bersentuhan langsung dengan kotoran manusia dan binatang, ataupun cairan tubuh lain (seperti ingus) dan makanan/minuman yang terkontaminasi saat tidak dicuci dengan sabun


(42)

26

dapat memindahkan bakteri, virus, dan parasit pada orang lain yang tidak sadar bahwa dirinya sedang ditulari (Isaac, 2007).

Brooker (2008) mengungkapkan bahwa cuci tangan adalah satu-satunya prosedur terpenting dalam pengendalian infeksi nosokomial. WHO menganjurkan untuk melakukan cuci tangan pakai sabun untuk mengatasi healthcare associated infection (HAIs) karena pada tangan manusia terdapat flora transient yaitu flora yang ada di permukaan tangan yang berkaitan dengan lingkungan dan sebagainya dan biasanya berkaitan dengan penularan infeksi di rumah sakit (Semijurnal Farmasi & Kedokteran, 2012). Oleh karena itu cuci tangan pakai sabun dapat mencegah penyebaran penyakit-penyakit menular seperti diare, ISPA, dan flu burung bahkan disarankan untuk mencegah penyebaran H1N1 (Depkes RI, 2009). Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dapat mengurangi insiden diare sampai 50% atau sama dengan menyelamatkan sekitar 1 juta anak didunia dari penyakit tersebut setiap tahunnya (Rompas, 2013).

2.3.2 Tujuan Cuci Tangan

Tujuan mencuci tangan adalah untuk menghilangkan mikroorganisme sementara yang mungkin ditularkan ke orang lain dan mencuci tangan merupakan tindakan yang paling efektif untuk mencegah dan mengendalikan adanya infeksi nosokomial (Kozier dan Erb’s, 2009). Cuci tangan adalah salah satu unsur pencegahan penularan infeksi (Depkes RI, 2007).

Cuci tangan menggunakan sabun, bagi sebagian masyarakat sudah menjadi kegiatan rutin sehari-hari, tapi bagi sebagian masyarakat lainnya, cuci tangan


(43)

27

menggunakan sabun belum menjadi kegiatan rutin, terutama bagi anak-anak. Cuci tangan menggunakan sabun dapat menghilangkan sejumlah besar virus dan bakteri yang menjadi penyebab berbagai penyakit, terutama penyakit yang menyerang saluran cerna, seperti diare dan penyakit infeksi saluran nafas akut (Tietjen, 2004).

2.3.3 Manfaat Cuci Tangan

Mencuci tangan menggunakan sabun yang dipraktikkan secara tepat dan benar dapat mencegah berjangkitnya beberapa penyakit. Mencuci tangan dapat mengurangi risiko penularan berbagai penyakit termasuk flu burung, cacingan, influenza, hepatitis A, dan diare terutama pada bayi dan balita. Anak yang mencuci tangan tanpa menggunakan sabun berisiko 30 kali lebih besar terkena penyakit tipoid empat kali lebih parah daripada yang terbiasa mencuci tangan menggunakan sabun (Wahid, 2007). Selain itu, manfaat positif lain dari mencuci tangan adalah tangan menjadi bersih dan wangi (Kemenkes, 2011).

2.3.4 Macam-macam Cuci Tangan

Kegiatan mencuci tangan dibagi menjadi tiga yaitu: cuci tangan bersih, cuci tangan aseptic, dan cuci tangan steril (Potter, 2006).

1) Cuci tangan bersih

Mencuci tangan bersih adalah membersihkan tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir atau yang disiramkan. Waktu yang penting cuci tangan bersih dengan sabun adalah sebelum makan dan sesudah makan, setelah dari toilet, sebelum mengobati luka, sebelum melakukan kegiatan apapun yang memasukkan


(44)

28

jari-jari kedalam mulut dan mata, setelah bermain dan olahraga, setelah mengusap hidung atau bersin ditangan, setelah buang sampah, setelah menyentuh hewan atau unggas termasuk hewan peliharaan (Potter, 2006). WHO (2009) mengeluarkan regulasi tentang peraturan mencuci tangan baik pada kalangan medis maupun kalangan umum (perseorangan).

2) Cuci tangan aseptic

Mencuci tangan aseptic adalah mencuci tangan yang dilakukan sebelum tindakan aseptic pada pasien dengan menggunakan larutan antiseptic. Mencuci tangan dengan larutan antiseptic, khususnya bagi petugas yang berhubungan dengan pasien yang mempunyai penyakit menular atau sebelum melakukan tindakan bedah aseptic dengan antiseptic dan sikat steril. Prosedur mencuci tangan aseptic sama dengan persiapan dan prosedur pada cuci tangan higienis atau cuci tangan bersih, hanya saja bahan deterjen atau sabun diganti dengan antiseptic dan setelah mencuci tangan tidak boleh menyentuh bahan yang tidak steril (Kozier, et al, 2009).

3) Cuci tangan steril

Teknik mencuci tangan steril adalah mencuci tangan secara steril, khususnya bila akan membantu tindakan pembedahan atau operasi. Peralatan yang dibutuhkan untuk mencuci tangan steril adalah menyediakan bak cuci tangan dengan pedal kaki atau pengontrol lutut, sabun antimicrobial, sikat scrub bedah dengan pembersih kuku dari plastic, masker kertas dan topi atau penutup kepala, handuk steril, pakaian di ruang scrub dan pelindung mata, penutup sepatu (Kozier, et al, 2009). Prosedur mencuci tangan steril berbeda dengan mencuci tangan bersih dan


(45)

29

septic. Perbedaannya terletak pada frekuensi cuci tangan dan peralatan sikat untuk menggosok kuku. Mencuci tangan steril dilakukan sebanyak dua kali cuci tangan baru kemudian dikeringkan oleh handuk sekali pakai.

2.3.5 Prosedur Cuci tangan

Prosedur cuci tangan bersih dengan sabun menurut WHO (2009) adalah sebagai berikut :

a. Pertama, basuh kedua tangan dengan air bersih yang mengalir, ratakan sabun dengan kedua telapak tangan

b. Gosok punggung tangan dan sela-sela jari tangan kiri dan tangan kanan, begitu pula sebaliknya

c. Gosok kedua telapak tangan dan sela-sela jari tangan kiri dan kanan d. Jari-jari sisi dalam kedua tangan saling mengunci

e. Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan juga pada tangan kanan

f. Gosok telapak tangan dengan ujung jari tangan satunya dengan gerakan memutar. Lakukan pada tangan yang satunya juga

g. Bilas dengan air bersih mengalir dan keringkan tangan dengan handuk/tissue sekali pakai. Gunakan handuk atau tissue tersebut untuk menutup kran air.


(46)

30

Langkah Mencuci Tangan dengan Sabun dan Air (WHO, 2009)


(47)

31

2.3.6 Faktor yang mempengaruhi perilaku cuci tangan

Menurut Potter & Perry (2006), ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang untuk mencuci tangan di antaranya adalah citra tubuh, praktik sosial, status sosioekonomi, pengetahuan, dan kebiasaan.

1) Citra diri

Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan dirinya. Misalnya karena ada perubahan fisik sehingga individu tidak peduli terhadap kesehatan.

2) Praktik sosial

Pada anak-anak yang selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka akan terjadi perubahan pola cuci tangan.

3) Status sosioekonomi

Mencuci tangan memerlukan alat dan bahan seperti sabun, lap tangan atau tisu dan semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.

4) Pengetahuan

Pengetahuan cuci tangan sangat penting karena pengetahuan baik dapat meningkatkan kesehatan.

5) Kebiasaan

Adanya kebiasaan untuk tidak cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas sedari kecil akan terbawa sampai dewasa.


(48)

32

2.4Pendidikan Kesehatan 2.4.1 Pengertian

Menurut Suliha (2002) dalam Zuraidah (2013) menyebutkan bahwa pendidikan kesehatan adalah suatu proses yang mengubah pengetahuan kesehatan menjadi suatu kebiasaan hidup. Pendidikan kesehatan yaitu proses perubahan untuk mengubah individu, keluarga, maupun masyarakat menuju hal yang positif dengan susunan yang terencana melalui proses belajar mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan (Machfoed, 2006). Sasaran pendidikan kesehatan yaitu kepada masyarakat umum, masyarakat dengan kelompok tertentu seperti wanita, pemuda, remaja serta termasuk pula kelompok khusus yaitu lembaga pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi, sekolah agama baik negeri ataupun swasta (Fitriani, 2011).

Dalam Fitriani (2011) tujuan pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku orang atau masyarakat yang tidak sehat atau belum sehat menjadi perilaku sehat dan mengubah perilaku yang kaitannya dengan budaya. Sedangkan menurut Tarnawan dalam Zuraidah (2013), tujuan dari pendidikan kesehatan adalah melanjutkan penanaman kebiasaan dan norma hidup sehat serta memberikan pengetahuan tentang kesehatan.

1.4.2 Proses Pendidikan Kesehatan

Menurut Fitriani (2011), di dalam kegiatan belajar terdapat prinsip pokok yaitu proses belajar yang di dalamnya terdapat tiga persoalan pokok, yaitu :


(49)

33

1) Persoalan masukan (input)

Menyangkut pada sasaran belajar (sasaran didik) yaitu individu, kelompok serta masyarakat yang sedang belajar itu sendiri dengan berbagai latar belakangnya.

2) Persoalan proses

Mekanisme dan interaksi terjadinya perubahan kemampuan (perilaku) pada diri subjek belajar tersebut. Dalam proses ini terjadi pengaruh timbal balik antara berbagai faktor antara lain subjek belajar, pengajar metode, teknik belajar, alat bantu belajar serta materi atau bahan yang dipelajari.

3) Persoalan keluaran (output)

Merupakan hasil belajar itu sendiri yaitu berupa kemampuan atau perubahan perilaku dari subjek belajar.

2.4.3 Media pendidikan kesehatan

Yang dimaksud media pendidikan pada hakikatnya adalah alat bantu pendidikan. Disebut media pendidikan karena alat-alat tersebut merupakan alat saluran (channel) untuk menyampaikan informasi kesehatan karena alat tersebut digunakan untuk mempermudah penerimaan pesan kesehatan bagi masyarakat atau klien (Fitriani, 2011). Menurut Waryanto (2007) mengelompokkan media ini berdasarkan jenisnya, yaitu :

1) Media audio

Media ini hanya mengandalkan kemampuan suara saja. Jenisnya antara lain adalah tape recorder, CD maupun radio.


(50)

34

2) Media visual

Media yang hanya mengandalkan indra penglihatan dalam wujud visual. Puzzle merupakan salah satu dari jenis media ini.

3) Media audiovisual

Media yang mempunyai unsur suara dan gambar.

2.5 Puzzle 2.5.1 Pengertian

Puzzle merupakan media yang berbentuk potongan-potongan gambar yang digunakan untuk menyalurkan pesan pembelajaran, sehingga dapat menstimulus perhatian, minat, pikiran dan perasaan anak selama proses pembelajaran (Zakarya, 2013). Permainan puzzle adalah permainan yang terdiri atas kepingan-kepingan dari satu gambar tertentu yang dapat melatih kreativitas, keteraturan, dan tingkat konsentrasi (Soebachman, 2012). Puzzle adalah permainan menyusun dan mencocokan bentuk dan tempatnya sesuai dengan gambar yang sebenarnya (Yulianty, 2008). Menurut Olivia (2009), puzzle adalah sebuah permainan menggabungkan gambar yang sebelumnya terpisah menjadi satu kesatuan yang memiliki arti.

2.5.2 Tujuan Permainan Puzzle

Memberikan permainan puzzle pada anak merupakan permainan yang menarik dan memberikan pengetahuan yang dapat mengasah strategi anak. Permainan anak yang diberikan dapat memberikan simbol. Permainan membuat anak belajar dengan senang, dan dengan belajar melalui permainan anak dapat menguasai


(51)

35

pelajaran yang lebih menantang. Permainan puzzle menurut Sunarti (2005) mempunyai tujuan, yaitu:

1) Mengenalkan anak beberapa strategi sederhana dalam menyelesaikan masalah. 2) Melatih kecepatan, kecermatan, dan ketelitian dalam menyelesaikan masalah. 3) Menanamkan sikap pantang menyerah dalam menghadapi masalah.

2.5.3 Manfaat Permainan Puzzle

Permainan puzzle bisa memberikan kesempatan belajar yang banyak kepada anak. Memainkan puzzle bersama-sama dapat merekatkan hubungan antara orangtua dan anak. Permainan puzzle memberikan tantangan tersendiri untuk anak disaat anak berada dalam kondisi bingung sebagai orangtua dapat menyemangati anak agar tidak patah semangat. Semangat yang diperoleh anak dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan merasa mampu menyelesaikan permainan puzzle tersebut. Rasa percaya diri dapat menambah rasa aman kepada anak sehingga anak akan lebih aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan lainnya. Manfaat permainan puzzle menurut Yulianty (2008) adalah:

1) Mengasah otak, kecerdasan otak anak akan terlatih karena permainan puzzle yang melatih sel-sel otak untuk memecahkan masalah.

2) Melatih koordinasi mata dan tangan, permainan puzzle melatih koordinasi tangan dan mata anak. Hal itu dikarenakan anak harus mencocokan keping-keping puzzle dan menyusunnya menjadi satu gambar utuh.

3) Melatih membaca, membantu mengenal bentuk dan langkah penting menuju pengembangan keterampilan membaca.


(52)

36

4) Melatih nalar, permainan puzzle dalam bentuk manusia akan melatih nalar anak-anak karena anaak-anak akan menyimpulkan dimana letak kepala, tangan, kaki, dan lain-lain sesuai dengan logika.

5) Melatih kesabaran. Aktivitas permainan puzzle, kesabaran akan terlatih karena saat bermain puzzle di butuhkan kesabaran dalam menyelesaikan permasalahan.

6) Memberikan pengetahuan, permainan puzzle memberikan pengetahuan kepada anak-anak untuk mengenal warna dan bentuk. Anak juga akan belajar konsep dasar binatang, alam sekitar, jenis-jenis benda, anatomi tubuh manusia, dan lain-lain.

2.5.4 Jenis Potongan Puzzle

Menurut Hadfield dalam Rahmanelli (2007) dunia anak-anak terdapat berbagai jenis permainan, salah satu jenis permainan yang bermanfaat bagi anak dan bersifat edukatif adalah puzzle. Puzzle terdiri dari kepingan-kepingan. Kegiatan membongkar dan menyusun kembali kepingan puzzle menjadi bentuk yang utuh bertujuan melatih koordinasi mata, tangan dan pikiran anak dalam menyusun kepingan puzzle yang terdiri dari berbagai bentuk yang berbeda dengan cara mencocokkan potongan gambar satu dengan lainnya, sehingga membentuk satu gambar yang utuh dan baik. Puzzle merupakan permainan yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan anak dalam merangkainya. Anak terbiasa dalam permainan puzzle, lambat laun mental anak juga akan terbiasa untuk bersikap tenang, tekun, dan sabar dalam menyelesaikan sesuatu.


(53)

37

Beberapa jenis potongan puzzle menurut Hadfield dalam Rahmanelli (2007) diantaranya:

1. Spelling puzzle, yakni puzzle yang terdiri dari gambar-gambar dan huruf-huruf acak untuk dijodohkan menjadi kosakata yang benar.

2. Jigsaw Puzzle, yakni puzzle yang berupa beberapa pertanyaan untuk dijawab kemudian dari jawaban itu diambil huruf-huruf pertama untuk dirangkai menjadi sebuah kata yang merupakan jawaban pertanyaan yang paling akhir. 3. The thing puzzle, yakni puzzle yang berupa deskripsi kalimat-kalimat yang

berhubungan dengan gambar-gambar benda untuk dijodohkan.

4. The letter readiness puzzle, yakni puzzle yang berupa gambar-gambar disertai dengan huruf-huruf nama gambar tersebut, tetapi huruf itu belum lengkap. 5. Crosswords puzzle, yakni puzzle berupa pertanyaan-pertanyaan yang harus

dijawab dengan cara memasukkan jawaban tersebut ke dalam kotak-kotak yang tersedia baik secara horizontal maupun vertikal.

2.5.5 Cara Memainkan Puzzle

Permainan puzzle dapat merangsang daya pikir anak, termasuk diantaranya meningkatkan kemampuan konsentrasi dan memecahkan masalah. Permainan ini juga dituntut agar membuat anak untuk teliti dan tekun ketika mengerjakannya. Kegiatan yang aktif dalam bermain ini dapat meningkatkan aktifitas sel otaknya dan juga merupakan masukan-masukkan pengamatan atau ingatan yang selanjutnya akan menyuburkan proses pembelajaran dan menggunakan semua panca indranya secara aktif. Menurut Yulianti (2008) langkah-kangkah memainkan permainan puzzle adalah sebagai berikut:


(54)

38

1. Lepaskan kepingan puzzle dari papannya 2. Acak kepingan puzzle tersebut

3. Mintalah anak untuk memasangkannya kembali

4. Berikan tantangan pada anak untuk melakukannya dengan cepat, biasanya dengan hitungan angka dari 1 sampai 10, stopwatch, dll.

2.6Pengaruh penggunaan media puzzle terhadap perilaku cuci tangan anak usia pra sekolah

Anak usia tiga sampai enam tahun digolongkan pada usia prasekolah dimana anak akan mengalami tumbuh kembang yang sangat pesat yang berlangsung secara holistik atau menyeluruh (Martuti, 2008). Anak mulai dapat diajarkan untuk menggunakan aturan-aturan untuk memahami penyebab, seperti sebelum makan agar tidak sakit perut, anak dapat diajarkan perilaku cuci tangan dengan sabun (Potter & Perry, 2005).

Perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh pengetahuan yang diperoleh, sehingga hal tersebut dapat memunculkan sikap terhadap nilai-nilai yang baik dan salah satunya adalah kesehatan (Listuayu, 2012). Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan tentang kebersihan diri dan hidup sehat sangat dibutuhkan dalam mempertahankan kebiasaan hidup yang sesuai dengan kesehatan dan akan menciptakan kesejahteraan dan kesehatan yang optimal. Pengalaman terhadap praktek yang didasari oleh pengetahuan akan lebih menetap dari praktek yang tidak didasari pengetahuan. Pendapat tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang berjudul “Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Perilaku Mencuci


(55)

39

Tangan Dengan Benar pada Siswa Kelas V SDIT An-Nida’Kota Lubuklinggau Tahun 2013”. Penelitian tersebut dilakukan oleh Zuraidah (2013) yang mendapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap perilaku cuci tangan yang benar seseorang.

Pada usia prasekolah ini perilaku dapat dibentuk melalui cara menumbuhkan pengertian, kebiasaan, dan penggunaan model sehingga dapat dibentuk perilaku kesehatan sesuai dengan harapan. Pembentukan perilaku melalui pembiasaan dan pengembangan kemampuan dasar merupakan fokus pengembangan pada anak usia tersebut. Pendidikan kesehatan merupakan salah satu cara menumbuhkan pengertian kepada anak untuk mengubah perilaku (Fitriani, 2011). Pentingnya pendidikan kesehatan tersebut dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Susilaningsih (2013) yang berjudul “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Perilaku Mencuci Tangan Siswa Sekolah Dasar”. Penelitian tersebut dilakukan di SD 1 Gonilan dengan 36 responden yang mendapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap perilaku cuci tangan anak melalui pendidikan kesehatan.

Dalam mengajarkan anak usia prasekolah untuk mencuci tangan diperlukan media yang tepat sehingga dapat mengubah perilaku (Fitriani, 2011). Salah satu media yang bisa digunakan adalah media puzzle untuk meningkatkan minat anak sehingga pesan tersampaikan. Hal tersebut didukung oleh beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa melalui media puzzle minat siswa dalam belajar menjadi lebih tinggi sehingga memunculkan sikap yang baik bagi anak.


(56)

40

Penelitian yang dilakukan oleh Samiyati (2012) dengan judul “Peningkatan Minat dan Hasil Belajar IPA Pokok Bahasan Penggolongan Makhluk Hidup Menggunakan Metode Demonstrasi dengan Media Puzzle pada Siswa Kelas III SDN Kaliwining”. Dalam penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan minat dan hasil belajar siswa melalui media puzzle. Penelitian lain dilakukan oleh Fuad (2012) dengan judul “Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Time Game Tournament (TGT) Dengan Media Permainan Puzzle Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Bidang Studi Matematika Pokok Bahasan Bangun Datar Pada Siswa Kelas II SD Negeri Mumbulsari”. Penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa melalui media puzzle. Penelitian terbaru dilakukan oleh Zakarya (2013) dengan judul “Pengaruh Pelatihan Cuci Tangan Bersih Dengan Metode Bermain Puzzle Terhadap Kemampuan Melakukan Cuci Tangan Anak Tunagrahita Di SDLB TPA Kab. Jember”. Penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh pelatihan cuci tangan bersih dengan metode puzzle terhadap kemampuan cuci tangan bersih anak.

Penelitian tentang penggunaan media puzzle pada anak usia prasekolah yang dilakukan oleh Safitri, Syukri dan Yuniarni (2014) dengan judul “Peningkatan Kemampuan Daya Ingat Melalui Permainan Puzzle Pada Anak Usia 5-6 Tahun”. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa pembelajaran dengan media puzzle meningkatkan kemampuan daya ingat anak usia 5-6 tahun.


(57)

41

Hal itu terbukti bahwa selain meningkatkan minat belajar anak, dengan penggunaan puzzle dalam pembelajaran juga meningkatkan daya ingat anak sehingga pengetahuan cuci tangan yang diberikan menetap dalam pikiran anak dan diadopsi dalam kehidupan sehari-hari.


(1)

4) Melatih nalar, permainan puzzle dalam bentuk manusia akan melatih nalar anak-anak karena anaak-anak akan menyimpulkan dimana letak kepala, tangan, kaki, dan lain-lain sesuai dengan logika.

5) Melatih kesabaran. Aktivitas permainan puzzle, kesabaran akan terlatih karena saat bermain puzzle di butuhkan kesabaran dalam menyelesaikan permasalahan.

6) Memberikan pengetahuan, permainan puzzle memberikan pengetahuan kepada anak-anak untuk mengenal warna dan bentuk. Anak juga akan belajar konsep dasar binatang, alam sekitar, jenis-jenis benda, anatomi tubuh manusia, dan lain-lain.

2.5.4 Jenis Potongan Puzzle

Menurut Hadfield dalam Rahmanelli (2007) dunia anak-anak terdapat berbagai jenis permainan, salah satu jenis permainan yang bermanfaat bagi anak dan bersifat edukatif adalah puzzle. Puzzle terdiri dari kepingan-kepingan. Kegiatan membongkar dan menyusun kembali kepingan puzzle menjadi bentuk yang utuh bertujuan melatih koordinasi mata, tangan dan pikiran anak dalam menyusun kepingan puzzle yang terdiri dari berbagai bentuk yang berbeda dengan cara mencocokkan potongan gambar satu dengan lainnya, sehingga membentuk satu gambar yang utuh dan baik. Puzzle merupakan permainan yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan anak dalam merangkainya. Anak terbiasa dalam permainan puzzle, lambat laun mental anak juga akan terbiasa untuk bersikap tenang, tekun, dan sabar dalam menyelesaikan sesuatu.


(2)

Beberapa jenis potongan puzzle menurut Hadfield dalam Rahmanelli (2007) diantaranya:

1. Spelling puzzle, yakni puzzle yang terdiri dari gambar-gambar dan huruf-huruf acak untuk dijodohkan menjadi kosakata yang benar.

2. Jigsaw Puzzle, yakni puzzle yang berupa beberapa pertanyaan untuk dijawab kemudian dari jawaban itu diambil huruf-huruf pertama untuk dirangkai menjadi sebuah kata yang merupakan jawaban pertanyaan yang paling akhir. 3. The thing puzzle, yakni puzzle yang berupa deskripsi kalimat-kalimat yang

berhubungan dengan gambar-gambar benda untuk dijodohkan.

4. The letter readiness puzzle, yakni puzzle yang berupa gambar-gambar disertai dengan huruf-huruf nama gambar tersebut, tetapi huruf itu belum lengkap. 5. Crosswords puzzle, yakni puzzle berupa pertanyaan-pertanyaan yang harus

dijawab dengan cara memasukkan jawaban tersebut ke dalam kotak-kotak yang tersedia baik secara horizontal maupun vertikal.

2.5.5 Cara Memainkan Puzzle

Permainan puzzle dapat merangsang daya pikir anak, termasuk diantaranya meningkatkan kemampuan konsentrasi dan memecahkan masalah. Permainan ini juga dituntut agar membuat anak untuk teliti dan tekun ketika mengerjakannya. Kegiatan yang aktif dalam bermain ini dapat meningkatkan aktifitas sel otaknya dan juga merupakan masukan-masukkan pengamatan atau ingatan yang selanjutnya akan menyuburkan proses pembelajaran dan menggunakan semua panca indranya secara aktif. Menurut Yulianti (2008) langkah-kangkah memainkan permainan puzzle adalah sebagai berikut:


(3)

1. Lepaskan kepingan puzzle dari papannya 2. Acak kepingan puzzle tersebut

3. Mintalah anak untuk memasangkannya kembali

4. Berikan tantangan pada anak untuk melakukannya dengan cepat, biasanya dengan hitungan angka dari 1 sampai 10, stopwatch, dll.

2.6Pengaruh penggunaan media puzzle terhadap perilaku cuci tangan anak

usia pra sekolah

Anak usia tiga sampai enam tahun digolongkan pada usia prasekolah dimana anak akan mengalami tumbuh kembang yang sangat pesat yang berlangsung secara holistik atau menyeluruh (Martuti, 2008). Anak mulai dapat diajarkan untuk menggunakan aturan-aturan untuk memahami penyebab, seperti sebelum makan agar tidak sakit perut, anak dapat diajarkan perilaku cuci tangan dengan sabun (Potter & Perry, 2005).

Perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh pengetahuan yang diperoleh, sehingga hal tersebut dapat memunculkan sikap terhadap nilai-nilai yang baik dan salah satunya adalah kesehatan (Listuayu, 2012). Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan tentang kebersihan diri dan hidup sehat sangat dibutuhkan dalam mempertahankan kebiasaan hidup yang sesuai dengan kesehatan dan akan menciptakan kesejahteraan dan kesehatan yang optimal. Pengalaman terhadap praktek yang didasari oleh pengetahuan akan lebih menetap dari praktek yang tidak didasari pengetahuan. Pendapat tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang berjudul “Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Perilaku Mencuci


(4)

Tangan Dengan Benar pada Siswa Kelas V SDIT An-Nida’Kota Lubuklinggau Tahun 2013”. Penelitian tersebut dilakukan oleh Zuraidah (2013) yang mendapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap perilaku cuci tangan yang benar seseorang.

Pada usia prasekolah ini perilaku dapat dibentuk melalui cara menumbuhkan pengertian, kebiasaan, dan penggunaan model sehingga dapat dibentuk perilaku kesehatan sesuai dengan harapan. Pembentukan perilaku melalui pembiasaan dan pengembangan kemampuan dasar merupakan fokus pengembangan pada anak usia tersebut. Pendidikan kesehatan merupakan salah satu cara menumbuhkan pengertian kepada anak untuk mengubah perilaku (Fitriani, 2011). Pentingnya pendidikan kesehatan tersebut dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Susilaningsih (2013) yang berjudul “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Perilaku Mencuci Tangan Siswa Sekolah Dasar”. Penelitian tersebut dilakukan di SD 1 Gonilan dengan 36 responden yang mendapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap perilaku cuci tangan anak melalui pendidikan kesehatan.

Dalam mengajarkan anak usia prasekolah untuk mencuci tangan diperlukan media yang tepat sehingga dapat mengubah perilaku (Fitriani, 2011). Salah satu media yang bisa digunakan adalah media puzzle untuk meningkatkan minat anak sehingga pesan tersampaikan. Hal tersebut didukung oleh beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa melalui media puzzle minat siswa dalam belajar menjadi lebih tinggi sehingga memunculkan sikap yang baik bagi anak.


(5)

Penelitian yang dilakukan oleh Samiyati (2012) dengan judul “Peningkatan Minat dan Hasil Belajar IPA Pokok Bahasan Penggolongan Makhluk Hidup Menggunakan Metode Demonstrasi dengan Media Puzzle pada Siswa Kelas III SDN Kaliwining”. Dalam penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan minat dan hasil belajar siswa melalui media puzzle. Penelitian lain dilakukan oleh Fuad (2012) dengan judul “Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Time Game Tournament (TGT) Dengan Media Permainan Puzzle Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Bidang Studi Matematika Pokok Bahasan Bangun Datar Pada Siswa Kelas II SD Negeri Mumbulsari”. Penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa melalui media puzzle. Penelitian terbaru dilakukan oleh Zakarya (2013) dengan judul “Pengaruh Pelatihan Cuci Tangan Bersih Dengan Metode Bermain Puzzle Terhadap Kemampuan Melakukan Cuci Tangan Anak Tunagrahita Di SDLB TPA Kab. Jember”. Penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh pelatihan cuci tangan bersih dengan metode puzzle terhadap kemampuan cuci tangan bersih anak.

Penelitian tentang penggunaan media puzzle pada anak usia prasekolah yang dilakukan oleh Safitri, Syukri dan Yuniarni (2014) dengan judul “Peningkatan Kemampuan Daya Ingat Melalui Permainan Puzzle Pada Anak Usia 5-6 Tahun”. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa pembelajaran dengan media puzzle meningkatkan kemampuan daya ingat anak usia 5-6 tahun.


(6)

Hal itu terbukti bahwa selain meningkatkan minat belajar anak, dengan penggunaan puzzle dalam pembelajaran juga meningkatkan daya ingat anak sehingga pengetahuan cuci tangan yang diberikan menetap dalam pikiran anak dan diadopsi dalam kehidupan sehari-hari.


Dokumen yang terkait

Cara Cuci Tangan 7 Langkah Pakai Sabun Y

0 6 3

Cuci Tangan Pakai Sabun: Kapan Waktu yang Tepat untuk Cuci Tangan Pakai Sabun?

0 1 4

Pengaruh Media Video dan Permainan Ular Tangga dalam Peningkatan Perilaku Anak Mengenai Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) di TK Dian Ekawati Medan tahun 2017

0 1 51

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP CUCI TANGAN PAKAI SABUN PADA SISWA SD NEGERI 157 KOTA PALEMBANG TAHUN 2014

0 3 6

Faktor Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) di SMP

0 0 8

GAMBARAN PERILAKU CUCI TANGAN PAKAI SABUN PADA ANAK DIDIK TK ‘AISYIYAH BUSTANUL ATFAL GENDINGAN YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - GAMBARAN PERILAKU CUCI TANGAN PAKAI SABUN PADA ANAK DIDIK TK ‘AISYIYAH BUSTANUL ATFAL GENDINGAN YOGYAKARTA - DIGILIB UNISAYOGYA

0 0 17

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN DENGAN METODE AUDIOVISUAL TERHADAP PERILAKU CUCI TANGAN PADA ANAK PRA SEKOLAH DI TK ABA NOTOYUDAN YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Pengaruh Pendidikan Kesehatan Dengan metode Audiovisual Terhadap Perilaku Cuci Tangan Pada Anak P

1 1 12

PENGARUH CERITA BERGAMBAR TERHADAP PERILAKU CUCI TANGAN PAKAI SABUN (CTPS) DI TK PERTIWI 55 KASIHAN BANTUL YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Pengaruh Cerita Bergambar terhadap Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) di TK Pertiwi 55 Kasihan Bantul Yogyakarta

0 0 17

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP PERILAKU CUCI TANGAN PAKAI SABUN PADA ANAK DI JANTURAN MLATI SLEMAN YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun pada Anak di Janturan Mlati Sleman Yogyakarta

0 1 14

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN DENGAN MEDIA PUZZLE TERHADAP PERILAKU CUCI TANGAN PAKAI SABUN (CTPS) ANAK DI TK ABA SILIRAN I KARANGSEWU GALUR KULON PROGO NASKAH PUBLIKASI - PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN DENGAN MEDIA PUZZLE TERHADAP PERILAKU CUCI TANGAN PAK

0 2 11