Sahabat Senandika

Yayasan Spiritia

No. 56, Juli 2007

Sahabat Senandika
Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha

Laporan Kegiatan
Pelatihan Advokasi
Oleh: Siradj Okta
Pada bulan Mei 2007, Yayasan Spiritia
menyelenggarakan Pelatihan Advokasi. Pelatihan
tersebut dilakukan di Kota Samarinda, Kalimantan
Timur. Pelatihan dilakukan selama 3,5 hari mulai
tanggal 21 sampai 24 Mei 2007. Pelatihan tersebut
bertujuan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan Advokasi kepada Odha yang sudah
terlibat dalam penanggulangan AIDS di daerahnya
masing-masing. Pelatihan diikuti oleh 20 orang
peserta dari 20 kabupaten/kota dari 19 provinsi
(NAD, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan,

Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo,
Sumatera Utara, Lampung, Bangka Belitung, Irian
Jaya Barat, DI Yogyakarta, Jawa Barat, DKI
Jakarta). Komposisi peserta adalah 20 Odha dengan
sebaran jenis kelamin 3 perempuan, 17 laki-laki.
Seluruh peserta adalah orang-orang yang sudah
aktif dalam kelompok dukungan sebaya dan terlibat
cukup banyak dalam penanggulangan AIDS di
daerahnya.
Pelatihan Advokasi ini merupakan
pelatihan advokasi pertama kali yang diadakan oleh
Spiritia. Modulnya dikembangkan dengan
mengolah materi dan modul dari International
AIDS Alliance dan Buku 10 Langkah
Mengembangkan Kebijakan Publik oleh INSIST
dan FHI-ASA. Sesi yang digunakan dalam pelatihan
ini adalah kombinasi antara praktek dan pemaparan
materi. Agenda yang dikembangkan oleh Spiritia

banyak mengalami penyesuaian ketika realisasi pada
pelatihan.
Seluruh peserta mempunyai rencana ke depan
untuk paling tidak membagi pengetahuan yang
didapat di pelatihan kepada teman sebayanya di
daerahnya. Peserta juga berhasil mengembangkan

isu strategis di daerahnya. Peserta juga merasa
rencana advokasinya akan percuma jika temanteman di daerahnya tidak memahami juga tentang
advokasi, oleh karena itu mereka berencana akan
membagi pengetahuan yang didapat di pelatihan ini
kepada teman-teman di KDSnya masing-masing.
Mayoritas peserta berasal dari kabupaten, bukan
dari ibukota provinsi. Hal ini dapat berdampak baik
yaitu memulai tanggapan terhadap AIDS mulai dari
tingkat kabupaten sehingga tidak bergantung pada
ibukota provinsi saja yang pada umumnya sudah
ada KDS-nya.Pelatihan serupa bermanfaat dalam
membangun motivasi keterlibatan peserta dalam
pembentukan dan penguatan kelompok dukungan

sebaya Odha/Ohidha di daerahnya. Selain itu akan
sangat memiliki dampak yang kuat dan luas jika
pelatihan seperti ini dilakukan oleh kelompok
dukungan sebaya sendiri untuk tingkat provinsi
sehingga lebih banyak Odha/Ohidha, terutama dari
tingkat kabupaten/kota yang akan mendapatkan
manfaat.

Daftar Isi
Laporan Kegiatan

1

Pelatihan Advokasi

1

Pengetahuan adalah kekuatan

2


Melibatkan komunitas dalam tanggapan
AIDS nasional
2
Tes dan pengobatan TB harus dikaitkan
dengan program pencegahan HIV
3
Hubungan antara diabetes dan ARV lebih
berdampak di rangkaian terbatas
sumber daya
3

Pojok Info
Lembaran Informasi Baru

Tips
Tips untuk Odha

4
4


5
5

Tanya Jawab

5

Tanya-Jawab

5

Positive Fund

6

Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.

Pengetahuan

adalah kekuatan
Melibatkan komunitas
dalam tanggapan AIDS
nasional
Oleh: UNAIDS (11 Juni 2007)
Di banyak negara, komunitas adalah yang
pertama bergerak untuk menanggapi AIDS, dan
prakarsa mereka sering menjadi landasan
pengembangan tanggapan nasional.
Sebagai tambahan, pengalaman menunjukkan
bahwa tindakan terhadap AIDS membutuhkan
kerja sama yang lebih besar di antara mitra untuk
memastikan bahwa tidak ada tumpang tindih dan
sumber daya dipakai secara sangat efektif dan
efisien.
Sebagai hasil, UNAIDS berkerja sama dengan
International Council of AIDS Service
Organizations (ICASO), African Council of AIDS
Service Organizations (AfriCASO) dan
International HIV/AIDS Alliance meluncurkan

pedoman kerja sama dengan komunitas
‘Coordinating with Communities’ – tentang
keterlibatan masyarakan dalam kerja sama
tanggapan AIDS nasional. Tujuan pedoman ini
adalah untuk memperkuat keterlibatan pihak
komunitas secara aktif dan berarti dalam
pengembangan, penerapan dan pemantauan kerja
sama nasional untuk menanggapi AIDS.
“Sementara ada pengakuan secara luas bahwa
melibatkan sektor komunitas dalam kerja sama
nasional untuk menanggapi AIDS akan
meningkatkan efektifitas, sering tidak diterapkan
dalam keterlibatan secara nyata dan berarti,”
dikatakan Kieran Daly, Direktur ICASO bidang
kebijakan dan komunikasi.
“Sektor komunitas membawa pengetahuan teknis
dan pengalaman yang penting pada meja kerja sama
yang dapat membantu memastikan tanggapan kerja
sama nasional terhadap AIDS sungguh dapat
memenuhi kebutuhan mereka yang paling

terdampak. Agar ini berhasil, semua stakeholder
harus terbuka terhadap kerja sama yang jujur,
dengan menggunakan pedoman ini untuk
membangun pemahaman yang lebih besar terhadap

2

bagaimana mendukung keterlibatan komunitas
secara aktif dan berarti,” dia menambahkan.
Pedoman ini bertujuan untuk menyediakan
pilihan praktis yang dapat dipakai oleh komunitas
dan stakeholder untuk menentukan tindakan yang
paling sesuai dan berguna sesuai dengan keadaan
mereka.
Pedoman ini juga bertujuan untuk mendorong
serangkaian asas universal, seperti hak asasi
manusia dan persamaan jender yang sesuai dan
berhubungan untuk semua negara. Secara khusus,
pedoman ini didukung oleh pengakuan bahwa
keterlibatan Odha secar lebih besar akan

menyediakan dukungan kerja sama nasional
terhadap AIDS yang lebih efektif.
Penggunaan pedoman ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti kapasitas organisasi dan
jaringan komunitas, serta hubungan antara
kelompok komunitas dan stakeholder lain. Tetapi,
di negara mana pun, pedoman ini dapat digunakan
sebagai:
• Alat untuk menilai kekuatan dan
kelemahan keterlibatan sektor komunitas
saat ini dalam seluruh proses dan kerja
sama lembaga AIDS nasional.
• Alat untuk mengembangkan rencana
kerja berbagai bidang untuk
meningkatkan keterlibatan komunitas
dalam seluruh proses dan kerja sama
lembaga AIDS nasional.
• Alat untuk advokasi agar meningkatkan
dan mendanai keterlibatan komunitas
dalam seluruh proses dan kerja sama

lembaga AIDS nasional dan juga untuk
kerja sama jaringan komunitas.
• Landasan untuk mengembangkan
pedoman tingkat lokal atau wilayah
tentang keterlibatan dalam proses dan
kerja sama lembaga AIDS.
Pedoman ini dikembangkan sebagai tanggapan
terhadap permintaan kelompok Odha, organisasi
komunitas dan kelompok serta individu dari sektor
lain yang mengakui bahwa usaha untuk
meningkatkan tanggapan yang lebih harmonis
terhadap AIDS – sejalan dengan asas ‘Satu-satusatu (Three Ones)’ – hanya dapat berhasil dicapai
dengan keterlibatan sektor komunitas secara aktif
dan berarti.
“Keterlibatan sektor komunitas adalah penting
dalam usaha kami menuju akses universal terhadap
pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan
HIV”, dikatakan Michel Sidibe, wakil direktur
eksekutif UNAIDS. “ Sektor komunitas adalah
ujung tombak dalam penentuan kebutuhan dan


Sahabat Senandika No. 56

penyediaan layanan untuk komunitas yang
terdampak. Oleh karena ini mereka layak
mendapatkan dukungan suara yang lebih kuat
dalam perencanaan dan kerja sama nasional untuk
menanggapi AIDS. Dengan pedoman ini, kita
menaruh harapan pada kapasitas sektor komunitas
untuk menuntut hak mereka untuk berperan di
antara mitra untuk menanggapi AIDS.”
Artikel asli: Involving communities in national AIDS responses

Tes dan pengobatan TB
harus dikaitkan dengan
program pencegahan HIV
Oleh: The Kaiser Daily HIV/AIDS
Report (7 Juni 2007)
Negara di Afrika, terutama di Afrika bagian
selatan, harus menghubungkan tes dan pengobatan
tuberkulosis (TB) dengan program pencegahan
HIV untuk melawan HIV/AIDS secara lebih
efektif, Kevin de Cock, pemimpin bagian HIV/
AIDS WHO, mengatakan baru-baru ini dalam
South African AIDS Conference ke-3 di Durban,
Afrika Selatan, Reuters melaporkan. De Cock
mengatakan bahwa penggunaan pengobatan TB
tradisional secara terus menerus dapat memicu
penyebaran penyakit ini dan memperburuk epidemi
HIV/AIDS. “Program TB sendiri tidak dapat
mengendalikannya” untuk HIV/AIDS, dia
mengatakan, menambahkan bahwa adalah penting
untuk menawarkan pengobatan kedua penyakit
secara efektif pada mereka yang hidup dengan
koinfeksi HIV/TB.
Munculnya TB yang sangat resistan terhadap
obat, (extensively drug-resistant TB/XDR-TB) yaitu
resistan terhadap dua jenis pengobatan lini pertama
yang paling manjur dan beberapa pengobatan lini
kedua yang tersedia, di provinsi KwaZulu-Natal,
Afrika Selatan, Lesotho (negara berbatasan dengan
KwaZulu-Natal) dan bagian dunia lain telah
menjadi ancaman yang lebih besar, terutama di
bagian selatan Afrika, di mana HIV/AIDS dan TB
adalah prevalen dan saling terkait. Di Afrika
Selatan, kira-kira 61% di antara kurang lebih
250.000 orang yang didiagnosis dengan TB setiap
tahunnya mempunyai HIV, Reuters melaporkan.
XDR-TB juga mengarah pada tingkat kematian
yang lebih tinggi dan kematian yang lebih cepat
pada orang HIV-positif. Sebagai tambahan, walau
orang yang hidup dengan koinfeksi HIV/TB
mungkin mempunyai akses terhadap obat

Juli 2007

antiretroviral (ARV), sering kali mereka tidak
menerima pengobatan untuk kedua penyakit
tersebut secara bersamaan.
Robin Wood, direktur Desmond Tutu HIV
Center di Universitas Cape Town, Afrika Selatan
mengatakan, “HIV telah menyebabkan kegagalan
besar terhadap kemampuan kami untuk mengobati
TB.” Dia menambahkan bahwa jalan keluarnya
adalah untuk menggabungkan pengobatan HIV
dan TB, yang membutuhkan dana besar untuk
laboratorium TB, serta infrastruktur medis dan
sumber daya yang terkait, di kebanyakan negara di
Afrika. Para peneliti sedang mengembangkan tes
dipstick berbasis urin yang hampir dapat langsung
memberi hasil tes TB. Wood mengatakan bahwa ini
“akan menjadi aset yang besar bila kita dapat
mendapatkannya.”
Artikel asli: TB Testing, Treatment Should Be Linked With HIV
Prevention Programs, WHO Official Says

Hubungan antara diabetes
dan ARV lebih berdampak
di rangkaian terbatas
sumber daya
Oleh: Kelly Morris, aidsmap.com
Pemahaman tentang hubungan antara obat
antiretroviral (ARV) dan diabetes semakin
berkembang, dengan data sebelumnya terutama
menyangkut protease inhibitor (PI). Sekarang,
penelitian Swiss yang diterbitkan dalam jurnal
Clinical Infectious Diseases edisi 1 Juli 2007
menemukan bahwa obat HIV lain, yang sering
dipakai di rangkaian terbatas sumber daya, juga
mungkin meningkatkan risiko di populasi yang
mungkin sudah berisiko tinggi terhadap diabetes.
Bruno Ledergerber (University Hospital, Zurich,
Swiss) dan rekan menyelidiki data dari HIV Cohort
Study di Swiss untuk menjelaskan hubungannya
dengan pengobatan dan juga koinfeksi hepatitis B
(HBV) atau C (HCV). Semua peserta dalam Swiss
Cohort dilibatkan apabila mereka belum
mempunyai diabetes serta apabila sedikitnya
mereka sudah dua kali berkunjung dan setahun
masa tindak lanjut sejak 1 Maret 2000. Diabetes
didiagnosis berdasarkan kriteria dari Tim Ahli
Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus (Expert
Committee on the Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus) dan dikonfirmasi dengan
glukosa dalam contoh darah.

3

Pada Juli 2006, 123 di antara 6.513 peserta
mengalami diabetes melitus selama 27.798 orang
tahun masa tindak lanjut (person-years of follow-up/
PYFU), yang merupakan 4,4 kasus per 1.000
PYFU. Dalam model multivariabel, laki-laki, usia
lebih tua, etnis Afrika atau Asia, didiagnosis AIDS,
dan obesitas sentral merupakan prediktor kuat
terhadap diabetes. Obesitas sebaiknya menjadi
sasaran utama dalam pencegahan diabetes, karena
obesitas merupakan faktor risiko yang dapat
dipengaruhi, penulis mengatakan. Yang menarik,
tanda-tanda infeksi HBV atau HCV tidak dikaitkan
dengan peningkatan risiko diabetes, walaupun tim
peneliti mengaku bahwa ukuran penelitian ini
mungkin terlalu rendah untuk menunjukkan
peningkatan risiko yang kecil.
Yang penting, pengobatan pada saat penelitian
dengan rejimen ARV yang mengandung NRTI dan
PI, atau NRTI plus PI dan NNRTI secara kuat
dikaitkan dengan diabetes, dengan rasio tingkat
kejadian serupa dengan prediktor lain. Pengobatan
dengan NRTI plus NNRTI tidak dikaitkan dengan
diabetes, begitu juga dengan pajanan kumulatif
terhadap ARV tidak dikaitkan dengan peningkatan
risiko. Dalam analisis yang terpisah, risiko terbesar
terhadap diabetes dikaitkan dengan indinavir, 3TC,
ddI-d4T dan ddI-tenofovir.
Kejadian diabetes dalam penelitian ini sebanding
dengan yang ditemukan dalam populasi secara
umum di Eropa. Tetapi, penghitungan yang jauh
lebih tinggi ditemukan pada populasi HIV-positif
di AS. Contoh, kelompok penelitian AIDS di
berbagai tempat (Multicenter AIDS Cohort Study/
MACS) menemukan 47 kasus diabetes per 1.000
PYFU pada pengguna terapi ARV (ART),
dibandingkan dengan 17 kasus orang HIV-positif
yang tidak diobati dan 14 kasus pada populasi HIVnegatif. Para penulis mengajukan tiga faktor untuk
menjelaskan perbedaan ini: diagnosis diabetes, usia
lebih tua dan indeks massa tubuh yang lebih besar
ditemukan dalam penelitian MACS.
Temuan yang terkait dengan ARV ini menguatkan
hasil penelitian yang dilakukan selama ini, dan
mengukuhkan hanya sedikit penelitian yang
menghubungkan NRTI dengan ketidaknormalan
metabolisme glukosa. Mekanisme mungkin
berbeda-beda, dengan protease inhibitor
mempengaruhi transportasi glukosa dan NRTI
mempengaruhi fungsi mitokondrial. “Karena
keterkaitannya dengan kelainan metabolik lainnya,
di negara maju rejimen yang mengandung d4T dan
ddI dihindari apabila dimungkinkan, tetapi obat ini
termasuk pada rejimen lini pertama di wilayah
terbatas sumber daya,” penulis mencatat.
Bersamaan dengan peningkatan risiko diabetes yang

4

dikaitkan dengan etnis Asia dan Afrika, “hal ini
mungkin mempunyai dampak penting pada
ketahanan terhadap pengobatan anti-HIV dalam
jangka panjang di wilayah yang paling terdampak,”
mereka menyimpulkan.
Ringkasan: Link between diabetes and
antiretrovirals may particularly affect resource-poor
settings
Sumber: Ledergerber B et al. Factors Associated
with the Incidence of Type 2 Diabetes Mellitus in
HIV-Infected Participants in the Swiss HIV Cohort
Study. Clin Infect Dis 45: 111 – 119, 2007.

Pojok Info
Lembaran Informasi Baru
Pada Juli 2007, Yayasan Spiritia telah menerbitkan
satu lagi lembaran informasi untuk Odha, sbb:
• Pencegahan Penularan HIV
Lembaran Informasi 152—Berapa Tingkat
Risiko? (ganti judul)
Dengan ini, sudah diterbitkan 132 lembaran
informasi dalam seri ini.
Juga ada delapan lembaran informasi yang direvisi:
• Informasi Dasar
Lembaran Informasi 001—Daftar Lembaran
Informasi
• Pencegahan Penularan HIV
Lembaran Informasi 154—Profilaksis
Pascapajanan
Lembaran Informasi 161—Daya Menular (urutan
baru)
• Terapi Antiretroviral
Lembaran Informasi 412—Tes CD4
Lembaran Informasi 413—Tes Viral Load
Lembaran Informasi 470—Pemulihan Kekebalan
• Obat untuk Infeksi Oportunistik
Lembaran Informasi 534—Flukonazol
Lembaran Informasi 535—Kotrimoksazol
Salinan lembaran baru/revisi ini dilampirkan
pada Sahabat Senandika edisi ini. Untuk
memperoleh seri Lembaran Informasi lengkap,
silakan hubungi Yayasan Spiritia dengan alamat di
halaman belakang. Yang sudah mempunyai buku
lembaran informasi dapat memastikan semuanya
terbaru dengan lihat tanggal penerbitan pada
Daftar Lembaran Informasi. Semua lembaran
informasi ini juga dapat dibaca dan didownload dari
situs web Spiritia:

Sahabat Senandika No. 56

Tips

Tanya Jawab

Tips untuk Odha

Tanya-Jawab

Berusaha sehat meski merokok

T: Apakah ada UU yang mengatur kerahasian
pasien HIV yang sedang ditangani di RS atau
dokter di Indonesia? Karena sebenarnya yang
menjadi beban yang amat berat ditanggung seorang
penderita HIV adalah penerimaan masyarakat
terhadap kondisi yang dialaminya.
Dari beberapa berita di koran yang kebetulan
memuat berita berkaitan dengan seorang penderita
HIV, selalu saja saya temukan penyebutan identitas
penderita secara terbuka (nama atau lainnya).
Sedangkan pernah juga saya membaca (dari koran
juga) tentang tes darah yang dilakukan pada
beberapa PSK yang diambil secara random (setelah
mereka terjaring penertiban), meski terdeteksi
beberapa sampel darah tersebut terinfeksi oleh
HIV, tetapi saat seorang wartawan menanyakan
identitas sumber sampel darah tersebut, petugas
tidak menyebutkannya karena rahasia, dan
tambahnya lagi, PSK yang diambil darahnya
tersebut juga tidak diberitahu tentang kondisi
tersebut. Pertanyaan saya, apakah memang
diperbolehkan seorang dokter atau pihak RS
mengungkapkan identitas penderita kepada pihak
lain tanpa seijin pasien tersebut?

Memang tidak mudah untuk menghilangkan atau
menghentikan kebiasaan merokok. Namun, yang
lebih susah adalah bagaimana tetap sehat dalam
kondisi terpaksa harus merokok.
Berikut saran DR. Dr. Budhi setianto, Sp.JP(K),
konselor Klinik Berhenti Merokok Rumah Sakit
Jantung Harapan Kita, agar Anda tetap sehat:
1. Biasakan berolahraga atau memulai program/
hobi dengan keluarga/teman-teman yang bukan
perokok. Buatlah acara ini secara teratur. Olah raga
tidak hanya penting bagi yang ingin hidup sehat,
tetapi juga bagi perokok. Luangkan waktu kurang
lebih 30 menit sehari untuk memberikan tubuh
mendapat oksigen secukupnya. Jangan merokok
selama berolahragakarena hal ini akan memupuskan
segala manfaatnya.
2. Jangan merokok sambil minum kopi. Meski
dipercaya dapat menambah kenikmatan, kandungan
kafein dalam kopi dapat meningkatkan kadar CO2
dalam paru-paru. Sebagai ganti, pilih minuman
yang dapat menetralisir racun yang dibawa oleh
rokok seperti jus buah segar atau susu.
3. Ganti rokok dengan makanan ringan sebagai
pencuci mulut.
4. Ganti kebiasaan merokok saat buang air besar
dengan membaca buku, komik, koran yang jauh
lebih bermanfaat untuk menambah ilmu maupun
sekedar sebagai rileksasi.
5. Cobalah berpikir sesaat sebelum menyalakan
rokok, tentang bagaimana hidup ini terasa lebih
inidah tanapa rokok.
6. Kalau hingga kini Anda terpaksa harus merokok,
cobalah untuk memikirkan kehidupan yang
sebenarnya jauh lebih baik tanpa merokok. Alasan
yang selalu dikemukakan adalah rokok dapat
mengurangi kecemasan, meningkatkan konsentrasi,
memberi rasa lebih tenang dan lebih rileks.
Kenyataannya, efek positif itu hanya terasa sesaat
adn selanjutnya timbuk ketergantungan yang akan
berdampak luas. Cobalah mencari alternatif seperti
mendengarkan musik lewat earphone atau
mengunyah permen karet.
Sumber: Klinikpria.com.

Juli 2007

J: Saya setuju bahwa ketakutan kerahasiaan akan
bocor menjadi satu hambatan yang besar terhadap
orang yang pernah berperilaku berisiko untuk
melakukan tes HIV, atau mencari pengobatan. Kita
harus berupaya terus agar asas kerhasiaan tetap
terjamin.
Kerahasiaan dibahas (di antara yang lain) oleh
UU No. 29/2004 tentang Praktek Kedokteran,
pasal 48 Rahasia Kedokteran, yang bunyi:
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktek kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk
kepentingan kesehatan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau
berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia
kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.
Selain itu, pada pasal 47 mengenai Rekam Medis,
disebut bahwa rekam medis...harus disimpan dan
dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi
dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.

5

Jelas, bila undang-undang ini dilanggar, ybs dapat
menuntut pembocor kerahasiaan. Hanya sampai
saat ini, belum ada yang berani mengambil tindakan
ini. Tetapi sedikitnya bila ada media massa yang
mengungkapkan nama, kita harus mengambil
tindakan, sedikitnya dengan mengirim (banyak)
surat pembaca pada media tersebut.
Surveilans HIV yang dilakukan pada kelompok
tertentu (mis. pekerja seks) adalah untuk
mengetahui prevalensi infeksi di antara kelompok
tersebut. Surveilans ini seharusnya dilakukan secara
‘unlinked anonymous’, berarti hasil tidak dapat
dikaitkan dengan individu. Oleh karena itu,
seharusnya petugas kesehatan yang melakukan
surveilans tidak mengetahui siapa yang terinfeksi,
jadi tidak mungkin mengungkapkan nama ybs, dan
ybs tidak dapat diberi tahu bahwa dia terinfeksi.
PS: Buku kecil dengan UU29/2004 serta UU23/
1992 tentang Kesehatan, lengkap dengan
penjelasan, dapat dibeli dari toko buku dengan
harga sangat murah (di bawah Rp 10.000). Saya rasa
tidak salah kalau kita semua mempunyai buku ini,
dan mendesak agar peraturan tidak terlanggar.
Sumber: Pertanyaan diajukan melalui website Yayasan Spiritia pada
tanggal 27 Feb’ 07 dan dijawab oleh Babe.

Positive Fund
Laporan Keuangan Positive Fund
Yayasan Spiritia
Periode Juli 2007

Saldo aw al 1 Juli 2007

17,870,669

Penerimaan di bulan
Juli 2007

936,000+
_____________

Total penerimaan

18,806,669

Pengeluaran selama bulan Juli :
Item

Jumlah

Pengobatan

1,000,000

Transportasi

0

Komunikasi

0

Peralatan / Pemeliharaan

0

Modal Usaha

0+
____________

Total pengeluaran

1,000,000-

Saldo akhir Positive Fund
per 30 Juli 2007

17,806,669

Sahabat Senandika
Diterbitkan sekali sebulan oleh

Yayasan Spiritia
dengan dukungan
T H E FORD
AT I ON
DA
FOU N D

Kantor Redaksi:
Jl. Johar Baru Utara V No 17
Jakarta Pusat 10560
Telp: (021) 422 5163 dan (021) 422 5168
Fax: (021) 4287 1866
E-mail: [email protected]
Editor:
Caroline Thomas
Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk
diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus
mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon).
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar
untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum
melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi
dengan dokter.

6

Sahabat Senandika No. 56