Sahabat Senandika
Yayasan Spiritia
No. 62, Januari 2008
Sahabat Senandika
Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha
Laporan Kegiatan
Laporan Kegiatan
11th Bangkok Symposium on HIV
Medicine
Oleh: Chris. W. Green
Laporan Hari I:
1. Simposium dibuka dengan presentasi oleh Dai
Ellis, Direktur Drug Access Team Clinton
Foundation HIV/AIDS Initiative (CHAI), dengan
judul Forecast ARV Sedunia dan Akses pada ARV
yang Terjangkau. Dasarnya CHAI ingin agar ada
pasaran ARV yang sehat, dengan meningkatkan
permintaan agar harga dapat dipotong, tetapi tetap
ada untung buat produsen. Upaya ini diharapkan
akan meningkatkan permintaan, dengan akibat
harga dapat dipotong lagi dan seterusnya. Program
CHAI mempunyai dua sisi: Program Akses terkait
persediaan (yang bekerja sama dengan produsen)
dan Operasi Negara terkait permintaan (yang
bekerja sama dengan Program Nasional). CHAI
juga berencana meluaskan program untuk
melibatkan obat malaria dan obat untuk infeksi
oportunistik.
Diperkirakan akan ada beberapa perkembangan
dalam 1-2 tahun ke depan. Harga efavirenz yang
terus menurun akan mendorong persediaan rejimen
sekali sehari menjadi lebih mungkin, dengan
harapan secepatnya tersedia rejimen satu pil sekali
sehari seperti Atripla - versi generik kombinasi
takaran tetap (fixed -dose combination tenofovir/
FDC/efavirenz) ini akan diluncurkan dalam
beberapa bulan. 3TC tampaknya juga dapat
dipakai sekali sehari, dan sama efektif dengan FTC,
tetapi harga lebih murah. Harga tenofovir akan
turun secara bermakna selama 2-3 tahun ke depan.
Juga diharapkan pedoman akan menyetujui
atazanavir/r (satu pil, tahan iklim panas) sebagai
alternatif terhadap Kaletra/Aluvia, dengan harga
40-60% lebih murah.
Mengenai ARV baru, Raltegravir (integrase
inhibitor) membutuhkan takaran tinggi, jadi
harganya akan tetap mahal (300-600 dolar AS per
tahun), dan karena itu tetap menjadi obat lini kedua.
Tetapi NNRTI baru, ripivirine (TMC-278), yang
efektif terhadap virus yang resistan
terhadap nevirapine/efavirenz) akan jauh lebih
murah (25-60 dolar per tahun).
Sekarang 70-80% persediaan ARV di dunia dibuat
oleh produsen generik. Upaya CHAI dan tekanan
dari negara akan tetap menekan harga, sehingga
untung produsen akan menjadi semakin tipis. Ada
risiko hal ini akan mempengaruhi mutu: bila satu
produsen memutuskan untuk mengutamakan harga
dibanding mutu, apakah yang lain harus mengikuti?
“Harus dicari
cara agar pasaran dapat menjadi lebih sehat,” ujar
Ellis.
2. Penggunaan kombinasi NRTI/NNRTI lini
pertama. Dr. Andrew Hill menyatakan bahwa di
negara berkembang, lini pertama umumnya
Daftar Isi
Laporan Kegiatan
1
Laporan Kegiatan
1
Pengetahuan adalah kekuatan
Minyak ikan plus fenofibrat baik untuk
trigliserid tinggi
Steatosis hati adalah umum pada
Odha, walau tidak mempunyai
koinfeksi HCV
Viral load selama kehamilan: kian
rendah kian baik
Pojok Info
Lembaran Informasi Baru
Tips
Tips untuk Odha
9
9
9
10
11
11
11
11
Tanya Jawab
12
Tanya Jawab
12
Positive Fund
12
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.
mengandung AZT atau (lebih sering) d4T,
sementara ARV ini jarang dipakai di Negara maju.
d4T masih ARV yang termurah, dan tidak ada
alternatif terjangkau, apa lagi bila pasien mengalami
anemia, yang membatasi penggunaan AZT. Sebagai
contoh, harga tenofovir/3TC/Kaletra adalah lima
kali lipat harga d4T/3TC/nevirapine di negara
berkembang, tetapi tidak sampai 50% lebih mahal
di negara maju. Lagi pula, lipoatrofi (kehilangan
lemak dari pipi dan pantat) menyebakan d4T
hampir tidak pernah dipakai lagi di negara maju.
Dr. Hill membahas takaran untuk AZT. Sebetulnya
AZT disetujui dengan takaran 250mg dua kali
sehari, dan takaran ini dipakai secara baku di
Thailand (mengapa tidak di Indonesia? Bingung!).
Tetapi bukti mulai tersedia (termasuk dari uji coba
dilakukan oleh HIVNAT) bahwa 200mg dua kali
sehari sama manjur dengan 250/300mg. Dengan
takaran ini, risiko anemia jauh lebih rendah dan
harganya bisa lebih murah.
Sebagai unsur lain, efavirenz sebetulnya terbukti
sedikit lebih manjur dengan nevirapine, dan juga
ada penelitian yang menunjukkan bahwa
kemanjuran efavirenz tetap sama dengan takaran
200mg atau 400mg sekali sehari (takaran yang baku
adalah 600mg). Tetap ada masalah dengan
NNRTI, karena resistansi sangat mudah timbul satu mutasi cukup. Dari sisi itu, penggunaan PI
diboost ritonavir lebih aman - agak jarang ada
kegagalan terapi dengan PI diboost, dan mungkin
harus dipertimbangkan PI sebagai lini pertama.
Terkait dengan itu, juga ada kesempatan untuk
mengurangi takaran lopinavir dan/atau ritonavir
dalam Kaletra/Aluvia. Diharapkan dapat dilakukan
uji coba klinis yang membuktikan takaran lebih
rendah ini.
Di antara kesimpulannya, Dr. Hill berpendapat
bahwa tenofovir adalah pilihan yang lebih baik
dibandingkan AZT atau d4T dalam rejimen lini
pertama. Tetapi ada pendapat dari satu peserta
bahwa d4T masih sangat cocok untuk dipakai pada
awal terapi, apa lagi bila CD4 sangat rendah,
karena murah dan mudah dipakai (jarang ada efek
samping jangka pendek). Namun ada kesepakatan
bahwa d4T harus diganti dengan AZT atau NRTI
lain secepatnya setelah CD4 mulai pulih.
3. ART lini kedua di negara berkembang. Prof Jens
Lundgren mulai dengan pernyataan bahwa topik ini
adalah ‘evidence-free zone (bidang tanpa bukti)’.
Dia juga menyatakan bahwa, setelah lini pertama
dengan 2 NRTI dan 1 NNRTI, pengalihan pada
2
lini kedua terdiri dari 1 PI/r dan 2 NRTI lain dapat
dilakukan tanpa dibutuhkan tes resistansi, dengan
hasilnya pasien dapat diselamatkan, asal hal ini
dilakukan secara hati-hati. Saat pengalihan, harus
ditentukan dulu apakah pasien dapat patuh (apakah
kegagalan lini pertama karena kurang patuh?), harus
ada tujuan untuk menekankan virus secara total
(viral load tidak terdeteksi), serta dipakai ARV
tanpa resistansi silang, dan termasuk sedikitnya dua
ARV baru, dan sebaiknya tiga.
Masalahnya adalah bagaimana kita dapat
menentukan kegagalan secara dini? Jumlah CD4
dapat tetap stabil, bahkan meningkat, walau viral
load terdeteksi dan resistansi sudah mulai terbentuk.
Kalau hal ini dibiarkan terus, jumlah mutasi yang
resistan akan meningkat, sehingga virus menjadi
sangat resistan terhadap semua NRTI yang tersedia.
Sebetulnya pada saat viral load pertama kali
melewati 400, kemungkinan sudah terbentuk
resistansi terhadap nevirapine, 3TC dan d4T adalah
83%, 85% dan 26% berturut-turut, sementara bila
ditunggu sampai terjadi dua peristiwa Stadium 3
(rata-rata lima tahun kemudian), kemungkinan
hanya meningkat sedikit (90%, 90% dan 55%
berturut-turut).
Dilaporkan bahwa pedoman WHO terbaru (yang
saat ini dalam percetakan) akan membatalkan
usulan sebelumnya untuk memakai tenofovir + ddI
dalam lini kedua - rejimen ini dari awal sangat
kontroversial, dan sekarang akhirnya dianggap
sebagai tidak cocok oleh WHO. Pedoman baru
akan menganjurkan dua alternatif untuk dasar
NRTI pada lini kedua: tenofovir + 3TC (tetap,
walau 3TC dipakai dalam lini pertama), atau ddI +
abacavir. Penting perubahan ini dibahas dengan
Depkes agar pedoman (dan rejimen yang
disediakannya) disesuaikan.
4. ARV baru. Jonathan Schapiro membahas
perkembangan dua PI baru, yaitu tipranavir dan
darunavir, serta NNRTI baru, etravirine (TMC125). Tampaknya kedua PI baru lebih cocok
sebagai ‘deep salvage’, buat orang yang resistan
terhadap banyak ARV lain, dan tidak ada manfaat
besar dibandingkan dengan Kaletra atau atazanavir
dalam lini kedua. Etravirine ada manfaat karena
efektif terhadap virus yang resistan terhadap
NNRTI lain. Namun bila ada berbagai mutasi, atau
setelah penggunaan nevirapine, mungkin
kemanjurannya tidak begitu tinggi.
Sahabat Senandika No. 62
5. Golongan baru. Prof David Cooper membahas
dua golongan ‘baru’, yaitu fusion/entry inhibitor
dan integrase inhibitor. “Jaman yang menarik,
sepuluh tahun setelah HAART dimulai, dengan
obat baru, dan pilihan baru yang menarik.” Dia
terutama membahas maraviroc (CCR5 inhibitor)
dan raltegravir (integrase inhibitor). Sekali lagi,
maraviroc tampkanya lebih cocok untuk ‘deep
salvage’, tetapi raltegravir mempunyai beberapa
keistimewaan, karena ARV ini bisa menekankan
virus pada awal lebih cepat dibandingkan ARV lain.
Namun sepertinya juga, obat ini lebih cocok untuk
‘deep salvage’.
Mungkin tanggapan yang paling penting mengenai
obat baru ini adalah bahwa sekarang tujuan ‘deep
salvage’ dapat diubah dari hanya menahan
kehidupan menjadi menekan virus sampai ke
tingkat tidak terdeteksi, sama seperti tujuan terapi
lini pertama.
6. Kapan mulai? Lektor Sean Emery mengangkat
topik ini yang baru menjadi hangat di Indonesia.
Baru ini pedoman AS dan Eropa diubah agar
semua orang dengan CD4 di bawah 350
dianjurkan untuk mulai ART - sebelumnya, seperti
pedoman WHO saat ini, hanya dapat
dipertimbangkan untuk mulai dengan CD4 di
bawah 350. Lagi pula, pedoman AS memberi
kelonggaran untuk mempertimbangkan mulai lebih
dini lagi dalam keadaan tertentu, termasuk
perempuan hamil.
Mengapa ada perubahan ini? Walau masih belum
ada uji coba klinis yang secara eksplisit mendukung
ini, satu hasil dari analisis satu subkelompok uji
coba SMART terhadap orang yang belum mulai
ART menunjukkan bahwa mereka yang menunda
ART sampai CD4-nya 250 mengalami lebih
banyak dampak buruk dibandingkan mereka yang
langsung mulai.
Emery menyimpulkan bahwa manfaat dari ART
lebih dini adalah: mengurangi risiko AIDS/penyakit
parah non-AIDS; dan mengurangi penularan HIV.
Sementara manfaat menunda ART adalah:
mencadangkan obat untuk penggunaan saat benarbenar dibutuhkan; dan mengurangi biaya. Dia
menganggap bahwa dengan obat yang ada
sekarang, dan dengan obat baru yang dalam
perkembangan, manfaat mulai lebih dini lebih besar
daripada
menunda, dan dia berharap pedoman WHO akan
diubah menjadi lebih serupa dengan pedoman AS.
Januari 2008
Tetapi dia mengaku bahwa perubahan ini
kemungkinan tidak akan terjadi kecuali ada data
klinis untuk mendukungnya; dibutuhkan lebih
banyak penelitian, terutama di negara berkembang
yang menyediakan dasar bukti. Dan sekali lagi,
perubahan yang dibahas tidak sangat besar: CD4
350 tetap batas; hanya diusulkan untuk mulai di
bawah 350, dibandingkan dipertimbangkan untuk
mulai di pedoman saat ini.
7. Tenofovir. Ada sesi sambil makan siang, yang
didukung oleh Gilead, untuk membahas
penggunaan tenfovir, dengan presentasi oleh Prof
Andrew Carr dan Lektor Somnuek
Sungkanuprarph. Sebagian dari presentasi ini
diarahkan untuk menyamankan peserta mengenai
efek samping tenofovir, yaitu nefrotoksisistas dan
masalah tulang. Mengenai masalah ginjal, dianjurkan
diukur GFR pada awal dan bila tinggi,
mempertimbangkan
pilihan lain, terus mengukur lagi setiap tiga bulan,
dengan pemantauan lebih ketat pada pasien dengan
faktor risiko lain. Mengenai masalah tulang, walau
satu uji coba menujukkan penurunan pada
kepadatan tulang, tidak ada kasus patah tulang
akibat tenfovir.
Satu manfaat tenofovir adalah obat ini tidak
menimbulkan lipoatrofi, dan menjadi satu pilihan
untuk mengganti d4T atau AZT pada orang yang
mengalami efek samping ini. Namun walau ada
peningkatan dalam lemak pada pasien ex-d4T
dengan lipoatrofi, hasilnya tidak begitu memuaskan.
Seperti dibilang, “lebih baik menghindari d4T pada
awal.”
8. Studi kasus. Sesi setelah makan siang
mempresentasi beberapa studi kasus. Pada setiap
langkah, peserta diminta memilih satu dari
beberapa jawaban pilihan pada pertanyaan, dengan
memakai alat ‘voting’ elektronik. Kasus termasuk
koinfeksi TB, pengalihan ARV setelah terapi gagal
(dengan membahas berbagai mutasi yang muncul),
penanganan lipoatrofi, masalah kulit, dan beberapa
topik lain. Sesi menarik, tetapi walau jawabannya
anonim dengan alat voting, tetap sulit mendorong
mayoritas peserta untuk menyampaikan
pendapatnya. Mungkin pantas, karena (misalnya)
30% yang menjawab menganjurkan untuk
memberi ART dengan PI pada pasien yang
menerima terapi TB dengan rifampisin!
3
Laporan Hari II:
1. Peran pemantauan laboratorium dalam
menahan program pengobatan HIV. Sesi pertama
hari ini disampaikan oleh Rober Oerlichs dari
World Bank. Fokus utama ada pada tes CD4 dan
viral load yang lebih murah/terjangkau. Tes CD4
“bukan hanya efektif-biaya, tetapi esensial” agar
terapi lini pertama dapat ditahan untuk jangka
panjang, yang akan menghemat pendanaan untuk
rejimen lini kedua yang akan tetap lebih mahal.
Diperkirakan pada sekitar 2012, biaya untuk terapi
lini kedua akan menjadi tiga perempat biaya total
untuk ART di dunia.
Dia menggambarkan beberapa alternatif yang
lebih murah dan lebih praktis untuk mengukur
CD4 dan viral load. Satu alat tes CD4 dapat
diangkat naik mobil dan memberi hasil dalam
delapan menit. Untuk tes viral load ada kit yang
mengandung semua yang dibutuhkan untuk 30 tes,
dan menghindari kontaminasi, yang adalah
tantangan besar dalam ukuran viral load. Namun
tetap ada tantangan dengan mengendalikan mutu;
dengan alat disebarkan semakin luas, bagaimana
kita dapat menjamin mutu. Selain itu ada masalah
dengan penyediaan sumber daya manusia yang
terlatih dan ditahan, dalam keadaan (seperti
Indonesia) dengan
kekurangan petugas layanan kesehatan, termasuk
dalam manajemen laboratorium. Juga dibutuhkan
sistem untuk mengirim sampel ke lab dan
mengembalikan hasilnya pada dokter dan pasien.
Kesimpulannya: laboratorium memain peranan
yang penting dalam peluasan dan pertahanan
pengobatan; kekurangan kapasitas laboratorium
mencerminkan masalah dalam sistem kesehatan
secara kesuluruhan; pilihan teknologi tes adalah luas
dan harus dituntun oleh pertimbangan program
yang luas; dan manajemen mutu harus dipadukan
tetapi menjadi kian sulit dengan desentralisasi.
2. XDR-TB. Sesi ini, yang sangat mengerikan,
disampaikan oleh Dr. Anton Pozniak. TB yang
resistan terhadap obat adalah masalah yang dibuat
oleh manusia. TB yang resistan terhadap isoniazid
dan rifampisin (didefinisi sebagai MDR-TB)
pertama diketahui pada 1990; sekarang
diperkirakan 424.000 kasus di seluruh dunia, dan
116.000 kematian setiap tahun. MDR-TB lebih
gawat untuk Odha, sulit dan mahal diobati, dan
sering pilihan obat harus dikhususkan pada kasus.
Sementara XDR-TB (MDR-TB yang juga resistan
4
terhadap satu fluorokwinolon dan sedikitnya satu
dari tiga obat suntik lini kedua. XDR-TB muncul
pertama di Afrika Selatan
(KwaZulu Natal/KZN) pada 2006. X DR-TB
disebarkan dalam sarana medis, sering menularkan
Odha, sering kali yang juga petugas kesehatan
(terutama perawat) dan penderita umumnya tidak
pernah mengalami TB “biasa”. Dasarnya XDR-TB
tidak dapat diobati dan kebanyakan penderita
meninggal dalam hitungan hari.
Ada kesan bahwa kebijakan DOTS memain
peranan dalam evolusi XDR-TB, karena strategi
untuk mengobati semua pasien didiagnosis TB
dengan rejimen yang sama tanpa menentukan
apakah TB-nya rentan terhadap obat (melakukan
‘drug susceptability testing’) menjamin TB yang
resistan akan menjadi semakin resistan dan ganas.
Namun DOTS tetap adalah strategi yang paling
baik untuk menghadapi epidemi TB. Ada beberapa
faktor yang bertanggung jawab, termasuk program
pengendalian TB yang kurang memadai;
ketidakpatuhan terhadap terapi; pengendalian
infeksi yang tidak efektif; koinfeksi HIV; dokter
yang tidak curiga ada HIV dan atau TB; dan
komunikasi yang buruk antara lab dan dokter hasil tes biakan bakteri sering tidak disampaikan ke
dokter karena pasien sudah meninggal.
Bila ada kejangkitan XDR-TB dalam suatu rumah
sakit, hal ini menjadi malapetaka. Upaya untuk
mengendalikannya sangat mahal, mempengahui
reputasi dan membutuhkan banyak waktu.
Kesimpulan: Kita harus lebih memperhatikan
perkembangan MDR-TB dan XDR- TB. Masalah
ini hanya dapat dikendalikan dengan drug
susceptibility test.
3. Koinfeksi HIV/HCV. Lektor Greg Dore
menanyakan apakah masalah ini adalah prioritas
kesehatan masyarakat. Saat ini, koinfeksi HIV
dengan virus hepatitis C belum dianggap penting,
serta dianggap terlalu mahal dan rumit untuk
dihadapi. Namun dengan Odha bertahan hidup
semakin lama, semakin banyak mulai meninggal
dengan penyakit hati stadium akhir (ESLD).
Namun beban HCV semakin berat dengan jumlah
CD4 semakin rendah. Jadi tindakan pertama sering
kali adalah untuk memulihkan sistem kekebalan
tubuh dengan ART.
Untuk dimasukan dalam konteks, walau proporsi
kematian akibat HCV meningkat dalam beberapa
tahun terakhir, hal ini sebagian terjadi karena
Sahabat Senandika No. 62
kematian akibat AIDS menurun tajam. Sebetulnya
juga ada penurunan yang cukup tajam dalam
kematian akibat ESLD sejak ada ART. Lagi pula,
tidak ada tanda bahwa toksisitas hati akibat ARV
meningkatkan kematian.
Terapi HCV dapat efektif, bahkan dengan
koinfeksi HIV. Namun hasilnya jauh dari sempurna,
apa lagi dengan genotipe 1/4 dan bila viral load
HCV tinggi. HIV lebih lanjut dapat meningkatkan
viral load HCV. Sebelum diobati HCV, dianjurkan:
melakukan biopsi hati bila ALT tinggi; mengukur
viral load dan genotipe; sebaiknya memulihkan
fungsi kekebalan (dengan ART) bila CD4 di bawah
350 (dan jangan mulai dengan CD4 di bawah 100);
dan menunda terapi bila ALT tetap normal, atau
biopsy menunjukkan penyakit hati awal.
Sangat dibutuhkan advokasi agar harga tes dan
terapi menurun serupa dengan yang sudah terjadi
pada ART dalam tahun-tahun terakhir. Ada
pertanyaan apakah interferon biasa (non-pegilasi)
yang jauh lebih murah adalah alternatif yang lebih
terjangkau untuk negara berkembang.
Diperkirakan mungkin bisa dicoba untuk genotipe
1, tetapi mungkin dibutuhkan uji coba untuk
memberi dasar bukti.
4. HIV dan kehamilan. Dr Lynne Mofenson
membahas masalah pencegahan penularan HIV
dari ibu-ke-bayi (PMTCT). Di antara yang menarik
(untuk saya) adalah usulan untuk mengulangi tes
HIV pada triwulan ke-3, bila baru dilakukan pada
awal kehamilan - bila tidak diulang, serokonversi
dalam kehamilan tidak akan ditemukan.
Kebanyakan penularan pada janin (25-35%
penularan) terjadi pada akhir kehamilan, setelah
minggu ke-28. Jadi AZT (atau ART bila ibu
memenuhi kriteria) sebaiknya dimulai paling lambat
pada minggu ke-28. Bila setalah saat ini, jelas
penularan yang sudah terjadi tidak dapat dihindari.
Yang juga menarik adalah bahwa ARV yang
dipakai oleh ibu sebelum melahirkan berperan
bukan hanya untuk mencegah penularan dalam
kandungan, tetapi juga sebagai profilaksis
prapajanan untuk mencegah penularan saat lahir.
Lagi pula, profilaksis pada ibu saat melahirkan
tanpa profilaksis pascapajanan pada bayi sama
sekali tidak efektif.
Penggunaan ART pada ibu dapat terpengaruh oleh
kontraindikasi untuk memberikan nevirapine pada
perempuan dengan CD4 di atas 250. Namun
Januari 2008
penelitian di Thailand menunujukkan bahwa
ambang sebetulnya adalah 350, jadi kemungkinan
ART dengan nevirapine dapat diberikan pada
semua perempuan yang memenuhi kriteria.
Akhirnya dibahas bahwa bedah sesar hanya
diindikasi bila viral load ibu lebih dari 1000 pada
saat melahirkan. Jadi mungkin adalah efektif-biaya
untuk melakukan tes viral load pada minggu ke-28
(sesuai pedoaman AS), sedikitnya pada ibu yang
memakai ARV, dan hanya menganjurkan seksio
bila hasilnya di atas angka ini.
5. Penatalaksanaan infeksi HIV pediatrik. Dr.
Thanyawee membahas penggunaan ART pada
bayi/anak serta imunisasi untuk bayi dilahirkan oleh
ibu HIV-positif. Kapan mulai ART menjadi masa
yang lebih hangat daripada untuk orang dewasa,
sebagai hasil dari uji coba CHER di Afrika
Selatan, yang dibatasi oleh Data Safety Monitoring
Board (DSMB) karena kelompok terapi tertunda
jelas mendapatkan hasil yang lebih buruk
dibandingkan kelompok bayi yang langsung
(otomatis) mulai ART. Kelompok ART tertunda
baru mulai ART bila CD4% munurun di bawah
20% atau terjadi peristiwa klinis. Kematian di
kelompok ini ternyata 16% dibandingkan 4%
pada kelompok yang langsung mulai ART.
Ada beberapa masalah yang harus
dipertimbangkan berdasarkan uji coba CHER:
bagaimana bayi dapat didiagnosis lebih dini (tes
viral load pada usia enam minggu); terapi untuk
berapa lama (berhenti pada usai 1 atau 2 tahun,
atau diteruskan?); dan apakah rejimen yang paling
cocok untuk
bayi yang terpajan nevirapine dalam upaya
PMTCT. Ada penelitian yang menunjukkan bahwa
hanya 23% bayi yang terpajan pada nevirapine itu
mencapai viral load pada 12 bulan, dibandingkan
91% bayi yang tidak terpajan - sangat berbeda
dengan keadaan pada ibu yang terpajan nevirapine
dalam PMTCT. Namun hal ini tidak hanya masalah
ART; dukungan gizi pada anak juga dibutuhkan.
Rejimen lini pertama untuk anak sama seperti untuk
orang dewasa. GPO akan membuat pil kombinasi
takaran tetap (FDC) d4T/3TC/nevirapine
7:30:50mg, serupa dengan Triomune Baby dari
Cipla, yang sedikit berbeda mengandung takaran
6:30:50 (tidak jelas mengapa GPO pilih takaran
d4T lebih tinggi, apa lagi dengan adanya cenderung
untuk mengurangi takaran d4T). Untuk anak yang
lebih tua (di atas 3 tahun), ada keberhasilan lebih
baik dengan ART mengandung efavirenz, dengan
5
83% kohort di Thailand mencapai viral load tidak
terdeteksi pada 192 minggu dibandingkan 61%
dengan nevirapine.
Rejimen lini kedua untuk anak lebih rumit. Obat
yang disetujui untuk anak terbatas, dan hanya ada
sedikit data mengenai kemanjuran PI pada anak
yang gagal dengan rejimen mengandung NNRTI.
Namun ada satu uji coba sedang dilakukan di
Thailand yang memakai PI, 72% Kaletra, 28%
indinavir/r. Lebih dari 78% peserta mencapai viral
load di bawah 50 pada minggu ke-48.
Terkait imunisasi, WHO sekarang menganjurkan
“BCG sebaiknya tidak dipakai pada anak diketahui
terinfeksi HIV”, dan mendesak dilakukan
pemantauan lebih ketat terhadap damapk buruk
dari BCG. Namun untuk kebanyakan anak yang
terpajan HIV (terlahir oleh ibu HIV-positif), infeksi
HIV baru dapat ditentukan setelah BCG diberikan.
Jadi secara praktis, tidak ada perbedaan, tetapi
pemantauan lebih ketat memang masuk akal.
WHO juga mengajurkan vaksin konjugat
pneumokokal harus menjadi prioritas pada anak
dengan U5MR di atas 50 per 1000 lahir hidup. Lagi
pula, mungkin dibutuhkan revaksinasi untuk
vaksinasi lain.
6. Meningkatkan akses pada ART di India. Dr. N.
Kumarasamy dari YRG membahas sejarah akses
pada ART di India. Walau ada berbagai produsen
ARV di India, ART hanya tersedia luas dalam
negeri dengan harga gratis pada April 2004, melalui
137 pusat ART pemerintah. Saat ini 118.000 Odha
mendapatkan ART melalui 137 pusat ini - YRG
sendiri melayani 5000 pada satu klinik. Tidak ada
kesempatan untuk menanyakan bagaimana India
(yang memang negara besar sekali) dapat begitu
berhasil meningkatkan akses dengan hanya 137
pusat, sementara kita hanya melayani 5000 orang
melalui 237 pusat.
mahal, dan paling tersedia untuk kita 2-3 tahun lagi.
Yang jelas, PI ini tidak lebih unggal dalam
kemanjuran dengan efavirenz. Bedanya, bila terapi
dengan efavirenz gagal, resistansi terhadap berbagai
macam obat dapat muncul; bila terapi
dengan PI diboost ritonavir gagal, resistansi
terhadap PI lain agak jarang muncul.
Laporan Hari III
1. Epidemiologi HIV di wilayah Asia-Pasifik. Sesi
ini, disampaikan oleh Frits Van Griensven, terutuma
membahas masalah HIV di antara laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) termasuk
pekerja seks laki-laki (PSL), di Bangkok. Walau
prevalensi HIV di antara kelompok lain (pengguna
narkoba suntikan, pekerja seks perempuan) mulai
menurun, prevalensi di kelompok ini terus
meningkat, dari 17% pada 2003 menjadi 30% pada
2007. Pada LSL berusia di atas 29 tahun, prevalensi
menjadi hampir 40%, sebagian kemungkinan
karena mereka lebih menjangkau terapi sehingga
tahan hidup lebih lama. Tetapi prevalensi di antara
LSL berusia 22 tahun ke bawah juga meningkat,
dari 13% pada 2003 menjadi 22% tahun lalu. Dan
pada PSL di jalan, prevalensi menjadi 36% tahun
lalu.
Apakah intervensi yang cocok untuk kelompok ini?
Komunikasi perubahan perilaku (BCC) sendiri jelas
tidak cukup. Jadi dibentuk satu penelitian untuk
menjangkau kelompok ini, pertama untuk
memperoleh data yang dapat dipakai untuk
membentuk intervensi. Ternyata penelitian ini, yang
berdasarkan satu klinik di tengah kota Bangkok,
yang baru mulai tahun lalu, juga memberi dampak
besar, karena untuk pertama kali, kelompok ini
terjangkau dan dirasakan dihargai. Namun belum
jelas apakah ada intervensi yang akan lebih berhasil;
mungkin profilaksis prapajanan (lihat laporan sesi
terakhir di bawah)?
Walau banyak Odha di India mengaku ada masalah
stigma dalam keluarga, 90% menetapkan anggota
keluarga sebagai pendukung pengobatan,
Pendukung keluarga ini wajib mengikuti Odha
untuk mendapatkan konseling intensif sebelum
ART dimulai.
2. Sindrom pemulihan kekebalan. Prof Martin
French sekali lagi menyampaikan sesi ini - kami
untung karena beliau adalah yang pertama
menelitikan sindrom ini, yang biasa disebut sebagai
IRIS atau IRD, terhadap penerima monoterapi
AZT pada 1990. Sejak itu, banyak menjadi lebih
jelas, tetapi sepertinya topik menjadi semakin rumit!
7. Protease inhibitor baru. Ada sesi sambil makan
siang oleh Janssen- Cilag yang membahas PI baru,
terutama darunavir. Darunavir sudah dibahas
kemarin, dan tidak ada banyak yang baru yang ada
kaitan dengan kita di Indonesia: obat ini masih
IRIS terjadi dengan dua manifestasi: ‘unmasking’
(berkembangnya infeksi aktif yang sebelumnya
subklinis) yang terjadi pada awal penggunaan ART
(dalam tiga bulan pertama); dan ‘late’ (lamban),
yang terjadi 3-24 bulan setelah mulai ART, biasanya
6
Sahabat Senandika No. 62
akibat patogen yang sudah mati atau sisa antigen
dari infeksi sebelumnya. Unmasking sering
melibatkan mikobakteria (biasanya TB, tetapi juga
bisa MAC, BCG, dan kusta), kriptokokus
(meningitis), dan berbagai virus termasuk CMV,
HSV, PML, KS, dan HBV/HCV. Dengan virus
hepatitis, IRIS sering mengakibatkan ‘flare’
(peningkatan tiba-tiba pada ALT, yang mungkin
sering salah dianggap sebagai efek samping ARV.
Infeksi oportunistik (IO) ini sebaiknya diobati
(kembali) seperti biasa.
Yang lamban bisa juga melibatkan CMV dan
kriptokokus, tetapi karena disebabkan oleh patogen
mati, tidak ada manfaat mengobati manifestasi ini
(mis. uveitis CMV atau meningitis aseptis) dengan
obat melawan IO tersebut, walau ada yang dapat
menimbulkan angka kematian yang tinggi.
Kurang lebih 20% pasien yang mulai aRT akan
mengalami IRIS. Angkanya paling tinggi bila ada
banyak IO dan ART dimulai dengan jumlah CD4
yang sangat rendah. Yang sering dianggap kasus TB
yang baru setelah mulai ART sebetulnya sering
adalah ‘unmasking’ TB yang ada sebelumnya.
Faktor risiko untuk IRIS terkait mikobakteri atau
kriptokokus adalah infeksi diseminata sebelum
ART, ART dimulai segera setelah IO diobati, dan
jumlah CD4 yang rendah. Tidak jelas apakah
peningkatan cepat pada CD4 atau penurunan cepat
pada viral load terlibat - kemungkinan tidak.
Risiko IRIS terkait TB paling tinggi bila terapi TB
dimulai dalam 30 hari setelah OAT. Jadi apakah
ada manfaat menunggu lebih dari 2-3 minggu
(jangka waktu yang dianjurkan pada pedoman saat
ini), mungkin sedikitnya 30-60 hari? Belum jelas!
Penangan IRIS yang dianjurkan tidak berubah: obat
antimikroba bila infeksinya aktif; teruskan ART asal
pasien tidak menjadi terlalu sakit; dan penggunaan
terapi antiradang, mis. kortikosteroid, bila
dibutuhkan.
3. Penyakit kardiovaskular, diabetes dan penyakit
ginjal. Sesi ini disampaikan oleh Prof Andrew Carr,
Menurut Carr, walau penyakit kardiovaskular
(CVD) sering dianggap sebagai efek samping PI,
sebetulnya risiko terhadap CVD untuk kebanyakan
Odha jauh lebih tinggi dari faktor risiko tradisional,
terutama meroko, tetapi juga pola hidup kurang
sehat lain. Rasio kolesterol total:HDL adalah
prediktor yang paling kuat untuk kematian akibat
CVD, pada semua kelompok usia dan
sama untuk perempuan dan laki-laki.
Januari 2008
Walau ART berdampak pada kematian akibat
CVD, berhenti ART ternyata meningkatkan risiko
kematian, seperti dilihat pada penelitian SMART.
Ada beberapa alasan yang diperkirakan, di
antaranya karena setiap kali mulai ART lagi setelah
berhenti, kolesterol total:HDL meningkat, dengan
demikian meningkatkan risiko.
Alat prediksi risiko CVD yang baku, yaitu
Framlingham Equation, tetap berlaku untuk Odha
yang memakai ART, jadi sebaiknya dipakai setiap
tahun.
Mengenai masalah ginjal, kreatinin serum tidak
efektif untuk pemantauan; yang paling efektif
adalah MDRD (estimasi GFR/eGFR). Saya agak
bingung dengan ini (karena belum belajar mengenai
masalah ginjal), tetapi diusulkan dilakukan eGFR
pada semua Odha pengguna ART setiap tiga
bulan. Mungkin ada yang dapat menjelaskan
apakah ini terjangkau dan praktis di Indonesia?
4. Interaksi obat. Menurut Lektor David Burger,
relevansi klinis interaksi sering tidak jelas, walau
secara teoretis seharusnya ada dampak besar,
dengan meningkatkan toksisitas dan mengurangi
kemanjuran. Dasar bukti terbatas, karena sulit
ditelitikan, kebanyakan informasi berasal dari
laporan kasus, dan etiket obat sering tidak benar.
Jadi konsultasi dengan pakar sering dibutuhkan.
Dia mencontohkan tiga interaksi yang sering
dibahas: 1) rifabutin dengan CYP450 inhibitor/
inducer; rekomendasi adalah untuk menyesuaikan
takaran rfabutin, tetapi dalam dunia nyata, hanya
14% dokter menyesuaikan, dan tidak ada
perbedaan dalam hasil. 2) nevirapine dengan PI:
rekomendasi meningkatkan takaran PI, namun
hanya 55% dokter menyesuaikan, dan tidak ada
perbedaan pada hasil. 3) efavirenz dengan PI: sekali
lagi rekomendasi adalah untuk meningkatkan
takaran PI, yang dilakukan oleh 65% dokter. Dalam
kasus ini, pasien yang menerima takaran PI lebih
tinggi mencapai hasil yang lebih baik.
Ada beberapa kasus serupa, tetapi yang paling
relevan buat kita mungkin adalah interaksi antara
NNRTI dengan rifampisin. Walau ada usulan untuk
meningkatkan takaran efavirenz menjadi 800mg
dengan rifampisin, penelitian di Thailand
menunjukkan bahwa takaran baku adalah efektif.
Dengan nevirapine, keadaan tidak begitu jelas.
Penelitian kohort menunjukkan tanggapannya
adalah cukup dengan takaran baku. Masalahnya,
7
bila takaran nevirapine ditingkatkan menjadi
600mg, efek samping ruam meningkat tajam, dan
tanggapan hampir sama. Jadi bila tidak ada
alternatif, sebaiknya memakai nevirapine dengan
takaran baku, tetapi kalau bisa, lebih baik pakai
efavirenz.
Ditekankan lagi bahwa interaksi obat tetap penting,
dan dokter harus tahu semua obat, termasuk obat
tanpa resep dan juga jamu, yang dipakai oleh
pasien. Menurut Burger, sebaiknya jangan ambil
risiko memakai jamu, karena hampir tidak ada
penelitian atau laporan mengenai interaksi. Tetapi
bila pasien tetap ingin memakai jamu, dokter harus
terima, harus memantau secara hati-hati, harus
mendokumentasinya, coba menentukan apakah ada
pengaruh dan melaporkan hasil agar meningkatkan
jumlah laporan yang dapat dipakai oleh dokter lain.
Tampaknya kita akan tergantung pada kondom
untuk beberapa tahun lagi...
Kesan dari simposium ini baik sekali, tetap sangat
praktis, dan relevan pada keadaan kita. Hanya
keterlibatan oleh peserta masih agak kurang, walau
sebagian adalah karena waktu untuk tanya-jawab
sangat terbatas, bahkan sering tidak ada. Juga saya
rasa kadang kala slide terlalu rumit dan ramai
sehingga sulit menangkap isi yang paling penting.
Tetapi walau begitu, biasanya kesimpulan atau
ringkasan akhir membantu cari makna yang paling
penting.
Panitia berjanji semua presentasi akan tersedia pada
situs web HIVNAT < http://www.hivnat.org/>
paling lambat 28 Januari nanti. Untuk yang cari
informasi lebih dalam, coba akses di situ.
5. Tes resistansi. Sesi ini, yang disampaikan oleh Dr
Daniel Kuritzkes, membahas tiga alternatif untuk
menentukan resistansi: genotipe, fenotipe dan
fenotipe virtual. Topik ini sangat rumit, dan saat ini
tidak begitu relevan di Indonesia. Yang penting kita
tahu bahwa tes resistansi hanya dapat dilakukan bila
viral load lebih dari 500-1000, dan hasilnya sulit
ditafsirkan. Hasil dari tes baku hanya akan
menunjukkan mutasi yang adal dengan jumlah
besar; mutasi minoritas
tidak akan ditemukan.
Seperti dibahas dalam sesi lain, sudah waktu dokter
di Negara berkembang mulai memakai tes
resistansi, sedikitnya di rumah sakit besar. Agar
dapat mengerti keterbatasannya, dan mulai menjadi
lebih nyaman untuk memakai hasilnya.
6. Pencegahan. Sesi ini dari Prof Joop Lange
sedikit mengecewakan. Sebetulnya, isinya tidak jauh
berbeda dengan presentasinya dua tahun yang lalu.
Sebagian ini karena teknologi pencegahn tidak
banyak berkembang dalam dua tahun terakhir,
mala sebagian mundur. Perkembangan dengan
vaksin dan mikrobisida sangat lamban, hanya
mungkin diaphragm menunjukkan sedikit harapan.
Kita masih menunggu hasil yang jelas dari kelima
uji coba klinis yang memakai tenofovir untuk
profilaksis prapajanan (PrPP). Percobaan dengan
monyet menujukkan keberhasilan, tetapi yang
paling efektif adalah tenofovir dan FTC yang
disuntik (walau dianggap mungkin versi oral tidak
efektif karena sulit memberi pil pada monyet).
8
Sahabat Senandika No. 62
Pengetahuan
adalah kekuatan
Minyak ikan plus fenofibrat
baik untuk trigliserid tinggi
Oleh: aidsmeds.com
Tgl. laporan: 17 Desember 2007
Suplemen minyak ikan, dikombinasikan dengan
obat penurun lipid fenofibrat, secara bermakna
mengurangi trigliserid ke tingkat normal pada
sejumlah Odha yang tidak menanggapi salah satu
terapi saja. Hal ini berdasarkan hasil penelitian
AIDS Clinical Trials Group (ACTG), yang
diterbitkan dalam Journal of Acquired Immune
Deficiency Syndromes versi internet.
John Gerber, MD, dari Health Sciences Center
Fakultas Kedokteran Universitas Colorado di
Denver, AS dan rekan mendaftarkan 100 Odha
yang rejimen ARV-nya menyebabkan tingkat
trigliserid mereka meningkat di atas 200mg/dL,
yang adalah batas tertinggi dari kisaran normal.
Peningkatan trigliserid dapat mengakibatkan
pankreatitis dan sudah dikaitkan dengan risiko
penyakit jantung yang lebih tinggi.
Selama delapan minggu pertama penelitian,
peserta penelitian memakai 3g minyak ikan atau
160mg fenofibrat sehari sekali. Apabila tingkat
trigliseridnya tidak di bawah 200mg/dL setelah
hampir dua bulan, pasien dalam penelitian ini diberi
kedua pengobatan secara bersamaan.
Selama delapan minggu pertama penelitian, 8,5
persen pasien yang diobati dengan minyak ikan dan
16,7 persen pasien yang diobati dengan fenofibrat
mempunyai tingkat trigliserid dalam kisaran
normal. Dari 75 orang yang memakai kedua obat,
22,7 persen melihat penurunan tingkat trigliserid
mereka menjadi di bawah 200mg/dL. Hal ini
bermakna secara statistik, berarti bahwa hal ini
terlalu besar untuk dikatakan terjadi secara
kebetulan. Para peneliti mengatakan bahwa hasil ini
cukup memberi harapan untuk meneliti kombinasi
obat ini lebih lanjut.
Januari 2008
Steatosis hati adalah
umum pada Odha, walau
tidak mempunyai koinfeksi
HCV
Oleh: Liz Highleyman,
hivandhepatitis.com
Tgl. laporan: 14 Desember 2007
Penyakit hati semakin menjadi penyebab
kesakitan dan kematian yang penting pada Odha
sejak terapi antiretroviral (ART) ditemukan. Hal ini
dapat dilihat sebagai fibrosis dan sirosis hati
(peningkatan jaringan parut) – sering dikaitkan
dengan koinfeksi virus hepatitis C (HCV) —atau
steatosis hati (penumpukan lemak). Beberapa
penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan
antara steatosis hati dan pemakaian ARV tertentu,
termasuk beberapa NRTI.
Colleen Hadigan dari Massachusetts General
Hospital di Boston, AS dan rekan melakukan
penelitian untuk mengkaji steatosis hati pada lakilaki dan perempuan HIV-positif dengan memakai
magnetic resonance spectroscopy (MRS), dan untuk
menilai hubungan antara kandungan lemak di hati,
resistansi insulin dan faktor lain terkait risiko; hasil
penelitian ini dilaporkan dalam Journal of Acquired
Immune Deficiency Syndromes edisi 1 November
2007.
Penelitian ini melibatkan 33 pasien Odha dewasa
(24 laki-laki; sembilan perempuan) yang tidak
dirujuk secara khusus untuk penyakit hati. Usia ratarata adalah 46 tahun, 55% berkulit putih, dan 33%
berkulit hitam. Kurang lebih seperlimanya koinfeksi
HCV, dan satu mempunyai hepatitis B. Sebagian
besar (85%) memakai ART secara tetap, dan
jumlah CD4 rata-rata adalah 441. Odha dengan
penyakit hati stadium akhir, riwayat penggunaan
alkohol secara berlebihan selama tiga tahun terakhir,
atau memakai pengobatan HCV secara bersamaan
dikecualikan.
Pengukuran klinis yang utama adalah mengukur
lemak dalam hati dengan memakai MRS, model
homeostasis untuk menilai skor resistansi insulin
(HOMA-IR), dan penyebaran lemak tubuh diukur
dengan memakai tomografi lintas seksi secara
komputerisasi.
Hasil
Ÿ Steatosis hati (didefinisikan sebagai jumlah
lemak di hati = 5% dari berat hati)
ditentukan pada 14 peserta penelitian (42%).
Ÿ Jumlah lemak hati rata-rata adalah 14%
9
(berkisar 6% hingga 29%).
Jumlah lemak hati secara bermakna
dikaitkan dengan skor HOMA-IR (P <
0,0001) dan peningkatan lemak viskeral (P <
0,001).
Ÿ Pasien dengan steatosis memiliki indeks
massa tubuh, tingkat ALT (SGPT) dan
trigliserid serta peningkatan lemak dalam
otot yang lebih besar secara bermakna
dibandingkan dengan peserta tanpa steatosis.
Ÿ Berbeda dengan beberapa penelitian
terdahulu, munculnya steatosis tidak
dikaitkan dengan masa infeksi HIV, pajanan
terhadap ART atau koinfeksi HCV.
Kesimpulan
Dalam kesimpulannya, penulis menulis, “Data ini
memberi kesan bahwa steatosis hati mungkin
sangat umum pada HIV, tidak terbatas pada
mereka yang koinfeksi HCV, dan dapat berperan
penting dalam profil metabolik di antara laki-laki
dan perempuan yang terinfeksi HIV.”
Ringkasan: Liver Steatosis Is Common among
HIV Positive People, even without Hepatitis C
Coinfection
Sumber: C Hadigan, J Liebau, R Andersen, and
others. Magnetic Resonance Spectroscopy of
Hepatic Lipid Content and Associated Risk Factors
in HIV Infection. Journal of Acquired Immune
Deficiency Syndromes 46(3): 312-317. November
1, 2007.
Ÿ
Viral load selama
kehamilan: kian rendah
kian baik
Oleh: aidmeds.com
Tgl. laporan: 27 Desember 2007
MD dan rekan dari Institut National de la Sante et
de la Recherche Medicale (INSERM),
mendaftarkan 5.271 pasangan ibu dan bayi yang
dilahirkan di seluruh Prancis antara 1997 dan 2004.
Sejumlah 67 (1,3 persen) bayi yang lahir dari ibu
yang HIV-positif, terinfeksi HIV.
Viral load pada saat kelahiran ditemukan sebagai
risiko utama terhadap penularan. Di antara 364
perempuan yang melahirkan dengan viral load di
atas 10.000, tingkat penularan adalah 6,6 persen,
dibandingkan dengan 0,6 persen di antara 2.856 ibu
yang melahirkan dengan viral load di bawah 400.
Tingkat penularan di antara ibu dengan viral load
kurang dari 50 pada saat melahirkan adalah 0,4
persen.
Faktor kunci lain adalah masa penggunaan ART
selama kehamilan. Tidak ada penularan pada
perempuan yang tetap memakai ART sejak
kehamilan hingga melahirkan. Di antara perempuan
hamil yang HIV-positif yang memulai pengobatan
sejak triwulan pertama atau kedua, tingkat
penularan adalah kurang lebih satu persen. Dan di
antara mereka yang memulai pada triwulan ketiga,
tingkat penularan adalah 3,6 persen. Penulis
mencatat bahwa lima ibu yang menularkan HIV
dengan viral load di bawah 50 pada saat
melahirkan terlambat memakai ART waktu hamil,
antara minggu ke-32 dan 33.
Bayi yang lahir prematur juga lebih berisiko
terhadap penularan. Berdasarkan laporan
INSERM, tingkat penularan adalah enam kali lebih
tinggi pada bayi yang lahir sebelum 33 minggu (6,6
persen) dibandingkan bayi yang lahir setelah masa
kehamilan terpenuhi (satu persen).
Kelompok Dr. Warzawski menyimpulkan bahwa
“cara yang paling efektif untuk mendapatkan
pengendalian replikasi virus adalah memakai terapi
kombinasi obat tiga jenis. Lebih lanjut, temuan
kami berpendapat kuat bahwa ART harus dimulai
cukup dini, paling lambat pada minggu ke-28,
untuk mencapai kemanjuran yang maksimal.”
Ringkasan: Viral Load During Pregnancy: Lower
the Better
Sumber: AIDS. 22(2):289-299, January 11, 2008.
Viral load tidak terdeteksi, terus memakai ART
selama kehamilan dan persalinan setelah masa
kehamilan terpenuhi dikaitkan dengan risiko
terendah terhadap penularan HIV dari ibu-ke-bayi.
Hal ini berdasarkan data baru dari ANRS French
Perinatal Cohort yang diterbitkan dalam jurnal
AIDS edisi 11 Januari 2008.
Penelitian ini, dilakukan oleh Josiane Warzawski,
10
Sahabat Senandika No. 62
Pojok Info
Tips
Tips untuk Odha
Lembaran Informasi Baru
Pada Januari 2008, Y ayasan Spiritia telah
menerbitkan satu lagi lembaran informasi untuk
Odha, sbb:
• Terapi Antiretroviral
Lembaran Informasi 434—Etravirine
Dengan ini, sudah diterbitkan 136 lembaran
informasi dalam seri ini.
Juga ada 13 lembaran informasi yang direvisi:
• Informasi Dasar
Lembaran Informasi 001—Daftar Lembaran
Informasi
• Terapi Antiretroviral
Lembaran Informasi 401—Penggunaan Obat
Antiretroviral
Lembaran Informasi 402—Nama Obat
Antiretroviral
Lembaran Informasi 403—Terapi Antiretroviral
• Infeksi Oportunistik
Lembaran Informasi 520—Penisiliosis
Lembaran Informasi 521—Limfadenopati
Lembaran Informasi 522—Histoplasmosis
• Obat untuk Infeksi Oportunistik
Lembaran Informasi 530—Azitromisin
• Efek Samping
Lembaran Informasi 560—Rasa Nyeri
• Topik Khusus
Lembaran Informasi 620—Masalah Kulit
Lembaran Informasi 621—Masalah Penglihatan
Lembaran Informasi 622—Masalah Mulut
Lembaran Informasi 624—Afte (Seriawan)
Salinan lembaran baru/revisi ini dilampirkan
pada Sahabat Senandika edisi ini. Untuk
memperoleh seri Lembaran Informasi lengkap,
silakan hubungi Yayasan Spiritia dengan alamat di
halaman belakang. Yang sudah mempunyai buku
lembaran informasi dapat memastikan semuanya
terbaru dengan lihat tanggal penerbitan pada
Daftar Lembaran Informasi. Semua lembaran
informasi ini juga dapat dibaca dan didownload
dari situs web Spiritia: http://spiritia.or.id
Januari 2008
Sebagai alat kontrasepsi, kondom pasti sudah
sangat dikenal di masyarakat. Tidak hanya untuk
mencegah kehamilan, kondom pun efektif
meminimalkan penularan penyakit seksual,
termasuk HIV/AIDS. Mendapatkannya pun relatif
mudah, bahkan kini kondom sudah terdiri dari
berbagai macam bentuk dan aroma yang variatif.
Lantas, apakah semua orang tahu bahwa kondom
pun perlu dipilih, sehingga diperoleh kondom yang
paling tepat? Tentu tidak semua orang tahu.
”Pertimbangan utama dalam memilih kondom
adalah kualitas,” kata asisten Brand Manager
kondom Sutra dan Fiesta, Cresentia Novianti.
Kondom yang bagus biasanya sudah lulus uji
elektronis dan memenuhi standar mutu
internasional (mendapat sertifikat ISO 4074).
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam memilih
kondom adalah berpelicin dan terasa halus,
sehingga akan menambah kenikmatan dan
kenyamanan. Mengenai bentuk dan aroma,
sebenarnya Anda boleh juga mencoba semua
kondom sampai menemukan varian yang tepat
untuk membuat gaya bercinta lebih menyenangkan.
Menurut Cresentia, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam penggunaan kondom antara
lain:
Ÿ Hati-hati ketika membuka kemasan.
Hindari menggunakan kuku atau benda
tajam lainnya agar tidak sobek.
Ÿ Jangan membuka gulungan kondom
sebelum dipakai.
Ÿ Jangan menyimpan kondom di tempat
panas atau di kantong celana jeans yang
sangat ketat.
Ÿ Jika kondom dirasa mengurangi
kenikmatan, teteskan lubricant ke dalam
kondom agar terjadi juga gesekan di dalam
untuk menambah kenikmatan.
Ÿ Terakhir, buang kondom setelah dipakai di
tempat sampah agar tidak berserakan.
Sumber: http://www.aids-rspiss.com/articles.php?lng= in&pg= 520
11
Tanya Jawab
Positive Fund
Laporan Keuangan Positive Fund
Tanya Jawab
Yayasan Spiritia
Oleh: Potensi Diri dan Alam untuk
Pengobatan HIV/AIDS
Periode Januari 2007
T: Apakah fungsi vitamin C untuk Odha,
terdapat dalam buah atau sayur apakah vitamin C,
berapa dosis yang dianjurkan per hari dan apa
akibatnya jika berlebihan mengkonsumsi vitamin C?
J: Vitamin C membantu kerja vitamin E dalam
penyerapan zat besi di lambung. Selain itu,
membantu produksi halogen yang sangat penting
dalam proses pembentukan jaringan ikat untuk
kekuatan tulang, tulang rawan, gigi, rambut, kulit,
otak, pembuluh darah, dan proses penyembuhan
luka, termasuk luka bakar. Vitamin C mudah larut
dalam air dan hilang dalam pemanasan. Sebatang
rokok mampu menghilangkan 25 gram vitamin C
di dalam tubuh.
Dosis vitamin C sehari 250-1000 mg. Kelebihan
vitamin C mengakibatkan perut mulas, diare, dan
pusing. Suplemen vitamin C tidak dianjurkan bagi
penderita talasemia dan anemia karena dapat
memperkuat keracunan zat besi.
Fungsi vitamin C antara lain sebagai berikut:
1. Mengurangi replikasi virus HIV yang
menginfeksi T-helper (limfosit) secara
kronis.
2. Membersihkan alkohol dalam tubuh.
3. Meningkatkan kekebalan tubuh.
4. Merangsang protein yang beraktivitas
antivirus.
5. Menghambat perkembangan sel kangker.
6. Meningkatkan kerja paru-paru.
7. Memperbaiki kualitas sperma.
8. Mengurangi penumpukan lemak pada
organ hati karena alcohol.
9. Mengobati dan mencegah
hiperpigmentasi.
10. Mencegah radang gusi dan alergi
11. Meningkatkan kolesterol HDL.
Kekurangan vitamin C akan menyebabkan:
Pertumbuhan jantung dan tubuh terganggu, gusi
bengkak, mudah terserang encok, anemia, dan
penyakit anak ginjal.
Saldo aw al 1 Januari 2007
Vitamin C terdapat pada buah-buahan dan sayursayuran seperti jeruk, tomat, jambu biji, cabai,
paprika, pepaya, brokoli, stroberi, kiwi, ubi merah,
buncis, sayuran hijau, kubis, labu merah, nanas, apel,
mangga, belimbing, markisa dan sebagainya
12
17,503,519
Penerimaan di bulan
Januari 2007
847,750+
_________
Total penerimaan
18,351,269
Pengeluaran selama bulan Januari :
Item
Pengobatan
Jumlah
2,805,000
Transportasi
0
Komunikasi
0
Peralatan / Pemeliharaan
0
Modal Usaha
0+
__________
2,805,000-
Total pengeluaran
Saldo akhir Positive Fund
per 31 Januari 2007
15,546,269
Sahabat Senandika
Diterbitkan sekali sebulan oleh
Yayasan Spiritia
dengan dukungan
T H E FORD
FOU N D
AT I O N
DA
Kantor Redaksi:
Jl. Johar Baru Utara V No 17
Jakarta Pusat 10560
Telp: (021) 422 5163 dan (021) 422 5168
Fax: (021) 4287 1866
E-mail: [email protected]
Editor:
Caroline Thomas
Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk
diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus
mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon).
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar
untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum
melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi
dengan dokter.
Sahabat Senandika No. 62
No. 62, Januari 2008
Sahabat Senandika
Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha
Laporan Kegiatan
Laporan Kegiatan
11th Bangkok Symposium on HIV
Medicine
Oleh: Chris. W. Green
Laporan Hari I:
1. Simposium dibuka dengan presentasi oleh Dai
Ellis, Direktur Drug Access Team Clinton
Foundation HIV/AIDS Initiative (CHAI), dengan
judul Forecast ARV Sedunia dan Akses pada ARV
yang Terjangkau. Dasarnya CHAI ingin agar ada
pasaran ARV yang sehat, dengan meningkatkan
permintaan agar harga dapat dipotong, tetapi tetap
ada untung buat produsen. Upaya ini diharapkan
akan meningkatkan permintaan, dengan akibat
harga dapat dipotong lagi dan seterusnya. Program
CHAI mempunyai dua sisi: Program Akses terkait
persediaan (yang bekerja sama dengan produsen)
dan Operasi Negara terkait permintaan (yang
bekerja sama dengan Program Nasional). CHAI
juga berencana meluaskan program untuk
melibatkan obat malaria dan obat untuk infeksi
oportunistik.
Diperkirakan akan ada beberapa perkembangan
dalam 1-2 tahun ke depan. Harga efavirenz yang
terus menurun akan mendorong persediaan rejimen
sekali sehari menjadi lebih mungkin, dengan
harapan secepatnya tersedia rejimen satu pil sekali
sehari seperti Atripla - versi generik kombinasi
takaran tetap (fixed -dose combination tenofovir/
FDC/efavirenz) ini akan diluncurkan dalam
beberapa bulan. 3TC tampaknya juga dapat
dipakai sekali sehari, dan sama efektif dengan FTC,
tetapi harga lebih murah. Harga tenofovir akan
turun secara bermakna selama 2-3 tahun ke depan.
Juga diharapkan pedoman akan menyetujui
atazanavir/r (satu pil, tahan iklim panas) sebagai
alternatif terhadap Kaletra/Aluvia, dengan harga
40-60% lebih murah.
Mengenai ARV baru, Raltegravir (integrase
inhibitor) membutuhkan takaran tinggi, jadi
harganya akan tetap mahal (300-600 dolar AS per
tahun), dan karena itu tetap menjadi obat lini kedua.
Tetapi NNRTI baru, ripivirine (TMC-278), yang
efektif terhadap virus yang resistan
terhadap nevirapine/efavirenz) akan jauh lebih
murah (25-60 dolar per tahun).
Sekarang 70-80% persediaan ARV di dunia dibuat
oleh produsen generik. Upaya CHAI dan tekanan
dari negara akan tetap menekan harga, sehingga
untung produsen akan menjadi semakin tipis. Ada
risiko hal ini akan mempengaruhi mutu: bila satu
produsen memutuskan untuk mengutamakan harga
dibanding mutu, apakah yang lain harus mengikuti?
“Harus dicari
cara agar pasaran dapat menjadi lebih sehat,” ujar
Ellis.
2. Penggunaan kombinasi NRTI/NNRTI lini
pertama. Dr. Andrew Hill menyatakan bahwa di
negara berkembang, lini pertama umumnya
Daftar Isi
Laporan Kegiatan
1
Laporan Kegiatan
1
Pengetahuan adalah kekuatan
Minyak ikan plus fenofibrat baik untuk
trigliserid tinggi
Steatosis hati adalah umum pada
Odha, walau tidak mempunyai
koinfeksi HCV
Viral load selama kehamilan: kian
rendah kian baik
Pojok Info
Lembaran Informasi Baru
Tips
Tips untuk Odha
9
9
9
10
11
11
11
11
Tanya Jawab
12
Tanya Jawab
12
Positive Fund
12
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.
mengandung AZT atau (lebih sering) d4T,
sementara ARV ini jarang dipakai di Negara maju.
d4T masih ARV yang termurah, dan tidak ada
alternatif terjangkau, apa lagi bila pasien mengalami
anemia, yang membatasi penggunaan AZT. Sebagai
contoh, harga tenofovir/3TC/Kaletra adalah lima
kali lipat harga d4T/3TC/nevirapine di negara
berkembang, tetapi tidak sampai 50% lebih mahal
di negara maju. Lagi pula, lipoatrofi (kehilangan
lemak dari pipi dan pantat) menyebakan d4T
hampir tidak pernah dipakai lagi di negara maju.
Dr. Hill membahas takaran untuk AZT. Sebetulnya
AZT disetujui dengan takaran 250mg dua kali
sehari, dan takaran ini dipakai secara baku di
Thailand (mengapa tidak di Indonesia? Bingung!).
Tetapi bukti mulai tersedia (termasuk dari uji coba
dilakukan oleh HIVNAT) bahwa 200mg dua kali
sehari sama manjur dengan 250/300mg. Dengan
takaran ini, risiko anemia jauh lebih rendah dan
harganya bisa lebih murah.
Sebagai unsur lain, efavirenz sebetulnya terbukti
sedikit lebih manjur dengan nevirapine, dan juga
ada penelitian yang menunjukkan bahwa
kemanjuran efavirenz tetap sama dengan takaran
200mg atau 400mg sekali sehari (takaran yang baku
adalah 600mg). Tetap ada masalah dengan
NNRTI, karena resistansi sangat mudah timbul satu mutasi cukup. Dari sisi itu, penggunaan PI
diboost ritonavir lebih aman - agak jarang ada
kegagalan terapi dengan PI diboost, dan mungkin
harus dipertimbangkan PI sebagai lini pertama.
Terkait dengan itu, juga ada kesempatan untuk
mengurangi takaran lopinavir dan/atau ritonavir
dalam Kaletra/Aluvia. Diharapkan dapat dilakukan
uji coba klinis yang membuktikan takaran lebih
rendah ini.
Di antara kesimpulannya, Dr. Hill berpendapat
bahwa tenofovir adalah pilihan yang lebih baik
dibandingkan AZT atau d4T dalam rejimen lini
pertama. Tetapi ada pendapat dari satu peserta
bahwa d4T masih sangat cocok untuk dipakai pada
awal terapi, apa lagi bila CD4 sangat rendah,
karena murah dan mudah dipakai (jarang ada efek
samping jangka pendek). Namun ada kesepakatan
bahwa d4T harus diganti dengan AZT atau NRTI
lain secepatnya setelah CD4 mulai pulih.
3. ART lini kedua di negara berkembang. Prof Jens
Lundgren mulai dengan pernyataan bahwa topik ini
adalah ‘evidence-free zone (bidang tanpa bukti)’.
Dia juga menyatakan bahwa, setelah lini pertama
dengan 2 NRTI dan 1 NNRTI, pengalihan pada
2
lini kedua terdiri dari 1 PI/r dan 2 NRTI lain dapat
dilakukan tanpa dibutuhkan tes resistansi, dengan
hasilnya pasien dapat diselamatkan, asal hal ini
dilakukan secara hati-hati. Saat pengalihan, harus
ditentukan dulu apakah pasien dapat patuh (apakah
kegagalan lini pertama karena kurang patuh?), harus
ada tujuan untuk menekankan virus secara total
(viral load tidak terdeteksi), serta dipakai ARV
tanpa resistansi silang, dan termasuk sedikitnya dua
ARV baru, dan sebaiknya tiga.
Masalahnya adalah bagaimana kita dapat
menentukan kegagalan secara dini? Jumlah CD4
dapat tetap stabil, bahkan meningkat, walau viral
load terdeteksi dan resistansi sudah mulai terbentuk.
Kalau hal ini dibiarkan terus, jumlah mutasi yang
resistan akan meningkat, sehingga virus menjadi
sangat resistan terhadap semua NRTI yang tersedia.
Sebetulnya pada saat viral load pertama kali
melewati 400, kemungkinan sudah terbentuk
resistansi terhadap nevirapine, 3TC dan d4T adalah
83%, 85% dan 26% berturut-turut, sementara bila
ditunggu sampai terjadi dua peristiwa Stadium 3
(rata-rata lima tahun kemudian), kemungkinan
hanya meningkat sedikit (90%, 90% dan 55%
berturut-turut).
Dilaporkan bahwa pedoman WHO terbaru (yang
saat ini dalam percetakan) akan membatalkan
usulan sebelumnya untuk memakai tenofovir + ddI
dalam lini kedua - rejimen ini dari awal sangat
kontroversial, dan sekarang akhirnya dianggap
sebagai tidak cocok oleh WHO. Pedoman baru
akan menganjurkan dua alternatif untuk dasar
NRTI pada lini kedua: tenofovir + 3TC (tetap,
walau 3TC dipakai dalam lini pertama), atau ddI +
abacavir. Penting perubahan ini dibahas dengan
Depkes agar pedoman (dan rejimen yang
disediakannya) disesuaikan.
4. ARV baru. Jonathan Schapiro membahas
perkembangan dua PI baru, yaitu tipranavir dan
darunavir, serta NNRTI baru, etravirine (TMC125). Tampaknya kedua PI baru lebih cocok
sebagai ‘deep salvage’, buat orang yang resistan
terhadap banyak ARV lain, dan tidak ada manfaat
besar dibandingkan dengan Kaletra atau atazanavir
dalam lini kedua. Etravirine ada manfaat karena
efektif terhadap virus yang resistan terhadap
NNRTI lain. Namun bila ada berbagai mutasi, atau
setelah penggunaan nevirapine, mungkin
kemanjurannya tidak begitu tinggi.
Sahabat Senandika No. 62
5. Golongan baru. Prof David Cooper membahas
dua golongan ‘baru’, yaitu fusion/entry inhibitor
dan integrase inhibitor. “Jaman yang menarik,
sepuluh tahun setelah HAART dimulai, dengan
obat baru, dan pilihan baru yang menarik.” Dia
terutama membahas maraviroc (CCR5 inhibitor)
dan raltegravir (integrase inhibitor). Sekali lagi,
maraviroc tampkanya lebih cocok untuk ‘deep
salvage’, tetapi raltegravir mempunyai beberapa
keistimewaan, karena ARV ini bisa menekankan
virus pada awal lebih cepat dibandingkan ARV lain.
Namun sepertinya juga, obat ini lebih cocok untuk
‘deep salvage’.
Mungkin tanggapan yang paling penting mengenai
obat baru ini adalah bahwa sekarang tujuan ‘deep
salvage’ dapat diubah dari hanya menahan
kehidupan menjadi menekan virus sampai ke
tingkat tidak terdeteksi, sama seperti tujuan terapi
lini pertama.
6. Kapan mulai? Lektor Sean Emery mengangkat
topik ini yang baru menjadi hangat di Indonesia.
Baru ini pedoman AS dan Eropa diubah agar
semua orang dengan CD4 di bawah 350
dianjurkan untuk mulai ART - sebelumnya, seperti
pedoman WHO saat ini, hanya dapat
dipertimbangkan untuk mulai dengan CD4 di
bawah 350. Lagi pula, pedoman AS memberi
kelonggaran untuk mempertimbangkan mulai lebih
dini lagi dalam keadaan tertentu, termasuk
perempuan hamil.
Mengapa ada perubahan ini? Walau masih belum
ada uji coba klinis yang secara eksplisit mendukung
ini, satu hasil dari analisis satu subkelompok uji
coba SMART terhadap orang yang belum mulai
ART menunjukkan bahwa mereka yang menunda
ART sampai CD4-nya 250 mengalami lebih
banyak dampak buruk dibandingkan mereka yang
langsung mulai.
Emery menyimpulkan bahwa manfaat dari ART
lebih dini adalah: mengurangi risiko AIDS/penyakit
parah non-AIDS; dan mengurangi penularan HIV.
Sementara manfaat menunda ART adalah:
mencadangkan obat untuk penggunaan saat benarbenar dibutuhkan; dan mengurangi biaya. Dia
menganggap bahwa dengan obat yang ada
sekarang, dan dengan obat baru yang dalam
perkembangan, manfaat mulai lebih dini lebih besar
daripada
menunda, dan dia berharap pedoman WHO akan
diubah menjadi lebih serupa dengan pedoman AS.
Januari 2008
Tetapi dia mengaku bahwa perubahan ini
kemungkinan tidak akan terjadi kecuali ada data
klinis untuk mendukungnya; dibutuhkan lebih
banyak penelitian, terutama di negara berkembang
yang menyediakan dasar bukti. Dan sekali lagi,
perubahan yang dibahas tidak sangat besar: CD4
350 tetap batas; hanya diusulkan untuk mulai di
bawah 350, dibandingkan dipertimbangkan untuk
mulai di pedoman saat ini.
7. Tenofovir. Ada sesi sambil makan siang, yang
didukung oleh Gilead, untuk membahas
penggunaan tenfovir, dengan presentasi oleh Prof
Andrew Carr dan Lektor Somnuek
Sungkanuprarph. Sebagian dari presentasi ini
diarahkan untuk menyamankan peserta mengenai
efek samping tenofovir, yaitu nefrotoksisistas dan
masalah tulang. Mengenai masalah ginjal, dianjurkan
diukur GFR pada awal dan bila tinggi,
mempertimbangkan
pilihan lain, terus mengukur lagi setiap tiga bulan,
dengan pemantauan lebih ketat pada pasien dengan
faktor risiko lain. Mengenai masalah tulang, walau
satu uji coba menujukkan penurunan pada
kepadatan tulang, tidak ada kasus patah tulang
akibat tenfovir.
Satu manfaat tenofovir adalah obat ini tidak
menimbulkan lipoatrofi, dan menjadi satu pilihan
untuk mengganti d4T atau AZT pada orang yang
mengalami efek samping ini. Namun walau ada
peningkatan dalam lemak pada pasien ex-d4T
dengan lipoatrofi, hasilnya tidak begitu memuaskan.
Seperti dibilang, “lebih baik menghindari d4T pada
awal.”
8. Studi kasus. Sesi setelah makan siang
mempresentasi beberapa studi kasus. Pada setiap
langkah, peserta diminta memilih satu dari
beberapa jawaban pilihan pada pertanyaan, dengan
memakai alat ‘voting’ elektronik. Kasus termasuk
koinfeksi TB, pengalihan ARV setelah terapi gagal
(dengan membahas berbagai mutasi yang muncul),
penanganan lipoatrofi, masalah kulit, dan beberapa
topik lain. Sesi menarik, tetapi walau jawabannya
anonim dengan alat voting, tetap sulit mendorong
mayoritas peserta untuk menyampaikan
pendapatnya. Mungkin pantas, karena (misalnya)
30% yang menjawab menganjurkan untuk
memberi ART dengan PI pada pasien yang
menerima terapi TB dengan rifampisin!
3
Laporan Hari II:
1. Peran pemantauan laboratorium dalam
menahan program pengobatan HIV. Sesi pertama
hari ini disampaikan oleh Rober Oerlichs dari
World Bank. Fokus utama ada pada tes CD4 dan
viral load yang lebih murah/terjangkau. Tes CD4
“bukan hanya efektif-biaya, tetapi esensial” agar
terapi lini pertama dapat ditahan untuk jangka
panjang, yang akan menghemat pendanaan untuk
rejimen lini kedua yang akan tetap lebih mahal.
Diperkirakan pada sekitar 2012, biaya untuk terapi
lini kedua akan menjadi tiga perempat biaya total
untuk ART di dunia.
Dia menggambarkan beberapa alternatif yang
lebih murah dan lebih praktis untuk mengukur
CD4 dan viral load. Satu alat tes CD4 dapat
diangkat naik mobil dan memberi hasil dalam
delapan menit. Untuk tes viral load ada kit yang
mengandung semua yang dibutuhkan untuk 30 tes,
dan menghindari kontaminasi, yang adalah
tantangan besar dalam ukuran viral load. Namun
tetap ada tantangan dengan mengendalikan mutu;
dengan alat disebarkan semakin luas, bagaimana
kita dapat menjamin mutu. Selain itu ada masalah
dengan penyediaan sumber daya manusia yang
terlatih dan ditahan, dalam keadaan (seperti
Indonesia) dengan
kekurangan petugas layanan kesehatan, termasuk
dalam manajemen laboratorium. Juga dibutuhkan
sistem untuk mengirim sampel ke lab dan
mengembalikan hasilnya pada dokter dan pasien.
Kesimpulannya: laboratorium memain peranan
yang penting dalam peluasan dan pertahanan
pengobatan; kekurangan kapasitas laboratorium
mencerminkan masalah dalam sistem kesehatan
secara kesuluruhan; pilihan teknologi tes adalah luas
dan harus dituntun oleh pertimbangan program
yang luas; dan manajemen mutu harus dipadukan
tetapi menjadi kian sulit dengan desentralisasi.
2. XDR-TB. Sesi ini, yang sangat mengerikan,
disampaikan oleh Dr. Anton Pozniak. TB yang
resistan terhadap obat adalah masalah yang dibuat
oleh manusia. TB yang resistan terhadap isoniazid
dan rifampisin (didefinisi sebagai MDR-TB)
pertama diketahui pada 1990; sekarang
diperkirakan 424.000 kasus di seluruh dunia, dan
116.000 kematian setiap tahun. MDR-TB lebih
gawat untuk Odha, sulit dan mahal diobati, dan
sering pilihan obat harus dikhususkan pada kasus.
Sementara XDR-TB (MDR-TB yang juga resistan
4
terhadap satu fluorokwinolon dan sedikitnya satu
dari tiga obat suntik lini kedua. XDR-TB muncul
pertama di Afrika Selatan
(KwaZulu Natal/KZN) pada 2006. X DR-TB
disebarkan dalam sarana medis, sering menularkan
Odha, sering kali yang juga petugas kesehatan
(terutama perawat) dan penderita umumnya tidak
pernah mengalami TB “biasa”. Dasarnya XDR-TB
tidak dapat diobati dan kebanyakan penderita
meninggal dalam hitungan hari.
Ada kesan bahwa kebijakan DOTS memain
peranan dalam evolusi XDR-TB, karena strategi
untuk mengobati semua pasien didiagnosis TB
dengan rejimen yang sama tanpa menentukan
apakah TB-nya rentan terhadap obat (melakukan
‘drug susceptability testing’) menjamin TB yang
resistan akan menjadi semakin resistan dan ganas.
Namun DOTS tetap adalah strategi yang paling
baik untuk menghadapi epidemi TB. Ada beberapa
faktor yang bertanggung jawab, termasuk program
pengendalian TB yang kurang memadai;
ketidakpatuhan terhadap terapi; pengendalian
infeksi yang tidak efektif; koinfeksi HIV; dokter
yang tidak curiga ada HIV dan atau TB; dan
komunikasi yang buruk antara lab dan dokter hasil tes biakan bakteri sering tidak disampaikan ke
dokter karena pasien sudah meninggal.
Bila ada kejangkitan XDR-TB dalam suatu rumah
sakit, hal ini menjadi malapetaka. Upaya untuk
mengendalikannya sangat mahal, mempengahui
reputasi dan membutuhkan banyak waktu.
Kesimpulan: Kita harus lebih memperhatikan
perkembangan MDR-TB dan XDR- TB. Masalah
ini hanya dapat dikendalikan dengan drug
susceptibility test.
3. Koinfeksi HIV/HCV. Lektor Greg Dore
menanyakan apakah masalah ini adalah prioritas
kesehatan masyarakat. Saat ini, koinfeksi HIV
dengan virus hepatitis C belum dianggap penting,
serta dianggap terlalu mahal dan rumit untuk
dihadapi. Namun dengan Odha bertahan hidup
semakin lama, semakin banyak mulai meninggal
dengan penyakit hati stadium akhir (ESLD).
Namun beban HCV semakin berat dengan jumlah
CD4 semakin rendah. Jadi tindakan pertama sering
kali adalah untuk memulihkan sistem kekebalan
tubuh dengan ART.
Untuk dimasukan dalam konteks, walau proporsi
kematian akibat HCV meningkat dalam beberapa
tahun terakhir, hal ini sebagian terjadi karena
Sahabat Senandika No. 62
kematian akibat AIDS menurun tajam. Sebetulnya
juga ada penurunan yang cukup tajam dalam
kematian akibat ESLD sejak ada ART. Lagi pula,
tidak ada tanda bahwa toksisitas hati akibat ARV
meningkatkan kematian.
Terapi HCV dapat efektif, bahkan dengan
koinfeksi HIV. Namun hasilnya jauh dari sempurna,
apa lagi dengan genotipe 1/4 dan bila viral load
HCV tinggi. HIV lebih lanjut dapat meningkatkan
viral load HCV. Sebelum diobati HCV, dianjurkan:
melakukan biopsi hati bila ALT tinggi; mengukur
viral load dan genotipe; sebaiknya memulihkan
fungsi kekebalan (dengan ART) bila CD4 di bawah
350 (dan jangan mulai dengan CD4 di bawah 100);
dan menunda terapi bila ALT tetap normal, atau
biopsy menunjukkan penyakit hati awal.
Sangat dibutuhkan advokasi agar harga tes dan
terapi menurun serupa dengan yang sudah terjadi
pada ART dalam tahun-tahun terakhir. Ada
pertanyaan apakah interferon biasa (non-pegilasi)
yang jauh lebih murah adalah alternatif yang lebih
terjangkau untuk negara berkembang.
Diperkirakan mungkin bisa dicoba untuk genotipe
1, tetapi mungkin dibutuhkan uji coba untuk
memberi dasar bukti.
4. HIV dan kehamilan. Dr Lynne Mofenson
membahas masalah pencegahan penularan HIV
dari ibu-ke-bayi (PMTCT). Di antara yang menarik
(untuk saya) adalah usulan untuk mengulangi tes
HIV pada triwulan ke-3, bila baru dilakukan pada
awal kehamilan - bila tidak diulang, serokonversi
dalam kehamilan tidak akan ditemukan.
Kebanyakan penularan pada janin (25-35%
penularan) terjadi pada akhir kehamilan, setelah
minggu ke-28. Jadi AZT (atau ART bila ibu
memenuhi kriteria) sebaiknya dimulai paling lambat
pada minggu ke-28. Bila setalah saat ini, jelas
penularan yang sudah terjadi tidak dapat dihindari.
Yang juga menarik adalah bahwa ARV yang
dipakai oleh ibu sebelum melahirkan berperan
bukan hanya untuk mencegah penularan dalam
kandungan, tetapi juga sebagai profilaksis
prapajanan untuk mencegah penularan saat lahir.
Lagi pula, profilaksis pada ibu saat melahirkan
tanpa profilaksis pascapajanan pada bayi sama
sekali tidak efektif.
Penggunaan ART pada ibu dapat terpengaruh oleh
kontraindikasi untuk memberikan nevirapine pada
perempuan dengan CD4 di atas 250. Namun
Januari 2008
penelitian di Thailand menunujukkan bahwa
ambang sebetulnya adalah 350, jadi kemungkinan
ART dengan nevirapine dapat diberikan pada
semua perempuan yang memenuhi kriteria.
Akhirnya dibahas bahwa bedah sesar hanya
diindikasi bila viral load ibu lebih dari 1000 pada
saat melahirkan. Jadi mungkin adalah efektif-biaya
untuk melakukan tes viral load pada minggu ke-28
(sesuai pedoaman AS), sedikitnya pada ibu yang
memakai ARV, dan hanya menganjurkan seksio
bila hasilnya di atas angka ini.
5. Penatalaksanaan infeksi HIV pediatrik. Dr.
Thanyawee membahas penggunaan ART pada
bayi/anak serta imunisasi untuk bayi dilahirkan oleh
ibu HIV-positif. Kapan mulai ART menjadi masa
yang lebih hangat daripada untuk orang dewasa,
sebagai hasil dari uji coba CHER di Afrika
Selatan, yang dibatasi oleh Data Safety Monitoring
Board (DSMB) karena kelompok terapi tertunda
jelas mendapatkan hasil yang lebih buruk
dibandingkan kelompok bayi yang langsung
(otomatis) mulai ART. Kelompok ART tertunda
baru mulai ART bila CD4% munurun di bawah
20% atau terjadi peristiwa klinis. Kematian di
kelompok ini ternyata 16% dibandingkan 4%
pada kelompok yang langsung mulai ART.
Ada beberapa masalah yang harus
dipertimbangkan berdasarkan uji coba CHER:
bagaimana bayi dapat didiagnosis lebih dini (tes
viral load pada usia enam minggu); terapi untuk
berapa lama (berhenti pada usai 1 atau 2 tahun,
atau diteruskan?); dan apakah rejimen yang paling
cocok untuk
bayi yang terpajan nevirapine dalam upaya
PMTCT. Ada penelitian yang menunjukkan bahwa
hanya 23% bayi yang terpajan pada nevirapine itu
mencapai viral load pada 12 bulan, dibandingkan
91% bayi yang tidak terpajan - sangat berbeda
dengan keadaan pada ibu yang terpajan nevirapine
dalam PMTCT. Namun hal ini tidak hanya masalah
ART; dukungan gizi pada anak juga dibutuhkan.
Rejimen lini pertama untuk anak sama seperti untuk
orang dewasa. GPO akan membuat pil kombinasi
takaran tetap (FDC) d4T/3TC/nevirapine
7:30:50mg, serupa dengan Triomune Baby dari
Cipla, yang sedikit berbeda mengandung takaran
6:30:50 (tidak jelas mengapa GPO pilih takaran
d4T lebih tinggi, apa lagi dengan adanya cenderung
untuk mengurangi takaran d4T). Untuk anak yang
lebih tua (di atas 3 tahun), ada keberhasilan lebih
baik dengan ART mengandung efavirenz, dengan
5
83% kohort di Thailand mencapai viral load tidak
terdeteksi pada 192 minggu dibandingkan 61%
dengan nevirapine.
Rejimen lini kedua untuk anak lebih rumit. Obat
yang disetujui untuk anak terbatas, dan hanya ada
sedikit data mengenai kemanjuran PI pada anak
yang gagal dengan rejimen mengandung NNRTI.
Namun ada satu uji coba sedang dilakukan di
Thailand yang memakai PI, 72% Kaletra, 28%
indinavir/r. Lebih dari 78% peserta mencapai viral
load di bawah 50 pada minggu ke-48.
Terkait imunisasi, WHO sekarang menganjurkan
“BCG sebaiknya tidak dipakai pada anak diketahui
terinfeksi HIV”, dan mendesak dilakukan
pemantauan lebih ketat terhadap damapk buruk
dari BCG. Namun untuk kebanyakan anak yang
terpajan HIV (terlahir oleh ibu HIV-positif), infeksi
HIV baru dapat ditentukan setelah BCG diberikan.
Jadi secara praktis, tidak ada perbedaan, tetapi
pemantauan lebih ketat memang masuk akal.
WHO juga mengajurkan vaksin konjugat
pneumokokal harus menjadi prioritas pada anak
dengan U5MR di atas 50 per 1000 lahir hidup. Lagi
pula, mungkin dibutuhkan revaksinasi untuk
vaksinasi lain.
6. Meningkatkan akses pada ART di India. Dr. N.
Kumarasamy dari YRG membahas sejarah akses
pada ART di India. Walau ada berbagai produsen
ARV di India, ART hanya tersedia luas dalam
negeri dengan harga gratis pada April 2004, melalui
137 pusat ART pemerintah. Saat ini 118.000 Odha
mendapatkan ART melalui 137 pusat ini - YRG
sendiri melayani 5000 pada satu klinik. Tidak ada
kesempatan untuk menanyakan bagaimana India
(yang memang negara besar sekali) dapat begitu
berhasil meningkatkan akses dengan hanya 137
pusat, sementara kita hanya melayani 5000 orang
melalui 237 pusat.
mahal, dan paling tersedia untuk kita 2-3 tahun lagi.
Yang jelas, PI ini tidak lebih unggal dalam
kemanjuran dengan efavirenz. Bedanya, bila terapi
dengan efavirenz gagal, resistansi terhadap berbagai
macam obat dapat muncul; bila terapi
dengan PI diboost ritonavir gagal, resistansi
terhadap PI lain agak jarang muncul.
Laporan Hari III
1. Epidemiologi HIV di wilayah Asia-Pasifik. Sesi
ini, disampaikan oleh Frits Van Griensven, terutuma
membahas masalah HIV di antara laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) termasuk
pekerja seks laki-laki (PSL), di Bangkok. Walau
prevalensi HIV di antara kelompok lain (pengguna
narkoba suntikan, pekerja seks perempuan) mulai
menurun, prevalensi di kelompok ini terus
meningkat, dari 17% pada 2003 menjadi 30% pada
2007. Pada LSL berusia di atas 29 tahun, prevalensi
menjadi hampir 40%, sebagian kemungkinan
karena mereka lebih menjangkau terapi sehingga
tahan hidup lebih lama. Tetapi prevalensi di antara
LSL berusia 22 tahun ke bawah juga meningkat,
dari 13% pada 2003 menjadi 22% tahun lalu. Dan
pada PSL di jalan, prevalensi menjadi 36% tahun
lalu.
Apakah intervensi yang cocok untuk kelompok ini?
Komunikasi perubahan perilaku (BCC) sendiri jelas
tidak cukup. Jadi dibentuk satu penelitian untuk
menjangkau kelompok ini, pertama untuk
memperoleh data yang dapat dipakai untuk
membentuk intervensi. Ternyata penelitian ini, yang
berdasarkan satu klinik di tengah kota Bangkok,
yang baru mulai tahun lalu, juga memberi dampak
besar, karena untuk pertama kali, kelompok ini
terjangkau dan dirasakan dihargai. Namun belum
jelas apakah ada intervensi yang akan lebih berhasil;
mungkin profilaksis prapajanan (lihat laporan sesi
terakhir di bawah)?
Walau banyak Odha di India mengaku ada masalah
stigma dalam keluarga, 90% menetapkan anggota
keluarga sebagai pendukung pengobatan,
Pendukung keluarga ini wajib mengikuti Odha
untuk mendapatkan konseling intensif sebelum
ART dimulai.
2. Sindrom pemulihan kekebalan. Prof Martin
French sekali lagi menyampaikan sesi ini - kami
untung karena beliau adalah yang pertama
menelitikan sindrom ini, yang biasa disebut sebagai
IRIS atau IRD, terhadap penerima monoterapi
AZT pada 1990. Sejak itu, banyak menjadi lebih
jelas, tetapi sepertinya topik menjadi semakin rumit!
7. Protease inhibitor baru. Ada sesi sambil makan
siang oleh Janssen- Cilag yang membahas PI baru,
terutama darunavir. Darunavir sudah dibahas
kemarin, dan tidak ada banyak yang baru yang ada
kaitan dengan kita di Indonesia: obat ini masih
IRIS terjadi dengan dua manifestasi: ‘unmasking’
(berkembangnya infeksi aktif yang sebelumnya
subklinis) yang terjadi pada awal penggunaan ART
(dalam tiga bulan pertama); dan ‘late’ (lamban),
yang terjadi 3-24 bulan setelah mulai ART, biasanya
6
Sahabat Senandika No. 62
akibat patogen yang sudah mati atau sisa antigen
dari infeksi sebelumnya. Unmasking sering
melibatkan mikobakteria (biasanya TB, tetapi juga
bisa MAC, BCG, dan kusta), kriptokokus
(meningitis), dan berbagai virus termasuk CMV,
HSV, PML, KS, dan HBV/HCV. Dengan virus
hepatitis, IRIS sering mengakibatkan ‘flare’
(peningkatan tiba-tiba pada ALT, yang mungkin
sering salah dianggap sebagai efek samping ARV.
Infeksi oportunistik (IO) ini sebaiknya diobati
(kembali) seperti biasa.
Yang lamban bisa juga melibatkan CMV dan
kriptokokus, tetapi karena disebabkan oleh patogen
mati, tidak ada manfaat mengobati manifestasi ini
(mis. uveitis CMV atau meningitis aseptis) dengan
obat melawan IO tersebut, walau ada yang dapat
menimbulkan angka kematian yang tinggi.
Kurang lebih 20% pasien yang mulai aRT akan
mengalami IRIS. Angkanya paling tinggi bila ada
banyak IO dan ART dimulai dengan jumlah CD4
yang sangat rendah. Yang sering dianggap kasus TB
yang baru setelah mulai ART sebetulnya sering
adalah ‘unmasking’ TB yang ada sebelumnya.
Faktor risiko untuk IRIS terkait mikobakteri atau
kriptokokus adalah infeksi diseminata sebelum
ART, ART dimulai segera setelah IO diobati, dan
jumlah CD4 yang rendah. Tidak jelas apakah
peningkatan cepat pada CD4 atau penurunan cepat
pada viral load terlibat - kemungkinan tidak.
Risiko IRIS terkait TB paling tinggi bila terapi TB
dimulai dalam 30 hari setelah OAT. Jadi apakah
ada manfaat menunggu lebih dari 2-3 minggu
(jangka waktu yang dianjurkan pada pedoman saat
ini), mungkin sedikitnya 30-60 hari? Belum jelas!
Penangan IRIS yang dianjurkan tidak berubah: obat
antimikroba bila infeksinya aktif; teruskan ART asal
pasien tidak menjadi terlalu sakit; dan penggunaan
terapi antiradang, mis. kortikosteroid, bila
dibutuhkan.
3. Penyakit kardiovaskular, diabetes dan penyakit
ginjal. Sesi ini disampaikan oleh Prof Andrew Carr,
Menurut Carr, walau penyakit kardiovaskular
(CVD) sering dianggap sebagai efek samping PI,
sebetulnya risiko terhadap CVD untuk kebanyakan
Odha jauh lebih tinggi dari faktor risiko tradisional,
terutama meroko, tetapi juga pola hidup kurang
sehat lain. Rasio kolesterol total:HDL adalah
prediktor yang paling kuat untuk kematian akibat
CVD, pada semua kelompok usia dan
sama untuk perempuan dan laki-laki.
Januari 2008
Walau ART berdampak pada kematian akibat
CVD, berhenti ART ternyata meningkatkan risiko
kematian, seperti dilihat pada penelitian SMART.
Ada beberapa alasan yang diperkirakan, di
antaranya karena setiap kali mulai ART lagi setelah
berhenti, kolesterol total:HDL meningkat, dengan
demikian meningkatkan risiko.
Alat prediksi risiko CVD yang baku, yaitu
Framlingham Equation, tetap berlaku untuk Odha
yang memakai ART, jadi sebaiknya dipakai setiap
tahun.
Mengenai masalah ginjal, kreatinin serum tidak
efektif untuk pemantauan; yang paling efektif
adalah MDRD (estimasi GFR/eGFR). Saya agak
bingung dengan ini (karena belum belajar mengenai
masalah ginjal), tetapi diusulkan dilakukan eGFR
pada semua Odha pengguna ART setiap tiga
bulan. Mungkin ada yang dapat menjelaskan
apakah ini terjangkau dan praktis di Indonesia?
4. Interaksi obat. Menurut Lektor David Burger,
relevansi klinis interaksi sering tidak jelas, walau
secara teoretis seharusnya ada dampak besar,
dengan meningkatkan toksisitas dan mengurangi
kemanjuran. Dasar bukti terbatas, karena sulit
ditelitikan, kebanyakan informasi berasal dari
laporan kasus, dan etiket obat sering tidak benar.
Jadi konsultasi dengan pakar sering dibutuhkan.
Dia mencontohkan tiga interaksi yang sering
dibahas: 1) rifabutin dengan CYP450 inhibitor/
inducer; rekomendasi adalah untuk menyesuaikan
takaran rfabutin, tetapi dalam dunia nyata, hanya
14% dokter menyesuaikan, dan tidak ada
perbedaan dalam hasil. 2) nevirapine dengan PI:
rekomendasi meningkatkan takaran PI, namun
hanya 55% dokter menyesuaikan, dan tidak ada
perbedaan pada hasil. 3) efavirenz dengan PI: sekali
lagi rekomendasi adalah untuk meningkatkan
takaran PI, yang dilakukan oleh 65% dokter. Dalam
kasus ini, pasien yang menerima takaran PI lebih
tinggi mencapai hasil yang lebih baik.
Ada beberapa kasus serupa, tetapi yang paling
relevan buat kita mungkin adalah interaksi antara
NNRTI dengan rifampisin. Walau ada usulan untuk
meningkatkan takaran efavirenz menjadi 800mg
dengan rifampisin, penelitian di Thailand
menunjukkan bahwa takaran baku adalah efektif.
Dengan nevirapine, keadaan tidak begitu jelas.
Penelitian kohort menunjukkan tanggapannya
adalah cukup dengan takaran baku. Masalahnya,
7
bila takaran nevirapine ditingkatkan menjadi
600mg, efek samping ruam meningkat tajam, dan
tanggapan hampir sama. Jadi bila tidak ada
alternatif, sebaiknya memakai nevirapine dengan
takaran baku, tetapi kalau bisa, lebih baik pakai
efavirenz.
Ditekankan lagi bahwa interaksi obat tetap penting,
dan dokter harus tahu semua obat, termasuk obat
tanpa resep dan juga jamu, yang dipakai oleh
pasien. Menurut Burger, sebaiknya jangan ambil
risiko memakai jamu, karena hampir tidak ada
penelitian atau laporan mengenai interaksi. Tetapi
bila pasien tetap ingin memakai jamu, dokter harus
terima, harus memantau secara hati-hati, harus
mendokumentasinya, coba menentukan apakah ada
pengaruh dan melaporkan hasil agar meningkatkan
jumlah laporan yang dapat dipakai oleh dokter lain.
Tampaknya kita akan tergantung pada kondom
untuk beberapa tahun lagi...
Kesan dari simposium ini baik sekali, tetap sangat
praktis, dan relevan pada keadaan kita. Hanya
keterlibatan oleh peserta masih agak kurang, walau
sebagian adalah karena waktu untuk tanya-jawab
sangat terbatas, bahkan sering tidak ada. Juga saya
rasa kadang kala slide terlalu rumit dan ramai
sehingga sulit menangkap isi yang paling penting.
Tetapi walau begitu, biasanya kesimpulan atau
ringkasan akhir membantu cari makna yang paling
penting.
Panitia berjanji semua presentasi akan tersedia pada
situs web HIVNAT < http://www.hivnat.org/>
paling lambat 28 Januari nanti. Untuk yang cari
informasi lebih dalam, coba akses di situ.
5. Tes resistansi. Sesi ini, yang disampaikan oleh Dr
Daniel Kuritzkes, membahas tiga alternatif untuk
menentukan resistansi: genotipe, fenotipe dan
fenotipe virtual. Topik ini sangat rumit, dan saat ini
tidak begitu relevan di Indonesia. Yang penting kita
tahu bahwa tes resistansi hanya dapat dilakukan bila
viral load lebih dari 500-1000, dan hasilnya sulit
ditafsirkan. Hasil dari tes baku hanya akan
menunjukkan mutasi yang adal dengan jumlah
besar; mutasi minoritas
tidak akan ditemukan.
Seperti dibahas dalam sesi lain, sudah waktu dokter
di Negara berkembang mulai memakai tes
resistansi, sedikitnya di rumah sakit besar. Agar
dapat mengerti keterbatasannya, dan mulai menjadi
lebih nyaman untuk memakai hasilnya.
6. Pencegahan. Sesi ini dari Prof Joop Lange
sedikit mengecewakan. Sebetulnya, isinya tidak jauh
berbeda dengan presentasinya dua tahun yang lalu.
Sebagian ini karena teknologi pencegahn tidak
banyak berkembang dalam dua tahun terakhir,
mala sebagian mundur. Perkembangan dengan
vaksin dan mikrobisida sangat lamban, hanya
mungkin diaphragm menunjukkan sedikit harapan.
Kita masih menunggu hasil yang jelas dari kelima
uji coba klinis yang memakai tenofovir untuk
profilaksis prapajanan (PrPP). Percobaan dengan
monyet menujukkan keberhasilan, tetapi yang
paling efektif adalah tenofovir dan FTC yang
disuntik (walau dianggap mungkin versi oral tidak
efektif karena sulit memberi pil pada monyet).
8
Sahabat Senandika No. 62
Pengetahuan
adalah kekuatan
Minyak ikan plus fenofibrat
baik untuk trigliserid tinggi
Oleh: aidsmeds.com
Tgl. laporan: 17 Desember 2007
Suplemen minyak ikan, dikombinasikan dengan
obat penurun lipid fenofibrat, secara bermakna
mengurangi trigliserid ke tingkat normal pada
sejumlah Odha yang tidak menanggapi salah satu
terapi saja. Hal ini berdasarkan hasil penelitian
AIDS Clinical Trials Group (ACTG), yang
diterbitkan dalam Journal of Acquired Immune
Deficiency Syndromes versi internet.
John Gerber, MD, dari Health Sciences Center
Fakultas Kedokteran Universitas Colorado di
Denver, AS dan rekan mendaftarkan 100 Odha
yang rejimen ARV-nya menyebabkan tingkat
trigliserid mereka meningkat di atas 200mg/dL,
yang adalah batas tertinggi dari kisaran normal.
Peningkatan trigliserid dapat mengakibatkan
pankreatitis dan sudah dikaitkan dengan risiko
penyakit jantung yang lebih tinggi.
Selama delapan minggu pertama penelitian,
peserta penelitian memakai 3g minyak ikan atau
160mg fenofibrat sehari sekali. Apabila tingkat
trigliseridnya tidak di bawah 200mg/dL setelah
hampir dua bulan, pasien dalam penelitian ini diberi
kedua pengobatan secara bersamaan.
Selama delapan minggu pertama penelitian, 8,5
persen pasien yang diobati dengan minyak ikan dan
16,7 persen pasien yang diobati dengan fenofibrat
mempunyai tingkat trigliserid dalam kisaran
normal. Dari 75 orang yang memakai kedua obat,
22,7 persen melihat penurunan tingkat trigliserid
mereka menjadi di bawah 200mg/dL. Hal ini
bermakna secara statistik, berarti bahwa hal ini
terlalu besar untuk dikatakan terjadi secara
kebetulan. Para peneliti mengatakan bahwa hasil ini
cukup memberi harapan untuk meneliti kombinasi
obat ini lebih lanjut.
Januari 2008
Steatosis hati adalah
umum pada Odha, walau
tidak mempunyai koinfeksi
HCV
Oleh: Liz Highleyman,
hivandhepatitis.com
Tgl. laporan: 14 Desember 2007
Penyakit hati semakin menjadi penyebab
kesakitan dan kematian yang penting pada Odha
sejak terapi antiretroviral (ART) ditemukan. Hal ini
dapat dilihat sebagai fibrosis dan sirosis hati
(peningkatan jaringan parut) – sering dikaitkan
dengan koinfeksi virus hepatitis C (HCV) —atau
steatosis hati (penumpukan lemak). Beberapa
penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan
antara steatosis hati dan pemakaian ARV tertentu,
termasuk beberapa NRTI.
Colleen Hadigan dari Massachusetts General
Hospital di Boston, AS dan rekan melakukan
penelitian untuk mengkaji steatosis hati pada lakilaki dan perempuan HIV-positif dengan memakai
magnetic resonance spectroscopy (MRS), dan untuk
menilai hubungan antara kandungan lemak di hati,
resistansi insulin dan faktor lain terkait risiko; hasil
penelitian ini dilaporkan dalam Journal of Acquired
Immune Deficiency Syndromes edisi 1 November
2007.
Penelitian ini melibatkan 33 pasien Odha dewasa
(24 laki-laki; sembilan perempuan) yang tidak
dirujuk secara khusus untuk penyakit hati. Usia ratarata adalah 46 tahun, 55% berkulit putih, dan 33%
berkulit hitam. Kurang lebih seperlimanya koinfeksi
HCV, dan satu mempunyai hepatitis B. Sebagian
besar (85%) memakai ART secara tetap, dan
jumlah CD4 rata-rata adalah 441. Odha dengan
penyakit hati stadium akhir, riwayat penggunaan
alkohol secara berlebihan selama tiga tahun terakhir,
atau memakai pengobatan HCV secara bersamaan
dikecualikan.
Pengukuran klinis yang utama adalah mengukur
lemak dalam hati dengan memakai MRS, model
homeostasis untuk menilai skor resistansi insulin
(HOMA-IR), dan penyebaran lemak tubuh diukur
dengan memakai tomografi lintas seksi secara
komputerisasi.
Hasil
Ÿ Steatosis hati (didefinisikan sebagai jumlah
lemak di hati = 5% dari berat hati)
ditentukan pada 14 peserta penelitian (42%).
Ÿ Jumlah lemak hati rata-rata adalah 14%
9
(berkisar 6% hingga 29%).
Jumlah lemak hati secara bermakna
dikaitkan dengan skor HOMA-IR (P <
0,0001) dan peningkatan lemak viskeral (P <
0,001).
Ÿ Pasien dengan steatosis memiliki indeks
massa tubuh, tingkat ALT (SGPT) dan
trigliserid serta peningkatan lemak dalam
otot yang lebih besar secara bermakna
dibandingkan dengan peserta tanpa steatosis.
Ÿ Berbeda dengan beberapa penelitian
terdahulu, munculnya steatosis tidak
dikaitkan dengan masa infeksi HIV, pajanan
terhadap ART atau koinfeksi HCV.
Kesimpulan
Dalam kesimpulannya, penulis menulis, “Data ini
memberi kesan bahwa steatosis hati mungkin
sangat umum pada HIV, tidak terbatas pada
mereka yang koinfeksi HCV, dan dapat berperan
penting dalam profil metabolik di antara laki-laki
dan perempuan yang terinfeksi HIV.”
Ringkasan: Liver Steatosis Is Common among
HIV Positive People, even without Hepatitis C
Coinfection
Sumber: C Hadigan, J Liebau, R Andersen, and
others. Magnetic Resonance Spectroscopy of
Hepatic Lipid Content and Associated Risk Factors
in HIV Infection. Journal of Acquired Immune
Deficiency Syndromes 46(3): 312-317. November
1, 2007.
Ÿ
Viral load selama
kehamilan: kian rendah
kian baik
Oleh: aidmeds.com
Tgl. laporan: 27 Desember 2007
MD dan rekan dari Institut National de la Sante et
de la Recherche Medicale (INSERM),
mendaftarkan 5.271 pasangan ibu dan bayi yang
dilahirkan di seluruh Prancis antara 1997 dan 2004.
Sejumlah 67 (1,3 persen) bayi yang lahir dari ibu
yang HIV-positif, terinfeksi HIV.
Viral load pada saat kelahiran ditemukan sebagai
risiko utama terhadap penularan. Di antara 364
perempuan yang melahirkan dengan viral load di
atas 10.000, tingkat penularan adalah 6,6 persen,
dibandingkan dengan 0,6 persen di antara 2.856 ibu
yang melahirkan dengan viral load di bawah 400.
Tingkat penularan di antara ibu dengan viral load
kurang dari 50 pada saat melahirkan adalah 0,4
persen.
Faktor kunci lain adalah masa penggunaan ART
selama kehamilan. Tidak ada penularan pada
perempuan yang tetap memakai ART sejak
kehamilan hingga melahirkan. Di antara perempuan
hamil yang HIV-positif yang memulai pengobatan
sejak triwulan pertama atau kedua, tingkat
penularan adalah kurang lebih satu persen. Dan di
antara mereka yang memulai pada triwulan ketiga,
tingkat penularan adalah 3,6 persen. Penulis
mencatat bahwa lima ibu yang menularkan HIV
dengan viral load di bawah 50 pada saat
melahirkan terlambat memakai ART waktu hamil,
antara minggu ke-32 dan 33.
Bayi yang lahir prematur juga lebih berisiko
terhadap penularan. Berdasarkan laporan
INSERM, tingkat penularan adalah enam kali lebih
tinggi pada bayi yang lahir sebelum 33 minggu (6,6
persen) dibandingkan bayi yang lahir setelah masa
kehamilan terpenuhi (satu persen).
Kelompok Dr. Warzawski menyimpulkan bahwa
“cara yang paling efektif untuk mendapatkan
pengendalian replikasi virus adalah memakai terapi
kombinasi obat tiga jenis. Lebih lanjut, temuan
kami berpendapat kuat bahwa ART harus dimulai
cukup dini, paling lambat pada minggu ke-28,
untuk mencapai kemanjuran yang maksimal.”
Ringkasan: Viral Load During Pregnancy: Lower
the Better
Sumber: AIDS. 22(2):289-299, January 11, 2008.
Viral load tidak terdeteksi, terus memakai ART
selama kehamilan dan persalinan setelah masa
kehamilan terpenuhi dikaitkan dengan risiko
terendah terhadap penularan HIV dari ibu-ke-bayi.
Hal ini berdasarkan data baru dari ANRS French
Perinatal Cohort yang diterbitkan dalam jurnal
AIDS edisi 11 Januari 2008.
Penelitian ini, dilakukan oleh Josiane Warzawski,
10
Sahabat Senandika No. 62
Pojok Info
Tips
Tips untuk Odha
Lembaran Informasi Baru
Pada Januari 2008, Y ayasan Spiritia telah
menerbitkan satu lagi lembaran informasi untuk
Odha, sbb:
• Terapi Antiretroviral
Lembaran Informasi 434—Etravirine
Dengan ini, sudah diterbitkan 136 lembaran
informasi dalam seri ini.
Juga ada 13 lembaran informasi yang direvisi:
• Informasi Dasar
Lembaran Informasi 001—Daftar Lembaran
Informasi
• Terapi Antiretroviral
Lembaran Informasi 401—Penggunaan Obat
Antiretroviral
Lembaran Informasi 402—Nama Obat
Antiretroviral
Lembaran Informasi 403—Terapi Antiretroviral
• Infeksi Oportunistik
Lembaran Informasi 520—Penisiliosis
Lembaran Informasi 521—Limfadenopati
Lembaran Informasi 522—Histoplasmosis
• Obat untuk Infeksi Oportunistik
Lembaran Informasi 530—Azitromisin
• Efek Samping
Lembaran Informasi 560—Rasa Nyeri
• Topik Khusus
Lembaran Informasi 620—Masalah Kulit
Lembaran Informasi 621—Masalah Penglihatan
Lembaran Informasi 622—Masalah Mulut
Lembaran Informasi 624—Afte (Seriawan)
Salinan lembaran baru/revisi ini dilampirkan
pada Sahabat Senandika edisi ini. Untuk
memperoleh seri Lembaran Informasi lengkap,
silakan hubungi Yayasan Spiritia dengan alamat di
halaman belakang. Yang sudah mempunyai buku
lembaran informasi dapat memastikan semuanya
terbaru dengan lihat tanggal penerbitan pada
Daftar Lembaran Informasi. Semua lembaran
informasi ini juga dapat dibaca dan didownload
dari situs web Spiritia: http://spiritia.or.id
Januari 2008
Sebagai alat kontrasepsi, kondom pasti sudah
sangat dikenal di masyarakat. Tidak hanya untuk
mencegah kehamilan, kondom pun efektif
meminimalkan penularan penyakit seksual,
termasuk HIV/AIDS. Mendapatkannya pun relatif
mudah, bahkan kini kondom sudah terdiri dari
berbagai macam bentuk dan aroma yang variatif.
Lantas, apakah semua orang tahu bahwa kondom
pun perlu dipilih, sehingga diperoleh kondom yang
paling tepat? Tentu tidak semua orang tahu.
”Pertimbangan utama dalam memilih kondom
adalah kualitas,” kata asisten Brand Manager
kondom Sutra dan Fiesta, Cresentia Novianti.
Kondom yang bagus biasanya sudah lulus uji
elektronis dan memenuhi standar mutu
internasional (mendapat sertifikat ISO 4074).
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam memilih
kondom adalah berpelicin dan terasa halus,
sehingga akan menambah kenikmatan dan
kenyamanan. Mengenai bentuk dan aroma,
sebenarnya Anda boleh juga mencoba semua
kondom sampai menemukan varian yang tepat
untuk membuat gaya bercinta lebih menyenangkan.
Menurut Cresentia, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam penggunaan kondom antara
lain:
Ÿ Hati-hati ketika membuka kemasan.
Hindari menggunakan kuku atau benda
tajam lainnya agar tidak sobek.
Ÿ Jangan membuka gulungan kondom
sebelum dipakai.
Ÿ Jangan menyimpan kondom di tempat
panas atau di kantong celana jeans yang
sangat ketat.
Ÿ Jika kondom dirasa mengurangi
kenikmatan, teteskan lubricant ke dalam
kondom agar terjadi juga gesekan di dalam
untuk menambah kenikmatan.
Ÿ Terakhir, buang kondom setelah dipakai di
tempat sampah agar tidak berserakan.
Sumber: http://www.aids-rspiss.com/articles.php?lng= in&pg= 520
11
Tanya Jawab
Positive Fund
Laporan Keuangan Positive Fund
Tanya Jawab
Yayasan Spiritia
Oleh: Potensi Diri dan Alam untuk
Pengobatan HIV/AIDS
Periode Januari 2007
T: Apakah fungsi vitamin C untuk Odha,
terdapat dalam buah atau sayur apakah vitamin C,
berapa dosis yang dianjurkan per hari dan apa
akibatnya jika berlebihan mengkonsumsi vitamin C?
J: Vitamin C membantu kerja vitamin E dalam
penyerapan zat besi di lambung. Selain itu,
membantu produksi halogen yang sangat penting
dalam proses pembentukan jaringan ikat untuk
kekuatan tulang, tulang rawan, gigi, rambut, kulit,
otak, pembuluh darah, dan proses penyembuhan
luka, termasuk luka bakar. Vitamin C mudah larut
dalam air dan hilang dalam pemanasan. Sebatang
rokok mampu menghilangkan 25 gram vitamin C
di dalam tubuh.
Dosis vitamin C sehari 250-1000 mg. Kelebihan
vitamin C mengakibatkan perut mulas, diare, dan
pusing. Suplemen vitamin C tidak dianjurkan bagi
penderita talasemia dan anemia karena dapat
memperkuat keracunan zat besi.
Fungsi vitamin C antara lain sebagai berikut:
1. Mengurangi replikasi virus HIV yang
menginfeksi T-helper (limfosit) secara
kronis.
2. Membersihkan alkohol dalam tubuh.
3. Meningkatkan kekebalan tubuh.
4. Merangsang protein yang beraktivitas
antivirus.
5. Menghambat perkembangan sel kangker.
6. Meningkatkan kerja paru-paru.
7. Memperbaiki kualitas sperma.
8. Mengurangi penumpukan lemak pada
organ hati karena alcohol.
9. Mengobati dan mencegah
hiperpigmentasi.
10. Mencegah radang gusi dan alergi
11. Meningkatkan kolesterol HDL.
Kekurangan vitamin C akan menyebabkan:
Pertumbuhan jantung dan tubuh terganggu, gusi
bengkak, mudah terserang encok, anemia, dan
penyakit anak ginjal.
Saldo aw al 1 Januari 2007
Vitamin C terdapat pada buah-buahan dan sayursayuran seperti jeruk, tomat, jambu biji, cabai,
paprika, pepaya, brokoli, stroberi, kiwi, ubi merah,
buncis, sayuran hijau, kubis, labu merah, nanas, apel,
mangga, belimbing, markisa dan sebagainya
12
17,503,519
Penerimaan di bulan
Januari 2007
847,750+
_________
Total penerimaan
18,351,269
Pengeluaran selama bulan Januari :
Item
Pengobatan
Jumlah
2,805,000
Transportasi
0
Komunikasi
0
Peralatan / Pemeliharaan
0
Modal Usaha
0+
__________
2,805,000-
Total pengeluaran
Saldo akhir Positive Fund
per 31 Januari 2007
15,546,269
Sahabat Senandika
Diterbitkan sekali sebulan oleh
Yayasan Spiritia
dengan dukungan
T H E FORD
FOU N D
AT I O N
DA
Kantor Redaksi:
Jl. Johar Baru Utara V No 17
Jakarta Pusat 10560
Telp: (021) 422 5163 dan (021) 422 5168
Fax: (021) 4287 1866
E-mail: [email protected]
Editor:
Caroline Thomas
Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk
diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus
mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon).
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar
untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum
melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi
dengan dokter.
Sahabat Senandika No. 62